Anda di halaman 1dari 12

UNSUR INTRINSIK CERPEN DAN NOVEL

(PENOKOHAN DAN SUDUT PANDANG)

PENOKOHAN
1.     Metode Analitik (secara langsung)
2.   Metode Dramatik (tidak langsung)

1.    Metode Analitik (secara langsung)


Pengarang menggambarkan watak-watak tokoh
secara langsung, maksudnya adalah langsung
disebutkan wataknya dalam cerita tersebut.
Contoh :
Eka memang sangat menarik. Dia cantik
dengan rambut ikalnya yang panjang. Hidungnya
kecil dan lancip, matanya yang lebar dilengkapi
dengan bulu mata yang lebat dan lentik.
Wajahnya disempurnakan dengan bibirnya yang
sensual dan merah, meski tidak memakai lipstik.
Dia sangat supel sehingga disukai teman-
temannya. Teman-temannya pun beragam mulai
dari kalangan ekonomi lemah sampai dengan
ekonomi atas. Eka sendiri berasal dari keluarga
yang kaya, tetapi sangat mengedepankan
kesederhanaan. Tak heran kalau Eka terbiasa
rajin dan rapi untuk urusan pribadinya.
2.   Metode Dramatik (tidak langsung)
Pengarang dalam menggambarkan watak-watak
tokohnya tidak langsung menyebutkan wataknya,
tetapi melalui bermacam-macam cara, yaitu :

A.  Melalui penggambaran tempat tinggal atau


lingkungan tokoh
Contoh :                                                       
Kawer sedang tiduran di kamarnya yang luas.
Ukurannya tak kurang dari 4 X 4 m. Ranjangnya
yang berukuran nomor 1 terlihat acak-acakan.
Spreinya sangat kusut. Di atas tempat tidurnya
terdapat buku-buku berserakan yang bercampur
dengan baju seragam yang baru dilepasnya.
Sepatunya terlihat di ranjang tapi hanya yang
sebelah kanan, sedangkan sepatu yang sebelah
kiri terlihat di sudut kamar di belakang pintu. Di
belakang pintu kamar itu terlihat terdapat
kapstok yang dipenuhi pakaian kotor. Di lantai
kamar terlihat berpasang-pasang kaos kaki dan
pakaian yang entah sudah berapa hari tidak
dicuci. Televisi di kamar Kawer juga tertutupi
debu yang tebal. Di situ Kawer telentang dengan
kaos kaki yang masih melekat di kakinya.
B.  Melalui tanggapan tokoh lain
Contoh 1 :
Rina   : “Sin, bagaimana sebenarnnya Lita ya ?
Sinta  : “Ya bagaimana lagi ! Dia itu memang judes
sich !Tapi sebenarnya dia baik juga lho
…..”
Rina   : “Ya emang. Kemarin aku juga diajarin dia
waktu aku kesulitan mengerjakan PR
matematika.”
Sinta  : “Itulah, biar saja dia sekarang marah.
Sebentar lagi juga dia akan baik. Dia itu
nggak bakalan tahan kalau marah lama-
lama. Lagian, kalau kamu nggak nyinggung
dia duluan, dia juga ndak mungkin
semarah itu.”
Rina   : “Aku emang salah. Tapi tadi aku sudah
minta maaf. Cuma Lita emang marah
banget, jadi pas aku minta maaf dia malah
pergi.

c. Melalui dialog tokoh


Contoh :
“Rin kamu ini gimana sih ? Cuma bercanda kok
malah marah beneran,” tegur Lila. Rinta sejenak
menatap Lila, lalu katanya,” Yach maaf Lila, aku
memang mudah tersinggung, tapi jangan khawatir
ya, aku kalau marah ngga bisa bakalan lama-lama.
“Rinta menggandeng tangan Lila. Lila tersenyum
dan berkata,” Iya, tapi aku takut, karena kamu
sahabatku jadi aku khawatir ntar kamu dendam
ke aku, kayak temen kita yang di sana itu,” Ujar
Lila sambil matanya melirik ke arah kanan. Rinta
Cuma bilang,” Ya, kalau sama dia, kamu musti ati-
ati, jangan bikin dia marah, ntar kamu bisa
dimusuhin selama-lamanya.” Dua cewek itupun
tertawa tertahan sambil melirik ke arah Nola.

d.   Melalui pikiran tokoh atau pikiran tentang


tokoh lain
Contoh 1“                          
Aku merasa cemas, aku merasa bingung dan
takut. Peristiwa kemarin telah meruntuhkan
keyakinanku kepada diriku sendiri. Di dunia ini,
sepertinya tidak ada yang memihakku. Aku
merasa terasing.

Contoh 2”
Dina menatap wajah ibunya.” Ibuku memang
cantik,”batinnya,” meski sudah lanjut usia,
kecantikan ibu masih terlihat jelas di wajahnya.
Aku sangat menyayangi wanita ini. Sikapnya yang
tegas telah ikut membentuk karakterku. Kasih
sayangnya padaku tak pernah habis. Perhatiannya
padaku juga sangat luar biasa. Meski sejak usiaku
10 tahun ayah sudah meninggal, tapi ibuku sampai
kini tak menikah lagi. Ibu sangat kuat dan tabah
dalam menapaki hari-hari bersamaku, mendidikku,
mengajariku, membimbingku sendirian. Aku ingin
sekali bisa sekuat dia,” Begitu pikir Dina.”

E.  Melalui perbuatan atau tingkah laku tokoh


Contoh :
         Pulang sekolah tanpa mengetuk pintu, Tono
langsung masuk rumah dan dibantingnya pintu
rumahnya dengan keras. Ibunya yang sedang
berada di dapur sampai terkejut. Begitu masuk,
Tono langsung menuju meja makan, segera
dibukanya tudung saji. Ketika dilihatnya lauknya
itu-itu saja, dibantingnya tudung saji sampai
gelas yang ada di meja makan jatuh dan hancur
berkeping-keping. Dengan muka masam ia menuju
ke kamarnya. Ditendangnya pintu kamarnya
sampai terbuka, lalu masuk. Dibantingnya pintu
itu untuk menutup.
f.  Melalui gambaran fisik tokoh
Contoh :
Sandi adalah pemuda yang tidak pernah lepas dari
kacamatanya. Wajahnya yang lugu menunjukan
bahwa ia memiliki sikap yang baik. Senyum yang
selalu terpancar dari bibirnya menunjukan
persahabatan pada temannya.

Sudut Pandang Pengarang Cerpen/ Novel

1. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku


Utama

Dalam sudut pandang teknik ini, si ”Aku” mengisahkan


berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya,
baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun
fisik, hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.
Si ”aku”menjadi fokus pusat kesadaran, pusat cerita.
Segala sesuatu yang di luar diri si ”aku”, peristiwa,
tindakan, dan orang, diceritakan hanya jika berhubungan
dengan dirinya, di samping memiliki kebebasan untuk
memilih masalah-masalah yang akan diceritakan. Dalam
cerita yang demikian, si ”aku” menjadi tokoh utama (first
person central).
Contoh:
Pagi ini, begitu cerah hingga mampu mengubah suasana
jiwaku yang tadinya penat karena setumpuk tugas yang
masih terbengkalai menjadi sedikit teringankan. Namun,
aku harus segera bangkit dari tidurku dan bergegas
mandi karena pagi ini aku harus meluncur ke Kedubes
Australia untuk mengumpulkan berita yang harus segera
aku laporkan hari ini juga.
2. Sudut Pandang Orang Pertama sebagai Pelaku
Sampingan

Dalam sudut pandang ini, tokoh ”aku” muncul bukan


sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh tambahan
(first personal peripheral). Tokoh ”aku” hadir untuk
membawakan cerita kepada pembaca, sedangkan tokoh
cerita yang dikisahkan itu kemudian ”dibiarkan” untuk
mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh
cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang
kemudian menjadi tokoh utama, sebab dialah yang lebih
banyak tampil, membawakan berbagai peristiwa,
tindakan, dan berhubungan dengan tokoh-tokoh lain.
Setelah cerita tokoh utama habis, si ”aku”tambahan
tampil kembali, dan dialah kini yang berkisah.
Dengan demikian si ”aku” hanya tampil sebagai saksi
saja. Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi
oleh orang lain. Si ”aku” pada umumnya tampil sebagai
pengantar dan penutup cerita.

Contoh:
Deru beribu-ribu kendaraan yang berlalu-lalang serta
amat membisingkan telinga menjadi santapan sehari-
hariku setelah tiga bulan aku tinggal di kota metropolitan
ini. Memang tak mudah untuk menata hati dan diriku
menghadapi suasana kota besar, semacam Jakarta, bagi
pendatang seperti aku. Dulu, aku sempat menolak untuk
dipindahkan ke kota ini. Tapi, kali ini aku tak kuasa
untuk menghindar dari tugas ini, yang konon katanya aku
sangat dibutuhkan untuk ikut memajukan perusahaan
tempatku bekerja.
Ternyata, bukan aku saja yang mengalami mutasi kali
ini. Praba, teman satu asramaku , juga mengalami hal
yang sama. Kami menjadi sangat akrab karena merasa
satu nasib, harus beradaptasi dengan suasana Kota
Jakarta.
“Aku bisa stress kalau setiap hari harus terjebak macet
seperti ini. Apakah tidak ada upaya dari Pemkot DKI
mengatasi masalah ini? Rasanya, mendingan posisiku
seperti dulu asal tidak di kota ini!” umpat Praba.

Tetanggaku orangnya terkenal baik. Suka menolong


orang. Selalu memaafkan. Apa saja yang kita lakukan
terhadapnya, ia dapat mengerti dengan hati yang lapang,
bijaksana, dan jiwa yang besar. Setiap kali ia mengambil
putusan, aku selalu tercengang karena ia dapat
melakukan itu dengan kepala yang kering, artinya sama
sekali tidak ketetesan emosi. Tidak hanya terhadap
persoalan yang menyangkut orang lain, untuk setiap
persoalan pribadinya pun ia selalu bertindak sabar dan
adil. Banyak orang menganggapnya sebagai orang yang
berhati agung.
(Cerpen Pencuri karya Putu Wijaya dalam buku Protes)
3. Orang Pertama Jamak

Bentuk SP ini sesungguhnya hampir sama dengan SP


orang pertama tunggal. Hanya saja menggunakan
kata ganti orang pertama jamak, “Kami”. Pengarang
dalam sudut pandang ini menjadi seseorang dalam cerita
yang bicara mewakili beberapa orang atau sekelompok
orang. Perhatikan petikan di bawah ini.
Kami bekerja sebagai juru masak di sebuah
restoran continental yang brengsek. Kami
sebut restoran ini brengsek, sebab kami
diwajibkan memasak sambil menangis.
Bayangkan! Kami mengaduk kuah buntut
sambil menangis. Kami memasak nasi
goreng, merebus aneka pasta, membuat
adonan pizza, memotong daging ayam,
mengupas kentang, semua itu kami lakukan
sambil menangis. Begitulah. Setiap hari
selalu ada saja airmata yang meluncur dari
sepasang mata kami; mengalir membasahi
pipi, dagu, dan menetes ke dalam setiap
masakan kami.
(Cerpen Resep Airmata karya Noor H. Dee
dalam buku Sepasang Mata untuk Cinta yang
Buta)
4. Sudut Pandang Orang Kedua

Pengarang menempatkan dirinya sebagai narator yang


sedang berbicara kepada orang lain, menggambarkan
apa-apa yang dilakukan oleh orang tersebut. SP ini
menggunakan kata ganti orang kedua, “Kau”,
“Kamu” atau “Anda” yang menjadi pusat
pengisahan dalam cerita.
Kedua lututmu terasa lemas saat kau
bersandar pada pemadam api yang baru saja
dicat merah, putih, dan biru. Nalurimu ingin
berlari mendekati mereka, berteriak, “aku
juga! Aku juga!” Sekarang kau bisa
merasakan penyangkalan yang sudah lama
sekali kau lakukan; kau ingin berlari dan
mengatakan kepadanya tentang
kehidupanmu selama tiga puluh satu tahun
tanpa dirinya, dan membuatnya berteriak
dengan kepastian tanpa dosa: Oh, kau
sungguh putri yang cantik!
(Cerpen Main Street Morning karya Natalie
M. Patesch, pengarang cerpen asal Amerika)

5. Sudut Pandang Orang Ketiga Serba tahu atau


Maha Tahu
Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut
”dia”, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang
menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui
segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia
mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa,
dan tindakan, termasuk motivasi yang
melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan
menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan
tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”
yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau
sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan
tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan,
pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti
halnya ucapan dan tindakan nyata.
Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di
kompleks perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia
terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah
dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang
penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah
seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi
karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga
sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert,
jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia
tidak bakal menyukainya

6. Sudut Pandang Orang Ketiga sebagai Pengamat


Dalam sudut pandang ”dia” terbatas, seperti halnya
dalam”dia”mahatahu, pengarang melukiskan apa yang
dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh
tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang
tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat
terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang
juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi
kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti
halnya tokoh pertama.
Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia
langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak
masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya
itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit.
Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya
kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air.
Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya,
takut menambah amarahnya.

Anda mungkin juga menyukai