Anda di halaman 1dari 21

BAB II

DESKRIPSI TASAWUF DAN MASYARAKAT MODERN

A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi tasawuf dapat dikemukakan dengan
berbagai pendapat; pertama, ada yang menisbahkan kepada Ahl
al-Suffah (‫الص َّفة‬
ُّ ‫ ) اَ ْه ُل‬, yaitu mereka yang ikut hijrah bersama Nabi

dan juga kaum Anshor yang hidup miskin serta tinggal di sisi
Mesjid Nabawi, mereka dikenal tekun beribadah; kedua, berasal
dari kata Shaf (‫ ) الصف‬atau barisan sebab para sufi berada pada

barisan pertama di hadapan Allah; ketiga, berasal dari kata


Shafa ( ‫ ) صفا‬atau shafwan (‫)صفوان‬, yaitu bening atau suci ini

karena seorang sufi adalah orang yang telah menyucikan dirinya


melalui riyadhah atau mujahadah; keempat, dinisbahkan kepada
seorang penjaga Ka’bah di zaman Jahiliyah, yaitu Shufah Ibn
Murrah; kelima, dari bahasa Yunani Sophia yang berarti hikmah
atau kebijakan2; keenam, Ibn Sauf, sebagai gelar dari seorang
anak Arab yang shaleh bernama Ghaus Ibn Murr, yang selalu
mengasingkan diri dekat Ka’bah guna mendekati Tuhan-nya;

2 Menurut Ibn Taimiyah kata Tasawuf sudah dipergunakan oleh ulama fiqh
dan orang-orang sufi sebelum abad ke tiga Hijriyah; Imam Ahmad Ibn Hambali
(241 H), Abu Sulaiman al-Darari (210 H), menurut Abu Sofyan al-Tsauri (161 H)
bahkan ada yang menyatakan sejak Hasan Basri (110 H) teleh mempergunakan kata
tersebut dan sudah lumrah dipergunakan oleh orang Arab sebelum Ilmu
Pengetahuan Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Browne dalam bukunya
“A Literary History of Persia” menjelaskan tidak ada hubungan antara kata
Tasawuf dengan “Sophia” atau “Theasofis” karena sebelum berkembang Ilmu
Pengetahuan Yunani di zaman al-Ma’mun, Abu Hasyim (150 H) telah mendapat
gelar Sufi.
ketujuh, Shaufanah (‫ ) الصوفنة‬yaitu sebangsa buah-buahan kecil

berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir Arab;


kedelapan, Shuf (‫)الصوف‬ yaitu bulu domba atau wol kasar,

karena kaum sufi sebagai golongan yang hidup sederhana dan


menjadi simbol para hamba Allah yang tulus dan asketis3
Dari kesemuanya teori terakhirlah yang banyak diterima
sebagai etimologi sufi karena kesesuaiannya dengan gramatika
Arab.
Abd al-Rahman Jawi di dalam bukunya Nafhat al-Insi
sebagaimana dikutip Asywadie Syukur menulis bahwa orang
pertama yang mendapat gelar Sufi, adalah Abu Hasyim (150 H),
orang yang pertama meletakkan dasar-dasar teori Ilmu Tasawuf
adalah Dzun Nun al-Misri (246 H), orang pertama yang
menerangkan dan menulis Ilmu Tasawuf ialah Junaidi al-
Baghdadi (398 H), orang pertama yang berbicara atau berpidato
tentang tasawuf yaitu Abu Bakar al-Syibli (334 H) dan orang
pertama yang menjalankan kehidupan sufi yang murni dan
terkenal kesalehan serta ketaqwaannya, adalah Rabi’ah al-
Adawiyah (135 H)4.

3 Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif, Dar al-

Fikri, Beirut-Libanon, tahun 1995, P. 63-65. lihat juga Abi al-Qosim Abd al-Karim
al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah, Dar al-khair, TT, P.279. Abu
Bakar Aceh menambahkan kata Sufah yaitu surat ijazah bagi orang yang
menunaikan ibadah haji dimana orang yang sudah menyempurnakan Rukun Islam
yang ke lima mendapatkan Surat Keterangan. lihat Abu Bakar Aceh, Sejarah Sufi
dan Tasawuf, Cerdas, Bandung, Th.1962. p. 5
4 Asjwadie Syukur, Ilmu Tasawuf I, PT. Bina Ilmu, Surabaya, Th.1978,p.
Sedang secara terminologi, banyak konsep yang
dikemukakan oleh para ulama, namun rata-rata mereka hanya
mengemukakan terminologi yang merupakan bagian dari
tasawuf,5. Menurut Trimigham, Tasawuf (mistisme) adalah suatu
cara khusus mendekatkan diri kepada Allah dengan intuisi dan
kemampuan spiritual emosional dengan tetap memperhatikan
petunjuk yang digariskan oleh agama. 6 Abu Bakar Aceh dalam
bukunya Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, menyebutkan
bahwa tasawuf adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mencari
kecintaan dan kesempurnaan kerohanian7 Menurut al-Nuri,
Tasawuf bukanlah Rasm ( rumusan ) dan bukan pula ilmu,
melainkan akhlak, jika ia rasm niscaya ia dapat dicapai dengan
kesungguhan dan jika ia ilmu ia dapat diraih dengan belajar, akan
tetapi ia akhlak yang hanya dapat diperoleh dengan berakhlak
kepada Allah, yang tak didapat dengan rasm dan ilmu. 8 secara
sederhana Tasawuf adalah menghadirkan Allah disetiap

5 Beberapa terminologi Tasawuf yang dikemukakan tokoh seperti al-

Qusyairi yang menyebutkan bahwa tasawuf, yaitu menerapkan secara konsekuen


ajaran A-Qur’an dan sunnah Nabi, berjuang menekan hawa nafsu, menjauhi
perbuatan bi’dah dan tidak mengikuti syahwat serta tidak meringankan ibadah. Ini
merupakan aplikasi dari mujahadah. Atau seperti Ma’ruf al-Karkhi yang juga
menyebutkan bahwa tasawuf adalah mengambil hakikat dan berputus ada dari apa
yang ada di tangan makhluk . Ini juga aplikasi dari mujahadah dan tawakkal. Abu
Hamzah al-Baghdadi, tasawuf adalah miskin setelah kaya, hina setelah jaya dan
tersembunyi setelah terkenal. Inipun juga manifestasi dari zuhud dan uzlah, Dalf al-
Sybli juga menyatakan bahwa tasawuf adalah putus asa dari makhluk dan hanya
berhubungan dengan Allah, dan ini lebih mencerminkan zuhud dan uzlah.
6 JS. Trimingham, The Sufi Order, Terj. Luqman Hakim, Mazhab Sufi,

Pustaka, Bandung, Th. 1999, p.1


7 Asjwadie Syukur, Loc.Cit
8 Jalal Shararf, Al- Tasawuf al- Islami wa madarisuh, Iskandariyah, TT, p.

167. Lihat al-Qusyairy, Op. Cit. P.280


perbuatan yang termanifestasi pada setiap tindakan yang berbuah
Akhlak al-Karimah melalui proses yang dikenal dengan
mujahadah dan riyadhah.
B. Sejarah Munculnya Dan Berkembangnya Tasawuf
Esketisisme yang tumbuh pada abad pertama dan kedua
Hijriyah terdapat individu-individu yang memusatkan dirinya
pada ibadah. Mereka menjalankan konsep asketis didalam
kehidupan, seperti tidak mementingkan makanan, pakaian,
tempat tinggal. Mereka lebih fokus kepada amal untuk
kehidupan akhirat dan menyebabkan mereka cenderung pada
jalur kehidupan dan perilaku asketis. Ini dilakoni oleh Hasan al-
Bashri (w. 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).
Kehidupan asketis ini sejak dini telah muncul di Madinah,
mereka sangat kuat berpegang teguh kepada al-Quran dan al-
Sunnah.Di bidang kezuhudan Rasulullah adalah panutan mereka.
Mereka adalah sahabat-sahabat utama, seperti Abu Ubaidah Ibn
al-Jarrah (w. 18 H), Abu Dzar al Ghifari (w, 22 H), Salman al-
Farisi (w. 32 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w. 33 H) dan Hudzaifah
Ibn al-Yaman (w. 36 H) di kalangan Tabi’in terdapat Said Ibn
al-Musayyad (w. 91 H) dan Salim Ibn Abdullah (w. 106 H).
Sementara di Bashrah asketisme dilakoni oleh tokoh-
tokoh seperti Hasan al-Bashri, Malik Ibn Dinar, Fadhl al-
Raqasyi, Rabbah Ibn Amr al-Qisyi, Shalih al-Murri atau Abd al-
Wahid Ibn Zaid9
Di Kufah terdapat corak yang lebih idealistis, menyukai
hal-hal aneh dalam Nahwu, hal-hal imagi dalam puisi dan
harfiah dalam hal hadits, di antara tokoh-tokohnya adalah al-
Rabi’ Ibn Khatsin (w 67 H) dan Said Ibn Jubair (terbunuh di
Wasith tahun 95 H), Thawus Ibn Kisan (w. 106 H), Sufyan al-
Tsauri (w. 161 H) dan Sufyan Ibn Uyainah (w. 198 H)10
Sejak abad ke tiga Hijriyah para sufi menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah-laku.
Seiring dengan berkembangnya Islam ke luar semenanjung Arab
dan umat Islam mulai bersentuhan dengan berbagai ilmu
pengetahuan. Doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi berkembang
ditandai dengan moral sehingga di tangan mereka tasawuf
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan. Teori-teori ajaran
Tasawuf yang awalnya dibangun berdasarkan pengalaman
spiritual seorang Sufi pada akhirnya mendorong mereka untuk
mengkaji hal-hal yang berkenaan dengan metafisika. Abu Yazid
al-Busthami misalnya membicarakan pengetahuan intuitif
dengan sarana serta metodenya. Perbincangan tentang Dzat Ilahi
dalam hubungannya dengan manusia atau sebaliknya sampai
pada perbincangan tentang fana.

9 mereka adalah orang arab dari bani Tamim yang tinggal di Bashrah. Lihat
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal Ila al-Tasawuf al-
Islami, Dar al-Tsaqafah, Kairo, Th.1997 p.74
10 mereka cenderung beraliran Syi’ah dan Raja’iyah di bidang Aqidah.

Lihat al-Taftazani, Ibid.p.78


Pengkodifikasian pengetahuan sufi sudah mulai dilakukan
oleh tokoh-tokoh seperti al-Qusyairi dengan “Risalah
Qusyairiyyah” nya dan Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-
Suhrawardi dengan “Awarif al-Ma’arif”nya.
Di lain pihak sejumlah tokoh seperti Junaid al-Baghdadi,
Sirri al-Suqti, dan al-Kharraz yang memiliki banyak murid, yang
belakangan menjadi cikal-bakal terbentuknya tarikat-tarikat sufi
dalam Islam, di mana para murid secara formal mempelajari
pelajaran dasarnya.
Pada abad yang sama al-Hallaj memunculkan jenis
tasawuf yang lain dengan teori Hulul di mana Tuhan
berreinkarnasi pada makhluk. Tokoh ini akhirnya dihukum mati
pada tahun 309 H.11
Hingga pada abad ke lima Hijriyah muncullah al-Ghazali
hanya menerima tasawuf yang berdasarkan Al-Quran dan al-
Hadits, al-Ghazalilah yang mencanangkan tasawuf moderat yang
menentang aliran tasawuf “Hulul” al-hallaj dan konsep “Fana
dan Baqa” serta ihtihadnya Abu Yazid al-Busthami. Dengan
pengaruh al-Ghazali tasawuf sunni semakin tersebar luas di
dunia Islam dan memberi peluang bagi munculnya tarikat-tarikat
dari tokoh-tokoh sunni seperti Sayyid Ahmad Rifa’I (Th. 570 H),
Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656 H) dan lain-lain.12

11 al-Taftazani, Ibid, P 93 – 140 lihat juga Hamka, Tasawuf perkembangan


dan pemurniannya, Pustaka Panjimas, Jakarta, Th.1993, P.88 – 116.
12 Ibid, P.143 -168 lihat juga Abd. Al-Qadir Mahmud, al-Falsafati al-

Sufiyah al-Islami, Mathba’ah al-Ma’rifah, Kairo, tahun 1967, P.247.


Pada abad ke enam Hijriyah muncullah tokoh-tokoh sufi
yang memadukan antara sufisme dan teori-teori filsafat, seperti,
al-Isyraq -Syuhrawardi al-Maqtul (w. 549 H, Wahdat al-Wujud -
Syekh Muhyi al-Din Ibn Arabi (w. 638 H) penyair Mesir
Umar Ibn Faridh (w. 632 H), Ibn Sabi’in dan lain-lain, teori-
teori yang mereka lontarkan sifatnya setengah-setengah tidak
murni filasfat dan tidak murni tasawuf. 13
Ketika Ilmu Tasawuf memfokuskan pemahaman ibadah
hanya pada aspek bathiniyah yang di luar batas-batas fiqh yang
telah baku, belum lagi sejarawan yang meyakini bahwa dasar-
dasar ilmu tasawuf adalah bukan al-Quran dan al-Sunnah,
terjadilah pertentangan yang berkepanjangan antara fuqaha dan
para sufi sampai terbunuhnya al-Hallaj, Seperti pertentangan
antara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibn Hambal di pihak
Fuqaha dengan Syaiban al-Ra‘i al-Sufi, begitu pula dengan Abu
Imran al-Asyib al-Faqih dengan Abu Bakar al-Syibli tentang
masalah haid, meskipun demikian para fuqaha menaruh hormat
kepada para sufi yang mukhlis.
C. Ajaran-Ajaran Tasawuf dan Perkembangannya
Sikap istimewa para Sufi adalah memberikan makna
terhadap institusi-institusi Islam. Ajaran Islam mereka pandang
dari dua aspek, aspek lahiriyah – seremonial dan aspek batiniyah
– spiritual. Ajaran-ajaran pokok sufisme terbagi berdasarkan
jenisnya masing-masing, yaitu :

13 al-Taftazani, Ibid, P. 185 – 213 Abd al-Qadir Mahmoud, Ibid, P. 441


1. Tasawuf Akhlaki
Sistem pembinaannya mereka susun sebagai berikut:
Takhalli, yaitu mengosongkan diri dari sikap ketergantungan
terhadap kelezatan hidup duniawi.Tahalli, yaitu pengisian jiwa
yang telah dikosongkan dengan membiasakan diri dengan sifat
dan perbuatan baik. Sikap mental dan perbuatan yang penting
diisikan ke kalbu dan rohani dan dibiasakan dalam rangka
pembentukan paripurna, meliputi: al-Taubah, al-Khauf dan al-
Raja’, al-Zuhd, al-Faqr, al-Shabr, al-Ridha dan Muraqabah.
Selanjutnya Tajalli, yaitu terungkapnya Nur Ghaib bagi hati
untuk mempertajam rasa ke-Tuhanan ada beberapa teori yang
diajarkan, antara lain: Munajat dan Dzikr al-Maut14
2. Perkembangan Pemikiran Sufistik DalamTasawuf Falsafi
Yaitu tasawuf yang menggunakan metodologi filsafat
yang pembahasannya sampai kepada masalah Matafisika, yaitu
proses bersatunya manusia dengan tuhan dan sekaligus
membahas konsepsi manusia dan tuhan. Beberapa faham tentang
hal tersebut, ialah:
a. Al-Fana dan al-Baqa atau al-Ittihad.15
Ketika konsep al-Ma’rifah Dzunnun al-Mishry
yang menyerupai Gnosticisme menjadi tangga pertama

14 IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan


Perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, tahun 1981 / 1982, P. 95 –121
15 yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan (fananya unsur

kemanusiaan di dalam Dzat Tuhan). Yang di kembangkan oleh Abu Yazid


al-Busthami Nama lengkapnya Abu Yazid Thaifur Ibn Isa al- Bushtami, neneknya
berasal dari agama Majusi yang kemudian masuk Islam, ia pernah belajar dengan
Abu Ali al-Shindi yang memiliki Filsafat Kebathinan India, seperti Dyana (fase
perenungan) dan Samadi ( fase tenggelam dan sirna atau fana )
untuk mencapai Ittihad,hingga hamba yang ingin
mendekatkan diri hingga sampai ke tingkat fana dan
orang-orang arif tenggelam dalam kefanaan itu dengan
Allah, maka tidak bergerak kecuali Allah, mereka
berbicara dengan apa yang digerakkan Allah dan
memandang dengan nur Allah, cinta yang berdasarkan
kehendak untuk bersatu dengan Allah. Apa yang dirintis
oleh Dzunnun ini dikembangkan lagi oleh Abu Yazid
sebagai sebuah konsep Liqa’ al-Robby16
Menurut Abu Na’im al-Asfahani bahwa ajaran
wara, zuhud, ibadah dan taqwanya itu berasal dari ajaran
Ma’rifah, Mahabbah, Fana dan berakhir dengan Ittihad 17
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju
perjumpaan dengan Allah. Pada teori ini hancurlah
perasaan keinsanan yang ada di dalam tubuh-tubuh kasar
manusia ke dalam ketuhanan. Teori ini membawa Abu
Yazid mencetuskan teori yang lebih tinggi al-Ittihad –
bersatu dengan Tuhan, dalam keadaan ini antara hamba
dengan Tuhan menjadi satu. Di kala inilah Abu Yazid
mengeluarkan kata-kata ganjil (Syatahat), seperti : “
Tidaklah ada di dalam jubah ini melainkan hanya Allah “
Beliau juga yang pertama kali memperkenalkan istilah al-
Sakar ( mabuk ) dan al-Isyq ( Rindu ) di dalam

16 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Th.


1997, p.237
17 Abd. Qadir Mahmud,, al-Falsafati al-Sufiyah al-Islami,Mathba’ah al-

Ma’rifah, Kairo, tahun 1967, P. 309


Tasawufnya.18 AJ. Arberry menyebutnya dengan First of
the Intoxicated Sufis (Sufi pertama yang mabuk
kepayang)19
Namun ketika ia berkata: “Jika kamu melihat
seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat
yang besar-besar, walaupun ia sanggup untuk terbang di
udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu
melihat dia mengikuti suruhan dan menjaga batas-batas
syari’at “dengan demikian jelas tasawufnya tidak keluar
dari garis yang ditetapkan Syara’20
Bagi mereka yang toleran Ittihad dipandang sebagai
(‫)انحراف‬- penyelewengan. Namun bagi mereka yang keras

berpegang teguh pada agama, itu merupkan suatu bentuk


kekufuran21
b. Al-Hulul.22
Hulul menurut Abu Nasr al-Thusy, sebagaimana
yang dikutip oleh Harun Nasution, adalah faham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih-milih tubuh manusia

18 Hamka, Tasawuf perkembangan dan pemurniannya, Op.cit, p. 95


19AJ.Arberry, Sufism : an Account of the Mistics of Islam, terj. Banbang
Herawan, Pasang Surut Aliran Tasawuf “ Mizan, Bandung, th. 1985, p. 75
20 Hamka, Op.Cit, p. 98
21 Harun Nasution Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang,

Jakarta, 1973, P. 86
22 yaitu Inkarnasi Tuhan pada diri manusia. Yang dikembangkan

oleh al-Hallaj Nama lengkapnya Husein Ibn Manshur al-Hallaj, lahir di Persia th.
244 H dan wafat pada th. 309 H ia dihukum mati dan dibakar, abunya dibuang ke
sungai Tigris. di antara guru-gurunya Umar Ibn Utsman al-Makki, Sahl ibn
Abdullah al-Tusturi di Ahwaz dan Junaid al-Baghdady
tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu
dilenyapkan23
Para Ulama maupun Sarjana berbeda pendapat
tentang ajaran Hulul ini, al-Taftazany menyimpulkan
bahwa Hululnya al-Hallaj bersifat Majazy. Ajaran ini
merupakan bentuk lain dari faham al-Ittihadnya Abu
Yazid al-Bushtamy. Perbedaannya adalah bahwa Abu
Yazid hancur dalam Tuhan sedangkan al-Hallaj tidak
hancur tetapi bersatu dalam satu tubuh24
Menurut al-Hallaj, Fana itu mengandung tiga
tingkatan, yaitu:
1. Memfanakan semua kecenderungan dan keinginan Jiwa
2. Memfanakan semua fikiran (Tajrid al-Aqly), khayalan,
perasaan dan perbuatan sehingga tersimpul semata-
mata hanya Allah
3. Menghilangkan semua kekuatan fikiran yang sadar
Menurutnya tingkat yang tertinggi dalam derajat
fana akan tercapai tatkala tertangkap Fana al-Fana dan
dari sinilah permulaan Baqa’25
Di dalam sejarah berfikir mistik, masalah fana
merupakan masalah yang lama dan ada diberbagai

23 Harun Nasution, Op.Cit, p. 86


24 al-Taftazany, Op.Cit, p. 109
25 Abdul Qadir Mahmoud, Op.Cit, p. 60
pemikiran bangsa kuno. Teori-teori nirwana Budhisme
dan inkarnasi serta teori fana Zoroasterisme Persia
c. Al-Isyraq.( Iluminasi )26
Ajaran-ajaran Suhrawardi tertulis diberbagai
tulisannya, di antaranya, Talwihat, Muqawwamat,
Mutaharat, Hikmatul Isyraq, Hayakil al-Nur, al-Ahwal al-
Imadiyah, al-Lamahat, Bustan al-Qulub, al-Gurba al-
Ghabiyah, Risalah fi al-Mi’raj, Risalah fi Haqiqat al-
Isyraq dan al-Waridat wa Taqdisat . dari kesumua
tulisannya adalah merupakan ajaran-ajaran, uraian-uraian
dan simbol-simbol yang diolah berdasarkan sinkritisme
semua hikamah sufi termasuk al-Ittihad dan Hulul,
peninggalan-peninggalan dari ajaran Hermes, Pythagoras,
Plato dan Neo Platonisme, Aristoteles, Zoroaster dengan
semua Filosuf diramu dalam satu khazanah baru yang
diberi nama Al-Isyraq ( Iluminasy ) 27 aliran ini sejak awal
dipengaruhi oleh ajaran Tasawuf al-Faraby (Emanasi)
yang bercorak Falsafy.
Sementara al-Faraby dengan Emanasinya bahwa
untuk dapat melakukan hubungan langsung dengan Allah

26 yaitu pancaran, bahwa sumber segala sesuatu adalah cahaya Mutlak atau
Nur al-Qahir. Di kembangkan oleh Syihab al-Din Abu al-Futuh al-Suhrawardi
(Syekh al-Maqtul). Ia lahir di Suhraward pada tahun 549 H dan wafat dihukum
mati pada tahun 587 H. karena fahamnya yang dianggap bertentangan dengan
ajaran Islam. Di antara guru-gurunya, ialah Syekh Majiduddin al-Jilly dan
Fahruddin al-Razy dalam bidang Filsafat, Ibn Sahlan al-Sawy dalam bidang ilmu
Manthiq dan banyak lagi guru-gurunya, seperti Zabiruddin al-Qory, al-Mardini,
Syarif Iftikharuddin, dll.
27 M.M. Sharif, a History of Moslem Philoshofi, Low Price Publication,

Delhi, vol. 1 p. 227


seseorang harus melakukan Mujahadah dan Riyadhah
Badaniyah serta Aqliyah, dari Mujahadah dan Riyadhah
Aqliyah inilah harus menapak setapak demi setapak dari
Aql al-‘Amaly ke Aql bi al-Fi’ly kemudian ke Aql al-
Mustafad, dari Aql al-Musrtafad yang dapat
menyampaikan ke Aql al-Fa’al. Pada Aql al-Mustafad ini
seseorang sudah dapat menerima Emanasi, mampu
menerima Ma’rifah yang tertinggi dan berhubungan
dengan Aql al-Fa’al yang merupakan perbendaharaan
yang padanya terdapat berbagai bentuk segala yang ada
semenjak azal dan padanya memancar emanasi ketuhanan.
Sedangkan pada aliran al-Isyraq tidak puas dengan hanya
berhubungan dengan Aql al-Fa’al saja, tetapi mengharap
bisa bersatu dengan Allah secara langsung dan bercampur
dengan Cahaya di atas cahaya. Kosmos ini terdiri dari
susunan yang bertingkat-tingkat berupa pancaran cahaya,
cahaya yang tertinggi dari segala sumber cahaya
dinamakan Nur al-Anwar atau Nur al-A’zham – dan inilah
Tuhan yang Abadi28
d. Wahdah al-Wujud29

28 Ibrahim Madkour, Fi al-Filsafat al-Islam Manhaj Wa Tathbiquh, Terj.


Yudian Wahyudi Asmin dan Ahmad Hakim Mudzakir, Filsafat Islam dan
Penerannya, Pt. RajaGrafindo Pers, Jakarta, th. 1996, p. 61
29 yaitu “kesatuan wujud”, bahwa segala sesuatu yang nampak adalah
bayangan dari yang Haq, hakikat segala sesuatu adalah tuhan. Di kembangkan oleh
Ibn Araby.Nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad Ibn Ali Ibn Ahmad Ibn Abd
al-Tha’al al-Katimy, lahir di Murcia-Spanyol 598 H. dan wafat 638 H. di Damaskus
3. Beberapa istilah penting dalam sufisme
Murid, yaitu orang yang mencari pengetahuan dan
bimbingan dalam melaksanakan amal ibadahnya.Murid terbagi
tiga,yaitu : Mubtadi atau pemula, yaitu mereka yang baru
mempelajari syariat. Jiwanya masih terikat kepada kehidupan
dunia. Mutawasith, yaitu mereka yang belajar dan berlatih
mensucikan bathin agar tercapai akhlak yang mulia.Muntahi,
yaitu orang yang telah matang ilmu syariat dan telah mendalami
ilmu bathiniyah dan sudah bebas dari perbuatan maksiat
sehingga jiwanya bersih, mereka disebut arif, yaitu mereka yang
udah diperkenankan mendalami ilmu hakikat. Sesudah itu ia
bebas dari bimbingan guru. Bagi yang telah matang
diperkenankan mendalami ilmu ma’rifah. 30
Syekh, yaitu pemimpin kelompok kerohanian, pengawas
murid dalam segala kehidupannya. Wali dan Quthub, yaitu
seseorang yang telah sampai ke puncak kesucian bathin,
memperoleh Ilmu Laduni sehingga tersingkap tabir rahasia yang
ghaib-ghaib baginya.31
Maqamat, yaitu jalan yang ditempuh oleh para murid
melalui tahapan-tahapan berikut : al-Taubah, al-Zuhd, al-Wara,
al-Faqr, al-Shabr, Al-Tawakal dan al-Ridha.32

30 Syihab al-Din Abu Hafs Umar al-Suhrawardi, P. 81


31 Ibid, P. 7
32 Harun Nasution Op.Cit , P. 62-63 mengakomodasi beberapa pendapat

tokoh tentang Maqamat, seperti Abu Bakar al-Kalabadzi dalam kitabnya al-
Ta’arruf li madzhab Ahl al-Tasawuf menyebutkan urutan maqamat; al-Taubah, al-
Zuhd, al-Shabr, al-Faqr, al-Tawadhu, al-Taqwa, al-Tawakal, al-Ridha, al-
Mahabbah, al-Ma’rifah. Abu Nasar al-Sarraj al-Tusi dalam kitab “ al-Luma’ “, al-
Al-Ahwal, yaitu situasi kejiwaan yang diperoleh seseorang
sebagai karunia Allah, bukan hasil usaha. Hal-hal yang
terpenting dan populer, yaitu al-Muraqabah, al-Khauf ,al-
Raja’,al-Syauq, al-Thuma’ninah, al-Musyahadah dan al-Yaqin33
D. Kehidupan Modern (Masyarakat dan Modernisme)
Modernisme yang diawali oleh Descartes dan Newton
melahirkan pandangan hidup Mekanistik dan Atomik, ini
tergambar dengan kemajuan teknologi dan pesatnya
Industrialisasi. Modernisme di satu sisi melahirkan perombakan
pola kognitif manusia. Mekanisme kehidupan masyarakat
berubah manuju orientasi materi. Sehingga definisi Sukses selalu
identik dengan penampilan fisik lahiriah di bidang materi. 34
Sehingga memperlebar jurang pemisah antara golongan kaya dan
miskin. masyarakat maju dan keterbelakang, menajamkan
ketegangan akan relevansi nilai lama untuk keadaan kehidupan
modern.35

Taubah, al-Wara’, al-Zuhd, al-Faqr, al-Shabr, al-Tawakal, al-Ridha. Abu Hamid al-
Ghazaly dalm Ihya’Ulum al-Din, al-Taubah, al-Shabr, al-Faqr, al-Zuhd, al-
Tawakal, al-Mahabbah, al-Ma’nifah, al-Ridha. Abu al-Qasim Abd al-Karim al-
Qusyairy, al-Taubah, al-Wara’, al-Zuhd, al-Tawakal, al-Shabr, al-Ridha di dalam
kitabnya “al-Risalah al-Qusyairiyah”.Farid al-Din Attar dalam Mantiq al-Tayr
sebagaimana dikutip oleh Said Agil Husin al-Munawwar, menyebutkan dengan
tujuh lembah (maqam), yaitu Thalab, Isyq, Ma’rifah, Istiqhra, Tauhid, Hayat, Faqr,
dan Fana’
33 IAIN Sumatera Utara, OP. CIT,P. 149-154.
34 Ahmad Najib Burhani, Sufisme kota (berpikir jernih menemukan

spiritualisasi positif), Serambi, Jakarta, Th.2001, P. 177.


35 Johan Meuleman, Sikap Islam terhadap Perkembangan Kontemporer,

ed.al. Mukti ali, Agama Dalam pergumulan Masyarakat Kontemporer¸Tiara


wacana, Yogya, Th.1998, P. 19.
Kamaruddin Hidayat menyebutkan bahwa ciri
masyarakat modern yang paling menonjol adalah sikap agresif
terhadap kamajuan. Di dorong oleh berbagai prestasi yang
dicapai di bidang IPTEK, masyarakat modern berusaha
mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk
pada atau di tundukkan oleh kedigdayaan IPTEK yang porosnya
rasionalisme. Realitas dengan alam raya yang oleh dokrin-dokrin
agama selalu di kaitkan dengan selubung metafisika dan
kebesaran sang pencipta, hanya di fahami sebagai benda-benda
otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan.36
Selanjutnya Kamaruddin Hidayat juga menyatakan
bahwa masyarakat modern sudah mulai memisahkan dunia
materi dan non materi sehingga masyarakat modern merasa
semakin otonom dan merasa yakin untuk mengucapkan selamat
tinggal kepada tuhan. Wal hasil bersamaan dengan di
tempatkannya manusia sebagai “Pusat Dunia” dan ukuran
keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas,
maka agama yang mendengungkan ajaran-ajaran irasional
dengan sendirinya di pandang sebagai sisa-sisa dari primitive
culture (budaya primitif).37
Sementara itu Deliar Noer, menyebutkan bahwa ciri-ciri
Modern, sebagai berikut:

36 Komaruddin Hidayat, Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern, ed,


al. Nurcholish Madjid, Kehampaan spiritual Masyarakat Modern, respon dan
transformasi nilai-nilai islam menuju masyarakat modern, Media cita, Jakarta,
Th.2000, P. 97.
37 Ibid
1. Bersifat Rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal
fikiran daripada emosi.
2. Berfikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya yang
bersifat sesaat saja.
3. Menghargai waktu, karena waktu adalah suatu yang berharga
4. Bersikap terbuka, yakni siap menerima saran dan kritik dari
manapun datangnya.
5. Berfikir objektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut
fungsi dan kegunaannya38
Dr. Donald F. Klein, seorang ahli psikologi Internasional,
sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rahmat, melukiskan
bahwa manusia pada era informasi sebagai manusia yang serba
ingin tahu, mampu menjelaskan, imajinatif dan menggunakan
pendekatan pemecahan masalah dalam kehidupan 39 Penggunaan
IPTEK modern masih lebih banyak dikendalikan oleh orang-
orang yang secara moral kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Sikap hidup materialistik, hedonistik, totaliteristik, hanya
percaya pada rumus-rumus pengetahuan empiris saja, serta
paham hidup positivistis yang bertumpu pada kemampuan akal
nampak lebih menguasai para pemegang IPTEK. Di tangan
mereka yang berjiwa dan bermental yang demikian, IPTEK
Modern memang sangat mengkhawatirkan. Mereka menjadi
penyebab kerusakan di daratan dan di lautan, sebagaimana yang
diisyaratkan al-Quran S. al-Rum: 41.
38Deliar Noer, Pembangunan di Indonesia, Mutiara, Jakarta, Th. 1987, p.
39 Jalaluddin Rahmat, Islam Menyongsong Peradaban Dunia Ketiga,
Dalam Ulum al-Quran II, Vol. II, Th. 1989, p. 46
Dari sikap mental yang demikian kehadiran IPTEK telah
melahirkan sejumlah problematika masyarakat modern, sebagai
berikut:
1. Desintegrasi Ilmu Pengetahuan, Kehidupan modern juga
ditandai dengan spesialisasi di bidang ilmu pengetahuan.
masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigmanya
sendiri-sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Kepribadian yang terpecah (Split Personality), Karena
kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan
yang coraknya kering nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak,
maka manusia menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan
manusia modern diatur menurut rumus ilmu-ilmu eksak dan
kering, akibatnya kini telah terjadi proses hilangnya kekayaan
rohaniah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif
(ilmu yang hanya mengandalkan fakta-fakta empirik, objektif,
rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial.
3. Penyalahgunaan IPTEK, Sebagai akibat dari terlepasnya
IPTEK dari ikatan spiritual, maka terjadi penyalahgunaan
dengan segala implikasi negatifnya, seperti: Kemampuan
membuat senjata diarahkan untuk penjajahan dan penindasan
bangsa lain, subversi dsb. Kemampuan di bidang rekayasa
genetika diarahkan untuk jual-beli manusia, kecanggihan di
bidang teknologi komunikasi dan lainnya telah digunakan
untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat
manusia, dsb.
4. Kedangkalan Iman, Sebagai akibat lain dari pola pikiran
keilmuan tersebut di atas, khususnya ilmu-ilmu yang hanya
mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan
kedangkalan iman.
5. Pola hubungan materialistik, Semangat persaudaraan dan rasa
saling tolong yang dulu didasarkan pada iman sudah tidak
tampak, sehingga pola hubungan ditentukan oleh seberapa
jauh seseorang dapat memberikan keuntungan yang bersifat
material.
6. Menghalalkan segala cara, Sebagai akibat lebih jauh dari
kedangkalan iman dan pola hidup materialistik, manusia
dengan mudah akan menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Akibat yang muncul kemudian adalah kerusakan
akhlak di dalam segala bidang.
7. Stres dan Frustasi, Kehidupan modern yang begitu kompetitif
menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh fikiran,
tenaga dan kemampuan, yang berakibat jika menghadapi
problema yang tak terpecahkan stres dan frustasi mudah
merasuki. Jika hal ini terus berlanjut akan menjadikannya gila.
Jumlah yang semacam ini kian bertambah jumlahnya.
8. Kehilangan Harga Diri dan Masa Depan, Terdapat sejumlah
orang yang terjerumus atau salah memilih jalan hidup. Saat di
masa muda dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan
segala daya serta cara ditempuh. Namun di saat fisik dan
mental tidak memerlukannya lagi dan Fasilitas serta
kemewahan tak berguna lagi, di saat inilah manusia sering
merasa kehilangan harga diri dan masa depannya, mereka
memerlukan bantuan dari luar dirinya, yaitu bantuan Tuhan. 40
Jika terhadap argumentasi yang menuduh modernisme
sebagai biang keladi dari krisis dan kegersangan spiritual, itu ada
benarnya. Maka otomatis tak dapat di pungkiri bahwa
masyarakat perkotaanlah yang berada di barisan terdepan
mendapat imbas dan akses modernisme, setidaknya sinyalemen
itu bisa diperkuat dengan beberapa indikator. Modernisme
dengan etos materialisme sudah menjadi “Weltanschauung”
masyarakat kota selama beberapa dekade.
Atha’ Muzhar, menyatakan bahwa masyarakat modern
ditandai oleh lima hal, yakni:
1) Berkembangnya mass culture karena pengaruh kemajuan
mass media, karena itu kultur tdak lagi bersifat lokal.
2) Tumbuhnya sikap-sikap yang lebih mengakui kebebasan
manusia bertindak dengan anggapan bahwa alam dapat
ditaklukkan, manusia lebih leluasa jika ia berkuasa
3) Tumbuhnya berfikir rasional
4) Tumbuhnya sikap hidup materialistik
5) Meningkatnya laju urbanisasi.41
Masyarakat modern cenderung menjadi sekuler, di mana
hubungan antar anggota masyarakat sudah berdasarkan
fungsional pragmatis, merasa bebas dan lepas dari kontrol
agama. Dengan demikian mereka akan kehilangan visi ilahiyah
yang berdampak psikologis Kehampaan spiritual.

40 Abuddin Nata, Op.cit , p.289-292.


41 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, OpCit. P.179.
Cara pandang yang terfokus pada falsafah materi
membuat manusia kehilangan orientasi dan makna hidup
sehingga menciptakan kegersangan rohaniah, akibatnya ada
harga yang harus dibayar lebih mahal dari sekedar keuntungan
materi, yaitu apa yang disebut oleh Majid Tehraniah sebagai
“Tirani Kognitif” atau “Kerancuan Kognitif” – Peter L. Berger
atau “Kepanikan Epistemologi” – Nurcholish Madjid. 42

42 Ahmad Najib Burhani, Op. Cit, P. 4.

Anda mungkin juga menyukai