Anda di halaman 1dari 6

Nama: Bunga Anggraini

Kelas: 8.3

Azab dan Sengsara ([ˈazab dan seŋˈsara] ; Sakit dan Penderitaan ) adalah sebuah novel 1920 yang ditulis
oleh Merari Siregar dan diterbitkan oleh Balai Pustaka , penerbit besar Indonesia pada waktu itu.
Bercerita tentang dua kekasih, Amiruddin dan Mariamin, yang tidak mampu menikah dan akhirnya
menjadi sengsara. Ini umumnya dianggap sebagai novel Indonesia modern pertama .

Pengarang:Merari Siregar
Negara:Indonesia
Bahasa:Indonesia
Aliran:Novel
Penerbit:Balai Pustaka
Tanggal penerbitan:1920
Tipe media:Cetak (hardback & paperback)
Halaman:123 (cetakan ke-29)
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, seorang kepala kampong yang
terkenal kedermawanan dan kekayaannya. Masyarakat disekitar Sipirok
amat segan dan hormat kepada keluarga itu. Adapun Mariamin, yang
masih punya ikatan dengan keluarga itu, kini tergolong anak miskin.
Ayah Mariamin, Sutan Baringin almarhum, sebenarnya termasuk
keluarga bangsawan kaya. Namun, karena semasa hidupnya terlalu
boros dan serakah, ia akhirnya jatuh miskin dan meninggal dalam
keadaan demikian.

Bagi Aminuddin, kemiskinan keluarga itu tidaklah menghalanginya unuk


tetap bersahabat dengan Mariamin. Keduanya memang sudah
berteman akrab sejak kecil dan terus meningkat hingga dewasa. Tanpa
terasa benih cinta kedua remaja itu pun tumbuh subur. Belakangan,
mereka sepakat untuk hidup bersama, membina rumah tangga.
Aminuddin pun berjanji hendak mempersunting gadis itu jika kelak ia
sudah bekerja. Janji pemuda itu akan segera dilaksanakan jika ia sudah
mendapat pekerjaan di Medan. Aminuddin segera mengirim surat
kepada kekasihnya bahwa ia akan segera membawa Mariamin ke
Medan.

Berita itu tentu saja amat menggermbirakan hati Mariamin dan ibunya
yang memang selalu berharap agar kehidupannya segera berubah.
Setidak-tidaknya, ia dapat melihat putrinya hidup bahagia.

Niat Aminuddin itu disampaikan pula kepada kedua orang tuanya.


Ibunya sama sekali tidak berkeberatan. Bagaimanapun, almarhum ayah
Mariamin masih kakak kandungnya sendiri. Maka, jika putranya kelak
jadi kawin dengan Mariamin, perkawinan itu dapatlah dianggap sebagai
salah satu usaha menolong keluarga miskin itu.

Namun, lain halnya pertimbangan Baginda Diatas, Ayah Aminuddin.


Sebagai kepala kampung yang kaya dan disegani, ia ingin agar anaknya
beristrikan orang yang sederajat. Menurutnya, putranya lebih pantas
kawin dengan wanita dari keluarga kaya dan terhormat. Oleh karena
itu, jika Aminuddin kawin dengan Mariamin, perkawinan itu sama
halnya dengan merendahkan derajat dan martabat dirinya. Itulah
sebabbya, Baginda Diatas bermaksud menggagalkan niat putranya.

Untuk tidak menyakiti hati istrinya, Baginda Diatas mengajaknya pergi


ke seorang dukun untuk melihat bagaimana nasib anaknya jika kawin
dengan Mariamin. Sebenarnya, itu hanya tipu daya Baginda Diatas.
Oleh karena sebelumnya, dukun itu sudah mendapat pesan tertentu,
yaitu memberi ramalan yang tidak menguntungkan rencana dan
harapan Aminuddin. Mendengar perkataan si dukun bahwa Aminuddin
akan mengalami nasib buruk jika kawin dengan Mariamin, ibu
Aminuddin tidak dapatberbuat apa-apa selain menerima apa yang
menurut suaminya baik bagi kehidupan anaknya.
Kedua orang tua Aminuddin akhirnya meminang seorang gadis keluarga
kaya yang menurut Baginda Diatas sederajat dengan kebangsawanan
dan kekayaannya. Aminuddin yang berada di Medan, sama sekali tidak
mengetahui apa yang telah dilakukan orang tuanya. Dengan penuh
harapan, ia tetap menanti kedatangan ayahnya yang akan membawa
Mariamin.
Selepas peminangan itu, ayah Aminuddin mengirim telegram kepada
anaknya bahwa calon istrinya akan segera dibawa ke Medan. Ia juga
meminta agar Aminuddin menjemputnya di stasiun.

Betapa sukacita Aminuddin setelah membaca telegram ayahnya. Ia pun


segera mempersiapkan segala sesuatunya. Ia membayangkan pula
kerinduannya pada Mariamin akan segera terobati.

Namun, apa yang terjadi kemudian hanyalah kekecewaan. Ternyata,


ayahnya bukan membawa pujaan hatinya, melainkan seorang gadis
yang bernama Siregar. Sungguhpun begitu, sebagai seorang anak, ia
harus patuh pada orang tua dan adapt negerinya. Aminuddin tidak
dapat berbuat apa-apa selain menerima gadis yang dibawa ayahnya.
Perkawinan pun berlangsung dengan keterpaksaan yang mendalam
pada diri Aminuddin. Berat hati pula ia mengabarkannya pada
Mariamin.

Bagi Mariamin, berita itu tentu saja sangat memukul jiwanya.


Harapannya musnah sudah. Ia pingsan dan jatuh sakit sampai beberapa
lama. Tak terlukiskan kekecewaan hati gadis itu
Setahun setelah peristiwa itu, atas kehendak ibunya, Mariamin
terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang lelaki yang sebenarnya
tidak diketahui asal-usulnya. Ibunya hanya tahu, bahwa Kasibun
seorang kerani yang bekerja di Medan. Menurut pengakuan lelaki itu, ia
belum beristri. Dengan harapan dapat mengurangi penderitaan ibu-
anak itu, ibu Mariamin terpaksa menjodohkan anaknya dengan
Kasibun. Belakangan diketahui bahwa lelaki itu baru saja menceraikan
istrinya hanya karena akan mengawini Mariamin.
Kasibun kemudian membawa Mariamin ke Medan. Namun rupanya,
penderitaan wanita itu belum juga berakhir. Suaminya ternyata
mengidap penyakit berbahaya yang dapat menular bila keduanya
melakukan hubungan suami-istri. Inilah sebabnya, Mariamin selalu
menghindar jika suaminya ingin berhubungan intim dengannya.
Akibatnya, pertengkaran demi pertengkaran dalam kehidupan rumah
tangga itu tak dapat dihindarkan. Hal yang dirasakan Mariamin bukan
kebahagiaan, melainkan penderitaan berkepanjangan. Tak segan-segan
Kasibun menyiksanya dengan kejam.

Dalam suasana kehidupan rumah tangga yang demikian itu, secara


kebetulan, Aminuddin dating bertandang. Sebagaimana lazimnya
kedatangan tamu, Mariamin menerimanya dengan senang hati, tanpa
prasangka apa pun. Namun, bagi Kasibun, kedatangan Aminuddin itu
makin mengobarkan rasa cemburu dan amarahnya. Tanpa belas
kasihan, ia menyiksa istrinya sejadi-jadinya.

Tak kuasa menerima perlakuan kejam Kasibun, Mariamin akhirnya


mengadu dan melaporkan tindakan suaminya kepada polisi. Polisi
kemudian memutuskan bahwa Kasibun harus membayar denda dan
sekaligus memutuskan hubungan tali perkawinan dengan Mariamin.

Janda Mariamin akhirnya terpaksa kembali ke Sipirok, kampong


halamannya. Tidak lama kemudian, penderitaay yang silih berganti
menimpa wanita itu, sempurna sudah dengan kematiannya. “Azab dan
sengsara dunia ini telah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jasad
yang kasar itu.” (hlm. 163).

Anda mungkin juga menyukai