Dosen Pembimbing :
Ditulis oleh
Kelompok 10 :
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................1
Daftar Isi..............................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar belakang.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan..............................................................................................................15
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan ukuran kepemilikannya, organisasi dibagi menjadi dua, yaitu organisasi sektor
privat atau swasta dan organisasi sekor publik. Organisasi sektor privat merupakan
organisasi yang kepemilikannya lebih didominasi oleh kepemilikan satu atau sekelompok
investor saja sedangkan organisasi sektor publik organisasi yang dimiliki oleh publik atau
masyarakat. Untoro (2010) menemukan adanya perbedaan antara organisasi sektor privat
dengan organsasi sektor publik dengan menggunakan pendekatan kepublikan. Kepublikan
suatu organisasi dapat dinilai dari tiga dimensi, yaitu dimensi lingkungan, dimensi
transasksional, dan dimensi oraganisasional.
Organisasi sektor publik sering kali dipandang sebagai organisasi yang dianggap
efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta,
sehingga kedudukannya dianggap lebih rendah dan tertinggal jauh dibandingkan dengan
sektor swasta. Hal ini bisa jadi dikarenakan oganisasi sektor publik merupakan milik
masyarakat umum atau masyarakat di wilayah tertentu, sehingga kemajuan dan
perkembangan organisasi tergantung dari keadaran dan perhatian masyarakat tersebut
terhadap manajemen organisasi termasuk praktik akuntansinya. Kondisini juga terjadi pada
organisasi peribadatan (tempat ibadah).
Selama ini, tempat ibadah hanya dijadikan sebagai tempat untuk melakukan atau
melayani aktivitas ritual peribadatan. Namun, sebenarnya tempat ibadah apabila disadari
sebagai salah satu bentuk organisasi memiliki peranan yang sangat strategis dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan tidak kalah strategisnya dengan jenis
organisasi publik lainnya. Sebenarnya tempat ibadah dapat dijadikan sebagai pusat aktivitas
(center of activity) dari masyarakat sesuai dengan agama masing-masing . tempat ibadah
harus disadari dan dimaknai sebagai sebuah organisasi, karena setiap organisasi pasti
memiliki tujuan yang akan dicapai. Untuk mencapai tujuan tesebut diperlukan alat
organisasional, seperti daam hal pengelolaan keuangan adalah akuntansi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Secara sempit pelayanan yang dilakukan oleh organisasi keagamaan kepada umatnya
bertujuan agar proses peribadatan di dalam organisasi keagamaan tersebut dapat dijalan kan
sebaik mungkin. Namun, dala konteks pelayanan secara luas dapat dimaknai sebagai
4
pelayanan kepada umat secara menyeluruh menyangkut berbagai aspek kehidupan beragama
dan bermasyarakat dari umat beragama tersebut.
Meskipun tujuan utamanya adalah untuk pelayanan umat, bukan berarti organisasi
keagamaan tidak memiliki tujuan keuangan (Bastian, 2007). Tujuan keuangan ditunjukan
untuk mendukung terlaksananya tujuan pelayanan peribadatan yang memadai yang
memenuhi standar sesuai dengan aturan dalam ajaran agama tersebut (shari’a), serta
menunjang tujuan lainnya seperti tujuan social kemasyarakatan dan pendidikan. Untuk
mencapai tujuan keuangan ini juga tidak boleh melanggar ketentuan-ketetuan yang dilarang
oleh ajaran agama, atau justru keberadaan tempat ibadah tersebut memberatkan masyarakat
sekitarnya. Akuntansi pada organisasi keagamaan merupakan aktivitas yang tidak dapat
dipisahkan dalam rangkaian pengelolaan kegiatan, dalam bentuk lengkap maupun secara
sederhana sekalipun.
Masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat melakukan solat berjamaah maupun solat jum’at
saja, melainkan dapat berfungsi untuk kegiatan-kegiatan lain yang bersifat sosial
kemassyarakatan. Sebagai mana pada zaman nabi Muhammad saw., masjid menjadi pusat
segala kegiatan masyarakat. Pada masa itu, masjid tidak hanya tempat peribadatan, melainkan
sebagai pusat pemerintahan, pusat perpendidikan, pusat budaya islam, pusat pertahanan dan
keamanan kaum muslimin pada masa itu.
Dalam konteks saat ini, masjid tidak mungkin lagi menjadi pusat kegiatan
sebagaimana jaman Nabi Muhammad saw. Namun, masjid sebagai pusat pendidikan, budaya
Islam, pusar sosial kemasyarakatan maupun pusat ekonomi masih mungkin dijalankan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka organisasi peribadatan, dalam konteks ini dicontohkan
organisasi masjid, dapat berfungsi sebagai:
5
6. pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam bagi umat muslim di sekitarnya;
7. tempat mengumpulkan dana, menyimpan, dan mengelolanya;
8. tempat melaksanakan pengaturan dan pengawasan sosial.
6
relatir masin. rendah, apalagi kesadaran untuk menerapkan akuntansi pada organisasi masjid.
Pada sest selanjutnya akan dibahas tentang peran strategis akuntansi dalam pengembangan
manajemen masjid.
Manajemen Keuangan Organisasi Peribadatan
Dalam fungsi pertama adalah bagaimana cara pengelola organisasi peribadatan dalam
mendapatkan dana yang sesuai dengan ajaran agama dan tidak memberatkan umat.
Sedangkan, fungsi kedua adalah bagaimana menggunakan dana secara efektif dan efisien.
Pada fungsi yang kedua, juga mencakup pertanggungjawaban pengelolaan dana. Hal ini
sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ayub (1996) dalam konteks organisasi masjid, bahwa
keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan, pengelolaan, dan
pertanggungjawaban dana masjid.
Alat untuk melaksanakan manajemen keuangan adalah tata usaha. Tata usaha dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu tata usaha umum atau administrasi dan tata usaha keuangan.
Akuntansi merupakan tata usaha keuangan. Jadi, akuntansi untuk organisasi keagamaan
merupakan tata usaha keuangan organisasi keagamaan. Hal ini sesuai dengan Gambar 27.1.
7
Manajemen Keuangan Organisasi Masjid
Tata Usaha Umum atau Administrasi Tata Usaha Keuangan Organisasi Masjid
Organisasi Masjid
Akuntansi masjid dapat diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan prinsip, standardisasi, dan
prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan dalam organisasi
masjid. Akuntansi yang diterapkan pada organisasi keagamaan memiliki kaitan yang erat
dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik. Domain publik yang
dimaksud adalah para anggota, umat, atau pengikut agama di organisasi keagamaan yang
bersangkutan. Dalam hal ini domain publik dari organisasi masjid adalah umat muslim secara
keseluruhan pada umumnya, dan masyarakat sekitar pada khususnya.
Dari segi sumber pendanaan atau lebih konkretnya struktur modal dan struktur
pembiayaan, organisasi keagamaan sangat berbeda dalam hal bentuk dan jenisnya. Sumber
pendanaan organisasi keagamaan berasal dari umat dan sumbangan-sumbangan pihak
tertentu. Aliran dana dari umat ini dilakukan secara sukarela atau bahkan dilakukan dalam
8
rangka memenuhi kewajibannya sebagai umat suatu agama. Karena sifatnya yang
karakteristik dana yang diperolehnya sulit untuk diprediksi perolehannya.
Pada organisasi masjid, umumnya sebagian besar sumber dana berasal dari umat
muslim, walaupun tidak menutup kemungkinan bantuan dari pihak luar ataupun pinjaman.
Namun, khusus untuk pinjaman biasanya dihindari oleh pengurus atau pengelola organisasi
masjid. kecuali ada yang menjamin secara pribadi. Organisasi masjid memiliki sumber dana
dari umat bisa dalam berbagai bentuk seperti infak, sedekah, zakat, fidyah, dan lain-lain sesua
sukarela, yang ajaran Islam. Sedangkan, alokasi dana masjid selain untuk pemeliharaan
bangunan besertaa: seluruh perlengkapannya secara berkala, juga dialokasikan untuk
berbagai kegiatan lainnya: seperti pengajian rutin atau yang bersifat insidental, TPQ atau
pengajian anak-anak, bazar maupun kegiatan peringatan hari-hari besar Islam.
Adapun dalam konteks pola pertanggungiawabannya, jika organisasi sektor swasta
bertanggungjawab kepada pemilik usaha atau krediturnya, maka pertanggungjawaban
organisasi keagamaan dilakukan kepada seluruh umat vang telah memberikan amanahnya,
dan merupakan bagian terpenting dalam menciptakan kredibilitas pengelolaan yang
dijalankan. Apabila elemen pertanggungjawaban ini tidak dapat dipenuhi, maka implikasinya
dapat berwujud ketidakpercayaan, ketidakpuasan, atau bahkan fitnah (Bastian, 2007).
Dalam kitab suci telah diajarkan adanya kegiatan jual – beli, utang– piutang dan sewa menyewa.
Dari kegiatan tersebut maka diperlukannyasistem pencatatan yang baik agar transaksi - transaksi
tersebut dapatberjalan dengan baik, jujur dan adil. Sehingga dapat disimpulkan bahwasistem
pencatatan diperintahkan meskipun tidak secara langsung dantujuannya adalah memberikan
kepastian, keterbukaan, dan keadilan antarakedua pihak atau lebih yang memiliki hubungan
dengan umat atau manusialain. Dan dari penjelasan tersebut maka di dalam akuntansi,
perintahtersebut diintrepretasikan sebagai akuntabilitas atau pertanggung jawaban.
9
dikatakan wbahwa pengurus masjidtersebut merupakan orang yang dapat dipercaya dan tanggung
jawab. Jika pengeloalaan keuangan dilakukan dengan tidak baik maka akan timbulfitnah dan
pengurusnya akan dinilai sebagagi orang yang tidak dapatdipercaya dan tidak baik.
Akuntabilitas diperlukan dalam oranganisasi masjid dan harus dijalankan dengan baik. Untuk
meciptakan sebuah akuntabilitas yang baik maka diperlukan sistem pencatatan yang baik dan
tertib. Akuntansi merupakan aktivitas mencatat, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan
mengelolah transaksi dari suatu organisasi yang dapat menghasilkan informasi keuangan yang
mengambarkan kondisi organisasi tersebut. Maka dari itu untuk membuat suatu akuntabilitas
yang baik maka memerlukan sistem akuntansi yang baik pula. Selain akuntabilitas, akuntansi juga
bertujuan untuk pengendalian manajemen, dari mulai tahap perencanaan sampai ke tahap
pelaksanaan, serta bermenfaat untuk penyediaan informasi yang andal dan relevan.
Sistem akuntansi dapat menghasilkan informasi yang berguna, baik bagi manajemen
maupun pihak eksternal. Bagi manajemen, informasi akuntansi dapat digunakan sebagai dasar
mengalokasikan dana yang diperoleh dan menentukan nilai ekonomis aktivitas-aktivitas yang ada
dalam organisasi peribadatan. Sedangkan, bagi pihak eksternal, akuntansi dapat dijadikan sarana
untuk menilai pertanggungjawaban atas dana yang dikelola oleh pengurus masjid.
10
Seberapa berguna informasi akuntansi bagi pengelola atau pengurus masjid? Manfaat yang
dihasilkan oleh informasi akuntansi akan memengaruhi seberapa strategisnya peranan akuntansi
dalam pengelolaan organisasi masjid. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi
keagamaan selain bertujuan untuk melayani peribadatan umat, juga memiliki tujuan keuangan.
Tujuan keuangan ini akan menjadi pendukung dan penunjang tercapainya tujuan utama organisasi
keagamaan, yaitu melayani ritual ibadah umat di dalam tempat ibadah, dan tujuan lainnya, seperti
tujuan untuk mencerdaskan umat. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pasti diperlukan
pembiayaan atau pendanaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung
tercapainya tujuan tersebut.
Tujuan utama didirikannya masjid adalah untuk menjadi pusat ritual ibadah umat muslim
seperti sholat berjamaah, sholat Jum'at, pengajian rutin dan berdzikir. Untuk mendukung tujuan
tersebut aspek kebersihan harus diperhatikan. Kebersihan menurut Islam adalah yang suci dari
najis dan bagi orang yang beribadah, selain suci dari najis, juga ruci dari hadan hear dan kecil.
Setiap masjid pasti memiliki fasilitas untuk bersuci, yaitu tempat wudiu dan kamar mandi yang
antara pengunjung laki-laki dan perempuan harus dipisah. Untuk menjamin kebersihan masjid
dan fasilitas lainnya yang juga memenuhi syariat Islam. perlu lainnya pengurus membuat Standar
Pelayanan (seperti halnya Standar Pelayanan Minimal atau SPM di pemerintah daerah) untuk
kebersihan dan kesucian masjid. Standar pelayanan tenebut mensyaratkan adanya standar belanja
atau standar biaya. Dengan adanya standar biaya dan standar pelayanan, efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan masjid dapur diukur secara akurat dan terpercaya. Dalam konteks ini,
akuntansi dapat membantu dan mempermadah pengelola atau pengurus masjid untuk menyusun
laporan pertanggungjawaban yang akan dan dapat dipercaya. Apabila laporan yang dihasilkan
akut dan dapat dipercaya, maka akan memberikan ketenangan batin bagi pengurusnya terkait
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan maupun kepada umat muslim.
Akuntansi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan fungsi dan persn
masjid selain untuk tempat peribadatan. Misalnya, untuk peran mencerdaskan umat. Pengurus
masjid dapat menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat sekitarnya. Untuk menarik
minat masyarakat mau belajar agama ke masjid (atau untuk mengaji ke masjid) perlu sumber daya
pengajar yang berkualitas dan pengembangan metode-metode pendidikan yang menarik dan
modern, sehingga masjid menjadi pusat pendidikan agama. Tentu, untuk mewujudkan hal itu
diperlukan dana yang tidak sedikit. Dengan akuntansi, maka dapat ditentukan secara akurat
berapa dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan ibadah rutin masjid, dan berapa sisa dana
yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi masjid selain untuk ibadah ritual
11
yang rutin. Dengan informasi akuntansi dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan fungsi
masjid yang lainnya, seperti kegiaran ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, akuntansi
bermanfaat untuk menyusun perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik akan mampu
menyinergikan antara tujuan dengan sumber daya organisasi, sehingga dapat disusun prioritas dan
target kinerjanya.
Dengan pengaturan yang cermat, dan masjid tidak terbuang-buang dengan percuma.
Bahkan, deposit dana yang ada sedapat mungkin diusahakan berkembang. Dana itu dimanfaatkan
sesuai dengan prioritas dan rencana yang disusun. Dari dana yang tersedia, kegiatan ibadah dapat
disemarakkan dengan kegiatan memakmurkan masjid dan muamalah lainnya, seperti mendirikan
sekolah, klinik atau rumah sakit; kegiatan sosial kemanyarakatan dengan mendirikan koperasi,
baitul maal, pertokoan, memberikan beasiswa kepada masyarakat miskin, dan lain sebagainya.
Jika masjid bergerak ke arah demikian berarti pengurus masjid mampu memperkaya dimensi
fungsi dan peran masjid menjadi pusat sosial, pusat budaya dan pusat pendidikan.
Dengan menerapkan sistem akuntansi yang baik, diharapkan akan tercipta pengendalian
internal yang baik pula. Sehingga pengurus masjid tidak mudah untuk melakukan penyimpangan,
dari tujuan organisasi maupun penyimpangan karena adanya faktor modal hazard. Apakah masih
mungkin terjadi penyimpangan dalam mengelola dana masjid? Bukankah mereka akan takut
kepada balasan Tuhan nantinya, karena menggunakan dana amal umat tidak sebagaimana
mestinya? Apakah ancaman akan balasan Tuhan dan pahala dari Tuhan sudah cukup untuk
mengendalikan sikap dan tindakan para pengurus masjid? Namun perlu disadari, bukankah
manusia memiliki kelemahan berupa khilaf dan lupa? Apakah manusia bisa melihat apa yang
tersembunyi di balik manusia yang lain? Apakah cukup dengan rasa saling percaya saja? Tentu,
pertanyaan tersebut mengarah pada perlunya sebuah alat yang tersistematis yang dapat menjamin
dan membantu pengurus mengelola keuangan dengan baik dan amanah. Oleh karena itu,
akuntansi dapat membantu pengelola masjid dalam memakmurkan masjid sehingga keberadaan
masjid menjadi penting dan memberikan manfaat besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Selain itu, akuntansi dapat membantu pengelola untuk mengelola dana masjid secara lebih
12
akuntabel, lebih transparan, lebih amanah, dan lebih terarah (efektif dan efisien). Jadi, dengan
penjelasan di atas, masih belum pentingkah akuntansi dalam organisasi masjid?
Jika akuntansi dianggap penting untuk organisasi masjid, lalu bagaimana cara menerapkan
akuntansi dalam organisasi keagamaan? Konsep akuntansi mana yang cocok dengan
organisasi keagamaan? Pada uraian di atas, dibahas itu organisasi keagamaan atau organisasi
peribadatan atau organisasi tempat ibadah termasuk dalam kategori organisasi nirlaba. Untuk
itu perlakuan akuntansinya dan pelaporan keuangannya mengeacu pada PSAK Nomor 45
tentang Standar Akuntansi untuk Entitas Nirlaba.
Ayub (1996) menyatakan bahwa faktanya laporan keuangan masjid masih dibuat
dalam bentuk dua lajur, yaitu lajur pemasukan dan pengeluaran. Laporan keuangan masjid
memuat dari mana saja sumber dana diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut dikeluarkan.
Pada setiap minggu atau akhir bulan kedua lajur rersebut kemudian dijumlahkan dan
ditandingkan sehingga menghasilkan selisih. Sering kali terjadi selisih plus, dan jaran sekali
yang minus, Namun, kenyataan yang ada saldo dana masjid semakin besar dan sering kali
masih banyak yang tidak dipergunakan. Padahal, apabila dimanfaatkan dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kesejahteraan umat. Agar pemanfaatannya bena, efektif, dan efisien
diperlukan alat untuk menghasilkan informasi yang akurat dan relevan, yaitu sistem
akuntansi.
Praktik pembukuan atau akuntansi yang ada masih menggunakan sistem tata buku
tunggal (single entry) dan berbasis kas. Ritonga (2010) menyebutkan single entry memiliki
kelemahan yaitu informasi yang dihasilkan tidak komprehensif dan tidak integral. Sehingga,
informasi yang parsial (sepotong-potong) tidak memadai untuk pengambilan keputusan yang
berguna. Sementara itu, basis kas memiliki kelemahan antara lain:
2. hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya lain;
3. pertanggungjawaban kepada umat jadi terbatas hanya pada penggunaan kas dan tidak
pada sumber daya yang lain.
13
muslim? Untuk itu, sistem pembukuan yang diterapkan selama ini perlu diubah menjadi
sistem akuntansi berbasis akrual dan menggunakan double entry. Dengan begitu, informasi
yang dihasilkan dapat lebih berguna bagi pengambilan keputusan manajemen dan
pertanggungjawaban manajemen.
Apalagi, perbedaan utama yang mendasar dengan organisasi swasta atau bisnis adalah
pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai
aktivitas operasionalnya. Organisasi yang memperoleh sumber daya dari sumbangan para
anggota-dalam hal ini umat dan para penyumbang lainnya yang tidak mengharapkan imbalan
apa pun dari organisasi tersebut. Menurut kondisi ini, transaksi yang jarang tidak akan pernah
terjadi dalam organisasi bisnis manapun, akan muncul dalam organisasi nirlaba, Namun
demikian, dalam praktik organisasi nirlaba, transaksi tersebut sering tampil dalam berbagai
bentuk.
Pada umumnya, siklus akuntansi pada organisasi nirlaba termasuk organisasi masjid,
dikelompokkan dalam tiga tahap, adalah sebagai berikut.
1. Tahap pencatatan, terdiri dari kegiatan pengidentifikasian dan pengukuran dalam bentuk
transaksi dan buku pencatatan, kegiatan pencatatan bukti transaksi ke dalam buku jurnal,
dan memindahbukukan (posting) dari jurnal berdasarkan kelompok atau jenisnya ke
dalam akun buku besar.
2. Tahap pengikhtisaran, terdiri dari penyusunan neraca saldo berdasarkan akun-akun buku
besar, pembuatan ayat jurnal penyesuaian, penyusunan kertas kerja, pembuatan ayat
jurnal penutup, membuat neraca saldo setelah penutupan, membuat ayat jurnal pembalik.
3. Tahap pelaporan, yang terdiri dari Laporan Surplus-Defisit, Laporan Arus Kas, Neraca,
dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Untuk dapat menjalankan siklus akuntansi tersebut dengan baik diperlukan daya manusia
yang berkompeten dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ayub (1996) bahwa untuk mengembalikan peran masjid dalam masyarakat
sebagaimana pada jaman Nabi Muhammad saw., maka perlu ada perubahan dalam
manajemen organisasi masjid, antara lain perlunya spesialisasi peran dalam operasionalisasi
organisasi masjid, dan perlu dijalankan oleh sumber daya manusia yang berkompeten,
terutama dalam bidang administrasi dan keuangan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tempat ibadah sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk menjadi tempat beribadah ritual umat
beragama yang sifatnya rutin. Namun, apabila tempat ibadah dapat dikelola dengan konsep
organisasi yang modern dapat berkembang menjadi organisasi yang berperan dan berfungsi
melebihi tujuan utamanya, yaitu melayani peribadatan umat. Tujuan-tujuan yang sifatnya
sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan pengembangan budaya dapat dikembangkan melalui
organisasi tempat ibadah atau organisasi peribadatan atau organisasi keagamaan. Keberadaan
masjid juga tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan dana yang berasal dari amaL atau
sumbangan umat tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi tersebut. Namun
demikian, tidak berarti masyarakat tidak mementingkan pertanggungjawaban dari pengurus
organisasi keagamaan, misalnya tamir masjid, terkait pengelolaan dana amal masjid. Untuk
itu, akuntabilitas tetap penting dalam organisasi keagamaan.
15
Untuk menciptakan akuntabilitas yang baik diperlukan sarana untuk mewujudkannya,
yaitu dengan menerapkan akuntansi pada organisasi keagamaan. Seberapa besar peran
akuntansi dalam organisasi keagamaan diukur dari seberapa besar manfaat akuntansi pada
organisasi keagamaan tersebut. Paling tidak ada tiga manfaat akuntansi, yaitu:
16