Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Kepanitraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada :

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD


Disusun Oleh :

Adam Izza Fahrian

20150310190

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

LEPTOSPIROSIS DAN DEMAM TIFOID

Telah dipresentasikan pada tanggal :

26 Juli 2019

Oleh : Adam Izza Fahrian

20150310190

Disetujui Oleh :

Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo

dr. Widhi Prassiddha Sunu, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas


segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas presentasi kasus sebagai sebagian syarat kepaniteraan klinik program pendidikan
profesi di bagian Ilmu Penyakit Dalam dengan judul :

HIPERTENSI DAN DIABETES MELLITUS

Tugas ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. Widhi, Sp.PD selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis Penyakit Dalam
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
2. dr. H. Suprapto, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
3. dr. Hj. Arlyn Yuanita, Sp.PD selaku dokter spesialis Penyakit Dalam RSUD KRT
Setjonegoro Wonosobo
4. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah
membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam menyusun tugas ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan penyusunan
tugas ini dimasa yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Wonosobo, 25 Juli 2019

3
Penulis

4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................2
KATA PENGANTAR.......................................................................................................3
DAFTAR ISI.....................................................................................................................4
BAB I.................................................................................................................................5
A. Identitas Pasien 5
B. Anamnesis 5
C. Pemeriksaan Fisik 6
D. Pemeriksaan Penunjang 8
E. Diagnosis Kerja 12
F. Penatalaksanaan 12
G. Perkembangan Rawat Inap 12
BAB II.............................................................................................................................15
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................15
A. Diabetes Mellitus 11
B. Hipertensi 26
BAB III............................................................................................................................48
PEMBAHASAN..............................................................................................................48
KESIMPULAN...............................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................49

5
BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
No CM : 768028
Nama : Tn. M
Tanggal Lahir : 14 Oktober 1958
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Kebrengan rt 1, rw 2 Mojo tengah Wonosobo
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Bangsal : Cempaka kamar 6C
Tanggal Masuk : 6 Juli 2019 jam 14.45 WIB
Tanggal Keluar : 9 Juli 2019 jam 10.03 WIB

B. Anamnesis
Keluhan Utama : lemes, nyeri kepala, terasa mual tetapi tidak muntah, buang air
besar dan kecil baik

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas, nyeri kepala sudah 5 hari yang
lalu, pada perut terasa begah terasa mual tetapi tidak muntah, buang air besar dan
kecil baik
.

Riwayat Penyakit Dahulu

6
 Pasien mengaku mempunyai riwayat penyakit hipertensi dan diabetes
mellitus
Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluarga memiliki penyakit serupa dengan pasien.
 Tidak ada anggota keluarga yang sedang sakit serupa dengan pasien

Riwayat Personal Sosial


 Riwayat merokok (+)
 Riwayat alkohol (+)
 Pola makan pasien : pasien makan 3x sehari, jika sedang kerja sering
membeli makanan di warung
 Keseharian pasien berada di ladang pertanian
 Tidak adanya alergi
Review Anamnesis Sistem
 Sistem Cerebrospinal : Demam (-), Nyeri kepala (+)
 Sistem Cardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar (+)
 Sistem Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-)
 Sistem Gastrointestinal : mual(+), muntah(-), BAB dan BAK baik
 Sistem Urogenital : tidak ada kelainan
 Sistem Integumentum : tidak ada kelainan
 Sistem Muskuloskeletal : kedua kaki terasa lemas dan susah digerakkan

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
a. Nadi : 92 x / menit
b. Suhu : 36,5oC
c. RR : 20 x / menit
d. TD : 150/83 mmHg
e. SpO2 : 96%
Status Generalisata

7
a. Kepala
1) Bentuk : mesocephal, dalam batas normal
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
3) Hidung : bentuk normal, tidak ada kelainan
4) Telinga : bentuk normal, tida ada kelainan
5) Mulut : lidah kotor (-), bibir kering (-)
b. Leher : JVP tidak meningkat, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening
c. Thorax dan Pulmo
1) Inspeksi : dada simetris, tidak ada massa, tidak ada perubaha
warna
2) Palpasi : nyeri tekan (-)
3) Perkusi : sonor
4) Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
d. Cor
1) Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : ictus cordis teraba
3) Perkusi : batas jantung di SIC 5
4) Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 regular,murni, gallop (-),
bising (-)
e. Abdomen
1) Inspeksi : supel
2) Auskultasi : Bising Usus (+)
3) Palpasi : Defense muscular (-), nyeri tekan epigastrik (+),
4) Perkusi : Timpani
f. Ekstremitas : akral teraba hangat, capilary refill test dibawah 2
detik, kulit tidak ada sianosis, tidak tampak adanya oedem

D. Pemeriksaan Penunjang

6 Juli 2019 Darah Rutin


Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hemoglobin 14,9 13.2 – 17.3 N

8
Leukosit 9,5 3.8 - 10.6 N
Eosinofil 2,4 2.00 – 4.00 N
Basofil 0.60 0 – 1.00 N
Netrofil 61,30 50.00 – 70.00 N
Limfosit 28,4 25.00 – 40.00 N
Monosit 6,80 2.00 – 8.00 N
Hematokrit 45 40 – 52 N
Eritrosit 5,4 4.40 – 5.90 N
MCV 84 80 – 100 N
MCH 28 26 – 34 N
MCHC 33 32 – 36 N
Trombosit 248 150 – 400 N
15 Juli 2018 Kimia klinik
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Gula darah sewaktu 494 70-150 HH
Ureum 39,2 <50 N
Creatinin 1,11 0,60 – 1,10 H
SGOT 9,0 0 – 50 N
SGPT 12,0 0 – 50 N
 Pemeriksaan penunjang Radiologi : -

 EKG : -

E. Diagnosis Kerja
 Hiperglikemi, hipertensi

F. Penatalaksanaan
 Infus NaCl 0,9% 12 tpm
 Inj omeprazole
 Candesartan 1x10mg
 Amlodipin 1x10 mg
 Insulin 3x8 IU

9

G. Perkembangan Rawat Inap


Hari Subjective (S) Objective (O) Assesment (A) Plan (P)

Terasa lemas,  TD : 150/80 mmHg  Hiperglikemi Terapi lanjut


sendi-sendi linu  S: 36,5 Co
 DM tipe 2
Hari ke-2 terutama pada Insulin 3 x 8 IU
 HR : 80x/menit
tangan kiri, BAB  RR: 21x/menit
7/7/19
baik, BAK baik
 Sp02 : 97
06.00 WIB  Kepala : CA (-/-)
 Leher : JVP dbn, Pemb.
KGB (-)
 Thorax : suara jantung dan
paru baik
 Abdomen : datar, supel,
nyeri tekan(-)
 Ekstremitas : akral hangat,
kaki terasa lemes dan susah
digerakkan
Edema (-)
CRT<2 detik - -

Lemas, tangan  TD : 130/70 mmHg  Leptospirosis  Banyak istirahat


kanan linu, BAB  S: 36,5 Co
 Intolreansi aktivitas
Hari ke-3
 ARF
baik, BAK baik  HR : 71x/menit  Metformin 500mg
 Hematemesis
 RR: 24x/menit 3x1
8/7/19
Melena  Meloxicam 500 2x1
 Sp02 : 96
06.00 WIB  Kepala : CA (-/-)  Trombositopenia  Alpantine 100 1x1

 Leher : JVP dbn, Pemb. berat  Curcuma 3x1


KGB (-) 
 Thorax : suara jantung dan
paru baik
 Abdomen : datar, supel,
nyeri tekan(-)
 Ekstremitas : akral hangat,
kaki terasa lemes dan susah
digerakkan
Edema (-)
CRT<2 detik - -

Hari ke-4 Sendi masih pegal-  TD : 80/70 mmHg  DM tipe 2  Tx lanjut


pegal dan lemas  S: 36,8 oC  Inf. Tutofusin : HES
9/7/19
 Intoleransi
masih sedikit  HR : 76x/menit 1:1 30 tpm
aktivitas
 RR: 20x/menit  Inj. Farsix 3x1 amp.
06.00 WIB
 Sp02 : 97  Prorenal 3x2

 Kepala : CA (+/+)  Ketosteril 3x1

10
 Leher : KGB (-)
 Thorax : suara jantung dan
paru baik
 Abdomen : datar, supel,
nyeri tekan(-)
 Ekstremitas : akral hangat,
Edema (-)
CRT<2 detik
- -

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus tipe 2

1. Definisi

Diabetes Mellitus atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis adalah

suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam

darah (hyperglikemia) sebagai akibat dari kekurangan sekresi insulin, gangguan

aktivitas insulin, atau keduanya (American Diabetes Association (ADA), 2004).

Hiperglikemia yang berlangsung lama (kronik) pada Diabetes Melitus akan

menyebabkan kerusakan gangguan jangka panjang seperti gangguan fungsi,

kegagalan berbagai organ tubuh, terutama mata, organ, ginjal, saraf, jantung dan

pembuluh darah lainnya (Suastika dkk, 2011).

Diabetes Melitus yang ditandai oleh hiperglikemia kronis akan mengalami

berbagai gejala seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak minum),

dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan. Hiperglikemia

dapat tidak terdeteksi karena penyakit DM tidak menimbulkan gejala

(asimptomatik) dan menyebabkan kerusakan vaskular sebelum penyakit ini

terdeteksi. Diabetes Melitus dalam jangka panjang dapat menimbulkan

gangguan metabolik yang menyebabkan kelainan patologis makrovaskular dan

mikrovaskular (Gibney dkk., 2008)

Walaupun DM merupakan penyakit kronik yang tidak dapat

menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila

pengelolaannya tidak tepat. Penyakit diabetes melitus memerlukan perawatan

12
medis dan penyuluhan untuk self management yang berkesinambungan untuk

mencegah komplikasi akut maupun kronis. Maka untuk menanggulangi DM,

yang diperlukan adalah penatalaksanaan yang berpedoman pada 4 pilar

pengendalian DM yang terdiri dari pengaturan makan, olahraga, kepatuhan

pengobatan, dan edukasi (Perkeni, 2015). Perawatan pada pasien DM bertujuan

untuk menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes

2. Etiologi

Menurut Wijayakusuma (2004), penyakit DM dapat disebabkan oleh

beberapa hal, yaitu :

1) Pola Makan

Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang

dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini disebabkan

jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas

maksimum untuk disekresikan.

2) Obesitas

Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai

kecenderungan lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan

orang yang tidak gemuk.

3) Faktor genetik

Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab DM dari orang tua. Biasanya,

seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang terkena

DM juga.

13
4) Bahan-bahan kimia dan obat – obatan

Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan

radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas

tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang

diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin.

5) Penyakit dan infeksi pada pankreas

Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas

sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada

pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin10

3. Klasifikasi

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 1997 dalam PORTH

(2007), mengklasifikasikan Diabetes Melitus menjadi 4 jenis, antara lain :

1) Diabetes Melitus Tipe I (IDDM / Insulin Dependent Diabetes Mellitus).

Diabetes melitus tipe I atau yang sering disebut Insulin Dependent Diabetes

Mellitus artinya adalah diabetes yang bergantung pada insulin. Diabetes

mellitus tipe ini terjadi karena rusaknya sel beta pankreas. Kerusakan

pankreas ini biasanya dapat menyebabkan defisiensi insulin yang jika

dibiarkan dapat terjadi defisiensi secara menyeluruh (ADA, 2013).

2) Diabetes Mellitus Tipe II(NIDDM / Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus).

Merupakan tipe diabetes yang tidak tergantung insulin, karena jumlah

insulin yang diproduksi sudah mencukupi. Sekitar 90-95% penderita DM

adalah Diabetes Tipe II. Pada kasus DM tipe II ini dapat bervariasi mulai

14
yang dominan resistensi insuin disertai defisiensi insulin relatif sampai

dominan defek sekresi isulin disertai resistensi insulin.

3) Diabetes Mellitus tipe lain (Others Specific Types).

Merupakan gangguan endokrin yang menimbulkan hiperglikemia akibat

peningkatan produksi glukosa hati / penurunan penggunaan glukosa oleh

sel (Porth, 2007). Menggambarkan diabetes yang dihubungkan dengan

keadaan dan sindrom tertentu (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2009).

4) Diabetes kehamilan (Gestational Diabetes).

Diabetes melitus gestasional adalah diabetes yang timbul selama

kehamilan. Jumlahnya sekitar 2-5% dari seluruh diabetes. Banyak wanita

yang mengalami diabetes melitus gestasional sembuh saat postpartum

(melahirkan), tetapi ada beberapa wanita yang tidak demikian (Suyono,

2014; ADA, 2012)

4. Patofisiologi diabetes melitus

Glukosa secara normal bersikulasi dalam jumlah tertentu dalam darah dan

sangat dibutuhkan untuk kebutuhan sel dan jaringan. Glukosa dibentuk di hati

dari makanan yang dikonsumsi(Smeltzer And Bare, 2002).

Makanan yang masuk sebagian digunakan untuk kebutuhan energi dan

sebagian lagi disimpan dalam bentuk glikogen dihati dan jaringan lainnya

dengan bantuan insulin. Insulin merupakan hormon yang diproduksi oleh sel

beta pulau langerhans, pankreas yang kemudian produksinya masuk dalam darah

dengan jumlah yang sangat sedikit kemudian meningkat jika terdapat makanan

yang masuk(Kholifah, 2018)

15
Pada orang dewasa rata-rata produksi insulin 40-50 unit, untuk

mempertahankan gula darah tetap stabil antara 70-120 mg/dl. Pada diabetes

terjadi berkurangnya tiga metabolisme yaitu menurunnya penggunaan glukosa,

meningkatnya mobilisasi lemak, dan meningkatkan penggunaan protein

(Tarwoto, 2012).

Hipoglikemia adalah kadar glukosa darah yang kurang dari 50mg/100ml

darah. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh puasa, atau khususnya puasa yang

disertai olahraga karena olahraga meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel-sel

otot rangka. Kebanyakan hipoglikemia lebih sering disebabkan kelebihan dosis

insulin pada pengidap diabetes dependen insulin (Corwin, 2009).

Karena otak membutuhkan glukosa darah sebagai sumber energi utama,

hipoglikemia menyebabkan terjadinya berbagai gejala gangguan fungsi sistem

saraf pusat (SSP) seperti konfusi, iritabilitas, kejang, dan koma. Hipoglikemia

menyebabkan sakit kepala, akibat perubahan aliran darah ke otak dan perubahan

keseimbangan air. Secara sistematis, hipoglikemia menyebabkan pengaktifan

sistem saraf simpatis yang menstimulasi rasa lapar, gelisah, keringat, dan

takikardia. Tingkat kecemasan meningkat dengan gemetar dan gelisah (Corwin,

2009).

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis Diabetes Melitus dapat di golongkan menjadi gejala akut

dan kronik (Perkeni, 2011).

1) Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus

Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lain

bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat

16
tertentu. Pemula gejala yang ditunjukkan yaitu banyak makan (polifagia),

banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuria).Keadaan tersebut,

jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak

kencing, nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat

(turun 5 – 10 kg dalam waktu 3-4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak

segera diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma

yang disebut dengan koma diabetik(Perkeni, 2011)

2) Gejala Kronik Diabetes Melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderiata diabetes melitus adalah

kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal

di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, gatal di sekitar kemaluan

terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual

menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami

keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau bayi lahir dengan

berat 4 kg (Soegondo dkk, 2004)

6. Faktor Risiko

Faktor risiko diabetes mellitus umumnya di bagi menjadi 2 golongan besar

yaitu :

1) Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

a) Umur

Manusia mengalami penurunan fisiologis setelah umur 40 tahun.

Diabetes mellitus sering muncul setelah manusia memasuki umur

rawan tersebut. Semakin bertambahnya umur, maka risiko menderita

17
diabetes mellitus akan meningkat terutama umur 45 tahun (kelompok

risiko tinggi).

b) Jenis kelamin

Distribusi penderita diabetes mellitus menurut jenis kelamin

sangat bervariasi. Di Amerika Serikat penderita DM lebih banyak

terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Namun, mekanisme yang

menghubungkan jenis kelamin dengan kejadian diabetes mellitus belum

jelas(Hadisaputro, 2007)

c) Bangsa dan etnik

Berdasarkan penelitian terakhir di 10 negara menunjukkan bahwa

bangsa Asia lebih berisiko terserang diabetes mellitus dibandingkan

bangsa Barat. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan bahwa secara

keseluruhan bangsa Asia kurang berolahraga dibandingkan bangsa-

bangsa di benua Barat.Selain itu, kelompok etnik tertentu juga

berpengaruh terutama Cina, India, dan Melayu lebih berisiko terkena

diabetes mellitus(Utami, 2006).

d) Faktor keturunan

Diabetes mellitus cenderung diturunkan, bukan ditularkan.

Adanya riwayat diabetes mellitus dalam keluarga terutama orang tua

dan saudara kandung memiliki risiko lebih besar terkena penyakit ini

dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita diabetes.

Ahli menyebutkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit yang

terpaut kromosom seks atau kelamin. Umumnya laki-laki menjadi

18
penderita sesungguhnya, sedangkan perempuan sebagai pihak yang

membawa gen untuk diwariskan kepada anak-anaknya(Maulana, 2009)

e) Riwayat menderita diabetes gestasional.

Diabetes gestasional dapat terjadi sekitar 2-5% pada ibu hamil.

Biasanya diabetes akan hilang setelah anak lahir.Namun, dapat pula

terjadi diabetes di kemudian hari. Ibu hamilyang menderita diabetes

akan melahirkan bayi besar dengan berat badan lebih dari 4000 gram.

Apabila hal ini terjadi, maka kemungkinan besar si ibu akan mengidap

diabetes tipe II kelak(Rusydianasari, 2018).

f) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir lebih dari 4000 gram

2) Faktor yang dapat dimodifikasi

a) Obesitas

Berdasarkan beberapa teori menyebutkan bahwa obesitas

merupakan faktor predisposisi terjadinya resistensi insulin. Semakin

banyak jaringan lemak pada tubuh, maka tubuh semakin resisten

terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat

badan terkumpul didaerah sentral atau perut (central obesity). Lemak

dapat memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut

kedalam sel dan menumpuk dalam pembuluh darah, sehingga terjadi

peningkatan kadar glukosa darah. Obesitas merupakan faktor risiko

terjadinya diabetes mellitus tipe II dimana sekitar 80- 90% penderita

mengalami obesitas (Yatim, 2010)

b) Aktifitas fisik yang kurang

19
Berdasarkan penelitian bahwa aktifitas fisik yang dilakukan

secara teratur dapat menambah sensitifitas insulin. Prevalensi diabetes

mellitus mencapai 2-4 kali lipat terjadi pada individu yang kurang aktif

dibandingkan dengan individu yang aktif. Semakin kurang aktifitas

fisik, maka semakin mudah seseorang terkena diabetes. Olahraga atau

aktifitas fisik dapat membantu mengontrol berat badan. Glukosa dalam

darah akan dibakar menjadi energi, sehingga sel-sel tubuh menjadi lebih

sensitif terhadap insulin. Selain itu, aktifitas fisik yang teratur juga

dapat melancarkan peredaran darah, dan menurunkan faktor risiko

terjadinya DM (PERKENI, 2006)

c) Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah

sistole ≥140 mmHg atau tekanan darah diastole ≥90 mmHg. Hipertensi

dapat menimbulkan berbagai penyakit yaitu stroke, penyakit jantung

koroner, gangguan fungsi ginjal, gangguan penglihatan. Namun,

hipertensi juga dapat menimbulkan resistensi insulin dan merupakan

salah satu faktor risiko terjadinya diabetes mellitus. Akan tetapi,

mekanisme yang menghubungkan hipertensi dengan resistensi insulin

masih belum jelas, meskipun sudah jelas bahwa resistensi insulin

merupakan penyebab utama peningkatan kadar glukosa darah

(Saraswati, 2009)

d) Stres

Kondisi stres kronik cenderung membuat seseorang mencari

makanan yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan

20
kadar serotonin pada otak. Serotonin mempunyai efek penenang

sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi efek mengkonsumsi

makanan yang manis- manis dan berlemak tinggi terlalu banyak

berbahaya bagi mereka yang berisiko terkena diabetes mellitus.

e) Pola makan

Pola makan yang salah dapat mengakibatkan kurang gizi atau

kelebihan berat badan. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan risiko

terkena diabetes. Kurang gizi (malnutrisi) dapat menganggu fungsi

pankreas dan mengakibatkan gangguan sekresi insulin. Sedangkan

kelebihan berat badan dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin.

f) Penyakit pada pankreas : pankreatitis, neoplasma, fibrosis kistik.

g) Alkohol

Alkohol dapat menyebabkan terjadinya inflamasi kronis pada

pankreas yang dikenal dengan istilah pankreatitis. Penyakit tersebut

dapat menimbulkan gangguan produksi insulin dan akhirnya dapat

menyebabkan diabetes mellitus (Rahayu, 2012

7. Komplikasi Diabetes Melitus

Kondisi kadar gula darah tetap tinggi akan timbul berbagai komplikasi.

Komplikasi pada diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan

komplikasi kronis. Komplikasi akut meliputi: ketoasidosis diabetic,

hiperosmolar non ketotik, dan hiperglikemia (Perkeni,2011). Sedangkan yang

termasuk komplikasi kronik adalah: makroangiopati, mikroangiopati dan

neuropati.

21
Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti

penyakit jantung koroner,penyakit arteri perifer, kaki diabetes. Mikroangipati

terjadi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular) seperti retinopati diabetikum,

nefropati diabetik, disfungsi ereksi (Perkeni, 2011)

8. Diagnosis

Menurut Perkeni (2011), diagnosis DM tipe II dapat ditegakkan melalui 3 cara,


yaitu:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

lebih dari 200 mg/dL cukup untuk menegakkan diagnosis DM tipe II.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa tidak lebih dari 126mg/dL dengan

adanya keluhan klasik.

3. Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM tipe II


dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT). Kelompok TGT yaitu bila setelah
pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-
199 mg/dL. Kelompok GDPT yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa diperoleh antara 100-125 mg/dL dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam
< 140 mg/dL (Perkeni, 2011). Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa
(Perkeni, 2011)

Kadar Gula Darah Bukan DM Belum Pasti DM DM

Plasma Vena <100mg/dL 100-199 mg/dL >200 mg/dL


Sewaktu
Darah Kapiler <90mg/Dl 99-199 mg/dL >200 mg/dL

Plasma Vena <100mg/dL 100-125 mg/dL >126 mg/dL


Puasa
Darah Kapiler <90mg/dL 90-99 mg/dL >100 mg/dL

22
9. Penatalaksanaan

Tata laksana DM bertujuan :

- Menghilangkan keluhan dan tanda DM

- Mempertahankan rasa nyaman dan menapai target glukosa darah

- Mencegah serta enghambat progesivitas penyulit mikroangiopati,

makroangiopati

Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu dilakukan upaya pengendalian

menyeluruh terhadap glukosa darah, berat badan, dan profil lipid. Agar tujuan

tersebut dapat tercapai perlu dilakukan pengelolaan secara holistik dengan

mengajaran perubahan gaya hidup dan perawatan mandiri

23
1. Pemantuan/evaluasi medis berkala, meliputi pemeriksaan GDP, GDS,

HbA1c tiap 3 – 6 bulan dan pemeriksaan penunjang lainnya

2. Pilar penatalaksaan DM

a. Edukasi

Mengenai pengertian DM, promosi gaya hidup yang sehat, pemantuan

glukosa darah mandiri, serta tanda dan gejala hipoglikemi, serta cara

mengatasi perlu dipahami oleh pasien

b. Terapi nutrisi medis

Hal ini merupakan aspek penting secara meneluruh yang membutuhkan

keterlibatan ahli gizi, perlu dilakukan diet pada penyandang DM adalah

menu seimbang sesuai kebutuhan kalori, jumlah, jenis dan jadwal makan

Komposisi makanan yang dianjurkan

- karbohidrat 45%-65%

-lemak 20-25% (batasi lemak jenuh dan lemak trans, seperti daging

berlemak dan whole milk, konsumsi kolestrol <200mg/hari)

-preotein 10-20%(daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, profuk susu

rendah lemak, tempe tahu)

Natrium<3g atau 1sdt garam daput(pada hipertensi 2,4g)

Serat kurang lebih 25g/hari(kacang kacangan, buah dan sayur)

c. Aktivitas fisik

Kegiatan jasmani yang direkomendasikan adalah intensitas

sedang,minimal 150 menit/mainggu, atau aerobik 75menit/minggu.

Aktivitas dibagi dalam waktu 3 hari perminggu, bagi penyandang DM

24
dengan penyakit kardiovaskuler dimulai dengan intensitas rendah dan

durasi singat secara perlahan ditingkatkan

d. Terapi farmakologis

Berdasarkan cara kerjanya dibagi jadi 5

1. Insulin Secretagogue

a. Sulfonilurea: meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas. Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat

badan normal dan kurang namun masih boleh diberikan kepada pasien

dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

b. Glinid: bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator.

Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini

berisiko terjadinya hipoglikemia.

2. Insulin Sensitizers

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan

meningkatkan efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan

hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah

protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer

meningkat. Agonis PPARγ yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan

lemak

3. Glukoneogenesis Inhibitor Metformin.

Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga

memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang

25
diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan

hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

4. Inhibitor absorbsi glukosa

α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi

glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar

glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek

hipoglikemi

26
10. Pencegahan

Pencegahan Primer; upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki

faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk

mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi

program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan

kebiasaan merokok.

Pencegahan Sekunder; upaya mencegah atau menghambat timbulnya

penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan

dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit

sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyuluhan ditujukan terutama bagi

pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada

setiap pertemuan berikutnya.

Pencegahan Tersier; ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang

telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih

melanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien

dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan

untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien

dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian

aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati.

Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata,

bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll

sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

27
1.1 Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan pembuluh darah yang persisten ditandai

dengan tekanan sistolik ≥140 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥90 mmHg.4

1.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, 80-95% penderita hipertensi digolongkan sebagai

hipertensi primer atau esensial yaitu ketika penyebab hipertensi tidak dapat

diidentifikasi (idiopatik) dan sebagian besar merupakan interaksi yang kompleks antara

genetik dan interaksi lingkungan.

Sementara itu 5-20% lainnya digolongkan sebagai hipertensi sekunder, yang

diakibatkan adanya penyakit yang mendasari seperti gangguan ginjal, gangguan

adrenal,penyempitan aorta, obstructive sleep apneu, gangguan neurogenik, endokrin,

dan obat-obatan.

1.3 Klasifikasi

Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih

pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih kunjungan pasien

rawat jalan.6 Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tekanan darah sistolik Tekanan darah diastolik


Klasifikasi
(mmHg) (mmHg)

Normal < 120 dan < 80

28
Pre-hipertensi 120 – 139 atau 80 -89

Hipertensi tingkat 1 140 –159 atau 90 – 99

Hipertensi tingkat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi

1.4 Faktor risiko

Terdapat beberapa gaya hidup yang berperan sebagai faktor risiko berkembangnya

hipertensi, termasuk diantaranya adalah: konsumsi makanan yang mengandung banyak

garam dan lemak, sedikit sayur dan buah, penggunaan alkohol hingga di tingkat yang

membahayakan, kurangnya aktivitas disik, serta pengelolaan stress yang rendah. Gaya

hidup tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pekerjaan dan kehidupan individu.

Faktor Gaya Metabolik


sosial hidup
Globalisasi Diet tidak Tekanan darah
Urbanisasi sehat tinggi
Usia Rokok Obesitas
Pendapatan Alkohol Diabetes
Pendidikan Kurangnya Peningkatan
aktivitas kadar lemak
darah

Gambar 1. Faktor risiko


hipertensi

29
Faktor risiko di atas, lebih lanjut lagi dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor yang

dapat dan tidak dapat dikendalikan.

I. Faktor yang tidak dapat dikendalikan

a. Usia

Risiko kejadian hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya

usia. Pada umur 25-44 tahun prevalensi hipertensi sebesar 29%, pada umur 45-

64 tahun sebesar 51% dan pada umur >65 Tahun sebesar 65%. Penelitian

Hasurungan pada lansia menemukan bahwa dibanding umur 55-59 tahun, pada

umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali,umur

65-69 tahun 2,45 kali dan umur >70 tahun 2,97 kaliMeskipun hipertensi bisa

terjadi pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada orang berusia >35

tahun. Prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar

40 % dengan kematian sekitar 50 % diatas umur 65 tahun. Peningkatan

tekanan darah dapat terjadi seiring dengan bertambahnya usia, disebabkan oleh

perubahan struktur pada pembuluh darah besar, sehingga lumen menjadi lebih

sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih kaku

b. Jenis Kelamin

Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan

wanita, dengan peningkatan risiko sebesar 2 kali lipat untuk peningkatan

tekanan darah sistolik. Pria lebih banyak mengalami kemungkinan hipertensi

dari pada wanita,seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok dan

konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya status pekerjaan, perasaan kurang

nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran.7

30
c. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi akan meningkatkan

risiko kejadian hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang

memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5

kali lipat. Jika kedua orang tua menderita hipertensi, kemungkinan anaknya

menderita hipertensi sebesar 45%, sedangkan jika hanya salah satu dari orang

tuanya yang menderita hipertensi maka kemungkinan anaknya menderita

hipertensi sebesar 30%.

d. Genetik

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan

ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot

(satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang

mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara

alamiah tanpa intervensi terapi, akan menyebabkan hipertensinya berkembang

dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul manifestasi klinis.

II. Faktor yang dapat dikendalikan

a. Kebiasaan Merokok

Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok

dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Semakin

lama seseorang merokok dan semakin banyak rokok yang dihisap maka

kejadian hipertensi akan semakin meningkat. Seseorang yang menghisap lebih

dari satu pak rokok sehari meningkatkan risiko kejadian hipertensi 2 kali lipat

daripada mereka yang tidak.

31
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap

melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi.

Selain itu merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen

untuk disuplai ke otot jantung. Merokok pada penderta hipertensi akan semakin

meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.9

b. Konsumsi Garam

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis

hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan

asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari akan

mengurangi risiko kejadian hipertensi, sedangkan jika asupan garam antara 5-

15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh

asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume

plasma, curah jantung dan tekanan darah.

Garam menyebabkan retensi cairan dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan

volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram

atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan

garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi

garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol

natrium atau 2400 mg/hari.9

c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Mekanisme peningkatan

tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan

32
kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah

merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.

d. Olahraga

Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi

karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga

cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga

otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras

dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan

pada arteri.

e. Psikososial dan stress

Stress atau ketegangan jiwa dapat merangsang kelenjar adrenal

melepaskan hormon adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat dan

kuat, sehingga meningkatkan tekanan darah. Jika keadaan ini berlangsung terus

menerus maka tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul

kelainan organis atau perubahan patologis.

f. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia

Kelainan metabolisme lemak (lipid) ditandai dengan peningkatan kadar

kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan atau penurunan kolesterol

HDL darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya

aterosklerosis yang mengakibatkan peningkatan resistensi perifer sehingga

meningkatkan tekanan darah.

33
g. Obesitas

Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang

dinyatakan dalam indeks massa tubuh (body mass index) Berat badan dan

indeks massa tubuh berkorelasi dengan tekanan darah. Obesitas tidak

menyebabkan hipertensi, namun prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih

besar. Orang dengan obesitas memiliki risiko 5 kali lipat lebihbesar untuk

menderita hipertensi dibandingkan dengan orang dengan berat badan yang

normal. .Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi makanan

yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya

hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak

darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan

tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi

meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri.

Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar

insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium

dan air.

1.5 Patofisiologi
\

34
Gambar 2. Patofisiologi hipertensi

Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi

dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi vaskular

(peripheral vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini

dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi

sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan

peningkatan curah jantung dan / atau ketahanan periferal.11

Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output secara

logis timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau

peningkatan kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat

mengkompensasi agar cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara meningkatkan

resistensi perifer. 11

Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat menyebabkan hipertensi karena

peningkatan volume cairan dalam pembuluh darah dan preload, sehingga meningkatkan

cardiac output.11

35
Gambar 3. Peran natrium dan kalium dalam patofisiologi hipertensi12

1.6 Diagnosis

Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:

1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.

2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya

penyakit, serta respon terhadap pengobatan.

3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit

penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan

pengobatan.13

Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian

tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga

diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi

hasil pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.10

1.6.1 Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama

menderitanya, riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit

jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat

penyakit dalam keluarga, gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi,

perubahan aktifitas atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat

36
dan faktor psikososial lingkungan keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam

pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan

jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang di kontrolateralnya.

1.6.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat dan

tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan

dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat mengevaluasi

hipotensi postural. Pasien yang berusia kurang dari 30 tahun sebaiknya juga diukur

tekanan arterinya di ekstremitas bawah, setidaknya satu kali. Laju nadi juga dicatat.6

Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian

terhadap tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena.

Pemeriksaan pembuluh darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh darah dan

sebaiknya mencakup funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri karotis

dan arteri femoralis serta palpasi pada pulsasi femoralis dan kaki. Retina merupakan

jaringan yang arteri dan arteriolnya dapat diperiksa secara langsung. Seiring dengan

peningkatan derajat beratnya hipertensi dan penyakit aterosklerosis, terjadi

perubahan progresif pada pemeriksaan funduskopi, yaitu adanya peningkatan refleks

cahaya arteriol, defek pertukaran arteriovenosus, hemoragik, eksudat, dann pada

pasien dengan hipertensi maligna dapat ditemukan papiledema.

Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan

ritme jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung

ketiga dan keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis

yang membesar dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki

37
basah halus dan tanda bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan

adanya bruit renal atau abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta yang

abnormal. Bruit abdomen, khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar sepanjang

sistol ke diastol, meningkatkan kemungkinan adanya hipertensi renovaskular.

Dilakukan juga pemeriksaan pada ekstremitas untuk mengevaluasi edema atau

hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan fisik sebaiknya termasuk pemeriksaan

saraf

Cara pemeriksaan tekanan darah

a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi meter

yang dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan duduk

bersandar, berdiri

atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir mendatar (setinggi jantung) ke

posisi hampir vertikal dapat menghasilkan kenaikan pembacaan dari kedua

tekanan darah sistolik dan diastolik.

b) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan darah

dapat

dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat selama 5 menit. Bila

perlu dapat dilakukan dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 sampai 20

menit pada sisi kanan dan kiri. Ukuran manset dapat mempengaruhi hasil.

c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya harus

dapat

melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di atas daerah lipatan

lengan

atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.

38
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-lahan

dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik dicatat pada

saat terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan tekanan diastolik

dicatat pada bunyi yang kelima (Korotkoff V).

1.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi

meliputi pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak dapat

diulang kembali setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai

dengan indikasi klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien

dengan hipertensi yang resisten terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah

pada bentuk kedua dari hipertensi.

1.7 Tatalaksana

1.7.1 Tatalaksana Farmakologis

Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani

hipertensi, beberapa rekomendasi tersebut antara lain:

 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan jika

tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg

pada kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik

<150 mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.

 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik mulai

diberikan jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah

tekanan darah diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59 tahun).

39
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai

diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi adalah

tekanan darah sistolik <140 mmHg.

 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi

farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau

tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah

sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.

 Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus terapi

farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau

tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah

sistolik <140 mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.

 Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita diabetes

melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide, penghambat kanal

kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin

receptor blocker (ARB).

 Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus

terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau penghambat kanal

kalsium.

 Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi

antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk memperbaiki

outcomepada ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien gagal ginjal kronis

dengan hipertensi tanpa memandang ras ataupun penderita diabetes melitus atau

bukan.)

40
 Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk

mencapai dan mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila target

tekanan darah tidak tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis obat harus

ditingkatkan atau ditambahkan dengan obat lainnya dari golongan yang sama

(golongan diuretic-thiazide, CCB, ACEI, atau ARB). Jika target tekanan darah

masih belum dapat tercapai setelah menggunakan 2 macam obat maka dapat

ditambahkan obat ketiga (tidak boleh menggunakan kombinasi ACEI dan ARB

bersamaan). Apabila target tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan

obat yang berasal dari rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan

>3 jenis obat untuk mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi

dari golongan yang lain dapat digunakan.

41
Gambar 4. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa3

Untuk terapi farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta dosisnya

yang dapat digunakan.

42
Tabel 4. Obat anti hipertensi beserta dosisnya3

Tabel 5. Strategi penggunaan obat anti hipertensi

43
1.7.2 Tatalaksana Non Farmakologis

Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum

penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang

yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol,

pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan dosis obat pada

sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup merupakan hal yang

penting diperhatikan, karena berperan dalam keberhasilan penanganan hipertensi.

Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:

I. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.

Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang

hipertensi karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai

organ dan dapat meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan

makanan berlemak dapat menurunkan risiko aterosklerosis.

Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi

asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai

pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung dengan

penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan.

II. Olahraga dan aktifitas fisik

Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas

fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran

tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita

hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan

demikian dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu

44
turun. Melakukan aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45

menit/hari) diketahui sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi

hingga mencapai 19% hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran

kardio respirasi rendah pada usia paruh baya diduga meningkatkan risiko

hipertensi sebesar 50%.

Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer

sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan

perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan

tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat

digunakan sebagai pengobatan hipertensi.

III. Perubahan pola makan

a. Mengurangi asupan garam

Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan

berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi.

Nasihat pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan

pasien, dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak

mengandung garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari,

berarti tidak menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa

garam, menghindari makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan

mentega yang bebas garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan

karena akan mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi

kebiasaan makan pasien secara drastis.

b. Diet rendah lemak jenuh

45
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang

berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak

jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan

peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari

minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman

dapat menurunkan tekanan darah.16

c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat

mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan

tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu,

mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan

tekanan darah. Banyak konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan

mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol, jamur (banyak

mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung magnesium).

Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak kalsium.

IV. Menghilangkan stress

Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan

sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk

menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan

dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres.

1.8 Komplikasi

46
I. Jantung

Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian pada

pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan

struktur dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri disfungsi

diastolik, dan gagal jantung.

II. Otak

Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan hemoragik

otak. Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena hemoragik.

Insiden dari stroke meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan

tekanan darah, khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan pada hipertensi

menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke hemorgik.

III. Ginjal

Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi pada

renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus

130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.

1.9 Pencegahan

Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik sebagai

peran dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan, komunitas

peneliti akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga dan penderita

hipertensi sendiri semuanya ikut berperan

47
BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien bapak M mengeluhkan badan terasa lemas, nyeri kepala sudah 5 hari yang

lalu, pada perut terasa begah terasa mual tetapi tidak muntah, buang air besar dan kecil

baik, didapatkan pemeriksaan tekanan darah 150/83, nadi : 92 x / menit, suhu: 36,5oC,

RR: 20 x / menit, sedangkan pada pemeriksaan gula darah sewaktu didapatkan 494, dan

pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi dan penyakit DM, dari pemeriksaan

fisik dan gula darah sewaktu serta pernyataan pasien yang memiliki riwayat penyakit

sebelumna kita dapat menegakkan diagnosis hipertensi dan DM.

Pada diabetes, terjadi kerusakan pada lapisan endotel arteri dan dapat

disebabkan secara langsung oleh tingginya kadar glukosa dalam darah, metabolit

glukosa, atau tingginya kadar asam lemak dalam darah yang sering dijumpai pada

pasien diabetes. Akibat kerusakan tersebut, permeabilitas sel endotel meningkat

sehingga molekul yang mengandung lemak masuk ke arteri. Kerusakan sel-sel endotel

akan mencetuskan reaksi imun dan inflamasi sehingga akhirnya terjadi pengendapan

trombosit, makrofag, dan jaringan fibrosis. Sel-sel otot polos berproliferasi. Penebalan

dinding arteri menyebabkan hipertensi, yang semakin merusak lapisan endotel arteri

karena menimbulkan gaya yang merobek sel-sel endotel (Corwin, 2009). Salah satu

komplikasi penyakit yang menyerang para penderita diabetes adalah hipertensi,

terutama mereka yang merupakan penderita Diabetes tipe II. Pada tulisan perdana ini,

saya akan menjelaskan hubungan antara diabetes dan hipertensi.

48
Penderita diabetes tipe II pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan

resistensi insulin. Resistensi insulin adalah kondisi dimana seseorang memiliki jumlah

insulin yang cukup untuk merombak glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana

mestinya. Insulin yang ada tidak digunakan untuk merombak glukosa, yang

mengakibatkan kadar glukosa dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin

yang tidak bekerja ini tidak akan dirombak menjadi apapun, dia akan tetap berada dalam

bentuk insulin. Insulin berlebih ini lah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada

pasien diabetes.

Insulin, selain bekerja untuk merubah glukosa menjadi glikogen (yang nantinya

akan disimpan di jaringan perifer tubuh) dapat mengakibatkan peningkatan retensi

natrium di ginjal dan meningkatkan aktivitas sistem syaraf simpatik. Retensi natrium

dan meningkatnya aktivitas sistem syaraf simpatik merupakan dua hal yang

berpengaruh terhadap meningkatnya tekanan darah. Lebih lanjut, insulin juga dapat

meningkatkan konsentrasi kalium di dalam sel, yang mengakibatkan naiknya resistensi

pembuluh, yang merupakan salah satu faktor naiknya tekanan darah.

49
DAFTAR PUSTAKA

[ADA]American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Boston: ADA
ADA 2012. Standards of Medical Care in Diabetes-2012.
American Diabetes Association (ADA), 2013.Standards of Medical Care in Diabetes-
2013.Diakses pada 12 april 2014 dari:
http://care.diabetesjournals.org/content/36/Supplement_1/S11.full.pdf+html
Corwin, EJ 2009, Buku saku patofisiologi, 3 edn, EGC, Jakarta.
Depkes RI (Departemen Kesehatan Republik Indonesia), 2005, Pharmaceutical Care
Untuk Pasien Diabetes Mellitus, Depkes RI, Jakarta : 56 – 74
Gibney, M.J., et al. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Hadisaputro, S., dan H.Setyawan. 2007. Epidemiologi Dan Faktor – Faktor Resiko
Terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Kholifah, Umi Nor. 2018. Aplikasi Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Diabetes
Melitus Untuk Menurunkan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Melitus
di Puskesmas Kedung Mundu Semarang.
Maulana, 2009. Mengenal Diabetes Melitus : Panduan Praktis Menangani Kencing
Manis. Yogyakarta: KataHati.
Perkeni, 2015. Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia,
PERKENI, Jakarta.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), 2006, Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
PERKENI, 2011, Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Meliitus Tipe 2 di
Indonesia 2011, Penerbit PERKENI, Jakarta
Persi, 2011.RI Rangking Keempat Jumlah Penderita Diabetes Terbanyak
Dunia,www.pdpersi.co.id
Rahayu, 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Diet Diabetes Melitus Dan
Kepatuhan Diet Dengan Kadar Gula Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Ruang Rawat Inap RSUD Pandan Arang Boyolali.
Rusydianasari, A., 2018. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Ketepatan Pasien
Diabetes Mellitus Dalam Penggunaan Insulin Dengan Pendekatan Teori Health

50
Belief Model (Pada Pasien Rawat Jalan di RSU Karsa Husada Kota Batu, Jawa
Timur)
Soegondo, S. (2004), Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus terkini, dalam
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu sebagai Panduan Penatalaksanaan
Diabetes Melitus bagi Dokter maupun Edukator, Soegondo, S., Soewondo, P.,
Subekti, I., penyunting, Pusat Diabetes dan Lipid RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, h. 17 – 28
Suastika K, Soeatmaji D W, Asdie HA, Adam JM, Soegondo S, Manaf A, et al.
Petunjuk Praktis Terapi Insulin. Jakarta. Perkeni; 2006:5 –6
Saraswati, S. 2009. Diet Sehat Untuk Penyakit Asam Urat, Diabetes, Hipertensi, dan
Stroke. Yogyakarta: A+ Plus.
Suyono, S. (2014). Diabetes Melitus di Indonesia. In Siti Setiati,Idrus Alwi, Aru W.
Sudoyo, Marcellus Simadibrata K, Bambang Setiyohadi, Ari Fahrial Syam.Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam(p. 2316). Jakarta: Internal Publishing.
Tarwoto, Dkk. 2012.Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:
Trans Info Medikal.
Utami, Astuti Puji., 2016. Gambaran Mekanisme Koping Stress Pada Pasien
Diabetes Mellitus di Wilayah Kerja Puskesmas Sambit Ponorogo Jawa Timur.
Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta.

Wijayakusuma H.,2004. Bebas Diabetes Mellitus Ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara
World Health Organization, 1997. Classification of Diabetes Mellitus.
(https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/325182/9789241515702-eng.pdf?
sequence=1&isAllowed=y. Diakses 28 Juni 2019.
World Health Organization, 2011. Diabetes Melitus. (online),
(http://care.diabetesjournals.org. Diakses 28 Juni 2019.
World Health Organization (WHO), 2006 , Definition and Diagnosis of Diabetes
Mellitus and Intermediate Hyperglicaemia, World Health Organization, Geneva : 5
– 6.
Yatim, F. 2010. Kendalikan Diabetes Obesitas dan Diabetes : Mengatur Pola Hidup dan
Pola Makan. Jakarta: Indocamp

51

Anda mungkin juga menyukai