Pendahuluan
Retardasi mental (RM) adalah suatu gangguan heterogen yang terdiri dari fungsi
intelektual yang dibawah rata rata dan gangguan dalam ketrampilan adaptif yang
ditemukan sebelum orang berusia 18 tahun. Gangguan dipengaruhi oleh faktor genetik,
lingkungan dan psikososial. Selama dekade terakhir, semakin dikenali faktor biologis ,
termasuk kelainan kromosom kecil, sindrom genetika dan intoksikasi timbal subklinis dan
berbagai pemaparan toksin pranatal pada orang dengan retardasi mental ringan (sampai 85
persen dari populasi retardasi mental).1
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-III (PPDGJ III)
retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau tidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa perkembangan,
sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa,
motorik, dan sosial.2
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira kira 1 persen
dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan mengenali
onsetnya. Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang panjang
sebelum keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan) prevalensi
untuk RM ringan 0,37 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan sangat berat adalah
0,3 0,4%. 2
Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10
sampai 14 tahun. Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan
dengan wanita. Pada lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena mereka dengan retardasi
mental yang berat atau sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi yang
disebabkan dari penyulit gangguan fisik yang menyertai. 1
Retardasi mental terbagi atas retardasi mentl ringan dan berat. Retardasi mental ringan
lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dan adanya riwayat keluarga sedangkan
retardasi mental berat lebih dihubungkan dengan penyebab biologis seperti sindrom
genetik dan kromosom, abnormalitas perkembangan otak, gangguan metabolisme sejak
lahir, gangguan neurodegenerative, malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi, kelainan
pada masa perinatal, serta kelainan pada masa postnatal.2
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.2 Epidemiologi
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira kira 1 persen
dari populasi. Insidensi retardasi mental sulit dihitung karena kesulitan mengenali onsetnya.
Pada banyak kasus, retardasi mungkin laten selama waktu yang panjang sebelum
keterbatasan seseorang diketahui atau karena adaptasi baik. (kaplan) prevalensi untuk RM
ringan 0,37 0,59% sedangkan untuk RM sedang, berat dan sangat berat adalah 0,3 0,4%. 2
Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan puncak usia 10 sampai 14 tahun.
Retardasi mental 1,5 kali lebih sering pada laki laki dibandingkan dengan wanita. Pada
lanjut usia, prevalensi lebih sedikit karena mereka dengan retardasi mental yang berat atau
sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari penyulit gangguan
fisik yang menyertai.1
2.3 Etiologi
Faktor etiologis retardasi mental terutama dapat berupa genetik, perkembangan,
didapat, atau kombinasi berbagai faktor.
a. Faktor genetik
Sindrom Down
Sindrom down adalah kondisi yang disebabkan oleh adanya kelebihan
kromosom pada pasangan ke-21 dan ditandai dengan retardasi mental serta
anomali fisik yang beragam.1 Untuk seorang ibu usia pertengahan (> 32 tahun),
resiko memiliki anak dengan sindroma Down adalah kira-kira 1 dalam 100
kelahiran. Retardasi mental adalah cirri yang menumpang pada sindrom Down.
Sebagian besar pasien berada dlam kelompok retardasi sedang sampai berat.,
hanya sebagian kecil yang memiliki IQ di atas 50. Diagnosis sindrom Down
relative mudah pada anak yang lebih besar tetapi seringkali sukar pada neonates.
Tanda yang paling penting pada neonates adalah hipotonia umum, fisura palpebra
yang oblik, kulit leher yang berlebihan, tengkorak yang kecil dan datar, tulang
pipi yang tinggi, dan lidah yang menonjol. Dapat dilihat juga tangan tebal dan
lebar, dengan garis transversal tunggal pada telapak tangan, dan jari kelingking
pendek dan melengkung ke dalam.1
Phenylketonuria (PKU)
Phenylketonuria diturunkan sebagai ciri mendelian autosomal resesif
sederhana. Sebagian besar pasien dengan PKU mengalami retardasi berat, tetapi
beberapa diantaranya dilaporkan memiliki intelegensi dalam ambang batas
normal. Meskipun gambaran klinisnya beragam, anak dengan PKU biasanya
hiperaktif, mereka menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak dapat diduga serta
sulit diatur. Perilakunya kadang kadang menyerupai anak dengan autisme atau
skizofrenia.
b. Faktor Prenatal
Beberapa kasus retardasi mental disebabkan oleh infeksi dan penyalahgunaan obat
selama ibu mengandung. Infeksi yang biasanya terjadi adalah Rubella, yang dapat
menyebabkan kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental,
seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang digunakan ibu
selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta. Sebagian dapat
menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah. Anak-anak yang ibunya minum
alkohol selama kehamilan sering lahir dengan sindrom fetal dan merupakan kasus paling
nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran, seperti kekurangan
oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti encephalitis dan meningitis, terkena
racun, seperti cat yang mengandung timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi
mental.
c. Faktor Perinatal
Beberapa bukti menunjukkan bahwa bayi premature dan bayi dengan berat badan
lahir rendah berada dalam resiko tinggi mengalami gangguan neurologis dan intelektual
yang bermanifestasi selama tahun-tahun sekolahnya. Bayi yang menderita pendarahan
intrakranial atau tanda-tanda iskemia serebral terutama rentan terhadap kelainan kognitif.
Derajat gangguan perkembangan saraf biasanya berhubungan dengan beratnya
perdarahan intrakranial.1
Fungsi intelektual
1. Kecemasan keluarga 1. Gangguan komunikasi
2. Kurang pengetahuan verbal menurun
3. Koping keluarga tidak 2. Gangguan bermain
efektif. 3. Isolasi social
4.Kerusakan interaksi 1. Resiko
sosial ketergantungan
2. Resiko cedera
2.5 Gambaran Klinis
Survei telah mengidentifikasi beberapa gambaran klinis yang terdapat dalam
frekuensi yang lebih besar pada orang dengan retardasi mental dibandingkan populasi umum.
Gambaran ini, yang dapat terjadi sendiri atau sebagai bagian dari gangguan mental, termasuk
hiperaktivitas, toleransi yang rendah terhadap frustasi, agresi, ketidakstabilan afektif, perilaku
motorik stereotipik berulang, dan berbagai perilaku mencederai diri sendiri. Perilaku
mencederai diri sendiri tampak lebih sering tampak lebih sering dan lebih intens pada
retardasi mental yang semakin berat. Penentuan apakah gambaran klinis ini merupakan
gangguan mental komorbid atau gejala sisa langsung keterbatasan perkembangan yang terkait
dengan retardasi mental sering sulit dilakukan.5
2.6 Diagnosis
Menurut pedoman diagnostik PPDGJ III intelegensia bukan merupakan karakteristik
yang berdiri sendiri, melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar ketrampilan khusus
yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua ketrampilan ini akan
berkembang ke tingkat yang serupa pada setiap individu, tetapi ada ketimpangan
(discrepancy) yang luas, terutama pada penyandang RM. Orang yang demikian mungkin
memperlihatkan hendaya berat dalam satu bidang tertentu (misalnya bahasa) atau mungkin
mempunyai suatu area ketrampilan tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas visuospasial
sederhana) pada RM berat. Keadaan ini akan menimbulkan kesluitan dalam menentukan
kriteria diagnostik dimana seorang penyandang RM harus diklasifikasikan. Penilaian tingkat
kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan klinis,
perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan dengan latar belakang budayanya), dan hasil tes
psikometrik.
Untuk diagnosis pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang meningkatkan
berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari
hari. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai retardasi mental mempunyai pengaruh besar
pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua keterampilannya. Oleh karena itu kategori
diagnostik yang dipilih harus berdasarkan penilaian kemampuan global dan bukan atas suatu
hendaya atau ketrampilan khusus. Tingkat IQ yang ditetapkan hanya merupakan petunjuk dan
seharusnya tidak ditetapkan secara kaku dalam memandang keabsahan permasalahan lintas
budaya.6
Kriteria diagnostik untuk RM menurut DSM V TR adalah sebagai berikut :
1. Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan,
berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademik dan belajar dari pengalaman,
dikonfirmasi oleh kedua penilaian klinis dan individual, pengujian kecerdasan standar
2. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar
perkembangan dan sosial budaya untuk kemerdekaan pribadi dan tanggung jawab sosial.
Tanpa dukungan yang berkelanjutan, defisit adaptif berfungsi terbatas dalam satu atau lebih
aktivitas kehidupan sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri, dan
di beberapa lingkungan, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dan masyarakat
3. Timbulnya defisit intelektual dan adaptif selama periode perkembangan
d. Pemeriksaan Neurologis
Gangguan sensorik sering terjadi pada orang retardasi mental, sebagai contoh
sampai 10 persen orang retardasi mental mengalami gangguan pendengaran empat
kali lebih tinggi dibandingkan orang normal. Gangguan sensorik dapat berupa
gangguan pendengaran dan gangguan visual. Gangguan pendengaran terentang dari
ketulian kortikal sampai deficit pendengaran yang ringan. Gangguan visual dapat
terentang dari kebutaan sampai gangguan konsep ruang, pengenalan rancangan, dan
konsep citra tubuh.
Gangguan dalam bidang motorik dimanifestasikan oleh kelainan pada tonus otot
(spastisitas atau hipotonia), refleks (hiperefleksia), dan gerakan involunter
(koreoatetosis). Derajat kecacatan lebih kecil ditemukan dalam kelambanan dan
koordinasi yang buruk.1
e. Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan pada kasus retardasi mental adalah pemeriksaan
urin dan darah untuk mencari gangguan metabolik. Penentuan kariotipe dalam
laboratorium genetic diindikasikan bila dicurigai adanya gangguan kromosom.
Amniosintesis, di mana sejumlah kecil cairan amniotic diambil dari ruang amnion
secara transabdominal antara usia kehamilan 14 dan 16 minggu, telah berguna dalam
diagnosis berbagai kelainan kromosom bayi, terutama Sindroma Down.
Amniosintesis dianjukan untuk semua wanita hamil berusia di atas 35 tahun.
Pengambilan sampel vili korionik (CVS; chorionic villi sampling) adalah teknik
skrining yang baru untuk menentukan kelainan janin. Cara ini dilakukan pada usia
kehamilan 8 dan 10 minggu. Hasilnya tersedia dalam waktu singkat (beberapa jam
atau hari), dan jika kehamilan adalah abnormal, keputusan untuk mengakhiri
kehamilan dapat dilakukan dalam trimester pertama. Prosedur memiliki resiko
keguguran antara 2 dan 5 persen. 1
f. Pemeriksaan Psikologis
Tes psikologis, dilakukan oleh ahli psikologis yang berpengalaman, adalah bagian
standar dari pemeriksaan untuk retardasi mental. Pemeriksaan psikologis dilakukan
untuk menilai kemampuan perceptual, motorik, linguistik, dan kognititf. Informasi
tentang factor motivasional, emosional, dan interpersonal juga penting. 1
2.7 Klasifikasi
Menurut PPDGJ-III retardasi mental dibagi menjadi :4
F70 Retardasi Mental Ringan
Bila menggunakan tes IQ baku yang tepat, maka IQ berkisar antara 50 69
menunjukkan retardasi mental ringan.
Pemahaman dan penggunaan bahasa cenderung terlambat pada berbagai tingkat,
dan masalah kemampuan berbicara yang mempengaruhi perkembangan
kemandirian dapat menetap sampai dewasa. Walaupun mengalami keterlambatan
dalam kemampuan bahasa, tapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan bicara
untuk keperluan sehari hari. Kebanyakan juga dapat mandiri penuh dalam
merawat diri sendiri dan mencapai ketrampilan praktis dan ketrampilan rumah
tangga, walaupun tingkat perkembangannya agak lambat daripada normal.
Kesulitan utama biassanya tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat
akademis dan banyak masalah khusus dalam membaca dan menulis.
Etiologi organik hanya dapat diidentifikasikan pada sebagian kecil penderita
Keadaan lain yang menyertai, seperti autisme, gangguan perkembangan lain,
epilepsi, gangguan tingkah laku, atau disabilitas fisik dapat ditemukan dalam
berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan demikian, maka harus diberi kode
diagnosis tersendiri.
Kategori ini hanya digunakan bila penilaian dari tingkat retardasi mental dengan
memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
gangguan sensorik atau fisik, misalnya buta, bisu, tuli dan penderita yang
perilakunya terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.
Jelas terdapat retardasi mental, tetapi tidak ada informasi yang cukup untuk
menggolongkannya dalam salah satu kategori tersebut diatas.
Pembagian tingkat tingkat intelegensi (Patokan sosial didasarkan atas keadaan masyarakat
yang normal)7
2.9 Penatalaksanaan
Retardasi mental berhubungan dengan beberapa gangguan heterogen dan berbagai
faktor psikososial. Terapi yang terbaik untuk retardasi mental adalah pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.1
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan
atau menurunkan kondisi yang menyebabkan perkembangan gangguan yang disertai
dengan retardasi mental. Tindakan tersebut termasuk :
Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum
tentang retardasi mental.
Usaha terus-menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbaharui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang optimal.
Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan system saraf pusat.
Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insidensi retardasi
mental dalam keluarga dengan riwayat gangguan genetic yang berhubungan dengan
retardasi mental. Untuk anak-anak dan ibu dengan sosioekonomi rendah, pelayanan
medis prenatal dan perinatal yang sesuai dan berbagai program pelengakap dan
bantuan pelayanan social dapat menolong menekan komplikasi medis dan psikososial.
b. Pencegahan Sekunder dan Tersier
Jika suatu gangguan yang disertai dengan retardasi mental telah dikenali,
gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit (pencegahan
sekunder) dan untuk menekan sekuele atau kecacatan yang terjadi setelahnya
(pencegahan tersier).
Gangguan metabolik dan endokrin herediter, seperti PKU dan hipotiroidisme,
dapat diobati dalam stadium awal dengan control diet atau dengan terapi penggantian
hormone.
Anak retardasi mental seringkali memiliki kesulitan emosional dan perilaku
yang memerlukan terapi psikiatrik. Kemampuan kognitif dan sosial yang terbatas
yang dimiliki anak tersebut memerlukan modalitas terapi psikiatrik yang dimodifikasi
berdasarkan tingkat kecerdasan anak.
c. Edukasi untuk anak
Lingkungan pendidikan untuk anak-anak dengan retardasi mental harus
termasuk program yang lengkap yang menjawab latihan keterampilan adaptif, latihan
keterampilan sosial, dan latihan kejujuran. Perhatian khusus harus dipusatkan pada
komunikasi dan usaha untuk meningkatkan kualitas hidup. Terapi kelompok
seringkali merupakan format yang berhasil dimana anak-anak dengan retardasi mental
dapat belajar dan mempraktekkan situasi hidup nyata dan mendapatkan umpan balik
yang mendukung.
d. Terapi perilaku, kognitif, dan psikodinamika
Kesulitan dalam beradaptasi di antara orang retardasi mental adalah luas dan
sangat bervariasi sehingga sejumlah intervensi sendiri atau dalam kombinasi mungkin
berguna.
Terapi perilaku telah digunakan selama bertahun-tahun untuk membentuk dan
meningkatkan perilaku sosial dan untuk mengendalikan dan menekan perilaku agresif
dan destruksi pasien. Dorongan positif untuk perilaku yang diharapkan dan memulai
hukuman (seperti mencabut hak istimewa) untuk perilaku yang tidak diinginkan telah
banyak menolong.
Terapi kognitif seperti menghilangkan keyakinan palsu dan latihan relaksasi
dengan instruksi dari diri sendiri, juga telah dianjurkan untuk pasien retardasi mental
yang mampu mengikuti instruksi pasien.
Terapi psikodinamika telah digunakan pada pasien retardasi mental dan
keluarganya untuk menurunkan konflik tentang harapan yang menyebabkan
kecemasan, kekerasan, dan depresi yang menetap.
e. Pendidikan keluarga
Satu bidang yang penting dalam pendidikan keluarga dari pasien dengan
retardasi mental adalah tentang cara meningkatkan kompetensi dan harga diri sambil
mempertahnkan harapan yang realistic untuk pasien. Keluarga seringkali merasa sulit
untuk menyeimbangkan antara mendorong kemandirian dan memberikan lingkungan
yang mengasuh dan suportif bagi anak retardasi mental, yang kemungkinan
mengalami suatu tingkat penolakan dan kegagalan di luar konteks keluarga.
Orang tua mungkin mendapatkan manfaat dari konseling yang terus-menerus
datau terpai keluarga. Orang tua harus diberikan kesempatan untuk mengekspresikan
perasaan bersalah, putus asa, kesedihan, penyangkalan yang terus-menerus timbul,
dan kemarahan tentang gangguan dan masa depan anak. Dokter psikiatrik harus siap
untuk memberikan semua informasi medis dasar dan terakhir tentang penyebab,
terapi, dan bidang lain yang berhubungan (seperti latihan khusus dan perbaikna defek
sensorik).
f. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis dalam terapi gangguan mental komorbid pada pasien
retardasi mental adalah banyak kesamaannya seperti untuk pasien yang tidak
mengalami retardasi mental. Semakin banyak data yang mendukung pemakaian
berbagai medikasi untuk pasien dengan gangguan mental yang tidak retardasi mental.
Beberapa penelitian telah memusatkan perhatian pada pemakaian medikasi untuk
sindrom perilaku berikut ini yang sering terjadi di antara retardasi mental:
2.10 Prognosis
Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik.
Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan retardasi
mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi, pada umumnya
umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi
mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.4
Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak dini.
Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur hidup.
Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat usianya masih
dini, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja hanya menderita
gangguan perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow learner-intelejensia ambang
normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental ringan di saat masa sekolah,
mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan berbagai keterampilan yang cukup
baik sehingga mereka tidak dapat lagi dikategorikan menderita retardasi mental ringan, atau
dapat dikatakan efek dari peningkatan maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu
kategori diagnosis ke kategori lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi
retardasi mental ringan). Beberapa anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik
atau gangguan komunikasi dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan
berjalannya waktu. Ketika masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah menetap.
Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab dasarnya,
tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan medis terkait,
dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan training yang tersedia
untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita retardasi mental yang mampu
memenuhi kebutuhan ekonmi dan sosialnya secara mandiri. Mereka mungkin saja
membutuhkan supervisi secara periodik, terutama di saat mengalami masalah sosial maupun
ekonomi. Kebanyakan penderita dapat hidup dengan baik dalam masyarakat, baik secara
mandiri maupun dalam supervisi. Angka harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya
retardasi mental ini.2
BAB III
KESIMPULAN
Retardasi mental merupakan suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau
tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh hendaya keterampilan selama masa
perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia yaitu kemampuan
kognitif, bahasa, motorik, dan social. Faktor etiologis retardasi mental terutama dapat berupa
genetik, perkembangan, didapat, atau kombinasi berbagai faktor.
Dalam mendiagnosa retardasi mental, tidak hanya dinilai dari IQ saja akan tetapi kita
perlu mendapatkan anamnesa yang komprehensif dari orang tua mengenai riwayat
kehamilan, persalinan dan tumbuh kembang anak. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik,
psikologis, pemeriksaan laboratorium secara cermat terhadap seorang anak. Observasi
psikiatrik juga perlu dikerjakan untuk mengetahui adanya gangguan psikiatrik disamping
retardasi mental.
Berdasatkan Panduan Pedoman Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, retardasi
mental diklasifikasikan menjadi retardasi mental ringan, retardasi mental sedang, retardasi
mental berat, retardasi mental sangat berat, retardasi mental lainnya, dan retardasi mental
yang tidak tergolongkan. Untuk penatalaksanaanya dibagi menjadi pencegahan primer,
pencegahan sekunder, pencegahan tersier, terapi perilaku, terapi kognitif, edukasi keluarga,
intervensi sosial dan farmakologi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan HI, Sadock BJ. Retardasi mental. Dalam: Muttaqin H, Sihombing RNS editor.
Buku ajar psikiatri klinis. Edisi ke-dua. Jakarta : EGC;2010
2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In:
Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007. p. 191-7.
3. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal Hingga
Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA, Hartanto
H, Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20th ed. Jakarta: EGC;
2006. p. 136-9.
4. Maslim R. F70-F79 Retardasi Mental. Buku Saku PPDGJ-III, Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, 2013
5. OCallaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor.
Practical Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. p.
108-14.
6. Elvira SD, Hadisukanto G. Retardasi Mental. Buku Ajar Psikiatri, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2010
7. Maramis, WF. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya