Pembimbing :
Oleh:
Miftahudin 4151201040
Elva Denengsih 4151201060
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum terdapat dua karakteristik utama dari anak dengan disabilitas
intelektual, yaitu :
1. Kekurangan dalam fungsi intelektual yang signifikan di bawah rata-rata (IQ
< 70),
2. Memiliki hambatan dalam keterampilan adaptif.
a) Karakteristik fungsi intelektual yang berada di bawah rata-rata
1) Hambatan dalam memori baik memori jangka pendek dan jangka panjang.
Misalnya untuk memori jangka pendek anak mengalami kesulitan dalam
mengingat nama teman yang baru ia kenal, atau mengingat materi-materi
yang baru saja diajarkan. Memori jangka panjang, misalnya anak kesulitan
untuk menceritakan lagi aktivitas dulu pernah dilakukan
2) Hambatan dalam persepsi, dimana anak biasanya kesulitan untuk mengenali
konsep arah, kanan-kiri dari anggota tubuh atau benda, mengelompokkan dan
mengenali bentuk, kesulitan untuk meniru atau membuat gambar tertentu
(misal umur enam tahun belum bisa menggambar orang dengan anggota
tubuh yang lengkap).
3) Hambatan dalam berpikir abstrak, dimana anak memiliki kesulitan dalam
memahami konsep-konsep yang bersifat abstrak, misalnya konsep hari,
konsep angka, dll.
b) Karakteristik gangguan dalam fungsi adaptif.
Pada umumnya anak dengan disabilitas memiliki kekurangan dalam tiga domain
dari fungsi adaptif:
1) Domain konseptual yang mencakup dalam kesulitan/keterbatasan dalam
penguasaan keterampilan bahasa, membaca, menulis, matamatika,
kemampuan berfikir, dan pengetahuan
2) Domain sosial yang mencakup kesulitan/keterbatasan dalam rasa emapati,
kemampuan dalam melakukan penilaian sosial (menentukan apakah sesuatu
itu baik/buru, sopan atau tidak sopan), keterampilan berkomunikasi,
kemampuan untuk mejalin dan mempertahankan persabatan dan kapasitas
lainnya yang serupa.
3) Domain praktis yang mencakup kesulitan dalam memanajemen diri, merawat
diri, tanggung jawab, mengelola uang, rekreasi, dan mengatur tugas serta
pekerjaan sekolah.
2.1.4 Etiologi Retardasi Mental
Kedaan perinatal yang dapat menjadi risiko terjadinya RM pada bayi ialah
keadaan hipoksia pada bayi. keadaan hipoksia ini akan berakibat merusak sel-sel
otak pada bayi. keadaaan yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain, partus
lama, perdarahan, prolaps plasenta, dan plasenta previa. keadaan selain hipoksia juga
dapat menyebabkan bayi lahir dengan RM, yaitu bayi lahir prematur. Kelahiran
prematur dapat menyebabkan RM dikarenakan organ-organ bayi belum terbentuk
sempurna dan bayi yang lahir prematur belum bisa menghasilkan surfaktan sendiri
yang nantinya akan berakibat ke keadaan hipoksia.
Keadaan postnatal juga dapat berpengaruh terhadap bayi dengan RM. Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat menjadi risiko terjadinya RM pada bayi yang
lahir. Asfiksia yang menyebabkan hipoksia jaringan juga dapat menjadi risiko RM
pada bayi. Infeksi pada otak seperti meningitis dan ensefalitis. Kejang yang lama
juga dapat menyebabkan terjadinya RM. Peran lingkungan juga berpengaruh seperti
pola asuh dan stimulasi sosial.
a. Prenatal
Usia ibu saat hamil, penggunaan nikotin dan alkohol secara berlebihan
selama kehamilan, merupakan penyebab utama terjadinya retardasi mental.
Masa prenatal yang bermasalah bisa berakibat prematuritas dan BBLR
dimana faktor tersebut bisa menjadi salah satu penyebab retardasi mental.
Berdasarkan faktor tersebut di atas maka diharapkan perlu adanya
perencanaan kehamilan yang matang, pemeriksaan kehamilan secara teratur,
pemenuhan nutrisi dan lingkungan yang baik serta menghindari terjadinya
kecelakaan ataupun trauma saat hamil, identifikasi awal dan screening pada
ibu hamil juga sangat diperlukan dalam masalah ini. Penyebab retardasi
mental adalah infeksi dan penyalahgunaan obat selama ibu mengandung.
Infeksi yang biasanya terjadi adalah rubella yang dapat menyebabkan
kerusakan otak. Penyakit ibu juga dapat menyebabkan retardasi mental,
seperti sifilis, cytomegalovirus, dan herpes genital. Obat-obatan yang
digunakan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi bayi melalui plasenta.
Sebagian dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yang parah.
Anak-anak yang ibunya minum minuman beralkohol selama kehamilan bisa
menyebabkan kelahiran anak dengan syndrom fetal dan merupakan kasus
paling nyata sebagai penyebab retardasi mental. Komplikasi kelahiran,
seperti kekurangan oksigen atau cedera kepala, infeksi otak, seperti
encephalitis dan meningitis, terkena racun, seperti cat yang mengandung
timah sangat berpotensi menyebabkan retardasi mental.
b. Perinatal
Pada waktu proses kelahiran (perinatal) kepala bayi dapat mengalami tekanan
sehingga timbul pendarahan di dalam otak dan kemungkinan juga terjadi
karena kekurangan oksigen yang kemudian menyebabkan terjadinya
degenerasi sel-sel korteks otak yang kelak mengakibatkan retardasi mental.
Riwayat perinatal yang bermasalah mempengaruhi terjadinya retardasi
mental pada anak usia 6- 17 tahun. Hal ini disebabkan karena masa perinatal
merupakan masa dimana dalam persalinan terjadi proses pergerakan
keluarnya janin, plasenta dan membran dari dalam lahir melalui jalan lahir
dengan bantuan atau dengan kekuatan sendiri sehingga peran ibu saat
melahirkan bayinya, sangat diperlukan karena pengaruh kondisi dalam tubuh
ibu akan menunjang kemajuan dan keberhasilan dalam persalinannya.
c. Pengaruh stres saat ibu hamil
Stres pada ibu saat hamil dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu dimana
tingkat pendidikan yang tinggi akan berpengaruh untuk menurunkan stres
pada ibu saat hamil. Stres pada ibu saat hamil dipengaruhi juga oleh
pendapatan keluarga dimana pendapatan keluarga yang cukup akan
menurunkan stres pada ibu saat hamil. Pengelolaan stres yang baik akan
membantu mengurangi dampak stres. Stres yang dibiarkan berisiko
mengubah sistem manajemen stres alami yang dimiliki tubuh. Ketika ibu
hamil merasakan kecemasan tubuhnya akan memproduksi hormon stres yang
bisa berdampak kepada janin, yaitu epinephrine dan norepinephrine yang
berefek menaikkan tekanan darah dan mengurangi suplai oksigen ke rahim.
Beberapa bahaya stres yang tidak dikelola dengan baik untuk kesehatan ibu
dan janin antara lain terhadap neurodevelopment yang dapat menyebabkan
adanya kelainan proses pembentukan otak janin sehingga dapat memicu
masalah perilaku pada pertumbuhan bayi di masa depan.
Terapi orang dengan retardasi mental didasari pada penilaian akan kebutuhan
sosial dan lingkungan serta perhatian terhadap keadaan komorbidnya. Terapi optimal
untuk keadaan yang dapat menyebabkan retardasi mental adalah pencegahan primer,
sekunder, dan tersier.
a. Pencegahan Primer
b. Pencegahan Sekunder
Ketika suatu gangguan yang dikaitkan dengan retardasi mental telah
diidentifikasi, gangguan ini harus diterapi untuk memperpendek perjalanan
penyakit dan untuk meminimalkan gejala sisa atau hendaya selanjutnya.
Gangguan endokrin dan metabolik herediter, seperti phenylketonuria (PKU)
dan hipotiroidisme dapat diterapi dengan efektif pada tahap awal dengan
pengendalian diet atau terapi sulih hormon.
c. Pencegahan Tersier
Gejala utama ini termasuk pola yang stereotipikal, ketertarikan yang kaku
pada rutinitas, perilaku yang stereotipik dan repetitive. Perilaku sensorik dan motoric
yang repetitive, focus berlebihan terhadap kesamaan, serta keterbatasan minat pada
topik tertentu. contohnya membaca secara mendalam dengan topik tertentu,
mengoleksi, berbicara lama sekali, dan pada saat dewasa dapat bergabung dengan
perkumpulan yang berhubungan dengan topik tersebut. Gejala tipikal pada autisme
meliputi kesulitan terhadap perubahan kecil pada rutinitas yang dilakukan setiap
hari, adanya sikap perlawanan terhadap perubahan tersebut bahkan dapat
menimbulkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari pada perubahan kecil
sekalipun. Prilaku stereotipik repetitive seperti menjentikan jari, menggoyangkan
tangan, berjalan jinjit, mengendus, menjilat berbagai objek bukan makanan.
3. Gangguan Kognitif
Pada anak autistik selain menunjukan perilaku stereotipik, dapat terjadi pula
hipoaktif. Anak akan menunjukkan perilaku impulsivitas dan gangguan pemusatan
perhatian, dan juga terdapat gangguan koordinasi motoric seperti kesulitan mengikat
tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan, mengancing baju, dll.
Terdapat perubahan mood yang tiba-tiba, seperti menangis atau tertawa tanpa
sebab yang jelas, mudah emosional, takut dengan objek yang tidak menakutkan, dan
cemas atau depresi yang berat pada perpisahan.
• Teori imunologi
Ditemukannya penurunan respons dari sistem imun pada beberapa anak
autistic yang dapat meningkatkan adanya dasar imunologis pada beberapa kasus
autisme. Ditemukannya antibody beberapa ibu terhadap antigen lekosit pada anak
mereka yang mengidap autistic, karena antigen lekosit ini juga di temukan pada sel-
sel otak, sehingga antibody ibu ini dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak
janin yang menjadi penyebab timbulnya autisme.
2.2.5 Patogenesis Autism Spectrum Disorder
Patofisiologi autisme masih belum jelas diketahui. Terdapat beberapa
hipotesis penyebab ASD, khususnya ADHD, seperti abnormalitas sistem saraf pusat
(SSP) dan/atau abnormalitas sistem metabolik. ASD, seperti ADHD, terjadi karena
beberapa faktor, seperti kondisi autoimun, disfungsi plasenta pada saat kehamilan,
infeksi maternal, stres yang meningkat, serta peningkatan reactive oxygen species
(ROS), dan bawaan genetik yang menyebabkan kondisi sel otak tidak bertumbuh
sempurna (prematur). Kondisi ini meningkatkan aktivasi sel mastosit. Selain kondisi
prematur, beberapa faktor lain juga berkontribusi terjadinya peningkatan aktivasi sel
mastosit, seperti stres pada periode neonatus, infeksi, toksin logam berat (seperti
merkuri), antibodi di otak, dan reaksi alergi yang disebabkan oleh peningkatan IgE.
Peningkatan aktivasi sel mastosit berdampak pada gangguan sawar darah otak dan
saluran pencernaan yang difasilitasi oleh peningkatan sitokin stres, seperti IL-6
(interleukin-6) dan TNF (tumor necrosis factor). Gangguan sawar darah otak ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di otak yang berdampak pada gejala klinis autis.
Berdasarkan hipotesis abnormalitas pada SSP, gejala klinis autis disebabkan oleh:
1. Autoantibodi terhadap protein pada sistem saraf.
● Perkembangan sistem saraf yang terhambat.
● Inflamasi otak.
2. Berkurangnya sambungan atipikal bagian otak frontalis, menyebabkan
gangguan fungsi komunikasi dan sosioemosional.
3. Perkembangan prematur → Gangguan pada lobus frontalis dan temporalis,
sehingga berdampak pada gangguan daya ingat dan konsentrasi, visualisasi,
dan komunikasi.
4. Penurunan reseptor gamma-aminobutyric acid–B (GABA-B) pada korteks
singularis, menyebabkan:
● Hiperaktif.
● Berkorelasi dengan penurunan kadar glutamate, hipotesis ini masih dianggap
kontroversial.
Gambar 1. Patofisiologi ASD
a. Pendekatan Psikofarmakologi
Obat yang merupakan pilihan pertama adalah obat golongan psikosimultan.
Dikenal ada 3 macam obat golongan psikosimultan, yaitu:
- Golongan Metilfenidat, memiliki efektivitas sebesar 60-70% dalam
mengurangi gejala hiperaktivitas-impulsivitas dan inatensi. Pemberian
obat ini cukup afektif dalam mengurangi gejala ADHD. Biasanya
efek samping obat ini timbul pada waktu pemakaian pertama kali atau
jika terjadi peningkatan dosis obat yang diberikan. Efek samping yang
ditemukan, yaitu penarikan diri dari lingkungan sosial, over fokus,
letargi, agitasi, iritabel, mudah menangis, cemas, sulit tidur,
penurunan nafsu makan, sakit kepala, pusing dan timbulnya tics yang
tidak ada sebelumnya.
BAB 3
KESIMPULAN