Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN REFERAT KOASS PSIKIATRI

Attention Deficit Hyperactivity Disorder

Disusun oleh :
Abia Nebula
1102011002
Kepaniteraan Klinik Psikiatri RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :
Dr. Sonny Chandra SpKJ

SMF PSIKIATRI
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan
gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan
remaja. Gejala intinya meliputi tingkat aktivitas dan impulsivitas yang
tidak sesuai perkembangan serta kemampuan mengumpulkan perhatian
yang terganggu. Anak dan remaja yang menderita gangguan tersebut akan
sukar menyesuaikan aktivitas mereka dengan norma yang ada sehingga
mereka sering dianggap sebagai anak yang tidak baik di mata orang
dewasa maupun teman sebayanya. Mereka sering gagal mencapai
potensinya dan memiliki banyak kesulitan komorbid seperti gangguan
perkembangan, gangguan belajar spesifik dan gangguan perilaku serta
emosional lainnya.
Definisi terbaru dari ADHD pada edisi keempat Diagnostik dan
Statistik Manual of Mental Disorders (DSM-IV; American Psychiatric
Association, 1994) membedakan antara subtipe diagnostik ditandai dengan
tingkat maladaptif dari kedua kurangnya perhatian dan hiperaktivitas-
impulsivitas (tipe gabungan), maladaptif tingkat kurangnya perhatian saja
(tipe terutama lalai), dan tingkat maladaptif dari hiperaktivitas-impulsivitas
sendirian (tipe hiperaktif-impulsif dominan).

A. Kriteria
ADHD adalah gangguan neurobehavioral paling umum dari masa
kanak-kanak. ADHD merupakan salah satu kondisi yang paling umum dari
kesehatan kronis yang mempengaruhi anak usia sekolah. Gejala inti
ADHD yaitu :
1. Inatensi (gangguan pemusatan perhatian)
Inatensi adalah bahwa sebagai individu penyandang gangguan
ini tampak mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.
Mereka sangat mudah teralihkan oleh rangsangan yang tiba-tiba
diterima oleh alat inderanya atau oleh perasaan yang timbul pada saat
itu. Dengan demikian mereka hanya mampu mempertahankan
suatu aktivitas atau tugas dalam jangka waktu yang pendek,
sehingga akan mempengaruhi proses penerimaan informasi dari
lingkungannya.
2. Hiperaktif (gangguan dengan aktivitas yang berlebihan)
Hiperaktivitas adalah suatu gerakan yang berlebihan melebihi
gerakan yang dilakukan secara umum anak seusianya. Biasanya
sejak bayi mereka banyak bergerak dan sulit untuk ditenangkan.
Jika dibandingkan dengan individu yang aktif tapi produktif,
perilaku hiperaktif tampak tidak bertujuan. Mereka tidak mampu
mengontrol dan melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya,
sehingga tidak dapat dibedakan gerakan yang penting dan tidak
penting. Gerakannya dilakukan terus menerus tanpa lelah, sehingga
kesulitan untuk memusatkan perhatian.
3. Impulsivitas (gangguan pengendalian diri)
Impulsifitas adalah suatu gangguan perilaku berupa tindakan
yang tidak disertai dengan pemikiran. Mereka sangat dikuasai
oleh perasaannya sehingga sangat cepat bereaksi. Mereka sulit
untuk memberi prioritas kegiatan, sulit untuk mempertimbangkan
atau memikirkan terlebih dahulu perilaku yang akan ditampilkannya.
Perilaku ini biasanya menyulitkan yang bersangkutan maupun
lingkungannya. (Reiff et al., 1993; Barkley, 1996).

B. Epidemiologi
Prevalensi yang dilaporkan pada anak yang mengalami ADHD
bervariasi dari 2 sampai 18 persen, tergantung pada kriteria diagnostik dan
populasi yang dipelajari (Barabaresi et al., 2004; Froechlich et al., 2007).
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal
tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling
umum pada masa kanak-kanak
Rasio ADHD pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan yaitu 4:1 ( untuk ADHD yang didominasi oleh hiperaktif) dan
2:1 (untuk ADHD yang didominasi oleh inatensi/kesulitan dalam
memusatkan perhatian) (Green et al, 1999). Hasil survey yang dilakukan
oleh National Survey of Children’s Health (NSCH) ada tahun 2007,
prevalensi ADHD untuk anak laki-laki adalah 13,2 % dan pada anak
perempuan 5,6 % (CDC, 2010). Di Inggris, survei dari 10.438 anak-anak
antara usia 5 dan 15 tahun menemukan bahwa 3,62% dari anak laki-laki
dan 0,85% anak perempuan telah ADHD

C. Etiologi
etiologi ADHD melibatkan saling keterkaitan antara faktor genetik
dan lingkungan .
1. Pengaruh genetik
Gejala ADHD menunjukkan pengaruh genetik yang cukup kuat.
Twin studi menunjukkan bahwa sekitar 75% dari variasi gejala ADHD
di dalam populasi adalah karena faktor genetik (heritabilitas perkiraan
0,7-0,8). Pengaruh genetik tampaknya mempengaruhi distribusi gejala
ADHD di seluruh penduduk dan bukan hanya dalam kelompok sub
klinis.
2. Pengaruh lingkungan
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan otak saat
perinatal dan anak usia dini berhubungan dengan peningkatan risiko
ADHD tanpa gangguan hiperaktif. Faktor biologis yang berpengaruh
terhadap ADHD yaitu ibu yang merokok, mengkonsumsi alkohol, dan
mengkonsumsi heroin selama kehamilan; berat lahir sangat rendah
dan hipoksia janin; cedera otak; dan terkena racun. Faktor risiko tidak
bertindak dalam isolasi, tapi berinteraksi satu sama lain. Sebagai
contoh, risiko ADHD terkait dengan konsumsi alkohol ibu pada
kehamilan mungkin lebih kuat pada anak-anak dengan gen transporter
dopamin.
Hasil penelitian Faron dkk, 2000, Kuntsi dkk, 2000, Barkley,
2003 (dalam MIF Baihaqi &Sugiarmin, 2006), yang mengatakan
bahwa terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya
ADHD :
a. Faktor genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan
faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu
pertiga dari anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu
jika orang tua mengalami ADHD, maka anaknya beresiko
ADHD sebesar 60 %. Pada anak kembar, jika salah satu
mengalami. ADHD, maka saudaranya 70-80 % juga beresiko
mengalami ADHD.
Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan
bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan
munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari aspek
keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa
ADHD ada kaitannya dengan keturunan.
b. Faktor neurobiologis
Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis
diantaranya bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang
muncul pada ADHD dengan yang muncul pada kerusakan
fungsi lobus prefrontl. Demikian juga penurunan kemampuan
pada anak ADHD pada tes neuropsikologis yang
dihubungkan dengan fungsi lobus prefrontal. Temuan melalui
MRI (pemeriksaan otak dengan teknologi tinggi)menunjukan
ada ketidaknormalan pada bagian otak depan. Bagian ini meliputi
korteks prefrontal yang saling berhubungan dengan bagian
dalam bawah korteks serebral secara kolektif dikenal sebagai
basal ganglia. Bagian otak ini berhubungan dengan atensi,
fungsi eksekutif, penundaan respons, dan organisasi respons.
Kerusakan-kerusakan daerah ini memunculkan ciri-ciri yang
serupa dengan ciri-ciri pada ADHD. Informasi lain bahwa
anak ADHD mempunyai korteks prefrontal lebih kecil dibanding
anak yang tidak ADHD.
D. Diagnosis
Untuk menemukan kriteria diagnosisnya, penting untuk
mengetahui gejala di bawah ini :
1. Onsetnya sebelum usia 7 tahun (ADHD) atau 6 tahun (HKD)
2. Sudah jelas nampak minimal selama 6 bulan
3. Harus pervasif (ada pada lebih dari 1 setting, misal : rumah,
sekolah, lingkungan sosial)
4. Menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan
5. Tidak ada penyebab gangguan mental lainnya ( misal : gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan psikotik lainnya,
depresi atau anxietas)
6. Morbiditas penyerta meliputi kegagalan akademis, perilaku
antisosial, delinquency/ kenakalan, dan peningkatan resiko
kecelakaan lalulintas pada remaja. Sebagai tambahan, dapat pula
timbul pengaruh yang dramatis di kehidupan keluarga
Kriteria diagnosis ADHD and HKD telah diubah dengan masing-
masing revisinya di DSM-IV-TR dan ICD10. Mungkin akan ada revisi
kriteria selanjutnya untuk menunjukkan permasalahan yang menonjol
seperti subtipe gangguan, usia onset dan aplikabilitas kriteria melewati
batas kehidupan. Kriteria DSM IV dan ICD-10 saat ini sama, dengan
perbedaan secara primer pada derajat beratnya gejala dan pervasiveness.
1. DSM membagi kriteria menjadi 2 : inatentif dan hiperaktif impulsif.
Enam dari 9 gejala di tiap seksi harus terdapat ‘tipe kombinasi’ dari
diagnosis ADHD. Jika gejala tidak mencukupi untuk diagnosis
kombinasi, maka tersedia diagnosis untuk predominan (ADHDI) dan
hiperaktif (ADHD-H). Gejalanya juga harus : kronis (selama 6 bulan),
maladaptif, gangguan secara fungsional pada 2 atau lebih konteks,
inkonsisten dengan tingkat perkembangan dan berbeda dengan
gangguan mental lainnya. Jadi DSM disini mengidentifikasi 3 subtipe
ADHD: tipe predominan inatentif (gejala khas inatensi namun tidak
hiperaktivitas/impulsivitas); tipe predominan hiperaktif impulsif
(gejala khas hiperaktivitas/impulsivitas) namun tidak inatensi); dan
tipe kombinasi (yang tanda gejalanya inatensi dan
hiperaktivitas/impulsivitas).
2. ICD menggunakan nomenklatur yang berbeda; Gejala-gejala yang
sama dideskripsikan sebagai bagian dari kelompok gangguan
hiperkinetik masa kanak, dan harus ada inatensi, hiperaktivitas dan
impulsivitas; jadi hanya mengkualifikasikan ADHD ‘tipe kombinasi’.
Kriteria diagnosis ICD bersifat lebih terbatas : gejalanya harus
ditemukan semua pada lebih dari 1 konteks. Lebih jauh lagi, ada kriteria
eksklusi yang sangat terbatas : sedangkan gangguan psikiatrik penyerta
yang ada diperbolehkan berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan
hiperkinetik tidak dibuat jika kriteria untuk gangguan tertentu lainnya,
meliputi keadaaan anietas ditemukan-kecuali jika gangguan hiperkinetik
ini merupakan tambahan dari gangguan lainnya.
Maka dari itu gangguan hiperkinetik (ICD-10) menggambarkan
suatu kelompok yang membentuk subkelompok berat dari subtipe ADHD
kombinasi milik DSM-IV-TR. Gangguan hiperkinetik lebih jauh lagi
dibagi menjadi gangguan hiperkinetik dengan atau tanpa gangguan
konduksi (gangguan tingkah laku).

Table 1. Kriteria DSM-IV-TR untuk attention deficit hyperactivity


disorder (ADHD)
A. Salah satu (1) atau (2)
1. Gangguan pemusatan perhatian (inatensi) : enam (atau lebih) gejala
inatensi berikut telah menetap seama sekurang-kurangnya 6 bulan
bahkan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan.
a. Sering gagal dalam memberikan perhatian pada hal yang detail dan
tidak teliti dalam mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan atau
aktivitas lainnya.
b. Sering mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian
terhadap tugas atau aktivitas bermain.
c. Sering tidak tampak mendengarkan apabila berbicara langsung
d. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelessaikan tugas
sekolah, pekerjaan, atau kewajiban di tempat kerja (bukan karena
perilaku menentang atau tidak dapat mengikuti instruksi)
e. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas dan aktivitas
f. Sering menghindari, membenci atau enggan untuk terlibat dalam
tugas yang memiliki usaha mental yang lama ( seperti tugas
disekolah dan pekerjaan rumah)
g. Sering menghilangkan atau ketinggalan hal-hal yang perlu untuk
tugas atau aktivitas (misalnya tugas sekolah, pensil, buku ataupun
peralatan)
h. Sering mudah dialihkan perhatiannya oleh stimuladir dari luar.
i. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
2. Hiperaktivitas impulsivitas : enam (atau lebih) gejala hiperkativitas-
implusivitas berikut ini telah menetap selama sekurang-kurangnya enam
bulan sampai tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten dengan
tingkat perkembangan.
Hiperaktivitas
a. Sering gelisah dengan tangan dan kaki atau sering menggeliat-geliat di
tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk dikelas atau di dalam situasi yang
diharapkan anak tetap duduk
c. Sering berlari-lari atau memanjat secara berlebihan dalam situasi yang
tidak tepat (pada remaja mungkin terbatas pada perasaan subyektif
kegelisahan)
d. Sering mengalami kesulitan bermain atau terlibat dalam aktivitas waktu
luang secara tenang
e. Sering “siap-siap pergi” atau seakan-akan “didorong oleh sebuah
gerakan”
f. Sering berbicara berlebihan Impusivitas
g. Sering menjawab pertanyaan tanpa berfikir lebih dahulu sebelum
pertanyaan selesai
h. Sering sulit menunggu gilirannya
i. Sering menyela atau mengganggu orang lain (misalnya : memotong
masuk ke percakapan atau permainan)
B. Beberapa gejala hiperaktif-impulsif atau inatentif yang menyebabkan
gangguan telah ada sebelum usia 7 tahun
C. Beberapa gangguan akibat gejala terdapat dalam 2 (dua) atau lebih situasi
(misalnya disekolah atau pekerjaan di rumah)
D. Harus terdapat bukti yang jelas adanya gangguan yang bermakna secara
klinis dalam fungsi sosial, akademik dan fungsi pekerjaan
E. Gejala tidak semata-mata selama gangguan perkembangan pervasif,
skizopfrenia atau gangguan psikotik lain dan bukan merupakan gangguan
mantal lain (gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan disosiatif atau
gangguan kepribadian)
Table 2. Kriteria ICD-10 untuk gangguan hiperkinetik
1. Kekurangan perhatian - Setidaknya enam gejala perhatian telah
berlangsung selama minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif
dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak:
a. Sering gagal untuk memberikan perhatian dekat dengan
rincian, atau membuat kesalahan ceroboh dalam pekerjaan
sekolah
b. pekerjaan atau kegiatan lain
c. Sering gagal mempertahankan perhatian dalam tugas-tugas
atau kegiatan bermain
d. Sering tampak tidak mendengarkan apa yang dikatakan
kepadanya
e. Sering gagal menindaklanjuti instruksi atau untuk
menyelesaikan tugas sekolah, tugas atau tugas di tempat kerja
(bukan karena perilaku oposisi atau kegagalan untuk
memahami instruksi)
f. Apakah sering terganggu dalam mengatur tugas dan kegiatan
g. Sering menghindari atau sangat tidak menyukai tugas-tugas,
seperti pekerjaan rumah, yang memerlukan berkelanjutan
mental usaha
h. Sering kehilangan hal yang diperlukan untuk tugas-tugas
tertentu dan kegiatan, seperti sekolah, tugas, pensil, buku,
mainan atau alat
i. Apakah sering mudah terganggu oleh rangsangan eksternal
j. Apakah sering pelupa dalam rangka kegiatan sehari-hari
2. Hiperaktif - Setidaknya tiga gejala hiperaktif telah berlangsung selama
minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif dan tidak konsisten
dengan tingkat perkembangan anak:
a. Sering gelisah dengan tangan atau kaki atau menggeliat di
tempat duduk
b. Sering meninggalkan tempat duduk di kelas atau dalam situasi
lain di mana sisa duduk adalah diharapkan
c. Sering berjalan sekitar atau memanjat berlebihan dalam situasi
di mana tidak patut (dalam remaja atau orang dewasa, hanya
perasaan gelisah dapat hadir
d. Apakah sering terlalu berisik dalam bermain atau memiliki
kesulitan dalam melakukan tenang di waktu luang kegiatan
e. Sering menunjukkan pola gigih dari aktivitas motorik yang
berlebihan yang tidak substansial diubah oleh konteks sosial
atau tuntutan
3. Impulsif - Setidaknya salah satu gejala berikut impulsif telah
berlangsung selama minimal 6 bulan, untuk tingkat yang maladaptif
dan tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak:
a. Sering blurts keluar jawaban sebelum pertanyaan yang telah
diselesaikan
b. Sering gagal menunggu di garis atau menunggu putaran dalam
permainan atau situasi kelompok
c. Sering menyela atau intrudes pada orang lain (misalnya,
puntung ke percakapan orang lain atau permainan)
d. Sering berbicara berlebihan tanpa respon yang tepat untuk
kendala social
4. Timbulnya gangguan tersebut tidak lebih dari usia 7 tahun.
5. Pervasiveness - Kriteria harus dipenuhi lebih dari situasi tunggal,
misalnya, kombinasi dari kurangnya perhatian dan hiperaktif harus
hadir baik di rumah maupun di sekolah, atau di sekolah baik dan
pengaturan lain mana anak-anak yang diamati, seperti klinik. (Bukti
untuk crosssituationality biasanya akan membutuhkan informasi dari
lebih dari satu sumber, laporan orang tua tentang perilaku kelas,
misalnya, tidak akan cukup.)
6. Gejala dalam 1 dan 3 menyebabkan distress klinis signifikan atau
penurunan fungsi sosial, akademis atau pekerjaan.
Adapted from ICD10: Classification of Mental and Behavioural Disorders
(1992) with permission from the World Health Organization

E. Differensial Diagnosis
1. Gangguan tingkah laku (anti sosial)
2. Ansietas
3. Gangguan belajar
F. Tatalaksana
Algoritma dasar untuk tatalaksana ADHD (Hill and Taylor, 2001)
1. Terapi non farmakologis
1) Intervensi Psikososial
a. Intervensi psikososial berdasarkan klinis
i. Intervensi psikososial keluarga
Intervensi psikososial tipe bahavioral yang didasarkan pada
keluarga direkomendasikan untuk terapi behavioral
komorbid.
ii. Terapi individual
Intervensi psikososial individual tidak direkomendasikan
rutin.
b. Intervensi psikososial berdasarkan sekolah
Anak dengan ADHD/ gangguan hiperkinetik membutuhkan
program intervensi sekolah individual meliputi intervensi
behavioral dan akademik.
2) Intervensi diet
Ada sedikit bukti mengenai keuntungan pemberian suplemen
mineral (besi, magnesium, seng) pada ADHD/gangguan hiperkinetik.
Beberapa bukti menyebutkan kadar seng yang rendah pada rambut
dan urin berkaitan dengan respon yang buruk terhadap
methylphenidate, meskipun belum terdapat studi yang menyebutkan
bahwa suplementasi seng dapat memperbaiki respon terhadap obat.
Suplementasi asam lemak esensial mungkin bermanfaat, khususnya
pada individu yang kadar asam lemak tak jenuhnya rendah. Namun
belum ada bukti yang cukup untuk mendukung pemakaian rutin
suplementasi mineral untuk manajemen ADHD (Konofal et al., 2008).
Permasalahan mengenai gula halus dan zat makanan tambahan
buatan memiliki efek samping pada perilaku anak, masih menjadi
konflik. Dalam bukti sekarang ini, tidaklah mungkin
merekomendasikan restriksi atau eliminasi makanan pada anak
dengan ADHD (MrCann et al , 2007).
Hal-hal yang bisa diperhatikan dari diet untuk anak
ADHD/gangguan hiperkinetik, antara lain :
o Bahan makanan aditif
o Suplementasi asam lemak omega-3 dan omega-6 (Clayton
et al., 2007)
o Suplementasi besi, seng, magnesium (Bilici et al., 2004)
o Antioksidan (Bateman et al., 2004)
3) Intervensi komplementer dan alternatif
Di antaranya meliputi :
o Bach flower remedies (Pintof et al., 2005)
o Homeopathy (Coulter et al., 2007)
o Massage theraphy (Khilnani et al., 2003)
o Neurofeedback (Beauregard et al., 2006)
4) Intervensi sosial dan komunitas
5) Intervensi multimodal

2. Terapi Farmakologis
Terdapat 3 obat lisensi untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik
di Amerika Serikat : methylphenidate hydrochloride, dexamfetamine
sulphate dan atomoxetine. Methylphenidate dan atomoxetine digunakan
untuk usia 6 tahun atau lebih, sedangkan dexamphetamine untuk usia 3
tahun atau lebih. Medikasi tidak direkomendasikan untuk usia pre sekolah.
Inisiasi terapi farmakologis anak ADHD harus di bawah kendali
dokter spesialis, baik psikiatrik anak dan remaja maupun pediatrik, yang
telah menjalani pelatihan penggunaan dan monitoring medikasi
psikotropik.
Harus dilakukan penilaian fisik dasar terlebih dahulu sebelum
terapi farmakologis dimulai, minimal meliputi : nadi, tekanan darah, berat
dan tinggi badan dengan grafik centile yang sesuai dalam ukuran
parameter. EKG sebaiknya dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.
Klinisi harus menginformasikan keuntungan potensial dan efek samping
medikasi. Keuntungan lanjutan dan kebutuhan untuk medikasi dinilai
minimal 1 tahun sekali.

1) Psikostimulan
Studi-studi metanalisis dengan kualitas yang tinggi (durasi minimal
2 minggu) menggunakan psikostimulan (methylphenidate dan
dexamphetamine) atau psikostimulant (atomoxetine), menyimpulkan
bahwa keduanya efektif untuk terapi ADHD, meskipun psikostimulan
memiliki pengaruh yang lebih besar. Psikostimulan yang biasa
digunakan di USA adalah methylphenidate (MPH) dan
dexamphetamine (DEX). Methylphenidate tersedia dalam bentuk
immediate atau modified release untuk memfasilitasi medikasi
sepanjang hari. DEH digunakan untuk anak usia 2 tahun atau lebih,
sedangkan MPH untuk usia 6 tahun atau lebih. DEX efektif untuk
mengatasi gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik. Psikostimulan
merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gejala inti ADHD atau
gangguan hiperkinetik.
Efek samping yang paling sering muncul : insomnia, nafsu makan
berkurang, nyeri perut, sakit kepala dan pening. Sebagian besar efek
samping psikostimulan jangka pendek sering berkaitan dengan dosis
dan bersifat subyektif. Efek samping akan berkurang dalam waktu 1-2
minggu dari awal terapi dan akan hilang jika terapi dihentikan atau
dosisnya diturunkan dan biasanya nampak pada anak usia pre-sekolah.
Saat pertama kali memberikan dan menitrasi psikostimulan, kontak
reguler antara keluarga dan klinisi sangatlah penting karena berkaitan
dengan pertanyaan dan penilaian yang diperlukan.
Tabel 3 : Efek samping psikostimulan dan pilihan manajemen yang disarankan
Efek samping Pilihan manajemen
Anoreksia, nausea, Berikan obat bersama makanan
penurunan berat badan Pertimbangkan reduksi dosis atau penghentian
obat
Monitor berat dan tinggi badan menggunakan
grafik persentil
Edukasi diet, tambahan kalori
Hal yang menyangkut Jika signifikan (jarang dalam jangka panjang)
pertumbuhan atau menyebabkan kecemasan pada orang
tuanya, upayakan penghentian medikasi saat
akhir minggu atau liburan.
Kesulitan tidur (bandingkan Berikan edukasi ‘sleep hygiene’
dengan kesulitan tidur Kurangi atau hilangkan medikasi malam atau
sebelum terapi) akhir sore (namun catat bahwa beberapa
pasien membaik dengan medikasi malam
tambahan).
Pertimbangkan penggantian ke atomoxetine
Pening dan sakit kepala Bersifat sementara. Jika persisten, monitor
teliti (cek tekanan darah), turunkan
dosis/hentikan medikasi, pastikan obat
dimakan dengan makanan dan edukasi intake
cairan. Jika persisten,
Pergerakan involunter, Tics Kurangi, atau jika persisten, hentikan
dan sindrom Tourette medikasi. Monitoring pre dan post terapi tics.
Pertimbangkan alternatif lainnya (misal TCA)
jika gejalanya berat.
Hilangnya spontanitas, Turunkan atau hentikan medikasi (hentikan
disforia, agitasi jika timbul gangguan piir atau suspek psikosis-
jarang terjadi)
Iritabilitas, behavioural Monitor ketat, kurangi atau overlap dosis sore
rebound hari; evaluasi komorbid (ODD/CD)

Jika telah diberikan dosis efektif, maka perlu dilakukan review


secara teratur untuk mengecek tingkat perilaku dan efek sampingnya,
tinggi/berat badan dan tekanan darah. Keadaan berat badan ideal serta
pengukuran tinggi badan dan penghitungan centil velocity memungkinkan
untuk deteksi dini masalah pertumbuhan yang signifikan, meskipun ini
jarang terjadi. Tes darah sebaiknya dilakukan berdasarkan kebijakan
klinisis dan hanya jika diindikasikan secara klinis.
Pemberian resep psikostimulan dimulai dengan dosis sekecil
mungkin dan titrasi dengan jadwal 2-3 kali sehari, tingkatkan dosis dengan
interval per minggu sampai didapatkan respon yang memuaskan atau efek
samping yang mengganggu. Perlu diingat bahwa efek samping
psikostimulan berkaitan dengan dosis, maka tentukan dosis efektif
terendah yang menghasilkan efek terapeutik maksimum dan efek samping
minimum. Rekomendasi dosis terutama dosis harian maksimum yang
disarankan, belum ditentukan oleh penelitian. Secara tradisional
pendekatan pada jadwal obat yang teliti telah dianjurkan dengan regimen
yang ditentukan secara empiris. Respon terhadap MPH dan DEX
bervariasi dan tidak dapat diprediksi dengan dasar suatu dosis atau berat
badan. Keduanya merupakan obat polar yang diekskresikan dengan cepat
dan tidak terakumulasi di lemak tubuh.
Pemberian berdasarkan sifat respon psikostimulan yang bervariasi
memberikan keuntungan bagi beberapa anak yang memerlukan dosis lebih
tinggi. Jadwal dosis berdasarkan berat dapat membatasi titrasi dosis yang
pas utuk anak yang membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk
mengontrol gejala mereka. Sebaliknya, metode titrasi dosis tipe pil (fixed
pill-type dose titration methods) dapat memaparkan anak yang kecil ke
dosis yang tinggi, dan potensial menghasilkan efek samping yang tidak
diinginkan.
Tabel 4: Dose Ranges in Literature for Psychostimulant Treatment
Source Methylphenidate Dexamphetamine
Block, 1998 123 0.3 - 0.6 mg/kg/dose 0.15 - 0.3 mg/kg/dose
Findling and Dogin, 1998 0.3 - 0.8 mg/kg/dose -
124
Pliszka, 1998 125 Up to 1 mg/kg/dose -
AACAP, 199730 0.3 - 0.7 mg/kg/dose 0.15 - 0.35 mg/kg/dose
NHMRC(Ausi),1996 126 Max 1.5 mg/kg/day Max 0.75 mg/kg/day
Frekuensi dosis sebaiknya ditentukan berdasarkan masing-masing
individu. Pemberian 3 x sehari dan bukannya 2 x sehari memberikan
keuntungan pencapaian efek terapi di malam hari, yang mungkin
diinginkan untuk proyek PR atau kegiatan malam hari yang sudah
direncanakan.
Ada sedikit bukti obyektif interferensi mayor pemakaian regimen
ini terhadap tidur. Bagaimanapun juga jika terjadi gangguan tidur, maka
dosis akhir petang dapat diturunkan atau dihentikan. Beberapa guru
melaporkan bahwa efek dosis dini hari hilang pada pertengahan pagi. Pada
kasus yang demikian dosis pertengahan pagi dapat dijadwalkan pada jam
10.30 – 11 am, dengan dosis pertama pada hari tersebut diberikan antara
jam 7 dan jam 8 pagi.
Pada sebagian besar kasus, medikasi diteruskan selama 7 hari per
minggu untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan memperhatikan
masalah kontrol perilaku yang terjadi di rumah, sekolah dan masyarakat.
Drug holidays selama akhir minggu atau liburan mungkin diperlukan jika
terjadi hal serius yang menyangkut pertumbuhan anak.
Jika terdapat gangguan hiperkinetik/ADHD persisten sampai pada
usia dewasa atau pada kasus-kasus dimana gejala inti cepat timbul kembali
bila psikostimulan dihentikan, maka diperlukan terapi jangka panjang. Jika
tidak ada perbedaan berarti pada perilaku anak saat ia menjalani/ tidak
menjalani pengobatan, maka terapi bisa dihentikan untk periode yang
lama. Jika tak ada perbedaan yang besar pada anak yang menjalani terapi
dan kesukaran perilaku tetap berlanjut, maka perlu untuk mengevaluasi
kembali dosisnya, mengganti dengan medikasi lain, atau mengevaluasi
ulang strategi psikologis dan behavioralnya. Psikostimulan tak perlu
dihentikan pada onset pubertas karena keefektifannya baik pada remaja
dan dewasa.
2) Atomoxetine
Peresepan atomoxetine untuk individu dibawah 70 kg didasarkan
pada berat badannya. Atomoxetine dimulai dengan dosis awal rendah 0,5
mg/kg/hari minimal 7 hari sebelum ditingkatkan ke dosis maintanance 1,2
mg/kg/hari.
Pengaruh atomoxetine bisa tidak nampak selama 4 minggu atau
lebih. Saat terapi dimulai, keefektifannya akan timbul selama periode 24
jam atau lebih dengan kemungkinan efek yang lebih besar pada 12 jam
atau lebih dari waktu setelah minum obat. Kombinasi awal jangka pendek
medikasi psikostimulan mungkin perlu selama fase transisi.

Tabel 5: Manajemen efek samping atomoxetin


Side effects Management options
Anorexia, nausea, weight loss, Gastrointestinal effects may be
growth concerns temporary during first few days of
treatment.
Administer medication with food.
Consider dose reduction.
Monitor height and weight using centile
charts.
Provide dietetic advice; caloric
augmentation.
Jaundice, signs of liver disease Stop medication immediately and seek
or biliary obstruction specialist help.
Self harm or suicidal ideation Monitor for suicidal ideation, clinical
worsening of mood and unusual
changes in behaviour.
New onset of suicidal behaviour should
prompt discontinuation of medication
pending further assessment.
Somnolence Administer at a different time of day or
reduce dose.
Dysphoria, agitation Reduce dose and monitor effect.
Tachycardia, hypertension Investigate and consider
discontinuation or dose reduction.
Syncope suspected to have Stop medication immediately and seek
cardiac origin specialist advice.

Atomoxetine direkomendasikan untuk terapi gejala inti ADHD/


gangguan hiperkinetik pada anak yang tidak cocok, intoleransi atau
inefektif dengan medikasi psikostimulan. Pada pemberian atomoxetin,
klinisi harus mereview minimal selama 6 bulan, meliputi penilaian
keefektifan, efek samping dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan, nadi,
tekanan darah menggunakan grafik persentil. Monitoring tambahan
diperlukan pada penderita yang memiliki resiko kardiovaskuler,
hepatobilier, kejang dan resiko bunuh diri besar.
3) Antidepresan trisiklik (TCAs)
Merupakan obat yang paling banyak ditemukan dan medikasi
nonstimulan yang banyak dipelajari untuk terapi ADHD/ gangguan
hiperkinetik. TCAs meliputi : imipramine, desipramine, amitriptyline,
nortriptyline and clomipramine.
TCAs dipetimbangkan untuk terapi gejala behavioral ADHD/
gangguan hiperkinetik. Kelompok obat ini lebih berpengaruh pada gejala
behavioralnya daripada terhadapa gejala kognitifnya. TCAs memiliki batas
keamana yang lebih sempit daripada psikostimulan, disertai dengan
rentang efek samping potensial yang lebih lebar.
Antidepresan trisiklik tidak boleh digunakan rutin untuk terapi
ADHD/ gangguan hiperkinetik pada anak dan hanya digunakan pada anak
yang tidak respon terhadap medikasi yang dianjurkan.
Efek samping yang biasanya muncul meliputi anoreksia, mulut
kering ( dengan rasa logam dan asam), pening, ngantuk, letargi dan
insomnia, disertai dengan gejala antikolinergik lainnya. Iritabilitas, mania,
mudah lupa, dan bingung merupakan tanda-tanda toksisitas sistem saraf
pusat. TCAs khususnya desipramine, memiliki potensi kardiotoksik.
Belum ada konsensus maupun penelitian yang menentukan rekomendasi
terapi TCAs dan regimen dosis optimumnya. Dosis harian total rata-rata
berdasarkan trial klinis 2,2 mg.kg/hari, dengan rentang 0,7-6,3 mg/kg.hari
untuk imipramine, desipramine, amitriptilin dan klormipramin, sedang
0,4-4,5 mg/kg/ hari untuk nortriptilin.
Rencana terapi didasarkan pada kondisi masing-masing individu, namun
sebaiknya tetap dilakukan pengukuran berikut :
 Vital sign, pemeriksaan kardiovaskuler, dan EKG (nb. EKG belum berarti
bebas dari efek kardiotoksik). Monitoring EKG sebaiknya dilakukan
sebelum dan sesudah terapi. Dan hati-hati pada pasien yang memiliki
riwayat penyakit jantung personal dan keluarga.
 Mulai dengan dosis terbagi yang rendah dari imipramine atau amitriptiline
(10-25 mg/hari) atau nortriptiline (5-10 mg/hari) dan peringatkan akan
efek samping yang mungkin timbul.
 Titrasi dosis sedikit demi sedikit dengan interval beberapa hari sambil
dimonitor efek sampingnya sampai target kira-kira 1-2 mg/kg/hari untuk
imipramin dan amitriptilin serta 0,5-1 mg/kg/ hari untuk nortriptilin.
 Jika tingkat dosis telah ditentukan, nilai ulang dan tanyakan mengenai efek
samping dan perilakunya secara klinis.
 Disarankan mengecek EKG dan serum level jika menggunakan dosis di
luar batas.
Pemakaian jangka panjang memerlukan re-evaluasi periodik berkaitan
dengan perumbuhan dan perkembangan anak.
Reaksi withdrawal TCAs yang cepat perlu dihindari untuk
mencegah influenza like symptoms karena cholinergic rebound. Hal ini
meliputi malaise, menggigil, gejala coryzal, sakit kepala, muntah dan nyeri
otot. Social withdrawal, hiperaktivitas, depresi, agitasi, dan insomnia juga
dapat terjadi. Pasien dengan compliance yang rendah dapat mengalami
periodic self-induced acute withdrawal yang dapat disalahartikan sebagai
efek samping obat, dosis yang tidah adekuat, gangguan psikiatrik yang
memburuk. Dan hal ini membuat manajemen menjadi sukar.
4) Obat lainnya
Pemakaian sejumlah obat alternatif lain dalam manajemen ADHD/
gangguan hiperkinetik harus di bawah pengawasan dokter spesialis. Obat
alternatif tersebut meliputi : klonidin, guanfacine, buproprion, venlafaxine,
SSRIs dan neuroleptik. Pemakaian obat alternatif dipertimbangkan jika
terdapat gangguan komorbid (misal anxietas, depresi, tics, respon kurang
atau efek samping psikostimulan atau TCA).
a. Alpha-2-agonist
a) Klonidin
Klonidin merupakan agonis alpha-2 adrenergik,
dikenal sebagai antihipertensi. Obat ini dapat mengurangi
gejala ADHD, dan terdapat penurunan yang besar saat
dikombinasikan dengan methylphenidate dibandingkan jika
diberikan sendiri. Diberikan 3 kali sehari dengan dosis
maksimum 0,6 mg per hari tergantung respon dan efek
samping yang muncul, atau 2 kali sehari dengan dosis total
0,10-0,20 mg/kg/ hari. Dalam sebuah studi,individu yang
menerima klonidin mengalami penurunan tekanan sistolik
yang lebih besar dibanding kontrol dan mengalami sedasi
transien serta pening.
Klonidin dipertimbangkan untuk anak yang tak
responsif atau tidak toleransi terhadap psikostimulan atau
atomoxetine. Dapat digunakan sendiri maupun
dikombinasikan dengan methylphenidate disesuaikan
dengan kasus masing-masing individu. Klinisi harus
memonitor tekanan darah dan nadi serta tanda-tanda
oversedasi. Penghentian klonidin harus bertahap untuk
menghindari adanya rebound phenomenon.
b) Guanfacine
Efek samping mayor dari guanfacine adalah sedasi
dan fatigue. Makin ditingkatkan dosisnya, tekanan darah
dan nadi akan makin rendah. Belum ada cukup data untuk
merekomendasikan obat ini.
b. Antidepresan selain TCAs (reboxetine, selegiline, bupropion)
c. Antipsikotik
d. Modafinil
e. Nikotin
5) Terapi obat kombinasi
Kombinasi obat meningkatkan resiko interaksi efek samping
potensial, misal pada peningkatan TCAs pada pemakaian bersama
psikostimulan, toksisitas potensial pada kombinasi klonidin dan
psikostimulan, intraventricular conduction delays pada pimozide dan
TCAs, dan interferensi dengan metabolisme obat seperti warfarin dan
beberapa antiepileptik. Fluoxetin (SSRI) dilaporkan efektif tanpa efek
samping berlebih, jika dikombinasikan dengan psikostimulan untuk
sejumlah kesil anak dengan ADH/ gangguan hiperknetik dan depresi
komorbid, ODD, CD atau gangguan obsesif kompulsif.

G. Prognosis
Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence,
sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak
dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala agresif
dan menjadi pencandu minuman keras/alkoholisme).
Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi,
dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di
kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau
lebih komorbid gangguan psikiatri.

H. Simpulan
ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) merupakan suatu
peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang
menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat
dan suasana yang berbeda dan kondisi yang sangat umum di antara anak-
anak. Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara
jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan
yang bersifat multi faktorial. Banyak faktoryang dianggap sebagai
penyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,perkembangan
otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat
kecerdasan(IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidakteraturan
hormonal, lingkungan fisik, sosial danpola pengasuhan anak oleh orang
tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya. Melihat
penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan ada beberapa teori
penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara
dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA

Barbaresi W, Katusic S, Colligan R, et al. How common is


attention-deficit/hyperactivity disorder? Towards resolution of the
controversy: results from a population-based study. Acta Paediatr Suppl
2004; 93:55.

Barkley RA. Attention Deficit Hyperactivity Disorder: A Handbook for Diagnosis


and Treatment. 2nd ed. New York, NY: Guilford Press; 1996

Bateman B, Warner JO, Hutchinson E, Dean T, Rowlandson P, Grant C, et al. The


effects of a double blind, placebo controlled, artificial food colourings and
benzoate preservative challenge on hyperactivity in a general population
sample of preschool children. Archives of Disease in Childhood
2004;89(6):506-11.

Beauregard M, Levesque J. Functional magnetic resonance imaging investigation of


the effects of neurofeedback training on the neural bases of selective attention
and response inhibition in children with attention-deficit/hyperactivity
disorder. Applied Psychophysiology & Biofeedback 2006;31(1):3-20.

Bilici M, Yildirim F, Kandil S, Bekarolu M, Yildirmi S, Deer O,et al. Double-blind,


placebo-controlled study of zinc sulfate in the treatment of attention deficit
hyperactivity disorder. Progress in Neuro-Psychopharmacology and
Biological Psychiatry.2004;28(1):181-90.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Increasing prevalence of parent-
reported attention-deficit/hyperactivity disorder among children --- United
States, 2003 and 2007. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2010; 59:1439.

Clayton EH, Hanstock TL, Garg ML, Hazell PL. Long chain omega-3
polyunsaturated fatty acids in the treatment of psychiatric illnesses in children
and adolescents. Acta Neuropsychiatrica. 2007;19(2):92-103.

Coulter MK, Dean ME. Homeopathy for attention deficit/hyperactivity disorder or


hyperkinetic disorder. Cochrane Database of Systematic Reviews. 2007(4):
(CD005648).

Eric Taylor, Tim Kendall , Philip Asherson et al. 2008. Attention deficit
hyperactivity disorder: Diagnosis and management of ADHD in children,
young people and adults.
Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. The worldwide prevalence of
ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry. 2003 ; 2: 104-13.

Froehlich TE, Lanphear BP, Epstein JN, et al. Prevalence, recognition, and treatment
of attention-deficit/hyperactivity disorder in a national sample of US children.
Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161:857.

Green, M, Wong, M, Atkins, D, et al. Diagnosis of Attention Deficit/Hyperactivity


Disorder: Technical Review 3. US Department of Health and Human
Services, Agency for Health Care Policy and Research; Rockville, MD, 1999.

Hill P., Taylor, E. 2001. An auditable protocol for treating attention


deficit/hyperactivity disorder. London UK. Arch Dis Child. 84: pp 404–409

Khilnani S, Field T, Hernandez-Reif M, Schanberg S. Massage therapy improves


mood and behavior of students with attentiondeficit/hyperactivity disorder.
Adolescence 2003;38(152):623

Konofal E, Lecendreux M, Deron J, Marchand M, Cortese S, Zaim M, et al. Effects


of iron supplementation on attention deficit hyperactivity disorder in children.
Pediatr Neurol 2008;38(1):20-6.

McCann D, Barrett A, Cooper A, Crumpler D, Dalen L, Grimshaw K, et al. Food


additives and hyperactive behaviourin 3-year-old and 8/9-year-old children in
the community: a randomised, double-blind

Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental disorders
among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010; 125:75.

Moore, David P. Eds. 2006. Little Black Book of Psychiatry. Jones and Bartlett
Publishers. The 3rd Edition, pp: 45-48.

Moore. Kent L. Recent advances in the genetics off attention deficit hyperactivity
disorder. Curr Psychiatry Res 2004; 6: 143.

Philip Asherson, Simon Bailey, Karen Bretherton et al. Diagnosis and management
of ADHD in children, young people and adults. 2008

Pintov S, Hochman M, Livne A, Heyman E, Lahat E. Bach flowerremedies used for


attention deficit hyperactivity disorder inchildren - a prospective double blind
controlled study. European Journal of Paediatric Neurology 2005;9(6):395-8.

Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the
assessment and treatment of children and adolescents with
attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
2007; 46:894.
Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders: diagnosis
and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455–465

Anda mungkin juga menyukai