Anda di halaman 1dari 14

Analisis efektifitas ekstrak nanopartikel Punica granatum dalam memengaruhi ekspresi IL-6,

IL-8 dan IL-23R pada mencit model radang kolon

RINGKASAN
Selama perjalanan penyakit radang usus dan kolitis eksperimental, beberapa
sitokin proinflamasi dilepaskan dan menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang
terjadi diaktifkan melalui salah satu jalur persinyalan berupa jalur NF-κB. Selanjutnya
dari jalur persinyalan ini akan dilepaskan mediator inflamasi lain yaitu IL-8 yang
meningkatkan infiltrasi neutrofil di jaringan pada saat inflamasi akut. Selain itu, aktivasi
IL-6 dan IL-23 memainkan peran penting dalam patogenesis penyakit radang saluran
cerna.
Punicalagin yang merupakan kandungan utama pada tanaman delima (Punica
granatum) terbukti dapat mengendalikan gangguan inflamasi pada kolitis ulseratif
melalui penghambatan langsung faktor transkripsi NF-κB (nuclear factor-kappaB).
Punicalagin akan dihidrolisis di saluran cerna menjadi asam elagat yang juga memiliki
aktivitas aktioksidan yang tinggi. Komponen fenolik ini menyusun sekitar 85% dari
keseluruhan tanin yang ada pada bagian kulit buahnya.
Meskipun telah banyak penelitian yang membuktikan manfaat punicalagin dalam
studi praklinis, tetapi pengaplikasian obat secara klinis dengan pemberian secara oral belum
dapat memenuhi harapan karena rendahnya tingkat bioavailibilitas dari senyawa ini. Masalah
ini bisa di selesaikan dengan cara mengurangi ukuran partikel menggunakan teknik
mikronisasi, sehingga dapat menambah tingkat kelarutannya dan mempermudah partikel
untuk dapat menembus barier epitel usus.
Untuk melihat peran delima yang mengandung senyawa punicalagin dalam
mengontrol inflamasi usus, penelitian akan dilakukan menggunakan hewan coba mencit
jantan galur Balb/c berusia 12–16 minggu dan memiliki berat badan 20–30 gram. Mencit
dibagi menjadi 6 kelompok (masing-masing kelompok terdiri dari 6 mencit): kelompok
pertama adalah kelompok mencit tanpa perlakuan yang hanya diberikan air minum biasa
sampai akhir perlakuan; kelompok kedua adalah mencit yang hanya di induksi DSS sebanyak
2 siklus yaitu siklus pertama pada minggu k-2 dan siklus kedua pada minggu ke-4 secara ad
libitum; kelompok ketiga adalah mencit yang diberikan asam elagat dengan dosis 26
mg/kgBB/hari kemudian diinduksi DSS pada minggu ke-2 dan minggu ke-4; kelompok
keempat adalah kelompok perlakuan yang di berikan ekstrak etanol delima biasa dengan
dosis 480 mg/kgBB/hari 4 minggu setelah induksi DSS selama 1 minggu p.o; kelompok
kelima dan keenam adalah kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak nanopartikel etanol
delima dosis 48 mg/kgBB/hari dan ekstrak nanopartikel etanol delima dosis 24 mg/kgBB/hari
minggu ke-4 setelah induksi DSS sampai minggu ke-5, p.o.
Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit yang dibagi menjadi 6 kelompok berbeda
yakni 1 kelompok tanpa perlakuan, 1 kelompok kontrol positif, 1 kelompok kontrol negatif,
dan 3 kelompok perlakuan . Semua kelompok kecuali kelompok tanpa perlakuan diinduksi
secara kimia agar mengalami peradangan saluran cerna bawah dengan cara diberikan DSS
2% ad libitum.
Setelah dilakukan induksi dan pemberian ekstrak delima, mencit didekapitasi dengan
terlebih dahulu di injeksikan obat bius berupa ketamine secara intraperitoneal. Dilakukan
pengambilan jaringan usus mencit yang kemudian difiksasi menggunakan formalin buffer
10% selama 24–48 jam. Selanjutnya jaringan usus dibuat blok parafin dan dipulas dengan
metode Hematoxilin Eosin (HE). Untuk melihat pengaruh ekstrak delima terhadap sistem
imun host serta efeknya terhadap proliferasi sel dilakukan identifikasi sitokin IL-6, IL-8, dan
IL-23R dengan metode pulasan Imunohistokimia.
Analisis data dilakukan terhadap parameter histopatologi berupa luasnya area
inflamasi serta ekspresi berbagai protein yang terlibat dalam proses inflamasi yang
diukur pada penelitian ini. Luaran yang akan dicapai dari penelitian ini  berupa artikel
yang akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi peringkat 3. Penelitian
ini termasuk pada Pengembangan Fitofarmaka yang memanfaatkan tanaman delima
(Punica granatum). Manfaat penelitian diharapkan delima dapat menjadi nutrisi yang
bermanfaat dalam mengontrol inflamasi usus yang terjadi pada peradangan saluran cerna
bawah.

Kata Kunci :
Punica granatum; kolitis ulseratif; IL-6; IL-8; IL-23R

LATAR BELAKANG

Walaupun bisa mengenai semua umur, kolitis ulseratif paling sering menyerang pada
usia antara 15-25 tahun. Belum ada data pasti tentang angka insiden pasti kejadian
peradangan saluran cerna bawah di indonesia tetapi penyakit ini diperkirakan mempengaruhi
1,5 juta orang Amerika; 2,2 juta orang di Eropa, dan beberapa ratus ribu lainnya di seluruh
dunia. Angka ini terus meningkat seiring berjalannya waktu. Insiden di daerah perkotaan
lebih tinggi daripada di pedesaan dengan puncak insiden tertinggi pada dekade kedua hingga
keempat kehidupan walaupun hal ini tetap dipengaruhi oleh ras dan etnis. Dan insiden di
negara industri lebih tinggi dibandingkan dengan negara berkembang. 1,2

Diperkirakan bahwa kolitis ulseratif dihasilkan dari regulasi respons imun yang
menyimpang dan berkelanjutan terhadap mikroba di usus, yang sering terjadi pada individu
yang rentan secara genetik. Meskipun penyebab pasti dari kolitis ulseratif sebagian besar
masih belum diketahui, dalam perkembangannya penyakit ini melibatkan interaksi yang
kompleks antara faktor genetik, lingkungan atau mikrobiota usus dan respons imun
penderita.3

Dalam pengobatannya, terdapat tiga tujuan utama yang harus dicapai yaitu
meningkatkan kualitas hidup, mencapai remisi bebas steroid dan meminimalkan risiko
kanker. Steroid digunakan karena efek anti-inflamasinya yang bermanfaat dalam
penyembuhan kolitis ulseratif. Walaupun begitu, steroid memiliki banyak efek samping yang
serius seperti hipertensi, hiperglikemia, kerontokan rambut, insomnia, imunosupresi,
gangguan penyembuhan luka, ulserasi lambung dan penambahan berat badan. Selain itu,
penggunaan steroid jangka panjang juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan berupa
psikosis steroid.4,5

Dengan berbagai macam efek samping yang ditimbulkan, para peneliti mulai
menelusuri alternatif pengobatan lain yang lebih aman digunakan dalam jangka waktu yang
panjang serta dapat berperan dalam mengurangi inflamasi saluran cerna. Salah satu
alternatifnya adalah pemanfaatan tanaman yang mengandung senyawa tertentu berupa
punicalagin. 6

Punicalagin merupakan polifenol utama yang terdapat pada tanaman delima/Punica


granatum. Semua bagian dari tanaman ini baik buah, biji dan kulitnya memiliki berbagai
kandungan yang bermanfaat tetapi bagian kulit memiliki kandungan polifenol yang paling
banyak. Punicalagin sendiri menyusun 85% dari keseluruhan tanin yang ada pada kulit
punica granatum. Senyawa ini merupakan turunan elagitannin yang akan terhidrolisis di
saluran cerna menjadi asam elagat.7,8

Punicalagin menunjukkan bioaktivitas anti-inflamasi yang kuat salah satunya dalam


menghambat produksi sitokin pro-inflamasi dalam makrofag. Punicalagin juga terbukti dapat
menghambat proses fosforilasi dalam jalur pensinyalan NF-kB dan MAPK untuk menekan
NO, TNF-α dan IL-6. Selain itu, punicalagin pada konsentrasi tertentu dapat digunakan untuk
menghambat ekspresi PGE2, IL1β, COX-2 dan iNOS.9–11

Walaupun sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa punicalagin dapat


menekan berbagai mediator inflamasi dalam peradangan saluran cerna tetapi dalam
pengaplikasian secara klinis punicalagin cendrung sulit mendapatkan hasil yang di inginkan
karena bioavailibilitasnya yang rendah. Walaupun begitu, peningkatan bioavailabilitas
punicalagin dan turunannya asam elagat dapat dilakukan dengan mengurangi ukuran partikel
menggunakan teknik mikronisasi, sehingga dihasilkan ekstrak berukuran nanopartikel.
Dengan ukuran partikel yang lebih kecil, asam elagat juga dapat melewati barier epitel usus
dengan lebih mudah sehingga meningkatkan permeabilitasnya.12,13

Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh punicalagin sebagai ekstrak dari tanaman delima terhadap
keseimbangan sitokin-sitokin inflamasi pada saluran cerna bawah sehingga dapat
mengendalikan berbagai protein yang berpotensi memicu perkembangan kolitis ulseratif.
TINJAUAN PUSTAKA

Kolitis ulseratif/ulcerative collitis (UC) adalah penyakit peradangan berulang dari


usus besar yang ditandai dengan adanya ulserasi mukosa superfisial, perdarahan rektum,
diare, dan nyeri perut. Secara histologis penyakit ini berbeda dengan Crohn disease dimana
peradangan pada kolitis terbatas di lapisan mukosa usus.1

Kolitis ulseratif mempengaruhi usus besar secara retrograde dengan terus menerus
berkembang mulai dari rektum dan meluas ke bagian usus yang lebih proksimal. Selanjutnya
berdasarkan bagian usus yang terlibat, UC dapat diklasifikasikan sebagai proktitis, kolitis sisi
kiri, atau pankolitis.1

Beberapa faktor resiko yang berperan dalam patogenesis penyakit ini terdiri dari
faktor genetik, keadaan mikrobiota usus dan keterlibatan dari faktor lingkungan. Sedangkan
faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu riwayat merokok, higienitas, adanya patogen
infeksius, pemakaian antibiotik dalam jangka waktu yang lama, serta pola hidup dan
makanan sehari-hari.14

Patogenesis peradangan saluran cerna bawah melibatkan kombinasi kelainan regulasi


sistem imun, interaksi host-mikroba, dan barier epitel serta berkaitan dengan kerentanan
seorang individu secara genetik. Berbagai sistem imun yang diaktifkan dalam perkembangan
penyakit ini mulai dari Th1, Th2 dan Th17.15

Pemeriksaan secara makroskopi dari spesimen reseksi pada penderita kolitis ulseratif
menunjukkan peradangan difus dengan lesi radang yang saling terhubung (continuous
lession), yang melibatkan rektum dan menyebar ke proksimal dengan penurunan keparahan
peradangan secara bertahap. Transisi antara mukosa yang terlibat dan normal dapat
dibedakan secara jelas. Mukosa memiliki penampilan granular yang rapuh dan menunjukkan
ulkus superfisial.16

Pemeriksaan histologis dari hasil biopsi atau reseksi spesimen merupakan elemen
penting dalam penegakkan diagnosis pasien dengan dugaan peradangan saluran cerna bawah,
terutama dalam membedakan antara kolitis ulseratif, crohn disease dan bentuk kolitis
lainnya. Pewarnaan dengan hematoxylin dan eosin (H&E) cukup untuk diagnosis klinis,
sedangkan pewarnaan khusus seperti imunohistokimia biasanya hanya dilakukan untuk
kepentingan penelitian dalam mengetahui respon imun apa saja yang terlibat. Secara
histologis, penilaian kolitis ulseratif didasarkan pada empat hal utama yaitu : arsitektur
mukosa, selularitas lamina propria, infiltrasi granulosit neutrofil, dan kelainan epitel. 16

Pada penelitian yang dilakukan oleh stefan, dkk diketahui bahwa induksi mencit
dengan suatu senyawa DSS (dextran sodium sulfate) selama 8 hari sudah cukup untuk
memperoleh suatu model hewan coba peradangan saluran cerna bawah akut yang dipastikan
secara histologis dengan adanya suatu ulserasi, abses kripta dan infiltrasi neutrofilik.17

Terapi yang umumnya digunakan pada kolitis ulserativa adalah pemberian obat
sejenis aminosalisilat, kortikosteroid, antibiotik, probiotik dan imunomodulator. Sudah
banyak penelitian yang telah membuktikan keefektifan dari obat-obatan ini.18

Selain itu juga banyak penelitian yang mengaitkan kolitis ulseratif dengan kekurangan
berbagai macam asupan tubuh seperti beta-karoten, magnesium, selenium, besi, dan zinc.
Senyawa ini dapat ditemukan secara alami pada spesies tanaman tertentu. Terdapat banyak
penelitian yang menguji efektivitas berbagai jenis tanaman pada model hewan coba dan uji
klinis terkait penyakit kolitis ulseratif, salah satunya adalah spesies tanaman punica granatum
(delima).18

Punica granatum kaya akan kandungan polifenolnya seperti tanin, flavonol,


antosianin, fenol dan asam organik. Berbagai macam bagian dari tanaman ini mulai dari kulit
buah, biji serta kulit dari biji tersebut memiliki berbagai kandungan yang bermanfaat. Tetapi
bagian kulit dari buah inilah yang mengandung aktivitas antioksidan yang paling tinggi
dibandingkan bagian lainnya. Kemampuan antioksidan dari buah ini disebabkan oleh 2
komponen utama yang dikandungnya yaitu punicalagin dan asam elagat. Punicalagin sendiri
merupakan salah satu turunan elagitanin monomer yang ketika terhidrolisis akan
menghasilkan asam elagat. Kedua komponen ini menyusun sekitar 85% dari keseluruhan
tanin yang ada pada kulit punica granatum. Selain memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi, polifenol yang terkandung ini juga memiliki sifat anti-inflamasi, hepatoprotektif, anti-
aterosklerosis dan kemopreventif yang sudah terbukti. Dalam proses keganasan, punicalagin
dapat meningkatkan ekspresi dari protein caspase-3 sehingga memicu terjadinya apoptosis
dari sel kanker.19–21
Setelah di konsumsi, punicalagin dihidrolisis di usus halus menjadi asam elagat. Baik
itu punicalagin maupun asam elagat tidak dapat di serap langsung oleh usus. Asam elagat
terlebih dahulu harus dimetabolisme melalui serangkaian reaksi dekarboksilasi yang
dilakukan oleh mikrobiota usus dan menjadi urolitin. Komponen mikrobiota usus yang
terlibat dalam konversi asam elagat menjadi urolitin pada manusia adalah bakteri dari genus
Gordonibacter.22,23

Punicalagin menunjukkan bioaktivitas anti-inflamasi yang kuat salah satunya dalam


menghambat produksi sitokin pro-inflamasi dalam makrofag. Punicalagin juga terbukti dapat
menghambat proses fosforilasi dalam jalur pensinyalan NF-kB dan MAPK untuk menekan
NO, TNF-α dan IL-6. Selain itu, punicalagin pada konsentrasi tertentu dapat digunakan untuk
menghambat sekresi PGE2, IL1β, COX-2 dan iNOS.9,11

Meskipun efek terapeutik yang menjanjikan dari punicalagin dan asam elagat telah
ditunjukkan dalam berbagai studi praklinis, tetapi pengaplikasian obat secara klinis dengan
pemberian secara oral belum dapat memenuhi harapan. Berdasarkan Biopharmaceutical
Classification System (BSC), yang mengklasifikasikan obat berdasarkan kelarutannya di
dalam air dan permeabilitasnya di usus, asam elagat diklasifikasikan sebagai obat Kelas IV
(obat dengan kelarutan dan permeabilitas yang rendah). Penyerapan dan bioavailabilitas yang
buruk mengharuskan penggunaan klinis dengan dosis obat yang tinggi untuk dapat mencapai
manfaat yang diinginkan, dimana hal ini justru akan meningkatkan potensi efek samping.24,25

Walaupun begitu, peningkatan bioavailabilitas punicalagin dan asam elagat dapat


dilakukan dengan mengurangi ukuran partikel menggunakan teknik mikronisasi, sehingga
dihasilkan ekstrak berukuran nanopartikel. Dengan meningkatkan luas permukaan suatu
partikel akan menyebabkan meningkatnya laju disolusi lalu bioavailabilitasnya juga akan
bertambah. Selain itu, pendekatan ini juga meningkatkan jumlah senyawa yang terlarut ketika
ukuran partikel kurang dari satu mikrometer (<1000 nano meter). Dengan ukuran partikel
yang lebih kecil, asam elagat juga dapat melewati barier epitel usus dengan lebih mudah
sehingga meningkatkan permeabilitasnya.12,13,26,27
ROAD MAP PENELITIAN

METODE

Metode penelitian menggunakan desain eksperimental dengan hewan coba mencit


dewasa (Mus musculus) strain BALB/c jantan berusia 12-16 minggu.

a. Induksi Kolitis
Mencit diperoleh dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan kesehatan
(LITBANGKES). Pemeliharaan mencit dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi FKUI.
Penelitian ini menggunakan 30 ekor mencit yang dibagi menjadi 6 kelompok berbeda yakni 1
kelompok tanpa perlakuan, 1 kelompok kontrol positif, 1 kelompok kontrol negatif, dan 3
kelompok perlakuan . Semua kelompok kecuali kelompok tanpa perlakuan diinduksi secara
kimia agar mengalami peradangan saluran cerna bawah dengan cara diberikan DSS 2% ad
libitum, diberikan selama 2 minggu yaitu pada minggu ke-2 dan ke-4.

Penetapan jumlah hewan coba atau besar sampel penelitian di hitung berdasarkan rumus
Federer:

(t-1).(n-1) ≥ 15; dengan t = jumlah kelompok; n = jumlah sampel

(6-1).(n-1) ≥ 15

5 (n-1) ≥ 15

5n-5 ≥ 15

5n ≥ 20

n≥4

Masing-masing kelompok terdiri dari minimal 4 ekor mencit.

6 kelompok x 4 ekor mencit = 24 ekor mencit minimal yang diperlukan. Dalam penelitian ini,
terdapat resiko kematian hewan coba dengan pemberian DSS sehingga kami menambah
mencit sebanyak 1 ekor ke dalam setiap kelompok. Sehingga :

6 kelompok x 5 ekor mencit = 30 ekor mencit yang akan dipersiapkan.

b. Pemberian Perlakuan

Kelompok tanpa perlakuan terdiri atas 1 kelompok yakni kelompok mencit yang
hanya diberikan air minum biasa sampai akhir perlakuan. Kelompok kontrol negatif terdiri
atas 1 kelompok mencit yang induksi DSS sebanyak 2 siklus yaitu siklus pertama pada
minggu k-2 dan siklus kedua pada minggu ke-4 secara ad libitum. Kelompok kontrol positif
terdiri atas 1 kelompok mencit yang diberikan asam elagat dengan dosis 26 mg/kgBB/hari
kemudian diinduksi DSS pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. Kelompok perlakuan terdiri
atas 3 kelompok yang diberikan ekstrak etanol delima biasa dengan dosis 480 mg/KgBB/hari,
ekstrak etanol delima nanopartikel dosis 48 mg/KgBB/hari dan ekstrak etanol delima
nanopartikel dosis 24 mg/KgBB/hari minggu ke-4 setelah induksi DSS sampai minggu ke-5,
p.o.

c. Pemeriksaan Kondisi Umum

Pemeriksaan kondisi umum mencit dilakukan untuk menentukan skor indeks aktivitas
penyakit dengan pemeriksaan berat badan mencit secara rutin dan menilai keadaan feses.
Keadaan feses yang dinilai adalah konsistensi dan adanya darah. Dengan indeks ini kita bisa
menilai perkembangan proses inflamasi pada saluran cerna mencit.17

d. Pemeriksaan dan Analisis Data

Untuk menilai adanya inflamasi lokal pada jaringan usus besar, potongan bagian
usus besar mencit dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pembuatan slide metode
Hematoxilin Eosin (HE). Selain itu, dilakukan analisis dengan metode Imunohistokimia
(IHK) dengan pembuatan blok Formalin Fixed Parafin Embedded (FFPE). Analisis
ekspresi antigen IL-6, IL-8, dan IL-23R dilakukan dengan metode IHK kemudian dinilai
menggunakan program freeware ImageJ yang dikembangkan oleh National Institute of
Health. Seluruh data numerik akan dianalisis dengan uji Anova satu arah jika data
berdistribusi normal atau Kruskall Wallis jika data tidak berdistribusi normal. Analisis
akan dihitung pada tingkat kepercayaan 5% dengan derajat kemaknaan 95%.

e. Luaran dan Target capaian

Hasil analisis data dari penelitian ini akan dibuat dalam bentuk jurnal ilmiah dan akan
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi peringkat 3.
ALUR PENELITIAN
JADWAL

No Nama Kegiatan Bulan


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Studi literatur
2. Pembuatan model kolitis akut
3. Pemeriksaan berat badan hewan coba
dan penilaian feses
4. Terminasi hewan coba
5. Pembuatan blok paraffin jaringan
kolon
6. Pewarnaan HE
7. Pemeriksaan IHK
8. Analisis data
9. Penulisan laporan
10. Publikasi ilmiah jurnal nasional
terakreditasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Conrad K, Roggenbuck D, Laass MW. Diagnosis and classification of ulcerative


colitis. Autoimmun Rev. 2014;13(4-5):463-466. doi:10.1016/j.autrev.2014.01.028

2. Cosnes J, Gower–Rousseau C, Seksik P, Cortot A. Epidemiology and natural history


of inflammatory bowel diseases. Gastroenterology. 2011;140(6):1785-1794.

3. Zhang Y-Z, Li Y-Y. Inflammatory bowel disease: pathogenesis. World J


Gastroenterol WJG. 2014;20(1):91.

4. Meier J, Sturm A. Current treatment of ulcerative colitis. World J Gastroenterol WJG.


2011;17(27):3204.

5. Warrington TP, Bostwick JM. Psychiatric adverse effects of corticosteroids. In: Mayo
Clinic Proceedings. Vol 81. Elsevier; 2006:1361-1367.

6. Lansky EP, Newman RA. Punica granatum (pomegranate) and its potential for
prevention and treatment of inflammation and cancer. J Ethnopharmacol.
2007;109(2):177-206.

7. Seeram NP, Zhang Y, Reed JD, Krueger CG, Vaya J. Pomegranate phytochemicals.
In: Pomegranates. CRC Press; 2006:21-48.

8. Derakhshan Z, Ferrante M, Tadi M, et al. Antioxidant activity and total phenolic


content of ethanolic extract of pomegranate peels, juice and seeds. Food Chem
Toxicol. 2018;114(January):108-111. doi:10.1016/j.fct.2018.02.023

9. Xu X, Yin P, Wan C, et al. Punicalagin inhibits inflammation in LPS-induced


RAW264. 7 macrophages via the suppression of TLR4-mediated MAPKs and NF-κB
activation. Inflammation. 2014;37(3):956-965.
10. Cao Y, Chen J, Ren G, Zhang Y, Tan X, Yang L. Punicalagin prevents inflammation
in LPS-induced RAW264. 7 macrophages by inhibiting FoxO3a/autophagy signaling
pathway. Nutrients. 2019;11(11):2794.

11. Kusmardi K, Hermanto D, Estuningytas A, Tedjo A, Priosoeryanto BP. The potency of


Indonesia’s pomegranate peel ethanol extract (Punica granatum linn.) as anti-
inflammatory agent in mice colon induced by dextran sodium sulfate: Focus on
cyclooxygenase-2 and inos expressions. Asian J Pharm Clin Res. Published online
2017:370-375.

12. Nyamba I, Lechanteur A, Semdé R, Evrard B. Physical formulation approaches for


improving aqueous solubility and bioavailability of ellagic acid: A review. Eur J
Pharm Biopharm. 2021;159:198-210.

13. Savjani KT, Gajjar AK, Savjani JK. Drug solubility: importance and enhancement
techniques. Int Sch Res Not. 2012;2012.

14. Ananthakrishnan AN. Epidemiology and risk factors for IBD. Nat Rev Gastroenterol
Hepatol. 2015;12(4):205-217. doi:10.1038/nrgastro.2015.34

15. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease.
Tenth. (Turner JR, ed.). Elsevier/ Saunders,; 2021.

16. Langner C, Magro F, Driessen A, et al. The histopathological approach to


inflammatory bowel disease: a practice guide. Virchows Arch. 2014;464(5):511-527.

17. Wirtz S, Popp V, Kindermann M, et al. Chemically induced mouse models of acute
and chronic intestinal inflammation. Nat Protoc. 2017;12(7):1295-1309.

18. Colitis-Pathophysiology U. Inflammatory bowel disease part I: ulcerative colitis-


pathophysiology and conventional and alternative treatment options. Altern Med Rev.
2003;8(3):247-283.

19. Jafari T, Fallah AA, Bahrami M, Lorigooini Z. Effects of pomegranate peel extract and
vitamin E on oxidative stress and antioxidative capacity of hemodialysis patients: A
randomized controlled clinical trial. J Funct Foods. 2020;72:104069.

20. Venusova E, Kolesarova A, Horky P, Slama P. Physiological and immune functions of


punicalagin. Nutrients. 2021;13(7):1-13. doi:10.3390/nu13072150

21. Kusmardi K, Azzahra Baihaqi L, Estuningtyas A, Sahar N, Sunaryo H, Tedjo A.


Ethanol Extract of Pomegranate (Punica granatum) Peel in Increasing the Expression
of Caspase-3 in DSS-Induced Mice. Int J Inflam. 2021;2021.

22. Heber D. Chapter 10: pomegranate ellagitannins. Herb Med Biomol Clin Asp.
Published online 2011.

23. Selma M V, Tomas-Barberan FA, Beltran D, García-Villalba R, Espín JC.


Gordonibacter urolithinfaciens sp. nov., a urolithin-producing bacterium isolated from
the human gut. Int J Syst Evol Microbiol. 2014;64(Pt_7):2346-2352.

24. Zuccari G, Baldassari S, Ailuno G, Turrini F, Alfei S, Caviglioli G. Formulation


strategies to improve oral bioavailability of ellagic acid. Appl Sci. 2020;10(10):3353.

25. Ghadi R, Dand N. BCS class IV drugs: Highly notorious candidates for formulation
development. J Control Release. 2017;248:71-95.

26. Khadka P, Ro J, Kim H, et al. Pharmaceutical particle technologies: An approach to


improve drug solubility, dissolution and bioavailability. Asian J Pharm Sci.
2014;9(6):304-316.

27. Laroui H, Ingersoll SA, Liu HC, et al. Dextran sodium sulfate (dss) induces colitis in
mice by forming nano-lipocomplexes with medium-chain-length fatty acids in the
colon. PLoS One. 2012;7(3). doi:10.1371/journal.pone.0032084

Anda mungkin juga menyukai