Disusun Oleh :
Muhammad Fahri Hamzah
71200891022
Pembimbing :
dr. Mawar Gloria Tarigan, SpKJ
2020
1
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG......................................................................................... 3
1. DEFINISI............................................................................................................. 4
2. ETIOLOGI.......................................................................................................... 4
3. DIAGNOSIS........................................................................................................ 12
4. KLASIFIKASI.................................................................................................... 17
5. PENATALAKSANAAN.................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... 25
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Retardasi mental (RM) adalah suatu gangguan heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang dibawah rata – rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif yang
ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik,
lingkungan dan psikososial. Selama dekade terakhir, semakin dikenali faktor biologis ,
termasuk kelainan kromosom kecil, sindrom genetika dan intoksikasi timbal subklinis
dan berbagai pemaparan toksin pranatal pada orang dengan retardasi mental ringan
(sampai 85 persen dari populasi retardasi mental).1
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira – kira 1
persen dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan
mengenali onsetnya. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang
panjang sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan)
prevalensi untuk RM ringan 0,37 – 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan
2
sangat berat adalah 0,3 – 0,4%. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah,
dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada
laki
– laki dibandingkan dengan wanita. Pada lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena
mereka dengan retardasi mental yang berat atau sangat berat memiliki angka mortalitas
yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang menyertai.1
Retardasi mental merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama
bagi negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar
0.3% dari seluruh populasi dan hamper 3% mempunyai IQ dibawah 70. Sebagai sumber
daya manusia tentunya mereka tidak bisa dimanfaatkan karena 0.1% dari anak- anak
ini memerlukan perawatan, bimbingan serta pengawasan sepanjang hidupnya.3 Sehingga
retardasi mental masih merupakan dilema, sumber kecemasan bagi keluarga dan
masyarakat. Demikian pula dengan diagnosis, pengobatan dan pencegahannya masih
merupakan masalah yang tidak kecil.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Keterbelakangan mental atau lazim disebut retardasi mental (RM) adalah suatu
keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak
lahir atau sejak masa anak-anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang
secara keseluruhan, tetapi gejala utama ialah intelegensi yang terbelakang. Retardasi
mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit danfren = jiwa) atau tuna
mental. Keadaan tersebut ditandai dengan fungsi kecerdasan umum yang berada
dibawah rata-rata dan disertai dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan
diri atau berprilaku adaptif.3
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ
III) adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial.4
Menurut Diagnostic and Scientific Manual IV-TR (DSM IV-TR) adalah sama
dengan definisi AAMR tetapi ditambahkan batas derajat IQ 70.2
2. ETIOLOGI
a. Kelainan Kromosom
i. Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta
4
anomali fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32
tahun), resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1
dalam 100 kelahiran. Retardasi mental adalah ciri yang menumpang pada
sindrom Down. Sebagian besar pasien berada dalam kelompok retardasi
sedang sampai berat., hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50.
Diagnosis sindrom Down relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi
seringkali sukar pada neonates. Tanda yang paling penting pada neonates
adalah hipotonia umum, fisura palpebra yang oblik, kulit leher yang
berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang pipi yang tinggi, dan
lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan lebar, dengan garis
transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari kelingking pendek dan
melengkung ke dalam.1,6
Gambar 1. Karakteristik Sindroma Down
5
mengkombinasikan kata-kata membentuk frasa dan kalimat.1
6
iii. Sindrom Prader-Willi
Kelianan ini akibat dari penghilangan kecil pada kromosom 15,
biasanya terjadi secara sporadic. Prevalensinya kurang dari 1 dalam
10000. Orang dengan sindrom ini menunjukkan perilaku makan yang
kompulsif dan sering kali obesitas, retardasi mental, hipogonadisme,
perawakan pendek, hipotonia, dan tangan dan kaki yang kecil. Anak –
anak dengan sindrom ini seringkali memiliki perilaku oposisional yang
menyimpang.1
9
b. Faktor Genetik Lain
Phenylketonuria (PKU) merupakan gangguan yang menghambat
metabolisme asam phenylpyruvic, menyebabkan retardasi mental kecuali bila
pola makan amat dikontrol.3 PKU ditransmisikan dengan trait Mendel
autosomal resesif yang sederhana dan terjadi pada kira-kira yang di institusi
adalah kira-kira 1 persen dalam setiap 10.000 sampai 15.000 kelahiran hidup.
Bagi orang tua yang telah memiliki anak dengan PKU, kemungkinan memiliki
anak lain dengan PKU adalah satu dalam setiap empat sampai lima kehamilan
selanjutnya. Defek metabolisme dasar pada PKU adalah ketidakmampuan untuk
mengubah fenilalanin, suatu asam amino esensial, menjadi paratirosin karena
tidak adanya atau tidak aktifnya enzim fenilalanin hidroksilase, yang
mengkatalisis perubahan tersebut.6
Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi yang berat,
tetapi beberapa dilaporkan memiliki kecerdasan yang ambang atau normal.6
Walaupun gambaran klinis bervariasi, anak PKU tipikal adalah hiperaktif dan
menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diramalkan, yang
menyebabkan sulit ditangani. Mereka seringkali memiliki temper tantrum dan
seringkali menunjukkan gerakan aneh pada tubuhnya dan anggota gerak atas
dan manerisme memutir tangan, dan perilaku mereka kadang-kadang meyerupai
anak autistic atau skizofrenik.6 Komunikasi verbal dan nonverbal biasanya
sangat terganggu atau tidak ditemukan. Koordiansi anak adalah buruk, dan
mereka memiliki banyak kesulitan perceptual.1
c. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan
penyalahgunaan obat selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi
adalah Rubella, yang dapat menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga
dapat menyebabkan retardasi mental, seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes
genital.6 Obat-obatan yang digunakan ibu selama kehamilan dapat
mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik
dan retardasi mental yang parah.6 Anak-anak yang ibunya minum alkohol
selama kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan kasus
paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti
kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan
10
meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi
menyebabkan retardasi mental.3
d. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat
badan lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis
dan intelektual yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang
menderita pendarahan intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama
rentan terhadap kelainan kognitif. Derajat gangguan perkembangan saraf
biasanya berhubungan dengan beratnya perdarahan intrakranial.1,6
e. Gangguan Didapat Pada Masa Anak-anak
Kadang-kadang status perkembangan seorang anak dapat berubah secara
dramatik akibat penyakit atau trauma fisik tertentu. Secara retrospektif, kadang-
kadang sulit untuk memastikan gambaran kemajuan perkembangan anak secara
lengkap sebelum terjadinya gangguan, tetapi efek merugikan pada
perkembangan atau keterampilan anak tampak setelah gangguan. Beberapa
penyebab yang didapat pada masa anak-anak antara lain :1,6
Infeksi.
Infeksi yang paling serius mempengaruhi interitas serebral adalah
ensefalitis dan meningitis.
Trauma kepala
Penyebab cedera kepala yang terkenal pada anak-anak yag menyebabkan
kecacatan mental, termasuk kejang, adalah kecelakaan kendaraan
bermotor. Tetapi, lebih banyak cedera kepala yang disebabkan oleh
kecelakaan di rumah tangga, seperti terjatuh dari tangga. Penyiksaan
anak juga suatu penyebab cedera kepala.
Masalah lain
Cedera otak dari henti jantung selama anesthesia jarang terjadi. Satu
penyebab cedera otak lengkap atau parsial adalah afiksia yang
berhubugan dengan nyaris tenggelam. Pemaparan jangka panjang
dengan timbal adalah penyebab gangguan kecerdasan dan keterampilan
belajar. Tumor intracranial dengan berbagai jenis dan asal,
pembedahan, dan kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak
11
f. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural
Suatu bentuk retardasi mental dipengaruhi oleh lingkungan dengan
sosioekonomi rendah. Faktor-faktor psikososial, seperti lingkungan rumah atau
sosial yang miskin, yaitu yang memberi stimulasi intelektual, penelantaran atau
kekerasan dari orang tua, dapat menjadi penyebab atau memberi kontribusi dalam
perkembangan retardasi mental pada anak-anak.3 TIdak ada penyebab biologis
yang telah dikenali pada kasus tersebut.
Anak-anak dalam keluarga yag miskin dan kekurangan secara
sosiokultural adalah sasaran dari kondisi merugikan perkembangan dan secara
potensial patogenik. Lingkungan prenatal diganggu oleh perawatan medis yang
buruk dan gizi maternal yang buruk. Kehamilan remaja sering disertai dengan
penyulit obstetric, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. Perawatan medis
setelah kelahiran buruk, malnutrisi, pemaparan dengan zat toksin tertentu seperti
timbale dan trauma fisik adalah serig terjadi. Ketidakstabilan keluarga, sering
pindah, dan pengasuh yang berganti-ganti tetapi tidak adekuat sering terjadi.
Selain itu, ibu dalam keluarga tersebut sering berpendidikan rendah dan tidak
siap memberikan stimulasi yang sesuai bagi anak-anaknya.
Masalah lain yang tidak terpecahkan adalah pengaruh ganguan mental
parental yang parah. Gangguan tersebut dapat menganggu pengasuhan dan
stimulasi anak dan aspek lain dari lingkungan mereka, dengan demikian
menempatkan anak pada resiko perkembangan. Anak-anak dari orang tua
dengan gagguan mood dan skizofrenia diketahui berada dalam resiko
mengalami gangguan tersebut dan gangguan yang berhubungan. Penelitian
terakhrir menunjukkan tingginya prevalensi gangguan keterampialan motorik
dan gangguan perkembangan lainnya tetapi tidak selalu disertai retardasi
mental.1
3. DIAGNOSIS
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan
karakteristik yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar
ketrampilan khusus yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua
ketrampilan ini akan berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi
ada ketimpangan (discrepancy) yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang yang
demikian mungkin memperlihatkan hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya
12
bahasa) atau mungkin mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi
(misalnya tugas visuospasial sederhana) pada RM berat. Keadaan ini akan
menimbulkan kesluitan dalam menentukan kriteria diagnostik dimana seorang
penyandang RM harus diklasifikasikan.1,7
1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa
secara individual.
b. Wawancara Psikiatrik
Dua faktor yang sangat penting saat jika mewawancarai pasien adalah
sikap pewawancara dan cara berkomunikasi dengan pasien. Kemampuan verbal
pasien, termasuk bahasa reseptif dan ekspresif, harus dinilai sesegera mungkin
dengan mengobservasi komunikasi verbal dan nonverbal antara pengasuh dan
pasien dan dari riwayat penyakit. Sangat membantu jika memeriksa pasien dan
pengasuhnya bersama-sama. Jika pasien menggunakan bahasa isyarat, pengasuh
dapat sebagai penerjemah.1,7
14
Orang terertardasi mengalami kegagalan seumur hidup dalam berbagai
bidang, dan mereka mungkin mengalami kecemasan sebelum menjumpai
pewawancara. Pewawancara dan pengasuh harus berusaha untuk memberikan
pasien suatu penjelasan yang jelas, suportif, dan konkret tentang proses
diagnostik, terutama pasein dengan bahasa reseptif yang memadai. Dukungan
dan pujian harus diberikan dalam bahasa yang sesuai dengan usia dan
pengertian pasien.7
c. Pemeriksaan Fisik
15
perubahan retina yag letaknya rendah atau bentuknya aneh, lidah yang
menonjol, dan gangguan gigi geligi. Lingkaran kepala harus diukur sebagai
bagian dari pemeriksaan klinis. Warna dan tekstur kulit dan rambut, palatum
dengan lengkung yang tinggi, ukuran kelenjar tiroid, dan ukuran anak dan
batang tubuh dan ekstremitasnya adalah bidang lain yang digali. 1
d. Pemeriksaan Neurologis
e. Tes Laboratorium
f. Pemeriksaan Psikologis
4. KLASIFIKASI
17
visuo-spasial daripada tugas – tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang
lainnya sangat canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan
sederhana.
Suatu etiologi organik dapat diidentifikasi pada sebagian besar kasus. Biasanya
ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi mobilitas,
seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering ada gangguan
perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme yang tidak khas
(atypical autism) terutam pada penderita yang dapat bergerak.
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang perilakunya
terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
5. PENATALAKSANAAN
c. Pendidikan keluarga
21
d. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terpai gangguan mental komorbid pada
pasien retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk pasien
yang tidak mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang
mendukung pemakaian berbagai medikasi untuk pasien dengan
gangguan mental yang tidak retardasi mental. Beberapa penelitian telah
memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk sindrom
perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:
Agresi dan perilaku melukai diri sendiri
23
BAB III KESIMPULAN
1. Fungsi intelektual dibawah rata – rata (IQ 70 atau kurang) yang telah diperiksa
secara individual.
2. Kekurangan atau gangguan dalam perilaku adaptif (sama dengan kekurangan
individu untuk memenuhi tuntutan standar perilaku sesuai dengan usianya dari
lingkungan budayanya) dalam sedikitnya 2 hal, yaitu komunikasi, self-care,
kehidupan rumah-tangga, ketrampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana
komunitas, mengarahkan diri sendiri, ketrampilan akademis fungsional,
pekerjaan, waktu senggang, kesehatan dan keamanan
3. Awitan terjadi sebelum usia 18 tahun. Berdasatkan Panduan Pedoman Diagnostik
Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi mental diklasifikasikan menjadi retardasi
mental ringan, retardasi mental sedang, retardasi mental berat, retardasi mental
sangat berat, retardasi mental lainnya, dan retardasi mental yang tidak
tergolongkan. Untuk penatalaksanaanya dibagi menjadi pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Retardasi Mental. Sinopsis Psikiatri Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jakarta: Penerbit EGC.
2. Elvira SD, Hadisukanto G. 2017. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
3. Sularyo Titi S, Kadim, Muzal. 2017. Retardasi Mental. Sari Pediatri: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Hal 170-77.
4. Maslim R. 2013. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta:PT. Nuh Jaya.
25