ULUMUL HADIST
Dosen pengampu : Muhammad Isbiq, M.S.I
Oleh :
M. Rayhan Azmi 2220058
Jawab : Sejarah mencatat bahwa, sejak masa Nabi tradisi kelisanan dan keaksaraan
terhadap kajian hadis berjalan secara bersamaan. Sebagian sahabat menulis hadis
dan sebagian tidak mau menulisnya. Penulisan Sunnah Nabi yang kemudian Pada
masa permulaan Islam, Rasulullah Saw. tidak merestui para penulis wahyu
mencatat sabda-sabdanya selain al-Qur‟an. Sebagai tindak lanjut dari
ketidaksetujun tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan menghapus segala catatan
yang berhubungan dengan tulisan selain al-Qur‟an. Di samping Rasulullah Saw.
menyuruh menghapus catatan selain al-Qur‟an jika sudah terlanjur dicatat, beliau
tidak memberi izin jika ada sahabat yang menulisnya. Adanya larangan tersebut
berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah
melarang, tidak mungkin hadis dapat ditulis. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, sebagaimana dijelaskan oleh M. Syuhudi Ismail, yaitu; Hadis disampaikan
tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadis. Perhatian Nabi dan
para sahabat lebih banyak tercurah pada al-Qur‟an. Meskipun Nabi mempunyai
beberapa sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun
dan surat-surat Nabi. Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal
ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi
dengan peralatan yang sangat sederhana.
Jawab : ''Rasulullah SAW bersabda, 'Siapa yang menjadikan dunia sebagai ujung
akhir ambisinya, Allah akan pisahkan ia dengan yang diinginkannya (dunia), lalu
Allah akan menjadikan kefakiran membayang di pelupuk kedua matanya. Padahal
Allah sudah pasti akan memberikan dunia kepada setiap manusia sesuai dengan
yang telah Ia tetapkan. Tapi siapa yang menjadikan akhirat sebagai ujung akhir
ambisinya, maka Allah akan mengumpulkan dan mencukupi segala kebutuhannya
di dunia. Lebih dari itu, Allah akan membuat hatinya menjadi kaya. Dunia akan
selalu mendatanginya, meskipun ia enggan untuk menerimanya'. (HR Ibnu Majah
dari Usman bin Affan).
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW mengungkapkan, ''Siapa yang menjadikan
ambisinya semata-mata untuk meraih akhirat, Allah akan mencukupi kebutuhan
dunianya. Tapi siapa yang ambisi meraih dunianya bermacam-macam, Allah tidak
akan pernah peduli dengan yang ia inginkan. Ia justru akan menemui
kehancurannya sendiri.'' (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas'ud).
Sementara itu, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis qudsi, ''Wahai anak cucu
Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan
Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak
demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan
menutupi kafakiranmu.'' (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Hadits-hadits di atas memberikan beberapa pesan. Pertama, dunia itu tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat. ''Katakanlah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu nilainya kecil. Nilai akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang
yang bertakwa.'' (An Nisa: 77).
Kedua, janganlah menjadikan dunia sebagai ambisi final, karena dunia sejatinya
hanyalah tempat persinggahan sementara. Terminal akhir adalah akhirat. ''Carilah
nilai akhirat yang telah Allah sebarkan dalam kehidupanmu, tapi, jangan lupakan
dunia. Berbuat baiklah di dunia sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.''
(Al-Qashash: 77).
Ketiga, orang yang menjadikan akhirat sebagai ambisinya, akan Allah SWT cukupi
segala kebutuhan hidupnya. Nabi SAW mengibaratkan bahwa seandainya ia
enggan menerima, harta itu akan tetap datang mengelilinginya. Kenapa enggan?
Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang beriman itu sudah cukup kaya hatinya.
3. Untuk membuktikan kebenaran hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
setelah al-Qur’an, para ulama hadis mengemukakan argumentasi secara rasional/
aqli maupun teologis/naqli. Diskripsikan posisi hadis dengan al-qur’an sebagai
bayan al-Taqrir, bayan an nasakh, bayan tafshil dan bayan taqyid beserta dalilnya
Jawab : Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua,
telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan
Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini
tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang
berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.3 Oleh karena itu segala
perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat
islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebihlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu
mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti
membawa jaminan teologis.4 Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya
ditemukan sekitar 50 ayat5 yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat
kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai
berikut: J ومااتكم الرسول فخذوه وما نھاكم عنھ فأنتھواArtinya: Dan apa-apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang dilarangnya maka
tinggalkanlah. 6 Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum
yakni semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh
orang- orang yang beriman.7 Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis
sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu kewajiban patuh kepada Rasulullah
merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang. Dalam surat al-Nisa’ ayat
80 juga dikemukakan : من یطیع الرسول فقد اطاع هللاArtinya: Barang siapa yang
mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah.8 Ayat tersebut
mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu
tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa
indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati
dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah. Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran
Nabi Muhammad adalah menjadi anutan yang baik bagi umat islam seperti dalam
surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan : لقد كان لكم في رسول هللا اسوة حسنةArtinya:
Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu.9 Ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah
maka cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka
yang tidak sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan
mempelajari, memahami dam mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam
hadis-hadisnya. Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah
Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak
hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-
Qur’an.
Contoh Hadits Maudhu yang Mashur di Masyarakat Meski para ulama sudah
mewanti-wanti umat islam agar menghindari hadits maudhu’, namun kenyataannya
hadits tersebut sebagian sudah terlanjur mashur di masyarakat. Berikut beberapa
contoh hadits palsu yang telah masyhur sekali di kalangan kita beserta penjelasan-
penjelsannya yang disimpulkan dari beberapa kitab yang bersangkutan. َ ق ْد َع َر َ َ سه ُ ف
ْ َف َربَّهُ َم ْن َع َر َف نBarang siapa mengenali dirinya maka ia telah mengenal
َف
tuhannya. Ungkapan ini bukan hadits, tetapi ucapan Yahya bin Mu'adz al-Razi.
Walaupun bukan hadits tapi ungkapan ini tidak bertentangan dengan hadits nabi
yang diriwayatkan oleh 'Aisah ra, yaitu ketika Nabi ditanya “Siapakah orang yang
paling mengenali tuhannya?" nabi menjawab "orang-orang yang paling mengenali
dirinya".