Anda di halaman 1dari 17

AKUNTANSI UNTUK ENTITAS TEMPAT IBADAH

Dosen Pembimbing :

Abdullah, SE, M.Si., Ak, CA

Ditulis oleh

Kelompok 10 :

Liza Olivia (C1C020041)


Sulistiawati (C1C020088)
Febry Wahyu Setiawan (C1C020158)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tugas Akuntansi Sektor Publik ini dengan baik dan selesai tepat pada
waktunya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan
sebagaimana yang diharapkan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya, makalah ini masih jauh dalam
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada supaya tidak terulang
kembali.
Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................1

Daftar Isi..............................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang.........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. TEMPAT IBADAH SEBAGAI ENTITAS : KARAKTERISTIK DAN


LINGKUNGANNYA..............................................................................................4
B. AKUNTABILITAS PADA ORGANISASI
PERIBADATAN, PENTINGKAH?.......................................................................9
C. PERAN STRATEGIS AKUNTANSI DALAM
ORGANISASI PERIBADATAN............................................................................10
D. IMPLEMENTASI AKUNTANSI PADA ORGANISASI
TEMPAT IBADAH.................................................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan ukuran kepemilikannya, organisasi dibagi menjadi dua, yaitu organisasi sektor
privat atau swasta dan organisasi sekor publik. Organisasi sektor privat merupakan
organisasi yang kepemilikannya lebih didominasi oleh kepemilikan satu atau sekelompok
investor saja sedangkan organisasi sektor publik organisasi yang dimiliki oleh publik atau
masyarakat. Untoro (2010) menemukan adanya perbedaan antara organisasi sektor privat
dengan organsasi sektor publik dengan menggunakan pendekatan kepublikan. Kepublikan
suatu organisasi dapat dinilai dari tiga dimensi, yaitu dimensi lingkungan, dimensi
transasksional, dan dimensi oraganisasional.

Organisasi sektor publik sering kali dipandang sebagai organisasi yang dianggap
efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta,
sehingga kedudukannya dianggap lebih rendah dan tertinggal jauh dibandingkan dengan
sektor swasta. Hal ini bisa jadi dikarenakan oganisasi sektor publik merupakan milik
masyarakat umum atau masyarakat di wilayah tertentu, sehingga kemajuan dan
perkembangan organisasi tergantung dari keadaran dan perhatian masyarakat tersebut
terhadap manajemen organisasi termasuk praktik akuntansinya. Kondisini juga terjadi pada
organisasi peribadatan (tempat ibadah).

Selama ini, tempat ibadah hanya dijadikan sebagai tempat untuk melakukan atau
melayani aktivitas ritual peribadatan. Namun, sebenarnya tempat ibadah apabila disadari
sebagai salah satu bentuk organisasi memiliki peranan yang sangat strategis dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat, bahkan tidak kalah strategisnya dengan jenis
organisasi publik lainnya. Sebenarnya tempat ibadah dapat dijadikan sebagai pusat aktivitas
(center of activity) dari masyarakat sesuai dengan agama masing-masing . tempat ibadah
harus disadari dan dimaknai sebagai sebuah organisasi, karena setiap organisasi pasti
memiliki tujuan yang akan dicapai. Untuk mencapai tujuan tesebut diperlukan alat
organisasional, seperti daam hal pengelolaan keuangan adalah akuntansi.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. TEMPAT IBADAH SEBAGAI SEBUAH ENTITAS : KARAKTERISTIK DAN


LINGKUNGANNYA
Secara etimologis, organisasi keagaman dapat diartikan sebagai organisasi yang focus
gerakannya terkait dengan agama tertentu, yang menyangkut juga permasalahan ibadah atau
menjalankan segala kewajiban tuhan terkait agama atau kepercayaan tertentu.

Karena, kurangnya kesadaran akan pentingnya akuntansi dalam pengelolaan


keuangan tempat ibadah adalah adanya anggapan bahwa akuntansi merupakan produk ilmu
pengetahuan manusia yang tidak ada dalam cakupan ajaran agama. Oleh karena itu peran
penting akuntansi akan terlihat jika tempat ibadah diposisikan sebagai entitas atau satuan
organisasi. Organisasi peribadatan tidak bermotif untuk mencari laba dan bertujuan untuk
melayani ritual umat, maka organisasi peribadatan termasuk dalam kategori organisasi
nirlaba. Pada organisasi masjid, tentu ukuran keberhasilan disesuaikan dengan beberapa
aspek. Untuk itu, dalam organisasi keagamaan kesesuaian dengan ajaran agama juga
memengaruhi ukuran keberhasilah dan standar pelayanan, yang natinya juga memengaruhi
kewajaran penggunaan dan yang dialogkasikan.

Tujuan Organisasi Peribadatan


Karena organisasi peribadatan termasuk dalam organisasi nirlaba, maka tujuannya bukanlah
untuk mencari laba sebagai mana organisasi privat atau swasta. Bastian (2007) menyatakan
bahwa tujuan utama dari organisasi peribadatan atau keagamaan adalah untuk memberikan
pelayanan dan menyelenggarakan seluruh aktivitas yang dibutuhkan maupun yang telah
menjadi ritual ibadah rutin dalam organisasi keagamaan yang bersangkutan. Jadi, inti tujuan
dari semua organisasi keagamaan adalah untuk melayani umat atau pengikut agamanya.

Secara sempit pelayanan yang dilakukan oleh organisasi keagamaan kepada umatnya
bertujuan agar proses peribadatan di dalam organisasi keagamaan tersebut dapat dijalan kan
sebaik mungkin. Namun, dala konteks pelayanan secara luas dapat dimaknai sebagai

4
pelayanan kepada umat secara menyeluruh menyangkut berbagai aspek kehidupan beragama
dan bermasyarakat dari umat beragama tersebut.

Meskipun tujuan utamanya adalah untuk pelayanan umat, bukan berarti organisasi
keagamaan tidak memiliki tujuan keuangan (Bastian, 2007). Tujuan keuangan ditunjukan
untuk mendukung terlaksananya tujuan pelayanan peribadatan yang memadai yang
memenuhi standar sesuai dengan aturan dalam ajaran agama tersebut (shari’a), serta
menunjang tujuan lainnya seperti tujuan social kemasyarakatan dan pendidikan. Untuk
mencapai tujuan keuangan ini juga tidak boleh melanggar ketentuan-ketetuan yang dilarang
oleh ajaran agama, atau justru keberadaan tempat ibadah tersebut memberatkan masyarakat
sekitarnya. Akuntansi pada organisasi keagamaan merupakan aktivitas yang tidak dapat
dipisahkan dalam rangkaian pengelolaan kegiatan, dalam bentuk lengkap maupun secara
sederhana sekalipun.

Fungsi dan Peran Organisasi Peribadatan

Masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat melakukan solat berjamaah maupun solat jum’at
saja, melainkan dapat berfungsi untuk kegiatan-kegiatan lain yang bersifat sosial
kemassyarakatan. Sebagai mana pada zaman nabi Muhammad saw., masjid menjadi pusat
segala kegiatan masyarakat. Pada masa itu, masjid tidak hanya tempat peribadatan, melainkan
sebagai pusat pemerintahan, pusat perpendidikan, pusat budaya islam, pusat pertahanan dan
keamanan kaum muslimin pada masa itu.

Dalam konteks saat ini, masjid tidak mungkin lagi menjadi pusat kegiatan
sebagaimana jaman Nabi Muhammad saw. Namun, masjid sebagai pusat pendidikan, budaya
Islam, pusar sosial kemasyarakatan maupun pusat ekonomi masih mungkin dijalankan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka organisasi peribadatan, dalam konteks ini dicontohkan
organisasi masjid, dapat berfungsi sebagai:

1. tempat beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah swt.;


2. tempat pembinaan kesadaran dalam beragama bagi umat agama tersebut;
3. tempat bermusyawarah untuk memecahkan permasalahan umat muslim;
4. tempat berkumpulnya umat muslimin (silaturahim);
5. tempat membina kerukunan dan gotong royong antar-umat muslim dengan memperkokoh
ikatan batin dan rasa sepersaudaraan seiman sehingga dapat mewujudkan keejahteraan
bersama

5
6. pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam bagi umat muslim di sekitarnya;
7. tempat mengumpulkan dana, menyimpan, dan mengelolanya;
8. tempat melaksanakan pengaturan dan pengawasan sosial.

Sementara, berdasarkan tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi dari organisasi masjid, maka


paling tidak masjid memiliki dua peranan besar, yaitu sebagai pusat ibadah dan pusat
pembinaan umat (politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya).

Manajemen Organisasi Peribadatan


Pengelolaan dan pengurusan atau Manajemen Tempat Peribadatan biasanya berada pada satu
tokoh agama yang disegani. Tokoh atau kelompok yang berpengaruh ini biasanya
mengarahkan semua kebijakan dan organisasi pengelola. Tipologi pemimpin atau tokoh
termasuk pilihan dan orientasi kebijakannya akan sangat berpengaruhdalam menentukan gaya
manajerialnya, termasuk dalam menyusun struktur organisasi. Kondisi ini juga terjadi pada
organisasi masjid. Bahkan, untuk masjid di desa-desa tokoh tersebut, biasanya seorang
ulama, dapat saja menjalankan beberapa peran, seperti merangkap menjadi imam, khatib,
panitia zakat, dan penyelenggara jenazah.
Biasanya struktur organisasi pada organisasi peribadatan, termasuk masjid, tidak
terlalu formal dan sederhana. Biasanya pada organisasi masjid dikenal pengurusnya dengan
sebutan ta’mir masjid yang terdiri dari pelindung, ketua, wakil ketua, sekretaris dan
wakilnya, bendahara dan wakilnya, seksi-seksi, dan pembantu umum. Pelindung biasanya
dijabat oleh kepala desa kepala desa atau dusun dan tokoh agama atau tokoh masyarakat
setempat. Sementara untuk posisi lain biasanyadari kalangan pemuda setempat. Selain
kepengurusan masjid, juga ada satu atau lebih organisasi (semiotonom) di luar pengurus inti
ta’mir masjid, namun masih memiliki hubungan koordinatif dengan atau di bawah ketus
ta’mir. Badan organisasi tersebut biasanya disebut dengan "Badan Kesejahteraan Masiid
(BKM)" atau "Remaja Masjid" yang memiiki struktur organisasi sendiri, namun masih
menjadi bagian dari organisasi masjid secara keseluruhan.
Oleh karena itu, sering kali kemajuan sebuah masjid tergantung dari kapasitas
sosioreligius dan organisasional tokoh agama yang menjadi panutan tersebut. Semakin tinggi
wawasan tokoh tersebut tentang manajemen dan sosioreliginya, maka semakin besar
kesadaran akan pentingnya organisasi masjid dikelola dengan kaidah-kaidah organisasi
modern, sehingga masjid dapat berperan dan berfungsi lebih besar untuk kemaslahatan umat.
Namun, fakta yang ada adalah kesadaran dan kemampuan berorganisasi pengurus masjid

6
relatir masin. rendah, apalagi kesadaran untuk menerapkan akuntansi pada organisasi masjid.
Pada sest selanjutnya akan dibahas tentang peran strategis akuntansi dalam pengembangan
manajemen masjid.
Manajemen Keuangan Organisasi Peribadatan

Pada umumnya manajemen keuangan didefinisikan sebagai pengorganisasi kekayaan yang


ada pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai organisasi tersebut.
Dengan kata lain, definisi yang lain menyatakan manajemen keuangan adalah kegiatan untuk
memperoleh dan menggunakan dana dengan tujuan meningkatkan atau memaksimalkan nilai
organisasi. Dalam konteks organisasi peribadatan, manajemen keuangan organisasi
peribadatan adalah usaha yang dilakukan pengelola tempat peribadatan dalam menggunakan
dana umat sesuai dengan ketentuan dalam ajaran agama dan kepentingan umat beragama,
serta bagaimana memperoleh dana dari umat dengan cara-cara yang dibenarkan oleh ajaran
agama.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam manajemen keuangan terdapat dua fungsi,
yaitu:
1. fungsi mendapatkan dana; dan
2. fungsi menggunakan dana.

Dalam fungsi pertama adalah bagaimana cara pengelola organisasi peribadatan dalam
mendapatkan dana yang sesuai dengan ajaran agama dan tidak memberatkan umat.
Sedangkan, fungsi kedua adalah bagaimana menggunakan dana secara efektif dan efisien.
Pada fungsi yang kedua, juga mencakup pertanggungjawaban pengelolaan dana. Hal ini
sesuai dengan yang dijelaskan oleh Ayub (1996) dalam konteks organisasi masjid, bahwa
keuangan masjid meliputi cara mengumpulkan dana, sumber pendanaan, pengelolaan, dan
pertanggungjawaban dana masjid.
Alat untuk melaksanakan manajemen keuangan adalah tata usaha. Tata usaha dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu tata usaha umum atau administrasi dan tata usaha keuangan.
Akuntansi merupakan tata usaha keuangan. Jadi, akuntansi untuk organisasi keagamaan
merupakan tata usaha keuangan organisasi keagamaan. Hal ini sesuai dengan Gambar 27.1.

7
Manajemen Keuangan Organisasi Masjid

Tata Usaha Keuangan Organisasi Masjid

Tata Usaha Umum atau Administrasi Tata Usaha Keuangan Organisasi Masjid
Organisasi Masjid

Akuntansi Organisasi Masjid

Gambar 27.1 Kedudukan Akuntansi dalam Manajemen Keuangan Organisasi Masjid

Akuntansi masjid dapat diartikan sebagai tata buku atau rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dalam bidang keuangan, berdasarkan prinsip, standardisasi, dan
prosedur tertentu untuk menghasilkan informasi aktual di bidang keuangan dalam organisasi
masjid. Akuntansi yang diterapkan pada organisasi keagamaan memiliki kaitan yang erat
dengan penerapan dan perlakuan akuntansi pada domain publik. Domain publik yang
dimaksud adalah para anggota, umat, atau pengikut agama di organisasi keagamaan yang
bersangkutan. Dalam hal ini domain publik dari organisasi masjid adalah umat muslim secara
keseluruhan pada umumnya, dan masyarakat sekitar pada khususnya.
Dari segi sumber pendanaan atau lebih konkretnya struktur modal dan struktur
pembiayaan, organisasi keagamaan sangat berbeda dalam hal bentuk dan jenisnya. Sumber
pendanaan organisasi keagamaan berasal dari umat dan sumbangan-sumbangan pihak
tertentu. Aliran dana dari umat ini dilakukan secara sukarela atau bahkan dilakukan dalam

8
rangka memenuhi kewajibannya sebagai umat suatu agama. Karena sifatnya yang
karakteristik dana yang diperolehnya sulit untuk diprediksi perolehannya.
Pada organisasi masjid, umumnya sebagian besar sumber dana berasal dari umat
muslim, walaupun tidak menutup kemungkinan bantuan dari pihak luar ataupun pinjaman.
Namun, khusus untuk pinjaman biasanya dihindari oleh pengurus atau pengelola organisasi
masjid. kecuali ada yang menjamin secara pribadi. Organisasi masjid memiliki sumber dana
dari umat bisa dalam berbagai bentuk seperti infak, sedekah, zakat, fidyah, dan lain-lain sesua
sukarela, yang ajaran Islam. Sedangkan, alokasi dana masjid selain untuk pemeliharaan
bangunan besertaa: seluruh perlengkapannya secara berkala, juga dialokasikan untuk
berbagai kegiatan lainnya: seperti pengajian rutin atau yang bersifat insidental, TPQ atau
pengajian anak-anak, bazar maupun kegiatan peringatan hari-hari besar Islam.
Adapun dalam konteks pola pertanggungiawabannya, jika organisasi sektor swasta
bertanggungjawab kepada pemilik usaha atau krediturnya, maka pertanggungjawaban
organisasi keagamaan dilakukan kepada seluruh umat vang telah memberikan amanahnya,
dan merupakan bagian terpenting dalam menciptakan kredibilitas pengelolaan yang
dijalankan. Apabila elemen pertanggungjawaban ini tidak dapat dipenuhi, maka implikasinya
dapat berwujud ketidakpercayaan, ketidakpuasan, atau bahkan fitnah (Bastian, 2007).

B. AKUNTABILITAS PADA ORGANISASI PERIBADATAN, PENTINGKAH?

Dalam kitab suci telah diajarkan adanya kegiatan jual – beli, utang– piutang dan sewa menyewa.
Dari kegiatan tersebut maka diperlukannyasistem pencatatan yang baik agar transaksi - transaksi
tersebut dapatberjalan dengan baik, jujur dan adil. Sehingga dapat disimpulkan bahwasistem
pencatatan diperintahkan meskipun tidak secara langsung dantujuannya adalah memberikan
kepastian, keterbukaan, dan keadilan antarakedua pihak atau lebih yang memiliki hubungan
dengan umat atau manusialain. Dan dari penjelasan tersebut maka di dalam akuntansi,
perintahtersebut diintrepretasikan sebagai akuntabilitas atau pertanggung jawaban.

Terdapat pola akuntabilitas pada organisasi peribadatan. Padaorganisasi ini pengelola


(pengurus dan pengawas) organisasi bertanggungjawab kepada umat atau pengikut agama yang
dosa,paikan dalam sebuahpertemuan perwakilan umum / warga atau rapat dengan warga
yangmenggunakan organisasi keagamaan pertemuan ini diadakan secara berkalaatau dalam wkatu
tertentu.Pada masjid, pengelolaan keuangan dan administrasi merupakan halyang penting di
dalam mengelola masjid. Jika keuangan masjid dikelola dan dilaksanakan dengan baik dapat

9
dikatakan wbahwa pengurus masjidtersebut merupakan orang yang dapat dipercaya dan tanggung
jawab. Jika pengeloalaan keuangan dilakukan dengan tidak baik maka akan timbulfitnah dan
pengurusnya akan dinilai sebagagi orang yang tidak dapatdipercaya dan tidak baik.

Pola pertanggungjawaban di organisasi keagamaan dapat bersifatvertikal dan horizontal.


Horizontal berarti pertanggung jawaban ataspengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi,
seperti kepada pembinaapabila organisasi tersebut menggunakan sistem struktural. Dan dapat
disimpulkan bahwa pertanggung jawaban ini kepada Tuhan, meskipun tidakdalam bentuk
materimaupun fisik. Dari pertanggung jawaban vertical agama mengajarkan bahwa setiap
tindakan yang diperbuat nantinya akandioertanggung jawabkan kepada Tuhan. Hal ini akan
menimbulkan motivasi intrinsik sehingga seseorang akan cenderung untuk menyususn
laporansecara jujur, benar, objektif, dan adil.

Pertanggung jawaban horizontal merupak pertanggung jawabankepada masyarakat


(pengguna atau penerima layananan atau organisasi keagamaan yang bersangkutan). Jika
pertanggung jawaban ini tidakdilakukan dengan baik maka akan timbul rasa ketidak percayaan
dan akantimbul fitnah. Kedua pertanggung jawaban ini merupakan elemen pentingdi dalam
pertanggung jawaban.

C. PERAN STRATEGIS AKUNTANSI DALAM ORGANISASI PERIBADATAN

Akuntabilitas diperlukan dalam oranganisasi masjid dan harus dijalankan dengan baik. Untuk
meciptakan sebuah akuntabilitas yang baik maka diperlukan sistem pencatatan yang baik dan
tertib. Akuntansi merupakan aktivitas mencatat, mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan
mengelolah transaksi dari suatu organisasi yang dapat menghasilkan informasi keuangan yang
mengambarkan kondisi organisasi tersebut. Maka dari itu untuk membuat suatu akuntabilitas
yang baik maka memerlukan sistem akuntansi yang baik pula. Selain akuntabilitas, akuntansi juga
bertujuan untuk pengendalian manajemen, dari mulai tahap perencanaan sampai ke tahap
pelaksanaan, serta bermenfaat untuk penyediaan informasi yang andal dan relevan.

Sistem akuntansi dapat menghasilkan informasi yang berguna, baik bagi manajemen
maupun pihak eksternal. Bagi manajemen, informasi akuntansi dapat digunakan sebagai dasar
mengalokasikan dana yang diperoleh dan menentukan nilai ekonomis aktivitas-aktivitas yang ada
dalam organisasi peribadatan. Sedangkan, bagi pihak eksternal, akuntansi dapat dijadikan sarana
untuk menilai pertanggungjawaban atas dana yang dikelola oleh pengurus masjid.

10
Seberapa berguna informasi akuntansi bagi pengelola atau pengurus masjid? Manfaat yang
dihasilkan oleh informasi akuntansi akan memengaruhi seberapa strategisnya peranan akuntansi
dalam pengelolaan organisasi masjid. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa organisasi
keagamaan selain bertujuan untuk melayani peribadatan umat, juga memiliki tujuan keuangan.
Tujuan keuangan ini akan menjadi pendukung dan penunjang tercapainya tujuan utama organisasi
keagamaan, yaitu melayani ritual ibadah umat di dalam tempat ibadah, dan tujuan lainnya, seperti
tujuan untuk mencerdaskan umat. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut pasti diperlukan
pembiayaan atau pendanaan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dapat mendukung
tercapainya tujuan tersebut.

Tujuan utama didirikannya masjid adalah untuk menjadi pusat ritual ibadah umat muslim
seperti sholat berjamaah, sholat Jum'at, pengajian rutin dan berdzikir. Untuk mendukung tujuan
tersebut aspek kebersihan harus diperhatikan. Kebersihan menurut Islam adalah yang suci dari
najis dan bagi orang yang beribadah, selain suci dari najis, juga ruci dari hadan hear dan kecil.
Setiap masjid pasti memiliki fasilitas untuk bersuci, yaitu tempat wudiu dan kamar mandi yang
antara pengunjung laki-laki dan perempuan harus dipisah. Untuk menjamin kebersihan masjid
dan fasilitas lainnya yang juga memenuhi syariat Islam. perlu lainnya pengurus membuat Standar
Pelayanan (seperti halnya Standar Pelayanan Minimal atau SPM di pemerintah daerah) untuk
kebersihan dan kesucian masjid. Standar pelayanan tenebut mensyaratkan adanya standar belanja
atau standar biaya. Dengan adanya standar biaya dan standar pelayanan, efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan masjid dapur diukur secara akurat dan terpercaya. Dalam konteks ini,
akuntansi dapat membantu dan mempermadah pengelola atau pengurus masjid untuk menyusun
laporan pertanggungjawaban yang akan dan dapat dipercaya. Apabila laporan yang dihasilkan
akut dan dapat dipercaya, maka akan memberikan ketenangan batin bagi pengurusnya terkait
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Tuhan maupun kepada umat muslim.

Akuntansi dapat juga dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan fungsi dan persn
masjid selain untuk tempat peribadatan. Misalnya, untuk peran mencerdaskan umat. Pengurus
masjid dapat menyelenggarakan pendidikan agama bagi masyarakat sekitarnya. Untuk menarik
minat masyarakat mau belajar agama ke masjid (atau untuk mengaji ke masjid) perlu sumber daya
pengajar yang berkualitas dan pengembangan metode-metode pendidikan yang menarik dan
modern, sehingga masjid menjadi pusat pendidikan agama. Tentu, untuk mewujudkan hal itu
diperlukan dana yang tidak sedikit. Dengan akuntansi, maka dapat ditentukan secara akurat
berapa dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan ibadah rutin masjid, dan berapa sisa dana
yang dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan tujuan dan fungsi masjid selain untuk ibadah ritual

11
yang rutin. Dengan informasi akuntansi dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan fungsi
masjid yang lainnya, seperti kegiaran ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam konteks ini, akuntansi
bermanfaat untuk menyusun perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik akan mampu
menyinergikan antara tujuan dengan sumber daya organisasi, sehingga dapat disusun prioritas dan
target kinerjanya.

Dengan pengaturan yang cermat, dan masjid tidak terbuang-buang dengan percuma.
Bahkan, deposit dana yang ada sedapat mungkin diusahakan berkembang. Dana itu dimanfaatkan
sesuai dengan prioritas dan rencana yang disusun. Dari dana yang tersedia, kegiatan ibadah dapat
disemarakkan dengan kegiatan memakmurkan masjid dan muamalah lainnya, seperti mendirikan
sekolah, klinik atau rumah sakit; kegiatan sosial kemanyarakatan dengan mendirikan koperasi,
baitul maal, pertokoan, memberikan beasiswa kepada masyarakat miskin, dan lain sebagainya.
Jika masjid bergerak ke arah demikian berarti pengurus masjid mampu memperkaya dimensi
fungsi dan peran masjid menjadi pusat sosial, pusat budaya dan pusat pendidikan.

Akuntansi juga dapat sebagai alat pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen


dimaksudkan untuk menjamin aktivitas organisasi sesuai dengan tujuan organisasi yang hendak
dicapai. Maksudnya adalah, akuntansi tidak hanya sebagai pengendalian dalam tahap perencanaan
saja, melainkan juga pengendalian pada tahap pelaksanaan.

Dengan menerapkan sistem akuntansi yang baik, diharapkan akan tercipta pengendalian
internal yang baik pula. Sehingga pengurus masjid tidak mudah untuk melakukan penyimpangan,
dari tujuan organisasi maupun penyimpangan karena adanya faktor modal hazard. Apakah masih
mungkin terjadi penyimpangan dalam mengelola dana masjid? Bukankah mereka akan takut
kepada balasan Tuhan nantinya, karena menggunakan dana amal umat tidak sebagaimana
mestinya? Apakah ancaman akan balasan Tuhan dan pahala dari Tuhan sudah cukup untuk
mengendalikan sikap dan tindakan para pengurus masjid? Namun perlu disadari, bukankah
manusia memiliki kelemahan berupa khilaf dan lupa? Apakah manusia bisa melihat apa yang
tersembunyi di balik manusia yang lain? Apakah cukup dengan rasa saling percaya saja? Tentu,
pertanyaan tersebut mengarah pada perlunya sebuah alat yang tersistematis yang dapat menjamin
dan membantu pengurus mengelola keuangan dengan baik dan amanah. Oleh karena itu,
akuntansi dapat membantu pengelola masjid dalam memakmurkan masjid sehingga keberadaan
masjid menjadi penting dan memberikan manfaat besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan.
Selain itu, akuntansi dapat membantu pengelola untuk mengelola dana masjid secara lebih

12
akuntabel, lebih transparan, lebih amanah, dan lebih terarah (efektif dan efisien). Jadi, dengan
penjelasan di atas, masih belum pentingkah akuntansi dalam organisasi masjid?

D. IMPLEMENTASI AKUNTANSI PADA ORGANISASI TEMPAT IBADAH

Jika akuntansi dianggap penting untuk organisasi masjid, lalu bagaimana cara menerapkan
akuntansi dalam organisasi keagamaan? Konsep akuntansi mana yang cocok dengan
organisasi keagamaan? Pada uraian di atas, dibahas itu organisasi keagamaan atau organisasi
peribadatan atau organisasi tempat ibadah termasuk dalam kategori organisasi nirlaba. Untuk
itu perlakuan akuntansinya dan pelaporan keuangannya mengeacu pada PSAK Nomor 45
tentang Standar Akuntansi untuk Entitas Nirlaba.

Ayub (1996) menyatakan bahwa faktanya laporan keuangan masjid masih dibuat
dalam bentuk dua lajur, yaitu lajur pemasukan dan pengeluaran. Laporan keuangan masjid
memuat dari mana saja sumber dana diperoleh dan untuk apa saja dana tersebut dikeluarkan.
Pada setiap minggu atau akhir bulan kedua lajur rersebut kemudian dijumlahkan dan
ditandingkan sehingga menghasilkan selisih. Sering kali terjadi selisih plus, dan jaran sekali
yang minus, Namun, kenyataan yang ada saldo dana masjid semakin besar dan sering kali
masih banyak yang tidak dipergunakan. Padahal, apabila dimanfaatkan dapat memberikan
manfaat yang besar bagi kesejahteraan umat. Agar pemanfaatannya bena, efektif, dan efisien
diperlukan alat untuk menghasilkan informasi yang akurat dan relevan, yaitu sistem
akuntansi.

Praktik pembukuan atau akuntansi yang ada masih menggunakan sistem tata buku
tunggal (single entry) dan berbasis kas. Ritonga (2010) menyebutkan single entry memiliki
kelemahan yaitu informasi yang dihasilkan tidak komprehensif dan tidak integral. Sehingga,
informasi yang parsial (sepotong-potong) tidak memadai untuk pengambilan keputusan yang
berguna. Sementara itu, basis kas memiliki kelemahan antara lain:

1. informasi yang lebih kompleks tidak dapat dihasilkan;

2. hanya terfokus pada aliran kas dan mengabaikan aliran sumber daya lain;

3. pertanggungjawaban kepada umat jadi terbatas hanya pada penggunaan kas dan tidak
pada sumber daya yang lain.

Jika dengan kualitas informasi yang demikian, apakah mungkin mengembangkan


masjid menjadi lebih berperan dan berfungsi selain untuk pelayanan ritual ibadah rutin umat

13
muslim? Untuk itu, sistem pembukuan yang diterapkan selama ini perlu diubah menjadi
sistem akuntansi berbasis akrual dan menggunakan double entry. Dengan begitu, informasi
yang dihasilkan dapat lebih berguna bagi pengambilan keputusan manajemen dan
pertanggungjawaban manajemen.

Apalagi, perbedaan utama yang mendasar dengan organisasi swasta atau bisnis adalah
pada cara organisasi memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai
aktivitas operasionalnya. Organisasi yang memperoleh sumber daya dari sumbangan para
anggota-dalam hal ini umat dan para penyumbang lainnya yang tidak mengharapkan imbalan
apa pun dari organisasi tersebut. Menurut kondisi ini, transaksi yang jarang tidak akan pernah
terjadi dalam organisasi bisnis manapun, akan muncul dalam organisasi nirlaba, Namun
demikian, dalam praktik organisasi nirlaba, transaksi tersebut sering tampil dalam berbagai
bentuk.

Pada umumnya, siklus akuntansi pada organisasi nirlaba termasuk organisasi masjid,
dikelompokkan dalam tiga tahap, adalah sebagai berikut.

1. Tahap pencatatan, terdiri dari kegiatan pengidentifikasian dan pengukuran dalam bentuk
transaksi dan buku pencatatan, kegiatan pencatatan bukti transaksi ke dalam buku jurnal,
dan memindahbukukan (posting) dari jurnal berdasarkan kelompok atau jenisnya ke
dalam akun buku besar.

2. Tahap pengikhtisaran, terdiri dari penyusunan neraca saldo berdasarkan akun-akun buku
besar, pembuatan ayat jurnal penyesuaian, penyusunan kertas kerja, pembuatan ayat
jurnal penutup, membuat neraca saldo setelah penutupan, membuat ayat jurnal pembalik.

3. Tahap pelaporan, yang terdiri dari Laporan Surplus-Defisit, Laporan Arus Kas, Neraca,
dan Catatan atas Laporan Keuangan.

Untuk dapat menjalankan siklus akuntansi tersebut dengan baik diperlukan daya manusia
yang berkompeten dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ayub (1996) bahwa untuk mengembalikan peran masjid dalam masyarakat
sebagaimana pada jaman Nabi Muhammad saw., maka perlu ada perubahan dalam
manajemen organisasi masjid, antara lain perlunya spesialisasi peran dalam operasionalisasi
organisasi masjid, dan perlu dijalankan oleh sumber daya manusia yang berkompeten,
terutama dalam bidang administrasi dan keuangan.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tempat ibadah sebenarnya tidak hanya bertujuan untuk menjadi tempat beribadah ritual umat
beragama yang sifatnya rutin. Namun, apabila tempat ibadah dapat dikelola dengan konsep
organisasi yang modern dapat berkembang menjadi organisasi yang berperan dan berfungsi
melebihi tujuan utamanya, yaitu melayani peribadatan umat. Tujuan-tujuan yang sifatnya
sosial kemasyarakatan, pendidikan, dan pengembangan budaya dapat dikembangkan melalui
organisasi tempat ibadah atau organisasi peribadatan atau organisasi keagamaan. Keberadaan
masjid juga tidak bisa dilepaskan dari pengelolaan dana yang berasal dari amaL atau
sumbangan umat tidak mengharapkan imbalan apa pun dari organisasi tersebut. Namun
demikian, tidak berarti masyarakat tidak mementingkan pertanggungjawaban dari pengurus
organisasi keagamaan, misalnya tamir masjid, terkait pengelolaan dana amal masjid. Untuk
itu, akuntabilitas tetap penting dalam organisasi keagamaan.

Pola pertanggungjawaban di organisasi keagamaan dapat bersifat vertikal maupun


horizontal. Pertanggungjawaban vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana
pada otoritas yang lebih tinggi, seperti kepada pembina apabila organisasi keagamaan
tersebut memakai sistem struktural, Dengan kata lain, dalam konteks yang lebih jauh lagi,
pertanggungjawaban secara vertikal juga berarti pertanggungjawaban kepada Tuhan,
meskipun tidak ada dalam bentuk materi maupun fisik. Namun, agama mengajarkan bahwa
setiap tindakan manusia nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Hal ini
dapat menimbulkan motivasi intrinsik seseorang untuk menyusun laporan
pertanggungjawaban secara jujur, benar, objektif, dan adil. Dengan menyusun
pertanggungjawaban yang baik akan memberikan ketenangan batin pada pengurusnya.
Sedangkan, pertanggungjawaban horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat
luas, khususnya pengguna atau penerima layanan organisasi keagamaan yang bersangkutan.
Kedua pola pertanggungjawaban tersebut merupakan elemen penting dari proses
akuntabilitas publik. Pertanggungjawaban manajemen merupakan bagian terpenting untuk
menciptakan kredibilitas manajemen organisasi keagamaan. Tidak dipenuhinya prinsip
pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas.

15
Untuk menciptakan akuntabilitas yang baik diperlukan sarana untuk mewujudkannya,
yaitu dengan menerapkan akuntansi pada organisasi keagamaan. Seberapa besar peran
akuntansi dalam organisasi keagamaan diukur dari seberapa besar manfaat akuntansi pada
organisasi keagamaan tersebut. Paling tidak ada tiga manfaat akuntansi, yaitu:

1. penyediaan informasi yang akurat dan andal;

2. menciptakan akuntabilitas publik;

3. untuk pengendalian manajemen.

16

Anda mungkin juga menyukai