Anda di halaman 1dari 4

*KARTINI DAN MENGAJI*

Adalah KH. Sholeh Darat, seorang tokoh agama terkemuka di pesisir utara Jawa kala itu, suatu ketika
sedang mengajar ngaji kepada seorang gadis belia, Kartini namanya. Sebagai seorang anak keturunan
priyayi, Kartini mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih baik dibanding anak-anak
seusianya. Syahdan, suatu ketika KH. Sholeh Darat mengajarkan ilmu tafsir kepada Kartini, Dalam
sebuah percakapannya, gadis belia itu

Semoga, Kartini-Kartini di zaman ini, tak lupa untuk mengaji ketimbang banyak selfie…

_Salim,_
_cakjamie.id_

*urip pisan, sing apik sisan*

Kisah tentang bagaimana KH Muhammad Sholeh bin Umar Assamarani (Mbah Sholeh
Darat) melukiskan sosok Raden Ajeng Kartini dalam Kitab Tafsir Faidlur Rahmanmasih
selalu menjadi pertanyaan. Apakah itu hanya sebuah sejarah lisan yang tidak dapat
dibuktikan? Ternyata fakta ini mulai nyata dan dapat dilacak dari karya Mbah Sholeh Darat.
Orang seperti Kartini dengan segala kemewahan hidup butuh pencerahan agama. Apalagi
keluarga Kartini dikenal sebagai keluarga santri-priyayi yang tekun dalam beragama dan
dedikasi kuat dalam menjalankan roda pemerintahan. Itu semua demi rakyat Bumiputra
(demikian Kartini selalu menyebut Indonesia dengan istilah Bumiputra). Alhasil, ketika
Kartini belajar al-Qur’an terasa hampa, karena ia hanya belajar mengeja dan membaca. Isi
kandungan al-Qur’an tidak dapat diserap. Ia mengibaratkan bahwa belajar al-Qur’an
dengan model demikian akan menjadikan orang Islam tidak mengetahui mutiara hikmah
al-Qur’an. Ketika ia meminta guru ngajinya mengartikan al-Qur’an justeru Kartini dimarahi.
Kartini mulai gelisah dan sangat gelisah. Ia berontak akan belum sempurnanya Islam yang
dipeluknya jika ia belum tahu isi al-Qur’an. Bahasa asing seperti Belanda, Prancis dan
Inggris saja ia lahap dengan baik, maka bahasa agamanya, yakni Arab juga ia berusaha
pelajari. Namun Kartini tidak menemukan guru bahasa Arab atau guru tafsir. Itulah Kartini,
seorang perempuan muda yang tidak kenal lelah belajar bermasyarakat dan beragama.
Maka saat Kartini masih berumur 20 tahun sudah mengungkapkan kegelisahan itu dalam
suratnya kepada Stella EH Zeehandelaar tertanggal 6 November 1899: “Al-Qur’an terlalu
suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun juga. Disini orang juga tidak tahu Bahasa
Arab. Disini orang diajari membaca al-Qur’an, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.
Saya menganggap itu pekerjaan gila; mengajari orang membaca tanpa mengajarkan
makna yang dibacanya”. Begitu dahsyatnya Kartini melakukan kritik kuat terhadap
pembelajaran agama di akhir abad 19 itu. Dan itu menjadi bukti bahwa Kartini sangat
peduli terhadap kuatnya minat untuk belajar isi agama yang terkandung dalam al-Qur’an.
Dan saat itu belum ada tafsir al-Qur’an yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu
atau Jawa. Wajar, jika Kartini menjadi penasaran! Kartini masih melanjutkan kalimat dalam
surat itu: “Sama halnya seperti kamu mengajar saya membaca buku bahasa Inggris yang
harus hapal seluruhnya, tanpa kamu terangkan maknanya kepada saya. Kalau saya mau
mengenal dan memahami agama saya, maka saya harus pergi ke negeri Arab untuk
mempelajari bahasanya disana. Walaupun tidak saleh, kan boleh juga jadi orang baik hati.
Bukankah demikian Stella?” Kalimat itu jelas menandakan tak berdayanya seorang Kartini
akan bahasa Arab. Ia dibuat pusing oleh bahasa Arab dan dibuat penasaran oleh
agamanya yang berbahasa Arab. Maka ia rindu dengan negeri Arab untuk belajar kesana.
Dan itu sangat tidak mungkin, sebab harapannya ke Belanda yang ia kuasai bahasanya saja
gagal dan digantikan Agus Salim. Maka ia menanti kehadiran orang Jawa yang pernah di
negeri Arab agar bisa menjelaskan isi al-Qur’an. Siapakah dia? Mbah Sholeh Daratlah yang
mampu membuka wawasan Islam Kartini. Al-Qur’an yang demikian suci dibuka maknanya
sehingga Kartini memahaminya. Mengenai waktu kapan Kartini bertemu Mbah Sholeh
Darat, penulis lebih sepakat memilih pertemuan itu sudah jauh hari sebelum 1901 (dua
tahun pernikahan Kartini). Sebagaimana pendapat Moesa Mahfudz yang dikutip Abdullah
Salim bahwa pertemuan Kartini itu diperkirakan 1901. Tapi kemungkinan besar itu
pertemuan yang kesekian kalinya. Sebab surat Kartini di usianya 20 tahun (1899) sudah
paham tentang ajaran al-Qur’an dengan tidak bolehnya orang Belanda menyalahkan
ayahnya yang melakukan poligami. Bahkan Kartini mengutip ajaran Islam tidak melarang
beristri empat. Ini menunjukkan sebelum surat itu ditulis, Kartini sudah pernah belajar
tentang kandungan al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3: “...Fankihu ma thaba lakum minan nisa’
matsna watsulatsa wa ruba’...; Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi, dua, tiga
atau empat”. Tafsir Faidlur Rahman fi Tarjamati Tafsir Kalam Malikid Dayyan jilid satu itu
ditulis selama sebelas bulan oleh Mbah Sholeh Darat (20 Rajab 1309 H/19 Februari 1892
sampai 19 Jumadal Ula 1310 H/9 Desember 1892 M). Jilid pertama ini berjumlah 503
halaman dengan bahasan surat al-Fatihah dan surat al-Baqarah. Kemudian kitab tafsir itu
dicetak oleh percetakan HM Amin Singapura pada 27 Rabiul Akhir 1311 H/7 November
1893. Oleh Amirul Ulum ditegaskan bahwa pertemuan Kartini dan Mbah Sholeh Darat
sudah pernah dilakukan sebelum 1892, tepat sebelum Kartini dipingit. Seorang suami dari
buyut Mbah Sholeh Darat bernama Agus Tiyanto (sering menyebut namanya Abu Malikus
Salih Dzahir) menjelaskan bahwa sumber data Kartini pernah nyantri dengan Mbah Sholeh
Darat ini awalnya ditemukan oleh Moesa Machfudz (dosen sejarah UGM) berdasarkan
catatan pribadi murid Kyai Sholeh Darat yaitu KH. Ma'shum Demak. Dan itu dimuat dalam
Majalah Gema Yogyakarta Nomor 3 tahun 1978. Adapun tokoh-tokoh generasi awalyang
melacak dan meneliti riwayat Mbah Soleh Darat pertama adalah HM. Ali Cholil (cucu Kyai
Soleh Darat), kemudian dilanjutkan Abdullah Salim (Universitas Sultan Agung), Danuwiyoto
(Dosen IAIN Sunan Kalijogo) dan Muchoyyar (IAIN Walisongo). Yang menulis buku tentang
Mbah Sholeh Darat pertama adalah Abdullah Salim dalam tulisan Arab Pegon dan
dilanjutkan Agus Tiyanto dengan kemudian adanya revisi tambahan dan editing dari
Muhammad Ikhwan. Agus Tiyanto menambahkan  bahwa yang menarik dari RA Kartini
adalah tiga hal: Pertama, Kartini telah mendapat pencerahan (ilmu hikmah) dalam
memahami ilmu agama berkat bimbingan seorang ulama (kyai). Kedua, Kartini yang
dinyatakan pejuang sejati kesetaraan gender, tetapi pada akhirnya menerima juga ketika
suaminya berpoligami. Disitulah rahasia kuat Kartini. Dan ketiga, Kartini adalah generasi
pejuang yang lahir dengan garis ayah dari kaum ningrat (terikat dengan adat budaya Jawa)
dan dari garis Ibu yang dari ulama-ulama dalam tradisi kaum santri. Yang perlu dibuka dan
dikaji kali ini adalah bagaimana Mbah Sholeh Darat menyinggung atau mengisyaratkan
seorang Kartini sebagai seorang muridnya? Apakah ada cacatan tentang itu? Coba kita
simak pembukaan Kitab Tafsir Faudlur Rahma karya Mbah Sholeh Darat dalam bahasa
Jawa dan ditulis dengan pegon ini: Alhamdulillah amarana fi amrin hakim, wa nahana ‘anit
ta’jil fi amrit ta’lim. Wassalatu wassalamu ‘ala syafi’il anam, sayyidina Muhammadin wa ‘ala
‘alihi washahbihi hidayatal ummah wal malikik ‘allam. Amma ba’du. Mekaten nyuwun
marang Syaikhana mu’allif iki tafsir setengahe ikhwan kita fiddin kang supoyo iki tafsir
kasebaro luwih disik senadyan mung sak surat, sebab kerono yakine hajate ba’dlul ikhwan
mahu lan liyan-liyane hajat ngaweruhi iki tafsir. Maka ora kerso Syaikhana nuruti
penuwune ba’dlul ikhwan mahu sebab mengkono iku ora muwafiq karo ‘azate ulama’ yang
mutaqaddimin. Jalaran ulama mutaqaddimin iku ora kerso nyebar karangane yen durung
rampung sarto piyambake taseh jumeneng. Sak wuse semunu saking bangete kajenge
karepe kang nyuwun mahu, maka nuli istakharah Syaikhana nyuwun idzin apa kalilan
disebar disik opo ora. Maka nuli diparingi isyarati idzin nyebarake tafsir marang wong akeh.
Mulane iki juz awal disebar luwih disik sedurunge rampung liya-liyane. Mugo-mugo kang
keri bisoho rampung. Kejobo soko iku iki ta’jil iku ora klebu hadits: “Al’ajalah minasy
syaithan” alhadits. Sanadyan nulaya tatapan karo ‘adate ulama mutaqaddimin kerono wus
ono idzin mahu kerono hikmah ing njeruni iki ta’jil. Iyo iku inggal-inggal weruhe muslimin
kang raghibe yang ora jahade mung ilmune hikmah kang kasebut ono ing iki tafsir mugo-
mugo iki ta’jil kalebu ta’jil sababi. Lamun ora dita’jil maka yekti suwe ora weruhe wong akeh
mung ilmune hikmah lan asrar kang kasebut ana ing iki tafsir ing hale sak iki kito kabeh
wus kewajibane ngaweruhi ilmune hikmah “lan asrore Qur’an”. Iyo bener wus tafsir olehe
mahami tafsir liyane iki jalaran tembung Arab serto maneh lamuno olehe nyebar iki tafsir
iki ngenteni rampung kabeh, maka yekni isih luas banget lan durung karuwan menangi
rampung jalaran umur kito durung karuan menangi rampunge soko rampunge kabeh.
Dadi kito mati sakdurunge weruh isine tafsir iki. Mugo-mugo kito keparingan weruh isine
kabeh sarto amal alhashil ta’jil iki iku ora haram, ora mekruh, ora khilaful aula malah luwih
becik lan luwih agung fadlilahe. Sebab kerono gegawe wasilah marang barang kang luweh
gede  iyo iku weruhe wong akih marang ilmu lan hikmah lan asrar. Ing hale asrar iku asrare
Ratu kang agung lan maneh iki ta’jil iku ta’jil ata wal hikam”. Kalimat pembuka ini menjadi
fakta tekstual dari Mbah Sholeh Darat terhadap kegelisahan Kartini dalam hal memahami
rahasia al-Qur’an. Mbah Sholeh Darat menegaskan bahwa permintaan untuk menerbitkan
bagian dari seluruh tafsir ini permintaan sebagian teman-temannya. Bukan hanya itu, tapi
ditegaskan ikhwan kito fiddin (teman yang seagama). Ini menegaskan bahwa permintaan
itu bukan dari Belanda yang beda agama. Dan Mbah Sholeh Darat sadar, bahwa tradisi
ulama pendahulu itu kalau membuat karya tidak akan dipublikasikan sebelum selesai.
Maka langkah spiritual dilakukan dengan istikharah dan isyaratnya boleh mempercepat
penyebaran tafsir itu. Alasan kuat yang menjadikan percepatan penerbitan tafsir itu adalah
karena umat sudah sangat membutuhkan. Sedangkan sebagian besar orang Jawa tidak
bisa berbahasa Arab. Ungkapan ini sama dengan ungkapan Kartini dalam surat pada Stella.
Jadi sangat wajar kalau dialektika karya Kartini direspon cepat oleh Mbah Sholeh Darat.
Dan ada yang luar biasa dari ungkapan Mbah Sholeh Darat dalam mengukur usianya.
Seakan sudah ada tanda bahwa beliau akan berpamitan pada umat, maka tafsir yang jilid
pertama dipercepat. Sudah tidak ada yang bisa meragukan lagi pertemuan Kartini dengan
Mbah Sholeh Darat dalam konteks masa hidup dan karya-karyanya. Ini seakan menjadi
bukti nyata “dialog” antara dua tokoh dalam goresan tintanya masing-masing. Kartini
melukiskan dalam surat-suratnya. Dan Mbah Sholeh Darat menulis
dalammuqaddimah/pembukaan kitab tafsirnya. Apalagi Mbah Sholeh menuliskan kata
“Ratu” dalam pembukaan tafsirnya. Kata “Ratu” itu bisa memaksudkan bahwa yang
dimaksudkan dua hal: Allah atau “Ratu” itu adalah pemerintah dan keluarga (termasuk
Kartini). Maka KH Dr Imam Taufiq MAg, ahli tafsir UIN Walisongo yang juga Pengasuh
Pondok Pesatren Darul Falah Besongo Semarang menyebutkan tegas saat menyampaikan
Kajian Tafsir Faidlurrahman di Masjid Agung Kauman Semarang (17 April 2016): “Tradisi
penerbitan ulama klasik tidak menyebarkan karangan sebelum selesai. Percepatan
penerbitan karena tingginya permintaan dan kebutuhan tafsir al-Qur’an dengan bahasa
lokal. Dan desakan Kartini atas penerbitan tafsir lokal kepada KH Sholeh Darat dalam
pengajian pamannya, Bupati Demak Ario Hadiningrat”. Inilah salah satu fakta yang
terungkap dari karya Mbah Sholeh Darat yang menegaskan bahwa salah satu yang
meminta Mbah Sholeh Darat membuat tafsir berbahasa Jawa adalah Kartini. Dan Kartini
juga terpengaruh dengan isi rahasia al-Qur’an yang ditulis oleh Mbah Sholeh Darat.
Sehingga Kartini menjadi orang yang berjiwa santriwati dengan status sosialnya sebagai
keluarga ningrat (pejabat negara). Masih ada lagi kisah menarik tentang kisah Kartini dan
Mbah Sholeh Darat. Bagaimana Mbah Sholeh Darat menyadari bahwa Kartini akan
menikah dini? Dan bagaimana Mbah Sholeh tahu bahwa dirinya akan wafat dalam waktu
selesainya menghadiahkan Kitab Tafsir pada Kartini?

Anda mungkin juga menyukai