Anda di halaman 1dari 25

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

KESSEHATAN MENTAL

BIDANG KEGIATAN:
PENELITIAN

DIUSULKAN OLEH:
ANNISA FATHIN FASHIHA(P032114401005)

DOSEN PEMBIMBING:
Drs.H.Nursal Hakim, M.Pd

POLTEKES KEMENKES RIAU


2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena atas rahmat,
karunia serta kasih sayangNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik
mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir, penutup
para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Drs.Nursal Hakim ,M.Pd
selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia Dalam penulisan makalah ini, kami
menyadari masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan
dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan, walaupun demikian,
inilah usaha maksimal kami selaku para penulis usahakan.

Semoga dalam makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan diharapkan kritik yang membangun dari para pembaca guna
memperbaiki kesalahan sebagaimana mestinya.

Pekanbaru, 22 November 2021

penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Manfaat.......................................................................................................3

BAB II : PEMBAHASAN................................................................................5

2.1 Definisi Skizofrenia....................................................................................5

2.2 Epidemiologi...............................................................................................5

2.3 Faktor Penyebab Skizofrenia......................................................................6

2.4 Diagnosa Skizofrenia..................................................................................11

2.5 Penatalaksanaan..........................................................................................13

2.6 Prognosis.....................................................................................................14

BAB III : HIPOTESIS......................................................................................16

3.1 Hipotesis Mayor..........................................................................................16

3.2 Hipotesis Minor..........................................................................................16

BAB IV : METODE PENELITIAN.................................................................17

A. Rancangan Penelitian............................................................................17

ii
B. Tempat dna Waktu................................................................................17
C. Sampel Penelitian.................................................................................17
D. Variabel Penelitian................................................................................18
E. Definisi Operasional Variabel..............................................................18

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Gangguan jiwa adalah suatu perubahan pada fungsi jiwa yang menyebabkan
adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu
dan atau hambatan dalam melaksanakan peran sosial (Depkes RI, 2000). Konsep
gangguan jiwa dari PPDGJ III yang merujuk ke DSM-V adalah sindrom atau
pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia (PPDGJ III dan DSM V, 2014).

Menurut WHO 2011, sekitar 450 juta orang (0,85%) penduduk dunia
mengalami gangguan jiwa. Dari 450 juta orang tersebut diperkirakan 24 juta
orang menderita skizofrenia (WHO, 2011). Salah satu negara di dunia yang
memiliki angka kejadian skizofrenia yang cukup tinggi adalah Indonesia.
Prevalensi penderita skizofrenia diIndonesia adalah 0,3-1% dan biasanya
menyerang pada usia 18-45 tahun. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta
jiwa maka diperkirakan sekitar 2 juta skizofrenia, dimana sekitar 99% pasien di
rumah sakit jiwa adalah penderita skizofrenia. (Arif, 2006 dalam Sutrisna, 2012).

Data psikotik yang terdapat di Jawa Timur tahun 2013 sebesar , sedangkan
yang terdapat di Sidoarjo sebesar . Data psikotik yang terdapat di Jawa Timur
tahun 2013 sebesar, sedangkan yang terdapat di Sidoarjo sebesar orang. Di
Sukodono sampai bulan Juli tahun 2014 tercatat 134 orang menderita psikotik
dengan rincian di desa Kebonagung 9 orang, desa Pekarungan 16 orang, desa
Wilayut 6 orang, desa Anggaswangi 4 orang, desa Jumputrejo 11 orang, desa

1
Suruh 7 orang, desa Pademonegoro 4 orang, desa Cangkringsari 5 orang, desa
Sukodono 8 orang, desa Plumbungan 8 orang, desa Sambungrejo 6 orang, desa
Kloposepuluh 3 orang, desa Masanganwetan 1 orang, desa Bangsri 3 orang, desa
Pajunan 3 orang, desa Masangankulon 9 orang, desa Suko 4 orang, dan desa
Jogosatru 25 orang. Semua pasien psikotik di desa Jogosatru adalah skizofrenia
(Puskesmas Sukodono, 2014).

Di masyarakat ada stigma bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang sulit


disembuhkan, memalukan dan aib bagi keluarganya. Pandangan lain yang
beredar di masyarakat bahwa skizofrenia disebabkan oleh guna-guna orang lain.
Ada kepercayaan di masyarakat bahwa skizofrenia timbul karena masuknya roh
nenek moyang masuk ke dalam tubuh seseorang kemudian menguasainya (Lubis,
2012).

Menurut beberapa penelitian, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya


skizofrenia dan merupakan interaksi dari beberapa faktor tersebut. (Kapplan dan
Sadock,2003). Secara umum skizofrenia disebabkan oleh faktor genetik,
overaktivitas dopamin pada jaras mesolimbik, ketidakmampuan individu untuk
menyesuaikan diri terhadap stresor, kepribadian, pola asuh di keluarga, hubungan
yang kurang harmonis dengan lingkungan sekitar (Lubis, 2012; Maramis,2009).

Skizofrenia mengakibatkan bukan saja kerugian finansial, material dan tenaga


kerja, akan tetapi juga penderitaan yang sukar dapat digambarkan besarnya, baik
bagi penderita, maupun bagi keluarga (Maramis,2000).

Penanganan skizofrenia di beberapa daerah Indonesia sampai saat ini, masih


ada keluarga yang menangani anggota keluarganya yang skizofrenia dengan
dipasung, diikat, dirantai atau dimasukkan ke dalam kandang. Penderita
gangguan jiwa menjadi bahan tertawaan masyarakat sekitar (Maramis,2000).

Seharusnya penanganan skizofrenia harus dilakukan secara komprehensif


dengan melihat kepada faktor penyebabnya. Perlu dilakukan pendekatan,

2
khususnya pendekatan keluarga dan pendekatan petugas kesehatan secara
langsung dengan penderita, seperti pemberdayaan dan pendampingan pasien
skizofrenia agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang terus-menerus. (Lubis,
2012).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk
meneliti beberapa faktor resiko yang menyebabkan terjadinya skizofrenia di Kota
Pangkalan Kerinci, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui beberapa faktor penyebab terjadinya skizofrenia di Kota Pangkalan


Kerinci, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi penyebab skizofenia karena kegagalan penyesuaian diri


terhadap stressor di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan .
2. Menetapkan faktor kegagalan penyesuaian terhadap stresor sebagai faktor
penyebab skizofrenia.
3. Mengidentifikasi penyebab skizofrenia karena kepribadian di Kecamatan
Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan
4. Menetapkan faktor kepribadian sebagai faktor penyebab skizofrenia.
5. Mengidentifikasi penyebab skizofrenia karena adanya riwayat psikotik
dalam keluarga di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan.
6. Menetapkan faktor riwayat skizofrenia dalam keluarga sebagai faktor
penyebab skizofrenia.

3
7. Mengidentifikasi penyebab skizofrenia karena faktor status ekonomi yang
rendah di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan
Menetapkan faktor status ekonomi yang rendah sebagai faktor penyebab
skizofrenia.
8. Mengidentifikasi penyebab skizofrenia karena hubungan yang kurang
harmonis dalam keluarga di Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten
Pelalawan . Menetapkan faktor hubungan yang kurang harmonis dalam
keluarga sebagai faktor penyebab skizofrenia.

1.4 Manfaat

1. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang pengaruh beberapa
faktor terhadap kejadian skizofrenia.
2. Bagi Puskesmas
Dapat memberikan informasi kepada puskesmas tentang faktor-faktor yang
menyebabkan tingginya angka skizofrenia di Kecamatan Pangkalan Kerinci,
Kabupaten Pelalawan, sehingga puskesmas dapat melakukan kegiatan
evaluasi di desa tersebut.
3. Bagi Masyarakat
Dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya
mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab tingginya angka
skizofernia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia


Tahun 1878, Kraepelin menamakan skizofrenia dengan dementia prekox karena
pada penyakit ini terjadi kemunduran intelegensia sebelum waktunya. Kemudian
tahun 1911, Bleuler mengajukan supaya dipakai istilah skizofrenia yang berarti jiwa
yang terpecah-belah, adanya keretakan atau disharmonisasi antara proses berpikir,
perasaan, kemauan dan psikomotor (Maramis. 2009).
Skizofrenia menurut PPDGJ III adalah sindrom dengan variasi penyebab
(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik,
fisik dan sosial budaya (PPDGJ III, 2013).
2.2 Epidemiologi
Menurut WHO tahun 2011 diperkirakan 24 juta orang menderita skizofrenia di
dunia, 50% dari penderita tidak menerima pengobatan yang sesuai dan 90% dari
penderita yang tidak mendapat pengobatan tepat tersebut terjadi di negara
berkembang (WHO, 2011). Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-
1% dan biasanya menyerang pada usia 18-45 tahun (Arif, 2006 dalam Sutrisna,
2012). Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang umumnya paling banyak
ditemukan, menyusul hebefrenik, tak terinci, akut, residual dan katatonik (Fitriana
dan Katrinah,2010).
Sementara itu, Rusdi Maslim meneliti tentang data distribusi variabel
sosiodemografik memperlihatkan bahwa wanita merupakan golongan yang lebih
berisiko mengalami gangguan kesehatan jiwa (Maslim, 2012). Beberapa penelitian
lain juga menunjukkan jumlah penderita gangguan jiwa banyak terdapat pada
perempuan 60,20% dibanding laki- laki 39,80%. Namun, jumlah skizofrenia banyak
terdapat pada laki-laki 72 % daripada perempuan 28%. Hal ini terjadi karena antara
laki-laki dan perempuan memiliki struktur dan fungsi anatomi dan fisiologi yang

5
berbeda, termasuk neurotransmiter, neuroendokrin, dan ritme sirkadian serta faktor
genetik dan fungsi reproduksi. Aktivitas dopaminergik pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan, sehingga ketika mendapatkan stresor cenderung
menampilkannya dengan cara stres berlebih dan tidak terkendalinya amarah. Selain
itu neurotransmiter norepinefrin dan serotonin yang tinggi juga mempengaruhi
ledakan emosi. Mekanisme depensif yang sering terjadi yaitu agresif pasif atau acting
out, sehingga pada laki-laki cenderung mengalami gangguan jiwa berat karena tidak
bisa menahan ledakan emosi dan dapat mengganggu orang disekitarnya. Sedangkan
pada perempuan memiliki kadar norepinefrin dan serotonin yang rendah, sehingga
menurunkan minat dan kesenangan pada penderita. Serotonin telah menjadi
neurotransmiter amin biogenik yang paling sering dikaitkan dengan depresi,
kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi. (Erlina,2010;Mubarata,2011).
2.3 Faktor-faktor Penyebab Skizofrenia
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui penyebab pasti dari
skizofrenia, namun sampai saat ini belum diketahui. (Yosep,2008; Erlina dkk,2010).
Skizofrenia diduga terjadi karena adanya interaksi multifaktorial yang terkait satu
sama lain dimana seseorang yang rentan akan lebih mudah untuk menjadi skizofrenia
jika dikenai stresor (Kapplan dan Sadock,2003).
Rusdi Maslim dalam disertasinya menyebutkan kejadian skizofrenia meningkat
jika ada riwayat skizofrenia dalam keluarga, ketidakmampuan mengatasi stresor,
pendidikan rendah, serta orang dengan status ekonomi rendah. (Rusdi Maslim,2012).
Penelitian lain menyebutkan selain faktor genetika (bawaan/herediter) yang
diturunkan oleh orangtua kepada anaknya, ditemukan bahwa faktor tekanan sosial
ekonomi yang berhubungan dengan kemiskinan, faktor hambatan dalam hubungan
sosial antara orangtua dan anak, hambatan komunikasi di keluarga dan masyarakat,
serta kemungkinan terjadinya early life trauma berperan dalam kejadian skizofrenia.
(Warner dan Girolamo,1995 dalam Denrich Suryadi, 2010; Harrison and
Weinberger,2005 dalam Sutrisna,2013).
1. Genetik

6
Peran genetik dalam kejadian skizofrenia belum diketahui dengan pasti. Gen
yang diturunkan kepada keluarga dengan gangguan skizofrenia belum ditemukan
namun gen ini diduga bekerja sepanjang periode perkembangan otak (Rapoport,
Addington, dan Frangou,2005 dalam Erlina,2010).
Apabila seseorang mempunyai hubungan keluarga dengan penderita psikotik
seperti skizofrenia, gangguan bipolar maupun depresi akut, maka kemungkinan untuk
menderita penyakit tersebut juga sangat tinggi dibandingkan dengan orang lain pada
umumnya  (Angel,2012). Beberapa penelitian tentang keluarga penderita skizofrenia
menunjukkan angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%; bagi saudara kandung 7-
15%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila
kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi kembar dua telur (heterozigot)
2-15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61-86%. Tetapi pengaruh genetik tidak
sederhana seperti hukum Mendel. Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah
potensi untuk mendapatkan gangguan jiwa melalui gen resesif. Potensi ini kuat atau
lemah bergantung lingkungan individu itu (Maramis,2009).

2. Kepribadian
Kepribadian seseorang mempengaruhi kemampuan adaptasi terhadap masalah
yang ada. Bila ada gangguan di masa perkembangan kepribadian maka akan menjadi
rentan mengalami skizofrenia (Setiadi, 2006 dalam ).
Penelitan yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan di
Kabupaten Pati tahun 2013 menunjukkan pada dasarnya semua penderita skizofrenia
memiliki sifat yang pendiam. Sifat pendiam ini biasa dikenal dengan istilah
kepribadian introvert. Keluarga pasien mengatakan bahwa sebelum terjadi gangguan,
para penderita tidak banyak menceritakan permasalahan kepada ibu, bapak, ataupun
saudaranya. Sejak kecil hingga remaja penderita terlihat baik, hanya saja cenderung
pendiam. Dari penelitian ini disimpulkan kepribadian juga turut menjadi penyebab
gangguan jiwa. Seseorang yang memiliki kepribadian pendiam atau introvert lebih
rentan terjadi gangguan kejiwaan. Keseluruhan pasien merupakan tipe pribadi yang
pendiam dan rapi dalam menyimpan permasalahan, dan seolah-olah tidak memiliki

7
permasalahan yang berarti. Seseorang yang memiliki kecenderungan mengontrol
emosi dengan memendam terlalu kuat mengakibatkan gangguan jiwa seperti
skizofrenia (Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati, 2013).

3. Pekerjaan
Orang yang tidak bekerja akan lebih mudah stres berhubungan dengan
tingginya kadar katekolamin dan mengakibatkan ketidakberdayaan karena orang yang
bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan lebih memiliki semangat
hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja (Van Den, 1991
dalam Erlina dkk,2010). Selain itu, orang yang tidak bekerja tidak mempunyai
penghasilan untuk membiayai kehidupannya dan keluarga. Ini akan menimbulkan
stres (Yosep, 2010).
Penelitian Erlina dkk di RSJ. Prof. HB Saanin Padang tentang faktor penyebab
skizofrenia berupa pekerjaan disimpulkan orang yang tidak bekerja kemungkinan
mempunyai risiko 6,2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan yang
bekerja (Erlina dkk, 2010).

4. Status ekonomi rendah


Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia meningkatkan kejadian gangguan
kesehatan jiwa seperti skizofrenia hingga pada tindakan bunuh diri
(Sosrosumiharjo,2010 dalam Sumiatji,2014).
Penelitian Erlina dkk di RSJ. Prof. HB Saanin Padang tentang faktor status
ekonomi rendah sebagai penyebab skizofrenia didapatkan kelompok ekonomi rendah
kemungkinan mempunyai risiko 7,48 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia
dibandingkan kelompok ekonomi tinggi (Erlina,2010).
Orang dengan status ekonomi rendah mudah stres karena kesulitan membiayai
kehidupannya. Banyak keinginannya yang tidak dapat dipenuhi, terlilit hutang dan
sebagainya yang memperberat stres (Maramis,2009).
5. Faktor antenatal
Gangguan yang terjadi pada saat kehamilan juga menyebabkan otak rentan
menderita skizoferenia (Angel,2012). Penelitian Khasan Abel menunjukkan paparan

8
stres berat selama kehamilan bisa mempengaruhi perkembangan neuron pada
sambungan feto-plasenta-maternal sehingga menjadi lebih rentan (Khasan Abel dan
Mc Namee, 2008 dalam Hidayati, 2012).

Masa antenatal adalah masa perkembangan awal sistem saraf dan otak
seseorang (Hidayati dan Febriana, 2012). Faktor antenatal pada skizofrenia adalah
faktor non genetik, endogen dan eksogen pada masa kehamilan dan kelahiran yang
dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya skizofrenia. Faktor endogen adalah
yang berasal dari dalam tubuh ibu dan janin antara lain terdiri dari diabetes pada ibu
dan komplikasi persalinan; Faktor eksogen adalah yang berasal dari luar tubuh ibu
dan janin berupa infeksi di masa kehamilan, gangguan nutrisi, dan stres pada ibu
(King, St-Hilaire, dan Heidkamp 2010 dalam Hidayati dan Febriana, 2012).
Anak yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes pada masa kehamilannya, tujuh
kali lebih sering mengalami skizofrenia di kemudian hari, bila dibandingkan dengan
anak dari ibu tanpa diabetes (Cannon, Jones, dan Murray 2002 dalam Hidayati dan
Febriana, 2012). Hiperglikemia pada ibu menjadi predisposisi skizofrenia pada anak
yang dikandungnya. Tiga mekanisme prenatal yang diduga sebagai penyebab yaitu
hipoksia, stres oksidatif, dan inflamasi. Hiperglikemia meningkatkan stres oksidatif,
mengubah metabolisme lipid, dan mempengaruhi struktur mitokondria, menyebabkan
kekacauan proses kerja dan arsitektur neuron, dan akhirnya menyebabkan spesialisasi
yang prematur sebelum neural tube menutup (Van Lieshout, Voruganti 2007, dalam
Hidayati dan Febriana, 2012).
Komplikasi persalinan seperti perdarahan, eklamsia, asfiksia, dan sectio
caesaria darurat berkaitan dengan kondisi hipoksia yang mengancam perkembangan
otak janin (King 2010; Cannon, Jones, dan Murray 2002 dalam Hidayati dan
Febriana, 2012).

6. Pola Asuh Keluarga


Menurut Meyer dan Salmon, pola asuh orangtua kepada anak memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung dengan kejadian skizofrenia. Pola
asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak. Keluarga khususnya orang

9
tua mempunyai peran yang sangat penting dalam menjaga, mengajar, mendidik, serta
memberi contoh bimbingan kepada anak untuk mengetahui, mengenal, mengerti, dan
akhirnya dapat menerapkan tingkah laku yang sesuai dengan nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat (Gunarsa,2002 dalam Fitriana dan Katrinah,2010). Pola
asuh yang baik dapat membentuk kepribadian yang baik dan kemampuan mengatasi
stresor. Anak harus dilatih sejak kecil untuk menyelesaikan masalah sendiri, tidak
bergantung pada orang lain. (Iyus dkk,2009). Contoh pola asuh yang salah seperti
sering menyalahkan anak, terlalu memanjakan anak, tidak mengajarkan anak berelasi
dengan lingkungan sekitar dan melakukan kekerasan kepada anak. (Meyer dan
Salmon, 1988 dalam Denrich Suryadi,2010). Kekerasan pada masa kecil dapat
menimbulkan trauma mendalam dan memungkinkan terjadinya skizofrenia di masa
depan (Erlina dkk, 2010).
Penelitian Fitriyah dan Katrinah di RSJD Surakarta kepada pasien skizofrenia
paranoid menunjukkan angka kejadian ini meningkat pada keluarga yang menerapkan
pola asuh demokratis apalagi jika didukung oleh faktor lingkungan, stres dan faktor
keturunan (Fitriana dan Katrinah, 2010).

7. Hubungan interpersonal antara anggota keluarga


Yang dimaksud dengan hubungan interpersonal antara keluarga disini meliputi
hubungan orang tua dengan anaknya, hubungan anak dengan saudara yang lain serta
hubungan antara semua orang yang tinggal serumah. Perceraian merupakan penyebab
stresor tersering dalam keluarga. Anak yang orang tuanya bercerai cenderung lebih
rentan terkena gangguan jiwa. Perceraian menyebabkan anak kehilangan perhatian
dari orang tua. Tidak ada yang menuntun anak itu ketika dalam proses membentuk
kepribadiannya. Anak menjadi lebih mudah stres. Bagi suami istri yang bercerai juga
merupakan stres besar. Penelitian yang dilakukan Yosep dkk dari 7 orang yang
diwawancarai, 6 orang mengatakan perceraian merupakan pengalaman traumatik
yang tidak bisa dilupakan, terutama jika anak dibawa oleh salah satu pasangan. (Iyus
dkk,2009).

10
Suryadi dan Satiadarma mengatakan stresor dalam keluarga sebagai faktor
penyebab dominan karena seluruh responden yang diteliti mengalami masa kanak-
kanak yang diliputi dengan pengalaman traumatis dan mereka berada dalam
lingkungan keluarga yang kurang kondusif. (Suryadi & Satiadarma, 2005 dalam
Danrich; Erlina,2010).

2.5 Diagnosa Skizofrenia


Kriteria diagnosa skizofrenia menurut PPDGJ III adalah:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda ; atau
thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar masuk ke dalam
pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya (withdrawal); dan
thought broadcasting = isi pikiranya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya; 
b. delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar; atau
delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk
kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau
penginderaan khusus);
delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat; 
c. Halusinasi auditorik:
 suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau

11
 mendiskusikan perihal pasein di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
 jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas)
yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negative”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat

12
sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-absorbed attitude), dan penarikan diri
secara sosial (PPDGJ III,2014).

2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus sesegera mungkin karena keadaan skizofrenia yang lama
menimbulkan kemungkinan lebih besar mengalami kemunduran mental. Pengobatan
skizofrenia berupa farmakoterapi, psikoterapi dan terapi elektrokonvulsi
(Maramis,2009).
a. Farmakoterapi
Obat yang digunakan untuk skizofrenia adalah antipsikotik. Indikasi pemberian
obat antipsikotik pada skizofrenia adalah pertama untuk mengendalikan gejala aktif
dan kedua mencegah kekambuhan. Antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
atipikal dan tipikal. Tidak ada bukti bahwa kelompok yang satu lebih baik dari
kelompok yang lain (Maramis,2009).
Strategi pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis.
Fase akut biasanya ditandai oleh gejala psikotik yang menonjol. Dengan fenotiazin
biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu 2-3 minggu. Biarpun tetap masih
ada waham dan halusinasi penderita tidak begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih
kooperatif, mau ikut serta dalam kegiatan lingkungannya dan mau turut terapi kerja
(Maramis,2009).
Setelah 4-8 minggu, pasien masuk dalam tahap stabilisasi dimana gejala yang
ada banyak yang sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih tinggi apalagi bila
pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Dosis dipertahankan selama
beberapa bulan lagi. Setelah 6 bulan, pasien masuk fase rumatan yang vertujuan
untuk mencegah kekambuhan. Strategi rumatan adalah menemukan dosis efektif
terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan tidak
mengganggu fungsi psikososial pasien (Maramis,2009).
Skizofrenia memerlukan pengobatan jangka panjang. Dukungan keluarga paska
perawatan di rumah sakit memegang peranan penting terutama dalam hal kepatuhan
minum obat. Semakin tinggi dukungan keluarga, maka semakin tinggi pula

13
keberfungsian sosial pasien. Sebaliknya semakin rendah dukungan keluarga, semakin
rendah pula keberfungsian sosial pasien skizofrenia paska perawatan di rumah sakit
(Ambari,2010).

b. Psikoterapi
Psikoterapi suportif individual atau kelompok dapat membantu pasien
berinteraksi lagi masyarakat sekitarnya. Penelitian Lestari di Surakarta menunjukkan
ada hubungan persepsi tentang gangguan jiwa dengan sikap keluarga yang
mempunyai anggota keluarga gangguan jiwa di RSJD Surakarta. Keluarga
merupakan sumber pengobatan yang paling berperan bagi anggota keluarganya yang
sakit. Sikap yang baik oleh keluarga serta dukungan sosial dapat melemahkan
dampak stres dan secara langsung memperkokoh kesehatan mental individu (Lestari
dan Kartinah,2011).
c. Terapi elektrokonvulsi
Cara kerja terapi elektrokonvulsi belum diketahui dengan jelas. Keuntungan
terapi elektrokonvulsi adalah dapat memperlancar aliran darah ke otak dan dapat
meningkatkan zat tubuh seperti epinefrin dan serotonin. Indikasi dilakukan terapi ini
antara lain untuk skizofrenia katatonik dan resistensi terhadap pengobatan
antipsikotik.

2.7 Prognosis

Dahulu bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah
tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan untuk sembuh. Sekarang dengan
pengobatan modern, jika pasien datang berobat pada tahun pertama setelah serangan,
maka sepertiga dari mereka akan sembuh total. Sepertiga yang lain dapat
dikembalikan ke masyarakat walaupun masih ditemukan sedikit gejala dan perlu
pengobatan lanjutan. Sisanya prognosisnya buruk (Maramis, 2009).
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis skizofrenia :

14
a. Kepribadian prepsikotik, bila kepribadian sebelum sakit adalah skizoid
(pendiam, pemalu, suka menyendiri, emosi dan tempramen dingin, menghindari
hubungan jangka panjang dengan orang lain) maka prognosis buruk.
b. Akut atau kronis, bila skizofrenia timbul secara akut, maka prognosis lebih baik
daripada bila penyakit itu bersifat kronis.
c. Jenis skizofrenia, skizofrenia katatonik paling baik prognosis daripada semua
jenis. Skizofrenia hebefrenik dan skizofrenia simplex mempunyai prognosis
yang paling buruk.
d. Umur, makin muda umur permulaannya, makin jelek prognosisnya.
e. Pengobatan, makin cepat dibawa berobat, makin baik prognosisnya.
f. Faktor pencetus, vila faktor pencetus ditemukan, makin baik prognosisnya.
g. Faktor keturunan, bila terdapat faktor keturunan dalam keluarga maka
prognosis menjadi lebih berat.
(Maramis, 2009).

15
BAB III

HIPOTESIS

3.1 Hipotesis mayor

Terdapat hubungan antara durasi dan frekuensi bermain video game dengan
masalah mental emosional

3.2 Hipotesis minor

1. Terdapat hubungan antara durasi bermain video game dengan masalah


emosional, perilaku, hiperaktivitas, hubungan antar sesama, dan perilaku
prososial pada remaja usia 13-15 tahun.
2. Terdapat hubungan antara frekuensi bermain video game masalah emosional,
perilaku, hiperaktivitas, hubungan antar sesama, dan perilaku prososial pada
remaja usia 13-15 tahun.

16
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan


case control untuk mengetahui beberapa faktor resiko terjadinya skizofrenia di
Desa Jogosatru, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jogosatru Kecamatan Sukodono Kabupaten


Sidoarjo pada bulan Agustus-September 2014.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti, dalam
penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh masyarakat Desa
Jogosatru Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo sejumlah 3,093 orang.

2. Besar sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. Dalam penelitian ini sampel yang
digunakan menggunakan rumus kesetaraan 1:1. Maka sampel yang diambil
adalah seluruh pasien skizofrenia sebesar 25 orang dan 25 orang normal yang
tinggal di sekitar lingkungan pasien skizofrenia.

3. Cara pengambilan sampel


Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini dengan mengambil seluruh
pasien skizofrenia (25 orang) dan 25 orang normal menggunakan simple
random sampling.

17
D. Variabel Penelitian

Variabel Independen (Variabel bebas) adalah variabel yang mempengaruhi


variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah :

1. Genetik
2. Kegagalan penyesuaian terhadap stresor
3. Kepribadian
4. Status ekonomi rendah
5. Hubungan antara anggota keluarga yang kurang harmonis

Variabel Dependen (Variabel terikat) adalah variabel yang dipengaruhi oleh


variebel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah
kejadian skizofrenia di Desa Jogosatru Kecamatan Sukodono Kabupaten
Sidoarjo.

E. Definisi operasional variabel

Dalam penelitian ini cara yang digunakan untuk mengukur variabel


skizofrenia, genetik, kegagalan penyesuaian terhadap stresor, kepribadian,
status ekonomi rendah, hubungan antara anggota keluarga yang kurang
harmonis adalah dengan kuesioner.

18
DAFTAR PUSTAKA

Angel. 2012. All about psikotik.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Pati. 2014. Faktor Penyebab


Gangguan Jiwa pada Penderita (Psikotik) yang Dipasung di Kabupaten Pati.

Erlina Dkk. 2010. Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia pada Pasien Rawat
Jalan diRumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatera Barat dalam
Berita KedokteranMasyarakat Vol. 26, No. 2; Hal. 71-80

Fitriana,Vera dan Katrinah. 2010. Gambaran Pola Asuh Keluarga Pada


Pasien SkizofreniaParanoid (Studi Retrospektif) Di RSJD Surakarta
dalam hal.223-228.

Hidayati, Antina Nevi dan Nining Febriyana. 2012. Faktor Prenatal pada


SkizofreniaTersediadiwww.journal.unair.ac.id/filerPDF/psikiatri624acbdc76
2full.pdf , diakses 22 Agustus2014.

Kaplan and Sadock’s. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid I Ed. 2003 (Terjemahan: Kusuma,
W).Jakarta: Binarupa Aksara.

Lestari, Fitri Sri Dan Dan Kartinah. 2011. Hubungan Persepsi Keluarga Tentang
Gangguan Jiwadengan Sikap Keluarga Kepada Anggota Keluarga yang
Mengalami Gangguan Jiwa diRumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta dalam
Majalah Kedokteran Bandung hal. 124-130.

Maramis,W.F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya : Airlangga


University Press

Maslim,Rusdi. 2012. Prevalensi dan Distribusi Masalah Kesehatan Jiwa di Indonesia:


SuatuKajian Epidemiologi Psikiatri. Tersedia
dihttp://ugm.ac.id/id/berita/4125-

19
teliti.kesehatan.jiwa.masyarakat.indonesia.dosen.atmajaya.jakarta.raih.dokter 
, diakses 25Agustus 2014.

Mubarta, Al Furqonnata dkk. 2011. Gambaran Distribusi Penderita Gangguan Jiwa di


Wilayah Banjarmasin dan Banjarbaru Tahun 2011 dalam Berkala
Kedokteran Vol.9 No. 2 Sep2013; hal.199-209.

Prinda Kartika Mayang Ambari. 2010. Ringkasan Skripsi “Hubungan Antara


Dukungan Keluarga dengan Keberfungsian Sosial pada Pasien Skizofrenia
Paska Perawatan di Rumah Sakit”. Semarang : Universitas Diponegoro.

Prinda Kartika Mayang Ambari. 2010. Ringkasan Skripsi “Hubungan Antara


Dukungan Keluarga dengan Keberfungsian Sosial pada Pasien Skizofrenia
Paska Perawatan di Rumah Sakit”. Semarang : Universitas Diponegoro.

Sumiatji, Erna. 2014. Hubungan antara tingkat pengetahuan keluarga dengan kejadian
psikotik di Yogyakarta.

Suryadi,Denrich. 2010. Penerapan Pola Asuh Orangtua yang Konsisten sebagai


Upaya Preventif Bagi Gangguan Schizophrenia Paranoid.

Sutrisna, Em dan Riandini Aisyah. 2012. Marker Genetik dan Mekanisme Molekuler
Penyakit Skizofrenia. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Yosep, Iyus. 2008. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa. Makalah: disampaikan pada
Penyuluhan Kesehatan Jiwa dan Bahaya Napza di Desa Legok Kidul
Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.

Yosep, Iyus, Ni Luh Nyoman Sri Puspowati, Aat Sriati. 2009. Pengalaman Traumatik
Penyebab Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi.
Majalah Kedokteran Bandung Vol 41, No 4.

20
21

Anda mungkin juga menyukai