Anda di halaman 1dari 46

PENUGASAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KELUARGA TN. T DENGAN NY.S


MENDERITA CKD

MAHASISWA:
RIANGGA WIDODO

NIM
1420121057

PROGRAM ALIH JENJANG S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IMMANUEL BANDUNG
2022
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronik

1. Definisi

Gagal ginjal kronik adalah kemunduran fungsi yang progresif dan

irreversible yaitu terjadi kegagalan kemampuan tubuh untuk

mempertahankan keseimbangan metabolik, cairan dan elektrolit yang

mengakibatkan uremia atau azotemia (Brunner & Suddarth, 2015). Menurut

Soeyono &Waspad, 2001 (dalam Wijaya, 2013), gagal ginjal kronik adalah

suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat

menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut.

Gagal ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan

berbagai penyebab (etiologi) yang beragam, mengakibatkan penurunan

fungsi ginjal yang progresif, pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal

(Sudoyo, 2010).

Dari pengertian diatas, penulis dapat menyumpulkan bahwa gagal ginjal

kronik adalah penyakit ginjal yang bersifat progresif dan irreversible, terjadi

penurunan kerja ginjal yang menyebabkan ginjal gagal dalam

mempertahankan keseimbangan cairan.


2. Anatomi

Gambar 2.1 anatomi ginjal

3. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

a. Stadium I

Penurunan cadangan ginjal , ditandai dengan kehilangan fungsi nefron

40-75%. Pada stadium I pasien biasanya tidak mempunyai gejala, karena

sisa nefron yang ada dapat membawa fungsi-fungsi normal ginjal. Pada

stadium ini kadar kreatinin serum normal dan penderita asimptomatik.

b. Stadium II

Insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah rusak, Blood

Urea Nitrogen (BUN) meningkat, dan kreatinin serum meningkat. Ginjal

kehilangan kemampuanya untuk mengembangkan urin pekat dan

azotemia. Pasien mungkin melaporkan poliuria dan nokturia.

c. Stadium III

Gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Tingkat renal dari gagal ginjal

kronik yaitu sisa nefron yang berfungsi < 10%. Pada keadaan ini
kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan menyolok sekali

sebagai respon terhadap glomerulus Filtration rate (GFR) yang

mengalami penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar ureum

nitrogen darah dan elektrolit, pasien diindikasikan untuk dialisis

(Brunner & Suddarth, 2015).

4. Etiologi

Menurut Wijiaya (2013), ada beberapa penyebab seseorang mengalami gagal

ginjal kronik, yaitu :

a. Gangguan pembuluh darah ginjal yaitu berbagai jenis lesi vaskular dapat

menyebabalkan iskemi ginjal dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang

paling sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar, dengan

kontriksi skleratik progresif pada pembuluh darah. Hiperplasia,

fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan

sumbatan darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang disebabkan oleh

gagal ginjal lama yang tidak diobati, dikarakteristikan oleh penebalan,

hilangnya elastisitas sistem, perubahan darah ginjal mengakibatkan

penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.

b. Gangguan imunologis seperti glomerulonephritis dan systemic lupus

erythematosus (SLE).

c. Infeksi : dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.coli

yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri

ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara

ascanden dari traktus urinarius bagian bawah lewat ureter ke ginjal

sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversible ginjal yang disebut

plenlonefritis.

d. Gangguan metabolik seperti diabetes militus yang menyebabkan

mobiliasi lemak menungkat sehingga terjadi penabalan membran kapiler


dan ginjal yang berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi

nefropati amiloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia

abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membran

glomerulus.

e. Gangguan tubulus primer yaitu terjadinya nefrotoksis akibat analgesik

atau logam berat.

f. Obstruksi traktus urinarius yaitu oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan

konstriksi uretra.

g. Kelainan kongenital dan herediter yaitu penyakit polikistik, kondisi

keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista atau kantong berisi

cairan di dalam ginjal dan organ lain, serta tidak adanya jaringan ginjal

yang bersifat kongenital (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis.

5. Kebiasaan Harian Yang Dapat Merusak Ginjal

a. Minuman Bersoda

\Sebuah studi yang dilakukan pada karyawan yang bekerja di Universitas

Osaka di Jepang menemukan fakta bahwa minum 2 gelas soda sehari

atau lebih dikaitkan dengan lebih tingginya resiko penyakit ginjal.

Penelitian ini melibatkan 12.000 orang. Hasilnya bagi mereka yang

memiliki kebiasaan mengkonsumsi minum bersoda, pada urin mereka

ditemukan kandungan protein yang tinggi di mana ini merupakan salah

satu tanda-tanda pertama kerusakan ginjal, ginjal sudah menunjukan

ketidak mampuannya menyerap mineral dan nutrisi serta menyarinnya

dengan baik.

b. Kekurangan Vitamin B6

Menurut sebuah studi yang dilakukan di University of Maryland,

kekurangan vitamin B6 ternyata dapat meningkatkan risiko pembentukan

batu ginjal. Untuk fungsi ginjal yang sehat, seseorang harus memiliki
setidaknya 1,3 miligram vitamin B6 dalam makanan mereka setiap

harinya.

c. Merokok

Tidak mengherankan lagi, merokok telah dikaitkan dengan yaitu

penyempitan dan pengerasan pembuluh darah yang mempengaruhi suplai

darah ke semua organ utama, termasuk ginjal. Menurut sebuah penelitian

yang diterbitkan dalam Farmakologi Klinik dan Terapi, hanya dengan 2

batang rokok saja sehari sudah cukup untuk melipat gandakan jumlah sel

endotel yaitu sel yang melapisi dinding pembuluh darah untuk bisa hadir

dalam aliran darah.

d. Kurangnya Latihan Dan Olahraga Sebuah studi komprehensif dalam

Journal of American Society of Nephrology yang diterbitkan pada tahun

2013 menyatakan bahwa wanita menopause yang berolahraga memiliki

31% lebih sedikit risiko terkena batu ginjal.

e. Kekurangan Magnesium

Jika tubuh tidak mendapatkan cukup magnesium maka tubuh juga

mendapatkan kelebihan beban kalsium dan dapat memicu

pengembangkan batu ginjal.

f. Tidur Yang Tidak Berkualitas

Menurut Dr Michael Sole, Ahli jantung dan Profesor Kedokteran dan

Fisiologi di Universitas Toronto, jaringan ginjal bisa diperpanjang

selama malam tepatnya saat kita sedang tertidur, sehingga ketika kita

tidak bisa tidur, gangguan konstan pada ginjal bisa terjadi bahkan ginjal

bisa mengalami kerusakan langsung.

g. Tidak Minum Cukup Air

Jika Anda tidak mendapatkan cukup air, racun mulai terakumulasi dalam

darah karena tidak ada cukup cairan untuk membawa racun-racun


tersebut melalui ginjal. The National Kidney Foundation

merekomendasikan minum setidaknya 10-12 gelas air setiap hari,

h. Menunda-nunda Buang Air Kecil

Jika Anda secara teratur terus terbiasa untuk menahan- nahannya, hal itu

akan meningkatkan tekanan urin pada ginjal, efek buruknya adalah dapat

menyebabkan gagal ginjal.

i. Terlalu Banyak Mengkonsumsi Garam

Terlalu banyak mengkonsumsi natrium akan meningkatkan tekanan

darah Anda dan menimbulkan efek ketegangan pada ginjal.

j. Terlalu Banyak Mengkonsumsi Kafein

Kafein dapat menyebabkan tekanan darah menembak dengan kuat pada

ginjal Anda hingga dapat memicu kerusakan.

k. Terlalu Mengandalkan Obat Kimia

Semua obat- obatan farmasi memiliki efek samping dan banyak dari

obat-obatan tersebut menyebabkan kerusakan ginjal dan hati.

l. Membiarkan Penyakit Yang Bisa Memicu

Kerusakan Ginjal Ini merupakan hal penting untuk diingat bagi penderita

tekanan darah tinggi dan diabetes, dua kondisi penyakit ini meningkatkan

resiko kerusakan ginjal.

m. Terlalu Banyak Mengkonsumsi Protein

Menurut sebuah studi yang dilakukan di Harvard University, overdosis

protein dalam makanan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Dalam

studi tersebut dinyatakan bahwa ketika kita mencerna protein, tubuh akan

menghasilkan produk sampingan yaitu sejenis racun dan ginjal harus

bekerja keras untuk menetralisirnya. Akhirnya dapat menyebabkan gagal

ginjal.

n. Terlalu Banyak Mengkonsumsi Alkohol


Alkohol juga merupakan sesuatu yang sangat dibenci oleh ginjal karena

cukup sulit untuk menanganinya.

6. Patofisiologi

Penyakit gagal ginjal pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi

struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul fase aktif seperti

sitokin dan growth factor. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,

yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomelurus.

Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses

maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya

dikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit

dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-

angiotansin-aldosteron intrarenal ikut memberikan kontribusi terhadap

terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktifasi jangka

panjang renin-angiotensin-aldosteron sebagian diperantarai oleh growth

factors seperti transforming growth factor beta. Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit gunjal kronik

adalah albuminuria, gagal ginjal, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat

variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis

glomerulus maupun tubulointerstitial.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan manabasal laju filtrasi

glomerulus (FLG) masih normal atau malah meningkat. kemudian secara

perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif,

yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum (Setiati,
2014).

Menurut Long, 1996 (dalam Wijaya, 2013) Pada waktu terjadi kegagalan

ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh

sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron yang utuh

hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai

reabsorbsi walaupun dlam keadaan penurunan GFR atau daya saring.

Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari

nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar

daripada yang bisa diabsorbsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan

haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak

oliguria timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-

gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas

kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%. Pada

tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai creatinin clearance turun

sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu.

7. Manifestasi Klinis

Berdasarkan Long, 1996 (dalam Wijaya, 2013) Gejala dini : lethargi,

sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang, mudah

tersinggung, depresi. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai

muntah, nafas dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak,

edema yan disertai lekukan, ruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga

sangat parah.

Menurut (Brunner & Suddarth, 2015) antara lain gagal ginjal,(akibat

retensi cairan dan natrium dari aktifitas system renin-angiotensin-

aldosteron), gagal jantung kongestif dan edema pulmoner (akibat cairan

berlebihan) dan pericarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh

toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang,
perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi).

8. Pemeriksan Penunjang

Berdasarkan Sudoyo (2010), pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada

penderita gagal ginjal kronik adalah :

a. Gambaran Laboratoris

Biasanya sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Penurunan fungsi

ginjal biasanya berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum.

Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin.

Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,

isostenuria.

b. Gambaran Radiologis

Foto polos abdomen bisa tampak batu radio opak. Pielografi intravena

jarang dokerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati filter

glomerulus. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan seuai dengan

indikasi. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang

mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,

kista dan massa.

c. Biobsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati

normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menerapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang

dilakukan.

9. Komplikasi

a. Anemia

Anemia pada penderita gagal ginjal terjadi akibat penurunan eritropoetin,

penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan


gastrointestinalakibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama

hemodialisis (Brunner & Suddarth, 2015).

b. Osteodistofi ginjal

Kelainan tulang karena tulang kehilangan kalsium akibat gangguan

metabolisme mineral. Jika kadar kalsium dan fosfat dalam darah sangat

tinggi, akan terjadi pengendapan garamdalam kalsium fosfat di berbagai

jaringan lunak (klasifikasi metastatik) berupa nyeri persendian (artritis),

batu ginjal (nefrolaksonosis), pengerasan dan penyumbatan pembuluh

darah, gangguan irama jantung, dan gangguan penglihatan (Alam &

Hadibroto, 2008).

c. Gagal jantung

Menurut (Brunner & Suddarth, 2015) komplikasi pada jantung antara

lain : Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi

produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat, gagal ginjal

akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-

angiostensin-aldosteron.

d. Disfungsi ereksi

Ketidakmampuan seorang pria untuk mencapai atau mempertahankan

ereksi yang diperlukan untuk melakukan hubungan seksual dengan

pasangannya. Selain akibat gangguan sistem endokrin (yang

memproduksi hormon testeron) untuk merangsang hasrat seksual

(libido), secara emosional penderita gagal ginjal kronis menderita

perubahan emosi (depresi) yang menguras energi. Namun, penyebab

utama gangguan kemampuan pria penderita gagal ginjal kronis adalah

suplai darah yang tidak cukup ke penis yang berhubungan langsung

dengan ginjal (Alam & Hadibroto, 2008).


10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita penyakit gagal ginjal kronik

antara lain :

a. Restriksi konsumsi cairan, protein, dan natrium ( Brunner & Suddarth,

2015)

Pengaturan diet penting sekali pada pengbatan gagal ginjal kronik.

Cairan yang diperbolehkan masuk adalah 500-600 ml atau lebih dari

haluaran urine 24 jam. Protein akan dibatasi karena urea, asam urat, dan

asam organik hasil pemecahan makanan dan protein jaringan akan

menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat ganguan pada klirens

renal (Brunner & Suddarth, 2015). Pembatasan protein adalah dengan

diet yang mengandung 0,25 gr protein yang tidak dibatasi kualitasnya per

kilogram berat badan per hari. Tambahan karbohidrat dapat diberikan

juga untuk mencegah pecahan protein tubuh. Jumlah kebutuhan protein

biasanya dilonggarkan hingga 60-80 gr/ hari (1,0 kg per hari) apabila

penderita mendapatkan pengobatan hemodialisis teratur (Price, 2006).

Pengaturan diet natrium penting sekali pada gagal ginjal. Jumlah natrium

yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/ hari (1-2 gr natrium), tetapi asupan

natrium maksimum harus ditentukan secara tersendiri untuk tiap

penderita agara hidrasi yang baik dapat dipertahankan. Asupan natrium

yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer,

edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongesif (Price, 2006).

b. Obat-obatan (Brunner & Suddarth, 2015).

1) Diuretik untuk meningkatkan urinasi.


2) Hiperfosfatemia dan hipokalemia ditangani dengan antasida

mengandung alumenium yang meningkatkan fosfat makanan

disaluran gastrointestinal.

3) Anti hipertensi untuk terapi hipertensi serta diberi obat Epogen

(eritropoetin manusia rekombinan) bila terjadi anemia.

c. Dialisis

Menurut Sudoyo (2010) terdapat beberapa macam dialysis :

1) Hemodialisis (cuci darah dengan mesin dialiser)

Hemodialysis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu

tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen

yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen

darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial)

dengan kompartemen dialisat.

2) Dialisis peritonial (cuci darah melalui perut)

Untuk dialysis peritoneal akut bisa dipakai stylet catheter (kateter

peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum

peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum douglasi.

Setiap kali 2 liter cairan dialysis dimasukan dalam kavum peritoneum

melalui kateter tersebut. Membrane peritoneum bertindak sebagai

embran dialysis yang memisahkan antara cairan dialysis dalam

kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah

peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kretinin, kalium,

dan toksin dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada

gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena

kadarnya yang tinggi akan mengalamu difusi melalui membrane

peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan

dikeluarkan dari tubuh.


d. Transplantasi ginjal

Pasien dengan gagal ginjal kronik yang meningkat dirujuk ke pusat

dialisis dan transplatasi ginjal sedini mungkin sejak penyakit renal mulai

berkembang (Brunner & Suddarth, 2015). Cangkok atau transplantasi

ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal terminal.

Ginjal yang dicangkokkan berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup

atau donor yang baru saja meninggal (donor kadaver). Akan lebih baik

bila donor tersebut dari anggota keluarga yang hubungannya dekat,

karena lebih besar kemungkinan cocok, sehingga diterima oleh tubuh

pasien. Selain kemungkinan penolakan, pasien penerima donor ginjal

harus minum obat seumur hidup. Juga pasien operasi ginjal lebih rentan

terhadap penyakit dan infeksi, kemungkinan mengalami efek samping

obat dan resiko lain yang berhubungan dengan operasi (Alam &

Hadibroto, 2008).

11. Diagnosis

Diagnosis dan intervensi menurut (NANDA, 2015)

a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan kurang

pengetahuan tentang faktor pemberat .

1) Kriteria Hasil :

a) Tekanan systole (100-120 mmHg) dan diastole (60-90 mmHg)

dalam batas normal.

b) Tidak ada gangguan menta, orientasi kognitif dan kekuatan otot.

c) Na, K, Cl, Mg, BUN, Creat dan biknat dalam batas normal.

d) Tidak ada distensi vena leher.

e) Tidak ada bunyi paru tamahan.

f) Intake output seimbang.


g) Tidak ada edema perifer dan asites.

h) Tidak ada rasa haus yang abnormal.

i) Membran mukosa lembab.

2) NIC

Acid-Base management

a) Observasi status hidrasi (kelembapan membran mukosa, TD

ortostatik, dan keadekuatan dinding nadi).

b) Monitor HMT, ureum, albumin, total protein, serum osmolalitas,

dan urine.

c) Observasi tanda-tanda cairan berlebih/ retensi (CVP meningkat,

edema, distensi vena leher, dan asites).


d) Monitor TTV.

e) Monitor glukosa darah arteri dan serum, elektrolit urine.

f) Monitor status hemodinamik.

g) Pertahankan intake dan output secara akurat.

h) Bebaskan jalan napas.

i) Menejemen akses intravena.

Pasien hemodialisis

a) Observasi terhadap dehidrasi.

b) Monitor TD.

c) Monitor BUN, creat, HMT dan elektrolit.

d) Monitor CT.

e) Monitor adanya respiratory dstress.

f) Monitor balance cairan.

g) Monitor tanda-tanda infeksi.

h) Kaji status mental.

i) Kaji temperatur, TD, denyut perifer, RR, dan BB.

j) Timbang BB sebelum dan sesudah prosedur.


Pasien peritoneal dislysis

a) Kaji temperature, TD, denyut perifer, RR dan BB.

b) Kaji BUN, Creat, pH, HMT,, elektrolit selama prosedur.

c) Monitor adanya respiratory distress.

d) Monitor balance cairan.

e) Monitor tanda-tanda infeksi.

b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan curah jantung.

1) Kriteria Hasil

a) Mendemonstrasikan peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat.

b) Memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari tanda-tanda

ditres pernapasan.

c) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,

tidak ada sianois dan dypneu (mampu mengeluarkan sputum,

mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pernapasan bibir)

d) Tanda-tanda vital dalam rentang normal.

2) NIC

Airway menejemen

a) Moitor tanda-tanda vital.

b) Monitor respirasi dan status O2.

c) Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi.

d) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan.

e) Pertahankan jalan nafas yang paten.

f) Jika perlu lakukan fisioterapi dada.

g) Atur intake untuk mengoptimalkan keseimbangan cairan.

h) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction.

i) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan.


j) Ajarkan batuk efektif.

k) Kolaborasi pemberian brokodilator jika perlu.

Terapi pemberian oksigen

a) Monitor aliran oksigen.

b) Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi.

c) Monitor aliran oksigen.

d) Pertahankan jalan nafas yang paten.

e) Pertahankan posisi pasien.

f) Atur peralatan oksigen.

Monitor vital sign

a) Monitor TD, nadi, suhu, RR.

b) Monitor kualitas dari nadi.

c) Monitor frekuensi dan irama pernapasan.

d) Mnitor suhu, warna dan kelembapan kulit.

e) Monitor suara paru.

f) Monitor suara pernapasan abnormal.

g) Monitor sianosis perifer.

h) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar,

bradikardi, peningkatan sistolik).

i) Identivikasi penyebab dari perubahan vital sign.

j) Catat adanya fluktuasi tekanan darah.

c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan diet berlebih dan retensi

cairan serta natrium.

1) Kriteria hasil

a) Terbebas dari edema, efusi, dan anasarka.


b) Bunyi nafas bersih, tidak ada dyspneu/ ortopneu.

c) Terbebas dari distensi vena jugularis, reflek hepatojugular (+).

d) Memelihara tekanan vena sentral, tekanan kapiler paru, output

jantung dan vital sign dalam batas normal.

e) Terbebas dari kelelahan, kecemasan atau kebingungan.

f) Menjelaskan indikator kelebihan cairan.

2) NIC

Fluid menegement

a) Monitor hasil Hb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN,

HMT,osmolalitas urin).

b) Monitor status hemodinamik termasuk CVP, MAP, PAP< dan

PCWP.

c) Monitor vital sign.

d) Monitor indikasi retensi/ kelebihan cairan (cracle, CVP, edema,

distensi vena leher, asites).

e) Monitor masukan makanan/ cairan dan hitng intake kalori.

f) Monitor status nutrisi.

g) Kaji lokasi dan luas edema.

h) Timbang popok/ pembalut jika diperlukan.

i) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.

j) Batas masukan cairan pada keadaan hiponatremia dilusi dengan

serum Na < 130 mEq/l.

k) Pasang urin kateter jika diperlukan.


l) Kolaborasi pemberian diuretik sesuai instruksi.

m) Kolaborasi dengan dokter jika tanda cairan berlebih muncul

memburuk.

Fluid monitoring

a) Monitor berat badan.

b) Monitor serum dan elektrolit urin.

c) Monitor tekanan darah ortostatik.

d) Monitor serum dan osmilalitas urine.

e) Monitor TD, HR, dan RR.

f) Monitor tekanan darah orthostatik dan perubahan irama jantung.

g) Monitor parameter hemodinamik infasif.

h) Monitor adanya distensi leher, edema perifer, dan penambahan

berat badan secara cepat.

i) Catat secara akurat intake dan output.

j) Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan dan eliminasi.

k) Tentukan kemungkinan faktor risiko dari ketidakseimbangan

cairan (hipertermia, terapi diuretik, kelainan renal, gagal jantung,

diaporesis, disfungsi hati, dan sebagainya).

d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan mual dan muntah.

1) Kriteria Hasil

a) Adanya peningkatan berat badan sesuai tujuan.

b) Berat badan ideal sesuai berat badan.


c) Mampu mengidentifikasi kebuuhan nutrisi.

d) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.

e) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.

f) Tidak terjadi penuruna berat badan yang berarti.

2) NIC

Nutrition Menegement

a) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

b) Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang

dibutuhkan.

c) Kaji adanya alergi makanan.

d) Berikan substansi gula.

e) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan

ahli gizi).

f) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

g) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk

mencegah konstipasi.

h) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intak Fe.

i) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.

j) Kolaborasi denga ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan

nutrisi yang dibutuhkan.

Nutrition Monitoring

a) Monitor BB pasien.

b) Monitor adanya penurunan berat badan.


c) Monitor tipe dan aktivitas yang biasa dilakukan.

d) Monitor interaksi anak atau orang tua selama makan.

e) Monitor lingkungan selama makan.

f) Monitor perubahan kulit dan pigmentasi.

g) Monitor mual dan muntah.


h) Monitor kadar albumin, total protein, Hb, dan kadar Ht.

i) Monitor kalori dan intake nutrisi.

j) Jadwalkan pengobatan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan

selama makan.

k) Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan

cavitas oral.

l) Catat jika lidah berwarna magenta, scarlet.

e. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status

metabolik sekunder.

1) Kritria Hasil

a) Integritas kult yang baik dapat dipertahankan (sensasi, elastisitas,

temperatur, hidrasi).

b) Tidak ada luka/ lesi pada kulit.

c) Menunjukkan pemahamn dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cidera berulang.

d) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit

serta perawatan alami.

2) NIC

Pressure Menegement

a) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien.

b) Monitor kulit akan adanya kemeraan.

c) Monitor status nutrisi pasien.

d) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersi dan kering.

e) Mobilisasi pasien (ubah posisi klien setiap dua jam sekali).

f) Oleskan lotion atau minyak bayi (baby oil) pada daerah tertekan.

g) Hindari kerutan pada tempat tidur.

h) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.


i) Kolaborasi dengan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan pasien.

f. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan anemia, retensi, produk

sampah.

1) Kriteria Hasil

a) Berpartisipasi dalam aktifitas fisik tanpa disertai peningkatan

tekanan darah, nadi dan RR

b) Mampu melakukan aktifitas sehari-hari secara mandiri

c) Tanda-tanda vital normal

d) Energy psikomotor

e) Level kelemahan

f) Mampu berpindah : dengan atau tanpa bantuan alat

g) Status kardiopulmunari adekuat

h) Sirkulasi status baik

i) Sirkulasi respirasi: pertukaran gas dan frntilasi adekuat

2) NIC

Activity therapy

a) Kolaborasikan dengan tenaga rehabilitasi medik dalam

merencanakan program terapi yang tepat

b) \Bantu klien untuk mengidentifikasi aktifitas yang mampu

diakukan

c) Bantu untuk memilih aktifitas konsisten yang sesuai dengan

kemampuan fisik, psikologi dan social

d) Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang

diperlukan untuk aktifitas yang diinginkan

e) Bantu untuk mendaptkan alat bantuan aktifitas seperti kursi roda

dan krek

f) Bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang


g) Bantu pasian/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam

beraktifitas

h) Sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktifitas

i) Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan

j) Monitor respon fisik, emosional, social dan spiritual

g. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis disfungsi ginjal

1) Kriteria Hasil

a) Mampu mengontrol nyeri (mengetahui penyebab nyeri, mampu

mengguanakan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan).

b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan

menejemen nyeri.

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda

nyeri).

d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

2) NIC

Pain management

a) Lakukan pengkajian nyeri secara komperhensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.

b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

c) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien

d) Kaji kultur yang mepengaruhi respon nyeri.

e) Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu.

f) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang

ketidakefektifan kontrol nyeri masa lampau.

g) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan


dukukangan.

h) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu

ruangan, pencahayaan dan kebisingan.

i) Kurangi faktor presipitasi nyeri.

j) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

k) Ajarkan tentang teknik non farmakologis.

l) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

m) Tingkatkan istirahat.

n) Kolaborasi dengan dokter jik ada keluhan dan tindakan nyeri

tidak berhasil.

o) Monitor penerimaan pasien tentang menejemen nyeri.

Analgesic administration

a) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum

pemberian obat.

b) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi.

c) Cek riwayat alergi.

d) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik

ketika pemberian lebih dari satu.

e) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

f) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal.

g) Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara

teratur.

h) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik

pertama kali.

i) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat.

j) Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala.


B. Konsep Dasar
Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi,

kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang

umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan social dari

tiap anggota ( Duval, dalam Mubarak, 2012)

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas kepala

keluarga dan beberaa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat

dibawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI 1988,

dalam Padila, 2012)

2. Tipe Keluarga

Keluarga memiliki berbagai tipe-tipe, beberapa tipe menurut Mubarak

(2012) antara lain:

a. Tradisional Nuclear

Keluarga inti terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu

rumah ditetapkan dalam suatu ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat

bekerja di luar rumah.

b. Extended Family

Keluarga besar adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara atau

dua keluarga inti yang tinggal dalam satu rumah, misalnya: nenek,

kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi dan lain sebagainya.

c. Reconstituted Nuclear

Pembentukan baru keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri.

Keluarga tersebut tinggal dalam satu rumah dengan anak-anaknya, baik

itu anak bawaan dari perkawinan lama maupun baru..

d. Middle Age /Aging Couple/Elderly Couple


Sepasang suami istri paruh baya, dalam mencari nafkah suami yang

bekerja, dapat juga keduanya bekerja dirumah, anak-anak sudah

meninggalkan rumah karena sekolah/perkawinan/meniti karier.

e. Dyadic Nuclear

Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak, tinggal

dalam satu rumah yang sama.

f. Single Parent

Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan

anak-anaknya dapat tinggal di rumah/di luar rumah dengan anak anak

yang masih bergantung kepada orang tua.

g. Dual Carrier

Pasangan suami istri, keduanya mengedepankan karier dan tidak

memiliki anak.

h. Commuter Married

Pasangan suami istri tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya

bertemu pada waktu-waktu tertentu.

i. Single Adult

Pria atau wanita dewasa dan tidak ada keinginan untuk menikah.

j. Three Generation Family

Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah, yaitu kakek, nenek,

bapak, ibu, dan anak dalam satu rumah.\

k. Institusional

Anak-anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suatu panti-panti.

l. Comunal

Satu rumah terdiri dari dua/lebih pasangan yang monogami dengan

anak-anaknya dan besama-sama dalam penyediaan fasilitas.


m. Group Marriage

Satu perumahan terdiri dari orang tua dan keturunannya di dalam satu

kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin dengan yang lain dan

semua adalah orang tua dari anak-anak.

n. Unmaried Parent and Child

Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi.

o. Cohibing Couple

Dua orang/satu pasangan yang tinggal bersama tanpa kawin.

3. Fungsi Keluarga

Menurut Friedman dan UU No. 10 tahun 1992 dalam (Ali, 2010) membagi

fungsi keluarga menjadi 5, yaitu:

a. Fungsi afektif

Berhubungan dengan fungdi internal keluarga yang merupakan dasar

kekuatan keluarga. Fungus afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan

psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang

positif, peran dijalankan dengan baik, dan penuh rasa kasih sayang.

b. Fungsi Sosialisasi

Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu menghasilkan

interaksi social, dan individu tersebut melaksanakan peranya dalam

lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan

sosialisasi dengan anggota keluarga dan belajar disiplin, norma budaya,

dan perilaku melalui interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu

berperan di dalam masyarakat.

c. Fungsi Reproduksi

Fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah

sumber daya manusia.


d. Fungsi Ekonomi

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti makanan, pakaian,

perumahan dll.

e. Fungsi Perawatan Keluarga

Menyediakan makanan, pakaian, perlindungan, dan asuhan kesehatan/

keperawatan.

4. Tugas keluarga

Tugas keluarga dibidang kesehatan yang dijelaskan dalam Mubarak (2012)

adalah :

a. Mengenal masalah kesehatan

Sejauh mana keluarga mengenal fakta-fakta dan masalah kesehatan

meliputi pengertian, tanda dan gejala, penyebab dan yang mempengaruhi

serta persepsi kelurga terhadap masalah.

b. Mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat

Sejauhmana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya masalah,

apakah masalah dirasakan, menyerah terhadap masalah yang dialami,

takut akan akibat dari tindakan penyakit, mempunyai sikap negative

terhadap masalah kesehatan, dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang

ada, kuran percaya terhadap tenaga kesehatan, dan mendapat informasi

yang salah terhadap tindakan dan mengatasi masalah.

c. Memberikan perawatan pada anggota keluarga yang sakit

Sejuhmana keluarga mengetahui penyakitnya, mengetahui tentang sifat

dan perkembangan perawatan yang dibutuhkan, mengetahui sumber-

sumber yang ada dalam keluarga, mengetahui keberadaan fasilitas yang

diperlukan untuk perawatan dan sikap keluarga terhadap yang sakit.

d. Memelihara/ memodifikasi lingkungan rumah yang sehat.


Sejauhmana mengetahui sumber-sumber keluarga yang dimiliki,

keuntungan/ manfaat pemeliaraan lingkungan, mengetahui pentingnya

hygiene sanitasi dan kekompakan antar anggota keluarga.

e. Menggunakan fasilitas/ pelayanan kesehatan

Apakah keluarga mengetahui keberadaan fasilitas kesehatan, memahami

keuntungan yang diperoleh oleh fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan

keluarga terhadap petugas kesehatandan fasilitas tersebut terjangkau oleh

keluarga.

C. Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga

1. Definisi

Menurut Padila (2012) mendefinisikan asuhan keperawatan keluarga

merupakan proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan yang

sistematis untuk bekerja sama dengan keluarga dan individu-individu

sebagai anggota keluarga.

Asuhan keperawatan keluarga adalah suatu rangkaian kegiatan yang

diberikan melalui praktik keperawatan dengan sasaran keluarga. Asuhan ini

bertujuan untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang dialami keluarga

dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan (Suprajitno, 2014)

2. Tahap proses keperawatan keluarga

Menurut Padila 2012, hal-hal yang dilakukan pada tahap proses

keperawatan keluarga adalah

a. Pengkajian

1) Data umum, meliputi : nama kepala keluarga, alamat dan

telepon,pekerjaan kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga,

komposisi keluarga(komposisi tidak hanya mencantumkan penghuni

rumah tangga, tetapi anggota keluarga lain yang menjadi bagian dari

keluarga tersebut. Bentuk komposisi diurutkan dari yang lebih tua,


jenis kelamin, hubungan setiap anggota keluarga, tempat dan tanggal

lahir, pekerjaan dan pendidikan ), tipe keluarga, suku bangsa, agama,

status sosial ekonomi keluarga dan aktivitas rekreasi keluarga.

Membuat susunan hubungan keluarga menggunakan genogram yang

menyangkut minimal 3 generasi

Laki-laki Perempuan Identifikasi klien


yang sakit

Meninggal Menikah Pisah

Cerai Cerai Anak angkat

Aborsi Kembar Tinggal dalam satu


rumah
Gambar 2.2: symbol dalam genogram (Padila, 2012)

Genogram keluarga adalah sebuah diagram yang

menggambarkan konstelasi keluarga (pohon keluarga). Genogram

merupakan alat pengkajian informatif yang digunakan untuk

mengetahui keluarga,riwayat dan sumber-sumber keluarga. Diagram

ini menggambarkan hubungan vertikal (lintas generasi) dan horizontal

(dalam generasi yang sama) untuk memahami kehidupan keluarga

dihubungkan dengan pola penyakit. Untuk hal tersebut, maka

genogram keluarga harus memuat informasi tiga generasi(keluarga

inti dan keluarga masing-masing orang)

2) Riwayat dan tahap perkembanga keluarga


a) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Tahap perkembangan keluarga ditentukan oleh anak tertua dari

keluarga inti.

b) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi

Menjelaskan perkembangan keluarga yang belum terpenuhi

menjelaskan mengenai tugas perkembangan keluarga yang yang

belum terpenuhi oleh keluarga serta kendala-kendala mengapa

tugas perkembangan tersebut belum terpenuhi.

c) Riwayat Keluarga Inti

Menjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga inti,

meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat masing-masing

anggota keluarga, perhatikan keluarga terhadap pencegahan

penyakit termasuk status imunisasi, sumber pelayanan kesehatan

yang biasa digunakan keluarga dan pengalaman terhadap

pelayanan kesehatan.

d) Riwayat keluarga sebelumnya

Menjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga dari pihak

suami dan istri

3) Pengkajian lingkungan

a) Karakteristik rumah

Karakteristik rumah didefinisikan dengan melihat luas rumah,tipe

rumah, jumlah ruangan, jumlah jendela, jarak septic tank dengan

sumber air, sumber air minum yang digunakan serta dilengkapi

dengan denah rumah.

b) Karakteristik tetangga dan komunitas RW menjelaskan mengenai

karakteristik dati tetangga dan komunitas setempat meliputi

kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau kesepakatan penduduk


setempat yang mempengaruhi kesehatan.

c) Mobilitas geografi keluarga

Mobilitas geografis keluarga ditentukan dengan melihat kebiasaan

keluarga berpindah tempat.

d) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat

Menjelaskan mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk

berkumpul serta perkumpulan keluarga yang ada dan sejauh mana

interaksi keluarga dengan masyarakat.

4) Stuktur keluarga

a) Sistem pendukung keluarga

Yang dimaksud dengan sistem pendukung keluarga seperti jumlah

anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh

keluarga untuk menunjang kesehatan dan fasilitas sosial atau

dukungan dari masyarakat setempat.

b) Pola komunikasi keluarga

Menjelaskan mengenai cara setiap anggota keluarga

berkomuniikasi.

c) Struktur kekuatan keluarga

Kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan

memepengaruhi orang lain untuk mengubah perilaku.

d) Struktur peran

Menjelaskan peran dari masing-masing anggota keluarga baik

secara formal maupun informal

e) Nilai dan norma keluarga

Menjelaskan mengenai nilai dan norma yang di anut oleh keluarga

yang berhubungan dengan kesehatan.

5) Stress dan koping keluarga


a) Stressor jangka pendek dan panjang

(1) Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga

yang memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari enam

bualan.

(2) Stressor jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga

yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari enam

bulan

b) Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi atau stressor

c) Strategi koping yang digunakan keluarga bila menghadapi

masalah dan stressor

d) Strategi adaptasi fungsional, adaptasi disfungsiologi yang

digunakan keluarga untuk menghadapi masalah

6) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. Metode

yang digunakan sama dengan pemeriksaan fisik klinik.

7) Harapan keluarga terhadap petugas kesehatan yang ada.

Pada akhir pengkajian, perawat menanyakan harapan keluarga

terhadap petugas kesehatan yang ada.

b. Pengumpulan data

Data pengkajian didapat dengan menggunakan beberapa cara. Berikut ini

adalah metode pengumpulan data yang digunakan menurut Ali (2010):

1) Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mengetahui data subjektif dalam aspek

fisik, mental, sosial budaya, ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, agama,

lingkungan dan tentang peristiwa yang lalu.

2) Pengamatan/ Observasi

Pengamatan/ observasi dilakukan untuk mengetahui hal yang secara


langsung bersifat fisik (ventilasi, kebersihan, penerangan, dan lain-

lain) atau benda lain (data objektif).

3) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada anggota keluarga yang mempunyai

masalah kesehatan dan keperawatan yang berkaitan dengan keadaan

fisik, misalnya kehamilan, mata, telinga, tenggorokan (data objektif).

4) Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan dengan jalan menelusuri dokumen yang

ada, misalnya catatan kesehatan, kartu keluarga, KMS, literatur,

catatan pasien dan sebagainya.

c. Diagnosis Asuhan Keperawatan Keluarga

Berdasarkan (Mubarak, 2012), Diagnosis keperawatan keluarga

dirumuskan berdasarkan data yang didapatkan pada pengkajian.

Komponen diagnosis keperawatan meliputi masalah, penyebab dan tanda.

1) Perumusan Diagnosis Keperawatan

a) Diagnosis Aktual

Dari hasil pengkajian didapatkan data mengenai tanda dan gejala

dari gangguan kesehatan dimana masalah kesehatan yang dialami

oleh keluarga memerlukan bantuan untuk segera ditangani dengan

cepat. Pada diagnosis keperawatan actual, factor yang

berhubungan merupakan etiologi, atau factor penunjang lain yang

telah mempengaruhi perubahan status kesehatan.

b) Diagnosis resiko tinggi (ancaman kesehatan)

Sudah ada data yang menunjang tapi belum terjadi gangguan,

tetapi tanda tersebut dapat menjadi actual apabila tidak segera

mendapatkan bantuan pemecahan dari tim kesehatan atau

keperawatan.
c) Diagnosis potensial(keadaan sejahtera)

Suatu keadaan dimana keluarga dalam keadaan sejahtera sehingga

kesehatan kelurga dapat ditingkatkan. Diagnosis keperawatan

sejahtera tidak mencakup factor-faktor yang berhubungan.

Perawat dapat memperkirakan kemampuan atau potensi keluarga

dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik.

Menurut Achjar (2010) perumusan problem (P) merupakan respon

terhadap gangguan pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan etiologi (E)

mengacu pada lima tugas keluarga yaitu

1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah, meliputi :

a) Persepsi terhadap keparahan penyakit

b) Pengertian

c) Tanda dan gejala

d) Faktor penyebab

e) Persepsi keluarga terhadap masalah

2) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, meliputi:

a) Sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat dan luasnya

masalah

b) Masalah dirasakan keluarga

c) Keluarga menyerah terhadap masalah yag dialami

d) Sifat negatif terhadap masalah kesehatan

e) Kurang percaya terhadap tenaga kesehatan

f) Informasi yang salah

3) Ketidakmampuan keluarga merawat keluarga yang sakit, meliputi:

a) Bagaimana keluarga mempengaruhi keadaan sakit

b) Sikap dan perkembangan perawatan keluarga yang dibutuhkan

c) Sumber-sumber yang ada dalam keluarga


d) Sikap keluarga terhadap yang sakit

4) Ketidakmampuan keluarga memelihara lingkungan, meliputi:

a) Manfaat pemeliharaan lingkungan

b) Pentingnya higyene sanitasi

c) Upaya pencegahan penyakit

5) Ketidakmampuan keluarga mengguankan fasilitas kesehatan,

meliputi:

a) Keberadaan fasilitas kesehatan

b) Keuntungan yang didapat

c) Kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan

d) Pengalaman keluarga yang kurang baik

e) Pelayanan kesehatan yang terjagkau oleh keluarga

d. Prioritas Masalah

Proses skoring dilakukan bila menemukan diagnosis keperawatan lebih

dari satu masalah kesehatan. Perilaku mencari bantuan kesehatan, konflik

peran orang tua, proses skoring menggunakan skala yang telah

dirumuskan oleh Bailon dan Maglaya (1978) dalam (Mubarak, 2012).


Tabel 2.1
Skala Prioritas Masalah Kesehatan Keluarga

NO KRITERIA SKOR BOBOT


1. Sifat masalah
Skala :
Tidak/kurang sehat 3 1
Ancaman kesehatan Keadaan 2
sejahtera 1
2. Kemungkinan masalah dapat diubah
Skala :
Dengan mudah 2
Hanya sebagian 2
Tidak dapat 1
0
3. Potensial masalah untuk
dicegah Skala :
Tinggi 1
Cukup 3
Rendah 2
1
4. Menonjolnya masalah
Skala :
Masalah berat, harus segera 2
ditangani 1
Ada masalah, tetapi tidak perlu 1
segera ditangani
Masalah tidak dirasakan 0

Scoring :

1) Tentukan skor untuk setiap kriteria yang telah dibuat

2) Skor dibagi dengan angka tertinggi dan kalikan dengan bobot

: Skor x Bobot
Angka tertinggi
3) Jumlah skor untuk semua kriteria, dengan skor tertinggi adalah 5,

sama dengan seluruh bobot.

Penentuan prioritas masalah dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu

menurut (Mubarak, 2012) adalah :

1) Kriteria pertama, dipengaruhi oleh sifat masalah.

2) Kriteria kedua, dipengaruhi oleh kemungkinan masalah dapat diubah.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan skor

kemungkinan masalah adalah faktor pengetahuan yang ada, teknologi,


tindakan untuk mengatasi masalah, sumber daya keluarga dalam hal

fisik, keuangan, tenaga, waktu, sumber daya perawatan dalam bentuk

fasilitas organisasi dalam masyarakat dan dukungan masyarakat.

3) Kriteria ketiga, dipengaruhi oleh faktor lamanya masalah, kerumitan

masalah, tindakan yang sedang dijalankan, adanya kelompok yang

sangat peka meningkatkan potensi untuk mencegah masalah.

4) Kriteria keempat, dipengaruhi oleh menonjolnya masalah.

Diagnosis keperawatan keluarga dengan gagal ginjal kronik

dikembangkan dari NANDA (2015); Mubarak (2012):

1) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan ketidakmampuan

keluarga mengenal masalah kesehatan.

2) Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan

keluarga mengambil keputusan.

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga

merawat anggota keluarga yang sakit.

4) Ketidakpatuhan penatalaksanaan diet gagal ginjal kronis berhubungan

dengan ketidakmumpuan keluarga memodifikasi lingkungan.

5) Risiko komplikasi berhubungan dengan ketidakmampuan keluaraga

memanfaatkan fasilitas kesehatan.

f. Intervensi Asuhan Keperawatan Keluarga

Rencana tindakan keperawatan keluarga (Ali, 2010) masalah keperawatan

yang mungkin timbul, yaitu:

1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah gagal ginjal:

a) Gali pengetahuan keluarga mengenai gagal ginjal.

b) Berikan penjelasan tentang pengertian, penyebab, tanda gejala

gagal ginjal, komplikasi yang terjadi, pencegahan dan

penanganan, serta jelaskan tentang pemberian nutrisi (diet) untuk


pasien gagal ginjal.

c) Bantu keluarga untuk mengenal tanda dan gejala gagal ginjal yang

terdapat pada anggota keluarga.

2) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam mengatasi

gagal ginjal:

a) Diskusikan bersama keluarga akibat jika gagal ginjal tidak segera

ditangani.

b) Jelaskan alternatif tindakan yang dapat dipilih untuk mengatasi

masalah gagal ginjal.

3) Ketidakmampuan keluarga merawat anggota keluarga dengan gagal

ginjal:

a) Kaji sejauh mana kemampuan keluarga merawat anggota keluarga

yang mengalami gagal ginjal.

b) Jelaskan perawatan secara farmakologis dan nonfarmakologis.

c) Jelaskan dan demonstrasikan tindakan yang diperlukan tentang

cara perawatan gagal ginjal .

4) Ketidakmampuan keluarga memelihara dan memodifikasi lingkungan

untuk mencegah gagal ginjal:

a) Beri penjelasan tentang pengaruh lingkungan pada gagal ginjal.

b) Jelaskan pada keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan

untuk mencegah gagal ginjal.

5) Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan

kesehatan guna memelihara kesehatan:

a) Kaji sejauhmana keluarga mengetahui keberadaan fasilitas

kesehatan.

b) Beri tahu keluarga macam-macam dari fasilitas kesehatan yang ada.

c) Jelaskan pada keluarga fasilitas kesehatan yang dapat dijangkau.


d) Jelaskan pada keluarga manfaat fasilitas kesehatan yang ada

(puskesmas dan rumah sakit).

e) Kaji tingkat kepercayaan keluarga pada pelayanan kesehatan.

f) Jelaskan pada keluarga macam-macam jaminan kesehatan yang

diberikan oleh pemerintah yang bisa keluarga gunakan (BPJS).

g) Jelaskan pada keluarga manfaat dari jaminan kesehatan yang ada

(BPJS).

g. Implementasi

(Mubarak, 2012) Pelaksanaan merupakan salah satu tahap dari proses

keperawatan keluarga dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk

mengadakan perbaikan ke arah perilaku hidup sehat. Tindakan

keperawatan keluarga mencakup hal-hal dibawah ini :

1) Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah

dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi,

mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan, serta

mendorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.

2) Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat

dengan cara mengidentifikasi konsekuensi untuk tidak melakukan

tindakan, megidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, dan

mendiskusikan konsekuensi setiap tindakan.

3) Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang

sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan

alat dan fasilitas yang ada di rumah dan mengawasi keluarga

melakukan perawatan.

4) Membantu keluarga untuk menemukan cara membuat lingkungan

menjadi sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat

digunakan keluarga dan melakukan perubahan lingkungan keluarga


seoptimal mungkin.

5) Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan dengan

cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga

dan membantu keluarga cara menggunakan fasilitas tersebut.

h. Evaluasi

Evaluasi menurut Ali (2010) adalah sebagai langkah terakhir pada proses

keperawatan, yaitu upaya untuk menentukan apakah seluruh proses sudan

berjalan dengan baik dan apakah tindakan berjalan dengan baik. Alasan

mengapa perawat harus menilai kegiatan/tindakan mereka, yaitu :

1) Untuk menghilangkan dan menghentikan tindakan yang tidak

berguna.

2) Untuk menambah ketepatgunaan tindakan keperawatan

3) Sebagai bukti tindakan keperawatan serta sebagai alasan mengapa

biaya keperawatan tinggi.

4) Untuk mengembangkan profesi perawat dan menyempurnakan praktik

keperawatan

Metode yang sering dipakai untuk mengevaluasi keperawatan keluarga

adalah :

1) Observasi langsung

2) Memeriksa lapora atau catatan

3) Wawancara atau quisioner

4) Latihan simulasi

Langakah-langkah dalam evaluasi adalah sebagai berikut

1) Tetapkan data dasar (baseline) dari masalah kesehatan individu atau

masalah keluarga

2) Rumuskan tujuan keperawatan khusus dalam bentuk hasil klien

3) Tentukan kriteria dan standar untuk evaluasi


4) Tentukan metode/tekhnik evaluasi serta sumber data

5) Bandingkan keadaan nyata (sesudah perawatan) dengan kriteria dan

standar untuk evaluasi

6) Carilah penyebab dari intervensi yang kurang memuaskan


D. Pathway Gagal Ginjal Kronik
Gangguan
Gaya hidup tidak
imunologis dan
kongenetal vaskular Gangguan infeksi obstruksi
metabolik saluran kemih
Kerusakan pada Reaksi antigen
glomerulus Tertimbun di batu besar
Disfungsi
ginjal
arterosklerosis endotel dan kasar

Nefropati Retensi urin


Suplay darah
ginjal menurun

GFR menurun

Gagal ginjal
Perubahan Kerusakan vaskuler
kronik
situasi pembuluh darah
Krisis
Kurang situasional Penyumbatan
informasi pembuluh darah
Metode koping
Defisiensi pengetahuan tidak efektif Vasokontriksi
gagal ginjal kronik
berhubungan dengan Gangguan sirkulasi
Ketidakefektifan
ketidakmampuan koping
keluarga mengenal Risiko komplikasi
berhubungan
masalah kesehatan. (anemia, gagal jantung)
dengan
berhubungan dengan
ketidakmampuan
ketidakmampuan
keluarga
Ketidakpatuhan keluarga memanfaatkan
penatalaksanaan diet mengambil
fasilitas kesehatan.
gagal ginjal kronik keputusan.
berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga
memodifikasi lingkungan Intoleransi aktifitas berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga
merawat aggota keluarga yang
sakit

Gambar 2.3. Pathway keluarga dengan gagal ginjal kronik dikembangkan dari NANDA(2015)
DAFTAR PUSTAKA

Achjar, Komang, A. H. (2010). Asuhan Keperawatan Keluarga Bagi Mahasiswa


Keperawatan dan Praktisi Perawat Puskesmas. Denpasar: Sagung Seto.

Alam, Syamsir, Hadibroto, Iwan (2008). Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Ali, Zaidin. (2010). Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

Basford, Lynn, Oliver Slevin . 2006 . Teori & Praktik Keperawatan.Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. (2015). Keperawatan Mediak Bedah. Jakarta : EGC

Carpenito, L, J. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi 8. Jakarta: EGC

Catatan Pelajar (2016). Ginjal Pada Manusia. (online),


(http://www.catatanpelajar.net/2016/02/pengertian-struktur-dan-anatomi-
ginjal-pada-manusia.html diakses tanggal 28 November 2016).

Friedman, Marilyn, M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

Mubarak, Wahid I., Chayatin., Nurul., Santoso., Bambang. (2012). Ilmu


Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA. (2015). Aushan Keperawatan berdasarkan Diagosa Medis &


NANDA NIC-NOC Jilid 2. Jogyakarta: Mediaction Jogja.
Notoatmodjo, Prof. Dr. Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Asdi Mahasatya.

Nurani, V. M & Mariyanti, S. (2013). Gambaran Makna Hidup Pasien Gagal


Ginjal Kronik Yang Menjalani Hemodialisa. Jurnal Psikologi. 11 (1), 1-2.

Pamungtyas, A. Y., Ainy, F., Lestari, P. (2016). Hubungan Dukungan Keluarga


Terhadap Depresi Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Ruang Hemodialisa
RSUD Tugurejo Semarang. 2

Padila. (2012). Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika


Prabowo, Eko. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika

Puskesmas Bandongan. (2016). Prevalensi Gagal Ginjal Kronik. Magelang:


Puskesmas Bandongan.

Puskesmas Magelang Utara. (2016). Prevalensi Gagal Ginjal Kronik. Magelang:


Puskesmas Magelang Utara.

Price, A., Sylvia, Wilson, Lorraine, M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis


Proses- Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.

Sasmita, D., Bayhakki, Hasanah, O. (2015). Hubungan Antara Tingkat


Kecemasan Dengan Strategi Koping Pasien Dengan Gagal Ginjal Kronik
Yang Menjalani Hemodialisis. Jom PSIK. 2 (2), 1015.

Setiati, Siti, dkk. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta:
Interna Publishing.

Suprajitno. (2014). Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktik.


Jakarta: EGC.

Suyono, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.

Vaughan, B. W. (2013). Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Rapha

Wijaya, A.S., Putri, Yessi M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogjakarta:


Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai