Anda di halaman 1dari 24

9

2.TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis

1. Opini going concern

Menurut Belkaoui (1997) going concern adalah suatu dalil yang

menyatakan bahwa kesatuan usaha akan menjalankan terus operasinya

dalam jangka waktu yang cukup lama untuk mewujudkan proyeknya,

tanggung jawab serta aktivitas-aktivitasnya yang tidak berhenti. Dengan

adanya going concern maka suatu badan usaha dianggap akan mampu

mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu panjang, tidak

akan dilikuidasi (untuk perusahaan perbankan) dalam jangka waktu

pendek. Lenard et al., (2000) menyatakan bahwa going concern sebagai

asumsi bahwa perusahaan dapat mempertahankan hidupanya (going

concern) secara langsung akan mempengaruhi laporan keuangan.

Laporan keuangan yang disiapkan pada asumsi bahwa perusahaan tidak

going concern. Laporan keuangan yang disampaikan pada dasar going

concern akan mengasumsikan bahwa perusahaan akan bertahan

melebihi jangka waktu pendek.

Going concern dipakai sebagai asumsi dalam pelaporan

keuangan sepanjang tidak terbukti adanya informasi yang menunjukkan

yang berlawanan. Biasanya informasi yang secara signifikan dianggap

berlawanan dengan asumsi kelangsungan hidup suatu usaha adalah

berhubungan dengan ketidak mampuan suatu uasaha dalam memenuhi

kewajiban pada saat jatuh tempo tanpa melakuakan penjualan sebagian

besar aktiva kepada pihak luar melalui bisnis biasa, restrukturasi tentang,

perbaikan operasi yang dipaksakan dari luar dan kegiatan serupa yang

lain (PSA No 30).

9
10

Opini audit going concern yang merupakan opini audit modifikasi

yang diberikan auditor bila terdapat keraguan atas kemampuan going

concern perusahaan atau terdapat ketidak pastian yang signifikanatas

kelangsungan hidup perusahaan dalam menjalankan operasinya dalam

kurun waktu yang pantas, tidak lebih dari satu tahun setelah tanggal

laporan keuangan yang sedang diaudit (SPAP, 2011). Auditor

menetapkan penerimaan opini audit going concern apabila dalam proses

audit ditemukan kondisi dan peristiwa yang menggarah pada kesangsian

terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Berikut ini adalah contoh

kondisi dan peristiwa yang menggarah pada kesangsian atas

kelangsungan hidup perusahaan (SA Seksi 341: paragraf 6) :

a) Trend negative-sebagai contoh, kerugian operasi yang berulang kali

terjadi, kekurangan modal kerja, arus kas negatif dari kegiatan usaha,

rasio keuangan penting yang jelek, 19

b) Petunjuk lain tentang kemungkinan kesulitan keuangan-sebagai

contoh, kegagalan dalam memenuhi kewajiaban utangnya atau

perjanjian serupa, penunggakan pembayaran deviden, penolakan oleh

pemasok terhadap pengajuan permintaan pembelian kredit biasa,

restrukturisasi utang, kebutuhan untuk mencari sumber atau metode

pendanaan baru, atau penjualan sebagian besar asset.

c) Masalah intern-sebagai contoh, pemogokan kerja atau kesulitan

hubungan perburuhan yang lain, ketergantungan besar atas sukses

proyek tertentu, komitmen jangka panjang yang tidak bersifat

ekonomis, kebutuhan untuk secara signifikan memperbaiki operasi.

d) Masalah luar yang terjadi-sebagai contoh, pengaduan gugatan

pengadilan, keluarnya undang-undang, atau masalah-masalah lain

yang kemungkinan membahayakan kemampuan entitas untuk


11

beroperasi; kehilangan franchise, lisensi atau paten penting;

kehilangan pelanggan atau pemasok utama, kerugian akibat bencana

besar seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, yang tidak

diasuransikan atau diasuransikan namun dengan pertanggungan yang

tidak memadai.

Auditor mempunyai tanggung jawab untuk mengevaluasi status

kelangsungan hidup perusahaan dalam setiap pekerjaannya

(Ramadhany, 2004). Mengacu pada Statement On Auditing Standart No.

59 (AICPA, 1998) dalam Januarti (2009), auditor harus memutuskan

apakah mereka yakin bahwa perusahaan klien akan bisa bertahan di

masa yang akan datang. PSA 29 paragraf 11 huruf d menyatakan bahwa

keragu-raguan yang besar tentang kemampuan satuan usaha untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) merupakan

keadaan yang mengharuskan auditor menambahkan paragraf penjelas

(bahasa penjelas lainnya) dalam laporan audit, meskipun tidak

mempengaruhi pendapatan wajar tanpa pengecualian (unqualified

opinion), yang dinyatakan oleh auditor. Beberapa faktor yang

menimbulkan ketidakpastian mengenai kelangsungan hidup (Arens,

1997) dalam Santosa Fajar dan Wedari (2007) :

a. Kerugian usaha yang besar secara berulang atau kekurangan modal

kerja.

b. Ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya pada

saat jatuh tempo dalam jangka pendek.

c. Kehilangan pelanggan utama, terjadinya bencana yang tidak

diasuransikan seperti gempa bumi atau banjir atau masalah perburuan

yang tidak biasa.


12

d. Perkara pengadilan, gugatan hukum atau masalah serupa yang sudah

terjadi yang dapat membahayakan kemampuan perusahaan untuk

beroperasi.

Menurut IPSA (Interprestasi Pernyataan Standar Auditing) nomor

30 : 01 tentang “Laporan Auditor Independen tentang Dampak

Memburuknya Kondisi Ekonomi Indonesia Terhadap Kelangsungan Hidup

Entitas” maka auditor perlu mempertimbangkan 3 hal sebagai berikut :

1) Kewajiban auditor untuk memberikan saran bagi kliennya untuk

mengungkapkan dampak kondisi ekonomi tersebut (jika ada)

terhadap kemampuan entitas untuk mempertahankan

perusahaannya.

2) Pengungkapan peristiwa kemudian yang mungkin timbul sebagai

akibat kondisi ekonomi tersebut.

3) Modifikasi laporan audit bentuk baku jika memburuknya kondisi

ekonomi tersebut berdampak terhadap kemampuan entitas untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya

Dalam SA Seksi 341 (SPAP, 2011) menyatakan apabila auditor

tidak mengsangsikan kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan

kelangsungan hidupnya (going concern) dalam jangka waktu pantas,

maka auditor memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Bila

kesangsian terhadap kelangsungan hidup usaha benar-benar ada, maka

auditor harus mempertimbangkan untuk mengeluarkan opini audit going

concern. SA Seksi 341, SPA No. 30 (SPAP, 2011) memuat pertimbangan

bagi auditor dalam menerbitkan opini audit going concern terhadap

kelangsungan usaha suatu entitas. Menurut SPAP tersebut opini audit

yang termasuk dalam opini going concern (GC) yaitu pendapat wajar

tanpa pengecualian dengan bahasa penjelas (unqualified opinion with


13

explanation language), pendapat wajar dengan pengecualian (qualified

opinion), pendapat tidak wajar (adverse opinion), dan tidak memberikan

pendapat (disclaimer of opinion). Apabila auditor mensangsikan

kemampuan satuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan

hidupnya dalam jangka waktu pantas, maka auditor wajib mengevaluasi

rencana manajemen.

Selanjutnya auditor akan memberikan pendapat wajar tanpa

pengecualian dengan bahasa penjelas jika rencana manajemen

perusahaan dapat secara efektif dilaksanakan untuk mengatasi dampak

dari kondisi dan peristiwa yang menyebabkan kesangsian auditor tentang

kelangsungan usahanya. Apabila auditor menggangap bahwa rencana

manajemen tidak dapat secara efektif mengurangi dampak negatif

kondisi atau peristiwa tersebut maka auditor menyatakan tidak

memberikan pendapat. Opini wajar dengan pengecualian diberikan

kepada auditee apabila auditor mensangsikan kelangsungan hidup

perusahaan dan auditor berkesimpulan bahwa manajemen tidak memuat

pengungkapan dan mengenai sifat, dampak, kondisi dan peristiwa yang

menyebabkan auditor mensangsikan kelangsungan hidup perusahaan.

Jika pengungkapan didalam rencan manajemen tidak memadai

pengungkapanya dan tidak dilakukan penyesuaian padahal dampaknya

sangat material dan dapat menyimpang dari prinsip akuntansi berterima

umum, maka auditor akan memberikan opini tidak wajar (Pratiwi, 2013).

Manajemen melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan

kelangsungan usaha perusahaan, dengan menyusun rencana

manajemen.Perusahaan yang mengalami financial distress perlu

menyusun rencanamanajemen untuk mengatasi kondisi kesulitan

keuangan. Hal tersebut berkaitan dengan PSA 30 (SPAP, 2001 : par 3)


14

dalam kondisi perusahaan mengalamikesulitan keuangan maka auditor

bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakahterdapat kesangsian

besarterhadap kemampuan entitas dalam mempertahankankelangsungan

hidupnya dalam periode waktu pantas, tidak lebih dari satu tahunsejak

tanggal laporan keuangan diaudit. Evaluasi kritis tersebut dilakukan

auditor berdasarkan pengetahuan tentang kondisi dan peristiwa yang ada

atau yang telah terjadi sebelum pekerjaan lapangan selesai melalui

prosedur audit yang dilaksanakan. Evaluasi yang dimaksud meliputi

evaluasi terhadap rencana manajemen yang ditujukan untuk mengurangi

dampak kondisi dan peristiwa tersebut dan menentukan apakah

kemungkinan bahwa rencana tersebut dapat secara efektif dilaksanakan.

Selanjutnya PSA 30 (SPAP, 2001 :para 7 ), memberikan panduan

tentangpertimbangan auditor yang berhubungan dengan rencana

manajemen meliputi :

a. Rencana untuk menjual aktiva

1) Pembatasan terhadap penjualan aktiva, seperti adanya pasal yang

membatasi transaksi tersebut dalam perjanjian penarikan utang atau

perjanjian yang serupa.

2) Kenyataan dapat dipasarkannya aktiva yang direncanakan akan

dijual oleh manajemen

3) Dampak langsung dan tidak langsung yang kemungkinan timbul dari

penjualan aktiva

b. Rencana penarikan utang atau restrukturisasi utang

1) Tersedianya pembelanjaan melalui utang , termasuk perjanjian kredit

yang telah ada atau yang telah disanggupi, perjanjian penjualan

piutang atau jual-kemudian –sewa aktiva (sale-leaseback of assets)

Perjanjian untuk merestrukturisasi atau menyerahkan utang yang ada


15

maupun yang telah disanggupi atau untuk meminta jaminan utang

dari entitas.

2) Dampak yang mungkin timbul terhadap rencana manajemen untuk

penarikan utang dengan adanya batasan yang ada sekarang dalam

menambah pinjaman atau cukup atau tidaknya jaminan yang dimiliki

entitas.

c. Rencana untuk mengurangi atau menunda pengeluaran

1) Kelayakan rencana untuk mengurangi biaya overhead atau biaya

administrasi, untuk menunda biaya penelitian dan pengembangan,

untuk menyewa sebagai alternatif membeli

2) Dampak langsung dan tidak langsung yang kemungkinan timbul

dari pengurangan atau penundaan pengeluaran

d. Rencana untuk menaikkan modal pemilik

1) Kelayakan rencana untuk menaikkan modal pemilik , termasuk

perjanjian yang ada atau yang disanggupi untuk menaikkan

tambahan modal

2) Perjanjian yang ada atau yang disanggupi untuk mengurangi

deviden atau untuk mempercepat distribusi kas dari perusahaan

afiliasi atau investor lain.

2. Profitabilitas

Menurut Keown (2004:32)“laba atau profit diperoleh dari

pendapatan bersih perusahaan dikurangi dengan beban yang dikelua

rkan pada periode yang bersangkutan.” Jadi laba merupakan hasil akhir

kinerja perusahaan. Perusahaan yang mampu menghasilkan laba disebut

dengan perusahaan yang profitable. Brigham dan Houton (2001:89)

menyatakan profitabilitas adalah hasil bersih dari serangkaain kebijakan


16

dan keputusan. Sedangkan menurut Muhammad (2007) profitabilitas

perusahaan adalah salah satu cara untuk menilai secara tepat

sejauhmana tingkat pengembalian yang akan didapat investor dan

aktivitas investasinya. Investor memiliki sejumlah harapan atas sejumlah

pengembalian dan investasinya.

Rasio profitabilitas merupakan salah satu alat untuk mengukur

kondisi keuangan perusahaan. Profitabilitas adalah kemampuan

perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan,

total aktiva, maupun modal sendiri (Sartono, 1998). Profitabilitas dianggap

sebagai alat yang valid dalam mengukur hasil pelaksanaan operasi

perusahaan, karena profitabilitas merupakan alat pembanding pada

berbagai alternatif investasi yang sesuai dengan tingkat risiko. Jumlah

laba bersih seringkali dibandingkan dengan ukuran kegiatan atau kondisi

keuangan lainnya seperti penjualan, aktiva, ekuitas pemegang saham

untuk menilai kinerja sebagai suatu persentase dari beberapa tingkat

aktivitas atau investasi.

Dalam penelitian ini analisis yang dipakai untuk mengukur

profitabilitas adalah Return on assets (ROA) merupakan salah satu rasio

profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. ROA mampu mengukur

kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan pada masa lampau

untuk kemudian diproyeksikan di masa yang akan datang.

Assets atau aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta

perusahaan, yang diperoleh dari modal sendiri maupun dari modal asing

yang telah diubah perusahaan menjadi aktiva-aktiva perusahaan yang

digunakan untuk kelangsungan hidup perusahaan. Return On Assets


17

dipakai untuk mengevaluasi apakah manajemen telah mendapat imbalan

yang memadai (reasobable return) dari aset yang dikuasainya. Rasio ini

merupakan ukuran yang berfaedah jika seseorang ingin mengevaluasi

seberapa baik perusahaan telah memakai dananya. Oleh karena itu,

Return On Assets kerap kali dipakai oleh manajemen puncak untuk

mengevaluasi unit-unit bisnis di dalam suatu perusahaan multinasional

(Henry Simamora, 2000:530), Menurut Brigham dan Houston (2001),

pengembalian atas total aktiva (ROA) dihitung dengan cara

membandingkan laba bersih yang tersedia untuk pemegang saham biasa

dengan total aktiva.

Semakin besar nilai ROA, menunjukkan kinerja perusahaan yang

semakin baik pula, karena tingkat pengembalian investasi semakin besar.

Nilai ini mencerminkan pengembalian perusahaan dar seluruh aktiva

(atau pendanaan) yang diberikan pada perusahaan (Wild, Subramanyam,

dan Halsey, 2005:65), Perbandingan ini disebut rasio profitabilitas

(profitability ratio). Analisa return on assets dalam analisa keuangan

mempunyai arti yang sangat penting sebagai salah satu teknik analisa

keuangan yang bersifat menyeluruh/komprehensif, Return on assets

adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk

dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana

yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan

untuk menghasilkan keuntungan.

Dengan mengetahui rasio ini, akan dapat diketahui apakah

perusahaan efisien dalam memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan

operasional perusahaan (Munawir, 2002). Analisis rasio keuangan

perusahaan pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua macam cara

perbandingan, yaitu (Abdul Halim, 1989 : 51):


18

a. Membandingkan rasio satu tahun dengan rasio-rasio tahun

sebelumnya (rasio historis) atau dengan rasio-rasio yang diperkirakan

untuk tahun- tahun yang akan datang dari perusahaan yang sama.

b. Membandingkan rasio-rasio dari suatu perusahaan (rasio

perusahaan) dengan rasiorasio yang sama dari rata-rata industri.

Dalam penelitian ini analisis yang dipakai untuk mengukur

profitabilitas adalah Return on assets (ROA) merupakan salah satu rasio

profitabilitas yang dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dari aktiva yang digunakan. ROA mampu mengukur

kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan pada masa lampau

untuk kemudian diproyeksikan di masa yang akan datang.

Assets atau aktiva yang dimaksud adalah keseluruhan harta

perusahaan, yang diperoleh dari modal sendiri maupun dari modal asing

yang telah diubah perusahaan menjadi aktiva-aktiva perusahaan yang

digunakan untuk kelangsungan hidup perusahaan. Return On Assets

dipakai untuk mengevaluasi apakah manajemen telah mendapat imbalan

yang memadai (reasobable return) dari aset yang dikuasainya. Rasio ini

merupakan ukuran yang berfaedah jika seseorang ingin mengevaluasi

seberapa baik perusahaan telah memakai dananya. Oleh karena itu,

Return On Assets kerap kali dipakai oleh manajemen puncak untuk

mengevaluasi unit-unit bisnis di dalam suatu perusahaan multinasional

(Henry Simamora, 2000:530), Menurut Brigham dan Houston (2001),

pengembalian atas total aktiva (ROA) dihitung dengan cara

membandingkan laba bersih yang tersedia untuk pemegang saham biasa

dengan total aktiva.


19

Semakin besar nilai ROA, menunjukkan kinerja perusahaan yang

semakin baik pula, karena tingkat pengembalian investasi semakin besar.

Nilai ini mencerminkan pengembalian perusahaan dar seluruh aktiva

(atau pendanaan) yang diberikan pada perusahaan (Wild, Subramanyam,

dan Halsey, 2005:65).

ROA (Return on Assets) atau Tingkat Pengembalian Aset ini dihitung

dengan cara membagi laba bersih perusahaan (biasanya pendapatan

tahunan) dengan total asetnya dan ditampilkan dalam bentuk persentase

(%). Ada dua cara umum dalam menghitung ROA yaitu dengan menghitung

total aset pada tanggal tertentu atau dengan menghitung rata-rata total aset

(average total assets). Berikut ini adalah Rumus ROA (Return on Assets)

atau Tingkat Pengembalian Aset,Rumus Return on assets (ROA) sebagai

berikut :

ROA = NET
ROA PROFIT
= Net Profit //Total
TOTALAktiva
ASET xx 100%
100%

Tujuan dari analisis profitabilitas adalah untuk mengukur tingkat

efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai perusahaan yang

bersangkutan. Semakin tinggi rasio profitabilitas suatu perusahaan maka

semakin baik kinerja perusahaan dalam mengelola aset-aset yang

dimilikinya untuk menghasilkan profit. Perusahaan dengan tingkat

profitabilitas yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut

mampu menjalankan usahanya dengan baik sehingga dapat

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dengan kata lain, semakin

tinggi tingkat profitabilitas maka semakin rendah pula kemungkinan

pemberian opini audit going concern oleh auditor. Sebaliknya,

perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas rendah maka cenderung

akan mendapatkan opini audit going concern (Komalasari, 2003). Lebih

lanjut, tingkat profitabilitas dalam penelitian ini menggunakan ROA. ROA


20

merupakan salah satu bentuk analisis profitabilitas untuk mengukur

efisiensi perusahaan dalam mengelola asetnya guna menghasilkan laba.

3. Financial distress

Financial distress merupakan gambaran kesehatan atas kinerja

keuangan sebuah perusahaan sebenarnya dalam suatu perioda kerja.

Hofer (1980:20) dalam (Endri, 2009) mengumpamakan kondisi financial

distress sebagai suatu kondisi dari perusahaan yang mengalami laba

bersih (net profit) negatif selama beberapa tahun dan juga sebagai

indikasi perusahaan mengarah ke kebangkrutan.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang pasal 47

menyatakan bahwa jika perusahaan mengalami kerugian sebesar 50%

dari modal perusahaan, maka perusahaan berkewajiban mendaftarkan

perusahaan dalam pengadilan dan mengumumkannya dalam surat kabar

resmi. Tetapi jika perusahaan mengalami kerugian sebesar 75% maka

perusahaan tersebut demi hukum bubar dan para pengurus bertanggung

jawab kepada pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah terjadi

setelah mereka tahu mengenai kerugian tersebut. Agar kebangkrutan

tidak terjadi menurut pasal 48, perusahaan harus membuat kas cadangan

untuk menutupi kerugian yang terjadi untuk sebagian atau seluruhnya.

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, dalam

pasal 2, perusahaan dikatakan bangkrut apabila debitor yang mempunyai

dua atau lebih kreditor tidak dapat membayar satu utang yang jatuh

tempo dan dapat ditagih dengan keputusan pengadilan yang diajukan

permohonan kepailitan oleh Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar

Modal atau Menteri Keuangan


21

Pembubaran atau likuidasi perseroan dalam Undang-undang No

40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas dalam pasal 142 ayat 1, dapat

terjadi karena:

a. Berdasarkan keputusan RUPS.

b. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam

anggaran dasar telah berakhir.

c. Berdasarkan penetapan pengadilan.

d. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan keputusan pengadilan

niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit

perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan.

e. Karena harta pailit perseroan yang telah dinyatakan pailit berada

dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam undang-undang

tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

f. Karena dicabutnya izin usaha perseroan sehingga mewajibkan

perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Kesangsian terhadap kelangsungan hidup perusahaan merupakan

indikasi terjadinya kebangkrutan pada perusahaan. Pengguna laporan

keuangan sering kali menganggap bahwa opini audit going concern

sebagai tanda perusahaan akan segera mengalami kebangkrutan atau

tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Mc Keown (1991)

dalam Januarti (2009) juga mengemukakan perusahaan yang tidak

pernah mengalami financial distress, auditor tidak pernah memberikan

opini audit going concern dan sebaliknya, jika kondisi keuangan

perusahaan semakin memburuk maka akan semakin besar kemungkinan

perusahaan menerima opini audit going concern dari auditor. Pada


22

perusahaan yang kondisi keuangannya buruk, maka banyak ditemukan

indikator masalah going concern.

Menurut Baldwin dalam Elloumi (2001:2), definisi kebangkrutan

adalah :”when a firm’s business detoriarates to the point where it cannot

meet its financial obligations, the firm is said to have entered the state of

financial distress. The first signals of distress are usually violations of debt

convenants coupled with the omission or reduction of dividens”. Dari

definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika suatu perusahaan

menuju suatu titik dimana tidak dapat melunasi obligasi keuangannya,

maka perusahaan tersebut mengalami financial distress. Tanda-tanda

awal, dari financial distress adalah penundaan hutang diikuti dengan

penurunan deviden yang diterima pemegang saham,(dalam Simanjuntak,

2008)

Menurut Altman (1968), financial distress digolongkan kedalam

empat istilah umum :

a. Economic failure

Economic failure terjadi ketika pendapatan tidak dapat menutup total

biaya modal. Usaha yang mengalami hal tersebut dapat meneruskan

operasinya sepanjang kreditur berkeinginan untuk menyediakan

tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian

( return) dibawah tingkat bunga pasar.

b. business failure

seringkali digunakan untuk menggambarkan berbagai macam kondisi

bisnis yang tidak memuaskan. Business failure mengacu pada sebuah

perusahaan berhenti beroperasi karena ketidakmampuannya untuk

menghasilkan keuntungan atau mendatangkan penghasilan yang

cukup untuk menutupi pengeluaran.


23

c. insolvency

1) Technical insolvency

Merupakan kondisi dimana perusahaan tidak mampu memenuhi

kewajibannya yang jatuh tempo sebagai akibat dari

ketidakcukupan arus kas.

2) Insolvency in bancrupty sense

Merupakan kondisi dimana kewajiban lebih besar dari nilai pasar

asset perusahaan dan karena itu memiliki ekuitas yang negative

d. Legal Bancrupty

Sebuah bentuk formal kebangkrutan dan telah disahkan secara

hukum,(ardina 2013).

Dalam berbagi studi akademik, Altman Z-Score atau bancrupty

model dipergunakan sebagai alat control terukur terhadap status

keuangan suatu perusahaan yang sedang mengalami (kesulitan

keuanagan) atau financial distress dan berada di ambang kebangkrutan.

Dengan kata lain, dipergunakan sebagai alat untuk memprediksi

kebangkrutan suatu perusahaan.

persamaan linear oleh Altman sebagai penyempurnaan atas

penelitian T-Test ( model uji statistic) yang dilakukan oleh William Beaver

(1966 hingga 1968). Pada saat itu penelitian Beaver menghasilkan

persamaan yang hanya memprediksi kebangkrutan pada suatu

perusahaan tertentu dengan menggunakan rasio-rasio akuntansi pada

saat itu saja. Kelemahan penelitian beaver itulah yang disempurnakan

oleh Altman dengan Z-Scorenya yang menggunakan tekhnik analisa

deskriminan milik R.A. Fisher (1936). Hasilnya Z-Score mampu

memprediksi posisi kebangkrutan suatu perusahaan secara kontinyu dan

bersifat umum. Dengan menggunakan model persamaan yang telah


24

dismepurnakan oleh Altman, yaitu dengan menggunakan indikator

working capital to total assets (WCTA), Retained earnings to total assets

(RETA). Earnings before and taxes to tal assets (EBITA).Book Value of

equity to total liability (MVEBVL)dan sales to total assets (STA).

Sejak 1985 Z-Score semakin popular, sehingga tidak lagi hanya

digunakan dalam penelitian-penelitian akademik, melainkan diadopsi juga

oleh kalangan auditor, akuntan manajemen, bahkan oleh pihak

pengadilan Amerika Serikat dalam melakukan assessment terhadap

perusahaan yang dinyatakan bangkrut. Namun Z-Score tidak

dipergunakan untuknperusahaan jasa keuangan atau lembaga keuangan

(baik swasta maupun pemerintah).Khusus jenis perusahaan ini memang

tidak menggunakan model berbasis neraca. Hal ini karena adanya

kecenderungan perbedaan yang cukup besar antara neraca suatu

institusi keuangan dengan institusi keuangan lainnya.

Sepanjang periode 1968 hingga 2000, Altman telah menguji tak

kurang dari 66 perusahaan yang sebagian besar merupakan perusahaan

jenis manufaktur dan sebagian kecil perusahaan jenis lain. Semua

perusahaan diuji rata-rata memiliki asset diatas US$ 1 Juta. Altman

mengklaim tingkat akurasi formulanya berkisar antara 80 hingga 90

persen, dengan potensi error antara 10 hingga 15 persen,(Jurnal

Akuntansi 2015).

Financial distress merupakan suatu kondisi dimana perusahaan

mengalami kesulitan keuangan dan dikhawatirkan mengalami

kebangkrutan sehingga perusahaan tidak mampu melunasi

kewajibannya. Financial distress diprediksi menggunakan menggunakan

rasio – rasio berdasarkan penelitian sebelumnya (Altman dan mcGough),

(1974) Koh dan Killough, (1990) Penletian sebelumnya memberikan suatu


25

kesimpulan bahwa model prediksi kebangkrutan menggunakan rasio-

rasio keuangan lebih akurat dibandingkan pendapat auditor dalam dalam

pengelompokkan perusahaan bangkrut dan tidak bangkrut.

Financial distress dalam penelitian ini menggunakan Revised

Altman Model (1993) Resived Altman Model (1993) merupakan model

yang dikembangkan sebelumnya mengalami revisi yang tujuannya adalah

agar model prediksinya tidak hanya digunakan pada perusahaan

manufaktur tetapi juga dapat digunakan untuk perusahaan selain

manufaktur,(Kumalawati , 2011) Perhitungan Z- score dengan rumus

sebagai berikut :

Z’= 0,717 Z1 + 0,874 Z2 + 3,107 Z3 + 0,420 Z4 + 0,998 Z5

Z’ =Z-Score revised Altman Model

Z1 =Working capital/Total Asset

Z2 =Retained Earning/Total Asset

Z3 =Earnings Before Interest and Taxes/Total Asset

Z4 =Book Value of equity/Book Value of debt

Z5 = Sales/Total Asset

Kategori:

Bila Z’>2,9 = Zone “Aman”

Bila Z”<1,23 = Zone “ Distress”

Nilai diperoleh dengan menghitung kelima rasio tersebut

berdasarkan data pada neraca dan laporan laba/rugi dikalikan dengan

koefision masing-masing rasio kemudian dijumlahkan dengan koefision

masing-masing rasio kemudian dijumlahkan dengan hasilnya (Fadilah

2013).

Menghitung Variabel dengan formula Z-Score:

1. Menghitung Z1 Working capital to total asset


26

working Capital (Model Kerja): Aset lancer – Kewajiban.

2. Menghitung Z2 Retained to total asset

Laba ditahan : Jumlah laba ditahan pada neraca konsolidasi.

3. Menghitung Z3 Earning Before Interest and Texas to total asset

Laba rugi sebulm beban pajak pada laporan laba rugi konsolidasi

4. Menghitung Z4 Book Value of Equity to Book Value of Debt

Book Value of Equity : Nilai ekuitas bersih pada neraca konsolidasi.

sedangkan Book of Value Debt : Nilai kewajiban / hutang pada neraca

konsolidasi.

5. Menghitung z5 Sales to Total Asset

Sales : Nilai penjualan bersih pada laporan laba rugi konsolidasi

Uraian dari Altman Z-Score diatas adalah (M. Adnan dan M.

Taufiq, 2005:190).

1. Working Capital to Total Asset

Rasio itu menunjukkan Kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

modal kerja yang bersih dari kesuluruhan total aktiva yang dimilikinya.

Rasio ini dihitung dengan total aktiva . Modal kerja bersih yang

negative kemungkinan besar akan menghadapi masalah dalam

menutupi kewajiban jangka pendeknya, Karena tidak terjadinya aktiva

lancer yang cukup menutupi kewajiban tersebut, sebaliknya

perusahaan dengan

2. Retained Earning to Total Asset

rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan

laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan

laba yang tidak dibagikan kepada pemegang saham. Dengan kata lain,

laba dibayarkan dalam bentuk dividen kepada para pemegang saham.

Laba ditahan menunjukkan klaim terhadap aktiva, bukan per ekuitas


27

pemegang saham. Laba ditahan terjadi karena para pemegang saham

biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan kembali laba

yang tidak didistribusikan sebagai dividen. Dengan demikian, laba

ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan

“tidak tersedia “ untuk pembayaran dividen atau yang lain.

3. Earnings Before Interest and taxes to total Asset

Rasio ini menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan laba dari

aktivitas perusahaan, sebelum pembayaran pajak dan bunga.

4. Market Value of Equity to Book Value of Debt

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi

kewajiban- kewajiban dari nilai pasar modal sendiri ( Saham biasa).

Nilai pasar modal sendiri diperoleh mengalihkan jumlah lembar saham

biasa yang beredar dengan harga pasar per lembar saham biasa. Niali

buku hutang diperoleh dengan menjumlahkan kewajiban lancer

dengan kewajiban jangka panjang.

5. Sales to Total Asset

Rasio ini menunjukkan apakah perusahaan menghasilkan volume

bisnis yang cukup dibandingkan investasi dalam total aktivanya. Rasio

ini mencerminkan efesiensi manajemen dalam menggunakan

keseluruhan aktiva perusahaan untuk menghasilkan penjualan dan

mendapatkan laba (dalam Fadilah, 2013)

B. Penelitian terdahulu

Penelitian mengenai opini going concern telah banyak dilakukan

sebelumnya, seperti penilitian yang dilakukan oleh Endra Ulkri Arma (2013)

dengan judul Pengaruh profitabilitas, likuiditas, dan pertumbuhan

perusahaan terhadap penerimaan opini audit going concern , Hasil penelitian


28

ini menunjukkan bahwa Profitabilitas berpengaruh signifikan negatif terhadap

opini audit going concern, likuiditas berpengaruh signifikan negatif terhadap

opini audit going concern, Pertumbuhan perusahaan berpengaruh signifikan

negatif terhadap opini audit going concern.

Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Ferni Listantri (2015)

dengan judul Analisis pengaruh financial distress, ukuran perusahaan,

solvabilitas, dan profitabilitas terhadap penerimaan opini audit going concern

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011-2013

dengan hasil Financial distress berpengaruh signifikan negatif terhadap opini

audit going concern, Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan negatif

terhadap opini audit going concern, Solvabilitas berpengaruh signifikan

negatif terhadap opini audit going concern, Profitabilitas berpengaruh

signifikan negatif terhadap opini audit going concern.

Penelitian yang dilakukan oleh I Dewa Ayu Nyoman Stari Dewi Dkk

(2018) dengan judul Pengaruh Financial distress dan Debt Default pada

Opini Audit Going concern mengemukakan hasil bahwa Financial distress

berpengaruh signifikan negatif terhadap opini audit going concern dan Debt

Default berpengaruh signifikan negatif terhadap opini audit going concern.

penelitian yang dilakukan oleh Winda Juliana(2013) dengan judul

Pengaruh financial distress terhadap penerimaan opini audit going concern

pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek indonesia tahun

2006-2010 mendapatkan hasil bahwa financial distress perusahaan

berpengaruh signifikan terhadap penerimaan opini audit going concern.

Dan penelitian yang dilakukan oleh Rezkhy Noveria (2014) dengan judul

Analisis pengaruh kualitas auditor, likuiditas, profitabilitas dan solvabilitas

terhadap opini audit going concern pada perusahaan manufaktur yang

terdaftar di BEI menyatakan hasil bahwa Kualitas auditor berpengaruh positif


29

terhadap penerimaan opini audit dengan going concern (GCAR), Likuiditas

berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit dengan going concern,

Profitabilitas berpengaruh negatif terhadap penerimaan opini audit dengan

going concern (GCAR), dan Solvabilitas berpengaruh positif terhadap

penerimaan opini audit dengan going concern (GCAR).

C. Kerangka Teoritis

Tanggung jawab auditor sangatlah mempengaruhi eksistensi komunitas

emiten. Pendapat yang dikeluarkan tanpa adanya rekayasa pada laporan

keuangan yang diaudit sangat menentukan bagi perusahaan untuk tetap

melanjutkan hidup perusahaan atau tidak dimasa yang akan datang. Hal ini

berarti auditor untuk lebih berhati-hati dalam memperhatikan kondisi

perusahaan pada saat itu sampai pada opini audit yang akan dikeluarkan.

Sedikit kesalahan atas opini audit, maka bukan hanya perusahan yang

bisaterganggu atas kelangsungan hidupnya namun auditor dan kantor

akuntannya akan mendapat nama buruk dimata masyarakat. Inilah alasan

mengapa auditor memiliki tanggunng jawab terhadap going concern suatu

perusahaan.Hal-hal yang perlu diperhatikan bagi auditor dalam memberikan

opini atas kelangsungan hidup perusahaan diantaranya adalah

profitabilitas,profitablitas itu sendiri adalah kemampuan perusahaan

memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva,

maupunmodal sendiri (Sartono, 1998). Profitabilitas dianggap sebagai alat

yang valid dalam mengukur hasil pelaksanaan operasi perusahaan, karena

profitabilitas merupakan alat pembanding pada berbagai alternatif investasi

yang sesuai dengan tingkat risiko dan financial distress,financial distress itu

sendiri adalah merupakan gambaran kesehatan atas kinerja keuangan

sebuah perusahaan sebenarnya dalam suatu perioda kerja, Untuk lebih


30

jelasnya keterkaitan profitibilitas dan financial distress terhadap opini auditor

dilihat dalam gambar sebagai berikut

Indakator:
Return of assets (ROA)

Profitabilitas

Penerimaan opini
audit going
concern
Financial
distress

Indikator:

Indakator: Diberi angka 1 jika opini


Z-Score Altman going concern dan diberi
angka 0 jika opini audit
non going concern

Gambar 2.1
Pengaruh variabal X pada Variabel Y
D. Hipotesis

Menurut Rezkhy (2011) Tujuan dari analisis rentabilitas/ profitabilitas

adalah untuk mengukur tingkat efisiensi usaha dan profitabilitas yang dicapai

oleh perusahaan yang bersangkutan. Analisa ini juga untuk mengetahui

hubungan timbal balik antara pos pos yang ada pada neraca

perusahaan yang bersangkutan guna mendapatkan berbagai indikasi yang

berguna untuk mengukur efisiensi dan profitabilitas perusahaan yang

bersangkutan. Return on asset (ROA) adalah ratio yang diperoleh dengan

membagi laba/rugi bersih dengan total asset. Ratio ini digunakan untuk

menggambarkan kemampuan manajemen perusahaan dalam memperoleh


31

laba dan manajerial efisiensi secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai ROA

semakin efektif pula pengelolaan aktiva perusahaan. Dengan demikian

semakin besar rasio profitabilitas menunjukkan bahwa kinerja perusahaan

semakin baik, sehingga auditor tidak memberikan opini going concern pada

perusahaan yang memiliki laba tinggi. Maka hipotesis atau dugaan

sementara dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H1: Profitabilitas berpengaruh signifikan negatif terhadap penerimaan opini

audit going concern

Altman dan McGough (1974) dalam Fanny dan Saputra (2005)

menyarankan penggunaan model prediksi kebangkrutan sebagai alat bantu

auditor dikarenakan memiliki tingkat prediksi kebangkrutan mencapai tingkat

keakuratan 82% untuk memutuskan kemampuan perusahaan

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Setyarno, dkk (2006) dan Fanny

dan Saputra (2005) penggunaan model prediksi kebangkrutan yang

dikembangkan oleh Altman mempengaruhi ketepatan dalam pemberian opini

audit dibandingkan jika menggunakan The Zmijeski model dan The

Springate model untuk memprediksi keadaan financial distress perusahaan.

Financial distress merupakan faktor perusahaan yang banyak dipakai

untuk memprediksi going concern atau keberlangsungan hidup perusahaan

dan kebangkrutan yang akan terjadi. Mc Keown (1991) dalam Januarti

(2009) mengemukakan bahwa perusahaan yang tidak pernah mengalami

financial distress, auditor tidak pernah memberikan opini audit going

concern. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang mengalami financial

distress ( Z Score rendah) berpeluang mendapatkan opini audit going

concern dari auditor karena perusahaan tersebut mengindikasikan

kelangsungan hidupnya diragukan dalam jangka pendek maupun dalam

jangka panjang.
32

H2: financial distress berpengaruh signifikan negatif terhadap penerimaan

opini audit going concern

Anda mungkin juga menyukai