Anda di halaman 1dari 7

TUGAS UTS

ULUMUL HADIST
Dosen pengampu : Muhammad Isbiq, M.S.I
Oleh :
M. Rayhan Azmi 2220058

1. Uraikan dengan singkat pertanyaan berikut ini:

a. Argumentasi pelarangan penulisan hadis pada masa Rasulullah dan Sahabat


serta anjuran sebagian para shahabat yang diberikan wewenang untuk menulis
hadis?

Jawab : Sejarah mencatat bahwa, sejak masa Nabi tradisi kelisanan dan keaksaraan
terhadap kajian hadis berjalan secara bersamaan. Sebagian sahabat menulis hadis
dan sebagian tidak mau menulisnya. Penulisan Sunnah Nabi yang kemudian Pada
masa permulaan Islam, Rasulullah Saw. tidak merestui para penulis wahyu
mencatat sabda-sabdanya selain al-Qur‟an. Sebagai tindak lanjut dari
ketidaksetujun tersebut, Rasulullah Saw. memerintahkan menghapus segala catatan
yang berhubungan dengan tulisan selain al-Qur‟an. Di samping Rasulullah Saw.
menyuruh menghapus catatan selain al-Qur‟an jika sudah terlanjur dicatat, beliau
tidak memberi izin jika ada sahabat yang menulisnya. Adanya larangan tersebut
berakibat banyak hadis yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah
melarang, tidak mungkin hadis dapat ditulis. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, sebagaimana dijelaskan oleh M. Syuhudi Ismail, yaitu; Hadis disampaikan
tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadis. Perhatian Nabi dan
para sahabat lebih banyak tercurah pada al-Qur‟an. Meskipun Nabi mempunyai
beberapa sekretaris tetapi mereka hanya diberi tugas menulis wahyu yang turun
dan surat-surat Nabi. Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal
ihwal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi
dengan peralatan yang sangat sederhana.

b. Tulislah dengan lengkap syakal dan harakatnya redaksi hadis tentang


anjuran penulisan hadis bagi sebagian Sahabat?

Jawab : Mengunakan metode hafalan. Para sahabat biasanya mendengarkan setiap


pengajaran Rasulullah yang kebanyakan diadakan di masjid, dan setelah selesai
mereka biasanya menghafalkan apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah.
Menggunakan metode tulisan, artinya ketika para sahabat menerima hadis
Rasulullah mereka lansung menulisnya.

2. Uraikan dengan singkat pertanyaan berikut ini:

c. Bagaimana Etika seseorang yang concern dalam menuntut ilmu hadis/


tholibul hadis maupun muhadis?
Jawab : 1. Jangan menyombongkan diri.
Seseorang yang menyombongkan diri karena keluasan ilmunya adalah salah besar.
Allah berfirman:
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya engkau tidak akan bisa menembus bumi dan tidak akan mampu
menjulang seperti gunung”. (Q.S. al-Isra [17]: 37)
Allah l memberikan sindiran kepada orang-orang yang sombong. Sombong dalam
harta, tahta, ataupun dalam hal memiliki ilmu. Terbesit jelas apa yang tersirat
dalam ayat tersebut, bahwa bagi orang-orang yang sombong dengan hal yang
dimilikinya pasti ada yang lebih dari apa yang mereka sombongkan. Maka dari itu
mereka yang menyombongkan ilmu yang mereka miliki, mereka tidak akan
mampu menjulang seperti gunung.
2. Menjaga Ilmunya.
“Bencana orang berilmu adalah lupa, dan membicarakan dengan yang bukan
ahlinya”(Ibnu Abu Syaibah)
Sungguh benar-benar merugi orang-orang yang tidak menjaga ilmunya. Itu
menjadi sebuah bencana bagi para penuntut ilmu, mereka mencari ilmu dengan
susah payah namun mereka lupa akan ilmu-ilmunya. Ada beberapa kiat-kiat untuk
menjaga ilmunya, yaitu:
Pertama, Menulis. Ilmu yang tidak ditulis bagaikan unta di padang pasir, unta
tersebut jika sudah lepas sangat mudah untuk hilang. Itulah ilmu yang diibaratkan
dengan unta lepas. Dia akan mudah lupa jika tidak diikat dengan tulisan, dan
setelah lupa tidak ada lagi yang harus di ingat karena tidak ada lagi yang
membekas baik di fikiran maupun di tulisan. Maka sangat penting ilmu itu ditulis,
sebagai bahan muroja’ah ataupun sebagai bahan untuk mengajarkannya kepada
orang lain.
Kedua, Muroja’ah. Muroja’ah menjadi sangat penting sebagai kiat untuk
menjadikan terjaganya ilmu yang dihafal. Muroja’ah juga bisa sebagai metode
untuk mengkoreksi jika ada hal yang kurang dalam ilmu-ilmu yang didapat.
Sedikit kisah tentang Imam Bukhari, ia seorang imam besar perawi hadist-hadist
yang sahih. Setiap setelah beliau belajar dengan seorang guru, beliau selalu
mencatat dan me-muroja’ah ilmunya di rumah. Ini adalah tanda keteladanan
seorang yang berilmu. Dia giat dan selalu bersemangat dalam menuntut ilmu.
3. Mengamalkan.
Semaksimal tingkatan seorang yang berilmu adalah mengamalkannya. Sungguh
orang yang menagamalkan ilmunya dia sungguh telah benar-benar menjaga
ilmunya. Menjaga ilmunya dari kepunahan, karena akan dikaji oleh murid-
muridnya. Sekaligus amal jariyah bagi yang mengamalkan ilmunya. Sebagaimana
yang dikatakan dalam Hadist:
“Jika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga
perkara yaitu sodaqoh jariyah, ilmu yang diamalkan dan anak yang sholeh”. (H.R.
Muslim no. 1631)
4. Amanah dalam menyampaikan.
Seorang yang berilmu dilihat dari cara menyampaikan ilmunya dia harus amanah.
Sesuai dengan redaksi yang diterima dari guru-gurunya yang terdahulu. Bukan
hanya dengan kepentingan hawa nafsunya saja. Dia menafsirkan sendiri dengan
keterbatasan ilmunya dalam bidang tertentu.
Sifat amanah dalam menyampaikan ini menjadi tolak ukur para ulama dalam
menentukan bahwa dia berilmu atau tidak berilmu. Sebagai contoh adalah
bagaimana terciptanya hadist-hadist yang muttawatir dan sahih. Di mana para
perawi hadist tersebut adalah orang-orang yang kesehariannya sangat amanah dan
zuhud, maka terciptalah hadist yang bisa dijadikan hukum. Dan jika salah seorang
dari perawi hadist tersebut tidak amanah maka bisa disimpulkan bahwa hadist yang
redaksinya dari perawi tersebut tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentukan
hukum.
5. Lemah lembut dalam menyampaikan.
Sebagaimana yang terdapat dalam surat Ali Imrân ayat 159
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekitarmu…” (Q.S. Ali Imrân [3]: 159)

d. Tulislah dengan lengkap syakal dan harakatnya redaksi hadis tentang


peringatan bagi seseorang yang mencari hadis dengan tujuan mencari prestige
keduniawian?

Jawab : ''Rasulullah SAW bersabda, 'Siapa yang menjadikan dunia sebagai ujung
akhir ambisinya, Allah akan pisahkan ia dengan yang diinginkannya (dunia), lalu
Allah akan menjadikan kefakiran membayang di pelupuk kedua matanya. Padahal
Allah sudah pasti akan memberikan dunia kepada setiap manusia sesuai dengan
yang telah Ia tetapkan. Tapi siapa yang menjadikan akhirat sebagai ujung akhir
ambisinya, maka Allah akan mengumpulkan dan mencukupi segala kebutuhannya
di dunia. Lebih dari itu, Allah akan membuat hatinya menjadi kaya. Dunia akan
selalu mendatanginya, meskipun ia enggan untuk menerimanya'. (HR Ibnu Majah
dari Usman bin Affan).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW mengungkapkan, ''Siapa yang menjadikan
ambisinya semata-mata untuk meraih akhirat, Allah akan mencukupi kebutuhan
dunianya. Tapi siapa yang ambisi meraih dunianya bermacam-macam, Allah tidak
akan pernah peduli dengan yang ia inginkan. Ia justru akan menemui
kehancurannya sendiri.'' (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin Mas'ud).

Sementara itu, Allah SWT berfirman dalam sebuah hadis qudsi, ''Wahai anak cucu
Adam, kalian mencurahkan segala ibadah hanya karena ingin ridla-Ku, pasti akan
Aku penuhi hatimu dengan kekayaan. Aku juga akan tutup kefakiranmu. Jika tidak
demikian, Aku akan penuhi hatimu dengan segala kesibukan. Aku juga tidak akan
menutupi kafakiranmu.'' (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Hadits-hadits di atas memberikan beberapa pesan. Pertama, dunia itu tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan dengan akhirat. ''Katakanlah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu nilainya kecil. Nilai akhirat jauh lebih baik bagi orang-orang
yang bertakwa.'' (An Nisa: 77).

Kedua, janganlah menjadikan dunia sebagai ambisi final, karena dunia sejatinya
hanyalah tempat persinggahan sementara. Terminal akhir adalah akhirat. ''Carilah
nilai akhirat yang telah Allah sebarkan dalam kehidupanmu, tapi, jangan lupakan
dunia. Berbuat baiklah di dunia sebagaimana Allah telah berbuat baik padamu.''
(Al-Qashash: 77). 

Ketiga, orang yang menjadikan akhirat sebagai ambisinya, akan Allah SWT cukupi
segala kebutuhan hidupnya. Nabi SAW mengibaratkan bahwa seandainya ia
enggan menerima, harta itu akan tetap datang mengelilinginya. Kenapa enggan?
Rasulullah SAW mengatakan bahwa orang beriman itu sudah cukup kaya hatinya.

3. Untuk membuktikan kebenaran hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
setelah al-Qur’an, para ulama hadis mengemukakan argumentasi secara rasional/
aqli maupun teologis/naqli. Diskripsikan posisi hadis dengan al-qur’an sebagai
bayan al-Taqrir, bayan an nasakh, bayan tafshil dan bayan taqyid beserta dalilnya

Jawab : Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua,
telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan
Sunni tapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini
tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang
berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.3 Oleh karena itu segala
perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat
islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebihlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu
mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti
membawa jaminan teologis.4 Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya
ditemukan sekitar 50 ayat5 yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat
kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai
berikut: J‫ ومااتكم الرسول فخذوه وما نھاكم عنھ فأنتھوا‬Artinya: Dan apa-apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang dilarangnya maka
tinggalkanlah. 6 Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum
yakni semua perintah dan larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh
orang- orang yang beriman.7 Dengan demikian ayat ini mepertegas posisi hadis
sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu kewajiban patuh kepada Rasulullah
merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang. Dalam surat al-Nisa’ ayat
80 juga dikemukakan : ‫ من یطیع الرسول فقد اطاع هللا‬Artinya: Barang siapa yang
mengikuti Rasul maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah.8 Ayat tersebut
mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan salah satu
tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa
indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati
dan larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam
kapasitasnya sebagai Rasulullah. Pada ayat lain dikemukakan bahwa kehadiran
Nabi Muhammad adalah menjadi anutan yang baik bagi umat islam seperti dalam
surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan : ‫ لقد كان لكم في رسول هللا اسوة حسنة‬Artinya:
Sesunguhnya telah ada pada diri Rasullah teladan yang baik bagimu.9 Ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi
orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah
maka cara meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka
yang tidak sezaman dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan
mempelajari, memahami dam mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam
hadis-hadisnya. Dari petunjuk ayat-ayat diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah
Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an. Orang yang menolak
hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya menolak al-
Qur’an.

4. Bagaimana kita mengetahui kedudukan hadis yang maudhu’ dan hukum


mengamalkan hadis maudu’? jelaskan pula contoh matan hadis maudu’?

Jawab : Berdasarkan pengertian al-Hadits dan al-Maudhu’ ini, dapat disimpulkan


bahwa definisi hadits maudhu’ adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW baik perbuatan, perkataan, taqrir, dan sifat beliau secara dusta.
Lebih tepat lagi ulama hadits mendefinisikannya sebagai apa-apa yang tidak
pernah keluar dari Nabi SAW baik dalam bentuk perkataan, perbuatan atau taqrir,
tetapi disandarkan kepada beliau secara sengaja.2 Hadits maudhu’ ini yang paling
buruk dan jelek diantara haditshadits dhaif lainnya. Ia menjadi bagian tersendiri
diantara pembagian hadits oleh para ulama yang terdiri dari: shahih, hasan, dhaif
dan maudhu’. Maka maudhu’ menjadi satu bagian tersendiri.3 Menamakan hadits
maudhu -yang di negara kita dikenal hadits palsu- dengan sebutan hadits tidak
menjadi masalah, dengan sebuah catatan. Di antaranya, ketika menyampaikan
hadits tersebut harus diumumkan bahwa ia adalah hadits palsu. Oleh sebab itu,
berdasar istilah yang benar, hadits maudhu’ tidak boleh dikategorikan sebagai
hadits walaupun disandarkan kepada hadits dhaif.

Contoh Hadits Maudhu yang Mashur di Masyarakat Meski para ulama sudah
mewanti-wanti umat islam agar menghindari hadits maudhu’, namun kenyataannya
hadits tersebut sebagian sudah terlanjur mashur di masyarakat. Berikut beberapa
contoh hadits palsu yang telah masyhur sekali di kalangan kita beserta penjelasan-
penjelsannya yang disimpulkan dari beberapa kitab yang bersangkutan. َ ‫ق ْد َع َر‬ َ َ ‫سه ُ ف‬
ْ ‫ َف َربَّهُ َم ْن َع َر َف ن‬Barang siapa mengenali dirinya maka ia telah mengenal
‫َف‬
tuhannya. Ungkapan ini bukan hadits, tetapi ucapan Yahya bin Mu'adz al-Razi.
Walaupun bukan hadits tapi ungkapan ini tidak bertentangan dengan hadits nabi
yang diriwayatkan oleh 'Aisah ra, yaitu ketika Nabi ditanya “Siapakah orang yang
paling mengenali tuhannya?" nabi menjawab "orang-orang yang paling mengenali
dirinya".

Anda mungkin juga menyukai