Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Retardasi Mental

2.1.1. Pengertian

Retardasi mental adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata (IQ di bawah

70) yang disertai dengan keterbatasan yang penting dalam area fungsi adaptif,

seperti keterampilan interpersonal atau sosial, penggunaan sumber masyarakat,

penunjukkan diri, keterampilan akademis, pekerjaan, waktu senggang, dan

kesehatan serta keamanan (King, 2000 dalam Videback, 2008).

Retardasi mental adalah keadaan yang penting secara klinis maupun sosial.

Kelainan ditandai oleh keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh

ganggugan yang bermakna dalam intelegensia terukur dan perilaku penyesuaian

diri (adaptif). Retardasi mental juga mencakup status sosial, hal ini dapat lebih

menyebabkan kecacatan daripada cacat khusus itu sendiri. Karena batas-batas

antara normalitas dan retardasi seringkali sulit digambarkan, identifikasi pediatri,

evaluasi, dan perawatan anak dengan kesulitan kognitif serta keluarganya

memerlukan tingkat kecanggihan teknis maupun sensitivitas interpersonal yang

besar (Behrman, 2000).

2.1.2. Etiologi

Kemungkinan meneumkan etiologi retardasi mental bergantung pada

beratnya retardasi mental. Hanya kira-kira 50% kasus retardasi mental ringan

11
12

yang etiologinya tidak diketahui. Kelainan kromoson adalah penyebab yang

paling sering teridentifikasi, dengan penyebab utama adalah sindrom down dan

sinar X fragil. Penyebab retardasi mental lain adalah cidera perinatal, sindrom

genetikal lain, cedera postnatal, sindrom alkohol fetus, infeksi intrauterin, dan

kelainan metabolisme bawaan (Batshaw, 1993 dalam Schwartz, 2005).

2.1.3. Tingkatan

Tingkatan retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi Keterbelakangan

Mental Amerika Serikat (American Association of Mental Retardation) seperti

dikemukakan oleh Sarwono Sarlito Wirawan (1999, dalam Sunaryo, 2004)

sebagai berikut:

a. Retardasi mental lambat belajar (slow learner, IQ= 85-90)

b. Retardasi mental taraf perbatasan (borderliner, IQ= 70-84)

c. Retardasi mental ringan (debil atau moron) (mild, IQ= 55-69)

d. Retardasi mental sedang (moderate, IQ= 36-54)

e. Retardasi mental berat/ imbecile (sever, IQ= 20-35)

f. Retardasi mental sangat berat atau idiot (profound, IQ= 0-19)

2.1.4. Tanda-tanda Retardasi Mental

Tabel 2.1. Tanda-tanda Fisik Atipik yang Dapat Dihubungkan dengan Bertambahnya
Insiden Retardasi Mental
Tanda-Tanda Fisik
Rambut Tangan
Keriting ganda Metakarpal ke-4 atau ke-5 pendek
Halus, mudah putus, cepat abu-abu Jari-jari tangan pendek, gemuk
atau putih menyeluruh Jari-jari tangan panjang, tipis,
Jarang atau tanpa rambut meruncing
Ibu jari tangan lebar
Klinodaktili
Kelainan dermatoglifik (misalnya
triradius distal)
13

Garis kult telapak tangan melintang


Kelainan kuku
Mata Kaki
Mikroftelmia Metatarsal ke-4 atau ke-5 pendek
Hipertelorisme Jari kaki tumpang tindih
Hipotelorisme Jari kaki pendek, gemuk
Miring ke atas dan ke luar atau ke Ibu jari kaki besar dan lebar
bawah dan ke luar Garis kulit yang mengarah dari sudut
Lipatan epikantus sebelah dalam jari kaki pertama dan kedua, terlihat
dan sebelah luar dalam
Koloboma iris atau retina Kelainan dermatoglifik
Binti-bintik Brushfield
Pupil terletak eksentris
Nistagmus Genetalia
Telinga Genetalia yang tidak jelas
Pinna letak rendah Mikropenis
Pembentukan heliks sederhana atau Testis besar
abnormal
Hidung Kulit
Jembatan hidung rata Bintik-bintik cafe-au-lait
Ukuran kecil Nevus depigmentasi
Lubang hidung menghadap ke atas
Wajah Gigi
Panjang filtrum bertambah Bukti adanya kelainan pembetukan
Hipoplasia maksila atau mandibula email (enamelogenesis)
Kelainan odontogenesis

Mulut Kepala
Bentuk bibir atas V terbalik Mikrokranium
Lengkungan palatum lebar atau Makrokranium
tinggi (Behrman, 2009)
2.1.5. Pendidikan Retardasi Mental

Dahulu ketika pemahaman orang terhadap kondisi keterbelakangan mental

masih terbatas, anak atau individu yang mengalami kondisi ini seringkali

dijauhkan atau diasingkan dari pergaulan sosial. Mereka seringkali dijauhkan atau

diasingkan dari lingkungan sosial. Mereka seringkali tidak mendapatkan

perlakukan yang pantas karena dianggap gila dan tidak memperoleh pendidikan

yang layak karena keterbatasan kemampuan intelektualnya. Namun, seiring

dengan bertambahnya pengetahuan dan pemahaman mengenai keterbelakangan


14

mental, semakin berkembang pula institusi atau pendidikan yang disesuaikan

dengan mereka. Salah satunya adalah SLB C yang dikhususkan untuk anak

dengan keterbelakanga mental (Gunarsa, 2004).

2.1.6. Dampak Retardasi Mental pada Keluarga

Orang yang paling banyak menanggung beban akibat retardasi mental

adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Individu dengan retardasi mental

memiliki keterbatasan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Mereka

membutuhkan waktu lama untuk bekerja dan rentan waktu yang mereka gunakan

untuk menyelesaikan tugas lebih lama dari pada orang lain pada umumnya.

Biasanya penderita retardasi mental mempunyai keterbatasan intelegensi dan

membutuhkan bantuan orang lain guna beradaptasi dengan lingkungan dengan

meningkatkan perilaku yang kurang dan mengurangi perilaku yang berlebihan.

Ketidaksesuian harapan orang tua dengan potensi yang dimiliki anak cenderung

menimbulkan masalah di kemudian hari dalam proses perkembangan anak. Orang

tua mencemaskan masa depan anak sebagai salah satu proyeksi kecemasan dirinya

dituangkan pada anak. Akibatnya kecemasan orang tua mempengaruhi

kecenderungan untuk melindungi anak secara berlebiha (Zahra, 2007).

Keluarga yang mempunyai anak dengan retardasi mental akan

memberikan perlindungan yang berlebihan pada anaknya sehingga anak

mendapatkan kesempatan yang terbatas untuk mendapatkan pengalaman yang

sesuai dengan tingkat perkembangannya. Semakin bertambahnya umur anak

retardasi mental maka para orang tua harus mengadakan penyesuaian terutama

dalam pemenuhan kebutuhan anak sehari-hari (Mutaqqin, 2008).


15

2.2. Konsep Strategi Koping

2.2.1.Defini Strategi Coping

Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan mengahadang,

melawan ataupun mengatasi. Kartono & Gulo (dalam Sari dkk, 2010)

mengartikan cope sebagai menangani suatu masalah menurut suatu cara,

seringkali dengan cara menghindari, melarikan diri dari masalah atau mengurangi

kesulitan dan bahaya yang timbul.

Lazarus dan Folkman (smet, 1994) menyebutkan bahwa kemampuan

coping terhadap stres adalah kemampuan individu untuk mengelola jarak yang

ada antara tuntutantuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun

tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber- sumber daya yang mereka

gunakan dalam menghadapi situasi yang menekan Kartono (1987) menjelaskan

perilaku coping ialah perilaku yang digunakan untuk mengurangi kegugupan

akibat kekecewaan terhada konflik motivasional. Chaplin (2004) mengartikan

perilaku coping sebagai suatu tingkah laku dimana individu melakukan interaksi

dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau masalah.

Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari suatu pola tingkah laku

maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk mengatasi tuntutan-

tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.

Sedangkan menurut Ardani (2007) perilaku coping adalah mengatasi stres

dengan melakukan transaksi antar lingkungan, yang mana hubungan transaksi ini

merupakan suatu proses yang dinamis.


16

Strategi coping didefinisikan sebagai usaha kognitif dan behavioral yang

dilakukan oleh individu tersebut, yaitu usaha untuk mengatur tuntutan tersebut

meliputi usaha untuk menurunkan, meminimalisasi, dan juga menahan (Rustiana,

2003). Menurut Maryam (2009), strategi coping bertujuan untuk mengatasi situasi

yang dirasa menekan, menantang, membebani, dan melebihi sumber daya

(resources) yang dimiliki.

Berdasarkan pengertian dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa

strategi coping adalah suatu usaha dinamis dari suatu pola tingkah laku dimana

individu melakukan usaha kognitif dan behavioral dalam menghadapi situasi yang

menekan ataupun tuntutan-tuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu

maupun yang berasal dari lingkungan dengan tujuan untuk menurunkan,

meminimalisasi, menahan, dan juga menyelesaikan masalah.

2.2.2. Klasifikasi dan Bentuk Coping

Flokman & Lazarus (dalam Smet, 1994) secara umum membedakan

bentuk dan fungsi coping dalam dua klasifikasi yaitu :

1. Problem Focused Coping (PFC) adalah merupakan bentuk coping yang lebih

diarahkan kepada upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh

tekanan. artinya coping yang muncul terfokus pada masalah individu yang

akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru.

Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa

tuntutan dari situasi dapat diubah (Lazarus & Folkman dalam Smet, 1994).

2. Emotion Focused Coping (EFC) merupakan bentuk coping yang diarahkan

untuk mengatur respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu


17

dapat mengatur respon emosionalnya dengan pendekatan behavioral dan

kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah penggunaan alkohol,

narkoba, mencari dukungan emosional dari teman–teman dan mengikuti

berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat

mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan

kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang

menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan redefine terhadap

situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain

yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari

masalah. Individu cenderung untuk menggunakan strategi ini ketika mereka

percay mereka tidak mampu mengubah kondisi yang menekan, individu akan

cenderung untuk mengatur emosinya (Lazarus & Folkman dalam Smet,

1994).

2.2.3.Aspek-aspek Strategi Coping

1. Problem Focused Coping

Suatu studi dilakukan oleh Folkman (dalam Smet 1994), problem focused

coping terdiri atas tiga variasi, yaitu:

1) Confrontatif coping, adalah usaha untuk mengubah keadaan yang

dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang

cukup tinggi dan pengambilan resiko.

2) Seeking social support, adalah usaha untuk mendapatkan kenyamanan

emosional dari bantuan informasi


18

3) Planful problem solving, adalah usaha untuk mengubah keadaan yang

dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap dan analitis.

Aldwin dan Ravenson (dalam Tjiptorini, 2013) mengemukakan aspek-

aspek problem focused coping, meliputi:

1) Instrumental Action (tindakan secara langsung). Seseorang melakukan

usaha dan menetapkan langkah-langkah yang mengarahkan pada

penyelesaian masalah secara langsung serta menyusun rencana untuk

bertindak dan melaksanakannya.

2) Cautiousness (kehati-hatian). Individu berpikir dan mempertimbangkan

beberapa alternatif pemecahan masalah yang tersedia, meminta pendapat

orang lain, berhati-hati dalam memutuskan masalah serta mengevaluasi

strategi yang perna dilakukan sebelumnya.

3) Negotiation (Negosiasi), Beberapa usaha individu yang dilakukan dan

ditujukan kepada orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab

masalahnya untuk ikut menyelesaikan masalah.

2. Emotion Focused Coping

Emotion-focused coping menurut Folkman (dalam Smet, 1994) terdiri dari

5 variasi:

1) Self-control, adalah usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi

situasi yang menekan.

2) Distancing, adalah usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti

menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau


19

menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggap

masalah lelucon.

3) Positif reappraisal, adalah usaha mencari makna positif dari permasalahan

dengan terfokus pada pengembangan diri, biasanya juga melihatkan hal-

hal yang bersifat religius.

4) Accepting responsibility, adalah usaha untuk menyadari tanggung jawab

diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya, dan mencoba

menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik. Strategi ini

baik, terlebih bila masalah terjadi karena pikiran dan tindakannya sendiri.

Namun strategi ini menjadi tidak baik bila individu tidak seharusnya

bertanggung jawab atas masalah tersebut.

5) Escape avoidance, adalah usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan

lari dari situasi tersebut atau menghindarinya dengan beralih pada hal lain

seperti makan, minu, merokok atau menggunakan obatobatan

Aspek emotion focused coping menurut Aldwin dan Ravenson (dalam Tjiptorini,

2013) adalah:

1) Escapism (pelarian diri dari masalah) : Cara individu mengatasi stress

dengan berkhayal atau membayangkan hasil yang akan terjadi atau

mengandaikan dirinya berada dalam situasi yang lebih baik dari situasi

yang dialaminya saat ini.

2) Minimization (meringankan beban masalah) : Cara individu mengatasi

stress dengan menolak memikirkan masalah dan menganggapnya seakan-

akan masalah tersebut tidak ada da membuat masalah menjadi ringan.


20

3) Self Blame (menyalahkan diri sendiri) : Cara individu mengatasi stress

dengan memunculkan perasaan menyesal, menghukum dan menyalahkan

diri sendiri atas tekanan masalah yang terjadi. Strategi ini bersifat pasif dan

intropunitive yang ditunjukkan dalam diri sendiri.

4) Seeking Meaning (mencari arti) Cara individu mengatasi stress dengan

mencari makna atau hikma dari kegagalan yang dialaminya dan melihat

hal-hal lain yang penting dalam kehidupan.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan tiga aspek problem

focused coping dari Aldwin dan Ravenson untuk menyusun alat ukur yaitu

negotiation, instrumental action dan exercise caution karena aspek-aspek tersebut

dapat lebih mewakili variabel yang akan diukur, yaitu problem focused coping

pada mahasiswa.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress. Reaksi

terhadap stres bervariasi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya,

dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama. Perbedaan ini disebabkan oleh

faktor psikologis dan sosial yang tampaknya dapat merubah dampak stressor bagi

individu.

Menurut Smet (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi coping stress

adalah:

1. Kondisi individu; mencakup umur, tahap kehidupan, jenis kelamin,

temperamen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status

ekonomi dan kondisi fisik.


21

2. Karakteristik kepribadian, mencakup introvert-extrovert, stabilitas emosi

secara umum, kepribadian “ketabahan” (hardiness), locus of control,

kekebalan, dan ketahanan.

3. Sosial-kognitif, mencakup dukungan sosial yang disrasakan, jaringan sosial,

serta kontrol pribadi yang dirasakan.

4. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi

dalam jaringan sosial.

5. Strategi dalam melakukan coping

Menurut Mutadin (2002) cara individu menangani situasi yang

mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi :

1. Kesehatan Fisik : Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama

dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga

yang cukup besar.

2. Keyakinan atau pandangan positif : Keyakinan menjadi sumber daya

psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (external locus

of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan

(helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi coping.

3. Keterampilan memecahkan masalah : Keterampilan ini meliputi kemampuan

untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah

dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian

mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin

dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu

tindakan yan tepat.


22

4. Keterampilan sosial

5. Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi da bertingkah

laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku

dimasyarakat.

6. Dukungan sosial : Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan

informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua,

anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

7. Materi : Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang atau

layanan yang biasanya dapat dibeli. Perlu diketahui, bahwa tidak ada satu pun

metode yang dapat digunakan untuk semua situasi stres. Tidak ada strategi

coping yang paling berhasil. Strategi coping yang paling efektif adalah

strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi (Rutter, dalam Smet, 1994).

2.3. Konsep Stres

2.3.1. Pengertian Stres dan Stressor

Stres merupakan suatu respons fisiologis, psikologis dan perilaku dari

manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal

dan eksternal. Stres menurut Hans Selye merupakan respon tubuh yang bersifat

tidak spesifik terhadap setiap tuntutan atau beban atasnya.

Sedangkan menurut Handoko (1997), stress adalah suatu kondisi

ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang.

Stress yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk

menghadapi lingkungannya.
23

Stressor adalah pengalaman seseorang yang bisa menghasilkan dan

menyebabkan stres, ataupun situasi / pengalaman seseorang yang dapat

menyebabkan tekanan yang dapat kita lihat dalam ketidaknyamanan kehidupan

sehari-hari.

2.3.2. Macam-macam Stres

1. Stres Fisik : Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena

temperature yang tinggi atau rendah, suara bising, sinar matahari atau karena

tegangan arus listrik.

2. Stres Kimiawi : Stres ini disebabkan karena zat kimia seperti adanya obat-

obatan, zat beracun, asam basa, factor hormone atau gas dan prinsipnya

karena pengaruh senyawa kimia.

3. Stres Microbiologik : Stres ini disebabkan karena kuman seperti adanya

virus, bakteri atau parasit.

4. Stres Fisiologik : Stres yang disebabkan karena gangguan fungsi organ

tubuh, diantaranya gangguan dari struktur tubuh, fungsi jaringan, organ,

5. Stres Proses Pertumbuhan dan Perkembangan : Stres yang disebabkan

karena proses pertumbuhan dan perkembangan seperti pubertas, perkawinan,

dan proses lanjut usia.

6. Stres Psikis atau Emosional : Stress yang disebabkan karena gangguan

situasi psikologis atau ketidakmampuan kondisi psikologis untuk

menyesuaikan diri seperti hubungan interpersonal, sosial budaya, atau faktor

keagamaan.
24

2.3.4. Sumber Stressor

1. Sumber Stres di Dalam Diri ; Pada umumnya dikarenakan konflik yang

terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah bebagai

permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu

diatasi, maka dapat menimbulkan stres.

2. Sumber Stres di Dalam Keluarga : Stres ini bersumber dari masalah keluarga

ditandai dengan adanya perselisihan masalah keluarga, masalah keuangan

serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga. Permasalahan ini akan

menimbulkan stres.

3. Sumber Stres di Masyarakat dan Lingkungan : Sumber stres ini dapat terjadi

di lingkungan atau masyarakat pada umumnya. Karena kurangnya hubungan

interpersonal serta kurang adanya pengakuan di masyarakat sehinggah tidak

dapat berkembang.

2.3.4. Faktor-faktor Penyebab Stres (Stressor)

Faktor penyebab stres itu ada tiga. Pertama, faktor biologis. kedua, faktor

psikologis dan yang ketiga, faktor sosial. baiklah, mari kita bahas satu persatu.

1.    Faktor Biologi

a. Gen : Keadaan individu pada masa konsepsi dipengaruhi oleh sikap dan

perilaku Ibu. Bagaimana ibu berperilaku ketika sedang hamil, dan asupan

gizinya apakah sudah terpenuhi atau malah defisiensi. Ketika seorang ibu

stress, otomatis bayi yang dikandungnyapun akan ikut stress pula. Dan

kebanyakan hal ini tidak disadari oleh si Ibu sehingga pada saat
25

melahirkan Ibu malah menyalahkan proses persalinan ketika anaknya

cacat fisik atau cacat mental.

b. Penyakit : Karena mempunyai penyakit langka, sulit disembuhkan bahkan

tak ada obatnya, seseorang bisa saja mengakhiri hidupnya pada tali

gantungan atau meminum racun. Penyakit yang membuat seseorang

merasa tak berguna dan tak mungkin sembuh bisa menjadi sebuah stressor

c. Tidur : Obat capek yang paling manjur adalah tidur. Ketika porsi tidur

seseorang tidak terpenuhi, maka akan terjadi tekanan dalam diri orang

tersebut ditandai dengan sensitivitas yang lebih tinggi dari biasa, pusing,

sulit beradaftasi dengan lingkungan dan belum menyadari dimana berada.

Hal tersebut akan menimbulkan stress baik pada tingkat ringan atau tinggi.

d. Postur tubuh : Kebanyakan, stressor ini menyebabkan perempuan ingin

melakukan apa saja untuk mendapatkan postur tubuh yang diinginkan. Jika

tidak terpenuhi, maka akan terjadi konflik dan tegangan atau stress.

e. Kelelahan : Faktor ini tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu faktor

penyebab stress yang paling utama. Ketika seseorang merasa kelelahan,

maka hal yang ingin segera dipenuhi adalah beristirahat. Ketika

keinginannya tidak terpenuhi maka akan terjadi tegangan dan

menimbulkan efek yang berbahaya.

2.   Faktor Psikologis

a. Frustasi : Sudah sangat jelas bahwasannya frustasi adalah penyebab

seseorang mengalami stress. Ketika seseorang kecewa dengan apa yang

dia dapatkan, atau gagal dalam meraih apa yang diinginkan maka banyak
26

kemungkinan, orang itu akan mengalami  frustasi. Frustasi ditandai

dengan menurunnya semangat hidup. Perasaan dan Emosi : Marah, mudah

tersinggung, merasa tidak nyaman, merasa tidak aman, sedih, merasa

bersalah dan lain-lain adalah contoh perasaan dan emosi yang dapat

menimbulkan stress.

b. Pengalaman Hidup : Perpisahan dengan orang yang dicintai adalah stressor

dari psikologis yang paling banyak mempengaruhi tingkat kesadaran

sesorang. Segala hal yang terjadi dalam kehidupan seseorang yang tidak

sesuai dengan yang diinginkan biasanya akan menimbulkan stress.

c. Keputusan Perilaku : Salah mengambil keputusan membuat orang merasa

takut dan tak mau lagi menjalani hidupnya. Salah pengambilan keputusan

ini menjadi salah satu faktor dari segi psikologis yang dapat menyebabkan

seseorang terkena stress.

d. Respon Perlawanan : Ketika seseorang melawan hal yang terjadi namun

dia tetap tidak merubah keadaan. Disaat itu, seseorang akan merasa down

dan tidak berguna. Stress akan datang pada orang-orang seperti itu.

3.   Faktor Sosial

a. Keluarga : Faktor yang menyebabkan stress dari keluarga misalnya adalah

terjadi kesalahan pada pola asuh yang diberikan, broken home, keadaan

sosial ekonomi yang tidak sesuai harapan serta adanya tradisi juga filsafat

keluarga yang dianggap tidak sejalan dengan filsafat individu.

b. Lingkungan : Peristiwa alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan

longsor secara langsung akan membuat seseorang mempunyai tegangan


27

tinggi dalam dirinya, apalagi orang tersebut menjadi korban bencana

tersebut. Gaya hidup yang modern juga membuat orang mudah terkena

stress.

c. Dunia Kerja : Tugas yang menumpuk yang harus dikumpulkan besok,

tugas yang jumlahnya sedikit namun tingkat kesulitannya tinggi,

kecelakaan dunia kerja serta kemonotonan pekerjaan adalah stressor yang

berasal dari dunia kerja yang mampu membuat orang mengambil

keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

2.3.5. Tahapan Stres

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas tentang gejala stress, kita

perlu melihat apa dan bagaimana stress itu sebenarnya; apakah stress itu sebuah

gejala tunggal ataukah sebuah proses. Untuk itu, kita dapat merujuk pada

pendapatnya Dr. Robert van Amberg.

1.   Gejala Stress Tahap I

Menurut van Amberg (dalam Hawari 2002), stress itu memiliki enam

tahapan. Tahap I adalah stress paling ringan. Seseorang akan dihinggapi gejala

stress yang berkonotasi positif, seperti bertambahnya semangat kerja penglihatan

menjadi lebih tajam, meningkatnya rasa senang terhadap pekerjaan, dan mampu

menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari biasanya. Orang yang mengalami gejala

stress Tahap I sebenarnya tengah menghabiskan cadangan energinya yang

dimilikinya.
28

2.    Gejala Stress Tahap II

Ketika stress Tahap I selesai, ia akan memasuki stress Tahap II. Jika pada

awalnya menyenangkan, pada tahap ini seseorang mulai merasakan aneka keluhan

sebagai gejala stress nya. Sering mengeluhkan tidak cukupnya cadangan energi,

seperti cepat lelah khususnya pada sore hari, merasa letih ketika bangun pagi,

jantung berdenyut lebih cepat dari biasanya alias berdebardebar, tidak bisa santai,

dan otot-otot mulai terasa tegang.

3.   Gejala Stress Tahap III

Apabila gejala stress ini tidak dihiraukan dan terus memaksakan bekerja,

stress pun akan memasuki tahap III, di mana aneka penyakit mulai berdatangan.

Semacam insomnia, diare, maag, meningkatnya ketegangan emosi, dan

terganggunya sistem koordinasi tubuh badan terasa lunglai dan mau pingsan. Pada

tahap ini seseorang sudah harus berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan

terapi, atau melakukan terapi sendiri dengan mengurangi beban emosi dan fisik.

4.   Gejala Stress Tahap IV

Jika hal ini dibiarkan, gejala stress tahap IV pun akan muncul. Gejalanya

biasanya lebih berat. Sebagai contoh: seseorang sangat sulit untuk bertahan walau

hanya satu hari, tidak mampu lagi menyelesaikan pekerjaan rutin, hilangnya

kemampuan untuk bersikap tanggap terhadap situasi, pekerjaan yang awalnya

menyenangkan menjadi membosankan dan tampak sulit, menurunnya konsentrasi

dan daya pikir, dan mulai muncul perasaan takut dan cemas yang tidak jelas ujung

pangkalnya.
29

5.   Gejala Stress Tahap V

Jika keadaan terus berlanjut, seseorang akan jatuh pada gejala stress Tahap

V yang ditandai dengan: kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam,

tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaan rutin walaupun itu ringan, gangguan

sistem pencernaan semakin berat (gastro intestinal disorder), perasaan takut,

kecemasan, dan kepanikan yang semakin meningkat, yang bersangkutan pun

menjadi mudah bingung.

6.   Gejala Stress Tahap VI

Puncaknya adalah stress Tahap VI. Inilah klimaks dari lima tahapan

sebelumnya. pada gejala stress yang ke-6 ini eseorang akan mengalami serangan

panik dan perasaan takut mati. Orang yang terkena stress Tahap VI ini seringkali

harus masuk UGD berkali-kali karena beratnya keluhan yang diderita, walau

secara medis tidak ditemukan “kelainan” pada fisiknya.

2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Pada peristiwa yang menyebabkan stres, strategi koping digunakan oleh

orang tua dengan anak retardasi mental, dimana diketahui bahwa koping yang

adaptif dihubungkan dengan tingkat stres yang rendah (Hasting & Johnson, 2001).

Kerangka konseptual dalam penelitian ini menjelaskan dugaan adanya hubungan

antara strategikoping dengan stres pada orang tua dengan anak retardasi mental di

SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI. Strategi koping yang digunakan oleh

orang tua dihubungkan dengan tingkat stres yang rendah, sedang atau tinggi.
30

Strategi koping orang tua dengan


Strategi
retardasikoping
mentalorang
: tua dengan
retardasi mental :
 Koping berfokus pada masalah Stres orang tua dengan
Koping berfokus pada masalah
o Koping konfrontasi anak retardasi mental
1. Koping konfrontasi
o Penggunaan dukungan 1. Rendah
2. Penggunaan dukungan
sosial
sosial
o Perencanaan
3. Perencanaan penyelesaian 2. Sedang
penyelesaian masalah
masalah
Koping
Koping berfokus
berfokus pada
pada emosi
emosi
1. o Kontrol
Kontrol diridiri 3. Tinggi

2. o Pelepasan
Pelepasan diridiri
3. o Penilaian
Penilaian positif
positif
4. o Penerimaan
Penerimaan tanggung
tanggung
jawab
jawab
5. o Pelarian/penghindaran
Pelarian/penghindaran

Gambar.2.1. Kerangka Konsep Penelitian.

2.5. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan Ho ditolak (Ha diterima) yang berarti ada

hubungan antara strategi koping dengan stres pada orang tua dengan anak

retardasi mental di SDLB Negeri 097707 Perumnas Batu VI

Anda mungkin juga menyukai