Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

RETARDASI MENTAL

Pembimbing:
dr. Marcus Anthonius, SpKFR.

Penyusun:
Bhismar Imansyah Wiraatmaja

(NIM 2008.04.0.0008)

ILMU REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL DR. RAMELAN
SURABAYA
2015

BAB 1
PENDAHULUAN
Retardasi adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan
dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan
serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar. Keterbatasan fungsi akan
terlihat sebelum usia 18 tahun. Keterbatasan ini berkaitan dengan dua atau lebih
area

keterampilan

seperti:

komunikasi,

merawat

diri,

keterampilan

sosial,

kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik


fungsional, istirahat, dan bekerja. Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes
fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ.
Epidemiologi retardasi mental belum diketahui secara jelas namun penilitian
secara konsisten menunjukkan bahwa retardasi mental paling sering terjadi di
antara anak-anak usia sekolah, dengan angka yang lebih rendah pada periode pra
sekolah atau post sekolah.1 Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric
Association) 2,5 % dari populasi menderita retardasi mental dan 85% diantaranya
merupakan retardasi mental ringan. Di Amerika serikat Tahun 2001-2002 lebih
kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah mendapat pelayanan retardasi
mental.2
Retardasi mental terbagi atas retardasi mentl ringan dan berat. Retardasi mental
ringan lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dan adanya riwayat keluarga
sedangkan retardasi mental berat lebih dihubungkan dengan penyebab biologis
seperti sindrom genetik dan kromosom, abnormalitas perkembangan otak,
gangguan metabolisme sejak lahir, gangguan neurodegenerative, malnutrisi berat,
paparan radiasi, infeksi, kelainan pada masa perinatal, serta kelainan pada masa
postnatal.2
Perkembangan adalah proses multidimensional yang mempengaruhi performa di
semua bidang kehidupan, gangguan perkembangan dapat mengenai satu atau
beberapa bidang kemampuan, dan dapat memiliki dampak pada fungsi intelektual
maupun

adaptif

di

sepanjang

kehidupan. 1

Hal

tersebut

menyebabkan
2

penatalaksanaan anak dengan retardasi mental haruslah bersifat multidimensi dan


sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak membutuhkan
penanganan multidisiplin sebagai jalan yang terbaik.

2, 3

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih


baik. Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak
dengan retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit
kardiorespirasi, pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang
normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah
kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda. 3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Retardasi Mental
Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak
mencukupi.3 Retardasi mental menurut The Individuals with Disabilities Education Act
(IDEA) adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan

defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan serta berakibat
buruk terhadap kemampuan belajar.2
The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities
(AAIDD,2002) mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam fungsi
intelektual dan perilaku adaptif.4
Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi mental
mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata,
didefinisikan sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ)

<70-75, terdapat bersamaan

dengan keterbatasan yang berkaitan dengan dua atau lebih area keterampilan adaptif
yang dapat diterapkan: komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial, kemampuan
bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan keamanan, akademik fungsional,
istirahat, dan bekerja.1
Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya
dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ yang merupakan persentase yang
didapatkan dari umur mental berbanding umur kronologis. Apabila IQ di bawah 70, anak
tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu
sederhana, daya tangkap dan daya ingatnya lemah, demikian pula dengan pengertian
bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. 3
Perilaku

adaptif

sosial

adalah

kemampuan

seseorang

untuk

mandiri,

menyesuaikan diri dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan
kelompok umur dan budayanya. Pada penderita retardasi mental, gangguan perilaku
adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan menyesuaikan diri dengan masyarakat
sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan tidak sesuai dengan umurnya.

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari populasi
menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental ringan. Di
4

Amerika serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah
mendapat pelayanan retardasi mental. 2
Perkiraan prevalensi berdasarkan pada tes psikometrik standar menunjukkan
bahwa hanya di bawah 3% populasi umum memiliki fungsi intelektual yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata (memiliki nilai tes yang berada lebih dari dua
standar deviasi di bawah rata-rata). Prevalensi retardasi mental ringan paling tinggi
diantara anak-anak dari keluarga miskin, sementara individu yang mengalami
kecacatan yang lebih berat diwakilkan secara sama pada semua kelompok masyarakat.
Kira-kira 5% populasi mengalami retardasi mental berat atau sangat berat.
Anak-anak dengan retardasi mental dapat didiagnosis juga dengan gangguan
lain seperti autisme dan cerebral palsy. Secara keseluruhan, prevalensi retardasi
mental dapat terjadi lebih tinggi pada laki-laki di banding perempuan yaitu 2:1 pada
retardasi mental ringan dan 1,5 : 1 pada retardasi mental berat. 2

2.3 Etiologi
Terdapat 2 populasi gangguan retardasi
1. Retardasi mental ringan (IQ > 50), lebih dihubungkan dengan pengaruh
lingkungan. Retardasi mental ringan ini 4 kali lebih banyak terjadi pada anak
yang ibunya tidak tamat SMA. Hal ini kemungkinan akibat dari gabungan faktor
genetik (anak yang mewarisi gangguan intelektual) dan faktor sosio-ekonomi
(kemiskinan dan Undernutrition). Penyebab spesifik gangguan retardasi mental
ringan hanya teridentifikasi pada <50% penderita. Penyebab biologis paling
sering adalah sindrom genetik dengan kelainan kongenital, prematuritas,
penyalahgunaan obat yang menyebabkan gangguan intrauterin, dan abnomalitas
kromosom seks. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga. 2, 5
2. Retardasi mental berat (IQ>50), lebih dihubungkan dengan penyebab biologis.
Penyebab biologis dapat diidentifikasi pada 75% kasus. Penyebab penyakit
tersebut antara lain : sindrom genetic (sindrom Fragile X, Prader willi Syndrome)
dan

kromosom

(Down

sindrom,

klinefelter

syndrome),

Abnormalitas
5

perkembangan otak (ensefalopati, Lissencephaly), gangguan metabolisme sejak


lahir

[Fenilketonuria(PKU),

Tay-sach],

(mukopolisakaridosis), malnutrisi berat,

gangguan

neurodegenerative

paparan radiasi, infeksi [Human

Imunodefisiensi Virus (HIV), toksoplasma, rubella, Sitomegalovirus(CMV),


Syphilis, Herpes Simpleks], kelainan pada masa perinatal, meningitis, intoksikasi
alkohol pada masa fetal, kelainan pada masa postnatal (trauma, meningitis,
Hipotiroid)2, 5
Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk mengetahui
adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan
laboratorium. Penyebab dari retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial.
Walaupun terdapat beberapa faktor yang potensial berperan dalam terjadinya retardasi
mental seperti yang dinyatakan oleh Taft LT dan Shonkoff JP di bawah ini. Faktor-faktor
yang potensial sebagai penyebab retardasi mental: 3
1. Non organik
Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis
Faktor sosiokultural
Interaksi anak denga pengasuh yang tidak baik
Penelantaran anak
2. Organik
Faktor pra konsepsi
- Abnormalitas single gen (penyakit-penyakit metabolik, kelainan

neurokutaneus, dll)
- Kelainan kromosom (x-linked, translokasi, fragile-x)
Faktor pranatal
- Gangguan pertumbuhan otak trimester I
Kelainan kromososm (trisomi, mozaik, dll)
Infeksi intrauterin, TIRCH, HIV
Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi)
Disfungsi plasenta
Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)
- Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III
Infeksi intrauterin
Zat-zat teratogen (alkohol, kokain, logam berat)
Ibu : diabetes melitus, fenilketonuria (PKU)
Toksemia gravidarum
Disfungsi plasenta
Ibu malnutrisi
Faktor perinatal
6

- Sangat prematur
- Asfiksia neonatorum
- Trauma lahir: perdarahan intrakranial
- Meningitis
- Kelainan metabolik: hipoglikemia, hiperbilirubinemia
Faktor postnatal
- Trauma berat pada kepala atau susunan saraf pusat
- Neurotoksin
- CVA (Cerebrovascular Accident)
- Anoksia, misalnya teggelam
- Metabolik
Gizi buruk
Kelainan hormonal, misalnya hipotiroid
Aminoasiduria, misalnya PKU
Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll
Polisakaridosis, misalnya sindrom hurler
Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegali
- Infeksi
Meningitis, ensefalitis
Subakut, sklerosing panensefalitis

2.4 Diagnosis
Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi
mentalnya, baik organik atau non organik, apakah kelainannya dapat diobati/tidak, dan
apakah ada faktor genetik/tidak. Dengan melakukan skrining secara rutin misalnya
dengan menggunakan DDST (Denver Developmental Screening Test), maka diagnosis
dini dapat segera dibuat. Demikian pula anamnesis yang baik dari orang tua, pengasuh
atau gurunya, akan sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Setelah anak
berumur 6 tahun dapat dilakukan tes IQ. Sering kali hasil evaluasi medis tidak khas dan
tidak dapat diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila tidak ada kelainan pada
sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk mengetahui apakah ada
keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor non organik lainnya yang
diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak. 3, 7
Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa
kelainan fisik yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang gambaran

stigmata mengarah kesuatu sindroma penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelainan
fisik dan gejala yang sering disertai retardasi mental, yaitu : 3
1. Kelainan pada mata:
1.1 Katarak
-

Sindrom Cockayne

- Sindrom Down

Sindrom Lowe

- Kretin

Galactosemia

- Rubela Pranatal, dll

1.2 Bintik cherry merah pada daerah makula


-

Mukolipidosis

Penyakit Niemann Pick

- Penyakit Tay - Sachs

1.3 Korioretinitis
-

Lues Kongenital

- Sindrom Hurler

Sindroma Hunter

- Sindrom Lowe

2. Kejang
2.1 Kejang umum tonik klonik
-

Defisiensi glikogen sinthetase

Hiperlisinemia

Hipoglikemia, terutama yang disertai glycogen storage disease I,II,IV,


danVI

Phenyl ketonuria
8

Sindrom malabsobrbsi methionin, dll

2.2 Kejang pada masa neonatal


-

Arginosuccinic asiduria

Hiperaminonemia I dan II

Laktik Asidosis,dll

3. Kelainan Kulit
Bintik cafe au-lait
-

Ataksia telengiektasia

Sindrom Bloom

Neurofibromatosis

Tuherous sclerosis

4. Kelainan Rambut
4.1 Rambut rontok
-

Familial laktik asidosis dengan necrotizing ensefalopati

4.2 Rambut cepat memutih


-

Atrofi progresif serebral hemisfer

Ataksia telangiektasia

Sindrom malabsorpsi methionin

4.3 Rambut halus


-

Hipotiroid
9

Malnutrisi

5. Kepala
-

Mikrosefali

Makrosefali
o Hidrosefalus
o Mucopolisakaridase
o Efusi subdural

6. Perawakan pendek
-

Kretin

Sindrom Prader-Willi

7. Distonia
-

Sindrom Hallervorden-Spaz

Gejala retardasi mental berdasarkan tipenya:


1. Retardasi mental ringan
Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Diagnosis dibuat
setelah anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik,
artinya selain dapat diajar baca tulis bahkan bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa
dilatih keterampilan tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri
seperti orang dewasa yang normal. Tetapi pada umumnya mereka kurang
mampu menghadapi stress, sehingga tetap membutuhkan bimbingan dari
keluarganya.
10

2. Retardasi mental sedang


Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka
mampu latih tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya
dapat sampai kelas 2 SD saja, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan
tertentu misalnya pertukangan, pertanian, dll. Dan apabila bekerja nanti mereka
,memerlukan pengawasan. Mereka juga perlu dilatih bagaimana mengurus diri
sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu mengahadapi dan kurang dapat
mandiri, sehingga memerlukan bimbingan dan pengawasan.
3. Retardasi mental berat
Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini.
Diagnosis mudah ditegakkan secara dini , karena selain adanya gejala fisik yang
menyertai juga berdasarkan keluhan dari orang tua dimana anak sejak awal
sudah terdapat keterlambatan perkembangan motorik dan bahasa. Kelompok ini
termasuk tipe klinik. Mereka dapat dilatih higiene dasar saja dan kemampuan
berbicara yang sederhana , tidak dapat dilatih keterampilan kerja dan
memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang hidupnya.
4. Retardasi mental sangat berat
Kelompok ini sekitar 1 % dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis dini mudah
dibuat karena gejala baik mental dan

fisik sangat jelas. Kemampuan

berbahasanya sangat minimal. Mereka ini seluruh hidupnya tergantung pada


orang disekitarnya. 3
Kriteria diagnostik retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) :2, 8
1. Fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata. IQ kira-kira 70 atau
dibawahnya.
11

2. Gangguan terhadap fungsi adaptif paling sedikit 2, misalnya komunikasi, perawatan


diri, kemampuan melakukan tugas-tugas rumah tangga, sosial, pekerjaan, kesehatan
dan keamanan.
3. Onsetnya sebelum berusia 18 tahun.

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada anak dengan retardasi mental
antara lain neuroimaging, tes metabolik, genetik, kromosom darah, dan elektro
ensefalografi (EEG). Tes-tes tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk anak dengan
keterbelakangan intelektual.

Jenis tes yang dilakukan sebaiknya didasarkan pada

riwayat keluarga/kesehatan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan oleh bidang keilmuan yang


lain, dan keinginan keluarga.2
Tes Karyotype terutama ditujukan untuk melihat jumlah kromosom, duplikasi,
delesi, atau translokasi kromosom. Tes molekuler genetik untuk sindrom Fragile X tepat
digunakan untuk laki-laki dengan retardasi mental sedang, perawakan fisik yang tidak
normal, dan/atau memiliki riwayat retardasi mental pada keluarga; atau perempuan
dengan defisit kognitif ringan dengan sikap pemalu yang berlebihan dan memiliki
riwayat keluarga. Anak dengan gangguan neurologis yang progresif atau perubahan
perilaku tiba-tiba membutuhkan investigasi metabolik (asam organik urin, asam amino
plasma, laktat darah, enzim lisosom dalam limfosit), anak dengan episode mirip kejang
harus mendapatkan pemeriksaan EEG. Anak dengan pertumbuhan kepala abnormal
atau asimetris dan temuan neurologis fokal harus menjalankan prosedur neuroimaging.
Lebih kurang 6 % retardasi mental tanpa sebab yang jelas kemungkinan
disebabkan oleh abnormalitas kromosom mikro yang dapat diidentifikasi dengan
penyatuan kromosom resolusi tinggi, fluorescent insitu hybridization (FISH) atau
penggambaran kromosom untuk pengaturan subtelomeric. MRI dapat digunakan untuk
mengidentifikasi

sejumlah

marker

disgenesis

serebral

pada

anak

dengan

keterbelakangan intelektual.
Diagnosis retardasi mental membutuhkan pula tes intelijensia individual dan tes
kemampuan fungsi adaptif. The Bayley Scales of Infant Development (BSID-II)
merupakan skala penilaian intelejensi yang paling umum dipakai, skala ini menilai
12

kemampuan bahasa, kemampuan pemecahan masalah, perilaku, kemampuam motorik


halus, dan kemampuan motorik kasar pada anak usia 1 bulan 3 tahun, dari skala
tersebut akan diperoleh hasil berupa mental developmental index (MDI) dan skor
psikomotor developmental index (PDI, sebuah pengukuran kompetensi motorik). 2, 9 Tes
ini dapat membedakan anak dengan retardasi mental berat dan anak normal, namun
tes ini tidak terlalu bermanfaat untuk membedakan anak normal dengan anak yang
mengalami retardasi mental ringan. Tes psikologis yang paling umum digunakan untuk
anak > 3 tahun adalah Wechsler scales. The Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence-revised (WPPSI-III) digunakan untuk anak usia mental 2,5 7,3 tahun. The
Wechlser Intelligence Scale for Children-4 th edition (WISC-IV) digunakan untuk anak
dengan usia mental diatas 6 tahun. Kedua skala tersebut terdiri dari beberapa subtest
dalam area verbal dan keterampilan. Meskipun anak dengan retardasi mental memiliki
skor dibawah rata-rata pada seluruh subscale scores, namun kadang mereka memiliki
skor rata-rata pada satu atau lebih area keterampilan. 2
Tes perilaku adaptif yang paling umum digunakan adalah Vineland Adaptive
Behavior Scale yang melibatkan wawancara dengan orangtua atau guru dan menilai
perilaku adaptif dalam 4 domain utama: komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari,
sosialisasi dan kemampuan motorik. Bisanya terdapat hubungan antara skor intelijensia
dan skor adaptif. Kemampuan adaptif dasar (makan, berpakaian, hygiene) lebih mudah
diperbaiki dibandingkan dengan skor IQ. 2

2.5 Diagnosis Banding


Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain yang
mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus menjadi
pertimbangan, diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental dan kondisi lain
yang melibatkan keterbelakangan intelektual sebagai salah satu manifestasinya. Defisit
sensoris (kemampuan pendengaran yang buruk dan kehilangan penglihatan),
gangguan komunikasi, dan kejang tak terkontrol dapat menyerupai retardasi mental;
gangguan neurologis progresif tertentu munculannnya dapat menyerupai retardasi
mental sebelum terjadinya regresi. Lebih dari setengah anak-anak yang menderita
13

serebral palsi atau autisme juga menderita retardasi mental. Serebral palsi dengan
retardasi mental tampak pada kemampuan motoriknya, dimana pada serebral palsi
kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan disertai
adanya refleks patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif
sosial lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan non verbal, dimana pada retardasi
mental biasanya terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif
dan kognitif.2

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Beberapa pemerikasaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita
retardasi mental, yaitu : 3
1. Kromosomal kariotip
-

Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas

Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen

Terdapat beberapa kelainan kongenital

Genitalia abnormal

2. EEG (Elektro Ensefalogram)


-

Gejala kejang yang dicurigai

Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI ( Magnetic Resonance Imaging)


-

Pembesaran kepala yang progresif

Tuberous sklerosis
14

Dicurigai kelainan otak yang luas

Kejang lokal

Dicurigai adanya tumor intrakranial

4. Titer virus untuk infeksi kongenital


-

Kelainan pendengaran tipe sensorineural

Neonatal hepatosplenomegali

Petechie pada periode neonatal

Chorioretinitis

Mikroptalmia

Kalsifikasi intrakranial

Mikrosefali

5. Serum asam urat (uric acid serum)


-

Choreoatetosis

Gout

Sering mengamuk

6. Laktat dan piruvat darah


-

Asidosis metabolik

Kejang mioklonik

Kelemahan yang progresif


15

Ataksia

Degenerasi retina

Ophtalmoplegia

Episode seperti stroke yang berulang

7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang


-

Hepatomegali

Tuli

Kejang dini dan hipotonia

Degenerasi retina

Ophtalmoplegia

Kista pada ginjal

8. Serum Zeng (Zn)


-

Acrodermatitis

9. Logam berat dalam darah


-

Anamnesis adanya pika

Anemia

10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin


-

Gerakan yang involunter

Sirosis
16

Cincin Kayser-Fleischer

11. Serum asam amino atau asam organik


-

Kejang yang tidak diketahui sebabnya pada bayi

Gagal tumbuh

Bau yang tidak biasa pada air seni atau kulit

Warna rambut yang tidak khas

Mikrosefali

Asidosis yang tidak diketahui sebabnya

12. Plasma amonia


-

Muntah-muntah dengan asidosis metabolik

13. Analisa enzim lisozom pada leukosit atau biopsi kulit:


-

Kehilangan fungsi motorik dan kognitif

Atrofi N. Optikus

Degenerasi retina

Serebelar ataksia yang berulang

Mioklonus

Hepatosplenomegali

Kulit yang kasar dan lepas-lepas

Kejang
17

Pembesaran kepala yang dimulai setelah umur 1 tahun

14. Urin mukopolisakarida


-

Kifosis

Anggota gerak yang pendek

Badan yang pendek

Hepatosplenomegali

Kornea keruh

Gangguan pendengaran

Kekakuan pada sendi

15. Urine reducing substance


-

Katarak

Hepatosplenomegali

Kejang

16. Urin ketoacid


-

Kejang

Rambut yang mudah putus

17. Urin asam vanililmandelik


-

Muntah-muntah

Isapan bayi pada saat menyusu yang lemah


18

Gejala disfungsi autonomik

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat
individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan multidisiplin
merupakan jalan yang terbaik.

2,

Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi

pendekatan bagi setiap anak secara individual untuk mengembangkan potensi anak
tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu melibatkan psikolog untuk menilai
perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak untuk memeriksa fisik
anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau kelainan yang mungkin
ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi
keluarganya.10 Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih
banyak ahli lagi, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll.
Psikiater, bila anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya
membutuhkan dukungan terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk
merangsang perkembangan motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk
memperbaiki gangguan bicara atau untuk merangsang perkembangan bicara. Serta
diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak yang retardasi mental ini. 3, 11
Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya,
dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang diperlukan
waktu yang lama untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaaan anaknya. Bila orang
tua belum dapat menerima keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula dengan
psikolog atau psikiater.3, 11 Disamping itu diperlukan kerja sama yang baik antara guru
dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam strategi penanganan anak
disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga harus diberi pengertian, agar
anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu diberikan penerangan
tentang retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak tersebut dengan wajar. 3
2.7.1 Pendekatan Individual dan Keluarga
19

Retardasi mental umumnya merupakan kondisi seumur hidup dan tidak dapat
disembuhkan

dengan

pengobatan

medis.

Hal-hal

berikut

ini

penting

untuk

dipertimbangkan sebagai panduan dalam penatalaksanaan:


1. Bukti Ilmiah: Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa dengan memberikan
dukungan dan pelayanan yang tepat, adalah mungkin untuk memastikan bahwa
penderita retardasi mental dapat hidup sehat dan relatif independen. Pelayanan
yang dimaksud disini terdiri dari banyak bidang seperti perawatan kesehatan,
intervensi dini, pendidikan, pelatihan kejuruan, dan sebagainya. Penelitian juga
menunjukkan bahwa penyakit fisik maupun perilaku pada penderita retardasi
mental disebabkan oleh kurangnya perawatan yang tepat dan oleh karenanya
dapat dicegah.
2. Standar Kemanusiaan: Sebagai bagian dari masyarakat, merupakan hak
penderita retardasi

mental untuk menjalani kehidupan mereka dengan

bermartabat. Hal ini dapat dicapai dengan adanya kesadaran sosial, tingkah
laku dan kepercayaan yang positif dari lingkungan terkait retardasi mental itu
sendiri.
3. Perspektif Keluarga: Masalah retardasi mental seringkali tidak dapat dipisahkan
dari masalah yang dihadapi keluarga. Pelayanan yang teroganisir sangat
dibutuhkan oleh keluarga untuk dapat beradaptasi dengan baik dan menghadapi
segala masalah dengan percaya diri.12
Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, professional dari berbagai bidang, keluarga,
organisasi pemerintah, LSM, dan masyarakat secara keseluruhan harus saling
bekerjasam.3, 11, 12
Prinsip-prinsip berikut dapat membantu dalam membimbing dan mengarahkan
pengembangan pelayanan yang sesuai :

Normalisasi. Konsep ini berasal dari negara-negara Skandinavia. Secara


sederhana, normalisasi berarti memastikan bahwa kondisi lingkungan kehidupan
sehari-hari yang didapatkan para penderita retardasi mental tidak berbeda
20

dengan yang didapatkan orang normal lainnya. Hal ini juga berarti menyediakan

fasilitas-fasilitas bagi mereka untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.


Integrasi. Penderita retardasi mental haruslah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat; mereka tidak boleh diisolasi ataupun mendapat
diskriminasi dalam hal apapun.

Perawatan di Rumah dengan Orangtua Sebagai Mitra.


Penelitian telah menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk tumbuh dan berkembang
bagi para penderita retardasi mental adalah keluarga mereka sendiri, di mana mereka
dapat diberikan pengasuhan dengan stimulasi yang sesuai. Oleh karena itu, pelayanan
yang terorganisir harus diberikan agar keluarga mendapat dukungan, diperkuat dan
diberdayakan dalam pengasuhan anggota keluarga dengan retardasi mental. Keluarga
memiliki kebutuhan yang berbeda pada berbagai tahap dalam siklus kehidupan (masa
kanak-kanak, remaja, dan dewasa); oleh karena itu harus diupayakan untuk memenuhi
kebutuhan dari tiap siklus tersebut. Harus disadari juga bahwa keluarga tidak hanya
penerima layanan tetapi juga bertindak sebagai penyedia layanan. Dengan kata lain,
mereka adalah mitra dalam perawatan penderita retardasi mental.12

2.7.2 Pendekatan Berbasis Masyarakat


Seringkali pelayanan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Untuk mengatasi
hal ini, pelayanan berorientasi masyarakat sangat diperlukan. Tidak ada program yang
dapat sukses terlaksana tanpa keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat.
Pelayanan untuk individu dengan retardasi mental :
1. Pelayanan Medis dan Psikologis (klinis)
Dibutuhkan fasilitas yang sesuai untuk evaluasi medis / kesehatan yang baik dan
diagnosis yang akurat.

Dokter harus dalam posisi untuk mengenali dan mengelola

gangguan yang dapat diobati seperti hipotiroidisme. Masalah terkait seperti kejang,
gangguan sensorik dan masalah perilaku, dapat diperbaiki atau dikendalikan dengan
tatalaksana medis yang tepat. Diharapkan tersedia fasilitas untuk penilaian psikologis
21

dari kekuatan dan kelemahan dalam diri anak yang dapat dijadikan

dasar untuk

pelatihan-pelatihan di masa depan.12 Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi


mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan
retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah
laku dan adaptasi sosialnya.13
Semua anak dengan retardasi mental juga memerlukan perawatan seperti
pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh
kembangnya. Anak-anak ini sering juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan
penanganan khusus. Misalnya pada anak yang mengalami infeksi pranatal dengan
cytomegalovirus akan mengalami gangguan pendengaran yang progresif walaupun
lambat, demikian pula anak dengan sindrom Down dapat timbul gejala hipotiroid.
Masalah nutrisi juga perlu mendapat perhatian. 2, 3
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau
tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem
kekeluargaan dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan
di panti khusus, konseling pranikah dan pranatal. 13
Konseling orangtua yang memadai pada tahap awal sangatlah penting. Dokter,
perawat, psikolog dan pekerja sosial dapat membuat perbedaan besar bagi orang tua
dengan cara memberikan penjelasan yang benar mengenai kondisi dan pilihan untuk
pengobatan yang tersedia. Konseling juga memberikan dukungan emosional dan
bimbingan serta penguatan moral. Setelah orang tua mendapatkan pemahaman yang
benar mengenai kondisi anaknya, mereka perlu belajar cara yang tepat dalam
membesarkan dan melatih anak. Orang tua secara terus menerus membutuhkan
bantuan, bimbingan, dan dukungan, terutama selama masa remaja, dewasa awal dan
selama periode krisis.12
2. Deteksi Dini dan Stimulasi Dini
Deteksi dan stimulasi dini pada retardasi mental sangat membantu untuk memperkecil
retardasi yang terjadi. Para orangtua biasanya membawa anaknya pada dokter anak
22

bila mereka mencurigai adanya kelainan pada anaknya. Oleh karena itu dokter anak
harus waspada pada setiap keluhan dari ibu, terutama keluhan tentang keterlambatan
perkembangan anaknya. Makin dini ditemukan, dan makin dini diadakan stimulasi,
makin besar kesempatan anak untuk mengejar ketertinggalannya. 11
Banyak penelitian menunjukkan bahwa mendeteksi retardasi mental pada tahap
awal, yaitu pada masa bayi, dan menyediakan lingkungan yang memberikan stimulasi
dan penuh kasih sayang dapat membantu anak-anak ini untuk berkembang lebih baik
dan mencegah banyak

komplikasi.

Beberapa kondisi medis yang terkait dengan retardasi mental dapat dideteksi
saat lahir. Dapat pula dilakukan pengelompokan bayi-bayi yang beresiko menderita
retardasi mental. Bayi-bayi tersebut merupakan bayi yang lahir prematur atau dengan
berat lahir rendah (kurang dari 2 kg), atau yang menderita asfiksia saat lahir, atau
mereka yang menderita penyakit yang serius pada periode neonatal. Metode yang
dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengikuti perkembangan semua bayi sejak
lahir dan amati apakah mereka mengalami ketertinggalan secara konsisten.

Pada

umumnya, sebagian besar bayi dengan retardasi mental yang berat bisa dikenali pada
usia 6-12 bulan. Retardasi mental ringan biasanya menjadi jelas pada usia dua tahun.
Metode standar untuk deteksi dini retardasi mental sekarang telah tersedia, dan dapat
disesuaikan dengan budaya manapun dengan modifikasi yang tepat. Ketika seorang
bayi terdeteksi atau diduga memiliki retardasi mental, penting untuk memberikan
stimulasi yang tepat untuk perkembangannya.
Bayi yang berisiko atau terdeteksi dengan perkembangan yang tertunda harus
mendapatkan stimulasi sensori-motor. Ini adalah teknik di mana orang tua mendorong
dan mengajarkan bayi mereka untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan
sensorik mereka (penglihatan, pendengaran dan sentuhan) dan kemampuan motorik
(menggenggam, menggapai, memanipulasi, dan memindahkan). Teknik ini juga meliputi
aktif terlibat dengan anak dengan membelai, berbicara, menunjukkan benda-benda
terang, bermain untuk membuat anak tertawa, menggelitik, memijat lembut,
menempatkan anak dalam posisi dan tempat yang berbeda, menggunakan mainan dan
memainkan benda-benda untuk membangkitkan minat anak, membimbing tangan anak
23

untuk melakukan sesuatu dan sebagainya. Stimulasi semacam itu sangat dibutuhkan
untuk perkembangan normal.

12

3. Pelatihan Self-help, Keterampilan Praktis dan Keterampilan Sosial

Anak normal mempelajari keterampilan hidup sehari-hari (makan, berpakaian, toilet


training, dan keterampilan sosial seperti bermain, dan berinteraksi dengan orang lain)
dengan mudah, yaitu dengan mengamati orang lain dan bimbingan orang dewasa. Tapi
anak-anak dengan retardasi mental sering tidak mampu mempelajari keterampilanketerampilan tersebut. Melalui upaya sistematis dan menggunakan teknik yang tepat,
sangat mungkin untuk mengajar dan melatih mereka melakukannya. Tekhnik dengan
modifikasi tingkah laku sangat berguna dan efektif dalam penatalaksanaan anak-anak
dengan retardaasi mental, termasuk di antaranya :

Reinforcement positif dan pemberian reward: Memperhatikan, memuji anak dan


memberikan beberapa hadiah seperti permen atau mainan setiap kali anak
menunjukkan perilaku yang diinginkan atau berusaha untuk belajar, dapat
meningkatkan motivasi anak untuk belajar.

Modelling : Menunjukkan anak bagaimana cara melakukan sesuatu dan


mendorong anak untuk memulai melakukan hal yang sama merupakan metode
yang bagus untuk mengajarkan anak. Ini lebih baik daripada hanya secara lisan
mengatakan atau menginstruksikan anak.

Shaping: yaitu mengajarkan bentuk sederhana dari sebuah aktivitas yang rumit,
kemudian secara perlahan menaikkan tingkat kesulitannya.

Chaining: Sebuah kegiatan, seperti berpakaian, dapat dipecah menjadi beberapa


langkah kecil yang berurutan. Anak dapat diajarkan keterampilan ini langkah
demi langkah. Seringkali, back-chaining atau mengajarkan terlebih dahulu
langkah terakhir dan kemudian mundur merupakan cara yang lebih efektif.

Physical guidance : Jika anak tidak dapat belajar dengan cara modelling, ia
dapat diajarkan dengan cara memegang tangan anak dan menunjukkan mereka
24

bagaimana suatu hal dilakukan.

Setelah pengulangan seperti itu, bimbingan

secara fisik ini dapat perlahan-lahan ditarik sehingga anak belajar untuk
melakukan tugas secara independen.12
4. Terapi Bicara
Bicara dan bahasa adalah fungsi yang sangat penting dan sangat khusus bagi
manusia. Bicara dan bahasa memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan
perasaan dan pikiran seseorang kepada orang lain. Retardasi mental sering disertai
dengan keterbatasan yang signifikan dalam perkembangan bicara dan bahasa.
Penelitian telah memperlihatkan bahwa aplikasi sistematis teknik terapi wicara, efektif
dalam meningkatkan kemampuan bicara dan bahasa. Terapi bicara dibutuhkan pada
anak dengan retardasi mental.12
5. Pendidikan
Ketika mereka tumbuh dan menguasai aktivitas hidup sehari-hari, anak-anak dengan
retardasi mental perlu diberikan pendidikan seperti anak-anak lainnya. Sekolah sangat
penting bagi mereka bukan hanya untuk memperoleh kemampun akademik tetapi juga
untuk beajar disiplin, keterampilan sosial/interaksi, dan keterampilan praktis untuk
kehidupan bermasyarakat. Meskipun mereka lambat dalam belajar, pengalaman dan
penelitian telah menunjukkan bahwa dengan menerapkan teknik pendidikan yang tepat,
sangat mungkin untuk memberikan keterampilan dasar membaca, menulis, dan
berhitung bagi banyak anak dengan retardasi mental. Pendekatan saat ini dalam hal
pendidikan, sebisa mungkin, menempatkan mereka di sekolah normal, daripada
mendirikan sekolah khusus (pendidikan inklusif). Hal ini terutama untuk mereka yang
memiliki bentuk ringan dari retardasi mental. Namun, anak dengan retardasi mental
yang lebih parah akan lebih baik ditempatkan di sekolah khusus. Pendekatan lain,
adalah dengan membuat kelas khusus untuk mereka di sekolah normal (opportunity
sections).10 Apapun pendekatan yang dipilih, penting untuk menyadari bahwa bahkan
anak-anak dengan retardasi mental pun membutuhkan pendidikan, untuk menjamin
perkembangan optimal dan kesejahteraan mereka.12

25

Anak dengan retardasi mental ringan(IQ 50-70), yang disebut golongan mampu
didik, mendapatkan pelajaran setaraf sekolah dasar, namun dengan cara dan
kecepatan mengajar yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengajar haruslah
guru khusus terdidik dalam bidang pendidikan mereka.
Anak dengan retardasi mental sedang (IQ 30-50) digolongkan ke dalam
kelompok mampu latih. Pada mereka lebih banyak diberikan latihan dalam berbagai
macam bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan membuat kue
pada anak wanita, atau pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan perkebunan pada
anak laki-laki. Diharapkan bahwa dengan keterampilan tersebut mereka dapat mandiri
di kemudian hari, atau mereka dapat bekerja dalam suatu shltered workshop. Di
Indonesia belum ada sheltered workshop untuk mempekerjakan anak-anak dengan
retardasi mental.
Sekolah untuk anak tuna grahita ini disebut SLB-C. dahulu, sebelum didirikan
sekolah khusus ini, anak dengan retardasi mental dimasukkan ke sekolah dasar
normal. Mereka dengan sendirinya tidak mampu mengikuti pelajaran, sehingga setiap
kelas biasanya diulang beberapa kali. Biasanya mereka dicap sebagai anak bodoh dan
seringkali menjadi bahan cemoohan teman mereka. Hal ini tentu saja tidak membantu
perkembangan kepribadian anak tersebut yang merasa makin kehilangan kepercayaan
dirinya. Banyak yang kemudian mogok sekolah dan samasekali menarik diri dari
pergaulan.
Anak dengan kecerdasan yang rendah ini kurang dapat meberikan penilaian
tentang baik-buruknya suatu tindakan tertentu, misalnya mencuri, merampas,
melakukan kejahatan seksual dan sebagainya. Pendidikan dalam SLB sedikitnya
melindungi mereka terhadap hal-hal tersebut diatas.
Dengan makin majunya pendidikan maka ada beberapa anak yang sekolah di
SLB mendapat kemajuan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat dipindahkan
kembali ke SD biasa. Bahkan di negara yang maju seperti di amerika sudah mulai
dilakukan pendidikan terpadu. Anak-anak dengan retardasi mental pada beberapa

26

pelajaran tertentu, seperti misalnya olahraga, keterampilan, kesenian, diikut sertakan


dalam kelas SD yang normal.
Juga dianjurkan adanya sekolah terpadu, kelas bagi anak retardasi mental
berada dibawah satu atap dengan kelas anak yang normal. Hal ini juga dimaksudkan
untuk menghapus stigma yang melekat pada anak dengan retardasi mental, dengan
membiasakan mereka bergaul bersama anak yang normal. Di Indonesia pendidikan
terpadu sulit dilaksanakan pleh karena sistem kurikulum kita yang samasekali berbeda
dengan yang ada di Barat. Juga masyarakat di Indonesia perlu mendapatkan
penerangan dan pendidikan tentang pengertian retardasi mental, agar mereka dapat
menerima anak yang terbelakang tersebut dengan wajar sebagaimana adanya. 12

6. Pelatihan Kejuruan

Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak muda dengan retardasi mental dapat
mengikuti pelatihan kejuruan dan kemudian dipekerjakan. Tapi ada banyak rintangan.
Salah satu rintangan utama adalah adanya kecenderungan untuk meremehkan
kemampuan mereka.
Harus diingat bahwa mendapatkan pekerjaan juga akan berdampak baik bagi
kesehatan mental, kepuasan diri, dan status social dari para penderita retardasi mental.
Ada banyak contoh inovatif tentang bagaimanahal ini dapat dicapai, misalnya, desa
dapat menawarkan berbagai peluang di bidang pertanian untuk mempekerjakan
mereka.12

2.8 Pencegahan

27

Prevensi primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit,
yang dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan perlindungan yang
spesifik terhadap penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan memberikan imunisasi;
(2) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, perumahan yang
sehat, mengajarkan cara-cara hidup sehat, dengan maksud meninggikan daya tahan
tubuh terhadap penyakit.
Prevensi sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan
memberikan pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada susunan
saraf pusat. Misalnya, identifikasi dini dan penanganan yang tepat berbagai kondisi
yang dapat ditanggulangi, seperti hipotiroidisme, dapat mencegah terjadinya retardasi
mental di kemudian hari. Intervensi yang cepat dan tepat terhadap berbagai penyakit
anak, seperti keracunan timah atau hematoma subdural pascatrauma, mengurangi
kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak. Diagnosis dan koreksi dini defek sensoris
pada anak, dapat meningkatkan secara maksimal kemungkinan anak tersebut untuk
mendapatkan rangsangan sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi mental
akibat defisiensi sensoris. 11

2.9 Komplikasi
Anak dengan retardasi mental memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan
penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan perilaku atau emosi.Deficit yang paling umum
terjadi diantaranya gangguan motoric, ganngguan perilaku atau emosi, komplikasi
medis, dan kejang.Makin parah tingkat retardasi makin banyak kompikasi yang
terjadi.Dengan mengetahui tingkat retardasi mental dapat membantu memprediksi
ganngguan yang dapt terjasi.Sindrom Fragile Xdan Sindrom Fetal Alcohol dihubungkan
dengan tingginya angka kejadian gangguan perilaku; Down Syndrome memiliki banyak
komplikasi medis ( hipotiroidisme, Celiace disease, penyakit jantung bawaan). Bila
gangguan tersebut terjadi dibutuhkan terapi fisik jangka panjang, occupational terapi,
terapi wicara, alat bantu dengar, dan obat-obatan medis. Kegagalan dalam
28

mengidentifikasi dan tata laksana adekuat terhadap gangguan yang terjadi dapat
menghambat kesuksesan dan rehabilitasi dan menyebabkan kesulitan daalam aktifitas
di sekolah, rumah, dan lingkungan. 2
2.10 Prognosis
Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik.
Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan
retardasi mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi,
pada umumnya umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi
sebaliknya pada retardasi mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi,
sering meninggal pada usia muda.3
Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak
dini. Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur
hidup. Seorang anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat
usianya masih dini, namun seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja
hanya menderita gangguan perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow
learner-intelejensia ambang normal). Anak yang didiagnosa dengan retardasi mental
ringan di saat masa sekolah, mungkin saja dapat mengembangkan perilaku adaptif dan
berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka tidak dapat lagi dikategorikan
menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari peningkatan
maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke kategori lainnya
(contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental ringan). Beberapa
anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau gangguan komunikasi
dapat berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan berjalannya waktu. Ketika
masa remaja telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah menetap.
Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab
dasarnya, tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan
medis terkait, dukungan keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan
training yang tersedia untuk anak dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita
retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan ekonmi dan sosialnya secara
29

mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara periodik, terutama di saat
mengalami masalah sosial maupun ekonomi. Kebanyakan penderita dapat hidup
dengan baik dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun dalam supervisi. Angka
harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya retardasi mental ini. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal Hingga


Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA, Hartanto H,
Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20 th ed. Jakarta: EGC; 2006.
p. 136-9.
2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In:
Shreiner Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18 th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2007. p. 191-7.

30

3. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.


4. Armatas V. Mental Retardation: Definitions, Etiology, Epidemiology, and Diagnosis.
Jurnal of Sport and Health Research 2009; 1 (2): 112-122.
5. Prugh Dane G. Mental Retardation. The Psychosocial Aspects of Pediatrics.
Philadelphia: Lea & Febiger; 1983. p. 395-412.
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
anak

[Online].

Pertumbuhan, perkembangan otak pada bayi dan


2009;

available

from:

URL:

http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521
7. Goldson Edward, Reynolds Ann. Child Development & Behavior. In : Hay WW, Levin
MJ, Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Current Diagnosis & Treatment
Pediatrics. 20th ed. New York: McGraw-Hill Companies; 2011. p. 99-103.
8. OCallaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor.
Practical Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. p.
108-14.
9. Santrock John W. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.
10. Hull David, Johnston Derek I. Gangguan Mental. In: Yusna Daulika, editor. DasarDasar Pediatri. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 300-7.
11. Budhiman Melly. Perkembangan Mental. In: Markum AH, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI; 2002. P 68-9.
12. South East Asian Regional Office. Mental Health and Substance Abuse [Online].
2011;

available

from:

URL:

http://www.searo.who.int/en/Section1174/Section1199/Section1567/Section1825_80
90.htm
13. Sularyo Titi Sunarwati, Kadim Muzal. Retardasi Mental. Sari Pediatri 2000 Dec; 2
(3): 170-7.

31

32

Anda mungkin juga menyukai