Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Praktek Ibadah
Dosen pengampu : H. Yatonazun S.Sos. M.M
Semester 2A
Segala puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan nikmatnya. Dan shalawat serta salam yang selalu tercurah kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
dalam rangka melaksanakan tugas mata kuliah Praktek Ibadah. Makalah ini dibuat dengan
menyajikan materi tentang “ ILMU SERTA KEDUDUKANNYA, dan SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM “.
Penyusun menyampaikan rasa terimakasih kepada Bpk. H. Yatonazun. S.Sos. M.M.
Sebagai dosen pembimbing pembelajaran Praktek ibadah yang senantiasa memberikan
petunjuk dan arahan sehingga tugas ini dapat selesai.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Karena tegur sapa, pendapat serta kritik dan saran akan penyusun terima guna
lebih baik dimasa akan datang. Penyusun berharap semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. ILMU DAN KEDUDUKANNYA .......................................................................
1. Hukum Menuntut Ilmu Dan Mengajarkannya .................................................
2. Kedudukan Orang Yang Berilmu ....................................................................
3. Menuntut Ilmu Sebagai Ibadah .......................................................................
B. SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM ................................................................
1. Al-Qur’an .......................................................................................................
2. Sunah (Hadist) ................................................................................................
3. Ijma’ ...............................................................................................................
4. Qiyas ..............................................................................................................
A. Latar Belakang
Ilmu sangatlah penting bagi setiap manusia. Karna dengan adanya ilmu, dapat
membedakan mana yang baik dan buruk, serta membedakan derajat manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini. kedudukan ilmu dalam islampun sangat tinggi, karena
kedudukan orang yang berilmu lebih tinggi dari pada orang yang tidak berilmu. Jadi di
dalam islam, sangat ditekankan dalam mencari ilmu.
Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan, atau dasar yang
utama dalam pengambilan hukum Islam. Hal tersebut menjadi pokok ajaran Islam
sehingga segala sesuatu haruslah bersumber atau berpatokan kepadanya. Oleh karena
itu, sebagai sumber yang baik dan sempurna, hendaklah ia memiliki sifat dinamis,
benar, dan mutlak. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu al-Qur’an, hadis,
dan ijtihad.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hukum menuntut ilmu dan mengajarkannya dalam islam ?
2. Bagaimana kedudukan orang yang berilmu ?
3. Mengapa menuntut ilmu sebagai ibadah ?
4. Apa pengertian al-qur’an, sebab-sebab turunnya al-qur’an, garis besar isi al-
qur’an, dan al-qur’an sebagai dasar hukum ?
5. Apa pengertian sunah, kategori dan pembagian sunah, sunah sebagai hujjah ?
6. Apa pengertian ijma’, pembagian ijma’, periodisasi ijma’, sandaran ijma’, ijma’
sebagai hujjah ?
7. Apa pengertian qiyas, kedudukan qiyas, rukun dan syarat qiyas, macam-macam
qiyas ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata Ulumul Qur’an.
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk ;
1. mengetahui tentang bagaimana hukum menuntut ilmu dan mengajarkannya
dalam islam
2. mengetahui kedudukan orang yang berilmu
3. mengetahui bahwa menuntut ilmu sebagai ibadah
4. mengetahui pengertian al-qur’an, sebab-sebab turunnya al-qur’an, garis besar
isi al-qur’an, dan al-qur’an sebagai dasar hukum
5. mengetahui pengertian sunah, kategori dan pembagian sunah, sunah sebagai
hujjah
6. mengetahui pengertian ijma’, pembagian ijma’, periodisasi ijma’, sandaran
ijma’, ijma’ sebagai hujjah
7. mengetahui pengertian qiyas, kedudukan qiyas, rukun dan syarat qiyas, macam-
macam qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
َو َم ْن أ َ َرا َد ُه َما فَعَلَ ْي ِه باِلعِلْ ِم، َو َم ْن أ َ َرا َد اآلخِ َرهَ فَعَلَ ْي ِه ِب ْالعِلْ ِم،َم ْن أ َ َرا َد ال ُّد ْنيَا فَعَلَ ْي ِه ِباْلع ِْل ِم
) (رواه الترمذى.من خرج طلب العلم فهو سبيل هللا حتى يرجع
"Barang siapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan
sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga pulang kembali." (HR.
Tirmidzi).
Mengapa menuntut ilmu itu sangat tinggi nilainya dilihat dari segi ibadah?
Karena amal ibadah yang tidak dilandasi dengan ilmu yang berhubungan dengan itu,
akan sia-sialah amalnya. Syaikh Ibnu Ruslan dalam kitabnya Az-Zubad menyatakan:
B. SUNAH (HADIS)
1. PENGERTIAN SUNAH
Sunah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara. Sedangkan
sunah menurut istilah syara' ialah perkataan Nabi Muhammad saw, perbuatannya,
ketetapannya, yaitu sesuatu yang dilakukan oleh sahabat (baik perkataan maupun
perbuatan mereka), dan Nabi saw. tidak menegurnya. Hal ini sebagai bukti bahwa
perbuatan tersebut hukumnya tidak dilarang.
2. PEMBAGIAN TINGKATAN SUNAH
a. Pembagian Sunah
1) Sunah Qauliyah
Sunah Qauliyah yaitu perkataan Nabi saw. yang mene rangkan
hukum-hukum agama dan maksud isi Al-Qur'an serta berisi peradaban,
hikmah, ilmu pengetahuan dan juga menganjurkan akhlak yang mulia.
Sunah qauliyah (ucapan) ini dinamakan juga dengan Hadis Nabi saw.
2) Sunah Filiyah
Sunah fi'liyah itu terbagi sebagai beri kut:
a) Perbuatan Nabi saw yang bersifat gerakan jiwa.
b) Perbuatan Nabi saw yang bersifat kebiasaan.
c) Perbuatan Nabi saw yang khusus untuk beliau sendiri.
d) Perbuatan Nabi saw yang bersifat menjelaskan hukum yang
mujmal (global).
e) Perbuatan Nabi saw yang dilakukan terhadap orang lain
sebagai suatu hukuman.
f) Perbuatan Nabi saw. yang menunjukkan suatu kebolehan.
3) Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah ialah berdiam dirinya Nabi saw. ketika melihat
suatu perbuatan dari para sahabat, baik perbuatan tersebut mereka
kerjakan di hadapan Nabi saw. atau tidak, akan tetapi berita mengenai
perbuatan tersebut sampai kepada Nabi saw. Maka perkataan atau
perbuatan yang didiamkan oleh Nabi saw. dianggap sama dengan
perkataan dan perbuatan Nabi saw sendiri, dan dapat dijadikan sebagai
hujjah bagi seluruh umat.
Selain tiga macam sunah sebagaimana disebutkan di atas,
sebagian besar menambahkan satu lagi yaitu sunah hammiyah. Sunah
hammiyah ialah sesuatu yang dikehendaki Nabi saw. (diingini) tetapi
belum jadi dikerjakan. Misalnya beliau ingin melakukan puasa pada
tanggal 9 Muharram, tetapi belum dilakukan beliau telah wafat terlebih
dahulu. namun sebagian besar ulama menganggap sunah berpuasa pada
tanggal 9 Muharram.
b. Sunah Ditinjau dari Segi Sanadnya
Sunah/khabar jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau
sedikitnya orang yang meriwayatkan hadis, dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Khabar Mutawatir
Khabar mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan oleh golongan
demi golongan, sehingga dalam tingkatan dari semenjak sahabat,
tabi'in dan tabi'it tabi'in dan seterusnya, tidak kurang dari sepuluh
orang yang men dengarkan atau meriwayatkannya, hingga sampai
kepada rawi yang terakhir yang menyusun kitab hadis itu. Misalnya
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik dan lain-lainnya,
Adapun syarat-syarat khabar mutawatir di antaranya sebagai
berikut:
a) Mereka yang meriwayatkan khabar tersebut, benar-benar
mengetahui kenyataan dengan pasti, baik dengan cara melihat
mendengar sendiri.
b) Jumlah orang yang meriwayatkan harus jumlah yang menurut
adat tidak mungkin berbuat dusta, tidak harus dengan jumlah
yang terbatas, misalnya 7 atau 12 orang, asal saja dapat
memberikan pengetahuan ilmu dharuri, yakni mau tidak mau
mesti dapat diterimanya tak dapat ditolak.
c) Mesti sama banyak rawinya dari permulaan sanad sanad sampai
akhir sanad-sanad. Misalnya, pada la pisan pertama sanadnya
berjumlah 100 orang rawi, di pertengahan sanadnya 90 orang
rawi, dan di akhir sanadnya 110 orang rawi. Yang dimaksud
dengan sama banyak, yaitu bukan persamaan bilangan, maka
tidak di permasalahkan jika di antara lapisan-lapisannya kurang
sedikit.
Khabar mutawatir ini dapat dibagi menjadi dua, yautu mutawatir
lafidhi dan mutawatir maknawi. Mutawatir lafdhi ialah mutawatir
yang lafal-lafal hadis nya sama atau hampir sama. Sedangkan
Mutawatir maknawi ialah hadis yang menunjukkan per bedaan kata
dan arti, akan tetapi dari hadis tersebut dapat diambil suatu makna
yang umum, yakni satu makna dan tujuan.
2) Khabar Ahad
Khabar Ahad ialah hadis yang perawi-perawinya tidak mencapai
syarat-syarat perawi hadis mutawatir. Dengan kata lain khabar
ahad, ialah yang selain khabar mutawatir.
Khabar ahad terbagi atas beberapa bagian, ditinjau dari banyak
sedikitnya yang meriwayatkannya ialah:
a) Hadis Masyhur, yaitu yang diriwayatkan oleh paling sedikit tiga
orang, meskipun hanya dalam satu tingkatan dan tidak sampai
kepada derajat mutawatir.
b) Hadis Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 2 atau 3 orang
dalam tingkatan itu.
c) Hadis Garib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang saja,
baik di awal sanad maupun di tengah-tengahnya
c. Sunah Ditinjau dari Segi Kualitasnya
Terbagi menjadi tiga, yaitu:
1) Hadis Shahih, yaitu hadis yang mempunyai syarat-syarat sebagai
berikut:
Sanadnya tidak terputus-putus.
Rawi atau orang yang meriwayatkan bersifat adil, sempurna
ingatan dan catatannya (dhabith), tidak suka berbuat ganjil dan
bertentangan dengan orang banyak.
Tidak terdapat cacat pada orang dan isi hadisnya dengan cacat
yang dapat membahayakan.
Keadaannya tidak dibenci dan ditolak oleh ahli-ahli hadis.
2) Hadis Hasan, yaitu hadis yang memenuhi syarat hadis shahih, tetapi
orang yang meriwayatkan kurang kuat ingatannya. Hadis semacam ini
boleh diterima sekalipun.
3) Hadis Dha'if, yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya, yakni tidak
memenuhi syarat yang terdapat dalam hadis shahih dan hadis hasan.
3. SUNAH SEBAGAI HUJJAH
a. Menjelaskan maksud ayat-ayat Al-Qur'an.
Sunah dapat menjadi hujjah dikarenakan sebagian besar hukum yang terdapat
di dalam ayat-ayat Al-Qur'an masih gersifat global. Dalam hal ini, penjelasan
lebih lanjut mengenai suatu hukum diperlukan adanya keterangan dari Nabi
yang berupa hadis.
b. Sunah dapat berdiri sendiri dalam menentukan suatu hukum. Hal ini dapat kita
ketahui dari haramnya binatang yang berkuku tajam, padahal di dalam Al-
Qur'an tidak kita dapati hukum yang demikian ini. Kedudukan hadis atau sunah
dalam kasus seperti ini dapat dijadikan sebagai hukum syara' dengan sendirinya.
Dengan demikian dapat kita ketahui, bahwa sunah ada lah merupakan hujjah
kedua sesudah Al-Qur'an yang dapat dijadikan sumber hukum.
C. IJMA'
1. PENGERTIAN IJMA
Ijma' menurut bahasa, artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedang menurut
istilah ialah:
.إتفاق مجتهدي أمة محمد صلى هللا عليه وسلم بعد وفاته في عصير من األعصار على أمر من األمور
"Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad umat Muhammad, sesudah wafatnya pada
suatu masa, tentang suatu perkara (hukum)."
2. PEMBAGIAN IJMA
a. Ijma' Qauli
ljma' qauli (ucapan); yaitu ijma' di mana para ulama yang ahli ijtihad
menetapkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya. Ijma' ini juga disebut
dengan ijma' qath'i.
b. Ijma' Sukuti
Ijma' sukuti (diam), ialah diamnya para mujtahid terhadap suatu persoalan,
mereka tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu
bukan karena takut atau malu. Ijma' ini disebut juga ijma' dzanni.
Sebagian ulama berpendapat, bahwa suatu hukum yang ditetapkan oleh hakim
yang berkuasa, dan didiamkan oleh para ulama, belum dapat dijadikan sebagai
hujjah. Akan tetapi suatu pendapat yang ditetapkan oleh seorang faqih, lalu
didiamkan oleh para ulama yang lain, maka dapat dipandang sebagai ijma'.
Di samping ijma' umat tersebut di atas, masih terdapat bebarapa macam ijma'
yang lain, seperti: Ijma' sahabat, Ijma' ulama Madinah, Ijma' ulama Kufah, Ijma'
khulafaur rasyidin yang empat, ljma' Abu Bakar dan Umar, serta Ijma' itrah,
yakni ahli bait atau golongan Syi'ah.
3. PERIODISASI IJMA
a. Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Ijma' sahabat yang dimaksud ialah zaman Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali. Ijma' mereka ini jelas dapat dijadikan hujjah tanpa diperselisihkan
orang lagi, sebab Nabi saw sendiri memerintahkannya.
b. Masa Setelah Khulafaur Rasyidin
Pada zaman tabi'in saja sudah sukar akan terjadi nya ijma', maka lebih-lebih
zaman sekarang di mana para ulama telah tersebar luas ke seluruh pelosok.
Sedang sahnya ijma' ialah bergantung pada kebulatan pendapat semua mujtahid
(ahli ijtihad).
Ijma yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma' dari
keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama yang mewakili segala
lapisan masyarakatnya, untuk membicarakan kepentingan-kepentingan mereka.
Mereka itulah yang dianggap sebagai alil amri atau ahlil halli wal aqdi. Mereka
diberi hak oleh syariat Islam untuk membuat undang-undang yang belum
terdapat dalam syara'. Keputusan mereka wajib ditaati dan dijalankan selama
tidak bertentangan dengan nas syariat yang jelas, tetapi kalau ber lawanan
dengan nas syariat, maka betapa dan bagaimanapun juga keputusan itu tetap
batal, dan tidak boleh ditetapkan sebagai hukum.
4. SANDARAN IJMA
Ijma' tidak dipandang sah kecuali mempunyai sandaran yang kuat, sebab ijma'
bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Sandaran ijma' adakalanya dalil yang qathi,
yaitu Al-Qur’an dan hadis mutawatir, dan adakalanya berupa dalil dzanni yaitu
hadis ahad dan qiyas. Jika sandaran ijma' adalah hadis ahad, maka hadis ahad
tersebut bertambah nilai kekuatannya.
5. IJMA SEBAGAI HUJJAH
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa nilai kehujjahan ijma' ialah bersifat
dranni, bukan qath'i. Oleh karena ijma' adalah dalil yang bersifat dzanni, maka ia
dapat dijadikan sebagai hujjah (pegangan) dalam urusan amal, bukan dalam urusan
itikad. Sebab urusan itikad (keyakinan) menuntut adanya dalil yang qath'i.
D. QIYAS
1. PENGERTIAN QIYAS
Qiyas menurut bahasa artinya, mengukur sesuatu dengan lainnya dan
mempersamakannya. Menurut istilah qiyas ialah menetapkan sesuatu perbuatan
yang belum ada ketentuan hukumnya, berdasarkan suatu hukum yang sudah
ditentukan oleh nas, disebabkan adanya persamaan di antara keduanya.
2. KEDUDUKAN QIYAS
Qiyas menurut para ulama adalah hujjah syar'iyah yang keempat setelah Al-
Qur'an, hadis dan ijma'. Mereka berpendapat demikian dengan alasan:
a. Firman Allah
b. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan
Turmudzi.
3. RUKUN DAN SYARAT QIYAS
a. Rukun Qiyas
Rukun qiyas ada empat, yaitu:
1) Ashal (pangkal) yaitu sesuatu yang menjadi ukuran atau tempat
menyerupakan (musyabbah bih).
2) Furu (cabang), yaitu sesuatu yang diukur atau diserupa kan (musyabbah).
3) Illat, yaitu sifat yang menghubungkan antara pangkal dan cabang.
4) Hukum, sesuatu yang ditetapkan pada furu' sesudah tetap pada ashal (hukum
yang dihasilkan dari qiyas).
b. Syarat Qiyas
1) Syarat ashali / pokok
a) Hukum ashal harus masih tetap (berlaku), karena kalau sudah tidak
berlaku lagi (sudah diubah/dimansukh), maka tidak mungkin furu'
berdiri sendiri.
b) Hukum yang berlaku pada ashal, adalah hukum syara', karena yang
sedang dibahas oleh kita ini hukum syara' pula.
c) Hukum pokok atau ashal tidak merupakan hukum pengecualian.
2) Syarat-syarat furu'
a) Hukum furu' tidak boleh mendahului hukum ashal. Misalnya
mengqiyaskan wudu dengan tayamum dalam kewajiban niat dengan
alasan bahwa kedua-duanya sama-sama thaharah. Qiyas semacam ini
tidak dapat dibenarkan, karena wudu itu berlaku sebelum tayamum.
b) Illat yang terdapat pada furu', hendaknya menyamai illat pada hukum
ashal.
c) Begitu juga hukum yang ada pada furu' harus sama dengan hukum ashal.
3) Syarat-syarat illat
a) Hendaknya illat itu harus berturut-turut, artinya jika illat itu ada, maka
dengan sendirinya hukum pun ada.
b) Sebaliknya apabila hukum ada, illat pun ada.
c) Illat tidak boleh menyalahi nas, karena kedudukan illat tidak dapat
mengalahkannya, maka dengan demikian tentu nas lebih dahulu
mengalahkan illat.
4. MACAM-MACAM QIYAS
a. Qiyas Aulawi (melebihkan atau mengutamakan)
Qiyas aulawi ialah qiyas yang illatnya dapat menetapkan adanya hukum,
sementara cabangnya lebih pantas menerima hukum daripada ashal.
b. Qiyas Musawi (illat hukumnya sama)
Qiyas musawi ialah qiyas yang illatnya sama dengan illat qiyas aulawi, hanya
saja hukum yang berhubungan dengan cabang (furu), kedudukannya setingkat
dengan hukum ashal nya.
c. Qiyas Dilalah (menunjukkan)
Qiyas dilalah ialah qiyas yang illatnya tidak dapat menetapkan hukum, akan
tetapi dapat menunjukkan adanya hukum.
d. Qiyas Syibh (menyerupai)
Qiyas syibh adalah mengqiyaskan cabang yang diragukan di antara kedua
pangkal dengan illat yang lebih menyamai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
http://etheses.iainkediri.ac.id/977/2/933310611-bab1.pdf
Drs. H. Moh. Rifa’i. 2014. FIQIH ISLAM LENGKAP. Semarang : PT. Karya Toha Putra
Semarang.