PEREMPUAN
BAB I
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN ANAK DAN
PEREMPUAN
2
mengartikan istilah-istilah anak dan belum dewasa secara campur aduk
sehingga ukuran atau batas umurnya juga berbeda-beda.'
Istilah anak dapat ditinjau dari aspek umur dan kejiwaan. dalam
bahasan ini hanya dipaparkan pengertian anak ditinjau dari aspek usia saja,
sedang pengertian anak ditinjau dari aspek psikologis tidak diuraikan lebih
lanjut, mengingat batas usia ini biasanya sering dipergunakan sebagai tolak
ukur sejauh mana anak bisa dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan
pidana dalam lapangan hukum pidana maupun penetuan apakah seseorang
telah mempunyai kecakapan sebagai subjek hukum atau telah dewasa
dalam lapangan hukum perdata. Sebagai gambaran tentang pengertian
anak, akan diuraikan menurut batasan tentang usia dari berbagai peraturan
perundang-undangan.
Ditinjau dari sudut pandang hukum, istilah anak menurut instrumen
hukum internasional yang merupakan kesepakatan bangsa-bangsa di dunia di
bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana tercantum
dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention of The Rights of The Child) yang
telah disetujui Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
20 November 1989 yang menjadi pedoman dalam penentuan batasan usia
anak oleh negara-negara di berbagai belahan dunia, dalam Pasal 1
menyatakan bahwa anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18
tahun kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku untuk anak-anak
menetapkan bahwa kedewasaan dicapai lebih cepat.
Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, misalnya dalam lapangan
hukum perdata sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Pasal 330 menyatakan bahwa belum dewasa adalah mereka yang
belum umur mencapai genap 21 tahun dan lebih dahulu telah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka
mereka tidak kembali lagi kedudukannya belum dewasa. Sedangkan
menurut Pasal 47 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
secara eksplisit menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
' Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur
{Kecakapan dan jfeıvenongnn bertindak berdasar Batas‹:nı Umur), Jakarta: Gramedia,
2010, hlm. 36.
3
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
Dalam hal kesejahteraan anak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, memberikan
pengertian anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan
belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak
yang masih dalam kandungan. Pengertian yang serupa juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
1 angka 5 memberikan pengertian anak adalah manusia yang berusia di
bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan pengertian anak dalam sistem
peradilan pidana anak dengan beberapa kategori sebagai berikut:
1. Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang mengalami penderitaan fısik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut
anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau
dialaminya sendiri.
Dari uraian-uraian tentang pengertian anak tersebut di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa pengertian anak ditinjau menurut usia
mempunyai perbedaan sesuai dengan lapangan hukum masing-masing
misalnya dalam hukum perdata penentuan usia anak dikategorikan sebagai
4
orang yang belum dewasa, yakni di bawah 21 tahun yang sejalan dengan
batasan usia anak dalam hal kesejahteraannya, namun demikian dalam hal
perkawinan batasan usia anak adalah seseorang yang berada di bawah 18
tahun dan baru dapat melangsungkan pemikahan apabila telah mencapai
usia 19 tahun yang dimaksudkan untuk mencegah teıjadinya pernikahan
pada usia dini. Dalam hal perlindungan terhadap anak mengatur tentang
usia anak, yaitu seorang yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih
dalam kandungan, dan dalam konteks hukum pidana bahwa anak adalah
seseorang yang berusia 12 tahun tetapi belum mencapai usia 18 tahun.
2 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak; Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa
Pemidanaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 28.
3
Ibid, hlm. 28-29.
6
pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari
nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk
eksploitasi;
7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa
bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.
Butir-butir pernyataan hak-hak anak tersebut di atas menunjukkan
berbagai tindakan dan upaya yang harus dilakukan atau ditempuh oleh
pihak yang berwenang dalam suatu negara untuk dapat menjamin tumbuh
kembang anak dalam kehidupannya sesuai dengan tingkat perkembangan fısik
dan mentalnya tanpa adanya perbedaan ras atau suku bangsa termasuk
strata sosialnya. Kebutuhan mendasar anak harus dijamin untuk dipenuhi
agar anak fısik dan mentalnya dapat berkembang dengan baik, mendapat
pengasuhan dan pendidikan yang memadai baik dari orang tuanya,
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Apabila anak berada dalam
kondisi dan situasi darurat yang membahayakan perkembangannya, maka
negara harus memberikan upaya dan tindakan khusus agar situasi tersebut
tidak memberikan dampak yang negatif bagi anak tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, seorang ahli perlindungan anak
bernama Peter Newel mengemukakan pandangannya tentang alasan-alasan
subjektif ditinjau dari sisi keberadaan anak sehingga anak membutuhkan
perlindungan, yaitu: 4
1. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan
perlindungan anak sangat tinggi, jauh lebih tingi daripada biaya
yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;
2. Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas
perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan
(unaction) dari pemerintah ataupun kelompok lainnya;
3. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam
pemberian pelayanan publik;
4. Anak-anak tidak mempunyai hak suar, dan tidak mempunyai
kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;
7
5. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses
perlindungan dan penaatan hak-hak anak;
6. Anak-anak lebih berisiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.
Alasan-alasan perlindungan anak tersebut di atas sangat beralasan,
karena anak merupakan manusia yang belum memiliki kematangan secara
fısik dan mental, sehingga apabila anak mengalami suatu kejadian yang
tidak normal atau bahkan menjadi korban suatu peristiwa yang buruk,
maka anak akan mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan dan
membutuhkan waktu yang panjang untuk menghilangkan dampak negatif
tersebut. Setiap kejadian atau peristiwa buruk yang dialami oleh anak akan
terus terekam dalam ingatan anak dan memerlukan upaya yang tidak
mudah untuk menghilangkannya sehingga akan mempengaruhi tumbuh
kembang anak itu sendiri yang dapat berdampak pada cara pandang, sikap dan
tingkah laku anak di masa yang akan datang.
Oleh karena itu, mengingat begitu pentingnya perlindungan dan
pengakuan khusus terhadap hak-hak anak yang sangat dibutuhkan dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan anak melalui strategi kelangsungan
hidup, dalam perkembangannya menumbuhkan perhatian masyarakat
Internasional yang mengandung makna perlunya perlindungan khusus
terhadap hak-hak anak telah diperkuat dengan disahkannya Dokumen
Internasional, yakni Deklarasi Jenewa tentang hak-hak anak Tahun 1924
yang diakui oleh Universal Declaration of Human Rights tanggal 10
Desember 1948, dan selanjutnya dikukuhkan dalam Resolusi Majelis
Umum PBB No. 1386 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai
Declaration of The Rights of The Child atau disebut juga Deklarasi Hak-
Hak Anak, yang terdiri atas 10 Prinsip.’
Perlindungan terhadap hak-hak anak dalam menjalani segala
aktivitas kehidupannya sehari-hart karena kondisi atau keadaan fısik dan
mental anak yang belum matang sehingga memerlukan perlindungan dan
perlakuan khusus dari pemangku kepentingan dalam suatu negara. Upaya
perlindungan tersebut merupakan hal yang terus menjadi perhatian
masyarakat Internasional yang kemudian dituangkan dalam Mukadimah
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni,
1992, hlm. 107.
8
Deklarasi Hak-Hak Anak (Deklaration of The Rights of The Child) yang
menyatakan bahwa:
“Whereas the child, by reason of his physically and mental
immaturity. Need special safeguards and care, including approriate
legal protection, before as well as after birth ”.
Mudimah Deklarasi Hak-Hak Anak tersebut, mengandung makna
bahwa bangsa-bangsa Internasional telah menyadari bahwa anak sebagai
insan manusia yang belum memiliki kematangan baik secara fısik maupun
mental, sehingga kiranya terhadap anak perlu mendapatkan pengamanan dan
perlindungan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak dan pantas
diperolehnya yang diterima sebelum dan sesudah kelahirannya. Hal tersebut
berarti bahwa sejak masih dalam kandungan ibunya, anak sudah memiliki hak
hidup untuk lahir ke dunia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan kemudian
hak untuk melanjutkan kehidupannya hingga tumbuh dan berkembang
sebagai manusia seutuhnya.
Perhatian pada terhadap urgensi memberikan perlindungan khusus
kepada anak yang dijamin oleh hukum oleh tiap-tiap negara dalam
mengembangkan fısik dan mentalnya dengan mempertimbangkan
kepentingan yang terbaik bagi anak agar dapat tumbuh dan kembang
menjadi manusia seutuhnya berkaitan erat dengan prinsip ke-2 yang
tercantum dalam Deklarasi Hak-Hak Anak ‹Deklaration of The Rights of
The Child) yang berbunyi:
“The Child shall enjoy special protection, and shall be given
opportunities and facilities by law and other means, to enable him to
develop physically, morally, spiritually and socially in healty and
normal manner in conditions of freedom and dignity. In the
enactment of laws for this purpose the best interest of the child shall
be the paramount consideration. ”
Dari prinsip Deklarasi Hak-Hak Anak tersebut di atas,
mengamanatkan kepada negara peserta bahwa anak harus mendapatkan
perlindungan secara khusus serta harus diberikan kesempatan dan fasilitas
oleh hukum dan berbagai sarana lainnya sehingga dapat memungkinkan anak
untuk dapat tumbuh kembang secara fısik, moral, spiritual, dan sosialnya
secara sehat dan normal dalam suatu kondisi yang bebas dan bermartabat.
Oleh karena itu dalam memberlakukan undang-undang untuk
9
tujuan tersebut, maka perlu dipedomani bahwa kepentingan terbaik bagi
anak harus menjadi pertimbangan penting. Hal ini berarti segala upaya dan
kegiatan yang ditujukan untuk melindungi anak seyogyanya
memperhatikan kepentingan yang terbaik bagi anak di masa yang akan
datang.
Pemenuhan hak-hak anak sebagaimana tercantum dalam dua
Deklarasi Internasional, yakni Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan
Deklarasi Hak-Hak Anak kemudian ditindaklanjuti dengan pencanangan
tahun Anak Internasional pada tahun 1979, di mana Pemerintah Polandia
mengajukan usulan perumusan dokumen yang meletakan standar
Internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan mengikat secara
yuridis yang merupakan awal mula perumusan Konvensi Hak-Hak Anak
‹Convention of The Rights of The Child). Pada tahun 1989, rancangan
Konvensi Hak Anak diselesaikan kemudian disahkan oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 yang
dituangkan dalam Resolusi PBB Nomor 44/25 tanggal 5 Desember 1989
yang merupakan standar internasional terhadap hak-hak anak. 6
Bagian konsideran Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa
anak harus sepenuhnya dipersiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai
pribadi dalam masyarakat dan dibesarkan dalam masyarakat dengan cita-
cita yang dinyatakan dalam piagam PBB, khususnya dalam semangat
perdamaian, bermartabat, toleransi, kemerdekaan, kebersamaan dan
solidaritas, kemerdekaan, kebebasan dan solidaritas. Disebutkan pula dalam
konsideran Konvensi Hak Anak bahwa karena anak belum memiliki
kematangan fısik dan mentalnya sehingga membutuhkan perlindungan dan
perawatan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan
sesudah lahir. Kelahiran Konvensi Hak Anak tersebut menjadi pedoman
bagi negara-negara di berbagai penjuru dunia untuk memberikan
perlindungan terhadap anak berbagai aktivitas kehidupan.
Selanjutnya, berkaitan dengan latar belakang perlunya perlindungan
terhadap perempuan, bahwa perempuan sebagai suatu kelompok dalam
masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib
mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi.
10
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memang tidak menyatakan secara
eksplisit tentang adanya jaminan hak asasi terhadap kelompok perempuan
secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM memuat bahwa hak dan
kebebasan individu perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi
termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin,
sehingga negara bertanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak
asasi manusia perempuan seperti jaminan kepada kelompok lainnya. 7
Prinsip persamaan hak dan kebebasan tanpa adanya diskriminasi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 DUHAM tersebut, mengandung
makna bahwa perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyaihak-
hak dan kebebasan yang sama dengan laki-laki dalam menjalani
kehidupannya dan tidak boleh ada diskriminasi hanya karena memandang
perbedaan jenis kelamin. Perempuan sudah selayaknya juga dapat
diberikan kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki untuk
mendapatkan hak-hak dan kebebasannya dalam segala aspek kehidupan
baik sosial, ekonomi, budaya, politik dan lainnya baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk menjamin pemenuhan hak-
hak dan kebebasan tersebut, sudah semestinya negara memberikan
perlindungan terhadap perempuan.
Selama ini isu hak asasi perempuan sebagai bagian dari HAM masih
merupakan isu yang terpinggirkan dibanding dengan isu HAM lainnya
seperti hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Charlote Bunch
mengemukakan bahwa selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar
dengan berbagai cara, dalam kondisi politik tertentu sebenarnya
perempuan mengalami korban kekerasan, namun karena aktor-aktor politik
selama ini didominasi oleh laki-laki, maka masalah perempuan sebagai
korban kekerasan yang terlanggar HAM-nya berkaitan dengan sifat
keperempuanannya menjadi tidak kelihatan (invisible). Oleh karena itu,
saat ini, isu perempuan secara konkrit harus menjadi fokus perhatian negara
baik di tingkat nasional, regional dan internasional, yang hanya dengan cara
tersebut, maka isu perempuan dapat dianggap sebagai masalahnegara dan
bangsa dan bukan masalah golongan perempuan saja.
7 Niken Safitri, HANI Perempuan; Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUIIP,
Bandung: Refıka Aditama, 2008, hlm. 1-2.
Ibid, hlm. 2.
11
Serupa dengan masalah yang dihadapi oleh anak, perempuan juga
merupakan pihak yang paling sering menghadapi berbagai bentuk
diskriminasi, tindakan atau perbuatan yang tidak adil dalam menjalani
kehidupannya. Kondisi perempuan yang lemah dalam arti tidak
mempunyai kemampuan maupun sumber daya yang memadai dalam
kehidupannya kemudian diperburuk dengan pandangan masyarakat pada
umumnya yang salah mengartikan status, kedudukan dan peran perempuan
dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat membuat hak-hak
perempuan menjadi terabaikan. Keberadaan perempuan yang secara
kodrati sebagai insan yang melahirkan generasi penerus kehidupan
manusia, justru mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminasi dan
merendahkan harkat dan martabatnya.
Pada umumnya, perempuan mempunyai posisi yang rawan karena
kedudukan perempuan yang kurang menguntungkan dalam kehidupannya, di
mana perempuan termasuk juga anak merupakan kelompok yang rawan
‹children and women risk) sehingga perempuan dan anak mempunyai
resiko besar untuk mengalami gangguan atau masalah dalam
perkembangannya baik secara psikologis (mental), sosial maupun fısik.
Perempuan dan anak yang rawan dipengaruhi oleh kondisi internal maupun
kondisi eksternalnya di antaranya perempuan dan anak dari keluarga
miskin ‹economically disadvantaged), perempuan dan anak di daerah
terpencil ‹culturally disadvanteged), perempuan dan anak cacat serta
perempuan dan anak dari keluarga yang berpisah atau tidak harmonis
‹broken home).
Dalam hal perlindungan terhadap perempuan, harus secara eksplisit
dan khusus dijamin hak-haknya karena perempuan termasuk dalam
kelompok yang vurnerable bersama-sama dengan kelompok anak,
kelompok minoritas, dan kelompok pengungsi serta kelompok rentan
lainnya. Perempuan termasuk kelompok yang lemah, tidak terlindungi, dan
karenanya selalu dalam keadaan yang penuh risiko serta sangat rentan
terhadap bahaya, yang salah satu di antaranya adalah tindakan kekerasan
yang datang dari kelompok lain. Kerentanan ini membuat perempuan
sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi
12
daripada laki-laki. Selain itu, derita yang dialami perempuan baik pada
saat maupun setelah teıjadinya kekerasan pada kenyataannya jauh lebih
traumatis daripada yang dialami laki-laki. '0
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hal yang
menjadi latar belakang perlindungan terhadap anak dan perempuan pada
umumnya berkaitan erat dengan peŞalanan sejarah masyarakat
Internasional salah satunya adanya peristiwa perang dunia yang banyak
mengakibatkan penderitaan bagi anak dan perempuan sehingga
menumbuhkan kesadaran bangsa-bangsa akan pentingnya memberikan
perlindungan bagi anak dan perempuan. Selain itu, perlindungan terhadap
anak dan perempuan juga dilatarbelakangi kesadaran kolektif bangsa-
bangsa di dunia Internasional tentang kedudukan anak dan perempuan
mempunyai peranan dalam suatu bangsa, di mana anak merupakan
generasi penerus di masa mendatang yang belum memiliki kematangan
fısik dan mental, demikian pula perempuan berperan melahirkan generasi
suatu bangsa yang sudah semestinya mendapat perlindungan dalam
kehidupannya.
13
bangsa dan penerus pembangunan, tidak hanya sebagai objek
pembangunan, namun sebagai generasi yang sedang dipersiapkan sebagai
subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali
masa depan suatu bangsa dan negara tidak terkecuali Indonesia.
Perlindungan anak berarti melindungi potensi sumber daya insani dan
membangun manusia Indonesia seutuhnya dalam rangka menuju
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. "
Secara umum, tujuan perlindungan anak adalah untuk memberikan
rasa aman, bebas dari ancaman baik fısik maupun mental, menjauhkan anak
dari segala tindakan yang buruk termasuk upaya pemenuhan hak-hak anak
dalam kehidupannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik menjadi
manusia seutuhnya di masa mendatang. Menurut Pasal 3 Undang- Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa perlindungan
anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang
berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Selanjutnya berkaitan dengan tujuan perlindungan terhadap
perempuan secara implisit tercantum dalam rumusan Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita ‹Convention on
the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women) yang
secara tegas menyatakan bahwa negara-negara pihak harus melakukan
upaya-upaya yang layak di semua bidang khususnya dalam bidang politik,
sosial, ekonomi dan budaya untuk menjamin pengembangan dan pemajuan
perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk menjamin mereka dalam
melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
mendasar atas dasar persamaan dengan kaum laki-laki.
'' Nashriana, Perlindungan hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011, hlm. 1.
14
D. Asas-Asas Perlindungan Anak dan Perempuan.
Perihal asas-asas perlindungan anak dan perempuan, maka tidak
terlepas dari landasan filosofis, landasan konstitusional maupun landasan
operasional perlindungan anak dan perempuan itu sendiri. Pancasila
sebagai landasan filosofis, Sila Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, mengandung makna filosofis bahwa Negara menjamin hak
seluruh rakyat untuk mendapatkan keadilan dan perlakuan di depan hukum dan
pemerintahan tanpa terkecuali, tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan
golongan, strata/status sosial maupun dari tingkat ekonomi dalam
kehidupan masyarakat, atau dengan kata lain bahwa Pancasila sebagai
landasan filosofis menjamin hak untuk memperoleh keadilan bagi seluruh
warga negara justice for all).
Dalam kaitannya dengan perlindungan anak dan perempuan, maka
setiap anak dan perempuan yang juga merupakan warga Negara berhak
memperoleh jaminan perlindungan dari Negara dalam setiap aktivitas
kehidupannya sehari-hari. Tidak ada pembedaan atau diskriminasi
terhadap anak dan perempuan untuk mendapatkan pemenuhan hak-haknya
secara adil. Setiap anak dan perempuan berhak untuk mendapatkan
perlakuan yang adil di depan hukum ‹equality before the law) dan
pemerintahan tanpa adanya perbedaan dengan kelompok yang lain. Hal
tersebut untuk menjamin bahwa penyelenggaraan negara dan pemerintahan
beijalan dengan adil tanpa adanya perbedaan dengan tetap memperhatikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi setiap orang warga negara.
Selanjutnya sebagai landasan konstitusional, secara eksplisit
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi
”kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. ..” Dari alinea tersebut dengan tegas menyatakan bahwa
Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia beserta seluruh tumpah darah Indonesia, termasuk di dalamnya
adalah jaminan perlindungan Negara kepada saksi dan korban dalam
peradilan pidana. Lebih lanjut Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menegaskan
bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang berarti bahwa segala hal
penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan berdasarkan pada hukum.
15
Kemudian, dalam Pasal 28 huruf g UUD 1945 konstitusi Negara
Indonesia juga telah mengamanatkan pentingnya perlindungan terhadap
seluruh warga negara Indonesia, tidak terkecuali perlindungan terhadap
anak dan perempuan, yang berbunyi sebagai berikut:
a. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi;
b. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka dari negara lain.
Dari uraian Pasal 28 huruf g UUD 1945 tersebut di atas, jelaslah
bahwa konstitusi Negara Indonesia telah memberikan jaminan kepada
setiap orang termasuk anak dan perempuan atas perlindungan serta berhak atas
rasa annan dan perlindungan dari ancaman dalam menjalani aktivitas sehari-
hart di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa
adanya ancaman, perasaan takut, tertekan atau mendapat intimidasi, teror dari
pihak-pihak tertentu sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang annan,
tenteram, dan damai dalam rangka menuju masyarakat Indonesia yang adil
makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Selanjutnya sebagai landasan operasional dalam hal perlindungan
terhadap anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 2 menyatakan bahwa
penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi non
diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup,
kelangsungan hidup dan perkembangan, dan hak penghargaan pendapat
anak yang akan diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut.
1. Prinsip Nondiskriminasi.
Prinsip nondiskriminasi artinya semua anak mempunyai hak-hak
yang sanna tanpa adanya perbedaan dan diskriminasi dalam bentuk apapun
16
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi Hak-Hak Anak,
bahwa negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang
ditetapkan dalam konvensi ini baik bagi setiap anak yang berada di
wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau pandangan-pandangan lain, asal usul kebangsaan, etnik atau
sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya
baik dari sisi anak sendiri atau dari orang tuanya walinya yang sah.
17
4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak {respect for the
views of the child).
Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak diatur dalam Pasal 12
ayat (1) dan (2) bahwa negara-negara peserta akan menjamin anak-anak
yang mampu membentuk pandangannya sendiri, bahwa mereka
mempunyai hak untuk pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua
hal yang menyangkut anak, dan bahwa pandangan anak diberi bobot
sesuai dengan usia dan kematangan anak. Bahwa untuk tujuan itu, secara
khusus anak akan diberi kesempatan untuk didengar dalam setiap proses
peradilan dan administrasi yang menyangkut anak, baik secara langsung atau
melalui seorang wakil atau badan yang tepat dengan cara yang sesuai
dengan prosedur hukum nasional.
Selanjutnya dalam hal perlindungan terhadap perempuan,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination againts Women), di mana substansinya mengakui
perbedaan biologis atau kodrati antara perempuan dan laki-laki, perbedaan
perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender yang mengakibatkan
kerugian pada perempuan, perbedaan kondisi dan posisi antara perempuan
dan laki-laki dikarenakan adanya diskriminasi terhadap perempuan. Untuk
itu Konvensi mengamanatkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
negara antara lain secara umum mengeliminasi diskriminasi terhadap
perempuan, memberdayakan perempuan, melakukan percepatan
tercapainya kesetaraan gender, dan melakukan revisi terhadap peraturan
perundang-undangan yang mendudukkan perempuan setara di depan
hukum, ketenagake aan dan hak-hak warga negara lainnya. '2
Adapun prinsip-prinsip perlindungan terhadap perempuan
sebagaimana tercantum dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita antara lain prinsip kesetaraan
terhadap perempuan dalam berbagai aktivitas kehidupannya misalnya di
bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum dan bidang lainnya. Hal ini
berarti bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki
18
dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Prinsip selanjutnya,
yaitu nondiskriminasi yang mempunyai keterkaitan dengan prinsip
kesetaraan, di mana tidak boleh ada pembedaan, pengucilan, pembatasan
atas dasar perbedaan jenis kelamin yang ditujukan untuk mengurangi atau
bahkan menghilangkan hak-hak perempuan di berbagai bidang kehidupan
sehingga perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam
aktivitas kehidupannya sehari-hart.
19
Masalah hak asasi manusia, telah menjadi perhatian dunia
internasional, yang mulai tumbuh pasca terungkapnya kekejaman perang
dunia II, dan setelah adanya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang
merupakan kesepakatan masyarakat Internasional meskipun tidak secara rinci
mengatur tentang hak asasi manusia sehingga perlu adanya deklarasi yang
menyatakan bahwa hak asasi manusia yang bersifat universal. Untuk tujuan
tersebut dibentuklah United Nation Commisions on Human Rights
(UNHCR) pada tahun 1947, yang hasil pembahasannya kemudian diadopsi
oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 November 1948 yang dikenal dengan
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Meskipun DUHAM ini dari aspek
hukum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi negara-negara di
dunia, namun ketentuan dalam DUHAM mempunyai nilai sebagai hukum
kebiasaan internasional {customary international law). '4
Adapun prinsip-prinsip umum (general prinsip) yang terkandung
dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia antara lain sebagai berikut: '5
1. Pengakuan terhadap martabat dasar (inherent dignify) dan hak-hak
yang sama dan sejajar (equal and inalienable rights) sebagai dasar
dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia;
2. Membangun hubungan yang baik antarbangsa;
3. Perlindungan HAM dengan rule of law,-
4. Persamaan antara laki-laki dan perempuan; dan
5. Ke a sama antara negara dengan PBB untuk mencapai pengakuan
universal terhadap HAM dan kebebasan dasar.
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Universal Declaration of
Human Rights terdiri atas 30 Pasal yang mengatur tentang hak-hak asasi
yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Selain itu, ditentukan juga
larangan-larangan demi menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia, yaitu sebagai berikut:
1. Setiap orang, dilahirkan merdeka, memiliki kebebasan dan memiliki
persamaan martabat dan hak (Pasal 1);
2. Setiap orang berhak atas semua kebebasan dan hak yang tercantum
dalam Deklarasi HAM tanpa ada perbedaan apapun berdasarkan ras,
'4 Fika Yuliadina Hakim, Deklarasi IJniversal hak Asasi Manusia, Indonesian Joumal of
International Law, Volume 4 Nomor 1 Tahun 2006, hlm. 134.
" Ibid, hlm. 135.
20
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat
yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak
milik, kelahiran atau kedudukan lain (Pasal 2).
3. Setiap orang memiliki hak hidup, hak atas kebebasan, dan
keselamatan individu (Pasal 3);
4. Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan,
perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuk apapun
mesti dilarang (Pasal 4);
5. Tidak seorang pun boleh disiksa atau mendapatkan perlakuan yang
kejam atau dihukum secara tidak manusiawi dan direndahkan
martabatnya (Pasal 5);
6. Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai pribadi di
mana saja berada (Pasal 6);
7. Setiap orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan
hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 7);
8. Setiap orang berhak atas bantuan yang efektif dari pengadilan
nasional yang kompeten untuk tindakan pelanggaran hak-hak dasar
yang diberikan kepadanya oleh undang-undang (Pasal 8);
9. Tidak seorang pun dapat ditangkap, ditahan, atau dibuang secara
sewenang-wenang (Pasal 9);
10. Setiap orang dalam persamaan yang penuh berhak atas pengadilan
yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak
memihak dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya
(Pasal 10);
11. Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan pelanggaran
hukum dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya
menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka di mana dia
memperoleh jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya (Pasal
21
13. Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam
negara dan berhak meninggalkan dan kembali ke suatu negeri
termasuk negerinya sendiri (Pasal 13);
14. Setiap orang berhak mencari suaka di negeri lain untuk melindungi
diri dari pengejaran, namun tidak berlaku untuk kasus pengejaran
yang timbul karena kejahatan nonpolitik atau tindakan yang
bertentangan dengan tujuan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa
(Pasal 14);
15. Setiap orang berhak atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun
semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolakhaknya
untuk mengganti kewarganegaraan (Pasal 15);
16. Setiap laki-laki dan perempuan yang telah dewasa dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk
menikah dan membentuk keluarga yang dilaksanakan pilihan bebas dan
persetujuan penuh dari kedua mempelai, dan setiap keluarga berhak
mendapatkan perlindungan dari negara (Pasal 16);
17. Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama
dengan orang lain, dan tidak seorang pun dapat dirampas hartanya
dengan semena-mena (Pasal 17);
18. Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama,
termasuk kebebasan mengganti agama dan kepercayaan,
melaksanakan ibadah dan menaatinya baik sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain di muka umum maupun sendiri (Pasal 18);
19. Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan
pendapat tanpa gangguan dan hak mencari, menerima dan
menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja
dengan tidak memandang batas wilayah (Pasal 19);
20. Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan
berserikat secara damat dan tidak seorang pun boleh dipaksa untuk
memasuki suatu perkumpulan (Pasal 20);
21. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya
secara langsung atau melalui wakil-wakilnya yang dipilih dengan
bebas, setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk
diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya. Kehendak rakyat
menjadi dasar kekuasaan pemerintah yang dinyatakan dalam
22
pemilihan umum yang jujur, bersifat umum dan tidak membeda-
bedakan serta kebebasan memberikan suara (Pasal 21);
22. Setiap orang sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan sosial
dan berhak melaksanakan perantaraan usaha-usaha nasional dan
keŞa sama internasional (Pasal 22);
23. Setiap orang berhak atas pekeıjaan, memilih pekeıjaan, tanpa
diskriminasi berhak atas pengupahan yang sama untuk pekeŞaan
yang sama, berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekeŞa
untuk melindungi kepentingannya (Pasal 23);
24. Setiap orang berhak atas istirahat, liburan, termasuk pembatasan-
pembatasan jam keŞa yang layak dan hart libur berkala dengan
menerima upah (Pasal 24);
25. Setiap orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan
kesejahteraan diri dan keluarganya termasuk pangan, pakaian,
perumahan dan perawatan kesehatannya serta pelayanan sosial yang
diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur,
menderita sakit, cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau
mengalami kekurangan mata pencarian yang lain karena keadaan di luar
kekuasaannya (Pasal 25);
26. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan, di mana pendidikan
tingkat dasar harus gratis. Pendidikan ditujukan ke arah
perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta memperkokoh rasa
penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan asasi. Orang tua
mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan yang akan
diberikan kepada anak-anak mereka (Pasal 26);
27. Setiap orang berhak untuk turut serta dengan bebas dalam
kebudayaan masyarakat, dan berhak untuk memperoleh
perlindungan atas kepentingan-kepentingan moril dan material yang
diperoleh sebagai hasil suatu produksi ilmiah, kesusasteraan atau
kesenian yang diciptakannya (Pasal 27);
28. Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di
mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub dalam
deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya (Pasal 28);
29. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat
satu-satunya di mana ia memperoleh kesempatan untuk
23
mengembangkan pribadinya. Dalam menjalankan hak-hak dan
kebebasan-kebebasannya setiap orang harus tunduk pada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan yang layak terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam
suatu masyarakat yang demokratis (Pasal 29);
30. Tidak satu pun dalam deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan
suatu negara, kelompok atau seseorang, hak untuk terlibat dalam
kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan untuk
merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang
tercantum dalam deklarasi ini (Pasal 30).
24
25