Anda di halaman 1dari 12

TUGAS KELOMPOK

Tugas ini dibuat untuk memenuhi Mata Kuliah Hukum Pidana

Dosen Pengampu : Dr. Urbanisasi S.H., SIP, M.H., CLA, CIL.


Kelas : A1

Disusun Oleh :
Natasha Pritama - 205200022
Fionna Khantidevi Lukmadi - 205200025
Aurelia Meagan Tan - 205200026
Gracia - 205200082
Ferdinand Purnama -205200090

PROGRAM STUDI SARJANA HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
2021
Problem Task :
A, B, dan C sama-sama luka parah, namun penyebabnya berbeda-beda. A terluka parah
karena digigit anjing, B terluka parah karena ditabrak oleh F yang baru belajar naik sepeda
motor, sementara C terluka parah karena dipukul G yang marah karena melihat istrinya
berciuman dengan C di sebuah Cafe. Polisi yang mendapat laporan dan menangani kasus ini
sedang berusaha untuk menangani kasus di atas sesuai dengan kewenangan dan prosedur
yang berlaku. Polisi berpendapat bahwa tidak semua perbuatan tersebut adalah tindak pidana.
Soal:
Dikerjakan dengan 7 (tujuh) pendekatan hukum: larangan, perbuatan, pertanggungjawaban
hukum, laporan, hukum acara pidana (apakah termasuk delik aduan atau delik umum), sanksi
dan solusi.

ANALISIS

1. Unsur - unsur sebuah tindakan dikatakan menjadi tindakan pidana


Menurut Simons, unsur-unsur yang memenuhi tindak pidana terdiri dari:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
b. Diancam dengan pidana (statbaar gesteld).
c. Melawan hukum (onrechtmatig).
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand).
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).
f. Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subjektif dari tindak
pidana (strafbaar feit).

2. Analisis Kasus
1. Dalam kasus yang pertama diatas, kita ketahui bahwa A terluka parah akibat gigitan
seekor anjing yang pemiliknya tidak diketahui. Menurut analisis dari kelompok
kami kasus A ini tidak termasuk kedalam tindak pidana karena tidak memenuhi
unsur-unsur tindak pidana di dalamnya. Alasannya yang pertama karena seekor
anjing bukanlah merupakan subjek hukum dimana kita ketahui subjek hukum itu
terdiri dari manusia dan juga badan hukum. Selanjutnya anjing tersebut bukanlah
orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya layaknya manusia
dan juga badan hukum. Namun, apabila pemilik dari anjing tersebut diketahui, maka
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban nya adalah kepada si pemilik anjing
tersebut yang tentunya merupakan manusia sebagai salah satu subjek hukum karena
sudah bertindak lalai. Terakhir yang terpenting dan perlu digaris bawahi adalah bahwa
dalam peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak ada Pasal yang mengatur
tentang hukum gigitan anjing. Maka dari itu, menurut kelompok kami kasus A ini
bukan merupakan tindak pidana.

2. Dalam kasus kedua yang diatas, dimana B mengalami kondisi luka parah karena
ditabrak oleh F yang baru belajar menaiki sepeda motor. Menurut analisis kelompok
kami pada kasus kedua ini merupakan kategori dari tindak pidana, karena
memenuhi unsur-unsur dari sebuah tindakan pidana. F adalah orang yang
seharusnya bertanggung jawab karena telah menabrak B hingga mengalami luka
parah, perbuatan yang dilakukan oleh F dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan
yang tertuang dalam Pasal 360 (1) KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.”

3. Dalam kasus ketiga, dimana C terluka parah akibat dipukul oleh G yang marah saat
memergoki istrinya berciuman dengan C di sebuah cafe. Menurut analisis dari
kelompok kami kasus C yaitu Kasus pemukulan ini termasuk tindak pidana
karena telah memenuhi unsur - unsur dari tindak pidana, namun dalam kasus ini
yang melakukan tindak pidana lebih dari 1 orang, karena G bertanggungjawab atas
pemukulan terhadap C yang mengakibatkan luka parah. G dapat dikenakan pidana
sesuai dengan Pasal 354 (1) KUHP, yang berbunyi “Barangsiapa sengaja melukai
berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun.” Sementara C dan istri G dapat dipidanakan
karena dengan sengaja melakukan tindakan asusila di tempat umum yaitu berciuman
di cafe. Tindakan ini melanggar Pasal 281 KUHP ayat (1) yang berbunyi “barang
siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan” apabila Pasal ini dilanggar,
ancaman hukuman nya berupa pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. tindakan yang
dilakukan istri G tidak termasuk dalam perzinahan ( Pasal 284 ayat (1) KUHP) karena
menurut R. Soesilo dalam buku KUHP dan penjelasanya, perbuatan zina adalah
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. unsur zina tidak dapat
dipenuhi karena ciuman bukan merupakan bentuk persetubuhan.

Tujuh pendekatan hukum antara lain :


1. Larangan
Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang
yang harus dibuktikan Penuntut Umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan
tindak pidana. Oleh karena itu, kekeliruan dalam perumusan bagian, ini akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam praktek penegakan hukum. Tindak pidana
pertama-tama berisi larangan terhadap ‘perbuatan’. Dengan demikian, pertama-tama
suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dalam delik-
delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian,
norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam
hal tindak pidana materiil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana
berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini anjing tersebut telah menggigit A sehingga menyebabkan
luka parah terhadap A. Tentu saja hal ini merupakan suatu larangan namun karena
anjing bukan merupakan subjek hukum maka tidak bisa disebut larangan. Namun,
berbeda halnya jika pemilik dari anjing tersebut diketahui maka larangan itu bisa saja
muncul karena sudah ada pemilik anjing tersebut yang dapat dikenakan atau
dimintakan suatu pertanggung jawaban nantinya.
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua ini B mengalami luka parah akibat ditabrak oleh F yang sedang
belajar mengendarai sepeda motor, perbuatan yang dilarang dalam suatu tindak
pidana kasus B ini berupa kealpaan dari F pada saat belajar mengendarai sepeda
motor dan terbukti mengakibatkan B selaku orang lain mengalami luka yang berat.
● Kasus ketiga :
Dalam kasus ketiga, dimana C terluka parah akibat dipukul oleh G yang marah saat
memergoki istrinya berciuman dengan C di sebuah cafe.perbuatan yang dilarang
dalam kasus ketiga adalah kesusilaan dan penganiayaan berat.
2. Perbuatan
Perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dalam Undang- Undang dan
dapat dikenakan sanksi pidana.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama, A terluka parah akibat digigit anjing tersebut. Maka, menurut
kelompok kami tindakan anjing tersebut tidak termasuk ke dalam perbuatan pidana.
Bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang (dapat)
dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada subjek pelakunya. Namun, jika salah
satu unsur tersebut tidak ada atau tidak terbukti, maka harus disimpulkan bahwa
tindak pidana belum atau tidak terjadi. Selain anjing yang bukan merupakan subjek
hukum, seekor anjing juga tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua B terluka parah akibat ditabrak oleh F yang sedang belajar
mengendarai sepeda motor. Perbuatan yang terjadi karena kealpaan F dijadikan
sebagai perbuatan pidana karena perbuatan F dipandang menimbulkan akibat yang
cukup serius sehingga F karena kealpaannya dapat dimintai pertanggungjawaban oleh
B.
● Kasus ketiga :
Dalam kasus ketiga, C terluka parah akibat dipukul G yang marah karena memergoki
istrinya berciuman dengan C di sebuah Cafe, perbuatan ini termasuk tindak pidana
penganiayaan berat. Sementara istri G dan C melakukan tindak pidana asusila
berciuman di tempat umum.

3. Pertanggungjawaban hukum
Dalam hukum pidana, prinsip pertanggungjawaban pidana dapat ditemui dalam Pasal
2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (yang selanjutnya disingkat KUHP), bahwa
“ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang
yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini tidak ada pertanggungjawaban hukumnya dikarenakan
menurut analisis kelompok kami bahwa pemilik dari anjing tersebut tidak diketahui.
Hal ini yang menyebabkan tidak ada subjek hukum yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut.
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua ini menurut hukum F merupakan orang yang harus bertanggung
jawab karena F pada saat belajar mengendarai sepeda motor telah menabrak B hingga
mengalami luka parah.
● Kasus ketiga :
Dalam kasus ketiga, semua pihak bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukan masing - masing. meskipun C adalah korban dari pemukulan G namun C
juga telah melakukan tindak pidana yaitu asusila. sementara G melakukan tindak
pidana penganiayaan berat terhadap C. sedangkan istri G meskipun berciuman bukan
merupakan bentuk zina tapi istri G melakukan tindak pidana asusila di muka umum
yaitu berciuman dengan C.

4. Laporan
Pengertian laporan berdasarkan Pasal 1 butir 24 KUHAP adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang
kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya
peristiwa pidana.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini tidak termasuk ke dalam bentuk laporan dikarenakan kasus
pertama ini bukan merupakan suatu tindak pidana. Korban hanya bisa melaporkan dan
meminta pertanggungjawaban jika mengetahui pemilik anjing tersebut.
● Kasus kedua :
Karena kasus kedua termasuk kedalam tindak pidana maka pihak yang berhak
mengajukan laporan adalah pihak yang merasa dirugikan pada suatu peristiwa pidana.
Dalam kasus B dengan F, maka yang berhak melapor adalah B, dimana B adalah
korban dari kealpaan yang dilakukan F pada saat belajar mengendarai sepeda motor.
● Kasus ketiga :
Dalam kasus ketiga, kedua pihak (korban dan pelaku) berhak melaporkan satu sama
lain atas tindak pidana yang dilakukan masing - masing pihak. Pihak C selaku korban
berhak melaporkan pihak G selaku pelaku pemukulan. Pihak G berhak melaporkan C
dan istrinya karena melakukan tindakan asusila di tempat umum.
5. Hukum acara pidana
a) Delik aduan (klachtdelict)
Delik aduan merupakan adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya
dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau pihak
yang dirugikan, contohnya adalah perzinaan dan pemerasan. Delik aduan sendiri
dibedakan menjadi dua, yaitu;
● Delik aduan relatif
Delik aduan relatif adalah delik aduan yang bercirikan adanya hubungan
khusus antara pelaku dengan korban. Contoh delik aduan relatif pencurian dalam
keluarga Pasal 367 KUHP,
● Delik aduan absolute
Delik aduan absolute adalah delik aduan yang atas sifatnya hanya dapat
dituntut atas dasar pengaduan, contohnya adalah kejahatan penghinaan (Pasal
310 sampai 319 KUHP).
b) Delik biasa atau delik umum
Delik umum adalah delik yang dapat diproses tanpa adanya persetujuan atau
laporan dari pihak yang dirugikan atau pihak korban. Dalam delik umum ini,
walaupun pihak korban telah berdamai dengan pihak tersangka proses hukum tetap
saja berjalan berbeda halnya dengan delik aduan.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini tidak terdapat delik ataupun peristiwa pidana. Hal ini
dikarenakan tidak terpenuhinya unsur unsur tindak pidananya. Menurut simons ada
beberapa unsur terpenuhinya tindak pidana yang terdiri dari :
● Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan) : dalam kasus A ini merupakan perbuatan seekor anjing yang
negatif sehingga unsur ini tidak terpenuhi.
● Diancam dengan pidana : dalam kasus A ini seekor anjing tidak dapat
diancam dengan pidana sebagaimana tidak ada diatur di dalam peraturan di
Indonesia sehingga unsur ini tidak terpenuhi.
● Melawan hukum : dalam kasus A ini tidak ada subjeknya yang melawan
hukum sehingga unsur ini tidak terpenuhi.
● Dilakukan dengan kesalahan : dalam kasus A ini seekor anjing tidak
memiliki akal layaknya manusia maka dari itu tidak bisa dijatuhkan
kesalahan padanya sehingga unsur ini tidak terpenuhi.
● Oleh orang yang mampu bertanggung jawab : dalam kasus A ini yang
dapat dan harus bertanggung jawab adalah pemilik anjing tersebut
sehingga unsur ini tidak terpenuhi.
● Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subjektif dari
tindak pidana.
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua ini termasuk kedalam delik biasa atau delik umum karena delik
ini dapat diproses meskipun B selaku pihak yang dirugikan tidak membuat laporan.
Proses hukum akan tetap dijalankan juga oleh F meskipun B dengan F telah
berdamai.
● Kasus ketiga:
Dalam kasus ketiga, tindak pidana pertama yaitu penganiayaan berat termasuk dalam
delik biasa atau umum karena tanpa adanya laporan dari korban, tindak pidana tetap
bisa dan harus diproses. Sedangkan tindak pidana kedua yaitu asusila, delik yang
berlaku adalah delik biasa, dalam kesusilaan hanya perzinahan yang masuk dalam
delik aduan absolut.

6. Sanksi
Sanksi pidana pada prinsipnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi
perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana
diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri. Berkaitan dengan
macam-macam sanksi dalam hukum pidana itu dapat dilihat dalam Pasal 10 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang menentukan bahwa pidana terdiri dari:
1) Pidana Pokok (hafd straf) yang terdiri dari:
a. Pidana Mati Hukum
Suatu pidana tidak pernah melarang orang mati, akan tetapi akan
melarang orang yang menimbulkan kematian, karena perbuatannya.
Keberadaan pidana mati (death penalty) dalam hukum pidana (KUHP),
merupakan sanksi yang paling tertinggi apabila dibandingkan dengan sanksi
pidana lainnya. Dilihat dari rumusan-rumusan perbuatan di dalam KUHP,
memperlihatkan bahwa ancaman pidana mati ditujukan atau dimaksudkan
hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat serius dan berat. Kelemahan
pidana mati ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan
lagi untuk perbaikan, baik revisi atau jenis pidananya maupun perbaikan atas
diri terpidananya apabila kemudian ternyata penjatuhan pidana itu terdapat
kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang atau pembuatnya, maupun
kekeliruan terhadap tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu
dijatuhkan dijalankan dan juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.
b. Pidana Penjara (Gevangemisstraf/Improsonment)
Pidana penjara merupakan pidana pokok yang berwujud pengurungan
atau perampasan kemerdekaan seseorang. Tujuan pidana penjara ini tidak
hanya memberikan pembalasan terhadap perbuatan yang dilakukan dengan
memberikan penderitaan kepada terpidana karena telah dirampas atau
dihilangkan kemerdekaan bergeraknya, tetapi juga membina dan membimbing
terpidana agar dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang baik dan
berguna bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
c. Pidana Kurungan (Hechtenis)
Pidana kurungan adalah pemisahan terhukum dari pergaulan hidup
masyarakat ramai dalam waktu tertentu dimana sifatnya sama dengan
hukuman penjara yaitu perampasan kemerdekaan orang. Perbedaan antara
pidana penjara dan pidana kurungan, antara lain:
● Menurut Pasal 12 ayat 2 KUHP, lamanya hukuman penjara adalah
sekurang-kurangnya (minimum) satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut.
● Menurut Pasal 19 ayat 2 KUHP, kepada seseorang hukuman kurangan
diberi pekerjaan lebih ringan dari orang yang dijatuhi pidana penjara.
● Menurut Pasal 21 KUHP, hukuman kurungan harus dijalani dalam daerah
Provinsi tempat terhukum berdiam.
● Menurut Pasal 23 KUHP, orang yang dihukum dengan kurungan boleh
memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri menurut peraturan yang
ditetapkan dalam undang-undang.
d. Pidana Denda
Menurut Pasal 30 ayat 2 KUHP apabila denda tidak dibayar harus
diganti dengan pidana kurungan, yang menurut ayat (3) lamanya adalah
minimal satu hari dan maksimal enam bulan, menurut Pasal 30 ayat (4)
KUHP, pengganti denda itu diperhitungkan sebagai berikut:
1) Putusan denda setengah rupiah atau kurang lamanya ditetapkan satu
hari.
2) Putusan denda yang lebih dari setengah rupiah ditetapkan kurungan
bagi tiap-tiap setengah rupiah dan kelebihannya tidak lebih dari satu
hari lamanya.
Dalam praktek hukum selama ini, pidana denda jarang sekali
dijatuhkan. Hakim selalu menjatuhkan pidana kurungan atau penjara dalam
rumusan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali apabila tindak pidana itu
memang hanya diancamkan dengan pidana denda saja, yang tidak
memungkinkan hakim menjatuhkan pidana lain selain denda.
e. Pidana Tutupan
Pidana tutupan merupakan pidana khusus yang diatur khusus dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan kemudian
ditambahkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan.

2) Pidana Tambahan
Pidana tambahan biasanya tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri, melainkan
ia selalu harus dijatuhkan bersama-sama dengan sesuatu tindak pidana pokok. Jenis-
jenis pidana tambahan yang dikenal di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana itu adalah:
a. Pencabutan hak-hak tertentu
Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu merupakan suatu pidana di
bidang kehormatan.
b. Pidana perampasan barang-barang tertentu
Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya
dengan pidana denda. Perampasan barang sebagai suatu pidana hanya
dikenakan atas barang-barang tertentu saja. Pasal 39 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana menyebutkan:
a) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau
yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas;
b) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan
perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang;
c) Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah
disita.
c. Pengumuman putusan hakim Pidana
Pengumuman putusan hakim ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal
yang telah ditentukan dalam undang-undang. Pidana pengumuman putusan
hakim merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan
seseorang dari suatu pengadilan pidana, dan bertujuan untuk memberitahukan
kepada seluruh masyarakat agar masyarakat dapat lebih berhati-hati terhadap si
terhukum.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini tidak ada sanksi yang dapat diberikan kepada anjing
yang menggigit A. Hal ini dikarenakan pemilik dari anjing tersebut tidak
diketahui sehingga sanksi tidak dapat dijatuhkan terhadap anjing tersebut.
Yang mana kita ketahui bahwa kasus A ini tidak termasuk ke dalam tindak
pidana dikarenakan unsur-unsur tindak pidana nya tidak terpenuhi seperti yang
sudah kami uraikan diatas. Namun, apabila pemilik dari anjing tersebut
diketahui maka pemilik tersebut dapat diberikan sanksi pidana berupa pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
akibat dari kelalaiannya apabila menyebabkan korban sampai mati, seperti
yang tertera dalam ketentuan Pasal 359 KUHP. Pasal 359 KUHP sendiri
berbunyi “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan
orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
pidana kurungan paling lama satu tahun.”
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua ini sanksi yang timbul akibat dari kealpaan F dalam belajar
mengendarai sepeda motor dapat dikenakan sanksi yang terdapat dalam Pasal
360 angka 1 KUHP berupa pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun yang kemudian akan disesuaikan dengan
keputusan hakim yang akan mengadili dan memutuskan perkara ini.
● Kasus ketiga:
Dalam kasus ketiga ini ada beberapa sanksi yang timbul akibat adanya tindak
pidana yang dilakukan oleh G, istri G dan C. Dalam tindak pidana pemukulan
yang dilakukan oleh G termasuk dalam penganiayaan berat. G telah melanggar
Pasal 354 ayat (1) KUHP sehingga sanksi maksimal sesuai dengan pasal
tersebut adalah pidana penjara paling lama 8 tahun sesuai dengan putusan
hakim. Sedangkan tindak pidana asusila yang dilakukan C dengan istri G telah
melanggar Pasal 281 ayat (1) KUHP dengan sanksi pidana penjara maksimal 2
tahun 8 bulan atau pidana denda maksimal 4.500 Rupiah sesuai dengan
putusan Hakim.
7. Solusi
Solusi adalah jalan keluar atau jawaban dari suatu masalah. Selain itu, solusi juga
merupakan suatu cara atau jalan yang digunakan untuk memecahkan atau menyelesaikan
masalah tanpa adanya suatu tekanan.
● Kasus pertama :
Dalam kasus pertama ini solusi yang tepat terhadap kasus ini adalah bahwa bagi
setiap kita subjek hukum agar lebih waspada dan berhati-hati terhadap hal-hal sekitar.
Diutamakan juga terhadap setiap orang yang mempunyai hewan peliharaan untuk
selalu dijaga dan diawasi agar tidak menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan.
● Kasus kedua :
Dalam kasus kedua solusi yang tepat terhadap kasus ini adalah F selaku orang yang
sedang belajar mengendarai motor harus berhati- hati lagi dan memperhatikan
kondisi sekitar tempat belajarnya agar tidak membahayakan orang lain dan diri
sendiri.
● Kasus ketiga :
Solusi yang kami tawarkan adalah seharusnya G tidak main hakim sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan rumah tangganya. Para pihak dapat melakukan
musyawarah mufakat untuk menyelesaikan perselisihan dan mendapatkan suatu
penyelesaian yang lebih baik kedepannya. Sedangkan G dan Istri G dapat pergi ke
psikolog untuk membantu memperbaiki hubungan mereka atau apabila hubungan
tidak bisa diperbaiki maka solusi terbaik adalah bercerai untuk menghindari konflik di
masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai