Anda di halaman 1dari 8

Nama : Raden Nurul Salsabil Retna Wulan

NIM : 2009554

JURNAL SPAI

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN RITUAL ADAT BALIA


PADA MASYARAKAT SUKU KAILI DI SULAWESI TENGAH

Raden Nurul Salsabil Retnawulan, Prof. Dr.H Syahidin, M.Pd

Pendidikan Seni Tari FPSD UPI

(rnurulsalsabila@gmail.com)

(syahidin@upi.edu)

ABSTRAK

Pandangan Islam Terhadap Ritual Adat Balia pada masyarakat suku kaili di Sulawesi
Tengah. Dengan menggunakan metode kualitatif, teknik pengumpulan data melalui
observasi, wawancara, dan dokumentasi, analisis data dilakukan dengan reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi data, artikel ini akan mengulas bagaimana pelaksanaan
Ritual Adat Balia, dan bagaimana pandangan Islam terhadap ritual adat tersebut. Adat
Balia adalah suatu adat kebiasaan yang turun temurun dari masyarakat Kaili dari
sejak dahulu hingga sekarang, dengan cara memasukkan roh-roh halus ke tubuh
seseorang atau dukun yang bertindak sebagai mediator (pelaksana upacara adat) serta
memberikan sesembahan berupa kambing atau sapi sebagai tebusan atau pengganti
bagi jiwa si sakit dengan cara membunuh sesembahan tersebut dengan tombak.
“Balia” ialah suatu sistim upacara dalam rangkaian usaha pengobatan/ penolakan
penyakit secara magis, yang dilaksanakan atau diperankan oleh seorang atau beberapa
orang dukun yang berfungsi sebagai mediator. Balia adalah suatu upacara adat atau
tradisi yang bertujuan untuk penyembuhan atau penolakan suatu penyakit yang harus
diupacarakan secara magis. Balia adalah suatu kepercayaan masyarakat Suku Kaii di
Suawesi Tengah, suatu upacara adat tradisional yang telah bercampur dengan aspek
kepercayaan. Ritual adat Balia yang yang diaksanakan oeh suku Kaili di Sulawesi
Tengah bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab adat tersebut bertentangan dengan
Alquran maupun hadits, meskipun ritual adat Balia mengandung banyak nilai-nilai
keislaman antara lain terjadinya silaturahmi antar sesama manusia tanpa
membedabedakan status sosial,

Kata Kunci: ritual adat; adat balia; suku kaili


ABSTRACT

Islamic View of Balia Traditional Rituals in the Kaili Tribe in Central Sulawesi. By
using qualitative methods, data collection techniques through observation, interviews,
and documentation, data analysis is carried out by data reduction, data presentation,
and data verification, this article will review how the Balia traditional ritual is carried
out, and how Islam views the traditional ritual. Balia custom is a custom that has been
passed down from generation to generation from the Kaili community from ancient
times to the present, by inserting spirits into a person's body or a shaman who acts as
a mediator (implementer of traditional ceremonies) and giving offerings in the form
of goats or cows as ransom or substitutes. For the soul of the sick by killing the deity
with a spear. Balia is a ceremonial system in a series of magical treatment/rejection
efforts, which are carried out or played by one or several shamans who function as
mediators. Balia is a traditional ceremony or tradition that aims to heal or reject a
disease that must be performed magically. Balia is a belief of the Kaili tribe in
Central Suawesi, a traditional traditional ceremony that has been mixed with aspects
of belief. Balia traditional rituals carried out by the Kaili tribe in Central Sulawesi are
contrary to Islamic teachings. Because the custom is contrary to the Qur'an and
hadith, although the Balia ritual contains many Islamic values, including the
occurrence of friendship between fellow humans without discriminating social status,

Keywords: traditional rituals; balia ritual ; kaili tribe

I. Pendahuluan
Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai macam suku bangsa tersebar di
seluruh Indonesia ditandai dengan beraneka macam kebudayaan. Keragaman
kebudayaan adalah suatu kebhinekaan yang menarik perhatian kita semua dan
berupaya untuk menelusuri lebih jauh dalam rangka menemukan suatu identitas yang
sifatnya universal dan terpadu dalam kebudayaan nasional.
Berbagai suku bangsa yang tersebar luas baik yang amat sederhana maupun
yang kelompok sifatnya, diikat dalam suatu tata aturan hidup yang berlaku dalam
masyarakat itu. Norma-norma atau tata aturan yang berlaku dalam masyarakat
tersebut, dihargai dan dihormati oleh masyarakat pendukungnya, karena ia
merupakan intisari dari pengalaman-pengalaman yang teruji sehingga keberadaannya
wajib dijunjung tinggi dan munculnya pun dari suatu pengakuan sosial masyarakat
setempat.
Adat Balia sebagai salah satu adat yang muncul dalam sistim upacara dengan
rangkaian pengobatan atau penolakan terhadap suatu penyakit. Upacara Balia muncul
di komunitas Suku Kaili dan telah diyakini oleh masyarakat secara turun temurun.
Bagi masyarakat adat yang masih berpegang pada tradisi Balia atau masukan roh-roh
halus pada tubuh seseorang hingga kesurupan adalah adat kebiasaan yang ada sejak
dahulu Ia telah melekat di hati masyarakat dimana norma-normanya pun wajib
dipatuhi bahkan perlengkapan upacaranya perlu dihadapi dengan sikap hati-hati dan
mawas diri.
Namun, saat manusia telah membentuk suatu masyarakat yang semakin
berbudaya dengan tuntutan hidup yang semakin tinggi, maka pendidikan ditujukan
bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan
kemampuan-kemampuan teoritis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berpikir
ilmiah.
Bagi umat Islam yang berkembang sejak zaman Rasulullah Muhammad saw.,
melaksanakan misi sucinya dalam menyebarkan agamanya, pendidikan merupakan
kunci kemajuan. Sumber-sumber pokok ajaran Islam berupa al-Qur’an dan al-Hadits,
telah banyak mendorong pemeluknya untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang
dapat mensejahterakan pribadi dalam masyarakat, sehingga dengan kesejahteraan
yang berhasil diciptakan, maka manusia secara individual maupun sosial, mampu
meningkatkan derajat dan martabatnya, baik bagi kehidupan di dunia maupun
kehidupannya di akhirat.
Dengan demikian, Penulis dapat memberikan penjelasan bahwa agama pada
dasarnya merupakan seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi
mendasari dan membimbing hidup dan kehidupan manusia, baik sebagai individu
maupun sebagai masyarakat. Tradisi dan adat istiadat yang masih hidup dan
berkembang di masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh agama. Karena nilai
dan norma agama maupun adat kebudayaan (tradisi) memberi bekas yang mendalam
bagi tatanan kehidupan masyarakat.
II. Metode Pembahasan
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif, yaitu data yang
dikumpulkan berbentuk kata-kata gambar, bukan angka-angka. Menurut Bogdan dan
Taylor, sebagaimana yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah
berbentuk kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif diamati. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan
penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan
kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan
data yang relevan diperoleh dari situasi alamiah. Berdasarkan pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa jika pengumpulan data penelitian ini tidak menggunakan angka
maka penelitian tersebut dinamakan penelitian kualitatif. Jadi jenis penelitian yang
digunakan dalam penulisan ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif karena data
yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berupa gambaran, gejala dan fenomena
yang terjadi. Dengan demikian karena jenis datanya hanya berupa gambaran, gejala,
dan fenomena yang terjadi. Yaitu tentang gambaran, hasil yang ada di suku Kaii
tentang pelaksanaan Adat Balia. Data didapat melalui obrservasi, wawancara dan
dokumentasi, data dibagi menjadi primer dan skunder, Data primer bersifat polos, apa
adanya, dan masih mentah memerlukan analisi lebih lanjut. Pada penelitian ini
penulis mengumpulkan informasi dari orang-orang tertentu yang terlibat dalam pokok
permasalahan yang diangkat. Data sekunder adalah data yang di peroleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah
ada. Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer yang telah di peroleh
yaitu dari bahan pustaka, literatur, penelitian terdahulu, buku, dan lain sebagainya.
Data yang sudah didapat analisa dengan menggunakan teknik analisa data melalui
reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi dilakukan sejak
pengumpulan data, dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema,
menulis memo, dan lain sebagainya, dengan maksud menyisihkan data atau informasi
yang tidakrelevan, kemudian data tersebut diverifikasi. Penyajian data kualitatif
disajikan dalam bentuk teks naratif, dengan tujuan dirancang guna menggabungkan
informasi yang tersusun dalam bentuk yang padu dan mudah dipahami. Peneliti harus
sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik dari segi makna maupun
kebenaran kesimpulan yang disepakati oleh tempat penelitian itu dilaksanakan.
Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran, kecocokan, dan
kekokohannya. Peneliti harus menyadari bahwa dalam mencari makna, ia harus
menggunakan pendektan emik, yaitu dari informasi kunci (key information)

III. Kajian Pustaka


Adat adalah merupakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap
golongan-golongan tertentu baik itu mengenai bidang kesusilaan maupun mengenai
bidang-bidang lainnya. Kebiasaan yang dijalankan secara terus menerus suatu saat
akan menjadi suatu adat, karena adat merupakan kebiasaan yang normative.vApabila
kebiasaan dijalankan serta tetap lambat laun ia tumbuh menjadi adat. Adat ialah
kebiasaan yang normatif. Jadi apabila laku perbuatan itu meningkat menjadi norma,
pada waktu itu ia menjadi unsure adat. Apabila norma tidak dijalankan dalam
menghadapi situasi yang harus dijawab oleh norma tersebut, maka akan lahirlah
sanksi. Berat ringannya sanksi, tergantung pada berat ringannya pelanggaran adat
Adat istiadat dapat diartikan sebagai kebiasaan yang diadatkan (dibiasakan),
yang telah berpindah dari generasi kegenerasi. Penduduknya dalam kehidupan
masyarakat kadang-kadang dinilai sebagai norma hukum. Kebiasaan itu sendiri
biasanya tidak mempunyai sanksi yang bersifat mengikat, dan hanya bersifat
individual. Tetapi kebiasaan yang telah dianggap sebagai milik bersama (bukan lagi
monopoli seorang individu), maka biasanya effectnya lebih dalam dirasakan oleh
masyarakat yang menyusunnya.

IV. Pembahasan
“Adat Balia”” adalah suatu adat kebiasaan yang turun temurun dari
masyarakat Kaili dari sejak dahulu hingga sekarang, dengan cara memasukkan roh-
roh halus ke tubuh seseorang atau dukun yang bertindak sebagai mediator (pelaksana
upacara adat) serta memberikan sesembahan berupa kambing atau sapi sebagai
tebusan atau pengganti bagi jiwa si sakit dengan cara membunuh sesembahan tersebut
dengan tombak. “Balia” ialah suatu sistim upacara dalam rangkaian usaha
pengobatan/ penolakan penyakit secara magis, yang dilaksanakan atau diperankan
oleh seorang atau beberapa orang dukun yang berfungsi sebagai mediator
Berdasarkan uraian-uraian diatas tentang sekitar pengertian adat maka “Balia” adalah
termaksud salah satu adat.hal ini disebabkan karena “Balia” yang terdapat pada
masyarakat kaili adalah suatu kebiasaan yang diadatkan atau dibiasakan secara turun
temurun dari generasi ke genarasi hingga sekarang ini. Balia adalah suatu upacara
adat atau tradisi yang bertujuan untuk penyembuhan atau penolakan suatu penyakit
yang harus diupacarakan secara magis. “Balia” adalah suatu kepercayaan masyarakat
di Tanah Kaili, suatu upacara adat tradisional yang telah bercampur dengan aspek
kepercayaan.
Adapun sanksi terhadap pelanggaran adat “Balia” secara formal tidak ada.
Namun demikian secara psykologis atau kejiwanan akan mendapat sanksi darimahluk
halus atau roh-roh leluhur sebagai sumber dan penyebab penyakit tersebut dan hal ini
telah menjadi suatu kepercayaan yang diyakini kebenarannya.
Masyarakat Suku Kaili mempercayai bahwa agama Islam mulai masuk di
tanah kaili yaitu pada permulaan abad ke-17 yang dibawa oleh Abdullah Raqie gelar
Datokarama. Raja-raja dan penduduk sangat tertarik mengikuti ajaran yang dibawa
oleh ulama itu. Abdullah Raqie (Datokarama) memberikan pendidikan dengan
mengajarkan ajaran agama Islam dalam masyarakat yang mendiami Lembah Palu dan
Kabupaten Donggala, termasuk pesisir Pantai Barat Kabupaten Donggala. Ajaran
agama itu pada mulanya disampaikan melalui ceramah-ceramah di upacara-upacara
adat (baik upacara kematian dan semacamnya) penyampaian ajaran agama Islam
tersebut lambat laun disampaikan melalui ceramah di Langkara (Masjid) yang
kemudian diteruskan oleh murid-muridnya dari satu generasi ke generasi berikutnya
hingga sampai sekarang.
Ketika agama Islam diterima oleh masyarakat di Tanah Kaili, maka nilai-nilai
hukum ajaran agama Islam berhadapan dengan nilai-nilai hukum adat yang berlaku,
dipelihara dan ditaati sebagai sistem hukum yang mengatur masyarakat Kaili. Oleh
karena itu, proses penerimaan hukum Islam sebagai sistem hukum bersama-sama
dengan sistem hukum adat Kaili adalah untuk mengatur masyarakat tersebut, yang
kemudian lambat laun hukum adat etnis Kaili dalam hal tertentu tergeser posisinya
oleh hukum Islam, sehingga hukum Islam menjadi adat kebiasaan etnis Kaili, dan
dalam lain hal yang tidak diatur oleh ajaran agama Islam dan/atau tidak bertentangan
dengan ajaran agama Islam, maka hukum adat itu tetap berlaku bersama-sama dengan
hukum Islam untuk mengatur kehidupan masyarakat Kaili.
Pergesaran budaya, termasuk adat sebelum Islam, melalui proses yang
panjang, yakni sejak diterimanya agama Islam oleh etnis Kaili (awal abad ke-17)
sampai saat ini (akhir abad ke 20) masih berlangsung, sehingga kebudayaan sebelum
Islam masih ditemukan unsur-unsurnya, karena para ahli hukum Islam menerima
budaya termasuk hukum adat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam,
sekaligus dengan memanfaatkan qaidah fiqhi : “Al-adatu muhakkamah”, yaitu adat
kebiasaan yang baik atau adat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat
dijadikan salah satu sumber hukum Islam
Kebudayaan atau adat kelompok etnis masyarakat Kaili sebelum ajaran agama
Islam masuk di Tanah Kaili, khususnya di Lembah Palu dan pesisir Pantai Barat
Kabupaten Donggala, masih dapat ditemukan unsur-unsur pelaksanaan adat, baik
yang belum mengalami perubahan maupun yang sudah mengalami perubahan akibat
pergeseran ajaran baru. Kelompok etnis Kaili yang mengetahui dan memahami
pentingnya ajaran agama Islam untuk diamalkan oleh setiap muslim, maka mereka
mempunyai perilaku budaya yang Islami. Sebaliknya, kelompok-kelompok etnik
Kaili yang mengetahui dan memahami ajaran agama Islam tetapi tidak mampu
mengamalkan dan/atau hanya mengamalkan separuhnya, akan mewujudkan budaya
atau adat yang tidak Islami.

V. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa
Pelaksanaan ritual adat balia yang dilaksanakan dengan masukan roh-roh halus pada
tubuh seseorang hingga kesurupan. Ritual adat balia yang diakukan oleh masyarakat
Suku Kaili di Suawesi Tengah, bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab adat tersebut
bertentangan dengan Al-Qur’an maupun hadits, meskipun ritual adat balia
mengandung nilai-nilai keislaman antara lain terjadinya silaturahmi antar sesama
manusia tanpa membeda-bedakan status sosial,. Berdasarkan hasil penelitian dapat
memperoleh teori bahwa pandangan Islam terhadap ritual adat balia yang
diaksanakan oeh masyarakat suku Kaili, Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
pengetauan berkaitan dengan pelaksanaan ritual adat balia pada masyarakat suku
Kaili yang ada di Sulawesi Tengah.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zaima. 2009, Ilmu Hukum Dalam Masyarakat Indonesia Palu : Yayasan
Masyarakat Indonesia Baru
Arifin, H.M. 2002, Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai
Pustaka.
Darajat, Zakiah, dkk. 2002. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Departemen Pendidikan Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Semarang : Toha Putra
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2000, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
Djojogoeno. 2009. Asas-Asas Hukum Adat. Yogyakarta : CV. Masagung
Gazalba Sidi, 2007. Tinjauan Tentang Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Gunung
Agung.

Anda mungkin juga menyukai