Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

KASUS ANAK REMAJA: RETARDASI MENTAL (RM)/


AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)/ATTENTION-
DEFICIT HYPERACTIVITY DISORDER (ADHD) ATAU
YANG LAINNYA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kepanitraan Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Pembimbing :

Rd. Dewi Rahmi K. Kusumo, dr., Sp. KJ

Oleh:
Miftahudin 4151201040
Elva Denengsih 4151201060

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
FEBRUARI 2022
BAB I

PENDAHULUAN

Pengetahuan mengenai perkembangan anak merupakan hal yang sentral


dalam psikiatri anak. Tanpa pengetahuan mengenai hal ini, seseorang tidak mungkin
untuk bekerja dan menangani masalah-masalah anak. Seorang bayi tumbuh dan
berkembang hingga akhirnya menjadi manusia dewasa. Faktor lingkungan dapat
mencetuskan atau merangsang berkembangnya fungsi-fungsi tertentu, mengatur dan
memberikan arah, perecepatan atau sebaliknya, menghambat fungsi-fungsi itu.
Dilain pihak, sifat-sifat tertentu dari organisme itu sendiri dapat pula menghambat
atau menimbulkan reaksi-reaksi idiosinkratik dalam perkembangan fungsi-
fungsinya. Proses perkembangan merupakan proses yang kompleks.

Peranan keluarga dalam kehidupan anak adalah untuk menjamin


kelangsungan hidup secara fisik serta mengembangkan sifat-sifat manusiawi yang
esensial. Keluarga yang sehat akan membantu atau membimbing anak mencapai
suatu rasa keyakinan diri dan harga diri; anak tidak diliputi rasa ragu, rasa bersalah,
dan kecemasan mengenai dirinya. Latihan yang ia alami dalam kehidupan
keluarganya yang sehat akan membuat anak belajar untuk sensitif terhadap dan
menghargai perasaan serta pendapat orang lain. Anak akan belajar untuk mentolerir
kekecewaan, mengendalikan dorongan atau keinginan pemuasaan sesaat demi orang
lain. Namun, tidak selalu keluarga itu sehat. Berbagai keadaan dapat menyebabkan
distorsi dalam peranan keluarga itu. Peranan menjadi tidak jelas, membingungkan
dan menimbulkan kekecewaan pada anggota keluarga. Keluarga yang patologik
dapat merupakan suatu sumber timbulnya defek dalam kepribadian serta
penyimpangan perilaku pada anak, karena keluarga merupakan resource yang paling
penting dalam kehidupan anak. Tingkah laku anak merupakan cermin dari usahanya
untuk menanggulangi atau menyesuaikan diri dengan berbagai situasi kehidupan
yang menimbulkan ketegangan dalam dirinya. Psikiater anak dan keluarga yang
bekerja dengan anak harus mahir dalam menangani masalah pada anak. Pada
kesempatan ini, akan dibahas mengenai kasus anak remaja yang meliputi Retardasi
Mental (RM)/Autism Spectrum Disorder (ASD)/Attention-Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD) atau yang lainnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Retardasi Mental (RM)

2.1.1 Definisi Retardasi Mental

Pada pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa edisi ke-III (PPDGJ


III) Retardasi Mental (RM) ialah suatu keadaan keadaan perkembangan mental yang
terhenti atau tidak lengkap yang terutama ditandai oleh adanya hendaya keterampilan
selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia
yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Keadaan RM dapat terjadi
dengan atau tanpa adanya ganggua jiwa atau gangguan pada fisiknya.

Definisi lain dikemukakan oleh AMERICAN ASSOCIATION ON MENTAL


RETARDATION (AAMR) ialah suatu disabilitas yang ditandai dengan suatu limitasi
atau keterbatasan yang bermakna baik dalam fungsi intelektual maupun perilaku
adaptif yang diekspresikan dalam keterampilan konseptual, sosial dan praktis.
Keadaan ini terjadi sebelum usia 18 tahun. Orang dengan RM dapat mengalami
semua kelainan jiwa yang ada.

2.1.2 Epidemiologi Retardasi Mental

Angka kejadian kasus RM berkisar 19 per 1000 kelahiran hidup. Prevalensi


RM di negara maju dan berkembang berbeda. Pada negara maju angka kejadian RM
jauh lebih sedikit dibanding dengan angka kejadian pada negara berkembang.
Prevalensi pada anak umur di bawah 18 tahun di negara maju sebesar 0,5- 2,5%,
sementara negara berkembang 4,6%.

Daerah perkotaan dengan pedasaan juga berpengaruh terhadap angka


kejadian RM. Pada perkotaan angka kejadian lebih tinggi, sebesar 3,6%
dibandingkan dengan di pedesaan, yaitu sebesar 2,9%. Jenis kelamin pada RM juga
berpengaruh. Penderita RM lebih banyak laki-laki dibanding dengan perempuan.
Laki-laki memiliki angka prevalensi sebesar 3,4% dan perempuan sebesar 3,1%.
Usia pada anak – anak berusia 5-9 tahun 2,5% dan 15 – 17 tahun 4,2%.
2.1.3 Klasifikasi Retardasi Mental

Klasifikasi RM dibagi menjadi lima menurut DSM V, yaitu RM ringan,


sedang, berat, sangat berat, dan tidak tergolong bila tidak dapat dilakukan tes IQ.
Masing-masing klasifikasi ini memiliki karakteristik yang berbeda.

a. Retardasi mental ringan, IQ berkisar 50-69 Pemahaman & penggunaan


bahasa cenderung terlambat, mempengaruhi perkembangan kemandirian
yang dapat menetap sampai usia dewasa.
b. Retardasi mental sedang, IQ berkisar 25-49 Tingkat perkembangan bahasa
bervariasi mulai dari dapat mengikuti percakapan sederhana hingga hanya
berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar mereka.
c. Retardasi mental berat, IQ berkisar 20-34 Umumnya mirip dengan RM
sedang. Kebanyakan menderita gangguan motorik atau defisit lain yang
menyertai. Menunjukkan adanya kerusakan atau penyimpangan
perkembangan yang bermakna secara klinis dari SSP
d. Retardasi mental sangat berat, IQ biasanya di bawah 20 Pemahaman dan
penggunaan bahasa terbatas, kemampuan tertinggi hanyalah mengerti
perintah dasar dan mengajukan permohonan sederhana.

Secara umum terdapat dua karakteristik utama dari anak dengan disabilitas
intelektual, yaitu :
1. Kekurangan dalam fungsi intelektual yang signifikan di bawah rata-rata (IQ
< 70),
2. Memiliki hambatan dalam keterampilan adaptif.
a) Karakteristik fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata
1) Hambatan dalam memori baik memori jangka pendek dan jangka panjang.
Misalnya untuk memori jangka pendek anak mengalami kesulitan dalam
mengingat nama teman yang baru ia kenal, atau mengingat materi-materi
yang baru saja diajarkan. Memori jangka panjang, misalnya anak kesulitan
untuk menceritakan lagi aktivitas dulu pernah dilakukan
2) Hambatan dalam persepsi, dimana anak biasanya kesulitan untuk mengenali
konsep arah, kanan-kiri dari anggota tubuh atau benda, mengelompokkan dan
mengenali bentuk, kesulitan untuk meniru atau membuat gambar tertentu
(misal umur enam tahun belum bisa menggambar orang dengan anggota
tubuh yang lengkap).
3) Hambatan dalam berpikir abstrak, dimana anak memiliki kesulitan dalam
memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak, misalnya konsep hari,
konsep angka, dll.
b) Karakteristik gangguan dalam fungsi adaptif.
Pada umumnya anak dengan disabilitas memiliki kekurangan dalam tiga domain
dari fungsi adaptif:
1) Domain konseptual yang mencakup dalam kesulitan/keterbatasan dalam
penguasaan keterampilan bahasa, membaca, menulis, matamatika,
kemampuan berfikir, dan pengetahuan
2) Domain sosial yang mencakup kesulitan/keterbatasan dalam rasa emapati,
kemampuan dalam melakukan penilaian sosial (menentukan apakah sesuatu
itu baik/buru, sopan atau tidak sopan), keterampilan berkomunikasi,
kemampuan untuk mejalin dan mempertahankan persabatan dan kapasitas
lainnya yang serupa.
3) Domain praktis yang mencakup kesulitan dalam memanajemen diri, merawat
diri, tanggung jawab, mengelola uang, rekreasi, dan mengatur tugas serta
pekerjaan sekolah.
2.1.4 Etiologi Retardasi Mental

Etiologi RM dibagi menjadi prenatal, perinatal, postnatal, dan lingkungan.


keadaan prenatal yang dapat menyebabkan bayi menjadi RM ke depannya antara lain
genetik. genetik berperan besar dalam RM. kelainan seperti sindroma Down dan
kelainan kromosom lainya dapat menyebabkan anak lahir dangan RM. Nutrisi yang
dikonsumsi oleh ibu juga berpengaruh. Kekurangan asupan asam folat dapat
mengahmbat organo genesis pada masa kehamilan awal begitu juga dengan
kurangnya zat besi. Kondisi kesehatan ibu juga berpengaruh. Ibu yang hamil dengan
infeksi akan meningkatkan risiko melahirkan anak yang kurang bulan usia
kehamilannya. Konsumsi alkohol dan merokok sangat berpengaruh terhadap bayi-
bayi yang lahir dengan RM.

Kedaan perinatal yang dapat menjadi risiko terjadinya RM pada bayi ialah
keadaan hipoksia pada bayi. keadaan hipoksia ini akan berakibat merusak sel-sel
otak pada bayi. keadaaan yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain, partus
lama, perdarahan, prolaps plasenta, dan plasenta previa. keadaan selain hipoksia juga
dapat menyebabkan bayi lahir dengan RM, yaitu bayi lahir prematur. Kelahiran
prematur dapat menyebabkan RM dikarenakan organ-organ bayi belum terbentuk
sempurna dan bayi yang lahir prematur belum bisa menghasilkan surfaktan sendiri
yang nantinya akan berakibat ke keadaan hipoksia.

Keadaan postnatal juga dapat berpengaruh terhadap bayi dengan RM. Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat menjadi risiko terjadinya RM pada bayi yang
lahir. Asfiksia yang menyebabkan hipoksia jaringan juga dapat menjadi risiko RM
pada bayi. Infeksi pada otak seperti meningitis dan ensefalitis. Kejang yang lama
juga dapat menyebabkan terjadinya RM. Peran lingkungan juga berpengaruh seperti
pola asuh dan stimulasi sosial.

2.1.5 Patofisiologi Retardasi Mental

a. Prenatal
Usia ibu saat hamil, penggunaan nikotin dan alkohol secara berlebihan
selama kehamilan, merupakan penyebab utama terjadinya retardasi mental.
Masa prenatal yang bermasalah bisa berakibat prematuritas dan BBLR
dimana faktor tersebut bisa menjadi salah satu penyebab retardasi mental.
Berdasarkan faktor tersebut di atas maka diharapkan perlu adanya
perencanaan kehamilan yang matang, pemeriksaan kehamilan secara teratur,
pemenuhan nutrisi dan lingkungan yang baik serta menghindari terjadinya
kecelakaan ataupun trauma saat hamil, identifikasi awal dan screening pada
ibu hamil juga sangat diperlukan dalam masalah ini. Penyebab retardasi
mental adalah infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung.
Infeksi yang biasanya terjadi adalah rubella yang dapat menyebabkan
kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental,
seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang
digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta.
Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah.
Anak-anak yang ibunya minum minuman beralkohol selama kehamilan bisa
menyebabkan kelahiran anak dengan syndrom fetal dan merupakan kasus
paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran,
seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti
encephalitis dan meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung
timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi mental.
b. Perinatal
Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami tekanan
sehingga timbul pendarahan di dalam otak dan kemungkinan juga terjadi
karena kekurangan oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya
degenerasi sel-sel korteks otak yang kelak mengakibatkan retardasi mental.
Riwayat perinatal yang bermasalah mempengaruhi terjadinya retardasi
mental pada anak usia 6- 17 tahun. Hal ini disebabkan karena masa perinatal
merupakan masa dimana dalam persalinan terjadi proses pergerakan
keluarnya janin, plasenta dan membran dari dalam lahir melalui jalan lahir
dengan bantuan atau dengan kekuatan sendiri sehingga peran ibu saat
melahirkan bayinya, sangat diperlukan karena pengaruh kondisi dalam tubuh
ibu akan menunjang kemajuan dan keberhasilan dalam persalinannya.
c. Pengaruh stres saat ibu hamil
Stres pada ibu saat hamil dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu dimana
tingkat pendidikan yang tinggi akan berpengaruh untuk menurunkan stres
pada ibu saat hamil. Stres pada ibu saat hamil dipengaruhi juga oleh
pendapatan keluarga dimana pendapatan keluarga yang cukup akan
menurunkan stres pada ibu saat hamil. Pengelolaan stres yang baik akan
membantu mengurangi dampak stres. Stres yang dibiarkan berisiko
mengubah sistem manajemen stres alami yang dimiliki tubuh. Ketika ibu
hamil merasakan kecemasan tubuhnya akan memproduksi hormon stres yang
bisa berdampak kepada janin, yaitu epinephrine dan norepinephrine yang
berefek menaikkan tekanan darah dan mengurangi suplai oksigen ke rahim.
Beberapa bahaya stres yang tidak dikelola dengan baik untuk kesehatan ibu
dan janin antara lain terhadap neurodevelopment yang dapat menyebabkan
adanya kelainan proses pembentukan otak janin sehingga dapat memicu
masalah perilaku pada pertumbuhan bayi di masa depan.

2.1.6 Diagnosis Banding Retardasi Mental

Retardasi mental harus dimulai sebelum usia 18 tahun. Defisit pembicaraan


dan palsi serebral sering membuat anak tampak mengalami retardasi bahkan saat
intelegensinya berada dalam batas ambang atau normal. Jenis penyakit kronis dan
melemahkan apapun dapat menurunkan fungsi anak pada semua area. Gangguan
konfulsif dapat memberikan kesan adanya retardasi mental, terutama saat adanya
kejang yang tidak terkontrol. Sindrom otak kronis dapat mengakibatkan cacat
tertentu, seperti tidak dapat membaca (aleksia), tidak dapat menulis (agrafia), tidak
dapat berkomunikasi (afasia). Retardasi mental dan gangguan perkembangan
pervasif sering terdapat bersamaan, karena tingkat fungsi mereka yang biasa saja,
anak dengan gangguan perkembangan pervasif memiliki lebih banyak masalah
dengan hubungan sosial dan mengalami penyimpangan bahasa yang lebih
dibandingkan anak yang mengalami retardasi mental.

Anak di bawah usia 18 tahun yang memenuhi kriteria diagnostik demensia


dan menunjukkan IQ kurang dari 70 diberikan diagnosis demensia dan retardasi
mental. Mereka yang IQ-nya turun hingga kurang dari 70 setelah usia 18 tahun dan
yang memiliki onset baru gangguan kognitif tidak diberikan diagnosis retardasi
mental tetapi hanya diagnosis demensia.

2.1.7 Tatalaksana Retardasi Mental

Terapi orang dengan retardasi mental didasari pada penilaian akan kebutuhan
sosial dan lingkungan serta perhatian terhadap keadaan komorbidnya. Terapi optimal
untuk keadaan yang dapat menyebabkan retardasi mental adalah pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer meliputi tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan


atau mengurangi keadaan yang menimbulkan terjadinya gangguan yang
terkait dengan retardasi mental. Pencegahannya mencakup edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan masyarakat umum dan kesadaran akan retardasi
mental; upaya profesional kesehatan yang berkelanjutan untuk meyakinkan
dan memperbaiki kebijakan kesehatan; menyediakan perawatan kesehatan
anak dan ibu yang optimal; dan eradikasi gangguan yang diketahui
diakibatkan oleh kerusakan SSP.

b. Pencegahan Sekunder
Ketika suatu gangguan yang dikaitkan dengan retardasi mental telah
diidentifikasi, gangguan ini harus diterapi untuk memperpendek perjalanan
penyakit dan untuk meminimalkan gejala sisa atau hendaya selanjutnya.
Gangguan endokrin dan metabolik herediter, seperti phenylketonuria (PKU)
dan hipotiroidisme dapat diterapi dengan efektif pada tahap awal dengan
pengendalian diet atau terapi sulih hormon.

c. Pencegahan Tersier

Kemampuan sosial dan kognitifnya yang terbatas memerlukan modalitas


terapi psikiatrik yang dimodifikasi dan didasari pada tingkat intelegensi anak
tersebut.

- Terapi Kelompok: sering menjadi format yang berhasil asalkan anak


dengan retardasi mental dapat belajar dan mempraktikkan situasi
kehidupan nyata yang dihipotesiskan dan mendapatkan umpan balik
yang mendukung.
- Terapi Perilaku: untuk membentuk dan meningkatkan perilaku
sosial serta untuk mengendalikan dan meminimalkan perilaku agresif
dan destruktif orang tersebut.
- Terapi Kognitif: menghilangkan keyakinan yang salah serta latihan
relaksasi dengan instruksi diri sendiri.
- Terapi Psikodinamik: digunakan pada pasien dan keluarga untuk
mengurangi konflik mengenai pengharapan yang menimbulkan
ansietas, kemarahan, dan depresi yang menetap.
- Edukasi Keluarga: Cara untuk meningkatkan kompetensi dan harga
diri sambil mempertahankan pengharapan yang realistik untuk pasien.
- Latihan: latihan anak-anak ini lebih sukar daripada anak-anak biasa
karena perhatian mereka mudah sekali tertarik pada hal yang lain.
Harus diusahakan untuk mengikat perhatian mereka dengan
merangsang panca indra, misalnya dengan alat permainan yang
berwarna atau yang berbunyi, dan semuanya harus konkret, artinya
dapat dilihat, didengar, dan diraba.
Latihan di rumah: pelajaran mengenai makan sendiri, berpakaian
sendiri, kebersihan badan.
Latihan di sekolah: perkembangan rasa sosial.

Latihan teknis: diberikan sesuai dengan minat, jenis kelamin, dan


kedudukan sosial. Pada pria misalnya peternakan, pertanian. Pada
perempuan misalnya memasak, menjahit.
Latihan moral: memberitahu apa yang baik dan apa yang tidak baik
agar ia mengerti.

2.2 Autism Spectrum Disorder (ASD)


2.2.1 Definisi Autism Spectrum Disorder
Gangguan spektrum autisme merupakan salah satu jenis gangguan
neurodevelopmental yang biasanya muncul sebelum usia 3 tahun. Menurut kriteria
ICD-X dikenal sebagai gangguan pervasive. Karakteristik dari gangguan ini adalah
pada interaksi sosial, pola komunikasi, minat dan Gerakan yang terbatas, stereotipik
dan diulang-ulang.
2.2.2 Epidemiologi Autism Spectrum Disorder
Autisme ditemukan pada 4-5 per 10.000 anak pada penelitian Victor Lote di
Inggris tahun 1966 kemudian ditemukan peningkatan prevalensi autisme: 13 per
10.000 anak pada penelitian Tanoue, Jepang, 1988 dan penelitian terakhir tahun
2000 menunjukkan angka 1 per 1000 bahkan pada laporan paling akhir ditemukan
pada 1 per 160 anak pra- sekolah di Amerika Serikat . Penelitian di Belanda
menemukan data 0,5% dari populasi umum, sama dengan prevalen skizofrenia.
Di Indonesia belum ada angka yang pasti mengenai prevalensi autisme
namun dari data yang ada di Poliklinik Psikiatri Anak & Remaja RSCM pada tahun
1989 hanya ditemukan 2 pasien, dan pada tahun 2000 tercatat 103 pasien baru,
terjadi peningkatan sekitar 50 kali. Biasanya autisme lebih sering ditemukan pada
anak laki-laki dibanding anak perempuan, 2-4 : 1.
Dikatakan bahwa anak laki-laki lebih mudah mendapat gangguan fungsi otak.
Namun anak perempuan penyandang autisme biasanya mempunyai gejala yang lebih
berat dan pada test intelegensi mempunyai hasil yang lebih rendah dibanding pada
anak laki-laki. Semula diduga penyandang autisne berasal dari keluarga dengan
tingkat inteligensi dan sosio-ekonomi tinggi Namun dari penelitian terakhir autisme
ditemukan pada keluarga dengan berbagai tingkat dengan sosio-ekonomi dan
intelegensi, juga dari berbagai letak geografis dimanapun di dunia.
2.2.3 Gambaran Klinis Autism Spectrum Disorder

1. Gangguan kualitatif pada komunikasi berupa :

a. Keterlambatan atau tidak adanya sama sekali perkembangan berbahsa


untuk bicara dan tidak disertai kompensasi seperti menggunakan bahasa
tubuh.
b. Gangguan dalam memulai atau mempertahankan pembicaraan, seperti
tidak dapat memberikan informasi, sulit menanyakan informasi, dan tidak
merespon komentar orang lain dengan tepat
c. Bahasa yang stereotipikal dan repetitif. Terdapanya ekolalia yaitu repetisi
dari kata-kata orang lain.
d. Tidak ada variasi, spontanitas pada saat bermain secara imitative atau
pura-pura, seperti sandiwara menggunakan boneka sebagai tokoh utama

2. Pola perilaku, aktifitas, dan minat yang repetitive, terbatas, stereotipikal

Gejala utama ini termasuk pola yang stereotipikal, ketertarikan yang kaku
pada rutinitas, perilaku yang stereotipik dan repetitive. Perilaku sensorik dan motoric
yang repetitive, focus berlebihan terhadap kesamaan, serta keterbatasan minat pada
topik tertentu. contohnya membaca secara mendalam dengan topik tertentu,
mengoleksi, berbicara lama sekali, dan pada saat dewasa dapat bergabung dengan
perkumpulan yang berhubungan dengan topik tersebut. Gejala tipikal pada autisme
meliputi kesulitan terhadap perubahan kecil pada rutinitas yang dilakukan setiap
hari, adanya sikap perlawanan terhadap perubahan tersebut bahkan dapat
menimbulkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari pada perubahan kecil
sekalipun. Prilaku stereotipik repetitive seperti menjentikan jari, menggoyangkan
tangan, berjalan jinjit, mengendus, menjilat berbagai objek bukan makanan.

3. Gangguan Kognitif

Hampir 75-80% anak autistik menderita retardasi mental derajat sedang.


Orang autistik menunjukkan kemampuan memecahkan masalah yang luar biasa,
seperti mempunyai daya ingat yang sangat baik, kemampuan membaca yang diatas
batas penampilan intelektualnya (hiperleksia), menghitung kalender, memainkan
lagu hanya dengan satu kali mendengar, mengingat nomor-nomor telepon yang ia
baca dari buku telepon.

4. Gangguan pada perilaku motoric

Pada anak autistik selain menunjukan perilaku stereotipik, dapat terjadi pula
hipoaktif. Anak akan menunjukkan perilaku impulsivitas dan gangguan pemusatan
perhatian, dan juga terdapat gangguan koordinasi motoric seperti kesulitan mengikat
tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, mengancing baju, dll.

5. Reaksi abnormal terhadap perangsangan indra

Beberapa anak dengan autistik menunjukkan hipersensitivitas terhadap suara


( hiperakusis) dan menutup telinga bila mendengar suara petasan, gonggongan
anjing, dan sirine polisi. Sinar yang terlalu terang pada praktek dokter gigi juga dapat
membuatnya tegang. Sensitif terhadap sentuhan, seperti memkai baju dengan bahan
kasar akan membuatnya berganti-ganti pakaian atau berganti baju lengan pendek ke
lengan Panjang, semua itu dapat membuatnya temper tantrum. Terkadang anak
dengan autisme tidak peka terhadap nyeri, tidak menangis saat mengalami luka
parah.

6. Gangguan tidur dan makan

Gangguan pola tidur, seperti terbangun saat malam. Keengganan terhadap


makanan tertentu karena tidak menyukai bau dan teksturnya, menolak mencoba
makanan baru sehingga hanya makan makanan yang sama.

7. Gangguan afek dan mood / perasaan / emosi

Terdapat perubahan mood yang tiba-tiba, seperti menangis atau tertawa tanpa
sebab yang jelas, mudah emosional, takut dengan objek yang tidak menakutkan, dan
cemas atau depresi yang berat pada perpisahan.

8. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan agresivitas

Terdapat kemungkinan menggigit tangan atau jari sendiri, membenturkan


kepala, menarik rambut sendiri, memukuli diri sendiri, ledakan agresivitas tanpa
sebab, dan kurang perasaan terhadap bahaya.
Kapan autisme mulai muncul
· Gejala muncul sebelum usia 3 tahun meliputi kegagalan perkembangan
Bahasa dan menjalin hubungan dengan orang tua.
· Pada saat bayi, di dalam boksnya akan asyik bermain sendiri tanpa
menangis ataupun membutuhkan orang tuanya, sehingga akan mengira
bahwa anaknya manis dan mudah diatur.
· Anak tidak ada reaksi bila dipanggil
· Hilangnya kemampuan berbahsa dan menarik diri dari interaksi sosial
2.2.4 Etiologi Autism Spectrum Disorder
Teori Psikososial
Adanya pengaruh psikogenik sebagai penyebab autism yaitu orang tua yang
emosional, kaku dan obsesif yang terjadi pada saat masa pengasuhan yang
secara emosional kurang hangat.
Adanya trauma pada anak yang di sebabkan karena hostilitas yang tidak di
sadari dari ibu, yang sebenarnya tidak menghendaki anak ini yang
mengakibatkan gejala penarikan diri pada anak dengan autism
Teori Biologis
1. Faktor genetik
Adanya factor genetic yang berperan dalam perkembangan autisme.
Adanya peningkatan gangguan psikiatrik pada anggota keluarga dari anak
autistic yaitu berupa peningkatan insidens gangguan afektif dan anxietas dan
peningkatan gangguan dalam fungsi sosial.
Adanya hubungan autisme dengan dengan sindrom fragile X yaitu
suatu keadaan abnormal dari kromosom X. Pada sindrom ini di temukan
kumpulan berbagai gejala seperti retardasi mental dari yang ringan sampai
yang berat, kesulitan belajar yang ringan, daya ingat jangka pendek yang
buruk, fisik yang abnormal pada 80% laki-laki dewasa, serangan kejang dan
hiperfleksi, hiperaktif, gangguan pemusatan perhatian, impulsive dan
anxietas.
Gejala autis pada anak disebabkan oleh factor turunan. Setidaknya
telah ditemukan dua puluh gen yang terkait dengan autisme. Akan tetapi,
gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.
Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan.
Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme.
Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen.
Bisa saja gejala autisme tidak muncul meskipun anak tersebut membawa gen.
Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak
dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa
gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis.
Perempuan memiliki 13 dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu
kromosom X. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada
kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada
kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil
pada perilaku yang berkaitan dengan autis . Menurut laporan Journal Nature
Genetics, gen neuroxin yang ditemukan pada kromosom manusia no.11
merupakan salah satu gen yang berperan penting dalam terjadinya sindrom
autisme. Neuroxin merupakan protein yang berperan dalam membantu
komunikasi sel saraf. Salah satu protein dari family neuroxin yang dikodekan
oleh gen CNTNAP2 (Contactine Assosiates Protein-like 2) berfungsi sebagai
molekul reseptor pada sel saraf. Pada saat dalam kandungan, ketika sampel
darah janin diambil dan dianalisis, anak autis mengalami peningkatan protein
dalam darah, yaitu tiga kali lebih tinggi dibanding dengan anak normal.
2. Faktor peri-natal
Komplikasi pra-natal, peri-natal dan neo-natal yang meningkat juga
ditemukan pada anak autistik. Komplikasi yang sering terjadi adalah
mengenai adanya perdarahan setelah trimester pertama dan adanya kotoran
janin pada cairan amnion yang merupakan tanda bahaya dari janin.
Penggunaan obat – obatan pada ibu yang sedang mengandung diduga adanya
hubungan dengan timbulnya autisme. Dan adanya komplikasi waktu bersalin
seperti terlambat menangis, gangguan pernafasan, anemia pada janin

• Teori imunologi
Ditemukannya penurunan respons dari sistem imun pada beberapa anak
autistic yang dapat meningkatkan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus
autisme. Ditemukannya antibody beberapa ibu terhadap antigen lekosit pada anak
mereka yang mengidap autistic, karena antigen lekosit ini juga di temukan pada sel-
sel otak, sehingga antibody ibu ini dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak
janin yang menjadi penyebab timbulnya autisme.
2.2.5 Patogenesis Autism Spectrum Disorder
Patofisiologi autisme masih belum jelas diketahui. Terdapat beberapa
hipotesis penyebab ASD, khususnya ADHD, seperti abnormalitas sistem saraf pusat
(SSP) dan/atau abnormalitas sistem metabolik. ASD, seperti ADHD, terjadi karena
beberapa faktor, seperti kondisi autoimun, disfungsi plasenta pada saat kehamilan,
infeksi maternal, stres yang meningkat, serta peningkatan reactive oxygen species
(ROS), dan bawaan genetik yang menyebabkan kondisi sel otak tidak bertumbuh
sempurna (prematur). Kondisi ini meningkatkan aktivasi sel mastosit. Selain kondisi
prematur, beberapa faktor lain juga berkontribusi terjadinya peningkatan aktivasi sel
mastosit, seperti stres pada periode neonatus, infeksi, toksin logam berat (seperti
merkuri), antibodi di otak, dan reaksi alergi yang disebabkan oleh peningkatan IgE.
Peningkatan aktivasi sel mastosit berdampak pada gangguan sawar darah otak dan
saluran pencernaan yang difasilitasi oleh peningkatan sitokin stres, seperti IL-6
(interleukin-6) dan TNF (tumor necrosis factor). Gangguan sawar darah otak ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di otak yang berdampak pada gejala klinis autis.
Berdasarkan hipotesis abnormalitas pada SSP, gejala klinis autis disebabkan oleh:
1. Autoantibodi terhadap protein pada sistem saraf.
● Perkembangan sistem saraf yang terhambat.
● Inflamasi otak.
2. Berkurangnya sambungan atipikal bagian otak frontalis, menyebabkan
gangguan fungsi komunikasi dan sosioemosional.
3. Perkembangan prematur → Gangguan pada lobus frontalis dan temporalis,
sehingga berdampak pada gangguan daya ingat dan konsentrasi, visualisasi,
dan komunikasi.
4. Penurunan reseptor gamma-aminobutyric acid–B (GABA-B) pada korteks
singularis, menyebabkan:
● Hiperaktif.
● Berkorelasi dengan penurunan kadar glutamate, hipotesis ini masih dianggap
kontroversial.
Gambar 1. Patofisiologi ASD

Selain itu, hipotesis abnormalitas sistem metabolik juga dapat memberikan


gejala klinis autis yang disebabkan karena:
1. Gangguan kadar serotonin menyebabkan mood-swing, berdampak pada
gangguan pola makan, perhatian (fokus).
2. Gangguan neurotransmiter (acetylcholine).
3. Penurunan biotinidase menyebabkan penurunan kadar biotin.
4. Penurunan protein C4B komplemen menyebabkan peningkatan risiko infeksi.
5. Penurunan kadar cysteine, glutathione, dan methionine menyebabkan
peningkatan stres oksidatif.
6. Gangguan mitokondria, menyebabkan hiperlaktasidemia karena kekurangan
carnitine, yang menyebabkan gangguan metabolisme energi neuron.
2.2.6 Tatalaksana Autism Spectrum Disorder
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi semua disiplin
ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi
medik) dan non medis (tenaga pendidik, psikolog, ahli terapi bicara/okupasi/fisik,
pekerja sosial). Tujuan terapi pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku
dan meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama dalam
penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan dilakukan manajemen
multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu, diharapkan dapat tercapai hasil yang
optimal dari perkembangan anak dengan autisme. Manajemen multidisiplin dapat
dibagi menjadi dua yaitu non medikamentosa dan medikamentosa.
1. Non medikamentosa
a. Terapi edukasi intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial,
keterampilan sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Terdapat berbagai
metode penganjaran antara lain metode TEACHC (Treatment and Education
of Autistic and related Communication Handicapped Children) metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang mengintegrasikan
metode klasikal yang individual, metode pengajaran yang sistematik
terjadwal dan dalam ruang kelas yang ditata khusus.
b. Terapi perilaku intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada autisme.
Apapun metodenya sebaiknya harus sesegera mungkin dan se-intensif
mungkin yang dilakukan terpadu dengan terapi-terapi lain. Metode yang
banyak dipakai adalah ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana
keberhasilannya sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik
sekitar usia 2–5 tahun).
c. Terapi wicara intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu dilakukan,
mengingat tidak semua individu dengan autisme dapat berkomunikasi secara
verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini dan dengan intensif dengan
terapi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme
dapat melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat dengan terkontrol
dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi adalah pengorganisasian informasi semua sensori yang ada
(gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, pendengaran)
untuk menghasilkan respon yang bermakna. Melalui semua indera yang ada
otak menerima informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya,
sehingga diharapkan semua gangguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training) pada intervensi autisme, awalnya
ditentukan suara yang mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu
diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan suara-suara yang direkam, tapi
tidak disertai dengan suara yang menyakitkan. Selanjutnya dilakukan
desentisasi terhadap suara-suara yang menyakitkan tersebut.
g. Intervensi keluarga pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu bantuan
keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan, maupun dorongan
untuk dapat tercapainya perkembangan yang optimal dari seorang anak,
mandiri dan dapat bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan
keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota keluarga) dan
saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan keluarga dalam kaitannya
dengan manajemen terapi menjadi sangat penting, tanpa dukungan keluarga
rasanya sulit sekali kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu
dengan autisme.
2. Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana yang tegang bagi
lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru atau terapisnya. Kondisi ini
seringkali memerlukan medikasi dengan medikamentosa yang mempunyai potensi
untuk mengatasi hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi
edukational, perilaku dan sosial.
a) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen terbaik adalah
dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik tapi dapat juga dengan agonis alfa
adrenergik dan antagonis reseptor beta sebagai alternatif.
● Neuroleptik → Neuroleptik tipikal potensi rendah Thioridazin dapat
menurunkan agresifitas dan agitasi. Neuroleptik tipikal potensi tinggi
Haloperidol dapat menurunkan agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan
stereotipik. Neuroleptik atipikal Risperidon akan tampak perbaikan dalam
hubungan sosial, atensi dan absesif.
● Agonis reseptor alfa adrenergik → Klonidin dilaporkan dapat menurunkan
agresifitas, impulsifitas dan hiperaktifitas.
● Beta adrenergik blocker → Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas
terutama yang disertai dengan agitasi dan anxietas.
b) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi Neuroleptik (Risperidon) dan SSRI
dapat dipakai untuk mengatasi perilaku stereotipik seperti melukai diri sendiri,
resisten terhadap perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas tinggi.
c) Jika inatensi menjadi target terapi Methylphenidat (Ritalin, Concerta) dapat
meningkatkan atensi dan mengurangi destruksibilitas.
d) Jika insomnia menjadi target terapi Dyphenhidramine (Benadryl) dan neuroleptik
(Tioridazin) dapat mengatasi keluhan ini.
e) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama gangguan metabolisme yang
sering terjadi meliputi gangguan pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan
tubuh, keracunan logam berat yang terjadi akibat ketidak mampuan anak-anak ini
untuk membuang racun dari dalam tubuhnya. Intervensi biomedis dilakukan setelah
hasil tes laboratorium diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki
dengan obat- obatan maupun pengaturan diet.
3. Pendekatan Edukatif
Penyusunan bahan ajar berhubungan dengan metode pengajaran yang diberikan
pada anak autis. Guru menyusun bahan ajar dengan mempertimbangkan beberapa
strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Strategi yang dapat digunakan
sebagai berikut:
(1) Perencanaan pembelajaran hendaknya dibuat berdasarkan hasil assesment dan
dibuat bersama antara guru kelas dan guru khusus dalam bentuk pembelajaran
individual (IEP).
(2) Pelaksaaan pembelajaran lebih mengutamakan metode pembelajaran kooperatif
dan partisipatif, memberikan kesempatan yang sama pada peserta didik yang lain,
menjadi tanggung jawab bersama dan dilaksanakan secara kolaborasi, menggunakan
media, sumber daya, dan lingkungan yang beragam sesuai dengan keadaan.
Pendidikan inklusi memiliki peserta didik dengan berkebutuhan khusus yang
memerlukan strategi pembelajaran yang efektif. Salah satu strategi yang dapat
digunakan adalah Positive Behavioral Support (PBS). Startegi ini tepat bagi anak
dengan gangguan emosi dan perilaku. Terdapat tahapan pelaksanaan Positive
Behavioral Support (PBS) yaitu, (1) mendeskripsikan perilaku peserta didik di kelas,
(2) guru inklusi dan guru pendamping mengamati bersama perilaku peserta didik, (3)
melakukan assesment meliputi, observasi, analisis, dan membuat hipotesis perilaku
peserta didik, (4) mengembangkan hipotesis, (5) menetapkan target berupa perilaku
pengganti, (6) guru memberikan pengajaran terhadap peserta didik mengenai
perilaku yang muncul, memberikan penguatan, dan memverifikasi pencapaian yang
diraih peserta didik dan guru, serta (7) memodifikasi lingkungan yang mendukung
pencapaian perilaku target.
2.3 Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD)
2.3.1 Definisi Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
Attention-Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) atau yang dikenal dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas adalah anak yang menunjukkan
perilaku hiperaktif, impulsive, dan sulit memusatkan perhatian yang timbulnya lebih
sering, persisten dengan tingkat yang lebih berat jika dibandingkan dengan anak lain
seusianya.
2.3.2 Epidemiologi Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
ADHD di Indonesia termasuk cukup tinggi angkanya dengan jumlah 26,4%.
Anak laki-laki dikatakan memiliki insidensi yang lebih tinggi untuk mengalami
ADHD disbanding dengan anak perempuan, rasionya 3-4 : 1. Kelompok usia anak
ditemukan prevalensi 6,5% dan 2,7% untuk kelompok usia remaja. Anak perempuan
menunjukkan lebih sedikit gejala disruptif, namun lebih banyak menunjukkan gejela
inatensi, cemas, depresi. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak menunjukkan
perilaku disruptif.
2.3.3 Kriteria Diagnosis menurut PPDGJ III dan DSM V Attention-Deficit
Hyperactivity Disorder
Menurut PPDGJ III
1.Berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan, syarat mutlak untuk diagnosis
dan harus nyata ada pada lebih dari satu situasi
2.Berkurangnya perhatian, tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas dan
ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai
3.Hiperaktivitas, kegelisahan berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut
keadaan relatif tenang
4.Gambaran penyerta, ceroboh dalam hubungan sosial, sembrono dalam situasi yang
berbahaya, sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial
5.Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi
6.Gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria ekslusi atau kriteria
inklusi untuk diagnosis utamanya, tetapi ada atau tidaknya gejala ini dijadikan dasar
untuk sub divisi utama dari gangguan tersebut
Menurut DSM V
•Adanya pola inatensi dan/hiperaktifitas-impusifitas yang persisten yang
mengganggu fungsi dan perkembangan yang karakteristiknya adalah salah satu dari
(1) dan/atau (2):
(1). Inatensi → terdapat minimal 6 (atau lebih) gejala inatensi berikut yang menetap
dan telah berlangsung sekurangnya 6 bulan dan tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak serta mengganggu fungsi sosial dan aktivitas
akademik/pekerjaan.
a. Sering gagal untuk memberikan perhatian yang baik terhadap hal rinci atau
sering melakukan kesalahan yang tidak seharusnya/ceroboh terhadap
pekerjaan sekolah atau aktivitas lainnya
b. Sering mengalami kesulitan untuk mempertahankan perhatian dalam
melakukan tugas tanggung jawabnya atau dalam kegiatan bermain
c. Sering tampak tidak mendengarkan (acuh) pada waktu diajak bicara
d. Sering tidak mampu mengikuti aturan atau instruksi dan gagal dalam
menyelesaikan tugas sekolah, kegiatan sehari-hari, atau pekerjaan di tempat
kerja
e. Sering mengalami kesulitan dalam mengorganisasi tugas tanggung jawab
atau aktivitasnya
f. Sering menghindar, tidak suka atau menolak dalam kegiatan yang
memerlukan konsentrasi lama
g. Sering kehilangan barang yang perlu digunakan untuk kegiatan atau
aktivitasnya
h. Perhatiannya mudah teralih oleh stimulus yang datang dari luar
i. Mudah lupa akan kegiatan yang dilakukan sehari-hari
(2) Hiperaktivitas dan impulsivitas, terdapat minimal 6 atau lebih gejala
hiperaktivitas-impulsivitas berikut yang telah menetap dan telah berlangsung
sekurangnya 6 bulan sampai ke tingkat yang maladaptif dan tidak sesuai dengan
tingkat perkembangan anak
(3) Beberapa gejala hiperaktif-impulsivitas atau inatensi yang menyebabkan
gangguan ini sudah timbul sebelum anak berusia 12 tahun
(4) Gejala yang menyebabkan gangguan ini terjadi minimal 2 situasi atau tempat
yang berbeda
(5) Ada bukti yang jelas bahwa gejala ini menimbulkan gangguan klinis yang
bermakna di bidang sosial, akademik, dan fungsi pekerjaan lainnya
(6) Gejala tidak timbul secara eksklusif selama perjalanan penyakit Gangguan
Perkembangan Pervasif, Skizofrenia, atau Gangguan Psikotik lainnya dan tidak
dapat dijelaskan oleh gangguan mental lainnya
2.3.4 Attention-Deficit Hyperactivity Disorder Hiperaktivitas dan Impulsivitas
1. Hiperaktivitas
a. Sering tidak bisa duduk diam atau kaki-tangannya bergerak terus dengan
gelisah
b. Sering tidak mampu duduk diam di kursinya di dalam kelas atau saat situasi
dimana anak diharapkan duduk diam
c. Sering berlari atau memanjat secara berlebihan pada situasi yang tidak sesuai
atau yang tidak seharusnya
d. Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau kegiatan bersama yang
menyenangkan dan memerlukan ketenangan
e. Sering “bergerak” atau seperti “digerakkan oleh mesin”
f. Sering berbicara berlebihan
2. Impulsivitas
a. Sering memberikan jawaban sebelum pertanyaan selesai diajukan
b. Sering mebgalami kesulitan menunggu giliran
c. Sering menginterupsi orang lain
2.3.5 Patogenesis Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
Penyebab pasti dari ADHD belum diketahui, namun dikatakan bahwa area
kortek frontal, seperti frontrosubcortical pathways dan bagian frontal kortek itu
sendiri merupakan area utama yang secara teori bertanggung jawab terhadap
patofisiologi ADHD. Mekanisme inhibitor di kortek, sistem limbik, serta sistem
aktivasi retikular juga dipengaruhi. ADHD dapat mempengaruhi satu, dua, tiga, atau
seluruh area ini sehingga muncul tipe dan profil yang berbeda dari ADHD.
Sebagaimana yang diketahui bahwa lobus frontal berfungsi untuk mengatur agar
pusat perhatian pada perintah, konsentrasi yang terfokus, membuat keputusan yang
baik, membuat suatu rencana, belajar dan mengingat apa yang telah kita pelajari
serta dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang tepat. Mekanisme inhibisi di
kortek berfungsi untuk mencegah agar kita tidak hiperaktif, berbicara sesuatu yang
tidak terkontrol, serta marah pada keadaan yang tidak tepat. Dapat dikatakan bahwa
70 % dari otak kita berfungsi untuk menghambat 30 % yang lain.
Pada saat mekanisme inhibitor dari otak tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya maka hasilnya adalah apa yang disebut dengan ”disinhibitor disorder”
seperti perilaku impulsif, quick temper, membuat keputusan yang buruk, hiperaktif,
dan lain-lain. Sedangkan sistem limbik mengatur emosi dan kewaspadaan seseorang.
Bila sistem limbik teraktivasi secara berlebihan, maka seseorang memiliki mood
yang labil, temperamen yang meledak-ledak, menjadi mudah terkejut, selalu
menyentuh apapun yang ada di sekitarnya, memiliki kewaspadaan berlebihan.
Sistem limbik yang normal mengatur perubahan emosional yang normal, level energi
normal, rutinitas tidur normal, dan level stres yang normal. Disfungsi dari sistem
limbik mengakibatkan terjadinya masalah pada hal tersebut.
Beberapa data mendukung hal ini yaitu pemeriksaan MRI pada kortek
prefrontal mesial kanan penderita ADHD menunjukkan penurunan aktivasi. Selama
pemeriksaan juga terlihat hambatan respon motorik yang berasal dari isyarat
sensorik. MRI pada penderita ADHD juga menunjukkan aktivitas yang melemah
pada korteks prefrontal inferior kanan dan kaudatum kiri. Neurotransmiter utama
yang teridentifikasi lewat fungsi lobus frontal adalah katekolamin. Neurotranmisi
dopaminergik dan noradrenergik terlihat sebagai fokus utama aktifitas pengobatan
yang digunakan untuk penanganan ADHD. Dopamin merupakan zat yang
bertanggung jawab pada tingkah laku dan hubungan sosial, serta mengontrol
aktivitas fisik. Norepinefrin berkaitan dengan konsentrasi, memusatkan perhatian,
dan perasaan. Dukungan terhadap peranan norepinefrin dalam menimbulkan ADHD
juga ditunjukkan dari hasil penelitian yang menyatakan adanya peningkatan kadar
norepinefrin dengan penggunaan stimulan dan obat lain seperti desipramine efektif
dalam memperbaiki gejala dari ADHD. Pengurangan gejala juga terlihat setelah
penggunaan monoamine oxidase inhibitor yang mengurangi pemecahan terhadap
norepinefrin sehingga kadar norepinefrin tetap tinggi dan menyebabkan gejala
ADHD berkurang.
2.3.6 Diagnosis Banding Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
Membedakan ciri temperamental ini dengan gejala utama ADHD sebelum
usia 3 tahun sulit dilakukan terutama karena gambaran sistem saraf yang imatur
normal dan adanya tanda hendaya visual-motorik-persepsi yang bertumpang tindih
sering ditemukan pada ADHD. Ansietas pada anak harus dievaluasi. Ansietas dapat
menyertai ADHD sebagai gambaran sekunder dan ansietas sendiri dapat ditunjukkan
dengan over-aktivitas dan mudah teralih perhatiannya.
Banyak anak dengan ADHD memiliki depresi sekunder di dalam reaksi
mereka terhadap frustasi mereka yang berkelanjutan akibat kegagalan mereka untuk
belajar dan rendahnya harga diri yang ditimbulkan. Keadaan ini harus dibedakan
dengan hipoaktivitas dan depresif primer yang mudah dibedakan dengan
hipoaktivitas dan penarikan diri. Mania dan ADHD memiliki kesamaan gambaran
inti, seperti verbalisasi yang berlebihan, hiperaktivitas motorik, dan sangat mudah
teralih perhatiannya. ADHD pada anak dengan gangguan bipolar I pada pemantauan-
lanjutan 4 tahun memiliki kejadian bersamaan gangguan tambahan lain yang lebih
tinggi serta riwayat keluarga adanya gangguan bipolar yang lebih tinggi serta
gangguan mood lain dibandingkan dengan anak-anak tanpa gangguan bipolar.
Gangguan tingkah laku dan ADHD sering terdapat bersamaan dan keduanya
harus didiagnosis. Berbagai jenis gangguan belajar juga harus dibedakan dengan
ADHD; seorang anak bisa tidak dapat membaca atau melakukan matematik karena
gangguan belajar, bukan karena inatensi. ADHD sering terdapat bersamaan dengan
satu atau lebih gangguan belajar, termasuk gangguan membaca, gangguan
matematik, dan gangguan ekspresi tulisan.
2.3.7 Tatalaksana Attention-Deficit Hyperactivity Disorder
Tujuan utama dari tatalaksana anak dengan ADHD adalah memperbaiki pola
perilaku dan sikap anak dalam menjalankan fungsinya sehari-hari dengan
memperbaiki fungsi kontrol diri, sehingga anak mampu untuk memenuhi tugas
tanggung jawabnya secara optimal sebagaimana anak seusianya. Tujuan lainnya
adalah memperbaiki pola adaptasi dan penyesuaian sosial anak sehingga terbentuk
suatu kemampuan adaptasi yang lebih baik dan matur sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.

a. Pendekatan Psikofarmakologi
Obat yang merupakan pilihan pertama adalah obat golongan psikosimultan.
Dikenal ada 3 macam obat golongan psikosimultan, yaitu:
- Golongan Metilfenidat, memiliki efektivitas sebesar 60-70% dalam
mengurangi gejala hiperaktivitas-impulsivitas dan inatensi. Pemberian
obat ini cukup afektif dalam mengurangi gejala ADHD. Biasanya
efek samping obat ini timbul pada waktu pemakaian pertama kali atau
jika terjadi peningkatan dosis obat yang diberikan. Efek samping yang
ditemukan, yaitu penarikan diri dari lingkungan sosial, over fokus,
letargi, agitasi, iritabel, mudah menangis, cemas, sulit tidur,
penurunan nafsu makan, sakit kepala, pusing dan timbulnya tics yang
tidak ada sebelumnya.

Gambar 2. Macam Sediaan Metilfenidat

Biasanya efek samping obat ini timbul pada waktu pemakaian


pertama kali atau jika terjadi peningkatan dosis obat yang diberikan.
Efek samping yang ditemukan, yaitu penarikan diri dari lingkungan
sosial, over fokus, letargi, agitasi, iritabel, mudah menangis, cemas,
sulit tidur, penurunan nafsu makan, sakit kepala, pusing dan
timbulnya tics yang tidak ada sebelumnya.
- Obat non-stimultan adalah Atomoxetine yang merupakan suatu
norepinephrine reuptake inhibitor. Dosis awal 0,5 mg/kgBB/hari dan
ditingkatkan secara bertahap setelah 3 hari dengan dosis awal hingga
mencapai dosis maksimal 1,2 mg/kgBB/hari. Dosis dapat diberi sekali
sehari di pagi atau dua kali sehari (pagi dan sore). Efek samping yang
sering dijumpai adalah nyeri abdominal, mual, muntah, kelelahan, dan
iritabilitas emosi.
- Obat golongan antidepresan yang bekerja sebagai inhibitor
metabolisme dopamin dan norepinefrin, contohnya Fluoxetine dosis
0,6 mg/kgBB dikatakan memberikan respons sebesar 58% pada anak
dengan ADHD yang berusia 7-15 tahun.
b. Pendekatan Psikososial
● Adanya pelatihan keterampilan sosial bagi anak dengan ADHD
dengan harapan mereka akan lebih mengerti norma-norma sosial yang
berlaku dan berperilaku serta bereaksi sesuai dengan norma yang ada.
● Edukasi bagi orangtua dan guru agar mereka mengerti akan ADHD
sesungguhnya.
● Modifikasi perilaku menggunakan prinsip ABC (Antecedents,
Behaviour, and Consequences). Antecedents adalah semua bentuk
sikap, perilaku dan juga kondisi yang terjadi sebelum anak
menampilkan perilaku tertentu. Behaviour adalah perilaku yang
ditampilkan oleh anak (yang sebenarnya ingin diubah), dan
Consequences adalah reaksi orangtua/guru yang terjadi setelah anak
menunjukkan perilaku tertentu.
● Edukasi dan pelatihan pada guru → menghindari stigmatisasi pada
anak dengan ADHD.
● Kebutuhan akan kelompok dukungan keluarga atau kelompok antar
orangtua akan mendapatkan dukungan emosional dari sesama
orangtua lainnya serta mengurangi penderitaan yang dialami.

2.4 Kasus Anak Remaja Yang Lainnya


2.4.1 Gangguan Belajar
Gangguan belajar adalah defisit pada anak dan remaja di dalam mencapai
keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan
alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia
sama dengan kapasitas intelektual yang sama.
2.4.2 Gangguan Komunikasi
Anak dengan gangguan komunikasi dapat memiliki kosa kata terbatas,
berbicara dalam kalimat sederhana dan singkat, dapat mengungkapkan suatu cerita
dengan cara yang tidak lengkap dan tidak teratur, kesulitan mengucapkan bunyi
dengan benar dan juga dapat mengabaikan atau mengucapkan bunyi dengan cara
yang tidak biasa.
2.4.3 Gangguan Perilaku Mengacau
Anak dengan gangguan perilaku mengacau sering bertentangan dengan orang
dewasa, tidak dapat menahan amarah, benci, marah, dan mudah terusik oleh orang
lain. Mereka sering secara aktif menolak permintaan atau peraturan orang dewasa
dan dengan sengaja mengganggu orang lain. Mereka cenderung menyalahkan orang
lain untuk kesalahan dan kesalahan perilaku mereka sendiri.
2.4.4 Gangguan Makan
Anak dengan gangguan makan biasanya memakan zat yang tidak dapat
dimakan secara berulang setelah usia 18 bulan biasanya dianggap abnormal. Onset
biasanya antara usia 12-24 bulan dan insiden berkurang seiring usia. Zat khusus yang
dikonsumsi bervariasi bergantung pada kemudahan diperolehnya. Biasanya anak
yang masih kecil mengkonsumsi cat, plester, kawat, rambut, dan pakaian; anak yang
lebih tua memiliki akses pada debu, kotoran hewan, batu, dan kertas.
2.4.5 Gangguan Pembuangan
Enkopresis adalah pengeluaran feses yang tidak sesuai baik involuntar atau
disengaja. Pola ini harus ada selama sedikitnya 3 bulan; usia kronologis anak
sedikitnya 4 tahun. Enuresis adalah pengeluaran urine berulang di baju atau tempat
tidur, baik involuntar atau disengaja. Perilaku ini harus terjadi 2 kali seminggu
selama sedikitnya 3 bulan atau harus menyebabkan penderitaan atau hendaya sosial
atau akademik yang secara klinis signifikan.

BAB 3
KESIMPULAN

Anak-anak berkebutuhan khusus adalah individu-individu yang


membutuhkan layanan pendidikan khusus agar mencapai potensi mereka
sepenuhnya. Beberapa anak berkebutuhan khusus bisa saja tidak terlihat memiliki
tanda-tanda hambatan fisik, namun mungkin mengalami hambatan kognitif yang
mengganggu kemampuan mereka mempelajari materi-materi pelajaran atau
mengerjakan tugas-tugas tertentu. Anak berkebutuhan khusus mencakup mereka
yang mengalami retardasi mental, kesulitan belajar, attention-deficit hyperactivity
disorder (ADHD), autism spectrum disorder (ASD), gangguan fisik.. Mereka yang
mengalami kebutuhan khusus bukan berarti tidak mau melakukan apa yang kita
perintahkan, akan tetapi mereka memiliki kegagalan dalam mengolah perintah atau
instruksi yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai