Anda di halaman 1dari 4

Lukita Dinarsyah Tuwo Wakil Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Bappenas, saat

Membuka acara menjelaskan ada tiga faktor Pentingnya Kepercayaan Publik terhadap Reformasi
Birokrasi Pemerintahan, Yaitu, pertama  efektivitas penyelenggaraan pemerintahaan dan
pembangunan salah satunya dipengaruhi oelh faktor kepercayaan public, kedua pelaksanaan
reformasi birokrasi baik pada level nasional maupun daerah diharapkan dapat mendorong,
terwujudnya inovasi daerah dan peningkatan daya saing daerah, meningkatnya kualitas pelayanan
public, adanya perbaikan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Sampai dengan menjelang sewindu implementasi UU 32 tahun 2004, masih sangat


sedikit pihak yang menyadari pentingnya implementasi Pasal 2 ayat 3 UU 32 tahun
2004, yang menegaskan  bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah
untuk meningkatkan pelayanan umum, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
meningkatkan daya saing daerah. Sesungguhnya masih sedikit purposeful policies and
implementations yang dimaksudkan untuk realisasi peningkatan daya saing daerah.
Beberapa pertanyaan kunci perlu diajukan sebagai bagian dari refleksi dan sekaligus
antisipasi kebijakan tentang daya saing:

1. Seperti apakah grand design secara nasional yang dapat digunakan oleh setiap
kementerian, daerah, pelaku usaha dan masyarakat dalam rangka peningkatan daya
saing?

2. Bentuk dan produk hukum kebijakan seperti apa yang memiliki binding force yang
cukup kuat supaya amanat konstitutional tentang daya saing tersebut dapat
diimplementasi?

3. Pada bagian manakah dari RPJMN, RPJMD provinsi, dan RPJMD  Kabupaten/kota
yang secara eksplisit dan berjenjang dirancang untuk meningkatkan dayang daerah?

Masih banyak pertanyaan lain yang dapat diajukan yang intinya menggambarkan
betapa masih lambatnyya implementasi Pasal tentang daya saing daerah tersebut.

Peningkatan daya saing daerah menjadi kunci untuk memenangkan persaingan dalam Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA/ASEAN Economic Community) pada 2015. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar
Anas mengatakan, daerah adalah pilar ekonomi nasional. Dengan demikian, sesungguhnya kesiapan
nasional dalam menghadapi MEA adalah refleksi kesiapan daerah.

"Competitiveness alias daya saing harus ditingkatkan agar kita tidak jadi tamu di negeri sendiri. Saat
ini daya saing masih jadi faktor yang mengkhawatirkan kita dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Nah soal daya saing ini harus terintegrasi karena daya saing terbentuk dari dukungan
kebijakan, infrastruktur, kelembagaan, kualitas SDM, dan sebagainya," jelas Anas kepada
KRjogja.com melalui rilisnya, Minggu (11/5/2014).

Administrasi public di Indonesia saat ini masih bercorak cara berfikir dan bertindaknya
sangat menitikberatkan pada peraturan, sehingga menurutnya hal itu tidak menghasilkan
aparatur sipil yang inovatif dan berdaya saing.
World Economic Forum on Global Competitiveness Index 2012-2013 menempatkan
Indonesia di posisi 50 dari 144 negara, dimana dari perspektif bisnis, sekitar 26% biaya
investasi di Indonesia terpaku pada upaya untuk mendapatkan ijin usaha.

“Pemerintah meyakini adanya korelasi timbal-balik antara reformasi birokrasi, pembangunan dan
pengingkatan daya saing daerah dan hal-hal negatif tersebut berkontribusi terhadap rendahnya
tingkat daya saing Indonesia di dunia

pada kuartal ketiga lalu BAPPENAS telah  menyelesaikan evaluasi paruh-waktu  pelaksanaan
RPJMN 2010-2014. Meskipun Indonesia berhasil mencapai investment grade lagi setelah 10
tahun, juga adanya penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi -- namun hasil evaluasi untuk reformasi birokrasi
dan tata kelola sebagai salah satu prioritas nasional belum begitu menggembirakan.

“Untuk 2014, pemerintah telah menetapkan skor 8,0 sebagai target pencapaian Indeks
Integritas Pelayanan Public dan skor 75 untuk target Peringkat Kemudahan Berusaha.” tutur
Wariki.

salah satu upaya mendorong percepatan peningkatan daya saing daerah dilakukan melalui
reformasi birokrasi (RB).

DSecara konsepsional, RB merupakan perubahan terencana terhadap tatanan


penyelenggaraan pemerintahan, terutama berkenaan dengan aspek penataan kelembagaan
(organisasi), ketatalaksanaan, dan penataan manajemen sumber daya manusia (SDM)
aparatur pemerintahan.

RB merupakan tolak ukur perubahan kinerja pemerintahan maupun pemerintahan daerah


menuju Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Dalam konteks ini RB dilakukan melalui
suatu agenda aksi nasional dengan memedomani prinsip-prinsip : efisien, efektif, ekonomis,
dan produktif.

Dia menambahkan, agenda aksi menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan RB. Implikasi
penerapan RB adalah terwujudnya tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance).
Menyikapi RB ini, terdapat beberapa langkah fundamental (Rasyid, 2010) yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah, yakni Penataan organisasi, efektifitas koordinasi ketatalaksanaan,
transparansi dan akuntabilitas, prioritas kebijakan ada dalam anggaran ( desentralisasi fiskal),
pengawasan, dan remunerisasi. (AN/DS-50)

Sejak berlakunya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sistem pemerintahan daerah di
Indonesia mengalami perubahan. Dalam sistem desentralisasi ini, pemerintah daerah (Pemda)
memiliki kewenangan yang lebih besar dalam proses perencanaan, penganggaran dan
pelaksanaan pembangunan di daerah.

Sayangnya, pencapaian daya saing daerah mengalami penurunan. Hal ini dibuktikan  dalam
Global Competitiveness Report 2011-2012 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum
(WEF). Laporan WEF menunjukkan mengeluarkan peringkat daya saing Indonesia mengalami
penurunan dari peringkat ke-44 pada 2010 menjadi peringkat ke-46 pada 2012 dari 142 negara.

Peningkatan daya saing daerah dengan penyederhanaan birokrasi guna memperbaiki iklim
investasi diyakini dapat menjadi modal peningkatan ekonomi secara nasional.
daerah harus mampu mengembangkan perekonomiannya agar berkontribusi positif bagi
perekonomian nasional, dan juga dapat membuka kesempatan kerja yang tinggi sebagai upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Daya saing (competitiveness) daerah, merupakan salah satu parameter dalam konsep
pembangunan daerah yang berkelanjutan. Secara umum tingkat daya saing suatu daerah,
searah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, ia mengatakan pemerintah daerah harus terus berupaya untuk
meningkatkan iklim investasi khususnya pada infrastruktur. Karena berdasarkan data dan fakta
yang ada, infrastruktur masih menjadi kendala.

Indikator daya saing yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 yang
dimodifikasi, antara lain kemampuan ekonomi daerah, fasilitas wilayah atau infrastruktur, iklim
berinvestasi, dan sumber daya manusia.

Menurut dia, iklim usaha yang kondusif pun harus menjadi perhatian oleh pemerintah daerah.
Pasalnya, tidak sedikit kebijakan daerah yang ada justru masih menyulitkan para pelaku
usaha.

Reformasi kebijakan menjadi salah satu harapan karena berkaitan dengan kemudahan dalam
mendirikan usaha, penyederhanaan birokrasi, hingga regulasi pajak daerah.

Dalam laporan Bank Dunia Doing Business tahun 2012 memperlihatkan posisi Indonesia berada
pada peringkat ke 130, dan tahun 2013 posisi ke 128. Sementara itu, dalam laporan yang
dikeluarkan Bank Dunia bertajuk Doing Business 2014 Indonesia menempati peringkat ke 120.
“Daerah harus mampu mengembangkan perekonomiannya agar berkontribusi positif bagi
perekonomian nasional dan tentunya kita harapkan upaya tersebut dapat membuka kesempatan
kerja yang tinggi, sehingga kesejahteraan masyarakat pun bisa ditingkatkan.

indikator daya saing yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 yang
dimodifikasi, antara lain kemampuan ekonomi daerah, fasilitas wilayah atau infrastruktur, iklim
berinvestasi, dan sumber daya manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, menurut Iwan, pemerintah
daerah harus terus berupaya untuk meningkatkan iklim investasi, khususnya pada infrastruktur.

Infrastruktur yang baik sangat dibutuhkan dan akan berpengaruh terhadap aktivitas usaha dan
seberapa jauh masuknya investasi ke daerah itu.

Peringkat Indonesia dalam laporan Bank Dunia “Doing Business” tahun 2012 memperlihatkan posisi
Indonesia di peringkat 130 dan tahun 2013 berada di posisi 128. Sementara itu, dalam laporan yang
dikeluarkan Bank Dunia bertajuk “Doing Business 2014”, Indonesia menempati peringkat 120.

Pemerintah harus bekerjasama dengan dunia usaha untuk merumuskan strategi terbaik untuk
mendorong percepatan arus investasi dan iklim usaha yang kondusif di daerah.
amanat Pasal 14 UU Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian menyebutkan bahwa Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri
ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan industri yang
dilaksanakan melalui pengembangan wilayah pusat pertumbuhan industri, pengembangan kawasan
peruntukan industri, pembangunan kawasan industri, dan pengembangan sentra industri kecil dan
industri menengah.

pada tahun 2013, total investasi yang masuk mencapai hampir Rp400 triliun, didorong oleh
penanaman modal asing (PMA) sebesar 67,84 persen dan lebih banyak berlokasi di Pulau Jawa
sebesar 57,76 persen. Dari total investasi tersebut, sebanyak Rp178 triliun merupakan investasi di
sektor industri yang juga banyak berlokasi di wilayah Jawa sebesar 56,64 persen.

Pada saat ini, menurut Alex, Kementerian Perindustrian sedang menyusun RPP tentang Rencana
Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) dan RPP Perwilayahan Industri yang akan
menetapkan daerah-daerah yang masuk ke dalam Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri, Kawasan
Peruntukan Industri, Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil Menengah. (*)

Anda mungkin juga menyukai