Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap orang tua mempunyai harapan untuk memiliki buah hati yang

terlahir sempurna terlepas apapun jenis kelaminnya. Orang tua mendambakan

mempunyai anak yang sehat jasmani maupun rohani. Namun pada kenyataannya

anak yang dilahirkan tidaklah selalu seperti yang diharapkan. Bukan hanya nutrisi

ibu yang perlu diperhatikan, kesehatan mental dan kesehatan lingkungan juga

mempengaruhi ibu hamil. Kenyataan bahwa bayi yang dilahirkan “berbeda” dari

bayi sehat pada umumnya, memunculkan berbagai macam reaksi dari orang tua.

Kenyataan ini tidak dapat dihindari dan diubah orang tua.

Menurut Somantri (2007), orang yang paling banyak menanggung beban

akibat retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Selain

saudara-saudara anak tersebut yang mengalami hal emosional, retardasi mental

berdampak bagi orang tua seperti perasaan bersalah, berdosa, kurang percaya diri,

terkejut/ tidak percaya, malu, dan over protective. Senada dengan hal tersebut,

hasil penelitian Hamid (2004) menggambarkan bahwa orang tua yang memiliki

anak retardasi mental memiliki perasaan sedih, denial, depresi, malu, marah dan

menerima keadaan anaknya. Seperti pengakuan seorang ibu kepada Safaria (2005)

yang merasa tidak berharga karena tidak mampu melahirkan anak normal selain

perasaan malu yang dominan.

1
2

Retardasi mental menuntut perhatian dan kebutuhan yang berbeda dengan

anak normal pada umumnya. Ini disebabkan karena capabilities anak yaitu fungsi

intelektual di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan fungsi adaptasinya. Anak

tidak mampu untuk mandiri sebagai individu yang mampu melakukan aktivitas

sehari-hari sendiri (motoriknya), keterbatasan dalam memahami perilaku sosial

dan perkembangan keterampilan sosial. Selain itu, kondisi anak yang retardasi

mental akan membawa pengaruh pada kemampuan anak dan keterlibatan anak

untuk berfungsi dalam setting lingkungan seperti di kehidupan belajar, bermain,

bekerja, sosialisasi dan interaksinya (Wenar & Kerig, 2006).

Cherry (Bauman,2004) berpendapat bahwa keluarga yang memiliki anak

dengan retardasi mental menghadapi multitude of challanges. Mulai dari isolasi

sosial, stigma masyarakat, kecemburuan anggota keluarga (saudara), disorientasi

ekspektasi, hingga harapan yang pupus. Sedangkan, retardasi mental

membutuhkan penanganan khusus serta dukungan penuh dari orang tua dan

keluarga. Efektivitas berbagai program penanganan dan peningkatan kemampuan

hidup anak dan remaja yang mengalami keterbelakangan mental akan sangat

tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari orang tua dan keluarga

(Hendriani, Handariyati, Sakti, 2006). Oleh sebab itu, dibutuhkan cara untuk

mengelola stres dan mengoptimalkan peran serta orang tua dalam pengasuhan dan

mengoptimalkan kemampuan hidup individu retardasi mental.

Stres menurut Gibson (2009) adalah suatu tanggapan penyesuaian,

diperantarai oleh perbedaan-perbedaan individu dan proses psikologi, yang

merupakan konsekuensi setiap tindakan dari luar (lingkungan), situasi, atau


3

peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis atau fisik berlebihan kepada

individu.

Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres adalah keadaan dimana

transaksi individu dengan lingkungan menyebabkan seseorang untuk melihat

ketidak sesuaian antara tuntutan situasi fisik atau psikologis dan sumberdaya dari

orang tersebut, baik biologis, psikologis maupun sistem sosial (Sarafino & Smith,

2011).

Berbagai uraian yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa stres adalah suatu kondisi yang dipersepsi oleh individu sebagai keadaan

yang memiliki potensi mengancam dan memunculkan ketidaksesuaian antara

tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu. Adanya kemampuan dan konsep

diri mempengaruhi penilaian individu terhadap sebuah peristiwa yang akan

memungkinkan individu untuk dapat mengendalikan dan mengelola sumber stres.

Sumber stres mungkin akan berubah seiring dengan berkembangnya

individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap saat sepanjang hidup. Menurut

Sarafino dan Smith (2011), sumber-sumber stres dibagi menjadi 3 macam yaitu

stres bersumber dari diri individu, stres bersumber dalam keluarga, dan stres yang

bersumber dari komunitas dan masyarakat.

Pengertian coping menurut Sarafino dan Smith (2011) adalah proses

dimana individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara

tuntutan dan sumber daya. Lazarus & Folkman (1984) berpendapat bahwa coping

adalah upaya untuk merubah kognitif dan perilaku yang terus menerus untuk

mengelola tekanan internal atau eksternal yang melebihi sumber daya.


4

Berbagai teori yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa sumber

koping ada dua yaitu sumber yang berasal dari diri individu, dan sumber koping

yang berasal dari luar individu. Sumber koping yang berasal dari diri individu

adalah kebugaran, penghargaan diri, kepercayaan diri, keyakinan dan nilai.

Sedangkan sumber koping dari luar individu adalah dukungan sosial.

Pada peristiwa yang menjadi stresor, strategi koping digunakan oleh

orangtua. Ketika dampak negatif muncul, orang tua menggunakan strategi koping

untuk membantu mereka berusaha menemukan tujuan-tujuan yang mana secara

langsung atau tidak langsung melibatkan sosialisasi anak.strategi koping

merupakan hal yang vital bagi orang tua untuk membesarkan anak dengan

retardasi mental. Strategi koping tidak hanya penting untuk dampak sosialisasi

langsung orang tua dalam memodifikasi perilaku anak, tapi juga efek sosialisasi

tak langsung dari orangtua dalam melakukan koping untuk merasa lebih baik atau

nyaman (Hakim-larson, Murdaca, Dunham, Vellet, & Levenback, 1999).

Mempunyai anak dengan gangguan perkembangan apakah dapat

menyebabkan stres atau adaptasi tergantung pada penjelasan yang dimiliki

orangtua , pemahaman mengapa hal tersebut terjadi dan strategi koping yang

dapat mereka gunakan untuk mengurangi stres (jones dan pasey, 2003). Orang tua

yang berpikir bahwa gangguan perkembangan anak mereka merupakan tantangan

bagi kehidupan mereka akan lebih terbuka dalam perubahan perilakunya daripada

orang tua yang menganggap bahwa retardasi menta;l merupakan bencana yang

tidak dapat dilalui (vermeuleun, 1996).


5

Bennet, Deluca &Allen (1995) menemukan strategi koping seperti berdoa,

beribadah di gereja diidentifikasi sebagai sumber dukungan yang membantgu

beberapa orang tua dengan anak yang mengalami gangguan perkembangan

merasakan pertumbuhan harapan dan kekuatan (coulthard & Fitzgerald, 1999).

Jones dan Pasey (2003) menemukan bahwa strategi koping yang

melibatkan pertahanan keutuhan keluarga, kerjasama dan optimisme yang

kuatberhubungan dengan pengurangan stres dihibungkan denmgan keterpaduan

keluarga, persepsi orang tua terhadap penghargaan atau kepuasan dalam merawat

anak dan kekuatiran mereka terhadap masa depan anak.

Penelitian yang dilakukan oleh bima (2012) tentang stres dan koping

orangtua dengan anak retardasi mental, hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber

stres orang tua adalah yang bersumber dari diri individu, dan sumber dari luar

individu. Kedua subjek memiliki dua sumber koping yaitu dari dalam individu dan

dari luar individu. Kedua sumber koping tersebut dapat diuraikan menjadi lima aspek

yaitu dukungan sosial, nilai dan keyakinan, kontrol kepercayaan diri, dan

penghargaan diri. Strategi upaya koping yang digunakan meliputi perencanaan

pemecahan masalah, penilaian positif, distancing, pengendalian diri, mencari

dukungan sosial, dan menerima tanggung jawab.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamid (2004) dalam Tiana dan

Andriani, (2010) menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak retardasi mental

menunjukkan perasaan salah, denail, depresi, marah dan menerima keadaan anaknya.

Orang tua merasa khawatir tentang masa depan anak dan stigma yang melekat pada

anak. Dari penelitian ini menunjukkan banwa memiliki anak dengan berkebutuhan

khusus merupakan suatu stresor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul
6

pada orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang

tua dapat mengatasi stresor sehingga tidak menimbulkan stres.

Menurut Bank Dunia dan badan kesehatan dunia (WHO), Tercatat

sebanyak 15 persen dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami

gangguan mental dan fisik (9 April 2012, www.psikologizone.com). Dan dari

berbagai macam keterbatasan fisik dan mental yang ada, retardasi mental adalah

salah satunya. Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang

besar terutama pada negara-negara berkembang. Menurut PBB, hingga tahun

2000 diperkirakan sekitar 500 juta orang di dunia mengalami kecacatan dan 80

persen dijumpai di negara-negara berkembang. Di Amerika serikat , setiap tahun

sekitar 3000-5000 anak penyandang retardasi mental dilahirkan.

Hapsara (2006) mengemukakan bahwa jumlah tunagrahita atau cacat

mental di Indonesia mencapai 6,6 juta orang atau 3% dari jumlah penduduk

sekitar 220 juta jiwa. Ini belum termasuk jumlah yang tidak tercatat, karena

pencatatan hanya kepada mereka yang datang berobat, memeriksakan diri, dan

yang terdaftar pada sekolah luar biasa. Rasio penyandang retardasi mental pada

laki-laki dan perempuan di Indonesia adalah 3:2. Hal ini berarti kemungkinan

laki-laki menderita retardasi mental lebih besar daripada kemungkinan perempuan

menderita retardasi mental (Kompas, 2004). Jumlah sebesar itu, tentu menjadi

masalah karena tidak mampu mandiri dan menjadi “beban” bagi keluarga dan

orang-orang sekitar.

Dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2009 di Sumatera Utara

terdapat anak yang menyandang cacat menurut jenis cacatan dan jenis kelamin
7

terlihat bahwa dari 49.000 anak cacat, sepertiganya menyandang cacat tubuh

(31,71%), tuna grahita 22,07%, tuna wicara 8,25%.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di SDLB Negeri

097707 Perumnas Batu VI kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.karena

sekolah ini merupakan suatu sekolah yang memberi pendidikan pada anak dengan

kebutuhan khusus. Maka peran sekolah tersebut sangat penting dalam melibatkan

orang tua untuk melakukan optimalisasi pengasuhan anak berkebutuhan khusus.

Peneliti jugamengadakan wawancara langsung kepada orang tua siswa

retardasi mental. Mereka ada yang mengatakan bahwa merasa bersalah karena

mempunyai anak yang cacat sehingga berfikir dosa apa yang telah mereka

perbuat, marah, depresi, khawatir dengan masa depan anaknya, ada juga yang

ikhlas menerima kondisi anaknya, ada juga yang membiarkan anaknya (tidak

pernah melatih anaknya di rumah) hanya berharap dari pendidikan yang diberikan

gurunya, ada juga orng tua yang selalu memarahi dan mengurung anaknya, sedih,

menarik diri (merasa minder karena mempunyai anak dengan keterbelakangan),

putus asa.

Dari survey ini maka menunjukkan bahwa memiliki anak retardasi mental

merupakan suatu stressor tersendiri bagi orang tua dan respon yang muncul pada

orang tua tersebut harus diimbangi dengan strategi koping yang tepat agar orang

tua dapat me ngatasi stresor sehingga tidak menimbulkan stres, bila orang tua

menggunakan strategi koping yang negatif, hal ini akan dapat menimbulkan suatu

gangguan tingkah laku yang terjadi pada orang tua dan akan berdampak pula pada
8

pola asuh perawatan anak, seperti penelataran, depresi, dan isolasi sosial

(Sunberg,2007)

Penelitian untuk mengetahui hubungan antara strategi koping dengan stres

orangtua dengan anak retardasi mental di Siantar belum ada laporannya. Karena

itu peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara strategi

koping dengan stres pada orang tua dengan anak retardasi mental.

1.2. Rumusan Masalah

Memiliki anak berkebutuhan khusus disertai dengan gangguan

pertumbuhan dan perkembangan seperti pada anak retardasi mental, merupakan

suatu stresor tersendiri bagi orang tua, maka orang tua harus dapat melakukan

pemenuhan kebutuhan yang diperlukan oleh anak retardasi mental dengan

keterbatasan fisik dan intelektual yang tidak dapat disembuhkan dan hanya dapat

dilakukan dengan terapi, program pendidikan untuk kelangsungan hidup secara

optimal. Hal ini akan menjadi stresor tersendiri bagi orang tua, sehingga orang tua

memerlukan strategi koping yang tepat dalam menghadapi. Ketidaktepatan

strategi koping menyebabkan stres orang tua yang meningkat sehingga berdampak

pada pola asuh perawatan anak seperti penelantaran, depresi dan isolasi sosial.

Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk membuktikan adanya hubungan

antara strategi koping dengan stres orang tua dengan anak retardasi mental di

SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI.


9

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara strategi koping dengan stres orang tua

dengan anak retardasi mental di SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi strategi koping pada orang tua dengan anak retardasi mental

di SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI kecamatan Siantar Kabupaten

Simalungun

2. Mengidentifikasi stres pada orang tua dengan anak dengan retardasi mental di

SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI kecamatan Siantar Kabupaten

Simalungun

3. Mengidentifikasi hubungan antara strategi koping dengan stres orang tua pada

anak retardasi mental di SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI kecamatan

Siantar Kabupaten Simalungun

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan masukan kepada

praktisi keperawatan, pendidikan keperawatan, dan penelitian selanjutnya.

1. Bagi Pendidikan

Dari hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang strategi

koping dan stres orang tua dengan anak retardasi mental bagi para perawat

pendidik untuk mengintegrasikannya dalam pembelajaran yang trkait dengan

stratehi koping dan stres.


10

2. Bagi praktisi keperawatan

Dari hasil penelitian ini akan dapat memberikan informasi tentang gambaran

strategi koping dan stres orang tua dengan anak retardasi mental. Dapat

menjadi dasar bagi praktisi keperawatan untuk membantu menerapkan strategi

koping yang adaptif dalam memberikan asuhan keperawatan.

3. Bagi Penelitian selanjutnya

Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan data dasar tentang hubungan

strategi koping dan stres pada orang tua dengan anak retardasi mental untuk

digunakan dalam pengembangan penelitian selanjutnya yang belum terlaksana

dalam penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai