RETARDASI MENTAL
Pembimbing:
dr. Marcus Anthonius, SpKFR.
Penyusun:
Bhismar Imansyah Wiraatmaja
(NIM 2008.04.0.0008)
BAB 1
PENDAHULUAN
Retardasi adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan
dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan
serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar. Keterbatasan fungsi akan
terlihat sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan ini berkaitan dengan dua atau lebih
area
keterampilan
seperti:
komunikasi,
merawat
diri,
keterampilan
sosial,
adaptif
di
sepanjang
kehidupan. 1
Hal
tersebut
menyebabkan
2
2, 3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Retardasi Mental
Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak
mencukupi.3 Retardasi mental menurut The Individuals with Disabilities Education Act
(IDEA) adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan
defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan serta berakibat
buruk terhadap kemampuan belajar.2
The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities
(AAIDD,2002) mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam fungsi
intelektual dan perilaku adaptif.4
Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi mental
mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata,
didefinisikan sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ)
dengan keterbatasan yang berkaitan dengan dua atau lebih area keterampilan adaptif
yang dapat diterapkan: komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial, kemampuan
bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional,
istirahat, dan bekerja.1
Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya
dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ yang merupakan persentase yang
didapatkan dari umur mental berbanding umur kronologis. Apabila IQ di bawah 70, anak
tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu
sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian pula dengan pengertian
bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. 3
Perilaku
adaptif
sosial
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mandiri,
menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan
kelompok umur dan budayanya. Pada penderita retardasi mental, gangguan perilaku
adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat
sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya.
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari populasi
menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental ringan. Di
4
Amerika serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah
mendapat pelayanan retardasi mental. 2
Perkiraan prevalensi berdasarkan pada tes psikometrik standar menunjukkan
bahwa hanya di bawah 3% populasi umum memiliki fungsi intelektual yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata (memiliki nilai tes yang berada lebih dari dua
standar deviasi di bawah rata-rata). Prevalensi retardasi mental ringan paling tinggi
diantara anak-anak dari keluarga miskin, sementara individu yang mengalami
kecacatan yang lebih berat diwakilkan secara sama pada semua kelompok masyarakat.
Kira-kira 5% populasi mengalami retardasi mental berat atau sangat berat.
Anak-anak dengan retardasi mental dapat didiagnosis juga dengan gangguan
lain seperti autisme dan cerebral palsy. Secara keseluruhan, prevalensi retardasi
mental dapat terjadi lebih tinggi pada laki-laki di banding perempuan yaitu 2:1 pada
retardasi mental ringan dan 1,5 : 1 pada retardasi mental berat. 2
2.3 Etiologi
Terdapat 2 populasi gangguan retardasi
1. Retardasi mental ringan (IQ > 50), lebih dihubungkan dengan pengaruh
lingkungan. Retardasi mental ringan ini 4 kali lebih banyak terjadi pada anak
yang ibunya tidak tamat SMA. Hal ini kemungkinan akibat dari gabungan faktor
genetik (anak yang mewarisi gangguan intelektual) dan faktor sosio-ekonomi
(kemiskinan dan Undernutrition). Penyebab spesifik gangguan retardasi mental
ringan hanya teridentifikasi pada <50% penderita. Penyebab biologis paling
sering adalah sindrom genetik dengan kelainan kongenital, prematuritas,
penyalahgunaan obat yang menyebabkan gangguan intrauterin, dan abnomalitas
kromosom seks. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga. 2, 5
2. Retardasi mental berat (IQ>50), lebih dihubungkan dengan penyebab biologis.
Penyebab biologis dapat diidentifikasi pada 75% kasus. Penyebab penyakit
tersebut antara lain : sindrom genetic (sindrom Fragile X, Prader willi Syndrome)
dan
kromosom
(Down
sindrom,
klinefelter
syndrome),
Abnormalitas
5
[Fenilketonuria(PKU),
Tay-sach],
gangguan
neurodegenerative
neurokutaneus, dll)
- Kelainan kromosom (x-linked, translokasi, fragile-x)
Faktor pranatal
- Gangguan pertumbuhan otak trimester I
Kelainan kromososm (trisomi, mozaik, dll)
Infeksi intrauterin, TIRCH, HIV
Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi)
Disfungsi plasenta
Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)
- Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III
Infeksi intrauterin
Zat-zat teratogen (alkohol, kokain, logam berat)
Ibu : diabetes melitus, fenilketonuria (PKU)
Toksemia gravidarum
Disfungsi plasenta
Ibu malnutrisi
Faktor perinatal
6
- Sangat prematur
- Asfiksia neonatorum
- Trauma lahir: perdarahan intrakranial
- Meningitis
- Kelainan metabolik: hipoglikemia, hiperbilirubinemia
Faktor postnatal
- Trauma berat pada kepala atau susunan saraf pusat
- Neurotoksin
- CVA (Cerebrovascular Accident)
- Anoksia, misalnya teggelam
- Metabolik
Gizi buruk
Kelainan hormonal, misalnya hipotiroid
Aminoasiduria, misalnya PKU
Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll
Polisakaridosis, misalnya sindrom hurler
Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegali
- Infeksi
Meningitis, ensefalitis
Subakut, sklerosing panensefalitis
2.4 Diagnosis
Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi
mentalnya, baik organik atau non organik, apakah kelainannya dapat diobati/tidak, dan
apakah ada faktor genetik/tidak. Dengan melakukan skrining secara rutin misalnya
dengan menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test), maka diagnosis
dini dapat segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orang tua, pengasuh
atau gurunya, akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Setelah anak
berumur 6 tahun dapat dilakukan tes IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan
tidak dapat diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada
sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk mengetahui apakah ada
keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor non organik lainnya yang
diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak. 3, 7
Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa
kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang gambaran
stigmata mengarah kesuatu sindroma penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelainan
fisik dan gejala yang sering disertai retardasi mental, yaitu : 3
1. Kelainan pada mata:
1.1 Katarak
-
Sindrom Cockayne
- Sindrom Down
Sindrom Lowe
- Kretin
Galactosemia
Mukolipidosis
1.3 Korioretinitis
-
Lues Kongenital
- Sindrom Hurler
Sindroma Hunter
- Sindrom Lowe
2. Kejang
2.1 Kejang umum tonik klonik
-
Hiperlisinemia
Phenyl ketonuria
8
Arginosuccinic asiduria
Hiperaminonemia I dan II
Laktik Asidosis,dll
3. Kelainan Kulit
Bintik cafe au-lait
-
Ataksia telengiektasia
Sindrom Bloom
Neurofibromatosis
Tuherous sclerosis
4. Kelainan Rambut
4.1 Rambut rontok
-
Ataksia telangiektasia
Hipotiroid
9
Malnutrisi
5. Kepala
-
Mikrosefali
Makrosefali
o Hidrosefalus
o Mucopolisakaridase
o Efusi subdural
6. Perawakan pendek
-
Kretin
Sindrom Prader-Willi
7. Distonia
-
Sindrom Hallervorden-Spaz
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada anak dengan retardasi mental
antara lain neuroimaging, tes metabolik, genetik, kromosom darah, dan elektro
ensefalografi (EEG). Tes-tes tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk anak dengan
keterbelakangan intelektual.
sejumlah
marker
disgenesis
serebral
pada
anak
dengan
keterbelakangan intelektual.
Diagnosis retardasi mental membutuhkan pula tes intelijensia individual dan tes
kemampuan fungsi adaptif. The Bayley Scales of Infant Development (BSID-II)
merupakan skala penilaian intelejensi yang paling umum dipakai, skala ini menilai
12
serebral palsi atau autisme juga menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan
retardasi mental tampak pada kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi
kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan disertai
adanya refleks patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif
sosial lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada retardasi
mental biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif
dan kognitif.2
Genitalia abnormal
Tuberous sklerosis
14
Kejang lokal
Neonatal hepatosplenomegali
Chorioretinitis
Mikroptalmia
Kalsifikasi intrakranial
Mikrosefali
Choreoatetosis
Gout
Sering mengamuk
Asidosis metabolik
Kejang mioklonik
Ataksia
Degenerasi retina
Ophtalmoplegia
Hepatomegali
Tuli
Degenerasi retina
Ophtalmoplegia
Acrodermatitis
Anemia
Sirosis
16
Cincin Kayser-Fleischer
Gagal tumbuh
Mikrosefali
Atrofi N. Optikus
Degenerasi retina
Mioklonus
Hepatosplenomegali
Kejang
17
Kifosis
Hepatosplenomegali
Kornea keruh
Gangguan pendengaran
Katarak
Hepatosplenomegali
Kejang
Kejang
Muntah-muntah
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat
individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan multidisiplin
merupakan jalan yang terbaik.
2,
pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak
tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog untuk menilai
perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak untuk memeriksa fisik
anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin
ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi
keluarganya.10 Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih
banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll.
Psikiater, bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya
membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk
merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk
memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan bicara. Serta
diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini. 3, 11
Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya,
dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang diperlukan
waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaaan anaknya. Bila orang
tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula dengan
psikolog atau psikiater.3, 11 Disamping itu diperlukan kerja sama yang baik antara guru
dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam strategi penanganan anak
disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi pengertian, agar
anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan
tentang retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar. 3
2.7.1 Pendekatan Individual dan Keluarga
19
Retardasi mental umumnya merupakan kondisi seumur hidup dan tidak dapat
disembuhkan
dengan
pengobatan
medis.
Hal-hal
berikut
ini
penting
untuk
bermartabat. Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran sosial, tingkah
laku dan kepercayaan yang positif dari lingkungan terkait retardasi mental itu
sendiri.
3. Perspektif Keluarga: Masalah retardasi mental seringkali tidak dapat dipisahkan
dari masalah yang dihadapi keluarga. Pelayanan yang teroganisir sangat
dibutuhkan oleh keluarga untuk dapat beradaptasi dengan baik dan menghadapi
segala masalah dengan percaya diri.12
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, professional dari berbagai bidang, keluarga,
organisasi pemerintah, LSM, dan masyarakat secara keseluruhan harus saling
bekerjasam.3, 11, 12
Prinsip-prinsip berikut dapat membantu dalam membimbing dan mengarahkan
pengembangan pelayanan yang sesuai :
dengan yang didapatkan orang normal lainnya. Hal ini juga berarti menyediakan
gangguan yang dapat diobati seperti hipotiroidisme. Masalah terkait seperti kejang,
gangguan sensorik dan masalah perilaku, dapat diperbaiki atau dikendalikan dengan
tatalaksana medis yang tepat. Diharapkan tersedia fasilitas untuk penilaian psikologis
21
dari kekuatan dan kelemahan dalam diri anak yang dapat dijadikan
dasar untuk
bila mereka mencurigai adanya kelainan pada anaknya. Oleh karena itu dokter anak
harus waspada pada setiap keluhan dari ibu, terutama keluhan tentang keterlambatan
perkembangan anaknya. Makin dini ditemukan, dan makin dini diadakan stimulasi,
makin besar kesempatan anak untuk mengejar ketertinggalannya. 11
Banyak penelitian menunjukkan bahwa mendeteksi retardasi mental pada tahap
awal, yaitu pada masa bayi, dan menyediakan lingkungan yang memberikan stimulasi
dan penuh kasih sayang dapat membantu anak-anak ini untuk berkembang lebih baik
dan mencegah banyak
komplikasi.
Beberapa kondisi medis yang terkait dengan retardasi mental dapat dideteksi
saat lahir. Dapat pula dilakukan pengelompokan bayi-bayi yang beresiko menderita
retardasi mental. Bayi-bayi tersebut merupakan bayi yang lahir prematur atau dengan
berat lahir rendah (kurang dari 2 kg), atau yang menderita asfiksia saat lahir, atau
mereka yang menderita penyakit yang serius pada periode neonatal. Metode yang
dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengikuti perkembangan semua bayi sejak
lahir dan amati apakah mereka mengalami ketertinggalan secara konsisten.
Pada
umumnya, sebagian besar bayi dengan retardasi mental yang berat bisa dikenali pada
usia 6-12 bulan. Retardasi mental ringan biasanya menjadi jelas pada usia dua tahun.
Metode standar untuk deteksi dini retardasi mental sekarang telah tersedia, dan dapat
disesuaikan dengan budaya manapun dengan modifikasi yang tepat. Ketika seorang
bayi terdeteksi atau diduga memiliki retardasi mental, penting untuk memberikan
stimulasi yang tepat untuk perkembangannya.
Bayi yang berisiko atau terdeteksi dengan perkembangan yang tertunda harus
mendapatkan stimulasi sensori-motor. Ini adalah teknik di mana orang tua mendorong
dan mengajarkan bayi mereka untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan
sensorik mereka (penglihatan, pendengaran dan sentuhan) dan kemampuan motorik
(menggenggam, menggapai, memanipulasi, dan memindahkan). Teknik ini juga meliputi
aktif terlibat dengan anak dengan membelai, berbicara, menunjukkan benda-benda
terang, bermain untuk membuat anak tertawa, menggelitik, memijat lembut,
menempatkan anak dalam posisi dan tempat yang berbeda, menggunakan mainan dan
memainkan benda-benda untuk membangkitkan minat anak, membimbing tangan anak
23
untuk melakukan sesuatu dan sebagainya. Stimulasi semacam itu sangat dibutuhkan
untuk perkembangan normal.
12
Shaping: yaitu mengajarkan bentuk sederhana dari sebuah aktivitas yang rumit,
kemudian secara perlahan menaikkan tingkat kesulitannya.
Physical guidance : Jika anak tidak dapat belajar dengan cara modelling, ia
dapat diajarkan dengan cara memegang tangan anak dan menunjukkan mereka
24
secara fisik ini dapat perlahan-lahan ditarik sehingga anak belajar untuk
melakukan tugas secara independen.12
4. Terapi Bicara
Bicara dan bahasa adalah fungsi yang sangat penting dan sangat khusus bagi
manusia. Bicara dan bahasa memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan
perasaan dan pikiran seseorang kepada orang lain. Retardasi mental sering disertai
dengan keterbatasan yang signifikan dalam perkembangan bicara dan bahasa.
Penelitian telah memperlihatkan bahwa aplikasi sistematis teknik terapi wicara, efektif
dalam meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa. Terapi bicara dibutuhkan pada
anak dengan retardasi mental.12
5. Pendidikan
Ketika mereka tumbuh dan menguasai aktivitas hidup sehari-hari, anak-anak dengan
retardasi mental perlu diberikan pendidikan seperti anak-anak lainnya. Sekolah sangat
penting bagi mereka bukan hanya untuk memperoleh kemampun akademik tetapi juga
untuk beajar disiplin, keterampilan sosial/interaksi, dan keterampilan praktis untuk
kehidupan bermasyarakat. Meskipun mereka lambat dalam belajar, pengalaman dan
penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik pendidikan yang tepat,
sangat mungkin untuk memberikan keterampilan dasar membaca, menulis, dan
berhitung bagi banyak anak dengan retardasi mental. Pendekatan saat ini dalam hal
pendidikan, sebisa mungkin, menempatkan mereka di sekolah normal, daripada
mendirikan sekolah khusus (pendidikan inklusif). Hal ini terutama untuk mereka yang
memiliki bentuk ringan dari retardasi mental. Namun, anak dengan retardasi mental
yang lebih parah akan lebih baik ditempatkan di sekolah khusus. Pendekatan lain,
adalah dengan membuat kelas khusus untuk mereka di sekolah normal (opportunity
sections).10 Apapun pendekatan yang dipilih, penting untuk menyadari bahwa bahkan
anak-anak dengan retardasi mental pun membutuhkan pendidikan, untuk menjamin
perkembangan optimal dan kesejahteraan mereka.12
25
Anak dengan retardasi mental ringan(IQ 50-70), yang disebut golongan mampu
didik, mendapatkan pelajaran setaraf sekolah dasar, namun dengan cara dan
kecepatan mengajar yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengajar haruslah
guru khusus terdidik dalam bidang pendidikan mereka.
Anak dengan retardasi mental sedang (IQ 30-50) digolongkan ke dalam
kelompok mampu latih. Pada mereka lebih banyak diberikan latihan dalam berbagai
macam bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan membuat kue
pada anak wanita, atau pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan perkebunan pada
anak laki-laki. Diharapkan bahwa dengan keterampilan tersebut mereka dapat mandiri
di kemudian hari, atau mereka dapat bekerja dalam suatu shltered workshop. Di
Indonesia belum ada sheltered workshop untuk mempekerjakan anak-anak dengan
retardasi mental.
Sekolah untuk anak tuna grahita ini disebut SLB-C. dahulu, sebelum didirikan
sekolah khusus ini, anak dengan retardasi mental dimasukkan ke sekolah dasar
normal. Mereka dengan sendirinya tidak mampu mengikuti pelajaran, sehingga setiap
kelas biasanya diulang beberapa kali. Biasanya mereka dicap sebagai anak bodoh dan
seringkali menjadi bahan cemoohan teman mereka. Hal ini tentu saja tidak membantu
perkembangan kepribadian anak tersebut yang merasa makin kehilangan kepercayaan
dirinya. Banyak yang kemudian mogok sekolah dan samasekali menarik diri dari
pergaulan.
Anak dengan kecerdasan yang rendah ini kurang dapat meberikan penilaian
tentang baik-buruknya suatu tindakan tertentu, misalnya mencuri, merampas,
melakukan kejahatan seksual dan sebagainya. Pendidikan dalam SLB sedikitnya
melindungi mereka terhadap hal-hal tersebut diatas.
Dengan makin majunya pendidikan maka ada beberapa anak yang sekolah di
SLB mendapat kemajuan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat dipindahkan
kembali ke SD biasa. Bahkan di negara yang maju seperti di amerika sudah mulai
dilakukan pendidikan terpadu. Anak-anak dengan retardasi mental pada beberapa
26
6. Pelatihan Kejuruan
Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak muda dengan retardasi mental dapat
mengikuti pelatihan kejuruan dan kemudian dipekerjakan. Tapi ada banyak rintangan.
Salah satu rintangan utama adalah adanya kecenderungan untuk meremehkan
kemampuan mereka.
Harus diingat bahwa mendapatkan pekerjaan juga akan berdampak baik bagi
kesehatan mental, kepuasan diri, dan status social dari para penderita retardasi mental.
Ada banyak contoh inovatif tentang bagaimanahal ini dapat dicapai, misalnya, desa
dapat menawarkan berbagai peluang di bidang pertanian untuk mempekerjakan
mereka.12
2.8 Pencegahan
27
Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit,
yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan perlindungan yang
spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan memberikan imunisasi;
(2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, perumahan yang
sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan maksud meninggikan daya tahan
tubuh terhadap penyakit.
Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan
memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada susunan
saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat berbagai kondisi
yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat mencegah terjadinya retardasi
mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat dan tepat terhadap berbagai penyakit
anak, seperti keracunan timah atau hematoma subdural pascatrauma, mengurangi
kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak. Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris
pada anak, dapat meningkatkan secara maksimal kemungkinan anak tersebut untuk
mendapatkan rangsangan sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental
akibat defisiensi sensoris. 11
2.9 Komplikasi
Anak dengan retardasi mental memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan
penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan perilaku atau emosi.Deficit yang paling umum
terjadi diantaranya gangguan motoric, ganngguan perilaku atau emosi, komplikasi
medis, dan kejang.Makin parah tingkat retardasi makin banyak kompikasi yang
terjadi.Dengan mengetahui tingkat retardasi mental dapat membantu memprediksi
ganngguan yang dapt terjasi.Sindrom Fragile Xdan Sindrom Fetal Alcohol dihubungkan
dengan tingginya angka kejadian gangguan perilaku; Down Syndrome memiliki banyak
komplikasi medis ( hipotiroidisme, Celiace disease, penyakit jantung bawaan). Bila
gangguan tersebut terjadi dibutuhkan terapi fisik jangka panjang, occupational terapi,
terapi wicara, alat bantu dengar, dan obat-obatan medis. Kegagalan dalam
28
mengidentifikasi dan tata laksana adekuat terhadap gangguan yang terjadi dapat
menghambat kesuksesan dan rehabilitasi dan menyebabkan kesulitan daalam aktifitas
di sekolah, rumah, dan lingkungan. 2
2.10 Prognosis
Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik.
Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan
retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi,
pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi
sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi,
sering meninggal pada usia muda.3
Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak
dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur
hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat
usianya masih dini, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja
hanya menderita gangguan perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow
learner-intelejensia ambang normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental
ringan di saat masa sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan
berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi dikategorikan
menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari peningkatan
maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke kategori lainnya
(contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental ringan). Beberapa
anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau gangguan komunikasi
dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan berjalannya waktu. Ketika
masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah menetap.
Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab
dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan
medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan
training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita
retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi dan sosialnya secara
29
mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara periodik, terutama di saat
mengalami masalah sosial maupun ekonomi. Kebanyakan penderita dapat hidup
dengan baik dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun dalam supervisi. Angka
harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya retardasi mental ini. 2
DAFTAR PUSTAKA
30
[Online].
available
from:
URL:
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521
7. Goldson Edward, Reynolds Ann. Child Development & Behavior. In : Hay WW, Levin
MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Current Diagnosis & Treatment
Pediatrics. 20th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2011. p. 99-103.
8. OCallaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor.
Practical Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. p.
108-14.
9. Santrock John W. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.
10. Hull David, Johnston Derek I. Gangguan Mental. In: Yusna Daulika, editor. DasarDasar Pediatri. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 300-7.
11. Budhiman Melly. Perkembangan Mental. In: Markum AH, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2002. P 68-9.
12. South East Asian Regional Office. Mental Health and Substance Abuse [Online].
2011;
available
from:
URL:
http://www.searo.who.int/en/Section1174/Section1199/Section1567/Section1825_80
90.htm
13. Sularyo Titi Sunarwati, Kadim Muzal. Retardasi Mental. Sari Pediatri 2000 Dec; 2
(3): 170-7.
31
32