Anda di halaman 1dari 18

RETARDASI

MENTAL
ASTRID LABIBAH
MEILA PUSFITA S
SALSABILA
SISKA WULANDARI
TRIA NURADILA R
World Health Organization (WHO) memperkirakan jumlah anak
RM di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah anak. Pada tahun 2003
jumlah anak RM 679.048 atau 21,42%, dengan perbandingan laki-laki 60% dan
perempuan 40%. Dengan kategori RM sangat berat (Ideot) 25%, kategori
berat 2,8%, RM cukup berat (Imbisil debil profound) 2,6%, dan RM ringan
3,5% (Kemenkes RI , 2010).
DEFINISI
Keterbelakangan mental (mental retardation, MR) adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan fungsi kecerdasan yang berada di bawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya
kemampuan menyesuaikan diri (perilaku maladaptif), yang mulai tampak pada awal kelahiran. Pada
mereka yang mengalami mental retardation memiliki keterbelakangan dalam kecerdasan,
mengalami kesulitan belajar dan adaptasi sosial. Diperkirakan ada sekitar tiga persen dari total
penduduk dunia mengalami keterbelakangan mental (Pieter, dkk, 2011)
CIRI-CIRI KLINIS RETARDASI
MENTAL
Menurut DSM-IV-TR (2004) ciri-ciri klinis mental retardation:
1. Orang yang memiliki fungsi intelektual yang secara signifikan berada di tingkat subaverage (IQ < 70)
2. Tanda-tanda umum dari mental retardation adalah kesulitan dalam berkomunikasi, kesulitan dalam
mengurus diri sendiri atau rumah, kesulitan dalam membina relasi sosial atau personal, rendahnya
kemampuan akademis, kesehatan dan keselamatan
3. Umur onset, yakni timbulnya mental retardation pada usia 18 tahun. Batasan ini ditetapkan sebagai
identifikasi gangguan pada fase-fase perkembangan berikutnya.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual (DSM IV-TR) Retardasi Mental dikategorikan menjadi 4, yaitu:
RM ringan (IQ 50-70)
RM sedang (IQ 50 - 55)
RM berat (IQ 20-40)
RM sangat berat dengan (IQ dibawah 20-25).
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB
RETARDASI MENTAL
Adapun 5 faktor penyebab retardasi mental menurut Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011)
yaitu :
1. Trauma (Sebelum dan Sesudah Lahir)
2. Infeksi (Bawaan dan Sesudah Lahir) dan Kelainan Kromosom
3. Kelainan Genetik dan Kelainan Metabolik yang Diturunkan
4. Akibat Keracunan
5. Gizi dan Lingkungan
KLASIFIKASI TINGKATAN
RETARDASI MENTAL MENURUT
PIETER, JANIWARTI, DAN
SARAGIH (2011)
BENTUK-BENTUK
RETARDASI MENTAL
1. Alcohol syndrom,Yaitu mental retardation yang diakibatkan bahan kimia dan obat-obatan,
seperti penylalanin. (Hellekson, dalam Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011)
2. Lesch-Nyhan syndromadalah mental retardation yang diakibatkan gangguan cerebral palsy
(spastisitas, pengencangan otot). Ciri-ciri Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan perilaku
mencederai diri sendiri, seperti menggigit-gigit jari atau bibir
3. Down syndrome adalah bentuk mental retardation akibat adanya abnormalitas kromosom 21
yang memberikan penampilan fisik yang khas, seperti wajah mongoloid. Ciri-ciri khas down
syndrome adalah mata sipit dan mengarah keatas, hidung rata, mulut kecil dengan langit-langit
datar sehingga lidah menjulur keluar, ada malformasi jantung bawaan, mengarah demensia
Alzheimer (≥ 40 tahun)
LANJUTAN
4. Fragile X syndromemenurut Dykens adalah bentuk mental retardation ini akibat
penyimpangan atau cacat pada kromosom X yang berkaitan dengan masalah-masalah belajar,
hiperaktif, menghindar tatapan mata, perseverative speech
5. Cultural familial retardation, yaitu bentuk mental retardation yang ringan dan disebabkan
oleh pengaruh lingkungan dan kombinasi pengaruh biologis dengan psikososial, seperti akibat
penganiayaan fisik, penelantaran dan deprivasi sosial. Ciri-ciri orang yang cultur familial
retardation adalah memiliki skor IQ= 50-70, memiliki keterampilan yang cukup baik, namun
tidak berpotensi untuk mengembangkan keterampilannya, memiliki keterlambatan dalam
perkembangan.
CARA PENANGANAN RETARDASI
MENTAL
Pieter, Janiwarti, dan Saragih (2011) secara umum, penanganan pada mental retardation harus
paralel, yakni dengan mengajarkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan agar mereka dapat produktif dan
mandiri.
1. Penanganan Behavioral
Penanganan gangguan mental retardation pertama kali diintroduksikan pada tahun 1960 yang menekankan
pada pengajaran keterampilan melalui inovasi perilaku (behavior), seperti dengan mengajarkan mereka
keterampilan untuk mandi, berpakaian dan buang air. Keberhasilan mengajarkan keterampilan dapat diukur
dari tingkat kemandirian yang dicapai dengan memanfaatkan keterampilan yang telah diajarkan.(Wilson, dalam
Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011)
2. Latihan Komunikasi
Latihan komunikasi sangat penting bagi penderita mental retardation. Tujuan latihan ini berbeda bagi setiap
penderita, tergantung pada tingkat keterampilan yang dimilikinya. Bagi penderita mental retardationringan,
tujuannya pada aspek artikulasi dan pengorganisasian bicara. Menurut Reichle namun bagi para terapis yang
ahli dan kreatif tentu memiliki alternatif yang lebih mudah, misal menggunakan bahasa isyarat yang lazim
digunakan penderita disabilitas pendengaran dan menggunakan argumentatif strategi komunikasi melalui
buku-buku bergambar yang menandakan permintaan atau menunjukkan terhadap suatu objek tertentu.
3. Support Employment
Bellamy (1988) dalam (Pieter, Janiwarti, dan Saragih, 2011) mengatakan salah satu metode yang
mengajarkan penderita mental retardation agar dapat berpartisipasi dalam dunia pekerjaan secara
memuaskan dan berkompetisi. Terlepas dari besarnya biaya yang terkait, maka dengan metode ini
bukan hanya menempatkan penderitanya dalam satu pekerjaan yang bermakna, tetapi yang
terpenting adalah membuat mereka untuk dapat menjadi orang yang produktif, mandiri, dan
berguna bagi masyarakat.
HUBUNGAN RETARDASI MENTAL
DENGAN TUMBUH KEMBANG
ANAK
Menurut klasifikasi yang dibuat oleh American Association of Mental Retardation (AAMR) yang
memungkinkan mengidentifikasi kebutuhan spesifik individu dalam empat dimensi perawatan yang telah di
tetapkan. Dimensi I fungsi intelektual dan keterampilan adaptif, dimensi II pertimbangan psikologis/ emosional.
Dimensi III pertimbangan fisik/kesehatan etiologi. Dimensi VI pertimbangan lingkungan (Wong, 2008).
Karakteristik kognitif sebagian besar anak retardasi mental kurang memiliki kecepatan belajar
(learning rate) seperti anak normal pada umumnya, kurang tepat atau kurang akurat dalam menangkap
respon, tidak memiliki strategi dalam menyelesaikan tugas, serta tidak memiliki daya ingat yang segera
namun daya ingatnya sama dengan anak normal. Diluar kegiatan pendidikan, anak retardasi mental juga
memiliki ketrampilan seperti mampu mengurus diri sendiri seperti makan, mandi, berpakaian, bahkan
mereka yang IQ nya lebih tinggi mampu menikah dan berkeluarga, bekerja pada pekerjaan semiskilled,
mampu mengatasi berbagai situasi sosial secara baik, tetapi mereka membutuhkan bantuan dalam
mengatur pendapatannya (Safrudin, 2015).
Dampak yang dirasakan bagi penyandang retardasi mental ini sebagaimana dikemukakan
departemen sosial RI bidang kesejahteraan sosial diantaranya hambatan fisik bagi anak retardasi
mental dalam melakukan kegiatan sehari-hari, gangguan ketrampilan kerja produktif, rawan kondisi
ekonomi, dampak psikologis berupa rasa malu, rendah diri, terisolasi dan kurang percaya diri serta
hambatan dalam melaksanakan fungsi sosial, yakni anak retardasi mental tidak mampu bergaul, tidak
mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mampu berpartisipasi dan lebih banyak tergantung pada
orang lain (Safrudin, 2015).
Dampak yang dirasakan oleh orang tua. Artinya orang yang paling banyak menanggung beban akibat
retardasi mental adalah orang tua dan keluarga anak tersebut, khususnya bagi penyandang retardasi
mental berat (idiot) dan sangat berat. Secara psikologis, tidak jarang orang tua yang menolak
kehadiran anak retardasi mental dikarenakan rasa malu dan bingung sehingga menjadikan orang tua
enggan berhubungan dengan masyarakatnya. Selain itu, ada pula orang tua yang kehilangan
kepercayaan akan mempunyai anak yang normal, muncul perasaan bersalah, berdo’a telah
melahirkan anak berkelainan sehingga lahir praduga yang berlebihan seperti merasa ada tidak beres
tentang urusan keturunan, perasaan ini mendorong timbulnya suatu perasaan depresi (Safrudin,
2015).
Hasil penelitian (Tri & Yudha, 2015) menyimpulkan bahwa keluarga belum maksimal
dalam memberikan dukungan sosial keluarga pada anak retardasi mental sedang. Dengan
demikian, kurangnya dukungan keluarga dapat mempengaruhi tingkat retardasi mental anak.
Semakin baik kemampuan keluarga dalam merawat anak retardasi mental, semakin baik
kemampuan anak dalam melakukan perawatan diri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Zemmy,
et al., 2014) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial
keluarga dengan kemampuan perawatan diri pada anak retardasi mental di SLB Negeri Unggaran.
Sejalan dengan teori Juwandi (2010) yang mengatakan, pengetahuan keluarga dalam
perawatan anak dengan retardasi mental dalam mempengaruhi kemampuan keluarga. Semakin
rendahnya pengetahuan tentang jenis retardasi mental, maka akan menghasilkan kemampuan cara
merawat yang kurang baik pula. Selain itu factor – factor di luar dari keluarga yang dapat
mempengaruhi kemampuan keluarga juga tidak dapat dikesampingkan seperti faktor lingkungan
dimana keluarga tinggal serta penerimaan anggota keluarga lain terhadap keberadaan anak
dengan retardasi mental ditengahtengah keluarga.
Upaya yang dilakukan guna meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat anak
retardasi mental melalui aspek pengetahuan keluarga adalah dengan meningkatkan peran aktif
seluruh anggota keluarga untuk mencari informasi-informasi mengenai cara merawat anak
retardasi mental baik melalui media massa, media elektronik dan aktif menanyakan hal-hal
seputar perawatan anak denga kebutuhan khusus kepada petugas kesehatan maupun petugas
pendidik di SLB tempat anak belajar.
Menurut Utami, (2009),upaya untuk meningkatkan kemampuan keluarga dalam
merawat anak retardasi mental berupa menjelaskan, memperagakan cara mengidentifikasi
masalah dan memotivasi keluarga untuk mengungkapkan masalah, memberikan penyuluhan
kesehatan, melakukan sosialisasi, melakukan psikoedukasi, memberikan informasi kepada
keluarga tentangmenggunakan fasilitas kesehatan. Hambatan keluarga dalam perawatan dapat
dilakukan melalui upaya-upaya tersebut.Terapi psikoedukasi membahas masalah pribadi dan
masalah dalam merawat anggota keluarga dengan retardasi mental, cara perawatan, manajemen
stres keluarga, manajemen beban keluarga serta pemberdayaan komunitas dalam membantu
keluarga. Psikoedukasi dilakukan untuk meningkatkan kemampuan merawat (Townsend, 2008).
TOKOH INSPIRATIF
Melani Putri (15) baru saja mengukir prestasi gemilang memecahkan
rekor renang gaya dada 50 meter di Pekan Paralimpik Nasional XIV 2012 di Riau.
Dia juga menjadi harapan Indonesia untuk ASEAN Paralimpik Games mendatang di
Vietnam. Melani memang tidak cacat fisik, namun dia memiliki kelemahan terkait
IQ-nya. Manusia normal umumnya memiliki IQ di atas 100. Namun atlet renang
kelahiran 3 Mei 1998 yang lahir di Pekanbaru ini hanya memiliki IQ 64. Inilah
kelemahan Melani sehingga dia masuk dalam kontingen paralimpik asal Bumi
Lancang Kuning Riau.
Ia pun ketika menjawab pertanyaan pers yang begitu panjang, Melani
lebih banyak menghela nafasnya. Dia tidak bisa menjawab jika ada pertanyaan lebih
dari satu. Sehingga orang tuanya yang sekaligus pelatih renang putrinya
memberitahukan bahwa anaknya tidak bisa menjawab pertanyaan yang begitu
panjang.
Untuk melatih Melani serta atlet cacat mental lainnya, memang
dibutuhkan kesabaran yang ekstra.Sebab penyandang tuna grahita selalu lambat
dalam berpikir. Misalkan, saat latihan disuruh berenang sampai ke ujung dan harus
kembali lagi, tapi kadang malah tidak balik dan dengan santai keluar dari kolam
renang.
Melani yang merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara ini, di usia 15 tahun masih duduk
di bangku SLB kelas 6. Orang tuanya baru mengetahui kelemahan anaknya ini ketika Melani duduk
di bangku kelas 4 SD. Gurunya saat itu pun menyarankan Melani dipindahkan ke SLB karena tidak
dapat mengikuti pelajaran. Dari sanalah, orang tua membawanya ke dokter psikolgi untuk
mengukur IQ-nya. Setelah itu barulah orang tua menyadari kelemahan putrinya. Tidak ingin
melihat putrinya down, mereka pun terus memberikan semangat. Kemampuan Melani terus diasah
sehingga kini gadis itu menjadi atlet yang berprestasi.
Selain itu Melani tidak bisa berjalan sendiri dalam jarak yang cukup jauh. Karena itu setiap
pergi kemana pun, termasuk ke sekolah, Melani harus didampingi keluarganya. Dorongan semangat
dari orang tua kepada Melani yang tak pernah pupus itu membuahkan hasil. Dalam Pekan
Olahraga Pelajar Cacat Nasional tahun 2011 di Pekanbaru, Melani menyabet dua mendali emas.
Prestasinya dalam berenang kian gemilang. Terbukti dalam Peparnas 2012 Melani memecahkan
rekor ASEAN Paralimpik Games dengan kecepatan waku berenang 47,42 detik. Prestasi ini
mengalahkan rekor sebelumnya yang juga diraih atlet asal Sumsel, Mayang Sari dengan waktu
49,16 detik.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai