Disusun oleh :
Abia Nebula
1102011002
Kepaniteraan Klinik Psikiatri RSUD Pasar Rebo
Pembimbing :
Dr. Sonny Chandra SpKJ
SMF PSIKIATRI
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2015
Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) merupakan
gangguan perilaku yang paling banyak didiagnosis pada anak-anak dan
remaja. Gejala intinya meliputi tingkat aktivitas dan impulsivitas yang
tidak sesuai perkembangan serta kemampuan mengumpulkan perhatian
yang terganggu. Anak dan remaja yang menderita gangguan tersebut akan
sukar menyesuaikan aktivitas mereka dengan norma yang ada sehingga
mereka sering dianggap sebagai anak yang tidak baik di mata orang
dewasa maupun teman sebayanya. Mereka sering gagal mencapai
potensinya dan memiliki banyak kesulitan komorbid seperti gangguan
perkembangan, gangguan belajar spesifik dan gangguan perilaku serta
emosional lainnya.
Definisi terbaru dari ADHD pada edisi keempat Diagnostik dan
Statistik Manual of Mental Disorders (DSM-IV; American Psychiatric
Association, 1994) membedakan antara subtipe diagnostik ditandai dengan
tingkat maladaptif dari kedua kurangnya perhatian dan hiperaktivitas-
impulsivitas (tipe gabungan), maladaptif tingkat kurangnya perhatian saja
(tipe terutama lalai), dan tingkat maladaptif dari hiperaktivitas-impulsivitas
sendirian (tipe hiperaktif-impulsif dominan).
A. Kriteria
ADHD adalah gangguan neurobehavioral paling umum dari masa
kanak-kanak. ADHD merupakan salah satu kondisi yang paling umum dari
kesehatan kronis yang mempengaruhi anak usia sekolah. Gejala inti
ADHD yaitu :
1. Inatensi (gangguan pemusatan perhatian)
Inatensi adalah bahwa sebagai individu penyandang gangguan
ini tampak mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.
Mereka sangat mudah teralihkan oleh rangsangan yang tiba-tiba
diterima oleh alat inderanya atau oleh perasaan yang timbul pada saat
itu. Dengan demikian mereka hanya mampu mempertahankan
suatu aktivitas atau tugas dalam jangka waktu yang pendek,
sehingga akan mempengaruhi proses penerimaan informasi dari
lingkungannya.
2. Hiperaktif (gangguan dengan aktivitas yang berlebihan)
Hiperaktivitas adalah suatu gerakan yang berlebihan melebihi
gerakan yang dilakukan secara umum anak seusianya. Biasanya
sejak bayi mereka banyak bergerak dan sulit untuk ditenangkan.
Jika dibandingkan dengan individu yang aktif tapi produktif,
perilaku hiperaktif tampak tidak bertujuan. Mereka tidak mampu
mengontrol dan melakukan koordinasi dalam aktivitas motoriknya,
sehingga tidak dapat dibedakan gerakan yang penting dan tidak
penting. Gerakannya dilakukan terus menerus tanpa lelah, sehingga
kesulitan untuk memusatkan perhatian.
3. Impulsivitas (gangguan pengendalian diri)
Impulsifitas adalah suatu gangguan perilaku berupa tindakan
yang tidak disertai dengan pemikiran. Mereka sangat dikuasai
oleh perasaannya sehingga sangat cepat bereaksi. Mereka sulit
untuk memberi prioritas kegiatan, sulit untuk mempertimbangkan
atau memikirkan terlebih dahulu perilaku yang akan ditampilkannya.
Perilaku ini biasanya menyulitkan yang bersangkutan maupun
lingkungannya. (Reiff et al., 1993; Barkley, 1996).
B. Epidemiologi
Prevalensi yang dilaporkan pada anak yang mengalami ADHD
bervariasi dari 2 sampai 18 persen, tergantung pada kriteria diagnostik dan
populasi yang dipelajari (Barabaresi et al., 2004; Froechlich et al., 2007).
Prevalensi ADHD pada anak usia sekolah adalah 8 - 10 persen, hal
tersebut menjadikan ADHD sebagai salah satu gangguan yang paling
umum pada masa kanak-kanak
Rasio ADHD pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan yaitu 4:1 ( untuk ADHD yang didominasi oleh hiperaktif) dan
2:1 (untuk ADHD yang didominasi oleh inatensi/kesulitan dalam
memusatkan perhatian) (Green et al, 1999). Hasil survey yang dilakukan
oleh National Survey of Children’s Health (NSCH) ada tahun 2007,
prevalensi ADHD untuk anak laki-laki adalah 13,2 % dan pada anak
perempuan 5,6 % (CDC, 2010). Di Inggris, survei dari 10.438 anak-anak
antara usia 5 dan 15 tahun menemukan bahwa 3,62% dari anak laki-laki
dan 0,85% anak perempuan telah ADHD
C. Etiologi
etiologi ADHD melibatkan saling keterkaitan antara faktor genetik
dan lingkungan .
1. Pengaruh genetik
Gejala ADHD menunjukkan pengaruh genetik yang cukup kuat.
Twin studi menunjukkan bahwa sekitar 75% dari variasi gejala ADHD
di dalam populasi adalah karena faktor genetik (heritabilitas perkiraan
0,7-0,8). Pengaruh genetik tampaknya mempengaruhi distribusi gejala
ADHD di seluruh penduduk dan bukan hanya dalam kelompok sub
klinis.
2. Pengaruh lingkungan
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan otak saat
perinatal dan anak usia dini berhubungan dengan peningkatan risiko
ADHD tanpa gangguan hiperaktif. Faktor biologis yang berpengaruh
terhadap ADHD yaitu ibu yang merokok, mengkonsumsi alkohol, dan
mengkonsumsi heroin selama kehamilan; berat lahir sangat rendah
dan hipoksia janin; cedera otak; dan terkena racun. Faktor risiko tidak
bertindak dalam isolasi, tapi berinteraksi satu sama lain. Sebagai
contoh, risiko ADHD terkait dengan konsumsi alkohol ibu pada
kehamilan mungkin lebih kuat pada anak-anak dengan gen transporter
dopamin.
Hasil penelitian Faron dkk, 2000, Kuntsi dkk, 2000, Barkley,
2003 (dalam MIF Baihaqi &Sugiarmin, 2006), yang mengatakan
bahwa terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya
ADHD :
a. Faktor genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan
faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu
pertiga dari anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu
jika orang tua mengalami ADHD, maka anaknya beresiko
ADHD sebesar 60 %. Pada anak kembar, jika salah satu
mengalami. ADHD, maka saudaranya 70-80 % juga beresiko
mengalami ADHD.
Pada studi gen khusus beberapa penemuan menunjukkan
bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat menyebabkan
munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari aspek
keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa
ADHD ada kaitannya dengan keturunan.
b. Faktor neurobiologis
Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis
diantaranya bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang
muncul pada ADHD dengan yang muncul pada kerusakan
fungsi lobus prefrontl. Demikian juga penurunan kemampuan
pada anak ADHD pada tes neuropsikologis yang
dihubungkan dengan fungsi lobus prefrontal. Temuan melalui
MRI (pemeriksaan otak dengan teknologi tinggi)menunjukan
ada ketidaknormalan pada bagian otak depan. Bagian ini meliputi
korteks prefrontal yang saling berhubungan dengan bagian
dalam bawah korteks serebral secara kolektif dikenal sebagai
basal ganglia. Bagian otak ini berhubungan dengan atensi,
fungsi eksekutif, penundaan respons, dan organisasi respons.
Kerusakan-kerusakan daerah ini memunculkan ciri-ciri yang
serupa dengan ciri-ciri pada ADHD. Informasi lain bahwa
anak ADHD mempunyai korteks prefrontal lebih kecil dibanding
anak yang tidak ADHD.
D. Diagnosis
Untuk menemukan kriteria diagnosisnya, penting untuk
mengetahui gejala di bawah ini :
1. Onsetnya sebelum usia 7 tahun (ADHD) atau 6 tahun (HKD)
2. Sudah jelas nampak minimal selama 6 bulan
3. Harus pervasif (ada pada lebih dari 1 setting, misal : rumah,
sekolah, lingkungan sosial)
4. Menyebabkan gangguan fungsional yang signifikan
5. Tidak ada penyebab gangguan mental lainnya ( misal : gangguan
perkembangan pervasif, skizofrenia, gangguan psikotik lainnya,
depresi atau anxietas)
6. Morbiditas penyerta meliputi kegagalan akademis, perilaku
antisosial, delinquency/ kenakalan, dan peningkatan resiko
kecelakaan lalulintas pada remaja. Sebagai tambahan, dapat pula
timbul pengaruh yang dramatis di kehidupan keluarga
Kriteria diagnosis ADHD and HKD telah diubah dengan masing-
masing revisinya di DSM-IV-TR dan ICD10. Mungkin akan ada revisi
kriteria selanjutnya untuk menunjukkan permasalahan yang menonjol
seperti subtipe gangguan, usia onset dan aplikabilitas kriteria melewati
batas kehidupan. Kriteria DSM IV dan ICD-10 saat ini sama, dengan
perbedaan secara primer pada derajat beratnya gejala dan pervasiveness.
1. DSM membagi kriteria menjadi 2 : inatentif dan hiperaktif impulsif.
Enam dari 9 gejala di tiap seksi harus terdapat ‘tipe kombinasi’ dari
diagnosis ADHD. Jika gejala tidak mencukupi untuk diagnosis
kombinasi, maka tersedia diagnosis untuk predominan (ADHDI) dan
hiperaktif (ADHD-H). Gejalanya juga harus : kronis (selama 6 bulan),
maladaptif, gangguan secara fungsional pada 2 atau lebih konteks,
inkonsisten dengan tingkat perkembangan dan berbeda dengan
gangguan mental lainnya. Jadi DSM disini mengidentifikasi 3 subtipe
ADHD: tipe predominan inatentif (gejala khas inatensi namun tidak
hiperaktivitas/impulsivitas); tipe predominan hiperaktif impulsif
(gejala khas hiperaktivitas/impulsivitas) namun tidak inatensi); dan
tipe kombinasi (yang tanda gejalanya inatensi dan
hiperaktivitas/impulsivitas).
2. ICD menggunakan nomenklatur yang berbeda; Gejala-gejala yang
sama dideskripsikan sebagai bagian dari kelompok gangguan
hiperkinetik masa kanak, dan harus ada inatensi, hiperaktivitas dan
impulsivitas; jadi hanya mengkualifikasikan ADHD ‘tipe kombinasi’.
Kriteria diagnosis ICD bersifat lebih terbatas : gejalanya harus
ditemukan semua pada lebih dari 1 konteks. Lebih jauh lagi, ada kriteria
eksklusi yang sangat terbatas : sedangkan gangguan psikiatrik penyerta
yang ada diperbolehkan berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis gangguan
hiperkinetik tidak dibuat jika kriteria untuk gangguan tertentu lainnya,
meliputi keadaaan anietas ditemukan-kecuali jika gangguan hiperkinetik
ini merupakan tambahan dari gangguan lainnya.
Maka dari itu gangguan hiperkinetik (ICD-10) menggambarkan
suatu kelompok yang membentuk subkelompok berat dari subtipe ADHD
kombinasi milik DSM-IV-TR. Gangguan hiperkinetik lebih jauh lagi
dibagi menjadi gangguan hiperkinetik dengan atau tanpa gangguan
konduksi (gangguan tingkah laku).
E. Differensial Diagnosis
1. Gangguan tingkah laku (anti sosial)
2. Ansietas
3. Gangguan belajar
F. Tatalaksana
Algoritma dasar untuk tatalaksana ADHD (Hill and Taylor, 2001)
1. Terapi non farmakologis
1) Intervensi Psikososial
a. Intervensi psikososial berdasarkan klinis
i. Intervensi psikososial keluarga
Intervensi psikososial tipe bahavioral yang didasarkan pada
keluarga direkomendasikan untuk terapi behavioral
komorbid.
ii. Terapi individual
Intervensi psikososial individual tidak direkomendasikan
rutin.
b. Intervensi psikososial berdasarkan sekolah
Anak dengan ADHD/ gangguan hiperkinetik membutuhkan
program intervensi sekolah individual meliputi intervensi
behavioral dan akademik.
2) Intervensi diet
Ada sedikit bukti mengenai keuntungan pemberian suplemen
mineral (besi, magnesium, seng) pada ADHD/gangguan hiperkinetik.
Beberapa bukti menyebutkan kadar seng yang rendah pada rambut
dan urin berkaitan dengan respon yang buruk terhadap
methylphenidate, meskipun belum terdapat studi yang menyebutkan
bahwa suplementasi seng dapat memperbaiki respon terhadap obat.
Suplementasi asam lemak esensial mungkin bermanfaat, khususnya
pada individu yang kadar asam lemak tak jenuhnya rendah. Namun
belum ada bukti yang cukup untuk mendukung pemakaian rutin
suplementasi mineral untuk manajemen ADHD (Konofal et al., 2008).
Permasalahan mengenai gula halus dan zat makanan tambahan
buatan memiliki efek samping pada perilaku anak, masih menjadi
konflik. Dalam bukti sekarang ini, tidaklah mungkin
merekomendasikan restriksi atau eliminasi makanan pada anak
dengan ADHD (MrCann et al , 2007).
Hal-hal yang bisa diperhatikan dari diet untuk anak
ADHD/gangguan hiperkinetik, antara lain :
o Bahan makanan aditif
o Suplementasi asam lemak omega-3 dan omega-6 (Clayton
et al., 2007)
o Suplementasi besi, seng, magnesium (Bilici et al., 2004)
o Antioksidan (Bateman et al., 2004)
3) Intervensi komplementer dan alternatif
Di antaranya meliputi :
o Bach flower remedies (Pintof et al., 2005)
o Homeopathy (Coulter et al., 2007)
o Massage theraphy (Khilnani et al., 2003)
o Neurofeedback (Beauregard et al., 2006)
4) Intervensi sosial dan komunitas
5) Intervensi multimodal
2. Terapi Farmakologis
Terdapat 3 obat lisensi untuk terapi ADHD/ gangguan hiperkinetik
di Amerika Serikat : methylphenidate hydrochloride, dexamfetamine
sulphate dan atomoxetine. Methylphenidate dan atomoxetine digunakan
untuk usia 6 tahun atau lebih, sedangkan dexamphetamine untuk usia 3
tahun atau lebih. Medikasi tidak direkomendasikan untuk usia pre sekolah.
Inisiasi terapi farmakologis anak ADHD harus di bawah kendali
dokter spesialis, baik psikiatrik anak dan remaja maupun pediatrik, yang
telah menjalani pelatihan penggunaan dan monitoring medikasi
psikotropik.
Harus dilakukan penilaian fisik dasar terlebih dahulu sebelum
terapi farmakologis dimulai, minimal meliputi : nadi, tekanan darah, berat
dan tinggi badan dengan grafik centile yang sesuai dalam ukuran
parameter. EKG sebaiknya dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.
Klinisi harus menginformasikan keuntungan potensial dan efek samping
medikasi. Keuntungan lanjutan dan kebutuhan untuk medikasi dinilai
minimal 1 tahun sekali.
1) Psikostimulan
Studi-studi metanalisis dengan kualitas yang tinggi (durasi minimal
2 minggu) menggunakan psikostimulan (methylphenidate dan
dexamphetamine) atau psikostimulant (atomoxetine), menyimpulkan
bahwa keduanya efektif untuk terapi ADHD, meskipun psikostimulan
memiliki pengaruh yang lebih besar. Psikostimulan yang biasa
digunakan di USA adalah methylphenidate (MPH) dan
dexamphetamine (DEX). Methylphenidate tersedia dalam bentuk
immediate atau modified release untuk memfasilitasi medikasi
sepanjang hari. DEH digunakan untuk anak usia 2 tahun atau lebih,
sedangkan MPH untuk usia 6 tahun atau lebih. DEX efektif untuk
mengatasi gejala inti ADHD/ gangguan hiperkinetik. Psikostimulan
merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gejala inti ADHD atau
gangguan hiperkinetik.
Efek samping yang paling sering muncul : insomnia, nafsu makan
berkurang, nyeri perut, sakit kepala dan pening. Sebagian besar efek
samping psikostimulan jangka pendek sering berkaitan dengan dosis
dan bersifat subyektif. Efek samping akan berkurang dalam waktu 1-2
minggu dari awal terapi dan akan hilang jika terapi dihentikan atau
dosisnya diturunkan dan biasanya nampak pada anak usia pre-sekolah.
Saat pertama kali memberikan dan menitrasi psikostimulan, kontak
reguler antara keluarga dan klinisi sangatlah penting karena berkaitan
dengan pertanyaan dan penilaian yang diperlukan.
Tabel 3 : Efek samping psikostimulan dan pilihan manajemen yang disarankan
Efek samping Pilihan manajemen
Anoreksia, nausea, Berikan obat bersama makanan
penurunan berat badan Pertimbangkan reduksi dosis atau penghentian
obat
Monitor berat dan tinggi badan menggunakan
grafik persentil
Edukasi diet, tambahan kalori
Hal yang menyangkut Jika signifikan (jarang dalam jangka panjang)
pertumbuhan atau menyebabkan kecemasan pada orang
tuanya, upayakan penghentian medikasi saat
akhir minggu atau liburan.
Kesulitan tidur (bandingkan Berikan edukasi ‘sleep hygiene’
dengan kesulitan tidur Kurangi atau hilangkan medikasi malam atau
sebelum terapi) akhir sore (namun catat bahwa beberapa
pasien membaik dengan medikasi malam
tambahan).
Pertimbangkan penggantian ke atomoxetine
Pening dan sakit kepala Bersifat sementara. Jika persisten, monitor
teliti (cek tekanan darah), turunkan
dosis/hentikan medikasi, pastikan obat
dimakan dengan makanan dan edukasi intake
cairan. Jika persisten,
Pergerakan involunter, Tics Kurangi, atau jika persisten, hentikan
dan sindrom Tourette medikasi. Monitoring pre dan post terapi tics.
Pertimbangkan alternatif lainnya (misal TCA)
jika gejalanya berat.
Hilangnya spontanitas, Turunkan atau hentikan medikasi (hentikan
disforia, agitasi jika timbul gangguan piir atau suspek psikosis-
jarang terjadi)
Iritabilitas, behavioural Monitor ketat, kurangi atau overlap dosis sore
rebound hari; evaluasi komorbid (ODD/CD)
G. Prognosis
Gejala hiperaktif akan berkurang pada masa adolescence,
sedangkan gejala impulsive dan emosi yang labil akan menetap. Anak
dengan ADHD pada waktu dewasa sering masih mempunyai gejala agresif
dan menjadi pencandu minuman keras/alkoholisme).
Prognosis lebih baik bila didapatkan fungsi intelektual yang tinggi,
dukungan yang kuat dari keluarga, temen teman yang baik, diterima di
kelompoknya dan diasuh oleh gurunya serta tidak mempunyai satu atau
lebih komorbid gangguan psikiatri.
H. Simpulan
ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders) merupakan suatu
peningkatan aktifitas motorik hingga pada tingkatan tertentu yang
menyebabkan gangguan perilaku yang terjadi, setidaknya pada dua tempat
dan suasana yang berbeda dan kondisi yang sangat umum di antara anak-
anak. Penyebab pasti dan patologi ADHD masih belum terungkap secara
jelas. Seperti halnya gangguan autism, ADHD merupakan statu kelainan
yang bersifat multi faktorial. Banyak faktoryang dianggap sebagai
penyebab gangguan ini, diantaranya adalah faktor genetik,perkembangan
otak saat kehamilan, perkembangan otak saat perinatal, tingkat
kecerdasan(IQ), terjadinya disfungsi metabolisme, ketidakteraturan
hormonal, lingkungan fisik, sosial danpola pengasuhan anak oleh orang
tua, guru dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya. Melihat
penyebab ADHD yang belum pasti terungkap dan ada beberapa teori
penyebabnya, maka tentunya terdapat banyak terapi atau cara
dalam penanganannya sesuai dengan landasan teori penyebabnya.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Increasing prevalence of parent-
reported attention-deficit/hyperactivity disorder among children --- United
States, 2003 and 2007. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2010; 59:1439.
Clayton EH, Hanstock TL, Garg ML, Hazell PL. Long chain omega-3
polyunsaturated fatty acids in the treatment of psychiatric illnesses in children
and adolescents. Acta Neuropsychiatrica. 2007;19(2):92-103.
Eric Taylor, Tim Kendall , Philip Asherson et al. 2008. Attention deficit
hyperactivity disorder: Diagnosis and management of ADHD in children,
young people and adults.
Faraone SV, Sergent J, Gillberg C, Biederman J. The worldwide prevalence of
ADHD : is it an American condition?. World Psychiatry. 2003 ; 2: 104-13.
Froehlich TE, Lanphear BP, Epstein JN, et al. Prevalence, recognition, and treatment
of attention-deficit/hyperactivity disorder in a national sample of US children.
Arch Pediatr Adolesc Med 2007; 161:857.
Merikangas KR, He JP, Brody D, et al. Prevalence and treatment of mental disorders
among US children in the 2001-2004 NHANES. Pediatrics 2010; 125:75.
Moore, David P. Eds. 2006. Little Black Book of Psychiatry. Jones and Bartlett
Publishers. The 3rd Edition, pp: 45-48.
Moore. Kent L. Recent advances in the genetics off attention deficit hyperactivity
disorder. Curr Psychiatry Res 2004; 6: 143.
Philip Asherson, Simon Bailey, Karen Bretherton et al. Diagnosis and management
of ADHD in children, young people and adults. 2008
Pliszka S, AACAP Work Group on Quality Issues. Practice parameter for the
assessment and treatment of children and adolescents with
attention-deficit/hyperactivity disorder. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry
2007; 46:894.
Reiff MI, Banez GA, Culbert TP. Children who have attentional disorders: diagnosis
and evaluation. Pediatr Rev. 1993;14:455–465