Ibadah secara bahasa (etimologi) dari kata ً َعبَ َد – يَ ْعبُ ُد – ِعبَا َدةyang artinya perendahan diri,
tunduk atau patuh, maka ُ ال ِعبَا َدةartinya tunduk kepada tuhan dengan cara pengagungan, atau
bisa juga bermakna ritual keagamaan.1
Adapun secara istilah (terminologi) ibadah mempunyai banyak pengertian atau definisi, tetapi
makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah :
1. Ibadah adalah taat kepada Allah ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
lisan para Rasul-Nya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah azza wa jalla, yaitu tingkatan tunduk
yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.2
3.
ضاهُ ِمنَ اَأل ْق َوا ِل َواَأل ْع َما ِل الظَّا ِه َر ِة َوالبَا ِطنَ ِة
َ ْإ ْس ٌم َجا ِم ٌع لِ ُك ِّل ما َ ي ُِحبُّ هّللا ُ َو يَر
Sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhoi oleh Allah baik dari ucapan
maupun perbuatan yang nampak maupun yang tersembunyi.3
Dan dari pengertian ibadah yang paling lengkap dan yang sering dipakai oleh para ulama
adalah yang ketiga ini.
1
https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B9%D8%A8%D8%A7%D8%AF%D8%A9/
2
https://arofta.id/pengertian-ibadah-dalam-islam/
3
Kitab " " ال ُعب ُْودي ُّة, Syaikh Ibnu Taimiyyah, hal. 44.
Adalah ibadah yang tempatnya didalam hati, contohnya : cinta kepada Allah ()المحبّة,
takut kepada Allah( )الخوف, berharap pahala Allah( )الرجاء, Tawakkal kepada-Nya,
beriman dengan rukun-rukun iman.4
Salah satu contoh dalil dari ibadah yang zhahirah yaitu membaca Al-qur`an, Allah تعالى
berfirman :
Salah satu contoh dalil dari ibadah yang bathinah yaitu tawakkal, Allah تعالىberfirman :
“ Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang
beriman “. (QS. Al-Maidah : 23).
Ini hanyalah pembagian menurut jenis ibadah itu sendiri adapun secara pengamalan ibadah
zhahirah harus selalu disertai dengan ibadah bathinah, Rasulullah ﷺbersabda :
“ ketahuilah, sesungguhnya didalam jasad ada segumpal daging yang apabila baik maka baik
pula seluruh tubuhnya, dan apabila rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya, ketahuilah
segumpal daging itu adalah qalbu “.5
Ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang muslim jika diniatkan qurbah (mendekatkan
diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat kebiasaan (yang
mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti tidur,
makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan
tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak
mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi’ar-syi’ar yang
biasa dikenal.6 Rasulullah ﷺbersabda :
4
https://ien.edu.sa/qr/L-GE-PE-K04-SM1-twhd-U2-L6
5
H.R. Bukhari & Muslim.
6
https://almanhaj.or.id/10952-ibadah-pengertian-macam-dan-keluasan-cakupannya.html
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dengan niat-niatnya dan sesungguhnya setiap
orang memperoleh (balasan) sesuai dengan apa yang dia niatkan”.7
Hal ini juga masuk dalam kaedah fiqhiyyah yang disebutkan oleh para ulama
Sebagai contoh seseorang pergi sekolah, apakah niatnya pergi ke sekolah hanya sekedar
rutinitas atau kebiasaan, atau dengan niat menuntut ilmu dan mengharap pahala dari Allah?,
jika niatnya adalah ibadah dan mengharap pahala dari Allah, maka rutinatas dan kebiasaanya
itu dianggap sebagai Ibadah.
(( ِ اس َم ْن يَتَّ ِخ ُذ ِم ْن دُو ِن هَّللا ِ َأ ْندَادًا يُ ِحبُّونَهُ ْم َكحُبِّ هَّللا ِ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ َش ُّد ُحبًّا هَّلِل
ِ َّ)) َو ِمنَ الن
(( َك َكان َ ُأولَِئكَ الَّ ِذينَ يَ ْد ُعونَ يَ ْبتَ ُغونَ ِإلَى َربِّ ِه ُم ْال َو ِسيلَةَ َأيُّهُ ْم َأ ْق َربُ َويَرْ جُونَ َرحْ َمتَهُ َويَخَافُونَ َع َذابَهُ ِإ َّن َع َذ
َ ِّاب َرب
)) َمحْ ُذورًا
7
H.R. Bukhari & Muslim.
8
Abdurrahman bin Nashir As-sa`di, " " رسالة القواعد الفقهية, hal. 17.
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan
mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan
mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Tuhanmu
adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra’: 57).
Jadi tiga hal ini harus dimiliki secara bersamaan ketika beribadah kepada Allah. Sebagai
contoh ibadah shalat, di dalam shalat harus ada rasa khauf (takut),yaitu takut shalat ini ditolak
oleh Allah, takut shalat ini tidak diterima, takut shalat ini malah mengundang adzab karena
ada kekeliruan, kesalahan, khawatir riya’ itu ada ketika shalat sebagaimana yang disebutkan
di surat Al-Ma`un.
Juga harus disertai di dalamnya rasa raja` (berharap), berharap ampunan Allah dengan shalat
ini. Berharap pahala dari Allah, keridhaan dari Allah.
Juga harus ada rasa mahabbah (cinta), sehingga merasa betah dan khusyu saat bermunajat
kepada Allah di dalam shalat.
Demikian pula seorang hamba harus menyeimbangkan antara khauf dan raja’ sebagaimana
dalam ayat berikut yang menjelaskan seorang hamba berdoa dengan harap dan cemas. Allah
تعالىberfirman :
9
https://muslim.or.id/38052-menyeimbangkan-antara-khauf-rasa-takut-dan-raja-berharap.html
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas.
Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90).
Karena kalau hanya ada rasa khauf tanpa raja’, dihawatirkan dia terjerumus kedalam sifat
putus asa dari rahmat Allah, putus asa dari ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga
dia meninggalkan shalat karena takut shalatnya tidak akan diterima. Allah تعالىberfirman :
“ Dia (Ibrahim) berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali
orang-orang yang sesat ” (QS. Al-Hijr : 56).
Sebaliknya, jangan hanya ada rasa raja’ tanpa khauf, dihawatirkan dia nanti merasa aman dari
murka Allah, dari siksa Allah, dari makar Allah, sehingga dia menyepelekan dan bermudah-
mudahan di dalam shalat. Allah تعالىberfirman :
ِ )) َأفََأ ِمنُوا َم ْك َر اللَّـ ِه ۚ فَاَل يَْأ َمنُ َم ْك َر اللَّـ ِه ِإاَّل ْالقَوْ ُم ْالخ
(( ََاسرُون
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf : 99).10
10
https://www.radiorodja.com/46614-pengertian-khauf-raja-dan-mahabbah-kepada-allah/
Ikhlas karena Allah semata, yaitu menunaikan ibadah dengan tujuan mengharap
wajah Allah, mentaati Allah, karena cinta kepada-Nya, mengharap pahala-Nya, dan
meninggalkan keharaman-keharaman karena mentaati-Nya dan takut terhadap
hukuan-Nya. Allah تعالىberfirman :
“ Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka mengibadahi Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”. (Q.S. Al-
Bayyinah : 5).
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai firman Allah تعالى:
11
https://ien.edu.sa/qr/L-GE-PE-K04-SM1-twhd-U2-L6
12
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.
“ Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al
Mulk : 2).
Ahsanu Amalan yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak
mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan
diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan
diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan
dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan
showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”13
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya.
Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah,
karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya, beribadah
sesuai dengan metode dan bimbingan Rasulullah ﷺ. Rasulullah ﷺbersabda :
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut
tertolak.”. 14
Tingkatan Ad-dien
13
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rojab Al Hambali, Darul Muayyid, cetakan pertama, 1424 H.
14
HR. Muslim no. 1718.