PENDAHULUAN
Setiap orang tua mempunyai harapan untuk memiliki buah hati yang
mempunyai anak yang sehat jasmani maupun rohani. Namun pada kenyataannya
anak yang dilahirkan tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Bukan hanya nutrisi
ibu yang perlu diperhatikan, kesehatan mental dan kesehatan lingkungan juga
mempengaruhi ibu hamil. Kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan “berbeda” dari
bayi sehat pada umumnya, memunculkan berbagai macam reaksi dari orang tua.
akibat retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Selain
berdampak bagi orang tua seperti perasaan bersalah, berdosa, kurang percaya diri,
terkejut/ tidak percaya, malu, dan over protective. Senada dengan hal tersebut,
hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa orang tua yang memiliki
anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu, marah dan
menerima keadaan anaknya. Seperti pengakuan seorang ibu kepada Safaria (2005)
yang merasa tidak berharga karena tidak mampu melahirkan anak normal selain
1
2
anak normal pada umumnya. Ini disebabkan karena capabilities anak yaitu fungsi
tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas
dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi anak yang retardasi
mental akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak
membutuhkan penanganan khusus serta dukungan penuh dari orang tua dan
hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat
tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari orang tua dan keluarga
(Hendriani, Handariyati, Sakti, 2006). Oleh sebab itu, dibutuhkan cara untuk
mengelola stres dan mengoptimalkan peran serta orang tua dalam pengasuhan dan
individu.
ketidak sesuaian antara tuntutan situasi fisik atau psikologis dan sumberdaya dari
orang tersebut, baik biologis, psikologis maupun sistem sosial (Sarafino & Smith,
2011).
bahwa stres adalah suatu kondisi yang dipersepsi oleh individu sebagai keadaan
tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu. Adanya kemampuan dan konsep
individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat sepanjang hidup. Menurut
Sarafino dan Smith (2011), sumber-sumber stres dibagi menjadi 3 macam yaitu
stres bersumber dari diri individu, stres bersumber dalam keluarga, dan stres yang
tuntutan dan sumber daya. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat bahwa coping
adalah upaya untuk merubah kognitif dan perilaku yang terus menerus untuk
koping ada dua yaitu sumber yang berasal dari diri individu, dan sumber koping
yang berasal dari luar individu. Sumber koping yang berasal dari diri individu
orangtua. Ketika dampak negatif muncul, orang tua menggunakan strategi koping
merupakan hal yang vital bagi orang tua untuk membesarkan anak dengan
retardasi mental. Strategi koping tidak hanya penting untuk dampak sosialisasi
langsung orang tua dalam memodifikasi perilaku anak, tapi juga efek sosialisasi
tak langsung dari orangtua dalam melakukan koping untuk merasa lebih baik atau
orangtua , pemahaman mengapa hal tersebut terjadi dan strategi koping yang
dapat mereka gunakan untuk mengurangi stres (jones dan pasey, 2003). Orang tua
bagi kehidupan mereka akan lebih terbuka dalam perubahan perilakunya daripada
orang tua yang menganggap bahwa retardasi menta;l merupakan bencana yang
keluarga, persepsi orang tua terhadap penghargaan atau kepuasan dalam merawat
Penelitian yang dilakukan oleh bima (2012) tentang stres dan koping
orangtua dengan anak retardasi mental, hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber
stres orang tua adalah yang bersumber dari diri individu, dan sumber dari luar
individu. Kedua subjek memiliki dua sumber koping yaitu dari dalam individu dan
dari luar individu. Kedua sumber koping tersebut dapat diuraikan menjadi lima aspek
yaitu dukungan sosial, nilai dan keyakinan, kontrol kepercayaan diri, dan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2004) dalam Tiana dan
Andriani, (2010) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak retardasi mental
menunjukkan perasaan salah, denail, depresi, marah dan menerima keadaan anaknya.
Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan stigma yang melekat pada
anak. Dari penelitian ini menunjukkan banwa memiliki anak dengan berkebutuhan
khusus merupakan suatu stresor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul
6
pada orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang
sebanyak 15 persen dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami
berbagai macam keterbatasan fisik dan mental yang ada, retardasi mental adalah
salah satunya. Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang
2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia mengalami kecacatan dan 80
mental di Indonesia mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk
sekitar 220 juta jiwa. Ini belum termasuk jumlah yang tidak tercatat, karena
pencatatan hanya kepada mereka yang datang berobat, memeriksakan diri, dan
yang terdaftar pada sekolah luar biasa. Rasio penyandang retardasi mental pada
laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 3:2. Hal ini berarti kemungkinan
menderita retardasi mental (Kompas, 2004). Jumlah sebesar itu, tentu menjadi
masalah karena tidak mampu mandiri dan menjadi “beban” bagi keluarga dan
orang-orang sekitar.
Dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2009 di Sumatera Utara
terdapat anak yang menyandang cacat menurut jenis cacatan dan jenis kelamin
7
terlihat bahwa dari 49.000 anak cacat, sepertiganya menyandang cacat tubuh
sekolah ini merupakan suatu sekolah yang memberi pendidikan pada anak dengan
kebutuhan khusus. Maka peran sekolah tersebut sangat penting dalam melibatkan
retardasi mental. Mereka ada yang mengatakan bahwa merasa bersalah karena
mempunyai anak yang cacat sehingga berfikir dosa apa yang telah mereka
perbuat, marah, depresi, khawatir dengan masa depan anaknya, ada juga yang
ikhlas menerima kondisi anaknya, ada juga yang membiarkan anaknya (tidak
pernah melatih anaknya di rumah) hanya berharap dari pendidikan yang diberikan
gurunya, ada juga orng tua yang selalu memarahi dan mengurung anaknya, sedih,
putus asa.
Dari survey ini maka menunjukkan bahwa memiliki anak retardasi mental
merupakan suatu stressor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul pada
orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang
tua dapat me ngatasi stresor sehingga tidak menimbulkan stres, bila orang tua
menggunakan strategi koping yang negatif, hal ini akan dapat menimbulkan suatu
gangguan tingkah laku yang terjadi pada orang tua dan akan berdampak pula pada
8
pola asuh perawatan anak, seperti penelataran, depresi, dan isolasi sosial
(Sunberg,2007)
orangtua dengan anak retardasi mental di Siantar belum ada laporannya. Karena
itu peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara strategi
koping dengan stres pada orang tua dengan anak retardasi mental.
suatu stresor tersendiri bagi orang tua, maka orang tua harus dapat melakukan
keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat
optimal. Hal ini akan menjadi stresor tersendiri bagi orang tua, sehingga orang tua
strategi koping menyebabkan stres orang tua yang meningkat sehingga berdampak
pada pola asuh perawatan anak seperti penelantaran, depresi dan isolasi sosial.
antara strategi koping dengan stres orang tua dengan anak retardasi mental di
1. Mengidentifikasi strategi koping pada orang tua dengan anak retardasi mental
Simalungun
2. Mengidentifikasi stres pada orang tua dengan anak dengan retardasi mental di
Simalungun
3. Mengidentifikasi hubungan antara strategi koping dengan stres orang tua pada
1. Bagi Pendidikan
koping dan stres orang tua dengan anak retardasi mental bagi para perawat
Dari hasil penelitian ini akan dapat memberikan informasi tentang gambaran
strategi koping dan stres orang tua dengan anak retardasi mental. Dapat
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan data dasar tentang hubungan
strategi koping dan stres pada orang tua dengan anak retardasi mental untuk