Anda di halaman 1dari 4

DISKUSI KEWARGANEGARAAN P14

penanganan korupsi di Indonesia

Masalah yang sangat serius terjadi di Indonesia salah satunya ialah masalah korupsi. Korupsi
telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai momok yang dapat membawa
kehancuran bagi perekonomian Negara. Diakui atau tidak, praktik korupsi yang terjadi dalam
bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja bidang ekonomi, maupun juga
dalam bidang politik, social budaya, maupun keamanan. Salah satu faktor penghambat
kesejahteraan negara berkembang disinyalir akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik
yang melibatkan aparat di sektor publik, maupun melibatkan masyarakat yang lebih luas.
Pada dasarnya tindakan korupsi telah banyak merugikan negara karena dari segi politik
menghambat demokrasi dan penegakan HAM, dari segi ekonomi telah mengikis kekayaan
negara dan memperlambat pembangunan pasar yang adil, sehingga menghambat investasi.
Korupsi juga bertanggung jawab atas ketidaklayakan dan berkurangnya fasilitas umum yang
diterima masyarakat. Kemudian dari segi sosial, masyarakat mulai tidak percaya terhadap
sistem politik yang berkembang karena tatanan kelembagaan pemerintahan telah rusak
(Setiawan 2020)

Indikasi maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung
membaiknya angka persepsi korupsi Indonesia. Pemberantasan korupsi merupakan salah satu
agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Good governance atau
pemerintahan yang bersih dan penegakan hukum, khususnya di bidang korupsi, adalah
agenda demokrasi yang paling dasar untuk mencegah terjadinya triple crisis of governance.
Tiga krisis itu adalah kemandekan penegakan hukum, ketidakmampuan pemerintah menjaga
perdamaian rakyat atau daerah, serta pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau krisis sebagai
akibat dari kegagalan kebijakan perekonomian dan rendahnya kapasitas dan integritas
birokras pemerintah (Ariyanti et al. 2020).

Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang


menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas
bangsa Indonesia. Demokrasi sendiri yang telah kita anggap selesai pasca Reformasi tahun
1998 menjadi tidak berarti ketika korupsi masih mengurita di bumi Indonesia dihampir setiap
sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (Muhtar 2019).

Penyidikan yang dilakukan KPK setiap tahun menurun. Lemahnya lembaga ini menjadi
kerawanan bagi integritas nasional dan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dalam hal
korupsi. Lembaga KPK saat ini mengalami gejolak yang tinggi, dimana mulai anggota KPK
melakukan korupsi hingga sekitar 75 pegawai KPK tidak lulus dalam tes wawasan
kebangsaan. Dengan kondisi yang saat ini, perlu perbaikan dan perbaharuan birokrasi dari
KPK sendiri. Lembaga ini sangat penting dalam menangani kasus korupsi di Indonesia,
mengingat kondisi pandemi menjadi hal yang mudah dalam menyelewengkan dana apabila
tidak ada transparansi (Sinuaraya et al. 2021).

Strategi yang dapat dilakukan untuk melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsi
adalah, sebagai berikut : 1) Meningkatkan integritas bagi pemimpin negara dan lembaga,
lemahnya integritas penyelenggara negara menyebabkan terjadinya kolusi, korupsi, dan
nepotisme. Pemimpin merupakan sosok yang mewakili masyarakat Indonesia yang dipercaya
dan dipilih oleh masyarakat itu sendiri tanpa ada intervensi dari siapapun. Sehingga, sudah
sewajarnya wakil rakyat memiliki integritas yang tinggi. 2) Membangun budaya anti-korupsi,
mempengaruhi dan membentuk karakter seseorang bukan hal yang mudah dan cepat.
Pembangunan budaya antikorupsi membutuhkan jangka panjang dan harus dilakukan sejak
dini baik di lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, masyarakat, hingga di
kantor/perusahaan. 3) Memperbaiki dan membangun sistem hukum yang baik, sistem hukum
di Indonesia dapat dikatakan masih belum memberikan efek jera pada pelaku Tipikor.
Sehingga, hal ini menjadi keberlanjutan dan menjadi sebuah kesempatan bagi Tipikor untuk
melakukan tindakan ilegalnya demi kepentingannya sendiri. Dibutuhkan hukum yang jelas
dan komprehensif. 4) Memperkuat lembaga KPK, Indonesia memiliki 34 provinsi yang
tersebar dari ujung sabang sampai merauke. Maka dari itu, dibutuhkan pengembangan KPK
yang terintegrasi dengan pusat. Sehingga, Tipikor akan mudah untuk dideteksi. Selain itu,
harus adanya independsi KPK, dimana KPK dibentuk khusus untuk memberantas korupsi.
Namun, kepolisian dan kejaksaan juga memiliki wewenang yang hampir sama dengan KPK
dalam menangani kasus Tipikor. Sehingga, terjadinya tumpang tindih kewenangan. 5)
Pemantapan dan percepatan reformasi birokrasi untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang bersih dan bebas dari KKN, melalui reformasi birokrasi diharapkan dapat membangun
perilaku aparatur negara yang berintegritas tinggi, bertanggungjawab, serta mengutamakan
pelayanan masyarakat 6) Diperlukan transparansi antar lembaga kepada masyarakat, dalam
masa Covid-19 saat ini sangat sulit untuk melakukan pengawasan langsung dilapangan.
Sehingga diperlukan sinergi yang kuat guna demi kepentingan nasional. KPK harus mampu
mengawasi secara rutin lembaga-lembaga negara, walaupun dalam kondisi pandemi Covid19
baik secara langsung ke lapangan atau melalui online (Sinuaraya et al. 2021).

Sumber:

Sinuraya TSD, Widodo, Suwarno P. 2021. Strategi Pemberantasan Dan Pencegahan Korupsi
Di Indonesia Dalam Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Education and development Institut
Pendidikan Tapanuli Selatan, 9(3): 125-130.

Muhtar MH. 2019. Model Politik Hukum Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Dalam
Rangka Harmonisasi Lembaga Penegak Hukum. Jambura Law Review, 1(1): 68-93.

Setiawan A. 2020. Keadilan Cephalus sebagai Solusi Penanganan Korupsi di Indonesia.


Jurnal Filsafat Indonesia, 3(3): 115-121.

Ariyanti DO, Ariyani N. 2020. Model Pelindungan Hukum Terhadap Justice Collaborator
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Faculty of law, 27(2):
328-344.
Pendapat Teman

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mengalami penuruan peringkat dari tahun 2019 peringkat 85
turun menjadi peringkat 102 pada tahun 2020. Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru
ini mengeluarkan penilaian terkait penanganan kasus korupsi pada Semester I 2021 yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia, di antaranya Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung. Dari keseluruhan temuan itu, ICW memberi nilai D
atau dikategorikan buruk kepada KPK. Sementara lain, Kejaksaan mendapat nilai C atau
cukup dalam penanganan korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, sistem
peradilan dan hukum di Indonesia belum membuat para koruptor jera. Menurut Peneliti ICW
Lalola Easter, fenomena itu muncul karena masih minimnya penggunaan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU TPPU) dalam tuntutan maupun pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan korupsi terdapat suatu kenyataan adanya
praktek penegakan hukum tebang pilih. Tidak saja hal ini bertentangan dengan prinsip hukum
semua warga negara memiliki hak untuk diperlakukan setara di depan hukum tetapi juga
diperlakukan secara tidak sama. Adapun yang menjadi sebab perlakukan penagakan hukum
aparat polisian dan kejaksaan bukan saja disebabkan karena kasus korupsi sering dipandang
sebagai kasus yang membawa `berkah', utamanya bagi pengacara, tetapi juga disebabkan
karena keberadaan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang KPK.
Terdakwa kasus korupsi hanya dijatuhi hukuman percobaan. Alhasil dengan vonis tersebut,
terdakwa korupsi tidak perlu lagi menjalani hukuman di penjara. Pemberantasan korupsi di
Indonesia mengalami kemunduran. Umumnya mereka dijatuhi vonis satu tahun penjara
dengan masa percobaan dua tahun. Upaya pemberantasan kejahatan korupsi melalui
penegakan hukum yang berkeadilan saat ini tampak masih memerlukan perjuangan berat.
Karena kejahatan korupsi merupakain kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang
berbeda dari kejahatan pidana biasa, maka upaya yang harus dilakukan memerlukan sistem
yang terpadu. Sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) pemberantasan korupsi,
memerlukan kemauan politik luar biasa sehingga Presiden sebagai kepala Negara menjadi
figur penting dalam menggerakan dan mengordinasikan peran Polisi, Jaksa, Pengadilan, dan
KPK menjadi kekuatan dahsyat, sehingga praktek KKN, seperti penyogokan,
penggelembungan harga, gratifikasi, dan penyalah gunaan kewenangan lainnya dilakukan
oknum aparat PNS atau pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah dapat
dipersempit ruang geraknya melalui cara-cara penegakan luar biasa dan terpadu. Indonesia
telah memiliki aturan hukum dan penegak hukum yang cukup memadai untuk memberantas
korupsi, namun permasalahannya terletak pada komitmen dalam penegakan hukum. Budaya
hukum masyarakat memiliki peranan penting dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.

Tanggapan terhadap pendapat teman

Saya sependapat dengan pernyataan yang disampaikan oleh  Fadia Fahira, Tiap tahun
Transparency International, sebuah organisasi nonPemerintah tingkat global mengeluarkan
sebuah hasil survei tentang korupsi. Hasil survei yang dirilis setiap tahunnya dikenal sebagai
Indeks Persepsi Korupsi (biasa disebut sebagai Corruption Perception Index, selanjutnya
disebut sebagai CPI). Skor CPI adalah sebuah gambaran tentang situasi dan kondisi korupsi
pada level negara atau teritori. Secara metodologi, CPI adalah komposit atas sejumlah indeks
dari sekian lembaga survei bergengsi di tingkat global. Setidaknya terdapat 13 sumber data
yang dikeluarkan oleh 12 lembaga internasional yang kredibel (Suyatmiko 2020). CPI
mengumpulkan data dari sejumlah sumber berbeda yang memberikan persepsi di kalangan
pelaku bisnis dan para pakar tentang tingkat korupsi di sektor publik. Di mana skor 0
dipersepsikan sebagai kondisi yang korup dan skor 100 sebagai kondisi yang dipersepsikan
bersih dari korupsi. Jadi, semakin tinggi angka skor CPI sebuah negara maka persepsinya
semakin bersih. Sebaliknya semakin rendah angka skor CPI maka persepsinya juga semakin
korup (Fajar et al. 2018).

CPI Indonesia tahun 2020 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 102 dari 180 negara
yang disurvei. Skor ini turun 3 poin dari tahun 2019 lalu yang berada pada skor 40/100. Pada
tahun 2019, skor CPI Indonesia adalah 40/100, di mana skor ini adalah pencapaian tertinggi
dalam perolehan skor CPI Indonesia sepanjang 25 tahun terakhir. Saat peluncuran CPI tahun
2019, Transparency International telah “mengingatkan” Indonesia agar lebih waspada dan
terus berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. Turunnya skor CPI 2020 disebabkan oleh
menurunnya sebagian besar indikator penyusun yang menurun tajam. Di mana lima
diantaranya turun secara signifikan. Sedangkan tiga lainnya berada pada posisi yang stagnan
dan hanya satu saja yang mengalami kenaikan. Meskipun tidak memberikan efek yang bisa
mendongkrak nilai agregat CPI 2020 (Suyatmiko 2020).

Selain kurangnya transparansi, korupsi disebabkan juga karena melemahnya nilai-nilai sosial,
kepentingan pribadi menjadi lebih utama dibanding kepentingan umum, serta kepemilikan
benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi prilaku sosial sebagaian besar
orang. Oleh sebab itu, dalam perspektif pemberantasan korupsi, integritas merupakan salah
satu pandangan untuk bagi seseorang untuk mampu melawan praktik korupsi. Integritas
merupakan perpaduan antara nilai akunyabilitas, kompetensi dan etika. Upaya pemberantasan
korupsi di masa mendatang harus mengacu pada perbaikan kualitas penegakan hukum,
kondusifitas iklim usaha dan investasi serta yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan
integritas politik. Jaminan kebebasan sipil dan memperluas ruang demokrasi, terutama di
masa pandemi juga menjadi hal yang tidak boleh diabaikan (Suyatmiko 2020).

Sumber :

Fajar M, Azhar Z. 2018. Indeks Persepsi Korupsi Dan Pembangunan Manusia Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Negara-Negara Asia Tenggara. Jurnal Eco Gen, 1(3): 681-690.

Suyatmiko WH. 2020. Memaknai Turunnya Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun
2020. Jurnal Antikorupsi, 7(1): 161-178

Anda mungkin juga menyukai