Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“UJI ANALGESIK AKIBAT KIMIA DENGAN METODE GELIAT”

DOSEN :

Ainun Wulandari, M.Sc., Apt

Disusun Oleh :

RENO GALATIANO
20334023

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
APRIL 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Analgesik adalah obat yang dapat menghilangkan rasa sakit atau nyeri. Nyeri ialah
kondisi subyektif yang disebabkan dengan adanya persepsi terhadap suatu impuls. Rasa
nyeri merupakan suatu fenomena komplek yang melibatkan aktivitas neuron dan respon
penderita terhadap aktivitas saraf tersebut. Stimulus nyeri terdiri atas stimulus termis,
stimulus fisis, stimulus mekanis, stimulus kimiawi dan senyawa kimia endogen.
Asam asetat glasial merupakan penginduksi nyeri kimia yang biasanya digunakan
untuk menstimulasi rasa sakit pada peritoneum mencit, dengan terjadi respon berupa geliat
atau writhing reflex. Selain itu bisa digunakan fenilkinon yang akan diberikan secara
intraperitoneum. Parietal peritonium sangat sensitif terhadap stimulasi fisik dan kimia
walaupun tidak terjadi inflamasi. Keberadaan cairan dalam peritonium dapat menstimulasi
rasa sakit.
Aspirin, antalgin, asam mefenamat, dan obat lain golongan analgesik dapat
memberikan efek berupa menghilangkan rasa sakit karena dapat menghambat sintesis
prostaglandin dengan cara hambatan pada enzim siklooksigenase. Efek anakgesik yang
ditimbulkan oleh golongan obat ini bersifat mekanik, fisik atau kimiawi. Prostaglandin
adalah mediator nyeri perifer. Injeksi PGE2 dan PGI2 secara intradermal dalam waktu
singkat menyebabkan respon radang berupa eritema, vasodilatasi, edema dan hiperalgesia.
Respon dapat berlangsung hampir 10 jam.
Reflek geliat merupakan reflek nyeri pada mencit akibat terjadi substansi
penginduksi nyeri. Biasanya mencit mulai merasakan nyeri dalam waktu kurang lebih
selama 5 menit setelah dilakukan pemberian penginduksi nyeri. Hewan percobaan akan
berdiam di suatu tempat, biasanya di sudut ruangan, badannya ditekuk, bulunya berdiri
dan ekornya diangkat ke atas. Setelah beberapa saat, hewan uji akan bergerak perlahan,
dan mulai menarik satu atau kedua kaki belakangnya dengan badan yang direntangkan
dan perutnya ditekan hingga menyentuh dasar. Gerakan ini seringkali disertai dengan
gerakan kepala yang menoleh ke belakang sehingga tampak seolah-olah hewan ujitersebut
menggeliat. Reflek ini terjadi selama waktu aktivasi durasi kerja penginduksi. Refleks
geliat ini selanjutnya digunakan sebagai parameter uji pada metode ini.

1.2. Tujuan Percobaan


1. Mahasiswa dapat mengamati respon geliat pada mencit akibat induksi kimia
2. Mahasiswa dapat mengetahui waktu mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat
(duration of action) dan pada saat obat telah mencapai efek yang maksimum

1.3. Prinsip Percobaa


Pada percobaan ini, jika semakin tinggi kemampuan analgetik suatu obat maka semakin
berkurang jumlah geliatan yang dihasilkan oleh induki menggunakan asam asetat glasial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Nyeri merupakan sebuah rasa tidak nyaman yang dapat timbul dengan berbagai faktor
penyebabnya, maka dari itu nyeri bukanlah sebuah penyakit melainkan salah satu gejala penyakit
yang seringkali timbul menjadi pertanda awal dari timbulnya sebuah penyakit atau menandakan
telah terjadi cedera pada tubuh. Obat analgesik merupakan obat yang dapat mengurangi ataupun
menghilangkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Analgesik nonnarkotik ataupun
narkotik diresepkan untuk meredakan nyeri. Analgesik nonnarkotik digunakan untuk mengatasi
nyeri ringan hingga sedang seperti nyeri sendi dan otot rangka, sedangkan analgesic golongan
narkotika digunakan untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat, seperti nyeri otot polos, nyeri
tulang. Untuk pengujian aktivitas analgesic dilakukan dengan cara memberikan penilaian pada
kemampuan obat analgesic sebagai sampel yang diberikan kepada hewan percobaan untuk
menekan ataupun menghilangkan rasa nyeri yang telah diindukasi pada hewan percobaan,
biasanya pada hewan obat golongan analgesik dilakukan penilaian daya kerja dengan melakukan
pengukuran terhadap peningkatan stimulasi nyeri yang diberikan sampai terlihat ada respon dari
hewan uji akibat timbulnya rasa nyeri
2.1. Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf merupakan kumpulan miliaran sel serta jaringan ikat yang ada ditubuh manusia.
Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian utama yaitu, system saraf tepi yang menjadi bagian
luar dan sistem saraf pusat yang merupakan bagian sentral terdiri atas otak dan sumsum tulang
belakang. Sistem saraf pusat menjadi pusat kontrol bagi seluruh system serta pusat integrase
tubuh dengan mekanisme kerja, semua sensasi yang dirasakan oleh tubuh dan perubahan
lingkungan eksternal yang berasal dari reseptor ataupun organ perasa kepada system saraf
pusat untuk ditafsirkan kemudian memberikan respon atau tindakan untuk hal asing itu.
Fungsi Utama Sistem Saraf Pusat
1. Sumsum tulang belakang yang akan memproses reflek kemudian mengirimkan
implus saraf menuju dan dari otak.
2. Batang otak yang akan menerima input sensorik serta dan output motorik, serta
batang otak juga akan mengontrol proses kelangsungan hidup manusia.
3. Otak besar yang akan berfungsi untuk mengontrol pergerakan yang dilakukan oleh
tubuh bagian sebelah kiri (otak kiri) dan juga mengontrol semua pergerakan yang
dilakukan oleh tubuh bagian sebelah kanan (otak kanan).
2.2. Klasifikasi Nyeri
1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang timbul dengan stimulasi singkat, tidak
menimbulkan kerusakan jaringan. Nyeri ini biasanya muncul karena adanya stimulus
cukup kuat yang akan menyebabkan kesadaran adanya stimulus berbahaya.
Contoh : nyeri pasca oprasi, nyeri akibat tusukan jarum
2. Nyeri Inflamatorik
Nyeri inflamatorik merupakan nyeri yang timbul dengan stimulasi kuat serta
berkepanjangan yang nyebebabkan terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Contoh : nyeri pada rheumatoid artritis
3. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan nyeri yang timbul akibat adanya kerusakan sistem saraf
perifer maupun sentral.
4. Nyeri Fungsional
Nyeri fungsional merupakan nyeri yang timbul karena adanya respon abnormal dari sistem
saraf terutama hipersesitifitas apparatus sensorik
Pada nyeri nosiseptif dan nyeri inflamatorik merupakan upaya tubuh untuk melindungi atau
memperbaiki diri Dri kerusakan yang terjadi (nyeri adiktif).
2.3. Mekanisme Nyeri
1. Nyeri Inflamasi
Nyeri inflamasi jaringan dapat disebabkan oleh stimulus. Jaringan yang mengalami nyeri
inflamasi akan mengeluarkan berbagai mediator inflamasi (prostaglandin, bradykinin, dan
lainnya). Selanjutnya mediator inflamasi yang akan mengaktivasi atau mensensitisasi
nosiseptor secara langsung ataupun tidak, yang akan menimbulkan rasa nyeri. Pada
sensitisasi nosiseptor akan menyebabkan respon berlebihan terhadap stimulus yang akan
menimbulkan rasa nyeri.
2. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik merupakan nyeri kronik yang timbul akibat adannya kerusakan pada saraf
somatosensorik di bagian sentral ataupun prifer.
2.4. Obat Analgesik Nonnarkotik
Analgesik nonarkotik tidak bersifat adiktif, biasa disebut juga dengan analgesik perifer karena
mekanisme kerjanya merintangi terbentuknya rangsangan pada reseptor nyeri perifer.
Analgesik nonnarkotik digunakan untuk meredakan maupun menghilangkan nyeri ringan
hingga sedang, obat ini dapat dibeli bebas diapotek tanpa resep dokter. Obat analgesik
nonnarkotik efektif untuk mengatasi nyeri akibat sakit kepala, nyeri haid, nyeri pada inflamasi,
dan lainnya. Contoh obat golonga analgesic nonarkotik yaitu aspirin (salsilat), diflunsial,
asetaminofen (Para-aminofenol), asam mefenamat, fenilbutazon
2.5. Obat Analgesik Narkotik
Analgesik narkotik merupakan obat yang memiliki daya kerja meniri opioid endogen dengan
cara memperpanjang aktivitas dari reseptor opioid. Analgesik narkotika memiliki kerja utama
pada reseptor opioid yang terletak di sistem saraf pusat, digunakan hingga mengurangi
persepsi nyeri dan respon emosional terhadap nyeri pada tubuh. Obat golongan ini tidak hanya
menekan rangsangan nyeri tetapi juga menekan pernapasan dan batuk dengan bekerja pada
pusat pernapasan dan batuk pada medulla di batang otak.
Efek faali bersifat:
1. Analgesia rangsang listrik pada bagian tertentu pada otak seperti terjadinya kenaikan kadar
endorphin, contohnya pada akupuntur cedera hebat, plasebo.
2. Efek endokrin dapat menstimulasi pelepasan kortikotropin, somatotropin, prolactin, serta
menghambat terjadinya pelepasan LH dan FSH.
3. Pada hewan (β-endorphin) akan menekan pernapasan lalu menurunkan suhu tubuh hewan
dan akan menimbulkan adiktif.
Contoh obat golongan analgesic narkotik: morfin, codein, hidromorfon, oksikodon,
leforfanol, meperidine, propoksifen, metadon.
2.6. Metode Uji Geliat
Sampel obat diuji efektivitasnya dalam menekan ataupun menghilangkan rasa nyeri pada
hewan coba yang telah diindukasi dengan pemberian asam asetat intraperitonial. Dengan
pemberian perangsang rasa nyeri pada hewan uji akan menimbulkan respon geliat atau
writhing refleks. Respon geliat dapat dilihat dengan penarikan kaki hewan uji coba ke arah
belakang, kemudian dilakukan penarikan kembali abdomen serta kejang tetani dengan cara
membengkokan kaki belakang dan kepala hewan percobaan. Metode ini akan menyatakan
derajat nyeri yang dirasakan oleh hewan percobaan tersebut.
BAB III
ALAT, BAHAN, DAN METODE

3.1. Alat
 Spuit injeksi 1 ml
 Jarum sonde oral
 Timbangan hewan
 Bejana untuk pengamatan
 Stop watch
3.2. Bahan
 Hewan
Mencit putih, jantan (jumlah 9 ekor), bobot tubuh 20-30 g
 Obat
1. Larutan asam asetat glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP
2. CMC Na 1% secara PO
3. Asam mefenamat 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO
4. Parasetamol 500 mg/ 70 kg BB manusia secara PO

3.3. Metode Kerja


1. Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-masing
mencit selama 10 menit.
2. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 3
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2):
Kelompok I : CMC Na 1% secara PO
Kelompok II : asam mefenamat 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
Kelompok III : parasetamol 500 mg/ 70 kgBB manusia secara PO
3. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
4. Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu pemberiannya.
5. Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asam asetat glasial
3% sebanyak 0,5 ml secara IP.
6. Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
7. Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muqsith . 2015. Lentera : Uji Daya Analhetik Infusa Daun Kelor (Moringae
folium)Pada Mencit (Mus musculus) Betina
Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep & Proses Keperawatan Nyeri. Ar-Ruzz Media.
Yogyakarta
Chalik, Raimundus. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Kementerian Kesehatan Indonesia.
Jakarta
Indijah, Sujati W., Fajri, Purnama. 2016. Farmakologi. Kementerian Kesehatan
Indonesia,Jakarta.
Suwando, Bambang S., dkk. 2017. Buku Ajar Nyeri. Pengumpul Nyeri Indonesia.
Yogyakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“PENGARUH OBAT KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK TERHADAP


KELENJAR SALIVA DAN MATA”

DOSEN :

Ainun Wulandari, M.Sc., Apt

Disusun Oleh :

RENO GALATIANO
20334023

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
APRIL 2022
BAB I
PENDAHULUAN

Sistem saraf otonom adalah sistem saraf eferen yang merupakan saraf dari organ- organ
dalam, misalnya pada otot polos, otot jantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan fungsi kontrol yaitu
kontrol tekanan darah, control motilitas gastrointestinal, kontrol sekresi gastrointestinal, kontrol pada
pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, control suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik
utama pada SSO yaitu, kemampuannya dalam memengaruhi sangat cepat, misalnya dalam beberapa detik denyut
jantung dapat meningkat hampir dua kali dari semula, dengan tekanan darah dalambelasan detik, berkeringat yang
dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, dan pada pengosongan kandung kemih. Sifat ini yang
menjadikan SSO dianggap tepat untuk melakukan kontrol terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap
homeostasisdapat memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan begitu, SSO merupakankomponen dari
refleks visceral.
Obat otonom ialah obat yang bekerja di berbagai bagaian susunan saraf otonom, seperti sel
saraf sampai sel efektor. Obat otonom mempengaruhinya secara spesifik serta bekerja pada dosis kecil. Obat
otonom bekerja dalam mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan cara mengganggu
sintesa, penimbunan, pembebasanatau penguraian neurohormon tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik.
Kolenergika (parasimpatomimetik) merupakan sekelompok zat yang dapatmenimbulkan
efek yang sama dengan stimulasi saraf parasimpatis, karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) di ujung-
ujung neuronnya. Tugas utama saraf parasimpatis yaitu untuk mengumpulkan energi dari makanan dan
menghambat penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi.

1.1. Tujuan Percobaan


1. Mahasiswa dapat menghayati secara lebih baik pengaruh berbegai obat system saraf
otonom dalam pengendalian fungsi vegetative tubuh.
2. Mahasiswa dapat mengenal teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat kolinergeik atau
antikolinergik pada neuroefektor parasimpatis.

1.2. Prinsip Percobaa


Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi
yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf otonom terdiri dari 2 subsistem yaitu, sistem saraf simpatis serta sistem saraf
parasimpatis yang kerjanya saling berlawanan. Sistem saraf simpatis dimulai dari medulla spinalissegmen
torakolumbal. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis selalu diatur oleh tonus simpatis atau parasimpatis
untuk mengaktifkannya. Refleks otonom merupakan refleks yang berfungsi untuk mengatur orgal
visceral meliputi refleks otonom kardiovaskular, refleks otonomgastrointestinal, refleks seksual, refleks
otonom lainnya yang meliputi refleks untuk membantu pengaturan sekresi kelenjar pankreas,
pengosongan kandung empedu, ekskresi urin pada ginjal, berkeringat, konsentrasi glukosa darah dan
sebagian besar fungsi viseral lainnya. Sistem parasimpatis yang memiliki respon setempat yang spesifik,
berbeda dari respon yang umum dari sistem simpatis terhadap pelepasan impuls yang terjadi secara masal,
Sistem parasimpatis memiliki fungsi pengaturan jauh lebih spesifik.

2.1. Golongan khasiat obat pada sistem saraf otonom:

1. Obat yang mempengaruhi sistem saraf simpatik:


a. Simpatomimetik atau adrenergik, ialah obat yang menirukan efek perangsangan dari
saraf simpatik (oleh noradrenalin).
Contohnya seperti efedrin, isoprenalin, dan lainnya
b. Simpatolitik atau adrenolitik merupakan obat yang menirukan efek apabila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik.
misalnya seperti alkaloida sekale, propanolol, dan lainnya.
2. Obat yang berpengaruh pada sistem saraf parasimpatik:
a. Parasimpatomimetik (kolinergik) ialah obat yang meniru perangsangan dari saraf
parasimpatik oleh asetilkolin.
Contohnya seperti pilokarpin dan phisostigmin.
b. Parasimpatolitik (antikolinergik) merupakan obat yang menirukan apabila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek kolinergik.
Contohnya seperti alkaloida belladonna
2.2. Kerja obat kolinergik

1. Obat kolinergik yang bekerja langsung

Obat golongan agonis kolinergik kerja langsung ialah pilokarpin yang bekerja pada
reseptor muskarinik M3. Pilokarpin digunakan sebagai penurun tekanan intraokular pada
penyakit glaukoma dengan cara meningkatkan aliran humor akuos melalui anyaman
trabekula. Efek puncak pilokarpin terjadi antara 30 sampai 60 menit dan berlangsung
selama 4 sampai 8 jam. Memiliki efek samping pada mata seperti lakrimasi, miopia dan
miosis dan efek sistemik seperti bradikaria, hipotensi, mual, muntah dan sakit kepala.

2. Obat kolinergik kerja tidak langsung

Obat golongan agonis kolinergik bekerja secara tidak langsung, dengan cara menghambat
kerja enzim asetilkolinesterase dan meningkatkan efek kerja asetilkolin pada reseptor
kolinergik. contohnya edrofonium.

2.3. Efek utama kolinergik faal:

1. Stimulasi pencernaan dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan
getah lambung (HCl).
2. Sekresi air mata.
3. Memperkuat sirkulasi, dengan cara mengurangi kegiatan jantung, vasodilatasi, dan
penurunan tekanan darah.
4. Memperlambat pernafasan, dengan cara menciutkan bronchi, dan sekresi dahak diperbesar.
5. Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) serta terjadi penurunan
tekanan intraokuler yang disebabkan lancarnya pengeluaran air mata.
6. Kontraksi kantung kemih dan ureter dengan memiliki efek untuk memperlancar
pengeluaran urin.
7. Dilatasi pembuluh serta terjadi kotraksi otot kerangka, menekan SSP setelah pada
permulaan menstimulasinya, dan lainnya.

2.4. Reseptor berdasarkan efek rangsangnya

1. Reseptor Muskarinik
Reseptor muskarinik mengikat pada asetilkolin dan muskarin, ialah suatu alkaloid yang
dikandung oleh jamur beracun tertentu. Reseptor muskarinik menunjukkan afinitas lemah
terhadap nikotin. Subkelas reseptor muskarinik yaitu M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor
muskarinik terdapat di dalam ganglia sistem saraf tepi dan juga organ efektor otonom
(jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin). Semua subtipe reseptor terdapat di M1,
tapi reseptor M1 ditemukan juga di dalam sel parietal lambung. Reseptor M2 terletak di
dalam otot polos dan jantung. Pada reseptor M3 terletak di dalam kelenjar eksokrin dan
juga otot polos. Obat-obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor
muskarinik dalam jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor
nikotinik.
2. Reseptor Nikotinik
Reseptor nikotinik mengikat asetilkolin dan mengenali nikotin, namun afinitas lemah
terhadap muskarin. Pada tahap awal, nikotin memang memacu reseptor nikotinik, namun
selanjutnya akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik berada di dalam sistem
saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular. Obat yang
bekerja nikotinik akan memacu reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tersebut.
Reseptor nikotinik pada ganglia otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada
sambungan neuromuskulular. Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat
oleh heksametonium, sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik
dihambat oleh turbokurarin.
Saliva merupakan cairan sekresi eksokrin di dalam mulut yang berhubungandengan
mukosa dan gigi, berasal dari 3 pasang kelenjar mayor dan kelenjar minor pada mukosa
oral. Saliva terbagi dalam dua jenis, yaitu saliva glandular yang berasal dari kelenjar saliva
dan whole saliva (campuran dari cairan berasal dari kelenjar saliva dan sulkus gingival).
Saliva terdiri dari air sebesar 99% dan juga terdapat bahan padat yang sebagian besar
adalah protein dan elektrolit (natrium, kalium, klorida, bikarbonat, kalsium fosfat,
magnesium) sebesar 1%. Sekresi kelenjar saliva dikontrol oleh sistem saraf otonom
parasimpatik dan simpatik melalui refleks saliva

2.5. Mekanisme sekresi saliva

Komponen dari kelenjar saliva akan mensekresikan saliva ke rongga mulut melalui duktus
(salivon). Proses sekresi saliva memiliki dua tahap yaitu, tahap seleksi saliva primer dan
sekunder. Pada tahap primer diproduksi oleh sel acinar yang bersifat isotonik terhadap plasma
yang sangat perneabel pada air dan juga subtansil yang larut lemak, tapi tidak perneabel ion.
Prinsip umum dari pembentukan saliva primer yaitu pelepasan Kl ke interstitium dan Cl- ke
lumen pada sel acinar. Proses keluarnya sativa melalui stimulus yang mengaktivasi refleks
sekresi saliva. Reseptor yang diaktivasi pada saat mengunyah makanan adalah reseptor
gustatory (saliva refleks rasa asam, asin, manis, pahit), mekanoreseptor, nociceptor, alfactory.
Rasa asam dan manis adalah stimulus terkuat dalam memicu sekresi saliva.

Efek obat antikolinergik pada sekresi saliva ialah mulut kering merupakan gejala yang paling
sering terjadi, parkinson atau ulkus peptikum, sekresi lambung diblokade dengan kurang efektif.
BAB III

ALAT, BAHAN, DAN METODE

3.1. Alat

 Spuit injeksi 1 ml
 Timbangan hewan
 Corong gelas
 Beaker glass
 Gelas ukur

3.2. Bahan

 Hewan
Kelinci (jumlah 1 ekor), bobot tubuh ±1,5 kg
 Obat
1. Fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV
2. Pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM
3. Atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV

3.3. Metode Kerja

1. Siapkan kelinci.
2. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk kelinci.
3. Sedasikan kelinci dengan fenobarbital 100 mg/ 70 kgBB manusia secara IV.
4. Suntikkan kelinci dengan pilokarpin HCl 5 mg/kg BB kelinci secara IM.
5. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat pilokarpin HCl dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.
6. Setelah lima menit, suntikkan atropin SO4 0,25 mg/ kgBB kelinci secara IV.
7. Catat waktu saat muncul efek salivasi akibat atropine SO4 dan tampung saliva yang
diekskresikan kelinci ke dalam beaker glass selama lima menit. Ukur volume saliva
yang ditampung.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Iwan D., dkk. 2009. Jurnal Anestesiologi Indonesia : Neurotransmitter Dalam Fisiologi
Saraf Otonom. Vol 1, No 1.

Kusuma, Nila. 2015. Fisiologi dan Patologi Saliva. Andalas University Press, Padang.

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.

Staf pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2009.


Kumpulan Kuliah Farmakologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Sunaryo, Hadi., dkk. 2020. Buku Ajar Farmakologi Sistem Saraf. UHAMKA press, Jakarta.

Tim Dosen Institut Sains dan Teknologi Nasional. 2018. Petunjuk dan Pengantar Praktikum
Farmakologi. Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai