Anda di halaman 1dari 37

Titrasi Asam Basa

Pengertian Titrasi Asam Basa

Titrasi adalah prosedur menetapkan kadar suatu larutan dengan mereaksikan sejumlah larutan
tersebut yang volumenya terukur dengan suatu larutan lain yang telah diketahui kadarnya
(larutan standar) secara bertahap. Berdasarkan jenis reaksi yang terjadi, titrasi dibedakan
menjadi titrasi asam basa, titrasi pengendapan, dan titrasi redoks. Dalam artikel ini, yang akan
dibahas lebih lanjut hanya titrasi asam basa saja.

Pada label yang tertera pada botol cuka makan umumnya terdapat informasi kadar cuka
tersebut. Misalkan, pada suatu botol cuka tertulis 25% asam cuka, bagaimana cara memastikan
kebenaran dari kadar tersebut? Penentuan kadar asam cuka dapat dilakukan dengan prosedur
eksperimen menggunakan metode titrasi.

Lihat juga materi StudioBelajar.com lainnya:


Sifat Koligatif Larutan
Ikatan Kimia

Dalam menentukan kadar asam cuka, metode titrasi yang digunakan adalah titrasi asam basa.
Titrasi asam basa adalah penentuan kadar suatu larutan basa dengan larutan asam yang
diketahui kadarnya atau sebaliknya, kadar suatu larutan asam dengan larutan basa yang
diketahui, dengan didasarkan pada reaksi netralisasi. Titrasi harus dilakukan hingga mencapai
titik ekivalen, yaitu keadaan di mana asam dan basa tepat habis bereaksi secara stoikiometri.
Titik ekivalen umumnya dapat ditandai dengan perubahan warna dari indikator. Keadaan di
mana titrasi harus dihentikan tepat pada saat indikator menunjukkan perubahan warna disebut
titik akhir titrasi. Jadi, untuk memperoleh hasil titrasi yang tepat, maka selisih antara titik akhir
titrasi dengan titik ekivalen harus diusahakan seminimal mungkin. Hal ini dapat diupayakan
dengan memilih indikator yang tepat pada saat titrasi, yakni indikator yang mengalami
perubahan warna di sekitar titik ekivalen.

Perubahan pH pada Titrasi Asam Basa

Pada saat larutan basa ditetesi dengan larutan asam, pH larutan akan turun. Sebaliknya, jika
larutan asam ditetesi dengan larutan basa, maka pH larutan akan naik. Jika pH larutan asam
atau basa diplotkan sebagai fungsi dari volum larutan basa atau asam yang diteteskan, maka
akan diperoleh suatu grafik yang disebut kurva titrasi. Kurva titrasi menunjukkan perubahan
pH larutan selama proses titrasi asam dengan basa atau sebaliknya. Bentuk kurva titrasi
memiliki karakteristik tertentu yang bergantung pada kekuatan dan konsentrasi asam dan basa
yang bereaksi.

Mau diskon 40% paket RuangGuru? WA: 0813 7693 4946

Titrasi asam kuat dengan basa kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan HCl 0,1 M ditetesi dengan larutan NaOH 0,1 M sedikit demi
sedikit. Berikut kurva titrasi yang menggambarkan perubahan pH selama titrasi tersebut.
Kurva titrasi asam basa: HCl dengan NaOH. Sumber: Silberberg, Martin S. & Amateis,
Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change (7th edition). New
York: McGraw-Hill Education

Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

• Mula-mula pH larutan naik sedikit demi sedikit


• Perubahan pH drastis terjadi sekitar titik ekivalen
• pH titik ekivalen = 7 (netral)
• Indikator yang dapat digunakan: metil merah, bromtimol biru, atau fenolftalein. Namun,
yang lebih sering digunakan adalah fenolftalein karena perubahan warna fenolftalein
yang lebih mudah diamati.

Titrasi asam lemah dengan basa kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan CH3COOH 0,1 M ditetesi dengan larutan NaOH 0,1 M sedikit
demi sedikit. Berikut kurva titrasi berwarna biru yang menggambarkan perubahan pH selama
titrasi tersebut dibandingkan dengan kurva titrasi HCl dengan NaOH yang berwarna merah.
Kurva titrasi CH3COOH dengan NaOH dan titrasi HCl dengan NaOH
(Sumber: McMurry, John E., Fay, Robert C., & Robinson, Jill K. 2016. Chemistry (7th
edition). New Jersey: Pearson Education, Inc.)

Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

• Titik ekivalen berada di atas pH 7, yaitu antara 8 – 9


• Lonjakan perubahan pH pada sekitar titik ekivalen lebih kecil, hanya sekitar 3 satuan,
yaitu dari pH ±7 hingga pH ±10
• Indikator yang digunakan: fenolftalein. Metil merah tidak dapat digunakan karena
perubahan warnanya terjadi jauh sebelum tercapai titik ekivalen.

Titrasi basa lemah dengan asam kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan NH3 0,1 M ditetesi dengan larutan HCl 0,1 M sedikit demi
sedikit. Berikut ditampilkan kurva titrasi yang menggambarkan perubahan pH selama titrasi
tersebut

Kurva titrasi NH3 dengan HCl


(Sumber: McMurry, John E., Fay, Robert C., & Robinson, Jill K. 2016. Chemistry (7th
edition). New Jersey: Pearson Education, Inc.)

Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

• Titik ekivalen berada di bawah pH 7, yaitu antara 5 – 6


• Lonjakan perubahan pH pada sekitar titik ekivalen hanya sedikit, sekitar 3 satuan,
yaitu dari pH ±7 hingga pH ±4
• Indikator yang digunakan: metil merah. Fenolftalein tidak dapat digunakan karena
perubahan warnanya terjadi jauh sebelum tercapai titik ekivalen.

Perhitungan Konsentrasi Larutan Asam/Basa pada Titrasi Asam Basa

Langkah-langkah menghitung konsentrasi larutan asam/basa pada titrasi asam basa:


1. Menuliskan persamaan reaksi netralisasi yang terjadi, misal antara larutan asam A dengan
larutan basa B

2. Menyatakan perbandingan jumlah mol asam A dan basa B yang bereaksi agar tepat habis
bereaksi

3. Menghitung konsentrasi larutan asam/basa dari persamaan perbandingan tersebut

Mau diskon 40% paket RuangGuru? WA: 0813 7693 4946

dengan, = jumlah mol asam A dan basa B

a, b = koefisien reaksi asam A dan basa B

MA, MB = molaritas asam A dan basa B

VA, VB = volum larutan asam A dan basa B

Jika valensi dari asam A dan basa B yang bereaksi diketahui, konsentrasi larutan asam/basa
juga dapat dicari dengan rumus:

Contoh Soal Titrasi Asam Basa


Contoh Soal 1

Berapa konsentrasi dari larutan asam asetat CH3COOH jika diketahui untuk titrasi 25 mL
larutan CH3COOH tersebut diperlukan 15 mL larutan NaOH 0,05 M agar mencapai titik
ekivalen?

Jawab:

Persamaan reaksi netralisasi CH3COOH dengan NaOH:

CH3COOH(aq) + NaOH(aq) → CH3COONa(aq) + H2O(l)

Dari persamaan reaksi, diperoleh: 1 mol CH3COOH 1 mol NaOH


Contoh Soal 2

Sebanyak 40 mL larutan asam sulfat 0,25 M dititrasi dengan suatu basa bervalensi satu, dan
ternyata dibutuhkan 57 mL basa tersebut. Berapakah kemolaran basa yang digunakan tersebut?

Jawab:

Reaksi netralisasi terjadi antara asam sulfat H2SO4 (asam kuat bervalensi dua) dengan suatu
basa bervalensi satu.

Referensi

Brown, Theodore L. et al. 2015. Chemistry: The Central Science (13th edition). New Jersey:
Pearson Education, Inc.

Mau diskon 40% paket RuangGuru? WA: 0813 7693 4946

Johari, J.M.C. & Rachmawati, M. 2009. Kimia SMA dan MA untuk Kelas XI Jilid 2. Jakarta:
Esis.

McMurry, John E., Fay, Robert C., & Robinson, Jill K. 2016. Chemistry (7th edition). New
Jersey: Pearson Education, Inc.

Petrucci, Ralph H. et al. 2017. General Chemistry: Principles and Modern Applications (11th
edition). Toronto: Pearson Canada Inc.

Purba, Michael. 2006. Kimia 2B untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga.

Retnowati, Priscilla. 2005. SeribuPena Kimia SMA Kelas XI Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Silberberg, Martin S. & Amateis, Patricia. 2015. Chemistry: The Molecular Nature of Matter
and Change (7th edition). New York: McGraw-Hill Education.

Perubahan Warna dan rentang pHindikator buatan dalam larutan Asam dan Basa

Rentang
Indikator Wujud Asam Basa
pH
Lakmus Kertas Merah Biru 5,5 – 8,0
Metil jingga Cair Merah Kuning 3,1 – 4,4
Metil merah Cair Merah Kuning 4,4 – 6,2
Bromtimol biru Cair Kuning Biru 6,0 – 7,6
Tidak
Fenolftalein Cair Merah 8,3 –10
berwarna

TITRASI REDOKS

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanpa dipungkiri, dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dengan konsumsi
banyak bahan makanan dan minuman. Dalam makanan-makanan dan minuman-minuman
tersebut terdapat beberapa bahan kimia yang mungkin membahayakan jika manusia
mengkonsumsinya terlalu banyak.Seperti contohnya asam oksalat, banyak makanan dan
minuman yang mengandung oksalat. Seperti kubis, bayam, dan berbagai minuman soda.
Penggunaan oksalat secara berlebihan dalam tubuh dapat menggangu kesehatan ginjal. Banyak
zat yang terkandung dalam udara, salah satunya oksigen. Oksigen dapat mengoksidasi beberapa
bahan kimia sehingga tidak murni lagi ketika akan digunakan. Untuk mengetahui kadar atau
konsentrasi dari bahan kimia tersebut dilakukan titrasi redoks. Reaksi kimia yang melibatkan
proses oksidasi dan reduksi di kenal sebagai reaksi redoks. Reaksi redoks di tandai dengan
adanya perubahan bilangan oksidasi. Suatu reaksi redoks dapat terjadi apabila suatu
pengoksidasian bercampur dengan zat yang dapat tereduksi. Metode analisis yang didasarkan
pada proses reaksi oksidasi dan reduksi antara titran dengan analit dikenal sebagai titrasi
redoks. Berdasarkan uaraian di atas, maka Penulis bermaksut untuk membuat makalah tentang
Titrasi Redoks ini untuk mengetahui lebih lanjut mengenai titrasi redoks dan penggunaan titrasi
redoks seperti dalam penentuan asam oksalat dengan menggunakan permanganate, penentuan
sulfit dalam minuman anggur dengan menggunakan iodine dan lain-lain,
Tujuan

1. Untuk mengetahui prinsip umum dalam titrasi redoks.


2. Untuk mengetahui macam-macam titrasi redoks.
3. Untuk mengetahui cara pembuatan dan pembakuan larutan dalam titrasi redoks.
4. Untuk mengetahui contoh analisis titrasi redoks.

Titrasi adalah suatu metode untuk menentukan kadar suatu zat dengan menggunakan zat lain
yang sudah diketahui konsentrasinya. Titrasi juga dikenal sebagai analisis volumetri, dimana
zat yang akan dianalisis dibiarkan bereaksi dengan zat lain yang konsentrasinya diketahui dan
dialirkan dari buret dalam bentuk larutan. Zat yang akan ditentukan kadarnya biasanya
diletakkan didalam erlemeyer, sedangkan zat yang tidak diketahui konsentrasinya biasanya
diletakkan di dalam buret atau sebaliknya. Titrasi dibedakan berdasarkan jenis reaksi yang
terlibat di dalam proses titrasinya. Titrasi dibedakan menjadi 4, yaitu: 1)titrasi asam basa;
2)titrasi redoks; 3 )titrasi kompleksometri; dan 4)titrasi pengendapan. Pada makalah ini
dikhususkan untuk membahas titrasi redoks. Titrasi redoks merupakan suatu metode analisa
yang didasarkan pada terjadinya reaksi oksidasi reduksi antara analit dengan titran. Analit yang
mengandung spesi redukstor dititrasi dengan titran yang berupa larutan standart dari oksidator
atau sebaliknya. Konsep reaksi redoks tersebut merupakan konsep reaksi reduksi oksidasin
berdasarkan peruahan bilangan oksidasinya.

2.1 Prinsip Titrasi Redoks

oksidasi adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi reduksi
adalah reaksi penangkapan elektron atau reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi.
Sedangkan reaksi oksidasi adalah pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan
oksidasi. Jadi, reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau
reaksi penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi. Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah
suatu penetapan kadar reduktor atau oksidator berdasarkan atas reaksi oksidasi dan
reduksiantara analit dengan titran, dimana redoktur akan teroksidasi dan oksidator akan
tereduksi. Analit yang mengandung spesi reduktor di titrasi dengan titran yang berupa larutan
standar dari oksidator atau sebaliknya.

Istilah okidasi mengacu pada setiap perubahan kimia di mana terjadi kenaikan bilangan
oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan biangan oksidasi. Jadi proses
oksidasi disertai dengn hilangnya electron sedangkan redulsi disertai dengan pertamahan
electron. Oksidator adalah senyawa di mna atom yang terkadung mengalamipenurunan
bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan
bilangan oksidasi.oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan
salingmengkompensasisatu sama lain.istilah oksidator dan reduksi tidak mengacu pada atom
saja akan tetapi juga pada suatu senyawa. Jika suatu reagen berperan baik sebagai oksidator
atau reduktor, maka dikatakan zat tersebut mengalami autooksidasi atau disporposionasi.
Titrasi redoks berdasarkan pada perpindahan elektron antara titran dan analit. Dalam titrasi
redoks biasanya digunakan potensiometeri untuk mendeteksi titik akhir, namun ada pula yang
mengunakan indikator yang dapat berubah warna nya dengan adanya kelebihan titran yang
digunakan Agar dapat digunakan sebagai dasar titrasi, maka reaksi redoks harus memenuhi
persyaratan umum sebagai berikut : 1.Harus tersedia pasangan sistem redoks yang sesuai
sehingga terjadi pertukaran elektron secara stokhiometri. 2.Reaksi redoks harus berjalan cukup
cepat dan berlangsung secara terukur (kesempurnaan 99%). 3.Harus tersedia cara penentuan
titik akhir yang sesuai. Beberapa titrasi redoks menggunakan warna titrant sebagai
indicator,contohnya penentuan oksalat dengan permanganate, atau penentuan alkohol dengan
kalium dikromat. Indikator titrasi redoks tentunya tergantung dari jenisnya masing-masing dan
pastinya berbeda-beda. Ada yang menggunakan amilum sebagai indicator, khususnya titrasi
redoks yang melibatkan iodine. Indikator yang lain yang bersifat reduktor/oksidator lemah
juga sering dipakai untuk titrasi redoks misalnya ferroin, metilen, blue, dan nitroferoin. Atau
ada juga yang tidak menggunakan indikator seperti permanganometri. Biasanya dua jenis
indicator digunakan untuk menentukan titik akhir. Indicator tersebut adalah indicator

eksternal maupun indicator eksternal. Indicator dari jenis ini harus menghasilkan perubahan
potensial oksidasi di sekitar titik ekuivalen reaksi redoks. Titik titrasi dalam titrasi redoks dapat
dilakukan dengan mebuat kurva titrasi antara potensial larutan dengan volume titrant, atau
dapat juga menggunakan indicator. Dengan memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka
titrasi redoks dengan indicator sering kali yang banyak dipilih. Beberapa titrasi redoks
menggunakan warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan oksalat dengan
permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat. Titrasi redoks banyak
dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat sebagai oksidator atau
reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya penentuan sulfite dalam minuman anggur
dengan menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan menggunakan kalium
dikromat.

Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat
sebagai oksidator atau reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya penentuan sulfite
dalam minuman anggur dengan menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan
menggunakan kalium dikromat.

2.2 Macam-Macam Titrasi Redoks


Terdapat beberapa macam titrasi redoks, macam-macamnya adalah sebagai berikut:

1. Permanganometri
2. Iodine
3. Bromo
4. Cerimetri

I PERMANGANOMETRI

Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium


permanganat (KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi
antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Kalium permanganate adalah oksidator kuat.
Reagen ini dapat diperoleh dengan mudah, tidak mahal, dan tidak membutuhkan indicator
terkecuali untuk larutan yang amat encer. Satu tetes 0,1 N permanganate memberikan warna
merah muda yang jelas pada volume dari larutan yang biasa dipergunakan dalam sebuah
titrasi. Warna ini digunakan untuk mengindikasi kelebihan reagen tersebut. Kelemahannya
adalah dalam medium HCL dapat teroksidasi, demikian juga larutannya, memiliki kestabilan
yang terbatas
Reaksi yang paling umum ditemukan dalam laboratorium adalah reaksi yang terjadi dalam
larutan-larutan yang bersifat asam, 0.1 N atau lebih besar:

MnO4(-) + 8 H (+) + 5 e Mn2+ + 4 H2O

(1) Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan reaksi ini,
namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk
mempercepat reaksi. Sebagai contoh, permanganat adalah agen unsur pengoksidasi yang
cukup kuat unuk mengoksidasi Mn(II) menjadi MnO
2
, titik akhir permanganate tidak permanen dan warnanya dapat hilang karena reaksi:

3 Mn(2+) + 2 MnO(4-) + 2 H2O 5 MnO2 (s) + 4 H(+)


Ungu Tidak berwarna

Reaksi ini berjalan lambat dalam keadaan asam, tapi cepat dalam keadaan netral. Kelebihan
sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan
terjadinya pengendapan sejumlah MnO2
Bagaimanapun juga, mengingat reaksinya berjalan lambat, MnO2 tidak diendapkan secara
normal pada titik akhir titrasi-titrasi permanganat. Larutan-larutan permanganat yang bersifat
asam tidak stabil karena asam permanganat terdekomposisi dan air teroksidasi dengan
persamaan:

4 MnO(4-) + 4 H(+) 5 MnO2 (s)+ 3 O2 (g) + 2 H2O

Ini adalah sebuah reaksi lambat di dalam larutan-larutan encer pada suhu ruangan.
Penguraiannya dikatalisis oleh cahaya panas asam-basa, ion Mn(II) dan MnO2. Namun
demikian, jangan pernah menambahkan permanganat berlebih ke dalam sebuah unsur reduksi
dan kemudian menaikkan suhu untuk mempercepat oksidasi, karena reaksi yang nantinya
muncul akan berlangsung dengan laju yang rendah.

Pembuatan larutan baku kalium permanganat harus dijaga faktor-faktor yang dapat
menyebabkan penurunan yang besar dari kekuatan larutan baku tersebut, antara lain dengan
pemanasan dan penyaringan untuk menghilangkan zat-zat yang mudah dioksidasi.

Standar-standar Primer untuk Permanganat

a.Natrium Oksalat Senyawa ini, Na2C2O4 merupakan standar primer yang baik untuk
permanganat dalam larutan asam. Senyawa ini dapat diperoleh dengan tingkat kemurnian
tinggi, stabil pada saat pengeringan, dan non higroskopis. Reaksinya dengan permanganat agak
sedikit rumit dan berjalan lambat pada suhu ruangan, sehingga larutan biasanya dipanaskan
sampai sekitar 60°C. Bahkan pada suhu yang lebih tinggi reaksinya mulai dengan lambat,
namun kecepatannya meningkat ketika ion mangan (II) terbentuk. Mangan (II) bertindak
sebagai katalis, dan reaksinya disebut autokatalitik, karena katalisnya diproduksi di dalam
reaksi itu sendiri. Ion tersebut dapat memberikan efek katalitiknya dengan cara bereaksi dengan
cepat dengan permanganat untuk membentuk mangan berkondisi oksidasi menengah (+3 atau
+4), di mana pada gilirannya secara cepat mengoksidasi ion oksalat, kembali ke kondisi
divalent.
Persamaan utnuk reaksi antara oksalat dan permanganat adalah :

5C2O4 (2-) + 2MnO(4-) + 16H(+) 2Mn(2+) + 10CO2 + 8H2O


Hal ini digunakan untuk analisis Fe (II), H2C2O4, Ca dan banyak senyawa lain. Selama
beberapa tahun analisis-analisis prosedur yang disarankan oleh McBride, yang mengharuskan
seluruh titrasi berlangsung perlahan pada suhu yang lebih tinggi dengan pengadukan yang
kuat. Kemudian, Fowler dan Bright melakukan suatu penelitian yang sangat mendalam
terhadap kesalahan- kesalahan yang mungkin di dalam titrasi. Mereka menemukan beberapa
bukti dari pembentukan peroksida

O2 + H2C2O4 H2O2 + 2 CO2

Dan bahwa apabila peroksida terurai sebelum bereaksi dengan permanganat, terlalu sedikit dari
larutan yang disebut terakhir digunakan dan normalitasnya yang ditemukan adalah tinggi.
Fowler dan Bright menyelidiki secara menyeluruh reaksinya dan menganjurkan agar hampir
semua permanganat ditambahkan secara cepat ke larutan yang diasamkan pada suhu ruangan.
Setelah reaksinya selesai, larutan tersebut dipanaskan sampai 60°C dan titrasi diselesaikan pada
suhu ini. Prosedur ini mengeliminasi kesalahan apa pun yang disebabkan oleh pembentukan
hidrogen peroksida.

b. Arsen (III) Oksida

Senyawa As2O3 adalah standar primer yang sangat baik untuk larutan-larutan permanganat.
Senyawa ini stabil, nonhigroskopis, dan tersedia dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Oksida
ini dilarutkan dalam natrium hidroksida dan larutan kemudian diasamkan dengan asam klorida
dan di titrasi dengan permanganat.

5HAsO2 + 2MnO(4-) + 6H(+) + 2H2O 2Mn(2+) + 5H3AsO4

(Asam yang di produksi dengan melarutkan AsO berprilaku sebagai sebuah asam lemah
monoprotik HAsO). Reaksi ini berjalan lambat pada suhu ruangan kecuali sebuah katalis di
tambahkan. Kalium iodida, KI, kalium iodidat, KIO3, dan iodin monoklorida ICl, telah
dipergunakan sebagai katalis.

c. Besi

Kawat besi dengan tingkat kemurnian yang tinggi dapat dijadikan sebagai standar
primer. Unsur ini larut dalam asam klorida encer, dan semua besi (III) yang diproduksi selama
proses pelarutan direduksi menjadi besi (II). Oksidasi dari ion klorida oleh permanganat
berjalan lambat pada suhu ruangan. Namun demikian, dengan kehadiran besi, oksidasi akan
berjalan lebih cepat. Meskipun besi (II) adalah agen pereduksi yang lebih kuat daripada ion
klorida, ion yang belakangan disebut ini teroksidasi secara bersamaan dengan besi. Kesulitan
semacam ini tidak ditemukan dalam oksidasi dari As2O3 ataupun Na2C2O4 dalam larutan
asam klorida.

Sebuah larutan dari mangan (II) sulfat, asam sulfat dan asam fosfat, disebut larutan
“pencegah”, atau larutan Zimmermann -Reinhardt, dapat ditambahkan ke dalam larutan asam
klorida dari besi sebelum dititrasi dengan permanganat. Asam fosfat menurunkan konsentrasi
dari ion besi (III)dengan membentuk sebuah kompleks, membantu memaksa reaksi berjalan
sampai selesai, dan juga menghilangkan warna kuning yang ditunjukkan oleh besi (III) dalam
media klorida. Kompleks fosfat ini tidak berwarna, dan titik akhirnya lebih jelas.

2. TITRASI IODIN (IODOMETRI DAN IODIMETRI)

Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi langsung
(iodimetri) dan titrasi tak langsung (iodomotri).

a. Titrasi langsung (iodimetri)

Iodimetri merupakan Metode Titrasi redoks yang melibatkan iodin yang bereaksi secara
langsung. Iodium merupakan oksidator yang relative kuat dengan nilai potensial reaksi sebesar
+0,535 V. Iodium akan mereduksi senyawa – senyawa yang memilki potensial reduksi lebih
kecil dibandingkan dengan iodium. Pada reaksi oksidasi, iodium akan mengalami reduksi
menjadi iodida sesuai dengan reaksi:

I2+ 2e 2I(-)

larutan baku iodium dapat digunakan untuk analisis kuantitatif senyawa- senyawa yang
mempunyai potensial oksidasi lebih kecil dari pada sistem iodium-iodida sebagaimana
persamaan di atas atau dengan kata lain digunakan untuk senyawa-senyawa yang bersifat
reduktor yang cukup kuat seperti vitamin C, tiosulfat, arsenit, sulfida, sulfit, Stibium(III),
timah(II), dan ferosianida. Daya mereduksi dari berbagai macam zat ini tergantung pada
konsentrasi ion hydrogen, dan hanya dengan penyesuaian pH dengan tepat yang dapat
menghasilkan reaksi dengan iodium secara kuantitatif.

Vitamin C mempunyai potensial reduksi yang lebih kecil daripada iodium sehingga dapat
dilakukan titrasi langsung dengan iodium. Reaksi yang terjadi:

OHO OOHHCOHH2HO+ I2 O OOHCOHH2CHO+ 2HIO

Gambar 1 Oksidasi asam askorbat (vitamin C )dengan iodium Menghasilkan asam dehidro
askorbat

b. Titrasi tak langsung (iodometri) Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan
untuk menetapkan senyawa- senyawa yang mempunyai potensial oksidasi lebih besar daripada
sistem iodium- iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator seperti CuSO4 5H2O.
Iodometri terjadi pada zat yang bersifat oksidator seperti besi (III), tembaga (II), dimana zat ini
akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin.

Metode titrasi iodometri (tak langsung) menggunakan larutan Na2S2O3 sebagai titran untuk
menentukan kadar iodium yang dibebaskan pada suatu reaksi redoks.Garam ini biasanya
berbentuk sabagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan
penimbangan secara langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar primer, larutan
natrium tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Tembaga murni dapat digunakan sebagi
standar primer untuk natrium tiosulfat.

Dalam iodometri I(-) dioksidasi oleh suatu oksidator. Jika oksidatornya kuat tidak apa – apa,
tetapi jika oksidatornya lemah maka oksidasinya berlangsung sangat lambat dan mungkin tidak
sempurna, ini harus dihindari. Cara menghindarinya :
- Memperbesar [H+], jika oksidasinya kuat dengan menambah H+ atau menurunkan pH.

- Memperbesar [I(-)], misalnya oksidasi dengan Fe3+

- Dengan mengeluarkan I2 yang berbentuk dari campuran reaksi : misalnya dikocok


dengan kloroform, karbon tetra klorida atau bisulfida, maka I2 akan masuk dalam pelarut
organik ini, sebab I2 lebih mudah larut dalam senyawa solven organic daripada dalam air.

Reaksi yang terjadi pada titrasi iodometri untuk penentuan iodat adalah sebagai berikut :

IO(3-) + 5I(-) + 6H(+) → 3I2 + H2O

I2 + 2S2O3 (2-) → 2I(-) + S4O6 (2-)

Adapun indikator yang digunakan dalam titrasi iodometri adalah indicator kanji, dimana warna
dari sebuah larutan iodin 0,1 N cukup intens sehingga iodine dapat bertindak sebagai indicator
bagi dirinya sendiri. Iodin juga memberikan warna ungu atau violet yang intens untuk zat

zat pelarut seperti karbon tetra klorida dan kloroform. Namun demikian, larutan dari kanji
lebih umum dipergunakan karena warna biru gelap dari kompleks iodin – kanji bertindak
sebagai suatu tes yang amat sensitif untuk iodin.

3. TITRASI BROMO (BROMOMETRI DAN BROMATOMETRI)

Bromo-bromatometri merupakan salah satu metode penetapam kadar suatu zat dengan
prinsip reaksi reduksi-oksidasi. Oksidasi adalah suatu proses yang mengakibatkan hilangnya
aatu elektron atau lebih dari dalam zat (atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur dioksidasi,
keadaan oksidasinya berubah ke harga yang lebih positif. Suatu zat pengoksidasi adalah zat
yang memperoleh elektron, dan dalam proses itu zat tersebut direduksi.

Reduksi adalah suatu proses yang mengakibatkan diperoleh satu elektron atau lebih oleh zat
(atom, ion atau molekul). Bila suatu unsur direduksi, keadaan oksidasi berubah menjadi lebih
negatif (kurang positif), jadi suatu zat pereduksi adalah zat yang kehilangan elektron, dalam
proses itu zat ini dioksidasi.

Bromatometri merupakan salah satu metode oksidimetri dengan dasar reaksi dari ion
bromat (BrO3). Oksidasi potensiometri yang relatif tinggi dari sistem ini menunjukkan bahwa
kalium bromat adalah oksidator kuat. Hanya saja kecepatan reaksinya tidak cukup tinggi.
Untuk menaikkan kecepatan ini titrasi dilakukan dalam keadaan panas dan dalam lingkungan
asam kuat. Adanya sedikit kelebihan kalium bromat dalam larutan akan menyebabkan ion
bromida bereaksi dengan ion bromat, dan bromin yang dibebaskan akan merubah larutan
menjadi warna kuning pucat, warna ini sangat lemah sehingga tidak mudah untuk menetapkan
titik akhir.

Bromin yang dibebaskan ini tidak stabil, karena mempunyai tekanan uap yang tinggi dan
mudah menguap, karena itu penetapan harus dilakukan pada suhu terendah mungkin, serta labu
yang dipakai untuk titrasi harus ditutup.
Metode bromometri dan bromatometri ini terutama digunakan untuk menetapkan senyawa-
senyawa organik aromatis dengan membentuk tribrom substitusi. Metode ini dapat juga
digunakan untuk menetapkan senyawa arsen dan stibium dalam bentuk trivalent walaupun
tercampur dengan stanum valensi empat. Dalam suasana asam, ion bromat mampu
mengoksidasi iodida menjadi iod, sementara dirinya direduksi menjadi brimida :

BrO(3-) + 6H(+) + 6I (-) Br(-) + 3I2 + 3H2O

Tidak mudah mengikuti serah terima elektron dalam hal ini, karena suatu reaksi asam basa
(penetralan H+ menjadi H2O) berimpit dengan tahap redoksnya. Namun nampak bahwa 6 ion
iodida kehilangan 6 elektron, yang pada gilirannya diambil oleh sebuah ion bromat tunggal.

yang dibebaskan akan merubah larutan menjadi warna kuning pucat, warna ini sangat lemah
sehingga tidak mudah untuk menetapkan titik akhir. Bromin yang dibebaskan ini tidak stabil,
karena mempunyai tekanan uap yang tinggi dan mudah menguap, karena itu penetapan harus
dilakukan pada suhu terendah mungkin, serta labu yang dipakai untuk titrasi harus ditutup.
Metode bromometri dan bromatometri ini terutama digunakan untuk menetapkan senyawa-
senyawa organik aromatis dengan membentuk tribrom substitusi. Metode ini dapat juga
digunakan untuk menetapkan senyawa arsen dan stibium dalam bentuk trivalent walaupun
tercampur dengan stanum valensi empat. Dalam suasana asam, ion bromat mampu
mengoksidasi iodida menjadi iod, sementara dirinya direduksi menjadi brimida : BrO
3-
+ 6H
+
+ 6I
+
Br
-
+ 3I
2
+ 3H
2
O Tidak mudah mengikuti serah terima elektron dalam hal ini, karena suatu reaksi asam basa
(penetralan H
+
menjadi H
2
O) berimpit dengan tahap redoksnya. Namun nampak bahwa 6 ion iodida kehilangan 6
elektron, yang pada gilirannya diambil oleh sebuah ion bromat tunggal.
4.

TITRASI SERIMETRI

Larutan serium(IV) sulfat dalam asam sulfat encer merupakan zat pengoksidasi yang kuat dan
lebih stabil daripada larutan kalium permanganat, dengan suatu syarat bahwa asam sulfat
cukup mampu menghindari hidrolisis dan pengendapan garam basanya. Kalau larutan kalium
permanganate dapat direduksi menjadi beberapa macam keadaan hasil reduksi, maka reduksi
larutan serium(III), menurut reaksi:
Ce(4+) + e- Ce(3+)

Ion Ce(IV) dipergunakan dalam larutan-larutan dengan keasaman tinggi karena hidrolisisa
akan menghasilkan pengendapan pada larutan-larutan dengan konsentrasi ion hydrogen yang
rendah.potensial redoks dari pasangan Ce(IV)/ Ce(III) tergantung pada sifat dan konsentrasi
dari asam yang ada.

Keuntungan serium (IV)sulfat sebagai suatu zat pengoksidasi standar adalah :

1. Larutan serium (IV)sulfat secara mencolok stabil selama dalam jangka waktu yang lama
.larutan ini tidak perlu dilindungi dari cahaya , dan bahkan dapat didihkan selama waktu yang
singkat tanpa perubahan yang berarti dalam konsentrasi .

2. Serium(IV)sulfat dapat digunakan dalam penetapan zat – zat pereduksi dengan adanya
konsentrasi HCl yang tunggi .

3. Larutan – larutan serium (IV)sulfat dalam larutan 0,1 N tidak terlalu berwarna untuk dapat
mengaburkan penglihatan ketika membaca miniskus dalam buret dan alat – alat titrimetri
lainnya.

4. Dalam reaksi garam serium (IV)sulfat dalam larutan asam dengan zat – zat pereduksi,
perubahan valensi yang terjadi adalah :

Ce(4+) + e(-) ↔ Ce(3+)

Dengan demikian maka dianggap bobot ekivalennya adalah 1 mol atau 1 Mr.

5. Ion serium (IV) tidak berwarna (dibandingkan ion Mn (II) yang btidak berwarna dari
KMnO4, dan ion serium (III) yang hijau dari kalium dikhromat).

6. Serium (IV)sulfat adalah zat pengoksid yang serba guna . ia dapat digunakan dalam banyak
titrasi yang sama permangganat telah digunakan ,dan juga untuk penetapan-penetapan lainnya.

7. Larutan serium (IV) sulfat paling baik distandarisasikan dengan arsen (III)oksida atau
natrium oksalat . Larutan serium(IV)sulfat dalam larutan asam sulfat encer adalah stabil,
bahkan pada temperature–temperature didih. larutan dalam HCl dari garam ini tidak stabil,
karena reduksi menjadi Ce (III) oleh asam tersebut dengna dibarengi pembebasan klor.

Reaksinya: 2Ce(4+) + 2Cl(-) ↔ 2Ce(3+) + Cl2

Reaksi ini berlangsung benar–benar cepat pada pendidihan, maka HCl tidak dapat digunakan
dalam oksidasi–oksidasi yang memerlukan pendidihan dengan serium(IV)sulfat berlebih dalam
larutan asam. Asam sulfat harus digunakan dalam oksidasi demikian .adanya asam fluoride
membentuk suatu kompleks stabil dengan serium (IV) sulfat dan menghilangkan warna dari
larutan yang kuning itu .

2.3 Preparasi dan Pembakuan Larutan

1. Titrasi permanganatometri
a. Preparasi larutan kalium permanganat.

Larutan Baku Kalium Permanganat dibuat dengan melarutkan sejumlah Kalium


Permanganat P dan melarutkannya dalam air secukupnya sesuai dengan normalitas yang
dikehendaki. Meskipun demikian, karena mengingat sifat dari Kalium Permanganat dan
kenyataan bahwa Kalium Permanganat sulit diperoleh dalam kemurnian yang tinggi maka
faktor- faktor di atas perlu diperhatikan. Caranya antara lain setelah dilarutkan didiamkan
selama 24 jam sehingga reaksi peruraiannya selesai kemudian disaring melalui asbes untuk
menghilangkan semua mangandioksida yang terjadi karena adanya mangan dioksida
merupakan katalisator terbentuknya mangan dioksida lebih lanjut serta cepat. Sangat
dianjurkan untuk seringkali membakukan larutan kalium permanganat.

b. Pembakuan kalium permanganate.

Cara membakukan Larutan Baku Kalium Permanganat adalah: Lebih kurang 200 mg
natrium oksalat yang ditimbang saksama yang sebelumnya dikeringkan pada suhu 110 (0) C
hingga bobot tetap, larutkan dalam 250 ml air. Tambahkan 7 ml asam sulfat pekat, panaskan
pada suhu kurang lebih 70 (0)C dan titrasi perlahan-lahan dengan Larutan Baku Kalium
Permanganat hingga terbentuk warna merah jambu mantap dalam waktu 15 detik. Suhu
pada akhir titrasi tidak boleh kurang dari 60(0)C. Tiap ml kalium permanganate setara
dengan 6,7 mg natrium oksalat. Natrium oksalat merupakan zat yang sangat baik untuk
pembakuan Kalium Permanganat karena dapat diperoleh dengan kemurnian yang sangat
tinggi. Penambahan asam sulfat bertujuan supaya konsentrasi ion hydrogen tetap selama
titrasi berlangsung untuk menghindari terbentuknya mangan dioksida. Untuk mereduksi 1
mol ion permanganate diperlukan 8 mol ion hydrogen sebagaimana reaksi di awal.

Pada pembakuan di atas rekasi paronya dapat ditulis sebagai berikut:

MnO4 + 8 H + 5 e Mn(2+) + 4 H2O

C2O4 (2-) 2 CO2 + 2 e(-)

Untuk memperoleh kesetimbangan maka reaksi pada permanganat dikalikan dua sedangkan
untuk oksalat dikalikan lima, sehingga reaksi oksidasi reduksinya adalah sebagai berikut:

2 MnO4 + 16 H(+) + 5 C2O4 (2-) 2 Mn (2+) + 8 H2O + 10 CO2

Dari persamaan di atas terlihat bahwa 5 mol natrium oksalat kehilangan 10 elektron pada
oksidasi dengan kalium permanganat dengan demikian berat ekivalen (BE) dari natrium
oksalat adalah separo berat molekulnya (BM/2) atau tiap 1000 ml kalium permanganat 1 N
setara dengan 134/2= 67,00 mg. Dengan demikian tiap ml kalium permanganat 0,1 N setara
dengan 6,7 mg natrium oksalat. Misalkan kita tadi menimbang natrium oksalat 200 mg dan
memerlukan volume titran sebanyak 28,36 ml larutan baku kalium permanganat maka
normalitas dari kalium permanganat adalah:

N (KMnO4) = mg Na2C2O4 x valensi


ml(KmnO4 x BM Na2C2O4
Pada reaksi pembakuan di atas valensinya adalah 2

N (KMnO4) = 200 x 2 = 0,1047 N


8,26 x 134

2. Titrasi Iodimetri dan Iodometri.

a. Preparasi larutan.

1. Preparasi larutan Iodium


Pembuatan larutan baku iodium 0,1 N dilakukan dengan cara: Larutkan 12,7 gram iodium
dalam 100 ml larutan air yang mengandung 36 gram kalium iodide dalam labu bertutup,
tambah 3 tetes asam klorida, tambahkan air hingga 100 ml. Iodium sukar larut dalam air
(0,035 gram/ liter) maka dilarutkan dalam larutan KI yang mana iodium mudah larut di
dalamnya dengan membentuk ion kompleks menurut reaksi:

I2 + I(-) I3(-)

Karena iodium mudah menyublim, maka wadah harus selalu tertutup selama titrasi
berlangsung dan ujung buret tidak boleh menggunakan karet.

2. Preparasi larutan tiosulfat.


Larutan baku tiosulfat 0,1 N dibuat dengan cara sebagai berikut: Larutkan kira-kira 25
gram natrium tiosulfat pentahidrat dan 200 mg natrium karbonat dalam air yang telah
didihkan sampai 1000 ml.

3. Pembakuan larutan Iodium.


Adapun cara pembakuannya dilakukan dengan cara sebagai berikut: Timbang kurang
lebih 150 mg arsen trioksid secara saksama dan larutkan dalam 20 ml NaOH 1 N bila
perlu dengan pemanasan, encerkan dengan 40 ml air dan tambah dengan 2 tetes metil
orange dan ikuti dengan penambahan HCl encer sampai warna kuning berubah menjadi
pink. Tambahkan 2 gram NaHCO3, 20 ml air dan 30 ml larutan kanji. Titrasi dengan
baku iodium perlahan-lahan hingga timbul warna biru tetap.

Arsen trioksid sukar larut dalam air akan tetapi mudah larut dalam larutan natrium
hidroksida (NaOH) dengan membentuk natrium arsenit menurut reaksi:

As2O3 + 6 NaOH 2 Na3AsO3 + 3 H2O

Jika iodium ditambahkan pada larutan alkali maka iodium akan bereaksi dengan NaOH
membentuk natrium hipoiodit atau senyawa- senyawa serupa yang mana tidak akan
bereaksi secara cepat dengan natrium arsenit.

2 NaOH + I2 NaIO + NaI + H2O


Kelebihan natrium hidroksida dinetralkan dengan HCl menggunakan metal orange
sebagai indicator. Penambahan NaHCO3
untuk menetralkan asam iodide (HI) yang terbentuk yang mana asam iodide ini
menyebabkan reaksi berjalan bolak- balik (reversibel). Natrium bikarbonat akan
menghilangkan asam iodide secepat asam iodide terbentuk sehingga reaksi berjalan ke
kanan secara semourna. Reaksi secara lengkap pada pembakuan iodium dengan trioksid
sebagai berikut:

As2O3 + 6 NaOH 2 Na3AsO3 + 3 H2O

Na3AsO3 + I2+ 2 NaHCO3 Na3AsO4 + 2 NaI + 2 CO2 + H2O

Pada reaksi di atas dapat diketahui bahwa valensinya adalah empat. Karena 1 mol As2O3
setara dengan 2 mol Na3AsO4, sedangkan 1 mol Na3AsO3 setara dengan 1 mol I2
akibatnya 1 mol As2O3 setara dengan 2 mol I2 sehingga perhitungan normalitasnya dari
iodium:

mgrek iodium = mgrek arsen trioksid

ml I2 x N I2 = mmol As2O3 x valensi

N I2 = mg As2O3 x valensi
BM As2O3 x ml I2

4. Pembakuan natrium tiosulfat Adapun cara pembakuannya dilakukan dengan cara


sebagai berikut: Timbang kurang lebih 150 mg kalium iodidat yang sudah dikeringkan
pada suhu 120 (0)C secara saksama, larutkan dalam 25 ml air yang telah dididihkan.
Tambahkan 2 gram kalium iodida yang bebas iodidat dan 5 ml HCl pekat dalam
Erlenmeyer bertutup. Iodium yang dibebaskan dititrasi dengan natrium tiosulfat yang
akan dibakukan sambil terus dikocok. Bila larutan menjadi kuning pucat tambah 100 ml
air dan 3 ml larutan kanji. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru tepat menjadi hilang
(tidak berwarna) Pada pembakuan di atas reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

KIO3 + 5KI + 6HCL 3I2 + 6KCl + 3 H2O

I2 + 2 Na2S2O3 2 NaI + Na2S4O6

Pada reaksi di atas valensinya adalah 6 karena 1 mol KIO3 setara dengan 3 mol I2,
sedangkan 1 mol I2 setara denga 2e, Sehingga 1 mol KIO3 setara dengan 6 e akibatnya
BE KIO3 sama dengan BM/6.

Perhitungan normalitas dari natrium tiosulfat:

mgrek natrium tiosulfat = mgrek kalium iodidat

ml Na2S2O3 x N Na2S2O3 = mmol As2O3 x valensi

N Na2S2O3 = mg KIO3 x valensi


BM KIO3 x ml Na2S22O3
3. Titrasi Bromometri dan Bromatometri

a. Preparasi larutan brom.


Cara pembuatan larutan brom 0,1 N adalah: Larutkan 3 gram kalium bromat dan 15
gram kalium bromide dalam air hingga
1000,0 ml.

b. Preparasi larutan kalium Bromat.


Cara pembuatan Kalium Bromat 0,1 N adalah: Larutkan 2,784 gram Kalium P dalam air
hingga 1000 ml. c.

Pembakuan larutan brom Adapun cara pembakuannya dalam Farmakope Indonesia Edisi
IV dilakukan dengan cara: Ukur secara saksama kurang lebih 25,0 ml larutan dan
masukkan dalam labu iodium 500 ml dan encerkan dengan 120 ml air. Tambahkan 5 ml
asam klorida pekat, tutup, kosok perlahan- laha. Kemudian tambahkan 5 ml kalium
iodida 20% (b/v), tutup kembali, kocok campuran selama 5 menit dan titrasi iodium
dengan larutan baku natrium tiosulfat 0,1 N, tambahkan 3 ml larutan kanji 0,5% pada saat
mendekati titik akhir dan hitung normalitasnya.

Ketika asam klorida pekat ditambahkan maka brom akan dibebaskan menurut reaksi:

KbrO3 + 5 KBr + 6 HCl 3 Br2 + 6 KCl + 3 H2O

brom yang dibebaskan ini kemudian mengoksidasi iodide yang setara dengan jumlah
iodium yang dihasilkan menurut reaksi:

Br2 + 2 KI I2 + 2 KBr

Iodium ini selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat menurut reaksi:

I2 + Na2S2O3 2 NaI + Na2S4O6

Adanya brom tidak langsung dititrasi dengan natrium tiosulfat dikarenakan perbedaan
potensialnya yang sangat besar akibatnya jika brom langsung dititrasi dengan tiosulfat
maka yang dihasilkan tidak hanya tetrationat (S4O6 (2-)) bahkan mugkin sulfida yang
berupa endapan kuning.

Normalitas larutan brom dihitung dengan cara sebagai berikut:

mgrek brom = mgrek Na-tiosulfat

4. Titrasi Serimetri.

a. Preparasi larutan Serium (IV) sulfat.

Pembuatan Larutan Baku Serium (IV) Sulfat dilakukan dengan cara: Pindahkan 59
gram serium ammonium nitrat pada beker, tambahkan 31 ml asam sulfat, campur
dengan hati-hati tambahkan 20 ml air sampai larut sempurna. Tutup beker dan
biarkan sampai satu malam, lalu saring melalui krus gelas dan encerkan dengan air
sampai 1000 ml.

b. Pembakuan larutan Serium (IV) sulfat Adapun cara pembakuan Larutan Baku
Serium (IV) Sulfat 0,1 N adalah dengan cara: Timbang saksama kurang lebih 200 mg
arsentrioksida yang sebelumnya dikeringkan pada suhu 100 (0)C selama satu jam,
masukkan labu. Cuci dinding labu dengan 25 ml NaOH (2 gram dalam 25 ml air),
goyang- goyangkan hingga arsen trioksida larut. Setelah larut semua tambah 100 ml
air, dan 10 ml asam sulfat (1 dalam 3). Tambahkan 2 tetes orto fenantrolin dan larutan
osmium tetraoksida (1 dalam 400 ml 0,1 N asam sulfat). Titrasi perlahan-lahan
dengan laruta baku serium (IV) sulfat sehingga warna merah jambu menjadi biru
pucat. Tiap ml larutan serium(IV) sulfat setara dengan 4,946 mg As2O3.

Pada pembakuan di atas reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

As2O3 + 6 OH (-) 2 AsO3 (3-)

2 Ce (4+) + AsO3 (3-) + 2 H2O 2 Ce (3+) + AsO4 (3-) + 2 H (+)

dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa valensinya adalah 4 sebab tiap mol
arsentrioksid setara dengan 2 mol arsenit dan 1 mol arsenit setara dengan 2 mol serium
(IV) sehingga satu mol arsen trioksid setara dengan 4 mol serium (IV) yang berarti setara
dengan 4 elektron.

N Ce (4+) = mg As2O3 X4
ml Ce (4+) + BM AS2O3

2.4 Contoh Analisa

Titrasi redoks sering digunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa yang bersifat
sebagai oksidator atau reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya penentuan kadar
laktat pada minuman berisotonik menggunakan permanganat, penentuan sulfite dalam
minuman anggur dengan menggunakan iodine, atau penentuan kadar alkohol dengan
menggunakan kalium dikromat. Penentuan besi dalam bijih-bijih besi. Penentuan besi
dalam bijih-bijih besi adalah aplikasi terpenting dari permanganometri. Mula-mula bijih
besi dilarutkan dalam asam klorida, lalu besi direduksi menjadi Fe2+. Setelah semua besi
berada sebagai Fe2+b,kadarnya ditentukan dengan cara titrasi

5Fe(2+) + MnO(4-) + 8H (+) 5Fe(3+) + Mn (2+) + 4H2O

Pada Hidrogen perioksida. Peroksida bertindak sebagai zat pereduksi

2MnO (4-) + 5H2O2 + 6H(+) 2Mn(2+) + 5O2(g) + 8H2O

Pada Kalsium (secara tak langsung). Mula-mula kalsium diendapkan sebagai CaC2O4.
Setelah penyaringan dan pencucian, endapan dilarutkan dalam asam sulfat dan oksalatnya
dititrasi dengan permanganat.
Salah satu aplikasi titrasi redoks khususnya iodometri dengan I2 sebagai titran
adalah untuk menentukan bilangan iod lemak dan miyak.Karena kemampampuan
mengoksidasi yang tidak besar, tidak banyak zat yang dapat dititrasi berdasarkan
iodometri langsung.Pengunaan ini memeanfaatkan kesangupan ikatan rangkap zat organic
untuk mengadisi iod. Penentuan kadar vitamin C (asam arkobat) pun dapat dialakukan
dengan titrasi ini.

Aplikasi lain dari titrasi redoks ini adalah penentuan kadar air cara Karl Fischer.
Pereaksinya tediri dari iod, belerang dioksida, piridin dan methanol. Iod dan belerang
dioksida membentuk kompleks dengan piridin, dan bila terdapat air, maka kedua
kompleks ini dengan kelebihan piridin beraksi dengan air.

a. Titrasi permanganometri.

Metode permanganometri ini digunakan untuk menentukan antimony (III), arsen


(III), bromine , hydrogen peroksida, besi (II), molybdenum (III), nitrit,oksalat, timah
(II), titanium (III), tungsten (III), uranium(IV), Vanadium(IV). b. Titrasi iodimetri
dan titrasi iodometri Metode iodimetri digunakan untuk menentukan Antimon (III),
Arsen (III), ferosianida, hydrogen sianida, hidrazin, beranng (sulfida), tiosulfat dan
timah (II). Sedangkan iodometri digunakan untuk menentukan arsenic (V),
bromine,bromat, klorin, klorat, tembaga (II), dikromat, hydrogen peroksida, iodat,
nitrit, oksigen, ozon, periodat, permanganate.

c. Titrasi bromometri dan titrasi bromatomatri.

Metode bromometri dan bromatometri ini terutama digunakan untuk


menetapkan senyawa-senyawa organik aromatis dengan membentuk tribrom
substitusi. Metode ini dapat juga digunakan untuk menetapkan senyawa arsen dan
stibium dalam bentuk trivalent walaupun tercampur dengan stanum valensi empat.

d. Titrasi serimetri.

Metode serimetri digunakan dalam penentuan besi, arsenic, antimon, oksalat-


oksalat, ferosianida , titanium, kromium, vanadium, molibdenium, uranium dan
oksida-oksida dari timbale dan mangan.

DAFTAR PUSTAKA

*Arsyad, N. M. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasannya. Jakarta: PT Gramedia

*Khopkar, S.M. 1989. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press.

*Mursyidi, Achmad dan Rohman. 2008. Pengantar Kimia Farmasi Analisis Volumetri
dan Gravimetri. Yogyakarta: UGM Press. Rivai, H.1995.
*Asas Pemeriksaan Kimia. Jakarta:Universitas Indonesia Press.

*Rohman,Abdul dan Gandjar, Ibnu Gholib.2007. Kimia Farmasi Analisis.Yogyakarta


: Pustaka Pulajar.

*Roth, J dan Blaschke.1988. Analisa Farmasi. Yogyakarta : UGM Press.

*Underwood, A.L dan Day.1993. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi V. Jakarta:


Erlangga.

*Wunas, J dan Said.1986. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif . Makassar: UNHAS


Pres

Titrasi Pengendapan

Titrasi-titrasi yang melibatkan reaksi pengendapan tidak berjumlah banyak dalam analisis
titrimetik seperti titrasi-titrasi lainnya seperti reaksi asam basa . Salah satu alasan terbatasnya
penggunaan reaksi semacam ini adalah kurangnya indikator yang cocok . Dalam beberapa
kasus terutama dalam titrasi larutan encer tingkat reaksinya terlalu lambat. Ketika mendekati
titik equivalen dan titran ditambah secara perlahan penjenuhan yang luar biasa tidak terjadi dan
tingkat pengendapan menjadi amat lambat.Kesulitan lainnya adalah komposisi dari endapan
pada umumnya tidak diketahui karena efek-efek pengendapan pengiring.

Titrasi Argentometri

Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawa-
senyawa lain yang membentuk senyawa-senyawa dengan perak nitrat (AgNO3) pada suasana
tertentu. Metode argentometri disebut juga dengan metode pengendapan karena pada
argentometri memerlukan pembentukan senyawa yang relatif tidak larut atau endapan. Reaksi
yang mendasari titrasi argentometri adalah :

AgNO3 + Cl- AgCl + NO3-

Sebagai indicator, dapat digunakan kalium kromat yang menghasilkan warna merah dengan
adanya kelebihan ion Ag+.
Metode argentometri yang lebih luas lagi digunakan adalah metode titrasi kembali. Perak nitrat
(AgNO3) berlebih ditambahkan ke sampel yang mengandung ion klorida atau bromida. Sisa
AgNO3 selanjutnya dititrasi kembali dengan ammonium tiosianat menggunakan indicator besi
(III) ammonium sulfat.

Salah satu jenis titrasi pengendapan adalah titrasi Argentometri. Argentometri merupakan
titrasi yang melibatkan reaksi antara ion halida (Cl–, Br–, I–) atau anion lainnya (CN–, CNS–)
dengan ion Ag+ (Argentum) dari perak nitrat (AgNO3) dan membentuk endapan perak halida
(AgX).

Sebenarnya metode pada titrasi argentometri itu ada bermacam-macam , tetapi kita bahas salah
satu metode saja .
METODE MOHR :

Prinsip :
AgNO3 akan bereaksi dengan NaCl membentuk endapan AgCl yang berwarna putih. Bila
semua Cl– sudah habis bereaksi dengan Ag+ dari AgNO3,, maka kelebihan sedikit Ag+ akan
bereaksi dengan CrO42- dari indikator K2CrO4 yang ditambahkan, ini berarti titik akhir titrasi
telah dicapai, yaitu bila terbentuk warna merah bata dari endapan Ag2CrO4.

Penggunaan metode Mohr sangat terbatas jika dibandingkan dengan metode Volhard dan
Fajans dimana dengan metode ini hanya dapat dipakai untuk menentukan konsentrasi ion Cl- ,
CN-, dan Br-.

Yang perlu diperhatikan dalam melakukan titrasi dengan metode Mohr adalah titrasi dilakukan
dengan kondisi larutan berada pada pH dengan kisaran 6,5-10 disebabkan ion kromat adalah
basa konjugasi dari asam kromat. Oleh sebab itu jika pH dibawah 6,5 maka ion kromat akan
terprotonasi sehingga asam kromat akan mendominasi di dalam larutan akibatnya dalam larutan
yang bersifat sagat asam konsentrasi ion kromat akan terlalu kecil untuk memungkinkan
terjadinya endapan Ag2CrO4 sehingga hal ini akan berakibat pada sulitnya pendeteksian titik
akhir titrasi. Pada pH diatas 10 maka endapan AgOH yang berwarna kecoklatan akan terbentuk
sehingga hal ini akan menghalangi pengamatan titik akhir titrasi. Analit yang bersifat asam
dapat ditambahkan kalsium karbonat agar pH nya berada pada kisaran pH tersbut atau dapat
juga dilakukan dengan menjenuhkan analit dengan menggunakan padatan natrium hydrogen
karbonat.

Disebabkan kelarutan AgCl dan Ag2CrO4 dipengaruhi oleh suhu maka semua titrasi dilakukan
pada temperature yang sama. Pengadukan/ pengocokan selama larutan standar ditambahkan
sangat diharuskan karena hal ini dapat mempermudah pengamatan pencapaian titik akhir titrasi
dan perak kromat yang terbentuk sebelum titik akhir titrasi dicapai dapat dipecah sehingga
terlarut kembali.

Titrasi kompleksometri

Titrasi kompleksometri atau kelatometri adalah suatu jenis titrasi dimana reaksi antara bahan
yang dianalisis dan titrat akan membentuk suatu kompleks senyawa.[1] Kompleks senyawa ini
dsebut kelat dan terjadi akibat titran dan titrat yang saling mengkompleks.[1] Kelat yang
terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua komonen yang membentuk ligan dan tergantung pada
titran serta titrat yang hendak diamati.[1] Kelat yang terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua
komponen yang membentuk ligan dan tergantung pada titran serta titrat yang hendak diamati.[2]
EDTA Sebagai Titran

Struktur 3-Dimensi EDTA.

Kelatometri dalam perkembangan analisis kimia sempat mengalami kemunduran karena


kelemahan-kelemahannya serta karena adanya cara-cara baru yang lebih baik.[3] Akan tetapi hal
ini diperbaiki dengan berkembangnya penelitian-penelitian tentang pengkelat polidentat.[3]
Perhatian baru terhadap kompleksiometri ini diawali oleh Schawazenbach tahun 1954, ia
menyadari bahwa potensi pengkelat dalam analisis volumetrik sangat baik.[butuh rujukan] Ahli
kimia asal Swiss in mengkhususkan perhatiannya pada penggunaan asam-asam
aminopolikarboksilat, salah satunya Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA).[3] Faktor-faktor
yang mempbuat EDTA ampuh sebagai pereaksi titrimetri antara lain: 1) Selalu membentuk
kompleks ketika direaksikan dengan ion logam [4], 2) Kestabilannya dalam membentuk kelat
sangat konstan sehingga reaksi berjalan sempurna (kecuali dengan logam alkali), 3) Dapat
bereaksi cepat dengan banyak jenis ion logam [2],4) telah dikembangkan indikatornya secara
khusus [2], 5) mudah diperoleh bahan baku primernya [2], dan 5) dapat digunakan baik sebagai
bahan yang dianalisis maupun sebagai bahan untuk standardisasi.[5] Faktor-faktor inilah yang
membuat syarat-syarat untuk titrasi telah terpenuhi dengan baik jika menggunakan EDTA.[2]
24

TITRASI POTENSIOMETRI

Titrasi Potensiometri adalah bagian dari volumetri, di mana ttik akhir titrasi ( TAT ) ditentukan
dari harga potensial sistem. Pada metode ini tidak memerlukan indikator, karena fungsi
indikator digantikan dengan alat yang secara otomatis mencatat nilai potensialnya,sehingga
TAT = TE

Mekanisme raksi pada titrasi potensiometri adalah REDOKS ; dengan zat yang ditentukan
kadarnya berupa oksidator sedangkan pentietr berupa reduktor atau sebaliknya.

Dasar Perhitungan :

Pada TE : Voks x Noks = Vred x Nred ......................................... (1)

Jika konsentrasi zat dalam molar ( M ) dan / atau perubahan bilangan oksidasi (BO)
oksidator
dan reduktor tidak sama ( banyaknya elektron yang ditangkap oleh oksidator tidak sama
dengan banyaknya elektron yang dilepas oleh reduktor ) maka rumus (1) dapat diganti
menjadi :

Voks x M oks x Perub. BOoks = Vred x M red x Perub. BOred .......... (2)

Catatan : Agar tidak tergantung pada koefisien reaksi, dan / atau perub. BO oksidator dan
reduktor
yang tidak sama maka dalam perhitungan sebaiknya masing-masing zat
dinyatakan
dalam molek ( = mL x N = mL x M x Perub BO )

Contoh : larutan garam senyawa fero ( Fe2+ ) dititrasi dengan larutan stani ( Sn4+ ) .Reaksi
yang
terjadi dalam titrasi tersebut adalah :

2 Fe2+ + Sn4+ → 2 Fe3+ + Sn2+ ……………………………………. (3 )

Hubungan antara potensial dengan kadar zat dihitung berdasarkan Hukum Nerst dengan
reaksi dasar yang dituliskan sbb :
Oks. + n e → Red ………………………………………………. ( 4 )

Dengan : Oks = bentuk oksidan ( oksidator ) ; ion dengn BO lebih besar


Red = bentuk reduktan ( reduktor ) ; ion denganBO lebih kecil
n = banyaknya elektron yang diikat
Contoh : Sn 4+ + 2 e → Sn2+

0,060 [Re d ]
Potensial sel dari sistem adalah : E = Eo - log Volt................. ( 5)
n [oks ]

Sehingga untuk sistem Sn , maka :


25

0,06 [ Sn 2+ ]
E = EoSn4+/Sn2+ - log Volt
2 [ Sn 2+ ]

7
Peralatan Titrasi Potensiometri.

1. Rotor pengaduk 4 5 6
2. pengaduk magnit
3. larutan sampel (dl. Beakerglas)
4. elektrode pengukur
5. elektrode pembanding 3
6. buret pentiter 2
7. potensiometer 1

Potensial sistem Selama Titrasi

Grafik titrasi potensiometri digambarkan antara potensial terhadap ml pentiter. Terdapat 4


(empat) daerah panentuan potensial sistem, yaitu :
1. sebelum penambahan pentiter ( hanya sistem zat yang dititrasi )
2. setelah penambahan pentiter, tapi sebelum TE ( tentukan dulu VTE dari rumus (1) atau
(2) !
3. saat TE
4. setelah kelebihan pentiter ( Vpentiter > VTE )

Contoh; titrasi Fe2+ dengan pentiter Sn4+. ( EoFe3+/Fe2+ = 0,80 V dan EoSn4+/Sn2+ = 0,14 V )

1.Sebelum penambahan pentiter


Pada saat ini sistem hanya mengandung larutan yang dititrasi; yaitu kesetimbangan berikut:
Fe3+ + e ↔ Fe2+ ; yang mempunyai potensial :
[Fe 2+ ]
E = EoFe3+/Fe2+ - 0,06 log .................. (6)
[Fe 3+ ]
Garam fero atau Fe(II) mudah teroksodasi oleh oksigen di udara menjadi Fe(III) . Misalnya
Fe(II) yang telah berubah menjadi Fe(III) adalah 0,10 % ( sisa Fe(II) = 99,90 % )

99,90
Dari pers. (6) maka : E = 0,80 – 0,06 log = 0,62 V
0,10

2. Setelah penambahan pentiter , sebelum TE .


Pada saat ini telah terjadi reaksi redoks antara Fe2+ dengan pentiter Sn4+ seperti pada
persamaan (3) Pentiter Sn4+ habis bereaksi, dan tersisa larutan yang dititrasi, Fe2+ , sehingga
potensial sistem pada saat ini tidak dapat dihitung dari sistem Sn tetapi dihitung dari sistem
Fe sisa.

3. Pada saat TE
Pada saat ini terjadi kesetimbangan reaksi seperti pada reaksi (3) , yaitu :

2 Fe2+ + Sn4+ ↔ 2 Fe3+ + Sn2+


Dari kesetimbangan tsb, maka :
26

[Fe2+] = 2 x [Sn4+] ........... (7) dan [Fe3+] = 2 x [ Sn2+] ...................... (8)

Karena pada saat tsb baik zat yang dititrasi maupun pentiter tidak habis sama sekali,
potensial sistem dapat dihitung dari sistem Fe dengan rumusan sbb :

[ Fe 2+ ]
Fe /Fe –
o 3+ 2+
ETE = E 0,06 log ...........................................(9)
[ Fe 3+ ]
Atau dari sistem Sn dengan rumusan :

0,06 [ Sn 2+ ]
ETE = EoSn4+/Sn2+ - log ................................................ (10)
2 [ Sn 4+ ]
Apabila pers (10) diduakalikan, lalu dijumlahkan dengan pers. (9) akan diperoleh pers.

[ Fe 2+ ] 0,06 [ Sn 2+ ]
3 ETE = { EoFe – 0,06 log } + 2 { Eo
Sn - log }
[ Fe 3+ ] 2 [ Sn 4+ ]

[ Fe 2+ ] [ Sn 2 + ]
= EoFe – 0,06 log + 2 E Sn – 0,06 log
o
[ Fe 3+ ] [ Sn 4 + ]

[ Fe 2+ ] [ Sn 2 + ]
= EoFe + 2 EoSn – 0,06 { log + log }
[ Fe 3+ ] [ Sn 4 + ]

[ Fe 2+ ][ Sn 2+ ]
= EoFe + 2 EoSn - 0,06 log .................................(11)
[ Fe3+ ][ Sn 4+ ]

Jika pers (7) atau (8) dimasukkan ke dalam pers. (11) akan diperoleh

2[ Sn 4+ ][ Sn 2+ ]
3 ETE = EoFe + 2 EoSn - 0,06 log
2[ Sn 2+ ][ Sn 4+ ]
= EoFe + 2 EoSn
E o Fe + 2 E o Sn
Sehingga: ETE = ...................................................... (12)
3

Catatan : EoFe dan EoSn adalah potensial REDUKSI – masing-masing.

Secara Umum Potensial Sistem pada saat TE dirumuskan sbb :

noks. E o oks. + n.E o red


ETE = ............................... (13)
noks + nred
Dengan : n = banyaknya e ( = perub. BO) masing-masing reaksi

4.Setelah TE

Setelah TE dicapai dan penambahan pentiter dilanjutkan, terjadi kelebihan pentiter. Pada saat
ini semua zat yang dititrasi habis bereaksi, sehingga dalam campuran hanya terdapat sistem
27

pentiter (yang berlebih), maka potensialnya dihitung dari sistem pentiter, dengan persamaan
reaksi
reduksnya sbb : Sn4+ + 2 e → Sn2+ sehingga harga potensialnya adalah :

E = EoSn4+/Sn2+ - ............................................................ (14)

Contoh soal 1.
Dilakukan titrasi 50 mL 0,1 M larutan FeCl3 dengan 0,1 M garam stano sulfat SnSO4.Hitunglah
potensial sistem pada saat penambahan 10, 20, 24, 25, dan 30 mL pentiter dan gambarkan
grafik antara potensial dg vol. Pentiter ( Harga Eo masing-masing seperti di atas )

Jawab
Tentukan lebih dahulu reaksi yang terjadi dan VTE-nya
Reaksi : 2 Fe3+ + Sn2+ → 2 Fe2+ + Sn4+ ..................................................... (15)
Dari rumus (2) maka volume pentiter pada saat TE = V TE = VSn2+ dapat dihitung sbb :

(V .M .1) Fe 50 x0,1x1
VTE = = = 25 mL
( M .2) Sn 0,1x2

dari reaksi (15) , banyaknya Fe3+ semula = 50 mL x 0,1 M x 1 = 5 mmolek

1.Penambahan pentiter 10 mL
Banyaknya Sn2+ yang ditambahkan = 10 mL x 0,1 M x 2 = 2 mmolek , sehingga banyaknya
Fe3+ yang bereaksi = Fe2+ yang terbentuk = 2 mmolek dan Fe3+ sisa = 5 – 2 = 3 mmolek
Potensail sistem :
E = EoFe - 0,06 log [Fe2+] / [Fe3+] = 0,80 - 0,06 log 2/3 = 0,81 V

2. Penambahan pentiter 20 mL ( masih belum TE )


Dengan cara hitungan seperti pada bag. 1 di atas, maka :
[Fe2+] yang terjadi = [ Sn2+] yang ditambahkan = 20 x 0,1 x 2 = 4 mmolek
[Fe3+] sisa = 5 – 4 = 1 mmolek
E = 0,80 – 0,06 log 4/1 = 0,76 V

3. Penambahan pentiter 24 mL
Dengan cara sama ( coba hitung ! ) ; E = 0,80 – 0,06 log (4,8) / (0,2) = 0,72 V

4.Penambahan pentiter 25 mL ( saat TE )

Dar rumus (13) : E TE = 1/3 ( EoFe + 2 EoSn ) = 1/3 ( 0,80 + 2 x 0,14 ) = 0,36 V

5.Penambahan pentiter 30 mL ( telah melewati TE )


[Sn2+] belebih = ( 30 mL x 0,1 M x 2 ) – ( 25 mL x 0,1 m x 2 ) = 1 mmolek
[ Sn4+] yang terbentuk = [Fe3+] yang bereaksi = 50 ml x 0,1 M x 1 = 5 mmolek

E sistem = EoSn – ( 0,06 / 2 ) log [Sn2+] / [Sn4+] = 0,14 – 0,03 log 1/5 = 0,16 V

Tugas ! : lanjutkan dengan pembuatan grafiknya.

Penentuan Titik Akhir Titrasi

1.Menggunakan indikator
28

Seperti telah disampaikan di awal, dengan perkembangan instrumentasi , kini metode titrasi
potensiometri tidak lagi menggunakan indikator.

Indikator ( yang pernah digunakan ) pada titrasi potensiometri disebut indikator redoks, karena
perubahan warnanya terjadi pada potensial tertentu. Beberapa contoh indikator redoks
adalah:

INDIKATOR WARNA REDUKTAN WARNA POTENSIAL


OKSIDAN PERUBAHAN
WARNA ( V )
1. Biru metilen Tak berwarna Biru 0,53
2. Difenilamin Tak berwarna Ungu 0,76
3. Difenil benzidin Tak berwarna Ungu 0,76
4.Asam sulfanilamin Tak berwarna Merah-ungu 0,85
sulfonat
5. Feroin Merah Biru muda 1,11

Seperti halnya indikator asam-basa , pemilihan indikator redoks berdasarkan perubahan


warnanya pada potensial yang sedekat mungkin dengan potensial sistem pada TE

2. Melalui Grafik Titrasi

Terdapat tiga macam grafik pada titrasi potensiometri, yaitu :

(1) Grafik antara potensil sistem ( E ) terhadap volume pentiter ( V )


Pada grafik ini TE terletak di daerah di mana penambahan sedikit (V) volume pentiter
menyebabkan perubahan potensial (E) yang besar. ( lihat contoh soal ; yaitu di garis
grafik yang terjal .( gbr. a ). TE pada grafik (1) ini kurang eksak, karena tidak dapat
ditentukan dengan pasti letak titiknya. Oleh karena dianjurkan untuk menggunakan
grafik kedua

(2) Grafik antara ΔE / ΔV terhadap V

Grafik kedua ini disebut turunan pertama dari grafik (1) . Untuk memudahkan
perhitungan perlu secara manual mentabelkan harga-harga E dan V . TE pada grafik ini
diperoleh ( merupakan ) puncak dari grafik. Jika kedua garis sisi grafik diperpanjang ke
atas (gbr.b).

(3) Grafik antara Δ2E / ΔV2 terhadap V


Karena puncak grafik tipe (2) tidak diperoleh dari grafik sesungguhnya, maka dianjurkan
untuk memnggunakan grafik tipe (3) berikut. Pada grafik ini TE dapat diperoleh dengan
eksak karena merupakan titik potong antara grafik dengan garis mendatar (horisontal )
yang ditarik dari ordinat ( sumbu y = Δ2E / ΔV2 ) yang bernilai nol (lihat gbr c )
29

Grafik Titrasi potensiometri

(a) V ( mL pentiter )
∆E/∆V

(b) V ( mL pentiter )
∆E2/∆V2

(c) V ( mL pentiter )

Contoh soal 2.

Diberikan data hasil titrasi potensiometri dari lima titik penambahan pentiter yaitu : 12,60;
12,80; 13,0; 13,20 dan 13,40 mL . potensial yang terukur dari masing-masing penambahan
pentiter tersebut adalah : 230 ; 240 ; 425 ; 445 dan 455 V .

a) buatlah tabel yang berisi: V, E, ΔE / ΔV dan Δ2V / ΔV2


b) hitunglah volume pada TE

Jawab
a) Tabel titrasi
mL titran (V) Potensial (E , mV) ΔE / ΔV Δ2E / ΔV2

12,60 230
50
12,80 240 4375
925
13,0 425 - 4125
100
13,20 445 - 250
50
13,40 455

Pada kolom I ( mL titran ) selisih setiap penambahan adalah 0,20 mL , jadi ΔV = 0,20 mL.
Pada kolom II ( E ) dihitung lebih dulu selisi dari setiap dua harga pengukuran yang
30

berdekatan. Sehingga harga masing-masing selisih potensial ( = ΔE ) berturut-turut


adalah : (240 – 230 ) ;
( 425 – 240 ) ; (445 – 425 ) dan ( 455 – 445) yaitu : 10; 185 ; 20 dan 10. sehinga harga
ΔE/ΔV
masing-masing adalah : 10/0,2 ( = 50 ) .. dst. Untuk mengisi kolom Δ2E / ΔV2 perlu dihitung
Δ2E yaitu selisih tingkat kedua dari E yang merupakan selisih dari hasil selisih E , sehingga
masing-masing bernilai : ( 185 – 10 ) ; ( 20 – 185 ) dan ( 10 – 20 ). Maisng-masing hasil
pengurangan tersebut dibgi dengan ( ΔV)2 atau (0,2)2 = 0,04 sehingga nilainya adalah
( 175/0,04) ; (- 165/0,04 ) dan ( - 10/0,04 ) yaitu : 4375 ; - 4125 an – 250

b.Volume titran pada TE berada di antara dua harga E yang perbedaannya terbesar ( pada
soal, kolom E antara 240 dan 425 mV atau volumenya antara 12,80 dan 13,0 mL.
Dari kolom Δ2E / ΔV2 volume pentiter pada TE berada di antara titik dengan nilai E terbesar
dan E terkecil , yaitu 4375 dan – 4125. Panjang garis antara dua titik ini adalah :
4375 – ( - 4125 ) satuan = 8500 satuan ; sehingga volume titran pada TE adalah :
4375
VTE = 12,80 + 0,2 x = 12,8 + 0,103 = 12,903 mL
8500

Soal latihan

Diperoleh data dari titrasi potensiometri sbb :

mL Titran (V) E(mV) ΔE / ΔV Δ2E / ΔV2


29,90 240
30,0 250
30,10 266
30,20 526
30,30 666
30,40 740
30,50 750

1. Lengkapilah tabel tsb


2. Buatlah grafik titrasinya (tiga tipe ) . Ketiganya dalam satu lembar kertas grafik
3. Hitunglah volume pentiter pada TE secara perhitungan dan bandingkan dengan cara
grafik
31

TITRASI POTENSIOMETRI

Titrasi Potensiometri adalah bagian dari volumetri, di mana ttik akhir titrasi ( TAT ) ditentukan
dari harga potensial sistem. Pada metode ini tidak memerlukan indikator, karena fungsi
indikator digantikan dengan alat yang secara otomatis mencatat nilai potensialnya,sehingga
TAT = TE

Mekanisme raksi pada titrasi potensiometri adalah REDOKS ; dengan zat yang ditentukan
kadarnya berupa oksidator sedangkan pentietr berupa reduktor atau sebaliknya.

Dasar Perhitungan :

Pada TE : Voks x Noks = Vred x Nred ......................................... (1)

Jika konsentrasi zat dalam molar ( M ) dan / atau perubahan bilangan oksidasi (BO)
oksidator
dan reduktor tidak sama ( banyaknya elektron yang ditangkap oleh oksidator tidak sama
dengan banyaknya elektron yang dilepas oleh reduktor ) maka rumus (1) dapat diganti
menjadi :

Voks x M oks x Perub. BOoks = Vred x M red x Perub. BOred .......... (2)

Catatan : Agar tidak tergantung pada koefisien reaksi, dan / atau perub. BO oksidator dan
reduktor
yang tidak sama maka dalam perhitungan sebaiknya masing-masing zat
dinyatakan
dalam molek ( = mL x N = mL x M x Perub BO )

Contoh : larutan garam senyawa fero ( Fe2+ ) dititrasi dengan larutan stani ( Sn4+ ) .Reaksi
yang
terjadi dalam titrasi tersebut adalah :

2 Fe2+ + Sn4+ → 2 Fe3+ + Sn2+ ……………………………………. (3 )

Hubungan antara potensial dengan kadar zat dihitung berdasarkan Hukum Nerst dengan
reaksi dasar yang dituliskan sbb :
Oks. + n e → Red ………………………………………………. ( 4 )

Dengan : Oks = bentuk oksidan ( oksidator ) ; ion dengn BO lebih besar


Red = bentuk reduktan ( reduktor ) ; ion denganBO lebih kecil
n = banyaknya elektron yang diikat
Contoh : Sn 4+ + 2 e → Sn2+

0,060 [Re d ]
Potensial sel dari sistem adalah : E = Eo - log Volt................. ( 5)
n [oks ]

Sehingga untuk sistem Sn , maka :


32

0,06 [ Sn 2+ ]
E = EoSn4+/Sn2+ - log Volt
2 [ Sn 2+ ]

7
Peralatan Titrasi Potensiometri.

8. Rotor pengaduk 4 5 6
9. pengaduk magnit
10. larutan sampel (dl. Beakerglas)
11. elektrode pengukur
12. elektrode pembanding 3
13. buret pentiter 2
14. potensiometer 1

Potensial sistem Selama Titrasi

Grafik titrasi potensiometri digambarkan antara potensial terhadap ml pentiter. Terdapat 4


(empat) daerah panentuan potensial sistem, yaitu :
5. sebelum penambahan pentiter ( hanya sistem zat yang dititrasi )
6. setelah penambahan pentiter, tapi sebelum TE ( tentukan dulu VTE dari rumus (1) atau
(2) !
7. saat TE
8. setelah kelebihan pentiter ( Vpentiter > VTE )

Contoh; titrasi Fe2+ dengan pentiter Sn4+. ( EoFe3+/Fe2+ = 0,80 V dan EoSn4+/Sn2+ = 0,14 V )

1.Sebelum penambahan pentiter


Pada saat ini sistem hanya mengandung larutan yang dititrasi; yaitu kesetimbangan berikut:
Fe3+ + e ↔ Fe2+ ; yang mempunyai potensial :
[Fe 2+ ]
E = EoFe3+/Fe2+ - 0,06 log .................. (6)
[Fe 3+ ]
Garam fero atau Fe(II) mudah teroksodasi oleh oksigen di udara menjadi Fe(III) . Misalnya
Fe(II) yang telah berubah menjadi Fe(III) adalah 0,10 % ( sisa Fe(II) = 99,90 % )

99,90
Dari pers. (6) maka : E = 0,80 – 0,06 log = 0,62 V
0,10

2. Setelah penambahan pentiter , sebelum TE .


Pada saat ini telah terjadi reaksi redoks antara Fe2+ dengan pentiter Sn4+ seperti pada
persamaan (3) Pentiter Sn4+ habis bereaksi, dan tersisa larutan yang dititrasi, Fe2+ , sehingga
potensial sistem pada saat ini tidak dapat dihitung dari sistem Sn tetapi dihitung dari sistem
Fe sisa.

3. Pada saat TE
Pada saat ini terjadi kesetimbangan reaksi seperti pada reaksi (3) , yaitu :

2 Fe2+ + Sn4+ ↔ 2 Fe3+ + Sn2+


Dari kesetimbangan tsb, maka :
33

[Fe2+] = 2 x [Sn4+] ........... (7) dan [Fe3+] = 2 x [ Sn2+] ...................... (8)

Karena pada saat tsb baik zat yang dititrasi maupun pentiter tidak habis sama sekali,
potensial sistem dapat dihitung dari sistem Fe dengan rumusan sbb :

[ Fe 2+ ]
Fe /Fe –
o 3+ 2+
ETE = E 0,06 log ...........................................(9)
[ Fe 3+ ]
Atau dari sistem Sn dengan rumusan :

0,06 [ Sn 2+ ]
ETE = EoSn4+/Sn2+ - log ................................................ (10)
2 [ Sn 4+ ]
Apabila pers (10) diduakalikan, lalu dijumlahkan dengan pers. (9) akan diperoleh pers.

[ Fe 2+ ] 0,06 [ Sn 2+ ]
3 ETE = { EoFe – 0,06 log } + 2 { Eo
Sn - log }
[ Fe 3+ ] 2 [ Sn 4+ ]

[ Fe 2+ ] [ Sn 2 + ]
= EoFe – 0,06 log + 2 E Sn – 0,06 log
o
[ Fe 3+ ] [ Sn 4 + ]

[ Fe 2+ ] [ Sn 2 + ]
= EoFe + 2 EoSn – 0,06 { log + log }
[ Fe 3+ ] [ Sn 4 + ]

[ Fe 2+ ][ Sn 2+ ]
= EoFe + 2 EoSn - 0,06 log .................................(11)
[ Fe3+ ][ Sn 4+ ]

Jika pers (7) atau (8) dimasukkan ke dalam pers. (11) akan diperoleh

2[ Sn 4+ ][ Sn 2+ ]
3 ETE = EoFe + 2 EoSn - 0,06 log
2[ Sn 2+ ][ Sn 4+ ]
= EoFe + 2 EoSn
E o Fe + 2 E o Sn
Sehingga: ETE = ...................................................... (12)
3

Catatan : EoFe dan EoSn adalah potensial REDUKSI – masing-masing.

Secara Umum Potensial Sistem pada saat TE dirumuskan sbb :

noks. E o oks. + n.E o red


ETE = ............................... (13)
noks + nred
Dengan : n = banyaknya e ( = perub. BO) masing-masing reaksi

4.Setelah TE

Setelah TE dicapai dan penambahan pentiter dilanjutkan, terjadi kelebihan pentiter. Pada saat
ini semua zat yang dititrasi habis bereaksi, sehingga dalam campuran hanya terdapat sistem
34

pentiter (yang berlebih), maka potensialnya dihitung dari sistem pentiter, dengan persamaan
reaksi
reduksnya sbb : Sn4+ + 2 e → Sn2+ sehingga harga potensialnya adalah :

E = EoSn4+/Sn2+ - ............................................................ (14)

Contoh soal 1.
Dilakukan titrasi 50 mL 0,1 M larutan FeCl3 dengan 0,1 M garam stano sulfat SnSO4.Hitunglah
potensial sistem pada saat penambahan 10, 20, 24, 25, dan 30 mL pentiter dan gambarkan
grafik antara potensial dg vol. Pentiter ( Harga Eo masing-masing seperti di atas )

Jawab
Tentukan lebih dahulu reaksi yang terjadi dan VTE-nya
Reaksi : 2 Fe3+ + Sn2+ → 2 Fe2+ + Sn4+ ..................................................... (15)
Dari rumus (2) maka volume pentiter pada saat TE = V TE = VSn2+ dapat dihitung sbb :

(V .M .1) Fe 50 x0,1x1
VTE = = = 25 mL
( M .2) Sn 0,1x2

dari reaksi (15) , banyaknya Fe3+ semula = 50 mL x 0,1 M x 1 = 5 mmolek

1.Penambahan pentiter 10 mL
Banyaknya Sn2+ yang ditambahkan = 10 mL x 0,1 M x 2 = 2 mmolek , sehingga banyaknya
Fe3+ yang bereaksi = Fe2+ yang terbentuk = 2 mmolek dan Fe3+ sisa = 5 – 2 = 3 mmolek
Potensail sistem :
E = EoFe - 0,06 log [Fe2+] / [Fe3+] = 0,80 - 0,06 log 2/3 = 0,81 V

2. Penambahan pentiter 20 mL ( masih belum TE )


Dengan cara hitungan seperti pada bag. 1 di atas, maka :
[Fe2+] yang terjadi = [ Sn2+] yang ditambahkan = 20 x 0,1 x 2 = 4 mmolek
[Fe3+] sisa = 5 – 4 = 1 mmolek
E = 0,80 – 0,06 log 4/1 = 0,76 V

3. Penambahan pentiter 24 mL
Dengan cara sama ( coba hitung ! ) ; E = 0,80 – 0,06 log (4,8) / (0,2) = 0,72 V

4.Penambahan pentiter 25 mL ( saat TE )

Dar rumus (13) : E TE = 1/3 ( EoFe + 2 EoSn ) = 1/3 ( 0,80 + 2 x 0,14 ) = 0,36 V

5.Penambahan pentiter 30 mL ( telah melewati TE )


[Sn2+] belebih = ( 30 mL x 0,1 M x 2 ) – ( 25 mL x 0,1 m x 2 ) = 1 mmolek
[ Sn4+] yang terbentuk = [Fe3+] yang bereaksi = 50 ml x 0,1 M x 1 = 5 mmolek

E sistem = EoSn – ( 0,06 / 2 ) log [Sn2+] / [Sn4+] = 0,14 – 0,03 log 1/5 = 0,16 V

Tugas ! : lanjutkan dengan pembuatan grafiknya.

Penentuan Titik Akhir Titrasi

1.Menggunakan indikator
35

Seperti telah disampaikan di awal, dengan perkembangan instrumentasi , kini metode titrasi
potensiometri tidak lagi menggunakan indikator.

Indikator ( yang pernah digunakan ) pada titrasi potensiometri disebut indikator redoks, karena
perubahan warnanya terjadi pada potensial tertentu. Beberapa contoh indikator redoks
adalah:

INDIKATOR WARNA REDUKTAN WARNA POTENSIAL


OKSIDAN PERUBAHAN
WARNA ( V )
1. Biru metilen Tak berwarna Biru 0,53
2. Difenilamin Tak berwarna Ungu 0,76
3. Difenil benzidin Tak berwarna Ungu 0,76
4.Asam sulfanilamin Tak berwarna Merah-ungu 0,85
sulfonat
5. Feroin Merah Biru muda 1,11

Seperti halnya indikator asam-basa , pemilihan indikator redoks berdasarkan perubahan


warnanya pada potensial yang sedekat mungkin dengan potensial sistem pada TE

2. Melalui Grafik Titrasi

Terdapat tiga macam grafik pada titrasi potensiometri, yaitu :

(4) Grafik antara potensil sistem ( E ) terhadap volume pentiter ( V )


Pada grafik ini TE terletak di daerah di mana penambahan sedikit (V) volume pentiter
menyebabkan perubahan potensial (E) yang besar. ( lihat contoh soal ; yaitu di garis
grafik yang terjal .( gbr. a ). TE pada grafik (1) ini kurang eksak, karena tidak dapat
ditentukan dengan pasti letak titiknya. Oleh karena dianjurkan untuk menggunakan
grafik kedua

(5) Grafik antara ΔE / ΔV terhadap V

Grafik kedua ini disebut turunan pertama dari grafik (1) . Untuk memudahkan
perhitungan perlu secara manual mentabelkan harga-harga E dan V . TE pada grafik ini
diperoleh ( merupakan ) puncak dari grafik. Jika kedua garis sisi grafik diperpanjang ke
atas (gbr.b).

(6) Grafik antara Δ2E / ΔV2 terhadap V


Karena puncak grafik tipe (2) tidak diperoleh dari grafik sesungguhnya, maka dianjurkan
untuk memnggunakan grafik tipe (3) berikut. Pada grafik ini TE dapat diperoleh dengan
eksak karena merupakan titik potong antara grafik dengan garis mendatar (horisontal )
yang ditarik dari ordinat ( sumbu y = Δ2E / ΔV2 ) yang bernilai nol (lihat gbr c )
36

Grafik Titrasi potensiometri

(a) V ( mL pentiter )
∆E/∆V

(b) V ( mL pentiter )
∆E2/∆V2

(c) V ( mL pentiter )

Contoh soal 2.

Diberikan data hasil titrasi potensiometri dari lima titik penambahan pentiter yaitu : 12,60;
12,80; 13,0; 13,20 dan 13,40 mL . potensial yang terukur dari masing-masing penambahan
pentiter tersebut adalah : 230 ; 240 ; 425 ; 445 dan 455 V .

a) buatlah tabel yang berisi: V, E, ΔE / ΔV dan Δ2V / ΔV2


b) hitunglah volume pada TE

Jawab
b) Tabel titrasi
mL titran (V) Potensial (E , mV) ΔE / ΔV Δ2E / ΔV2

12,60 230
50
12,80 240 4375
925
13,0 425 - 4125
100
13,20 445 - 250
50
13,40 455

Pada kolom I ( mL titran ) selisih setiap penambahan adalah 0,20 mL , jadi ΔV = 0,20 mL.
Pada kolom II ( E ) dihitung lebih dulu selisi dari setiap dua harga pengukuran yang
37

berdekatan. Sehingga harga masing-masing selisih potensial ( = ΔE ) berturut-turut


adalah : (240 – 230 ) ;
( 425 – 240 ) ; (445 – 425 ) dan ( 455 – 445) yaitu : 10; 185 ; 20 dan 10. sehinga harga
ΔE/ΔV
masing-masing adalah : 10/0,2 ( = 50 ) .. dst. Untuk mengisi kolom Δ2E / ΔV2 perlu dihitung
Δ2E yaitu selisih tingkat kedua dari E yang merupakan selisih dari hasil selisih E , sehingga
masing-masing bernilai : ( 185 – 10 ) ; ( 20 – 185 ) dan ( 10 – 20 ). Maisng-masing hasil
pengurangan tersebut dibgi dengan ( ΔV)2 atau (0,2)2 = 0,04 sehingga nilainya adalah
( 175/0,04) ; (- 165/0,04 ) dan ( - 10/0,04 ) yaitu : 4375 ; - 4125 an – 250

b.Volume titran pada TE berada di antara dua harga E yang perbedaannya terbesar ( pada
soal, kolom E antara 240 dan 425 mV atau volumenya antara 12,80 dan 13,0 mL.
Dari kolom Δ2E / ΔV2 volume pentiter pada TE berada di antara titik dengan nilai E terbesar
dan E terkecil , yaitu 4375 dan – 4125. Panjang garis antara dua titik ini adalah :
4375 – ( - 4125 ) satuan = 8500 satuan ; sehingga volume titran pada TE adalah :
4375
VTE = 12,80 + 0,2 x = 12,8 + 0,103 = 12,903 mL
8500

Soal latihan

Diperoleh data dari titrasi potensiometri sbb :

mL Titran (V) E(mV) ΔE / ΔV Δ2E / ΔV2


29,90 240
30,0 250
30,10 266
30,20 526
30,30 666
30,40 740
30,50 750

4. Lengkapilah tabel tsb


5. Buatlah grafik titrasinya (tiga tipe ) . Ketiganya dalam satu lembar kertas grafik
6. Hitunglah volume pentiter pada TE secara perhitungan dan bandingkan dengan cara
grafik

Anda mungkin juga menyukai