Anda di halaman 1dari 126

UNIVERSITAS GUNADARMA

FAKULTAS PSIKOLOGI

HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN


MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS
PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

Disusun Oleh :

Nama : Ramon Diaz


N.P.M : 10599179
N.I.R.M : 9931373800500339
Pembimbing : Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi.

Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat


Dalam mencapai Gelar Sarjana Satu (S1)

DEPOK
2007

i
LEMBAR PENGESAHAN

Komisi Pembimbing

No Nama Kedudukan
1. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Ketua
2. Hendro Prabowo, S.Psi Anggota
3. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Anggota

Panitia Ujian

No Nama Kedudukan
1. DR. Ravi Ahmad Salim Ketua
2. Prof. DR. Wahyudi Priyono Sekretaris
3. Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi Anggota
4. Hendro Prabowo, S.Psi Anggota
5. Praesti Sedjo, S.Psi, M.Si Anggota

Tanggal Lulus : 24 Maret 2007

Mengetahui
Depok, ……………………….

Pembimbing Bagian Sidang Ujian

(Anita Zulkaida, S.Psi, M.Psi) ( Drs. Edi Sukirman, M.M )

ii
HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI
AKADEMIS
PADA MAHASISWA YANG BEKERJA

Ramon Diaz
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara burnout dengan
motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja. Burnout adalah
sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak
mendukung serta idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung
dari waktu ke waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan
penurunan pencapaian prestasi pribadi. Motivasi berprestasi adalah proses
internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian
tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta
mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang
akademis. Motivasi berprestasi memiliki lima karakteristik yaitu resiko pemilihan
tugas, membutuhkan umpan balik, ketekunan, tanggung jawab dan inovatif.
Penelitian ini bersifat korelasional yang dilakukan terhadap 98 mahasiswa yang
bekerja dari lima lembaga perguruan tinggi di Jakarta dan di Depok, dengan
karakteristik antara lain berusia minimal 20 tahun, belum menikah, mengambil
Strata Satu dari berbagai jurusan.
Uji asumsi dalam penelitian ini yaitu uji normalitas dan uji linearitas. Uji
normalitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolgomorov Smirnov
dan Shapiro-Wilk Test. Untuk nilai signifikan pada burnout adalah 0,000
(p<0,05). Skor signifikan pada motivasi berprestasi adalah 0,000 (p<0,05). Hasil
uji normalitas menunjukan bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu
burnout dan motivasi berprestasi adalah tidak normal.
Hasil uji linearitas burnout dengan motivasi berprestasi menunjukkan
hasil yang linear dimana skor F sebesar 168,194 dan nilai signifikansi sebesar
0,000 (p<0,05). Untuk selanjutnya data penelitian akan dianalisis dengan
menggunakan perhitungan statistik non parametrik.
Dengan menggunakan uji korelasi Karl Pearson, didapat koefesien
korelasi (r) sebesar -0,798 dengan taraf signifikasi 0,000 (p<0,05). Hasil uji
korelai tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara burnout dengan motivasi berprestasi. Dari hasil penelitian diketahui
bahwa hipotesis penelitian ini diterima dan hal ini berarti terdapat hubungan
antara burnout dengan motivasi berprestasi.

Kata kunci: burnout, motivasi berprestasi,mahasiswa yang bekerja

iii
Kupersembahkan Hasil Kerja Keras Ini Untuk

Bapa yang di Sorga,

Orang Tuaku tercinta, Gerry & Diaphenia kedua adikku tersayang,

Priskila kekasihku, Sahabat-sahabat baikku,

ini adalah hasil doa, dukungan dan semangat yang kalian berikan

iv
Cerek air walaupun sesak dengan air panas sampai ke lehernya,
Ia tetap bernyanyi

Orang yang paling sukses dan berbahagia adalah orang yang menikmati segala keadaan
dengan bersyukur

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat anugerah-Nya
penulisan skripsi dengan judul: HUBUNGAN ANTARA BURNOUT DENGAN
MOTIVASI BERPRESTASI AKADEMIS PADA MAHASISWA YANG
BEKERJA, dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna, meskipun penulis telah berusaha sebaik mungkin
sesuai dengan kemampuan yang ada.
Penulis juga menyadari bahwa proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas
dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih
yang tak terhingga kepada :
1. Ibu Prof. Dr. E. S. Margianti SE., MM., selaku Rektor Universitas
Gunadarma.
2. Ibu Anita Zulkaida, S.Psi., M.Psi, selaku Dosen Pembimbing yang telah
dengan sabar dan penuh pengertian memberikan bimbingan kepada penulis
selama penyusunan skripsi. “Makasih ya Bu….”
3. Kedua Orang tuaku, Gerry, dan Peni “Terima kasih buat semuanya ... aku
sayang kalian ...”
4. Priskila Agustini yang selalu setia mendoakan, memberi semangat serta
dukungan juga mendengarkan keluhan-keluhan penulis selama ini. “Thanks
my dear …!!”
5. Keluarga Bapak Luhut Panggabean, seisi Pastori serta Jemaat GPI Cibubur.
“Makasih buat doa dan dukungannya…”
6. Aldie & Nain, Pendukung paling setia “Makasih buat pertolongannya…aku
doain sukses ya!”
7. Keluarga Bapak Philipus yang selalu mendoakan dan mendukung selama ini.
“ Makasih Pak dan Umi “
8. Sahabat juga adik-adikku yang luar biasa Asiando & Yohanes “Keep the faith
and thanks for the support”

vi
9. Bro Silvanus Makalew, Admin Server Danamon Bank, Jawa Barat. “Thanks
Bro …Ini Orang Danamon kan?!”.
10. Direktur PT. TM, Nopa Echo Raymond. “Thanks for some thinking…and the
night shift ...!!!”
11. M. Oscar S. Petualang PRO-XL. “Thanks for your pray … when is the next
trip?”
12. G. I. Fellowship, Natan, Yosia, Budi dan kawan-kawan seperjuangan.
“Thanks for always encourage me …”
13. Mahasiswa-mahasiswi UI, UP, Gunadarma, STMIK Nusa Mandiri, dan Yarsi.
“Thanks dah ngisi angket, selamat belajar dan bekerja.!!”

Serta semua pihak yang telah memberikan kontribusi yang tidak


disebutkan satu persatu. Akhir kata penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi para rekan mahasiswa maupun semua pihak yang
terkait.

Jakarta, 24 Maret 2007


Penulis

( Ramon Diaz )

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
ABSTRAKSI ............................................................................................................ iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiii

BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................... 1


A. Latar Belakang Penelitian .................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5

BAB II :TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 6


A. Motivasi Berprestasi Akademis ........................................................ 6
1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis ................................... 6
2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis ............................... 10
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Motivasi Berprestasi Akademis ..................................................... 13
B. Burnout ............................................................................................. 14
1. Pengertian Burnout ....................................................................... 14
2. Dimensi Burnout ........................................................................... 19
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout .................................. 20
C. Mahasiswa ......................................................................................... 27
1. Pengertian Mahasiswa.................................................................... 27
2. Mahasiswa yang bekerja ................................................................ 28

viii
D. Hubungan Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis Pada
Mahasiswa yang bekerja .................................................................... 29
E. Hipotesis ............................................................................................ 31

BAB III :METODE PENELITIAN .................................................................... 32


A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian ........................................... 32
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian .......................................... 32
C. Subjek Penelitian ............................................................................... 33
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 33
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data ............................... 36
F. Teknik Analisa Data .......................................................................... 37

BAB IV : PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ............................... 38


A. Pelaksanaan Penelitian ...................................................................... 38
B. Hasil Penelitian ................................................................................. 39
1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala ..................................... 39
2. Uji Asumsi ..................................................................................... 41
3. Hasil Analisia Data ....................................................................... 43
4. Deskripsi Subjek ........................................................................... 44
C. Pembahasan ....................................................................................... 46

BAB V : PENUTUP ........................................................................................... 54


A. Simpulan ........................................................................................... 54
B. Saran .................................................................................................. 55

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 56

ix
LAMPIRAN

LAMPIRAN A
Identitas dan jumlah Subjek Penelitian
Data deskriptif Motivasi Berprestasi Akademis
Data deskriptif Burnout
Pie Chart data deskriptif

LAMPIRAN B
Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Skala Motivasi Berprestasi
Akademis
Data Valid Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis
Hasil Uji Validitas & Reliabilitas Burnout
Data Valid Item Skala Burnout

LAMPIRAN C
UJI ASUMSI
1. Uji Normalitas
2. Uji Linearitas

LAMPIRAN D
Hasil Korelasi

LAMPIRAN E
Gambar

LAMPIRAN F
Alat Ukur

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis ............... 34

Tabel 2 : Tabel Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis ........ 34

Tabel 3 : Penilaian pada Skala Burnout ....................................................... 35

Tabel 4 : Tabel Sebaran Item Skala Burnout ............................................... 35

Tabel 5 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi

Berprestasi Akademis ................................................................... 40

Tabel 6 : Tabel Distribusi Item Valid pada Skala Burnout .......................... 41

Tabel 7 : Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan

SPSS 12.00 for Windows ................................................................ 43

Tabel 8 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Usia...................................... 44

Tabel 9 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 45

Tabel 10 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Status Tempat Tinggal ....... 45

Tabel 11 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Motivasi

Mengambil Kuliah ......................................................................... 45

Tabel 12 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Waktu Khusus Belajar......... 46

Tabel 13 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Mengatasi

Kesulitan Belajar............................................................................ 46

Tabel 14 : Rerata Empirik dan Rerata Hipotetik Skala Penelitian .................. 48

xi
Tabel 15 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas .............................. 49

Tabel 16 : Tabel Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang

Memuaskan di Tempat Kerja ......................................................... 51

Tabel 17 : Tabel Deskripsi Rerata Dimensi Burnout ..................................... 52

Tabel 18 : Tabel Deskripsi Rerata Aspek-aspek

Motivasi Berprestasi Akademis ..................................................... 52

xii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1: Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi

dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows ............. 42

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Memasuki akhir tahun 1970 laju informasi-komunikasi, ekonomi dan


teknologi mulai berkembang dengan cepat. Begitu banyak alat dan media yang
dihasilkan dari berbagai inovasi yang bertujuan memajukan industri dalam
berbagai bidang. Pada saat itu industri informasi-komunikasi, ekonomi dalam hal
ini perbankan serta teknologi alat-alat rumah tangga hingga pabrik besar mulai
mengalami perubahan serta perkembangan yang luar biasa.
Perkembangan begitu terasa, dalam bidang informasi komunikasi terlihat
dengan semakin berkembangnya industri surat kabar, radio serta pertelevisian.
Dalam bidang ekonomi, pada saat itu perekonomian dunia semakin membaik
terutama sektor perbankan dimana inovasi alat serta layanan menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat luas untuk mulai menabung. Terlebih lagi di bidang
teknologi, berbagai alat tercipta untuk berbagai keperluan, mulai dari peralatan
rumah tangga, peralatan kantor, peralatan pendidikan, peralatan kesehatan hingga
peralatan industri besar seperti pabrik. Dalam bidang pendidikan, banyak
perguruan tinggi yang berpartisipasi untuk melakukan berbagai penelitian demi
kemajuan industri. Kemajuan dan perkembangan tersebut terus berlanjut hingga
memasuki tahun 1990 dimana laju informasi-komunikasi, ekonomi dan teknologi
mengalami transformasi ke era komputerisasi yang lebih dikenal industri global
(Wikipedia, 2005).
Perubahan serta perkembangan tersebut tentu saja membangkitkan
kompetisi diantara perusahaan-perusahan yang bergerak dalam industri informasi-
komunikasi, ekonomi, dan teknologi. Kinerja serta kemampuan karyawan mulai
dituntut oleh perusahaan demi persaingan industri global. Bahkan beberapa
perusahaan mulai menetapkan standar dalam penerimaan, seleksi serta

1
2

penempatan karyawan dan salah satu standar tersebut adalah tingkat pendidikan.
Hal ini tentunya demi kemajuan serta eksistensi perusahaan dalam industri global.
Standar tingkat pendidikan tersebut menyebabkan terjadi persaingan
diantara karyawan selaku tenaga kerja dalam mempertahankan posisinya dari
calon tenaga kerja baru dan juga meraih posisi atau jabatan yang lebih baik dalam
perusahaan selain memiliki prestasi yang baik dalam pekerjaan. Oleh sebab
persaingan yang semakin meningkat diantara para karyawan maupun tenaga kerja
baru maka diawal tahun 1980-an banyak karyawan yang mulai memikirkan
bahkan kembali menduduki bangku kuliah di perguruan tinggi.
Fenomena baru muncul, yaitu mahasiswa yang bekerja. Lulusan sekolah
menengah atas dan setingkat yang tak mampu kuliah, memilih bekerja lebih
dahulu, kemudian kuliah dengan hasil atau gaji yang didapatkan. Ada banyak
individu yang adalah mahasiswa karena banyak hal kemudian bekerja untuk
mencukupi biaya kuliah. Terlepas dari semua itu individu tersebut adalah
mahasiswa yang berkewajiban untuk meraih prestasi akademis (Orsgaz dkk.,
2001).
Untuk meraih prestasi akademis yang baik ada faktor yang tidak dapat
dilupakan yaitu motivasi berprestasi dalam hal ini motivasi berprestasi akademis.
Dalam dunia bisnis, di sekolah, dan berbagai profesi, motivasi berprestasi menjadi
suatu prediktor penting untuk kesuksesan. Pandangan umum juga memprediksi
bahwa orang-orang yang paling sukses adalah orang-orang yang mempunyai dua
motif, yaitu motivasi berprestasi dan motivasi berkompetisi yang kuat (Riyanti &
Prabowo, 1998). Winkel (1991) mengatakan, bahwa dalam rangka belajar di
sekolah atau di sebuah lembaga pendidikan, motivasi berprestasi dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar
yang maksimal demi penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi maksimal
yang dimaksudkan, ditentukan oleh siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan
yang dimilikinya. Motivasi berprestasi dapat dilihat seberapa sering dan baik
mahasiswa itu sendiri dengan tekun menghadiri kuliah, kualitas pengerjaan tugas,
seperti paper, quiz, dan ujian semester.
3

Kondisi tersebut menyebabkan banyak perguruan tinggi berusaha


meningkatkan, motivasi mahasiswa untuk meraih prestasi akademis yang tinggi,
antara lain dengan memberikan reward, seperti nilai tambah kehadiran, beasiswa
kuliah, penghargaan, mengikutsertakan pada perlombaan ilmiah mahasiswa dan
lainnya. Ini membuktikan betapa pentingnya motivasi berprestasi dalam mencapai
prestasi akademis yang tinggi.
Mahasiswa yang bekerja biasanya mengambil jam kuliah pada sore sampai
malam hari, karena di pagi harinya mereka harus bekerja. Dapat dikatakan
mahasiswa yang bekerja, sebagai individu memiliki status lain yaitu pegawai atau
karyawan di suatu lembaga usaha (Sarwono, 1981). Dalam hal ini mahasiswa
yang bekerja tentunya memiliki waktu yang sedikit dibanding mahasiswa yang
tidak bekerja. Mahasiswa yang bekerja, harus mengelola waktu belajar dalam
waktu yang sempit. Seringkali dalam kondisi lelah setelah pulang kantor, harus
mengikuti kuliah, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan dengan terburu-
buru, bahkan bila terlalu lelah, banyak mahasiswa yang memutuskan untuk tidak
mengikuti perkuliahan malam itu.
Masalah lainnya, adalah berbagai problematika yang terjadi di tempat
kerja dapat memberi dampak terhadap proses belajar mahasiswa yang bekerja.
Masalah-masalah yang sering dihadapi di tempat kerja antara lain, rutinitas
pekerjaan yang monoton, konflik dan hubungan yang tak harmonis sesama
pegawai atau dengan atasan, persaingan yang ketat, tuntutan kerja yang makin
bertambah, perkerjaan yang bertumpuk, serta gaji yang tak sesuai. Masalah
tersebut adalah sedikit hal yang menyebabkan kelelahan baik emosi dan fisik pada
karyawan (Dwivedi, 1981)
Salah satu yang dihadapi oleh dunia kerja hari-hari ini adalah burnout
pada karyawan disetiap jenjang jabatan dan pekerjaan. Dalam sebuah artikel bertajuk
“Membunuh Burnout, memanfaatkan Stress” pada harian Republika, 5 Agustus 1993
(dalam Sutjipto, 2001) dijelaskan bahwa burnout merupakan kondisi emosional
dimana seseorang merasa lelah dan jenuh secara mental ataupun fisik sebagai
akibat tuntutan pekerjaan yang meningkat. Cordes dan Daugherty (dalam Cooper
4

dkk., 2001) menjelaskan bahwa burnout adalah kelelahan yang amat sangat
dimana membuat kinerja individu terhambat bahkan berhenti.
Saat ini burnout menjadi masalah krusial di dunia kerja, karena seringkali
menghambat laju kinerja para karyawan yang akhirnya merugikan perusahaan.
Burnout seringkali muncul di dunia kerja dikarenakan rutinitas serta tekanan yang
tinggi dalam kesehariaannya (Cooper dkk., 2001). Sebab itu banyak perusahaan
mencari cara untuk membantu setiap karyawan yang ada untuk menanggulangi
burnout di tempat kerja.
Mohan (dalam Dwivedi, 1981) menjelaskan bahwa kelelahan yang
disebabkan burnout di tempat kerja memberi dampak pada aktivitas lain dalam
hidup karyawan. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya perhatian pada sekitar,
menurunnya kemampuan persepsi dan berpikir, menurunnya motivasi terhadap
kegiatan lain, dan menurunnya kegiatan secara fisik dan mental di luar jam kerja.
Narayan dan Shanmugam (dalam Dwivedi, 1981) sejak tahun 1971 sampai
dengan 1973 melakukan penelitian terhadap kelelahan di kalangan karyawan
dengan menggunakan berbagai alat ukur yang bertujuan mengukur tingkat
kewaspadaan, konsentrasi, hubungan interpersonal serta istirahat kerja. Hasilnya
menunjukan adanya penurunan motivasi, menurunnya kinerja inteligensi,
bertambahnya tingkat kecelakaan kerja serta penurunan dalam seksualitas.
Penelitian yang dilakukan Grenberger & Steinberg (dalam Santrock, 1990)
menunjukkan adanya dampak yang dialami oleh mahasiswa yang bekerja, yaitu
mereka sulit menyeimbangkan tuntutan di dunia kerja, pendidikan, keluarga dan
teman-teman mereka. Sementara itu Steinberg (1993) menjelaskan bahwa 20 jam
kerja perminggu akan memberi pengaruh yang kurang baik terhadap prestasi
akademis maupun terhadap kondisi psikologis bagi mahasiswa yang bekerja.
Spickard (2001) menjelaskan bahwa pada mahasiswa yang bekerja salah
satu penyebab turunnya prestasi di bangku perkuliaan adalah faktor pekerjaan.
Masalah di tempat kerja seperti rutinitas kerja, pekerjaan yang bertumpuk,
persaingan yang ketat, dan hubungan yang kurang harmonis dengan sesama
karyawan atau dengan atasan serta jenis pekerjaan yang berat menimbulkan
kelelahan yang berat. Hal itu berdampak bagi motivasi berprestasi pada
5

mahasiswa yang bekerja. Pada mahasiswa yang bekerja masalah yang dihadapi di
tempat kerja amat berpengaruh pada tingkat konsentrasi dan penalaran terhadap
perkuliahan, serta stamina untuk menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Uraian
tersebut memberi gambaran bahwa kondisi di tempat kerja sangat berdampak
pada kegiatan perkuliahan mahasiswa yang bekerja.
Dengan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian
ini adalah apakah ada hubungan antara burnout di tempat kerja dengan motivasi
berprestasi akademis pada mahasiswa yang bekerja?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji hubungan antara burnout
di tempat kerja dengan motivasi berprestasi akademis pada mahasiswa yang
bekerja.

C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut ini :
1. Praktis :
Menambah informasi bagi para mahasiswa khususnya yang bekerja terutama
tentang hubungan antara burnout dan motivasi berprestasi, sehingga dapat
membantu para mahasiswa dalam mengcoping / menyikapi keadaan tersebut.

2. Teoritis :
Memberikan masukan bermanfaat bagi ilmu psikologi, khususnya ilmu
Psikologi Industri Organisasi dan Psikologi Pendidikan, dengan mengungkap
lebih jauh tentang burnout dan motivasi berprestasi serta hubungan antara
kedua kedua konsep tersebut. Pada penelitian ini juga disusun skala burnout dan
motivasi berprestasi yang akan menambah pengetahuan tentang pengembangan
alat ukur psikologis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Motivasi Berprestasi Akademis

1. Pengertian Motivasi Berprestasi Akademis


Seorang gadis yang ingin menjadi dokter. Seorang lelaki yang berjuang
untuk memiliki kekuasaan politik. Seseorang yang mengalami penderitaan yang
hebat menginginkan kelegaan. Seseorang yang sangat kelaparan dan hanya
berpikir tentang makanan. Seorang anak yang kesepian dan berharap memiliki
teman. Seorang pria melakukan pembunuhan dan polisi mengatakan bahwa motif
pembunuhan tersebut adalah balas dendam. Seorang wanita yang bekerja keras
untuk mencapai rasa sukses dan mampu. Hal-hal tersebut adalah beberapa motif
yang berperan dalam perilaku manusia. Motif menggerakkan secara keseluruhan
mulai dari keinginan dasar, seperti lapar dan seks, sampai kepada hal yang rumit,
yaitu motif-motif jangka panjang, seperti ambisi politik, keinginan untuk
melayani kemanusiaan, atau kebutuhan untuk menguasai lingkungan sekitarnya
(Morgan dkk., 1986).
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa perilaku itu didorong dan
diarahkan pada tujuan.Contoh-contoh tersebut juga menunjukan bahwa perilaku
yang mengarah pada suatu tujuan cenderung untuk menetap. Suatu istilah yang
menunjuk kepada dorongan dan kekuatan yang menentukan keberhasilan perilaku
yang yang tetap pada tujuan tertentu. Istilah itu adalah motivasi (Morgan dkk.,
1986).
Banyak sekali orang yang tertarik dengan kata motivasi, bahkan
melakukan penyelidikan terhadap alasan mengapa seseorang melalukan suatu
tindakan yang tidak biasanya (Hollyforde & Whiddet, 2003).
Begitu banyak definisi dari motivasi.yang dikemukakan oleh para ahli.
Baron (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) menyatakan bahwa motivasi adalah
proses internal yang mengaktifkan, mengarahkan dan menjaga perilaku (terutama

6
7

perilaku yang memiliki tujuan). Seiring dengan pernyataan tersebut Robertson dan
Smith (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003), menyatakan motivasi adalah suatu
konsep psikologis yang terkait dengan kekuatan dan arah dari perilaku manusia.
Atkinson (1964) memandang motivasi sebagai suatu disposisi latent yang
berusaha kuat untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Sepanjang disposisi
tersebut belum terpenuhi maka ia akan selalu muncul kepermukaan. Heckhansen
(dalam Asnawi, 2002) memberi pandangan tentang motivasi yaitu sesuatu yang
potensial dalam diri manusia yang merupakan keadaan normal tetapi juga sangat
menentukan bagaimana suatu situasi menjadi memuaskan.
Teevan dan Smith memandangan motivasi sebagai suatu konstruksi yang
mengaktifkan perilaku (dalam Asnawi, 2002). Terry dan Leslie (dalam Asnawi,
2002) menyatakan motivasi membuat orang bekerja lebih berprestasi. Dengan
demikian motivasi dipandangnya sebagai suatu daya dorong untuk berbuat
sesuatu dalam kapasitas dan produktivitas optimal atau maksimal.
Asnawi (2002) berpendapat motivasi adalah konstruksi dan proses
interaksi antara harapan dan kenyataan masa yang akan datang baik dalam jangka
pendek, sedang atau panjang.
McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) merupakan salah satu tokoh
penganut teori konten, yaitu menekankan pada faktor “apa” yang ada dalam diri
manusia yang menyebabkan manusia tersebut berperilaku tertentu. McClelland
mengatakan bahwa seseorang memiliki kebutuhan yang menyebabkan mereka
terdorong untuk berperilaku untuk mengurangi atau memenuhinya. Sebab itu
seseorang akan berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada pemuasan
dari kebutuhan mereka.
Pada awalnya McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) menganut suatu
pemahaman bahwa motif seseorang telah terbentuk atau dipelajari sejak masa
dini, dan sekali motif tersebut terbentuk maka akan sukar untuk mengubahnya.
Dengan latar belakang pemahaman tersebut McClelland tertarik untuk meneliti
apakah benar motif tersebut tidak dapat diubah. Ternyata dalam hasil
pengamatannya lebih lanjut, banyak hal yang dapat merubah motivasi seseorang,
8

contohnya motif seseorang dapat berubah saat seseorang sakit dan sembuh atau
mengalami jatuh cinta.
Menurut McClelland (dalam McCelland dkk., 1953) pada saat itu,
motivasi adalah pengungkapan kembali (tujuan) oleh isyarat perubahan dalam
situasi affektif. Pengungkapan kembali tersebut terjadi sebagai hasil dari
pengalaman sebelumnya, seperti contoh seorang yang sakit dan akhirnya sembuh.
Motif dapat muncul dan dipelajari karena adanya perubahan suasana hati yang
timbul karena adanya perbedaan harapan dan kenyataan yang diamati.
McClelland (dalam McCelland dkk, 1953), mengungkapkan dalam
mendefinisikan motif harus dibedakan jenis harapan yang terlibat didalamnya,
kemudian dasar tindakkan, yaitu sampai dimana harapan-harapan tersebut dapat
menjadi suatu tujuan yang dapat dicapai. McClelland (dalam McCelland dkk.,
1953), mengemukakan ada beberapa jenis motivasi yang cenderung ditampilkan
dalam perilaku sehari-hari. Motif-motif tersebut disebut juga motif sosial, yaitu:
1) Motivasi Berprestasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku
seseorang dengan menitik beratkan kepada pencapaian prestasi
tertentu.
2) Motivasi Berafiliasi, merupakan motif yang mengarahkan perilaku
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain atau dengan
lingkungan.
3) Motivasi Berkuasa, merupakan motif yang mengarahkan perilaku
seseorang untuk mencapai kepuasan dengan menguasai dan
mempengaruhi orang lain.
McClelland (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) merasakan bahwa
motivasi berprestasi sangat berperan dalam semua budaya kehidupan manusia,
karna semua manusia dari berbagai latar selalu berusaha mencapai keberhasilan
dan menjauhi kegagalan. Hal ini adalah hasil pembelajaran bahwa dalam
keseluruhanya masyarakat selalu memberikan penghargaan terhadap keberhasilan
(berupa pujian, topik pembicaraan) begitu juga dalam keluarga (berupa pelukan,
senyuman dan sanjungan). Oleh karena itu apabila seseorang selalu berusaha
9

mengerjakan yang lebih baik maka dapat dikatakan mempunyai motivasi


berprestasi tinggi.
Asnawi (2002) menjelaskan Motivasi berprestasi berhubungan dengan
kemampuan untuk mengatasi rintangan dan memelihara semangat kerja yang
tinggi, bersaing melalui usaha keras, untuk mengungguli orang lain. McClelland
dan Burnham (dalam Asnawi, 2002) menjelaskan motivasi berprestasi adalah
dorongan untuk mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik atau lebih efesien dari
sebelumnya. Sedangkan Dwivedi dan Herbert (Dwivedi, 1981) mengartikan
motivasi berprestasi sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang
didasarkan pada ukuran keunggulan dibanding standarnya sendiri maupun orang
lain. Menurut Davis (Hollyforde dan Whiddet, 2003), motivasi berprestasi adalah
dorongan untuk mengatasi rintangan dan mencapai keberhasilan, sehingga
menyebabkan individu bekerja lebih baik lagi.
Gage dan Berliner (1992) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah
motivasi untuk sukses, untuk menjadi yang terbaik dalam sesuatu hal. Hollyforde
dan Whiddet (2003) menyatakan basis dari motivasi berprestasi adalah kekuatan
untuk mencapai kesuksesan. Tentunya setiap individu memiliki definisi tentang
kesuksesan pada diri mereka masing. Semakin sukses seseorang mencapai
tujuannya, semakin seseorang tersebut memiliki kepuasan dan pengalaman dalam
pencapaiannya, sebab itu mereka akan berjuang untuk melakukan dan
mendapatkan hal tersebut di masa yang akan datang.
Atkinson (dalam Hollyforde & Whiddet, 2003) mendefinisikan motivasi
berprestasi sebagai sebuah kemampuan untuk mengalami kebanggaan dalam
penyelesaian tugas demi tugas. Semakin seseorang berhasil dalam suatu tugas
yang sama semakin berkurang dorongan pencapaian yang maksimal untuk
menyelesaikannya. Hal ini disebabkan adanya suatu asumsi semakin besar rasa
pencapaian tugas apabila seseorang diberikan kesempatan menyelesaikan tugas
yang lebih sulit dari pada tugas sebelumnya atau tugas yang lebih mudah.
Murray (dalam Chaplin, 1999) mendefinisikannya dengan bahasa yang
lebih mudah, yaitu motivasi berprestasi adalah motif untuk mengatasi rintangan-
10

rintangan, atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan-


pekerjaan yang sulit.
Istilah akademis sangat terkait hubungannya dengan aktivitas keilmuan
dan lembaganya seperti sekolah dan perguruan tinggi dimana terjadi proses
belajar mengajar. Winkel (1991) menjelaskan bahwa dalam rangka aktivitas
belajar di sekolah, motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai daya penggerak
dalam diri siswa untuk mencapai taraf prestasi belajar yang maksimal demi
penghargaan terhadap diri sendiri. Taraf prestasi belajar yang maksimal yang
dimaksud adalah penentuan dari siswa itu sendiri, sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya.
Berdasarkan seluruh uraian di atas serta definisi-definisi tentang motivasi
dan motivasi berprestasi dapat disimpulkan bahwa motivasi berprestasi akademis
adalah proses internal manusia yang mengarahkan dan menggerakan perilaku
pada pencapaian tujuan serta kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala
rintangan serta mencapai keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam
bidang akademis.

2. Karakteristik Motivasi Berprestasi Akademis


Tingkat dimana orang dengan motivasi berprestasi yang kuat dapat
menunjukan perilaku yang berorientasi ke prestasi tergantung banyak faktor
(Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998). Salah satu faktor itu adalah -takut
akan kegagalan- yang dikatakan menghambat pemunculan perilaku berprestasi
(Atkinson; Atkinson & Birch; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1996). Untuk
orang yang takut gagal biasanya kebutuhan berprestasinya relatif rendah, motivasi
berprestasi mengekspresikan dirinya dengan berbagai cara (McClelland & Winter;
Hoyenga & Hoyenga; Morgan dalam Riyanti & Prabowo, 1998).

a. Resiko Pemilihan Tugas


Orang dengan motivasi berprestasi yang tinggi lebih suka bekerja dengan
tantangan yang moderat yang menjanjikan kesuksesan. Mereka tidak suka
11

melakukan pekerjaan yang mudah, dimana tidak ada tantangan sehingga tidak
ada kepuasan untuk kebutuhan berprestasinya, mereka juga tidak suka
melakukan pekerjaan yang sulit dimana kemungkinan untuk suksesnya kecil.
Jadi orang dengan motivasi berprestasi tinggi adalah orang yang realistis
dalam memilih tugas, pekerjaan, dan lapangan kerja, yaitu mereka lebih suka
mencocokkan antara kemampuan mereka dan apa yang dituntut dari tugas atau
pekerjaan itu.
Dalam konteks akademis maka tugas-tugas yang dimaksud adalah tugas
yang didapat dalam perkuliahan, yaitu tugas-tugas yang diberikan oleh dosen,
contohnya laporan praktikum, makalah, presentasi dan lainnya.

b. Membutuhkan Umpan balik


Orang dengan motivasi berprestasi tinggi menyukai tugas-tugas dimana
prestasi mereka dapat dibandingkan dengan prestasi orang lain; mereka
menyukai umpan balik “bagaimana mereka melakukannya”. Umpan balik
dibutuhkan agar dapat meningkatkan efektivitas dari apa yang dilakukan untuk
dapat mencapai apa yang diinginkan (dalam Amir, 1995).
Orang dengan motivasi berprestasi rendah cenderung tidak menyukai
umpan balik terutama karena mereka tidak suka jika kesalahan-kesalahan yang
telah dibuatnya diketahui oleh orang lain. Umpan balik dalam konteks
akademis yang dimaksud, dapat berupa saling membandingkan nilai hasil
belajar antara lain seperti hasil ujian dan indeks prestasi.

c. Ketekunan
Orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung tetap
mempertahankan pekerjaan yang sudah mereka capai yang berhubungan
dengan karir atau merefleksikan ciri pribadi mereka (misalnya kecerdasan)
yang dilibatkan untuk mencapai puncak.
Cooper (dalam Oktarina, 2002) mengatakan bahwa orang dengan motivasi
berprestasi tinggi akan lebih bertahan atau tekun dalam mengerjakan tugas
walaupun tugas tersebut menjadi semakin sulit. Dalam konteks akademis,
12

siswa atau mahasiswa dengan hasrat berprestasi tinggi menpunyai keuletan.


Sebaliknya orang yang memiliki motivasi rendah cenderung cepat menyerah
apabila berhadapan dengan tugas yang semakin sulit.

d. Tanggung Jawab
Bila orang dengan motivasi berprestasi tinggi sukses, mereka cenderung
menaikkan tingkat aspirasi mereka dalam cara yang realistis sehingga mereka
akan terus bergerak ke tugas-tugas yang lebih menantang dan sulit.
Orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi merasa dirinya
bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakan. Mereka akan berusaha untuk
menyelesaikannya dan tidak akan meninggalakan tugas tersebut walau
semakin sulit sebelum mereka menyelesaikannya (McClelland, 1961).

e. Inovatif
Orang dengan motivasi berprestasi tinggi senang bekerja dalam situasi
dimana dia dapat mengontrol hasilnya, mereka bukan penjudi. McClelland
(1961) menjelaskan orang dengan motivasi berprestasi tinggi cenderung
bertindak kreatif dengan mencari cara untuk menyelesaikan tugas seefesien
dan seefektif mungkin.

Menurut Hollyforde dan Whiddett (2003) karakteristik seseorang dengan


motivasi berprestasi tinggi yaitu:
a. Individu tersebut bertanggung jawab atas hasil yang akan dicapai
b. Individu tersebut menghendaki berbagai umpan balik terhadap hasil yang
dicapai.
c. Individu tersebut memiliki kriteria dari tingkat kesukaran jenis tugas yang
diambil
Asnawi (2002) menjelaskan manifestasi dari motivasi berprestasi akan
terlihat pada beberapa cirri perilaku seperti:
a. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya
b. Mencari umpan balik terhadap perbuatannya
13

c. Memilih resiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya


d. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif
Dengan demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa uraian
beberapa tokoh diatas memiliki beberapa kesamaan tentang karakteristik orang
dengan motivasi berprestasi tinggi, yaitu: Ketekunan, Tanggung Jawab,
Membutuhkan Umpan Balik, Resiko Pemilihan Tugas, dan Inovatif.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Berprestasi Akademis


Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain (Asnawi, 2002):
a. Tingkah laku dan karakteristik yang ditiru anak oleh anak melalui
observational learning. Anak-anak belajar dengan mengamati dan meniru
orang tua serta orang lain yang dijadikan model.
b. Harapan orang tua terhadap anak, dorongan orang tua agar anak mencapai
prestasi yang maksimal
c. Lingkungan
d. Penekanan kemandirian
Juvonen (2003) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi,
yaitu:
a. Pola asuh terhadap anak, penanaman nilai serta cita-cita dari orang tua
b. Lingkungan Sekitar, norma sosial serta harapan masyarakat disekitarnya
c. Proses pembelajaran oleh anak itu sendiri
Tokoh lainnya Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan bahwa
faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi adalah:
a. Pola asuh anak, dalam hal ini penanaman nilai serta harapan orang tua
menjadi dorongan terkuat untuk berprestasi dengan maksimal
b. Lingkungan, dimana asumsi dan nilai sosial yang ada memberi masukan
serta perbandingan terhadap tujuan pencapaian.
Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi
berprestasi akademis adalah pola asuh anak, lingkungan sekitar serta proses
pembelajaran dari seorang anak.
14

B. Burnout

1. Pengertian Burnout
Istilah burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada
masyarakat oleh Herbert Freudenberger pada tahun 1973. Freudenberger adalah
seorang ahli psikologis klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang
menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para
sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan
dalam sebuah jurnal psikologi profesional pada tahun 1973 yang disebut sebagai
sindrom burnout (Farber, 1991). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami
kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan
berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa
yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang
terbakar habis (burned-out). Suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah
dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah
kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang terkena burnout,
dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh
masalah seperti gedung yang terbakar tadi.
Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada
tahun 1960-an untuk merujuk pada efek-efek penyalahgunaan obat-obat terlarang
yang kronis (Freudenberger & Richelson dalam Farber, 1991). Deskripsi awal
Freudenberger mengenai seseorang yang menderita karena sindrom burnout
sebenarnya diawali pada dirinya sendiri. Ia menyatakan bahwa:

" ….dan anda menempatkan sebagian besar diri anda di dalam pekerjaan.
Anda secara gradual terbentuk di dalam lingkungan sekitar anda dan di dalam
diri anda sendiri ada perasaan bahwa mereka membutuhkan anda. Anda
merasakan sense of commitment yang utuh" (Farber, 1991).

Maksudnya adalah jika kita bekerja pada suatu pelayanan, misalnya guru,
maka kita akan terbentuk secara keseluruhan oleh atmosfir layanan pembelajaran
secara intens dengan membiarkan keterlibatan pribadi kita dan sumber emosi kita
sampai pada akhirnya kita menemukan diri kita dalam keadaan kelelahan.
15

Gambaran tersebut menjelaskan, bahwa terdapat pemahaman awal


mengenai burnout adalah suatu bentuk kelelahan yang disebabkan karena
seseorang bekerja terlalu rutin, berdedikasi dan berkomitmen, bekerja terlalu
banyak dan terlalu lama serta memandang kebutuhan dan keinginan mereka
sebagai hal kedua. Hal tersebut menyebabkan mereka merasakan adanya tekanan-
tekanan untuk memberi lebih banyak. Tekanan ini bisa berasal dari dalam diri
mereka sendiri, dari klien/siswa yang amat membutuhkan, dan dari kepungan para
administrator (penilik/pengawas dan sebagainya).
Dengan adanya tekanan-tekanan ini, maka dapat menimbulkan rasa
bersalah, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk menambah energi
dengan lebih besar. Ketika realitas yang ada tidak mendukung idealisme mereka,
maka mereka tetap berupaya mencapai idealisme tersebut sampai akhirnya sumber
diri mereka terkuras, sehingga mereka mengalami kelelahan atau frustrasi yang
disebabkan terhalangnya pencapaian harapan (Freudenberger dalam Farber, 1991)
Penelitian tentang burnout sendiri sebenarnya telah berlangsung selama 20
tahun (Schaufeli dkk., 1993) sehingga menghasilkan berbagai ragam pengertian.
Maslach dan Jackson dalam penelitiannya tersebut tentang burnout pada bidang
pekerjaan yang berorientasi melayani orang lain seperti bidang kesehatan mental,
bidang pelayanan kesehatan, bidang pelayanan sosial, bidang penegakan hukum,
maupun bidang pendidikan, dalam perkembangannya telah memberikan
sumbangan yang sangat berarti dalam memahami burnout. Mereka menemukan
bahwa burnout merupakan suatu pengertian yang multidimensional. Burnout
merupakan sindrom psikologis yang terdiri atas tiga dimensi yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi, maupun penurunan pencapaian prestasi pribadi
(Schaufeli dkk., 1993).
Kemudian Pines dan Aronson (1989) mendefinisikan burnout sebagai
kelelahan secara fisik, emosional dan mental yang disebabkan keterlibatan jangka
panjang dalam situasi yang penuh tuntutan emosional. Menurut mereka burnout
dialami oleh seseorang yang bekerja di sektor pelayanan sosial yang cukup lama.
Pada jenis pekerjaan tersebut, menurutnya, seseorang menghadapi tuntutan dari
klien, tingkat keberhasilan dari pekerjaan rendah, dan kurangnya penghargaan
16

yang adekuat terhadap kinerja pemberi layanan. Situasi menghadapi tuntutan dari
penerima layanan menggambarkan keadaan yang menuntut secara emosional.
Pada akhirnya dalam jangka panjang seseorang akan mengalami kelelahan, karena
ia berusaha memberikan sesuatu secara maksimal, namun memperoleh apresiasi
yang minimal. Gambaran dari ketiga dimensi tersebut menurut Pines dan Aronson
(dalam Wally & Huby, 2000) adalah:
a. Kelelahan fisik, yaitu suatu kelelahan yang bersifat sakit fisik dan energi
fisik. Sakit fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung,
rasa ngilu, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu,
sering terkena flu, susah tidur, mual-mual, gelisah, dan perubahan
kebiasaan makan. Energi fisik dicirikan seperti energi yang rendah, rasa
letih yang kronis, dan lemah.
b. Kelelahan emosional, yaitu suatu kelelahan pada individu yang
berhubungan dengan perasaan pribadi yang ditandai dengan rasa tidak
berdaya dan depresi. Kelelahan emosi ini dicirikan antara lain rasa bosan,
mudah tersinggung, sinisme, perasaan tidak menolong, ratapan yang tiada
henti, tidak dapat dikontrol, suka marah, gelisah, tidak peduli terhadap
tujuan, tidak peduli dengan peserta didik orang lain, merasa tidak memilki
apa-apa untuk diberikan, sia-sia, putus asa, sedih, tertekan, dan tidak
berdaya (Sutjipto, 2001).
c. Kelelahan mental, yaitu suatu kondisi kelelahan pada individu yang
berhubungan dengan rendahnya penghargaan diri dan depersonalisasi.
Kelelahan mental ini dicirikan antara lain merasa tidak berharga, rasa
benci, rasa gagal, tidak peka, sinis, kurang bersimpati dengan orang lain,
mempunyai sikap negatif terhadap orang lain, cenderung masa bodoh
dengan dirinya, pekerjaannya dan kehidupannya, acuh tak acuh, pilih
kasih, selalu menyalahkan, kurang bertoleransi terhadap orang yang
ditolong, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, konsep diri yang rendah,
merasa tidak cakap, merasa tidak kompeten, dan tidak puas dengan jalan
hidup (Sutjipto, 2001).
17

Cherniss (1980) menyatakan bahwa burnout merupakan perubahan sikap


dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan,
seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka,
membolos, sering terlambat, dan keinginan pindah kerja yang kuat. Pandangan
Cherniss ini nampak sejalan dengan pandangan Freuddenberger bahwa seseorang
memiliki sikap antusias dan tujuan yang hendak mereka capai pada awal bekerja.
Ia merasa terpanggil untuk bekerja, sehingga idealisme mereka pun tinggi.
Namun, stres yang dialami secara kronis menyebabkan mereka mengalami
perubahan motivasi, mereka mengalami burnout (Greenberg & Baron, 1993).
Baron, McKnight & Glass, Parker & Kulik (dalam Sarafino, 1998)
memberi definisi bahwa burnout sebagai suatu kondisi kelelahan fisik dan
psikososial yang kronis, timbul sebagai akibat derajat stress yang tinggi karena
pengendalian diri yang kurang kuat. Sedangkan Taylor (1999) menjelaskan bahwa
burnout merupakan resiko yang terjadi pada individu yang bekerja dalam
menghadapi orang-orang yang kekurangan.
Kreitner dan Kinicki (2000) mendefinisikan burnout sebagai kondisi
kelelahan emosional dan sikap-sikap negative dari waktu ke waktu. Kreitner dan
Kinicki menjelaskan sikap-sikap negatif tersebut antara lain adalah fatalisme,
kebosananan, ketidaksenangan, sinisme, ketidakcukupan, kegagalan, kerja
berlebihan, kekasaran, ketidak puasan dan melarikan diri.
Berdasarkan definisi dan pandangan-pandangan yang telah diuraikan di
atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah sindrom psikologis yang
diakibatkan tekanan dan lingkungan pekerjaan yang tak mendukung serta
idealisme yang tak sesuai dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke
waktu yang menyebabkan kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan
pencapaian prestasi pribadi.
18

2. Dimensi Burnout
Maslach menjelaskan bahwa pekerjaan yang berorientasi melayani orang
lain dapat membentuk hubungan yang bersifat "asimetris" antara pemberi dan
penerima pelayanan. Seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan
memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa,
atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang tersebut dapat menimbulkan
ketegangan emosional yang berujung dengan terkurasnya sumber-sumber
emosional. Maslach (Schaufeli dkk., 1993) mengemukakan bahwa burnout
merupakan sindrom yang memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional,
depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.

a. Kelelahan Emosional
Kelelahan emosional ditandai dengan terkurasnya sumber-sumber
emosional, misalnya perasaan frustrasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan,
apatis terhadap pekerjaan dan merasa terbelenggu oleh tugas-tugas dalam
pekerjaan sehingga seseorang merasa tidak mampu memberikan pelayanan secara
psikologis yang maksimal (Maslach, 2001).

b. Depersonalisasi
Depersonalisasi, menurut Maslach (Schaufeli dkk., 1993) merupakan
perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Ia menjelaskan depersonalisasi
adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan
kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan
emosional. Perilaku tersebut adalah suatu upaya untuk melindungi diri dari
tuntutan emosional yang berlebihan dengan memperlakukan orang lain
disekitarnya sebagai objek.
Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap negatif, kasar,
menjaga jarak dengan penerima layanan, menjauhnya seseorang dari lingkungan
sosial, dan cenderung tidak peduli terhadap lingkungan serta orang-orang di
sekitarnya. Sikap lainnya yang muncul adalah kehilangan idealisme, mengurangi
19

kontak dengan sekitarnya, berhubungan seperlunya saja, berpendapat negatif dan


bersikap sinis terhadap sekitarnya (Maslach, 2001).
Secara konkret seseorang yang sedang depersonalisasi cenderung
meremehkan, memperolok, tidak peduli dengan orang lain yang dilayani, dan
bersikap kasar. Adapun rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri ditandai dengan
adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan bahkan
kehidupan, serta merasa bahwa ia belum pernah melakukan sesuatu yang
bermanfaat (Pines & Aronson, 1988). Hal ini mengacu pada penilaian yang
rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri dalam
pekerjaan.

c. Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi


Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa penurunan
pencapaian prestasi pribadi disebabkan oleh perasaan bersalah telah melakukan
orang lain di sekitarnya secara negatif. Seseorang merasa bahwa dirinya telah
berubah menjadi orang yang berkualitas buruk terhadap orang lain di sekitarnya,
misalnya tidak memperhatikan kebutuhan mereka. Padahal seorang pemberi
layanan dituntut untuk selalu memiliki perilaku yang positif, misalnya penyabar,
penuh perhatian, hangat, humoris, dan yang paling penting adalah mempunyai
rasa empati.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout


Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, nampak bahwa
penekanan burnout terletak pada karakteristik individu dan wujud dari sindrom itu
tampak pada interaksinya terhadap lingkungan kerja. Menurut beberapa tokoh
seperti Caputo, Farber, Cherniss, kedua hal ini secara umum merupakan sumber
burnout (Schaufeli dkk., 1993). Namun, pandangan tersebut agak berbeda dengan
yang dikemukakan oleh Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) berpendapat bahwa
sumber utama timbulnya burnout adalah karena adanya stres yang berkembang
secara akumulatif akibat keterlibatan pemberi dan penerima pelayanan dalam
jangka panjang. Namun, Maslach secara tersirat juga mengakui bahwa penting
20

mencari faktor di lingkungan kerja tempat terjadinya interaksi antara pemberi dan
penerima pelayanan. Selain itu, analisis juga perlu untuk mengkaji faktor individu
yang ada pada pemberi pelayanan yang turut memberi sumbangan terhadap
timbulnya burnout.
Dengan demikian faktor timbulnya burnout disebabkan oleh adanya: (1)
karakteristik individu, (2) lingkungan kerja, dan (3) keterlibatan emosional dengan
penerima pelayanan.

a. Karakteristik Individu
Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan
timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu faktor demografik dan
faktor kepribadian (Schaufeli dkk., 1993).

1) Faktor demografik
Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan peran jenis
kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih
rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Orang
berkesimpulan bahwa wanita lebih lentur jika dibandingkan dengan pria,
karena dipersiapkan dengan lebih baik atau secara emosional lebih mampu
menangani tekanan yang besar. Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993)
menemukan bahwa pria yang burnout cenderung mengalami depersonalisasi
sedangkan wanita yang burnout cenderung mengalami kelelahan emosional.
Proses sosialisasi pria cenderung dibesarkan dengan nilai kemandirian
sehingga diharapkan dapat bersikap tegas, lugas, tegar, dan tidak emosional.
Sebaliknya, wanita dibesarkan lebih berorientasi pada kepentingan orang lain
(yang paling nyata mendidik anak) sehingga sikap-sikap yang diharapkan
berkembang dari dalam dirinya adalah sikap membimbing, empati, kasih
sayang, membantu, dan kelembutan. Perbedaan cara dalam membesarkan pria
dan wanita berdampak bahwa setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan
kelemahan terhadap timbulnya burnout. Seorang pria yang tidak dibiasakan
untuk terlibat mendalam secara emosional dengan orang lain akan rentan
21

terhadap berkembangnya depersonalisasi. Wanita yang lebih banyak terlibat


secara emosional dengan orang lain akan cenderung rentan terhadap kelelahan
emosional.
Terhadap latar belakang etnis, hasil penelitian Maslach (dalam Schaufeli
dkk., 1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat burnout yang
cukup signifikan antara masyarakat keturunan Afrika dengan masyarakat
Caucasian, pada para pekerja pelayanan sosial. Masyarakat keturunan Afrika
cederung memiliki burnout yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
masyarakat Caucasian. Hal ini bisa terjadi karena mayarakat keturunan Afrika
berasal dari ligkungan masyarakat yang menekankan pada hubungan
kekeluargaan dan persahabatan. Oleh karenanya, mereka sudah terbiasa
dengan hubungan yang melibatkan emosi, misalnya menghadapi konflik,
menghadapi harapan yang tidak realistis. Di samping itu, kondisi masyarakat
keturunan Afrika di Amerika Serikat telah terbiasa mengalami perlakuan yang
tidak menyenangkan karena adanya diskriminasi dan kemiskinan. Dengan
latar belakang kehidupan seperti itu, maka akan mendorong individu lebih siap
mental dalam menghadapi masalah dan kejadian yang menyakitkan yang
dapat menimbulkan burnout.
Pada sisi usia, Farber (1991) menyatakan bahwa guru-guru di bawah usia
empat puluh tahun paling berisiko terhadap gangguan yang berhubungan
dengan burnout. Demikian halnya dengan hasil penelitian Maslach (dalam
Schaufeli dkk., 1993), bahwa burnout paling banyak dijumpai pada individu
yang berusia muda. Hal ini wajar, sebab para pekerja pemberi pelayanan di
usia muda dipenuhi dengan harapan yang tidak realistik, jika dibandingkan
dengan mereka yang berusia lebih tua. Seiring dengan pertambahan usia pada
umumnya individu menjadi lebih matang, lebih stabil, lebih teguh sehingga
memiliki pandangan yang lebih realistis.
Status perkawinan juga berpengaruh terhadap timbulnya burnout.
Profesional yang berstatus lajang lebih banyak yang mengalami burnout
daripada yang telah menikah (Farber, 1991). Jika dibandingkan antara
seseorang yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak, maka seseorang
22

yang memiliki anak cenderung mengalami tingkat burnout yang lebih rendah.
Alasannya adalah: Pertama, Seseorang yang telah berkeluarga pada umumnya
cenderung berusia lebih tua, stabil, dan matang secara psikologis; Kedua,
keterlibatan dengan keluarga dan anak dapat mempersiapkan mental seseorang
dalam menghadapi masalah pribadi dan konflik emosional; Ketiga, kasih
sayang dan dukungan sosial dari keluarga dapat membantu seseorang dalam
mengatasi tuntutan emosional dalam pekerjaan, dan; Keempat, seseorang yang
telah berkeluarga memiliki pandangan yang lebih realistis (Schaufeli dkk.,
1993).
Profesional yang berlatar belakang pendidikan tinggi cenderung rentan
terhadap burnout jika dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan
tinggi (Schaufeli dkk., 1993). Profesional yang berpendidikan tinggi memiliki
harapan atau aspirasi yang idealis sehingga ketika dihadapkan pada realitas,
bahwa terdapat kesenjangan antara aspirasi dan kenyataan, maka munculah
kegelisahan dan kekecewaan yang dapat menimbulkan burnout. Sebaliknya,
bagi profesional yang tidak berpendidikan tinggi, mereka cenderung kurang
memiliki harapan yang tinggi sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
Caputo (1991) mengemukakan terdapat hubungan antara status profesional
dengan burnout. Profesional yang bekerja secara penuh waktu lebih berisiko
terhadap burnout jika dibandingkan dengan profesional yang bekerja paruh
waktu. Smith (dalam Caputo, 1991) dalam penelitiannya pada pegawai
perpustakaan menemukan bahwa individu yang mengalami burnout lebih
banyak ditemukan pada mereka yang bekerja secara penuh.

2) Faktor Kepribadian
Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah
individu yang idealis dan antusias (Pines & Aronson, 1989). Mereka adalah
individu-individu yang memiliki sesuatu yang berharga. Pines (dalam Sutjipto,
2001) mencatat bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha
sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka. Bloch
23

(dalam Farber, 1991) menunjukkan bahwa guru-guru yang obsesional, penuh


kasih, idealis, dan berdedikasi cenderung lebih rentan mengalami "sindrom
guru yang terpukul". Suatu gangguan yang dipaparkan Bloch dengan cara
yang hampir sama dengan yang dipaparkan orang lain mengenai burnout.
Individu-individu ini, karena memiliki komitmen yang berlebihan, dan
melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa sangat kecewa
ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal
dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri.
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) mengatakan bahwa individu yang
memiliki konsep diri rendah rentan terhadap burnout. Ia menggambarkan
bahwa karakteristik individu yang memiliki konsep diri rendah yaitu tidak
percaya diri dan memiliki penghargaan diri yang rendah. Mereka pada
umumnya dilingkupi oleh rasa takut sehingga menimbulkan sikap pasrah.
Dalam bekerja, mereka tidak yakin sehingga menjadi beban kerja berlebihan
yang berdampak pada terkurasnya sumber diri. Penilaian diri yang negatif ini
menyebabkan individu lebih menitikberatkan perhatian pada kegagalan dalam
setiap hal sehingga menyebabkan perasaan tidak berdaya dan apatis (Cherniss,
1980).
Karakteristik kepribadian berikutnya adalah perfeksionis, yaitu individu
yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna sehingga
akan sangat mudah merasa frustrasi bila kebutuhan untuk tampil sempurna
tidak tercapai. Karenanya, menurut Caputo (1991) individu yang perfeksionis
rentan terhadap burnout.
Kemampuan yang rendah dalam mengendalikan emosi juga merupakan
salah satu karakteristik kepribadian yang dapat menimbulkan burnout.
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) menyatakan bahwa seseorang ketika
melayani klien pada umumnya mengalami emosi negatif, misalnya marah,
jengkel, takut, cemas, khawatir dan sebagainya. Bila emosi-emosi tersebut
tidak dapat dikuasai, mereka akan bersikap impulsif, menggunakan
mekanisme pertahanan diri secara berlebihan atau menjadi terlarut dalam
permasalahan klien. Kondisi tersebut akan menimbulkan kelelahan emosional.
24

Menurut Kahn (dalam Cherniss, 1980) individu yang introvert akan


mengalami ketegangan emosional yang lebih besar saat menghadapi konflik
karena mereka cenderung menarik diri dari kerja, dan hal ini akan
menghambat efektivitas penyelesaian konflik.
Meehling (dalam Farber, 1991) menyatakan bahwa kepribadian seperti
locus of control sebagai prediktor yang signifikan terhadap burnout guru.
Rotter (dalam Cherniss,1980) menjelaskan bahwa individu dengan locus of
control eksternal meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami
disebabkan oleh kekuatan di luar diri. Mereka meyakini bahwa dirinya tidak
berdaya terhadap situasi sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut mereka
bersikap apatis terhadap pekerjaan. Tuntutan emosional seringkali disebabkan
oleh kombinasi antara harapan yang sangat tinggi dengan situasi stres yang
kronis.

b. Lingkungan Kerja
Beberapa tokoh seperti Cherniss, Pines dan Aronson berpendapat masalah
beban kerja yang berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang
berdampak pada timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Beban kerja yang
berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani (kelas
padat misalnya), tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang
bukan rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan
kemampuan individu. Di samping itu, beban kerja yang berlebihan dapat
mencakup segi kuantitatif yang berupa jumlah pekerjaan dan kualitatif yaitu
tingkat kesulitan pekerjaan tersebut yang harus ditangani. Beban kerja yang
berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan
emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi
pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindari diri untuk
terlibat dengan klien (Schaufeli dkk., 1993).
Dukungan sosial dari rekan kerja turut berpotensi dalam menyebabkan
burnout (Caputo; Cherniss; Pines & Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2001). Sisi
positif yang dapat diambil bila memiliki hubungan yang baik dengan rekan kerja
25

yaitu mereka merupakan sumber emosional bagi individu saat menghadapi


masalah dengan klien (Schaufeli dkk., 1993). Individu yang memiliki persepsi
adanya dukungan sosial akan merasa nyaman, diperhatikan, dihargai atau terbantu
oleh orang lain. Sisi negatif dari rekan kerja yang dapat menimbulkan burnout
adalah terjadinya hubungan antar rekan kerja yang buruk. Hal tersebut bisa terjadi
apabila hubungan antar mereka diwarnai dengan konflik, saling tidak percaya,
mencurigai dan saling bermusuhan.
Cherniss (1980) mengungkapkan sejumlah kondisi yang potensial
terhadap timbulnya konflik antar rekan kerja, yaitu: (1) perbedaan nilai pribadi,
(2) perbedaan pendekatan dalam melihat permasalahan, dan (3) mengutamakan
kepentingan pribadi dalam berkompetisi. Di samping dukungan sosial dari rekan
kerja tersebut, dukungan sosial yang tidak ada dari atasan juga dapat menjadi
sumber stres emosional yang berpotensi menimbulkan burnout (Cherniss; Pines &
Aronson; Maslach dalam Sutjipto, 2002). Kondisi atasan yang tidak responsif
akan mendukung terjadinya situasi yang menimbulkan ketidakberdayaan, yaitu
bawahan akan merasa bahwa segala upayanya dalam bekerja tidak akan
bermakna.
Kahn (dalam Cherniss, 1980) mengemukakan bahwa adanya konflik peran
merupakan faktor yang potensial terhadap timbulnya burnout. Konflik peran ini
muncul karena adanya tuntutan yang tidak sejalan atau bertentangan. Contohnya:
(1) seorang guru diharapkan untuk menerapkan disiplin kepada siswa namun di
sisi lain ia harus memperlihatkan perasaan kasih sayang, perhatian, rasa humor
agar suasana pembelajaran dapat tercipta secara baik, (2) guru-guru ingin agar
siswa yang hiperaktif tetap dipertahankan di sekolah namun pihak yayasan
sekolah meminta agar siswa yang berkelakuan seperti itu harus dikeluarkan dari
sekolah, dan (3) sebagai pekerja sosial ia harus melakukan kerja lembur namun
sebagai seorang ibu ia juga harus memperhatikan kebutuhan keluarga pula.
Farber (1991) mengemukakan bahwa, keacuhan siswa, ketidakpekaan
penilik sekolah/pengawas, orang tua siswa yang tidak peduli, kurangnya apresiasi
masyarakat dengan pekerjaan guru, kritik masyarakat, pindah kerja yang tidak
dikehendaki, kelas yang terlalu padat, kertas kerja yang berlebihan, bangunan fisik
26

sekolah yang tidak baik, hilangnya otonomi, dan gaji yang tidak memadai
merupakan beberapa faktor lingkungan sosial yang turut berperan menimbulkan
burnout.

c. Keterlibatan Emosional dengan Penerima Pelayanan


Bekerja melayani orang lain membutuhkan banyak energi karena harus
bersikap sabar dan memahami orang lain dalam keadaan krisis, frustrasi,
ketakutan, dan kesakitan (Freudenberger dalam Farber, 1991). Pemberi dan
penerima pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan
yang melibatkan emosional, dan secara tidak disengaja dapat menyebabkan stres
emosional karena keterlibatan antarmereka dapat memberikan penguatan positif
atau kepuasan bagi kedua belah pihak, atau sebaliknya.
Para pekerja di bidang sosial sering menerima umpan balik yang negatif
(Maslach; Caputo; Cherniss dalam Sutjipto, 2002). Hal ini disebabkan oleh
tuntutan masyarakat terhadap pelayanan sehingga individu kesulitan untuk
mencapai standar yang diinginkan oleh masyarakat. Demikian halnya jika
pemberi pelayanan dapat memenuhi standar tersebut, masyarakat pada umumnya
tidak memberi pujian, sebab mereka menganggap bahwa memang seharusnya
seperti itu. Hal lain yang turut menyebabkan rendahnya penghargaan adalah
bahwa penerima pelayanan tidak mampu memberikan umpan balik positif karena
keterbatasan mereka, misalnya siswa dengan keterbelakangan mental. Dengan
keadaan yang selalu menerima umpan balik yang negatif ini, maka pada diri
pemberi pelayanan/guru akan terbentuk sikap yang negatif terhadap penerima
pelayanan.
Pada sisi lainnya, karyawan sebagai pemberi pelayanan sering menghadapi
karakteristik penerima pelayanan yang sulit ditangani atau klien yang bermasalah
berat, dan hal ini akan mendatangkan stres emosional (Schaufeli dkk., 1993).
Maslach (dalam Schaufeli dkk., 1993) memberikan contoh situasi kerja yang
menekan secara emosional, yaitu merawat pasien bagian psikiatri yang tidak
mampu menolong diri sendiri. Individu terus dihadapkan pada kondisi yang
menekan secara emosional akan mudah merasa kesal, marah, tertekan, jengkel,
27

dan perasaan tidak enak lainnya. Apalagi bila ditambah oleh perilaku klien yang
tidak memberikan umpan balik yang positif, maka akan turut menimbulkan
perasaan yang tidak menyenangkan.

C. Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa adalah sekelompok manusia yang berkecimpung dalam lembaga
pendidikan dan dibina dengan etika ilmiah (Usman, 2001). Kehidupan mahasiswa
tidak terlepas dari pendidikan dan penelitian. Mahasiswa umumnya masih relatif
muda baik dalam usia maupun kematangan berpikir, artinya masih membutuhkan
bimbingan orang tua atau dosen dalam setiap gerak dan tindakannya (Usman,
2001).
Mahasiswa secara menyeluruh termasuk kategori tahap perkembangan
dewasa awal (Hurlock, 1973). Menurut Hurlock (1973) mahasiswa berada dalam
usia antara 19 tahun sampai dengan 26 tahun, mengalami transisi dari masa
perkembangan remaja akhir ke pada tahapan berikutnya yaitu masa perkembangan
dewasa awal.
Penetapan usia ditahap masa perkembangan dewasa awal berbeda-beda
diantara para ahli. Santrock (1990) menetapkan usia 20 tahun sampai dengan 30
tahun sebagai tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan Papalia (dalam
Papalia & Olds, 1992) menjelaskan rentang usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun
sebagai tahap masa perkembangan dewasa awal. Walaupun demikian terdapat
kesepakatan bahwa pada masa perkembangan dewasa awal, individu mulai
menguji ide-ide mengenai diri dan dunia disekitarnya secara umum.
Pada tahap dewasa muda mulai membentuk kemandirian dalam hal personal
dan ekonomi. Melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi atau akademi,
mengembangkan karir, serta membentuk hubungan sosial secara kelompok
maupun yang mengarah pada perkawinan adalah tugas perkembangan yang
menonjol pada tahap ini (Papalia & Olds, 1992).
28

Sternberg (2000), dalam periode ini, dipandang dari sudut psikologis


mempunyai ciri yang serupa yakni dalam segi transisi biologis, transisi kognitif
serta transisi sosial seperti berikut:
a. Transisi biologis. Merujuk pada perubahan dalam penamilan fisik serta
kemampuan reproduksi.
b. Transisi kognitif. Dalam hal ini mahasiswa sudah mencapai kemantapan
dalam taraf berpikir formal operasional yang ditandai dengan
kemampuan berpikir secara hipotesis dan abstrak.
c. Transisi sosial. Perubahan dari status remaja menuju status dewasa.
Konsekuensinya mahasiswa diharapkan oleh lingkungannya untuk
dapat berpikir dan bertindak sebagai orang dewasa.
Secara umum pengertian-pengertian di atas menunjukakan suatu kesamaan
yaitu, menyebutkan bahwa mahasiswa adalah sekelompok manusia yang
berkecimpung dalam lembaga pendidikan dan dibina dalam etika ilmiah serta
menjalani tahapan masa perkembangan dewasa awal.

2. Mahasiswa yang bekerja


Fenomena mahasiswa yang bekerja sudah lama muncul dikalangan
mahasiswa. Bass (dalam Stella, 2004) mengemukakan, mahasiswa bekerja untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, mengaktualisasikan diri, serta mencari
pengalaman dan relasi.
Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) menjelaskan bahwa kuliah adalah
waktu untuk mengungkap intelektual dan pertumbuhan personal. Bagi mahasiswa
yang sedang memasuki tahap perkembangan dewasa awal, pendidikan di
perguruan tinggi memberi kesempatan untuk menjawab asumsi-asumsi yang
dimiliki sejak masa kanak-kanak dan oleh karena itu hal ini membentuk identitas
diri dimasa dewasa. Papalia (dalam Papalia & Olds, 1992) juga berpendapat,
penemuan dan pengenalan diri memberi peluang terhadap pemilihan karir yang
baru dan realistik.
29

Spickard (2001) menjelaskan mengapa mahasiswa tersebut bekerja, salah


satunya adalah untuk menguji kemampuan serta intelektualitas yang mereka asah
di bangku perkuliahan dalam kondisi nyata yaitu di lapangan pekerjaan yang
sesuai dengan jurusan yang mereka ambil. Mahasiswa yang bekerja biasanya
menggunakan waktu luang mereka untuk melakukan pekerjaan.
Bagi mahasiswa yang bekerja, mereka memiliki keuntungan dan kerugian
tersendiri (Spickard, 2001). Salah satu keuntungannya mereka telah melakukan
penjajakan lebih awal terhadap karir yang mereka akan tempuh, hal ini memberi
informasi melalui apa yang mereka alami di lapangan kerja. Kerugiannya, tidak
sedikit mahasiswa yang bekerja mengalami permasalahan dalam pembagian
waktu dan penyelesaian tugas dibangku kuliah berkaitan dengan pekerjaan
mereka.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa bekerja adalah
mahasiswa yang memberikan sebagian waktunya bukan hanya pada bangku
perkuliahan, tetapi juga pada dunia kerja.

D. Hubungan antara Burnout dengan Motivasi Berprestasi Akademis pada


Mahasiswa yang bekerja
Dalam dunia kerja begitu banyak permasalahan yang dihadapi oleh sebuah
institusi usaha seperti target produksi dan keuntungan, peningkatan produktivitas,
penekanan biaya produksi, penjualan dan pemasaran, administrasi serta
pemberdayaan baik sumber daya alam dan manusia (Dwivedi, 1981). Menurut
Das (dalam Dwivedi, 1981) permasalahan tersebut memiliki kaitan dengan
manusia selaku kunci dari tenaga kerja. Hubungan antar karyawan dan atasan,
suasana dan tata tertib kerja, pembagian tanggung jawab dan tugas kerja sampai
dengan pembayaran hak karyawan adalah sebagian permasalahan yang ada dalam
dunia kerja. Kishore mengungkapkan (dalam Dwivedi, 1981) bila terjadi
penanganan yang salah pada sumber daya manusia dalam dunia kerja akan
berdampak buruk pada perusahaan sebagai institusi usaha. Permasalahan itu
adalah ketidak puasan kerja, stress hingga burnout.
30

Bagi mahasiswa yang bekerja permasalahan yang mereka hadapi bukan


hanya masalah belajar, akan tetapi bertambah dengan adanya tanggung jawab dan
kewajiban mereka sebagai karyawan. Spickard (2001) dalam hasil penelitiannya
sejak tahun 1997 terhadap para mahasiswa kedokteran yang mengalami
penurunan prestasi belajar di Vanderbilt University Medical Center, Nashville,
mengemukakan salah satu masalah yang dihadapi oleh mahasiswa adalah faktor
pekerjaan yang diambil diwaktu luang mereka.
Spickard menjelaskan masalah kerja yang berlebihan membuat para
mahasiswa kedokteran tersebut mengalami tekanan yang berat terus menerus yang
menghabiskan energi psikis mereka. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada
pekerjaan para mahasiswa tersebut, akan tetapi sisi kehidupan mereka yang lain
seperti kehidupan sosial dan kehidupan pendidikan (Spickard, 2001).
Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999)
terhadap 141 pekerja sosial dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun
mengenai coping terhadap burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25
tahun dengan status lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam
melakukan coping. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan
rentang dibawah 25 tahun yang masih studi mengalami kesulitan dalam membagi
waktu dan prioritas kegiatan. Hal ini membuat mereka lebih cepat mengalami
sindrom burnout, akibatnya konsentrasi kerja menurun, sikap yang kurang ramah
terhadap penerima layanan, sering mengalami gangguan kesehatan ringan dan
berat serta penurunan prestasi kerja maupun studi.
Penelitian tentang kepuasan kerja dan burnout oleh Student Support
Services Personel (SSSP) di Amerika, yang dilakukan oleh Brewer dan Clippard
(1996) menunjukkan adanya kaitan permasalahan ditempat kerja yang
menghasilkan burnout yang berdampak pada prestasi akademi para mahasiswa
yang bekerja. Sampel yang diambil secara acak berjumlah 250 orang dari 1.702
populasi mahasiswa pada suatu fakultas. Alat ukur yang digunakan untuk
mengukur burnout yaitu MBI (Maslach Burnout Inventory) dan untuk kepuasan
kerja menggunakan JSS (Job Satisfaction Scale). Menunjukkan bahwa sebagian
besar mereka yang mengalami burnout adalah mereka yang tidak mengalami
31

kepuasan kerja. Hasilnya, banyak mahasiswa yang bekerja tersebut mengalami


penurunan prestasi akademis oleh karena sering izin sakit, membolos, lupa
mengumpulkan tugas dan gagal ujian. Brewer (1996) mengemukakan bahwa
ketidak puasan kerja yang berakibat turunnya prestasi akademis para mahasiswa
yang bekerja disebabkan kondisi menurunnya motivasi berprestasi para
mahasiswa yang bekerja terhadap tugas-tugas kerja serta tugas-tugas akademis.
Dalam sebuah artikel berjudul “Burnout in Medical College Students”
pada sebuah situs internet yang dipublikasikan oleh Patient Information
Publications (1997), mengulas bahwa banyak mahasiswa kedokteran yang
mengambil praktek kerja di rumah sakit terkena sindrom burnout, mengalami
turunnya pencapaian prestasi pribadi yang berdampak pada motivasi berprestasi
akademis para mahasiswa kedokteran di kampus. Akibatnya prestasi akademis
para mahasiswa kedokteran tersebut menurun.
Permasalahan ditempat kerja berdampak serius pada diri mahasiswa
tersebut apabila tidak ditangani dengan baik. Hal tersebut memberi dampak pada
sisi kehidupan akademis mereka. Turunnya motivasi untuk berprestasi dalam
perkuliahan adalah salah satu hasilnya.

E. Hipotesis
Dari uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah,
ada hubungan negatif antara burnout dengan motivasi berprestasi akademis
dimana semakin tinggi skor burnout maka semakin rendah skor motivasi
berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor burnout
maka semakin tinggi skor motivasi berprestasi akademis.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel yang akan dikaji adalah :


1. Prediktor : Burnout
2. Kriterium : Motivasi Berprestasi Akademis

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :


1. Burnout
Burnout adalah sindrom psikologis yang diakibatkan tekanan dan
lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung serta idealisme yang tidak sesuai
dengan kenyataan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Dalam penelitian ini
burnout diungkap melalui dimensi yang dikemukakan Maslach (2001) yaitu
kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi
pribadi.
2. Motivasi Berprestasi Akademis
Motivasi berprestasi akademis adalah proses internal manusia yang
mengarahkan dan menggerakan perilaku pada pencapaian tujuan serta
kemampuan untuk menghadapi dan mengatasi segala rintangan serta mencapai
keberhasilan dalam tugas-tugas yang lebih sulit dalam bidang akademis, yang
mengacu pada karakteristik yang dikemukakan oleh McClelland (1953).
Karakteristik motivasi berprestasi akademis adalah sebagai berikut : tanggung
jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan
ketekunan.

32
33

Dari karakteristik yang telah dikemukakan di atas disusun skala motivasi


berprestasi akademis yang dapat digunakan untuk mengukur variabel motivasi
berprestasi akademis.

C. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah mahasiswa S1 yang bekerja minimal


selama 1,5 tahun atau lebih dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun.
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi universitas di
Jakarta dan sekitarnya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini


adalah angket yang terdiri dari skala motivasi berprestasi akademis dan skala
burnout sebagai berikut:

1. Skala Motivasi Berprestasi Akademis


Motivasi berprestasi akademis diukur dengan skala motivasi berprestasi
akademis yang disusun berdasarkan karakteristik sebagai berikut:
tanggung jawab, membutuhkan umpan balik, inovatif, resiko pemilihan
tugas dan ketekunan. Bentuk skala yang digunakan adalah skala Likert.
Pilihan yang diberikan antara lain: SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), TS
(Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Pernyataan skala terdiri dari
pernyataan favorabel dan unfavorabel dengan penilaian sebagai berikut:
34

Tabel 1
Penilaian pada Skala Motivasi Berprestasi Akademis
Pilihan Favorabel Unfavorabel
SS 4 1
S 3 2
TS 2 3
STS 1 4

Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2
Sebaran Item Skala Motivasi Berprestasi Akademis

Nomor Item
No Karakteristik
Favorabel Unfavorabel Total

1, 11, 16, 31, 6, 21, 26, 36,


1 Tanggung Jawab 12
46, 51 41, 56

Membutuhkan 2, 12, 17, 32, 7, 22, 27, 37,


2 12
Umpan Balik 47, 52 42, 57

3, 13, 18, 33, 8, 23, 28, 38,


3 Inovatif 12
48, 53 43, 58

Resiko 4, 14, 19, 34, 9, 24, 29, 39,


4 12
Pemilihan Tugas 49, 54 44, 59
5, 15, 20, 35, 10, 25, 30, 40,
5 Ketekunan 12
50, 55 45, 60

Total 30 30 60
35

2. Skala Burnout
Dalam penelitian ini burnout diukur dengan skala burnout yang disusun
berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.
Bentuk skala yang digunakan adalah skala Likert dengan pilihan sebagai
berikut: Tp (Tidak pernah), Jr (Jarang), Kd (Kadang), Sr (Sering), Sl
(Selalu). Pernyataan pada skala burnout hanya terdiri dari pernyataan
favorabel dengan penilaian sebagai berikut:

Tabel 3
Penilaian pada Skala Burnout

Pilihan Tp Jr Kd Sr Sl

Favorabel 1 2 3 4 5

Distribusi item pada skala ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4
Sebaran Item Skala Burnout
Nomor Item
No Dimensi
Favorabel Total
1, 4, 7, 10, 13, 16, 19,
1 Kelelahan Emosional 10
22, 25, 28
2, 5, 8, 11, 14, 17, 20,
2 Depersonalisasi 10
23, 26, 29
Penurunan Pencapaian 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21,
3 10
Prestasi Pribadi 24, 27, 30
Total 30
36

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Validitas berkaitan dengan kesesuaian antara suatu konsep dengan


indikator yang digunakan untuk mengukurnya (Prasetyo & Jannah, 2005). Azwar
(1996) mengemukakan validitas adalah sejauhmana ketepatan dan kecermatan
suatu instrimen pengukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Dalam bahasa yang
lebih sederhana, validitas menurut Chaplin (1999) yaitu bahwa alat-alat tersebut
bisa mengukur menurut kenyataannya seperti yang dikehendaki untuk diukur.
Reliabelitas berkaitan dengan keterandalan suatu indikator. Informasi
yang ada pada indikator ini tidak berubah-ubah dengan kata lain konsisten
(Prasetyo & Jannah, 2005). Menurut Azwar (1996) reliabelitas adalah sejauh
mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya bila suatu pengamatan
dilakukan dengan perangkat ukur yang sama lebih dari satu kali, hasil pengamatan
itu sama. Bila tidak sama, maka perangkat ukur tersebut tidak reliabel (Prasetyo &
Jannah, 2005).
Pada penelitian ini, skala motivasi berprestasi akademis dibuat
berdasarkan karakteristik sebagai berikut: tanggung jawab, membutuhkan umpan
balik, inovatif, resiko pemilihan tugas dan ketekunan. Karakteristik tersebut
digunakan untuk membuat serta menyusun item-item yang kuat untuk dijadikan
sebuah alat tes yang berbentuk skala. Pada skala burnout, item-item dibuat dan
disusun berdasarkan dimensi yang dikemukakan oleh Maslach yaitu kelelahan
emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian prestasi pribadi.
Sebelum menjadi alat tes terlebih dahulu dilakukan validitas isi (content
validity) pada kedua skala tersebut. Azwar (1996) mengemukakan pengujian
validitas isi tidak melalui analisis statistika tetapi menggunakan analisis rasional.
Lebih lanjut Azwar (1996) mengemukakan bahwa validitas isi telah terpenuhi
adalah dengan melihat apakah item-item dalam dalam tes yang telah ditulis sesuai
dengan blueprint yaitu telah sesuai dengan batasan domain ukur yang telah
ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing item telah sesuai dengan
indikator perilaku yang hendak diungkapnya. Selanjutnya kedua skala tersebut
37

dibentuk dalam angket dengan penampilan yang layak agar memberikan


kemudahan serta menarik minat dalam pengisian alat tes.
Kemudian pengujian validitas item untuk skala burnout dan motivasi
berprestasi akademis menggunakan total item correlation dengan
mengkorelasikan skor setiap item dengan total item yang dihitung dengan
menggunakan formulasi korelasi product moment Karl Pearson yang dibantu
dengan program SPSS ver 12.0 for windows.
Pengujian reliabilitas item menggunakan formula Alpha Cronbach yang
dibantu dengan program SPSS ver 12.0 for windows.

F. Teknik Analisis Data

Untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara burnout dan


motivasi berprestasi digunakan korelasi product moment Karl Pearson dengan
bantuan program SPSS ver 12.0 for windows.
BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode try out terpakai. Penelitian


dilaksanakan pada tanggal 10 dan 14 November 2006 di beberapa perguruan
tinggi. Pada hari Jumat, tanggal 10 November 2006 penyebaran kuesioner
dilakukan di 3 perguruan tinggi yaitu Univesitas Gunadarma, Universitas
Indonesia dan Universitas Pancasila. Pada hari itu di masing-masing universitas
disebarkan kuesioner sebanyak 50 eksemplar. Pembagian ditujukan hanya pada
mahasiswa yang bekerja dengan menanyakan apakah mahasiwa tersebut bekerja
atau tidak bekerja. Kuesioner yang kembali untuk Universitas Gunadarma
sebanyak 50 Eksemplar, Universitas Indonesia sebanyak 21 Eksemplar,
Universitas Pancasila 15 Eksemplar. Penyebaran di Universitas Gunadarma
dilakukan antara pukul 19.40 Wib sampai dengan pukul 21.38 Wib di depan
kampus D, Margonda Raya. Di Universitas Indonesia, penyebaran dilakukan di
luar gedung Fakultas Kesehatan Masyarakat dari pukul 18.40 Wib sampai dengan
pukul 20.58 Wib. Penyebaran di Universitas Pancasila dilakukan dari pkl. 20.18
sampai 21.22 Wib di depan gerbang pintu masuk kampus.

Penyebaran pada hari Selasa, tanggal 14 November 2006 dilakukan di dua


perguruan tinggi yaitu di Universitas Yarsi, Cempaka Putih dan di STMIK Nusa
Mandiri, Kramat-Jakarta. Kuesioner yang disebarkan di kedua perguruan tinggi
tersebut masing-masing sejumlah 50 eksemplar. Kuesioner yang berhasil
diperoleh kembali dari Univeritas Yarsi 11 eksemplar dan yang dapat diperoleh
dari STMIK Nusa Mandiri sebanyak 10 eksemplar. Kondisi subjek penelitian
pada saat disebarkan angket, menurut pengamatan penulis kebanyakan dalam
keadaan tegang dan lelah. Di beberapa kampus yang dimana penulis mengambil
data sempat terjadi kesalahan persepsi dengan angket yang disebar, karena

38
39

kebanyakan subjek penelitian menganggap bahwa angket itu alat tes psikologi
yang dipakai untuk evaluasi kerja dimana angket itu dapat dipelajari untuk
mempersiapkan diri menghadapi evaluasi kinerja dari kantor. Sehingga banyak
angket yang tidak kembali. Beberapa subjek penelitian pada saat mengembalikan
angket ada juga yang sempat menanyakan apakah angket tersebut bisa mereka
pinjam untuk di photocopy dan berapakah hasil skor angketnya.

Total kuesioner yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 107


eksemplar. Berdasarkan kriteria usia, lama bekerja serta status pernikahan subjek,
dilakukan seleksi dan hasilnya terdapat 9 eksemplar yang tidak memenuhi
kriteria, maka kuesioner yang dapat digunakan adalah sebanyak 98 eksemplar.

B. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala

Hasil uji validitas dan reliabilitas pada skala motivasi berprestasi dan skala
burnout adalah sebagai berikut:

a. Skala Motivasi Berprestasi

Pada penelitian ini untuk menguji skala motivasi berprestasi digunakan


Pearson Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi
program SPSS Ver. 12.00 for Windows.

Pada skala motivasi berprestasi akademis terdapat 50 item yang


dinyatakan valid dan 10 item yang dinyatakan gugur dari 60 item yang diujikan.
Korelasi item-item yang valid bergerak antara 0,302 sampai dengan 0,857.
Sedangkan hasil uji reliabelitasnya adalah sebesar 0,971 (Lampiran). Adapun
perincian item yang valid pada skala motivasi berprestasi yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
40

Tabel 5. Distribusi Item Valid pada Skala Motivasi Berprestasi


Akademis

Nomor Item yang Valid


No Karakteristik
Favorabel Unfavorabel Jumlah

1 Tanggung Jawab 1, 31, 51 6, 21, 26, 36, 41, 56 9

Membutuhkan
2 2, 12, 17, 32, 47 7, 22, 27, 37, 42, 57 11
Umpan Balik

3 Inovatif 3, 13, 33, 48, 53 8, 23, 28, 43, 58 10

Resiko Pemilihan
4 4, 14, 49, 54 9, 24, 29, 39, 44, 59 10
Tugas

5 Ketekunan 5, 15, 20, 35, 50 10, 25, 30, 40, 60 10

Total 22 28 50

a. Skala Burnout

Pada penelitian ini untuk menguji skala burnout digunakan Pearson


Product Moment Corelation Coeffecient dengan bantuan aplikasi program SPSS
Ver. 12.00 for Windows.

Pada skala burnout terdapat 28 item yang dinyatakan valid dan 2 item
yang dinyatakan gugur dari 30 item yang diujikan. Korelasi item-item yang valid
bergerak antara 0,303 sampai dengan 0,705. Sedangkan hasil uji reliabilitasnya
adalah sebesar 0,934 (Lampiran). Adapun perincian item yang valid pada skala
burnout yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
41

Tabel 6. Distribusi Item yang Valid pada Skala Burnout

Nomor Item
No Dimensi
Favorabel Total

1 Kelelahan Emosional 4, 7, 10, 13, 16, 19, 25, 28 8

2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, 23, 26,


2 Depersonalisasi 10
29

Penurunan Pencapaian 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 27,


3 10
Prestasi Pribadi 30

Total 28

2. Uji Asumsi

Uji asumsi adalah langkah selanjutnya sebelum melakukan analisis


korelasi. Uji asumsi bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai normalitas
sebaran skor dan uji linearitas.

Uji asumsi dilakukan dengan menggunakan bantuan aplikasi program


SPSS 12.00 for Windows. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan One
Sample Kolgomorov Smirnov Tes dan Shapiro-Wilk Tes.

Pada skala motivasi berprestasi diperoleh nilai Z sebesar 3,340 dengan


nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Untuk Skala burnout diperoleh nilai Z sebesar
1,378 dan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05). Hasil uji normalitas menunjukkan
bahwa sebaran skor kedua variabel penelitian yaitu motivasi berprestasi dan
burnout adalah tidak normal. Tetapi menurut Reksoatmodjo (2007) estimasi suatu
kecenderungan atau gejala dan pengujian hipotesis pada tingkat kepercayaan
tertentu dapat dilakukan dengan memperhatikan ukuran sampel. Apabila ukuran
sampel N > 30 (sampel besar) digunakan distribusi normal.

Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan One Sample Kolmogorov


Smirnov Test. Hasil uji linearitas pada motivasi berprestasi dan burnout
42

menunjukkan hasil yang linear, dimana skor F tes sebesar 168,194 dan nilai
signifikasi 0,000 (p<0,05). Selanjutnya data penelitian dianalisis dengan
menggunakan perhitungan statistik parametrik dimana hasil uji asumsi dapat
dilihat pada hal lampiran.

Gambaran secara linear antara item variabel burnout dengan item variabel
motivasi berprestasi akademis dapat dilihat pada grafik berikut ini:

Gambar 1. Hasil analisa grafik Scatter pada variabel Motivasi Berprestasi


dan variabel Burnout dengan SPSS 12.00 for Windows

180.00

160.00

140.00
MB

120.00

100.00

80.00

40.00 60.00 80.00 100.00 120.00


Burnout
43

3. Hasil Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik parametrik teknik


korelasi Karl Pearson dan diperoleh hasil seperti tertera dalam tabel hasil
perhitungan SPSS 12.00 for Windows di bawah ini:

Tabel 7. Perhitungan Korelasi Karl Pearson dengan SPSS 12.00 for Windows

Motivasi
Burnout
Berprestasi

Motivasi Berprestasi Korelasi Pearson 1 -0,798(**)

Sig. (1-tailed) . 0,000

N (Jumlah Subjek) 98 98

Burnout Korelasi Pearson -0,798(**) 1

Sig. (1-tailed) 0,000 .

N (Jumlah Subjek) 98 98

** signifikansi korelasi pada tingkat 0,01 (1-tailed).

Dari hasil analisis data tersebut disimpulkan bahwa terdapat hubungan


negatif yang sangat signifikan antara burnout dengan motivasi berprestasi
akademis. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini yaitu ada hubungan yang negatif antara burnout dengan motivasi
berprestasi akademis, diterima.
44

4. Deskripsi Subjek

Berdasarkan dari data deskripsi subjek yang meliputi usia, jenis kelamin,
status tempat tinggal serta item deskripsi motivasi berprestasi dan item deskripsi
burnout dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:

Tabel 8. Deskripsi Subjek berdasarkan Usia

Rerata Motivasi Berprestasi


Usia Jumlah Persen Rerata Burnout
Akademis

20 4 4% 121,75 64,75

21 21 22% 141,19 60,47

22 11 11% 105,90 78,36

23 10 10% 86,90 91,80

24 16 17% 93,00 88,93

25 8 8% 83,50 94,97

26 7 7% 86,28 94,14

27 7 7% 86,57 97,14

28 7 7% 84,71 94,57

29 2 2% 86,50 89,50

30 5 5% 86,80 97,20
45

Tabel 9. Deskripsi Subjek berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Rerata Motivasi


Jumlah Persen Rerata Burnout
Kelamin Berprestasi Akademis

Laki-Laki 61 62% 101,62 83,57

Perempuan 37 38% 104,13 82,56

Tabel 10. Deskripsi Subjek berdasarkan Status Tempat tinggal

Status Tempat Rerata Motivasi Rerata


Jumlah Persen
tinggal Berprestasi Akademis Burnout

Rumah Orang Tua 47 48% 98,27 85,89

Kos 46 47% 106,91 81,06

Kontrak 2 2% 86,50 89,00

Saudara 3 3% 114,00 69,66

Tabel 11. Deskripsi Subjek berdasarkan Motivasi Mengambil Kuliah

Motivasi Rerata Motivasi


Jumlah Persen Rerata Burnout
Mengambil Kuliah Berprestasi Akademis

Mendukung Karier 41 41% 101,36 85,78

Kenaikan Jabatan 32 33% 89,65 90,06

Mencari perkerjaan
25 26% 121,08 70,16
yang lebih baik
46

Tabel 12. Deskripsi Subjek berdasarkan Waktu Khusus Belajar

Waktu Khusus Rerata Motivasi Rerata


Jumlah Persen
Belajar Berprestasi Akademis Burnout

Sempat 39 40% 109,50 78,38

Tidak Sempat 59 60% 98,22 86,37

Tabel 13. Deskripsi Subjek berdasarkan Mengatasi Kesulitan Belajar

Mengatasi Kesulitan Rerata Motivasi Rerata


Jumlah Persen
Belajar Berprestasi Akademis Burnout

Melihat hasil teman 20 20% 103,00 86,35

Kerjasama dengan
65 67% 98,15 85,04
teman

Bertanya pada dosen 13 13% 124,00 69,07

C. Pembahasan

Penelitian ini berusaha untuk menguji adanya hubungan antara burnout


dengan motivasi berprestasi. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, hipotesis
penelitian diterima, dimana terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
burnout dengan motivasi berprestasi akademis. Kesimpulan yang dapat diambil
bahwa semakin tinggi burnout, semakin rendah motivasi berprestasi akademis
pada mahasiswa yang bekerja. Semakin rendah burnout, semakin tinggi motivasi
berprestasi akademis mahasiswa yang bekerja.
47

Miller (2000) mengemukakan berdasarkan penelitian-penelitan yang


dilakukan, diketemukan bahwa burnout berkorelasi negatif terhadap pembelajaran,
kebiasaan yang membangun dan keberhasilan memecahkan masalah.
Pembelajaran dalam hal ini adalah motivasi berprestasi dan pencapaian terhadap
suatu hal. Hal serupa juga diungkapkan oleh Spickard (2001) dalam hasil
penelitiannya terhadap mahasiswa kedokteran yang bekerja adalah bahwa burnout
memiliki hubungan yang negatif terhadap pencapaian pribadi dan motivasi
berprestasi akademis.

Faktor lain yang juga mempengaruhi terjadinya burnout adalah kondisi


di lapangan antara lain beban kerja. Beberapa ahli yang telah berkecimpung dalam
penelitian terhadap burnout berpendapat bahwa masalah beban kerja yang
berlebihan adalah salah satu faktor dari pekerjaan yang berdampak pada
timbulnya burnout (Schaufeli dkk., 1993). Sekalipun individu memiliki motivasi
berprestasi yang cukup tinggi, dimana individu mampu melihat dan memilih
setiap resiko tugas yang diberikan, kenyataan yang sering terjadi dalam dunia
kerja, banyak situasi yang membuat individu tidak dapat menolak tugas yang
diperintahkan serta seringkali harapan dan insentif yang diterima setelah
menyelesaikan tugas tidak sebanding. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Kreitner dan Kinicki (2005) mengenai harapan-harapan dalam
hal ini penugasan kerja, pembayaran atau promosi sangat rentan terhadap konflik
yang menyebabkan burnout pada karyawan.

Kondisi tersebut bila terus berlanjut akan menyebabkan burnout dimana


terjadi kelelahan emosional, depersonalisasi yaitu kondisi dan sikap yang kurang
bersahabat atau menarik diri, serta menurunnya pencapaian prestasi pribadi pada
banyak sisi kehidupan individu. Mahasiswa yang bekerja lalu mengalami burnout
akan mendapatkan dirinya menderita penurunan motivasi sekalipun banyak
mereka yang tidak mengakuinya. Hal tersebut disebabkan karena mereka berpikir
lebih baik menarik diri untuk sementara waktu (Briscoe, 1984). Kondisi tersebut
justru membuat mahasiswa yang bekerja menjadi jarang atau bahkan sering kali
48

tidak mengikuti perkuliahan secara teratur dan akhirnya berdampak pada tugas
serta nilai akademis mereka.

Neumann dan Reichel (dalam Repak, 2005), profesor dari Universitas


Boston dan Universitas Ben Gurion, melakukan penelitian tentang burnout
terhadap para mahasiswa dan menemukan bahwa mahasiswa biasa juga dapat
mengalami burnout, apalagi mahasiswa yang bekerja sekaligus kuliah, dimana
tuntutan jauh lebih banyak mereka dapatkan dibanding yang mereka harapkan.

Hasil perhitungan skor rerata empirik dan skor rerata hipotetik skala
burnout dan motivasi berprestasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 14. Rerata Empirik dan Rerata Hipotetik Skala Penelitian.

Total Standar Rerata Empirik Standar Rerata Hipotetik


Skala Deviasi Deviasi
Rerata
Subjek Item X min X max Rerata X min X max
Empirik Hipotetik

MB 98 50 26,73 77,00 164,00 102,57 25 50 200 125

Burnout 98 28 17,22 44,00 116,00 83,19 18,67 28 140 84

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa rerata empirik pada skala
motivasi berprestasi sebesar 102,57 lebih rendah dari pada rerata hipotetik sebesar
125. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki
motivasi berprestasi yang sedang. Pada skala burnout rerata empirik adalah
sebesar 83, 19 sedikit rendah dari rerata hipotetik sebesar 84, maka dapat
disimpulkan bahwa subjek penelitian mengalami burnout.

Rendahnya rerata empirik dari pada rerata hipotetik diatas terjadi karena
kesuntukan pekerjaan serta tugas kuliah yang banyak mulai berkurang, apalagi
situasi saat disebarkannya angket penelitian adalah pada minggu terakhir bulan
puasa. Kelelahan yang biasa terjadi pada hari kerja tidak begitu berat juga beban
perkuliahan serta tugas-tugas kuliah tidak sebanyak diluar bulan puasa.
Perusahaan-perusahaan juga menyesuaikan beban dan waktu kerja pada karyawan
49

selama bulan puasa. Kantor-kantor juga memilih meliburkan karyawan pada hari
sabtu, 18 November 2006 di akhir minggu, dimana hari raya Idul Fitri pada saat
itu jatuh pada hari selasa dan rabu, 21 dan 22 November 2006.

Penelitian yang dilakukan Shin, Rossario dan Morch (dalam Brian, 1999)
dengan rentang usia 23 tahun sampai dengan 65 tahun mengenai coping terhadap
burnout, menunjukkan bahwa pada rentang dibawah 25 tahun dengan status
lajang dan menjalani studi mengalami kesulitan dalam melakukan coping.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerja dengan rentang dibawah 25 tahun
yang masih studi mengalami kesulitan dalam membagi waktu dan prioritas
kegiatan. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil dari subjek penelitian seperti pada
tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia (hal 45).

Berdasarkan tabel 9 tentang deskripsi subjek berdasarkan usia, terlihat


bahwa mahasiswa yang bekerja dengan rentang usia mulai 23 sampai 30 tahun
mengalami motivasi berprestasi akademis rendah dan kecenderungan burnout
tinggi sedangkan subjek penelitian dengan usia dibawah 23 tahun memiliki
motivasi berprestasi akademis tinggi dan burnout yang rendah. Ini bisa terjadi
karena prioritas subjek penelitian dengan usia antara 23 tahun sampai dengan 30
tahun lebih memilih pekerjaan dibandingkan subjek penelitian dengan usia
dibawah 23 tahun yang lebih memilih kuliah. Kecenderungan perilaku tersebut
dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 15. Deskripsi Subjek berdasarkan Prioritas Tugas

Prioritas Rerata Motivasi Berprestasi Rerata


Jumlah Persen
Tugas Akademis Burnout

Pekerjaan 73 74% 99,69 85,39

Kuliah 25 26% 110,96 76,76


50

Berdasarkan data deskriftif pada tabel 17 terlihat bahwa individu yang


memprioritaskan penyelesaian tugas pekerjaan, lebih banyak jumlahnya dan
memiliki motivasi berprestasi akademis rendah serta burnout tinggi. Hal ini dapat
dikaitkan dengan motivasi mahasiswa yang bekerja dalam mengambil kuliah,
seperti tertera pada tabel 12 tentang deskripsi subjek berdasarkan motivasi
mengambil kuliah pada halaman 46.

Berdasarkan pada tabel 12, terlihat subjek penelitian dengan motivasi


mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout yang tinggi
terhadap motivasi berprestasi akademis. Oleh sebab itu subjek penelitian akan
lebih memprioritaskan pekerjaan dibanding kuliah, dikarenakan perkuliahan
hanya sebagai syarat untuk mendukung kenaikan jabatan.

Pada suatu penelitian di Inggris yaitu NUS Survey (dalam Wood &
Armstrong, 1999) terhadap mahasiswa bekerja yang sering gagal ujian,
diketemukan 59% mahasiswa terpengaruh dengan kehidupan kerja dan 48%
mahasiswa memilih mengutamakan kerja dibanding studi. Kemudian 38%
mahasiswa sering tidak mengikuti perkuliahan dan tidak sempat belajar. Hal
tersebut juga diketemukan dalam tabel 13 tentang deskripsi subjek berdasarkan
waktu khusus belajar pada halaman 47.

Pada tabel 13, terlihat individu yang tidak sempat memberikan waktu
khusus untuk belajar memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout
tinggi. Dibanding individu yang menyempatkan diri khusus untuk belajar, rerata
burnout lebih rendah dan rerata motivasi berprestasi akademis lebih tinggi.

Hollyforde dan Whiddett (2003) mengungkapkan ada saat dimana


motivasi berprestasi terlihat begitu tinggi walaupun hasilnya menurun. Akan
tetapi bila terjadi kegagalan dalam meningkatkan hasilnya hal tersebut akan
membawa individu menderita penurunan motivasi. Sebaliknya bila berhasil
dilakukan hal tersebut akan membangkitkan dorongan untuk berkembang pada
pencapaian selanjutnya. Dengan menyempatkan diri secara khusus untuk belajar,
membangkitkan motivasi untuk maju pada pencapaian berikutnya.
51

Beberapa hal ditempat kerja juga memiliki dampak pada mahasiswa yang
bekerja seperti yang terlihat pada data deskriptif tentang hal-hal yang kurang
memuaskan ditempat kerja pada tabel berikut:

Tabel 16. Deskripsi Subjek berdasarkan Hal-hal Yang Kurang


Memuaskan di Tempat Kerja

Hal-hal Yang Kurang


Rerata Motivasi Rerata
Memuaskan di Tempat Jumlah Persen
Berprestasi Akademis Burnout
Kerja

Jenis Pekerjaan 7 7% 139,57 61,42

Jabatan 13 13% 106,84 76,84

Suasana kenyamanan 2 2% 132,00 76,50

Hubungan 1 1% 146,00 49,00

Peningkatan Karier 34 35% 89,00 91,44

Gaji-Insentif 39 40% 104,43 82,97

Fasilitas Kerja 2 2% 88,50 88,50

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat subjek penelitian merasa kurang puas


terhadap peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih
tinggi dibanding hal-hal lain. Untuk subjek penelitian yang mengalami masalah
dengan fasilitas kerja dapat dilihat bahwa rerata motivasi berprestasi akademis
lebih rendah dibanding hal-hal lain.

Adapun data deskriptif berdasarkan komponen-komponen variabel


burnout dan motivasi berprestasi akademis memperlihatkan kondisi subjek secara
lebih spesifik seperti pada tabel berikut:
52

Tabel 17. Deskripsi Rerata Dimensi Burnout

Jumlah Rerata Dimensi


Dimensi Burnout Persen
Item Burnout

Kelelahan Emosional 8 30% 3,091

Depersonalisasi 10 35% 3,209

Penurunan Pencapaian Prestasi Pribadi 10 35% 3,008

Berdasarkan tabel diatas, nilai rerata pada dimensi depersonalisasi lebih


tinggi dibandingkan dimensi-dimensi burnout lainnya. Hal ini disebabkan subjek
penelitian berdasarkan jenis pekerjaan, lebih banyak bekerja dalam bidang yang
berkaitan dengan pelayanan publik atau berinteraksi dengan orang banyak.
Perilaku yang kurang sesuai terhadap orang lain bisa saja muncul dalam
keseharian mereka berdasarkan dimensi burnout yang mereka alami.

Tabel 18. Deskripsi Rerata Aspek-Aspek

Motivasi Berprestasi Akademis

Rerata Aspek-aspek
Jumlah Motivasi
Aspek-aspek Motivasi Berprestasi Persen
Item Berprestasi
Akademis

Tanggung Jawab 9 18% 2,658

Membutuhkan Umpan Balik 11 22% 2,344

Inovatif 10 20% 2,378

Resiko Pemilihan Tugas 10 20% 1,835

Ketekunan 10 20% 2,288


53

Berdasarkan tabel 20 tersebut subjek penelitian dalam aspek tanggung


jawab memiliki nilai rerata yang lebih tinggi dari aspek-aspek lainnya. Hal ini
mungkin disebabkan subjek penelitian sudah terbiasa bertanggung jawab atas
tugas serta tuntutan yang diberikan di kantor sehingga sekalipun dalam keadaan
burnout mereka berusaha untuk menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan kuliah.
Sedangkan untuk aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata yang lebih
rendah dibanding aspek-aspek lainnya. Hal ini mungkin, dikarenakan sebagian
besar mahasiswa yang bekerja, cenderung memilih diberikan tugas-tugas
pekerjaan dan perkuliahan yang mereka kuasai, namun kenyataannya seringkali
mereka tidak memiliki pilihan sehingga, pada saat diberi tugas perkuliahan
mereka mengerjakan tugas kuliah tidak maksimal dan tidak jarang meminta
diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena tugas pekerjaan mereka sudah
menumpuk.
BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang negatif yang sangat
signifikan antara skor burnout dengan skor motivasi berprestasi. Berdasarkan hal
tersebut dapat disimpulkan semakin tinggi burnout yang dialami Individu maka
semakin rendah motivasi berprestasi akademis, demikian juga sebaliknya,
semakin rendah burnout yang dialami individu maka motivasi berprestasinya akan
semakin tinggi.
Rerata burnout dikategorikan sedang dan motivasi berprestasi akademik
dikategorikan sedang, ini dikarenakan kondisi waktu pengambilan data pada bulan
ramadhan yang berpengaruh pada kondisi subjek penelitian.
Berdasarkan identitas pada subjek penelitian dengan usia rentang 23 tahun
sampai 30 tahun memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout yang
tinggi dibanding subjek penelitian dengan yang berusia antara 20 tahun sampai
dengan 22 tahun. Hal ini berkaitan dengan prioritas penyelesaian tugas dimana
jumlah subjek penelitian lebih banyak memprioritaskan penyelesaian tugas pada
pekerjaan memiliki motivasi berprestasi akademis rendah dan burnout tinggi.
Motivasi mengambil kuliah untuk kenaikan jabatan memiliki rerata burnout tinggi
dan rerata motivasi berprestasi akademis rendah. Demikian halnya dengan
individu yang tidak menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar
mengalami burnout dan motivasi berprestasi akademis rendah dibanding individu
yang menyempatkan diri memberi waktu khusus untuk belajar. Untuk hal-hal
yang kurang memuaskan, subjek penelitian merasa kurang puas terhadap
peningkatan karir, ini terbukti dengan nilai rerata burnout yang lebih tinggi
dibanding hal-hal lain. Untuk hal peningkatan karier dapat dilihat bahwa rerata
motivasi berprestasi akademis lebih rendah dibanding hal-hal lain.

Dimensi depersonalisasi pada variabel burnout memiliki nilai rerata yang


lebih tinggi dibanding dimensi lainnya. Hal ini dikarenakan subjek penelitian

54
55

berdasarkan data jenis pekerjaan berada dalam bidang pelayanan publik atau lebih
banyak berinteraksi dengan orang lain. Pada variabel motivasi berprestasi
akademis, aspek tanggung jawab memiliki nilai rerata tertinggi. Ini dikarenakan
subjek penelitian terbiasa dituntut tanggung jawab dalam bekerja. Sedangkan
aspek resiko pemilihan tugas memiliki nilai rerata terendah, hal ini disebabkan
mahasiswa yang bekerja berusaha mengerjakan tugas kuliah yang mereka dapat
kerjakan dan tidak jarang meminta diberikan tugas kuliah yang tidak sulit karena
tugas pekerjaan mereka sudah menumpuk.

B. Saran
1. Bagi subjek
Dengan mengetahui kondisi mereka secara pribadi, maka subjek diharapkan
untuk dapat menanggulangi burnout, dengan membuka diri, bercerita atau
berkonsultasi, beribadah, menyusun skala prioritas dan melakukan kegiatan-
kegiatan menyenangkan yang positif seperti olah raga dan rekreasi.
2. Bagi Lembaga Perguruan Tinggi
Disarankan untuk membuka wadah konsultasi dikampus sebagai sarana untuk
mendengar dan mengatasi burnout, yang diberikan pada seluruh perangkat
akademisi dalam hal ini mahasiswa, khususnya mahasiswa bekerja.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Disarankan untuk meneliti faktor-faktor penyebab burnout kaitannya dengan
motivasi berprestasi akademis atau sebaliknya faktor-faktor motivasi
berprestasi akademis kaitannya dengan burnout. Memilih subjek penelitian
dengan karakteristik yang berbeda seperti mahasiswa sekolah tinggi agama
atau cacat fisik juga memperhatikan variabel lainnya seperti gender,
perbedaan jenis kelamin, status pernikahan, jenis pekerjaan, jabatan pekerjaan,
jurusan perkuliahan, motivasi berkuliah, jarak tempat tinggal dengan kantor
dan kampus, serta banyak hal yang dapat dikaitkan dengan burnout dan
motivasi berprestasi akademis.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Y. (1985). Hubungan antara Locus of Control dengan Motivasi Berprestasi


Siswa SMAN 07 Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.

Atkinson, J. W. (1964). An Introduction to Motivation. Princeton: Van Nostrand.

Asnawi, S. (2002). Teori Motivasi Dalam Pendekatan Psikologi Industri dan


Organisasi. Jakarta: Studia Press.

Azwar, S. (1996). Tes Prestasi Fungsi Pengembangan Pengukuran Prestasi


Belajar. Edisi Kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Brewer, E. W., & Clippard, L. F. (1996). Burnout and job satisfaction among
student support services personnel. Human Resource Development
Quarterly. http://web.utk.edu/~ewbrewer. Diakses hari Senin, 2 Oktober
2006.

Brian, D. (1999). Burnout in Academic World: Teacher and Working Studentst.


www.uq-jpsp.com/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007.

Briscoe, M. L. (1984). Reflections On Academic Burnout. ADE Buletin.


www.ade.org/ade/bulletin. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007

Chaplin, J. P. (1999). Kamus Lengkap Psikologi. Alih Bahasa: Kartini Kartono.


Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cooper, C. L., Dewe, P. J., & O’Driscoll, M. P. (2001). Organizational Stress: A


Review and Critique of Theory Research and Aplications. California: Sage
Publications Inc.

Cherniss, C. (1980). Staff Burnout: Job Stress In Human Services. London: Sage

Dwivedi, R. S. (1981). Dynamics of Human Behavior at Work. New Delhi:


Oxford & IBH Publishing Co.

Farber, A. B. (1991). Crisis In Education: Stress and Burnout In The American


Teacher. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

56
57

Gage, N. L., & Berliner, D. C. (1992). Educational Psychology. 5th Edition.


Boston: Houngton Mifflin Company.

Hollyforde, S. & Whiddett, S. (2003). The Motivation Handbook. Mumbai: Jaico


Publishing House.

Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. New York: McGraw Hill Book


Company.

Juvonen, J. (2003). Motivation Analysis in Prediction of Four Year College


Academic Achievement. www.overbooked.org/gpapredict.htm. Diakses
hari Selasa, 20 Maret 2007.

Kreitner, R. & Kincki, A. (2005). Perilaku Organisasi. Edisi 5. Buku 2 Indonesia.


Alih Bahasa: Erly Suandy . Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Maslach, C. (2001). Annual Review of Psychology: Job Burnout.


www.anualreviews.org/maslach_01. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006.

McClelland, D. C., Atkinson, J. W., Clark, R. A., & Lowell, E. L. (1953). The
Achievement Motive. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc.

McClelland, D. C. (1961). The Achieving Society. Princeton: D. Van Nostrand


Company, Inc.

Miller, D. (2000). Dying to Care? Work, Stress and Burnout in HIV/AIDS. New
York: Routledge the Taylor & Francis Group.

Morgan, C. T., King, R. A., Weisz, J. R., & Schopler, J. (1986). Introduction To
Psychology: International Edition. Singapore: McGraw Hill.

Oktarina, A. (2002). Hubungan Persepsi Siswa terhadap Dukungan Sosial Orang


Tua, Guru, dan Teman dengan Motivasi Berprestasi pada Siswa SLTP
Peringkat Tinggi dan Peringkat Rendah. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Orsgaz, J. M., Orsgaz, P. R., Whitmore, D. M. (2001). Learning and Earning:


Working in College. www.brockport.edu/car01.htm. Diakses hari Senin, 2
Oktober 2006.

Papalia, D. E., & Olds, S. W. (1992). Human Development. 5th Edition. New
York: McGraw Hill Inc
58

Patient Information Publications. (1997). Burnout in Medical College Student.


http://www.patient.co.uk. Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006.

Pines, A. & Aronson, E. (1989).Career Burnout: Causes and Cures. New York:
The Free Press

Potter, B. (2006). The Burnout Sindrom. www.rwbo_rsh.edu/index/rc_12743.php.


Diakses hari Senin, 2 Oktober 2006.

Prasetyo, B. & Jannah, L.M. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Reksoatmodjo, T. N. (2007). Statistika untuk Psikologi dan Pendidikan. Jakarta:


Refika Aditama.

Repak, N. (2005). Burnout: Emotional Fatigue and Coping in Academic Student.


www.gradresources.org/article. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007

Riyanti, B. P. & Prabowo, H. (1998). Psikologi Umum 2. Jakarta: Penerbit


Gunadarma.

Sarafino, E. P. (1998). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. 3rd


Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc

Sarwono, S. W. (1981). Penggeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja:


Penelitian terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: Rajawali.

Santrock, J. W. (1990). Adolesence. 4th edition. New York: Wm C. Brown


Publisher.

Schaufeli, W. B., Maslach, C., & Marek, T. (1993). Profesional Burnout: Recent
Developments In Theory and Research. Washington DC: Routledge the
Taylor & Francis Group.

Spickard. (2001). Working College Students: Health, Educations and Burnout.


www.mc.vanderbilt.edu/root. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006.

Steinberg, L. (1993). Adolesence. 5th edition. New York: McGraw Hill Inc.

Stella, S. R. (2004). Hubungan antara Stress Kerja dengan Motivasi Berprestasi


pada Mahasiswa yang Bekerja Paruh Waktu. Skripsi (tidak diterbitkan).
Jakarta. Unika Atmajaya.
59

Sternberg, R. J., & Grigorenko, E. L. (2000). Teaching for successful


intelligence. Arlington Heights, IL: Skylight Training and Publishing Inc.

Sutjipto. (2001). Apakah anda mengalami Burnout.


www.depdiknas.go.id/jurnal/32/apakah_anda_mengalami_burnout.htm.
Diakses Jumat, 3 Maret 2006

Taylor, S. E. (1999). Health Psychology. 4th Edition. Singapore: McGraw Hill Inc

Turner, J. S. & Helms, D. B. (1995). Lifespan Development. 5th edition. Orlando:


Holt, Rineheart & Winston, Inc.

Usman, H. & Akbar, P. S. (2003). Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT.


Bumi Aksara.

Usman, R. (2001). Kampus sebagai Institusi Pencerahan. Aceh Timur: Pemda


tingkat II Aceh Timur.

Wally, N & Hubby, G. (2000). Working Student and Education Problem.


http://ericae.net/edo/ED414521.htm. Diakses hari Jumat, 3 Maret 2006.

Wikipedia. (2005). Global Industry. www.wikipedia.com/glob_histry. Diakses


hari Selasa, 20 Maret 2007.

Winkel, W. S. (1991). Psikologi Pengajar. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana


Indonesia

Wood, S. N., Armstrong, D. P. (1999). Working Student and Job Burnout:


Academic Problem and Job Dissatisfaction Studies.
www.troubleatwork.org.uk. Diakses hari Sabtu, 17 Maret 2007.
LAMPIRAN
LAMPIRAN A

IDENTITAS DAN JUMLAH SUBJEK


PENELITIAN
DATA DESKRIPTIF MOTIVASI BERPRESTASI
DATA DESKRIPTIF BURNOUT
PIE CHART DATA DESKRIPTIF
LAMPIRAN B

HASIL UJI VALIDITAS & RELIABILITAS


SKALA MOTIVASI BERPRESTASI
Item-Total Statistics

Scale Corrected
Scale Mean if Variance if Item-Total Cronbach's Alpha if
Item Deleted Item Deleted Correlation Item Deleted
VAR001 127,3980 722,551 ,454 ,971
VAR002 128,1633 700,056 ,789 ,970
VAR003 128,1837 705,863 ,757 ,970
VAR004 128,6122 714,364 ,610 ,971
VAR005 127,8469 714,750 ,464 ,971
VAR006 128,6429 697,160 ,792 ,970
VAR007 128,3980 700,428 ,792 ,970
VAR008 128,3878 707,766 ,723 ,970
VAR009 128,8469 712,750 ,691 ,970
VAR010 128,6633 698,844 ,849 ,970
VAR011 127,4082 744,368 -,216 ,972
VAR012 128,3163 707,971 ,728 ,970
VAR013 128,1837 708,976 ,735 ,970
VAR014 128,6429 718,253 ,559 ,971
VAR015 128,1531 702,750 ,783 ,970
VAR016 127,2755 730,387 ,259 ,971
VAR017 128,1429 700,804 ,838 ,970
VAR018 127,8878 728,534 ,218 ,972
VAR019 127,1735 757,774 -,503 ,973
VAR020 128,3367 721,257 ,568 ,971
VAR021 127,9388 717,007 ,520 ,971
VAR022 128,4286 701,959 ,714 ,970
VAR023 128,6224 694,794 ,816 ,970
VAR024 128,9592 717,710 ,597 ,971
VAR025 128,3980 713,933 ,685 ,970
VAR026 128,1429 698,887 ,857 ,970
VAR027 128,3878 691,663 ,849 ,970
VAR028 127,9898 706,629 ,770 ,970
VAR029 128,7755 708,609 ,734 ,970
VAR030 128,5102 704,912 ,763 ,970
VAR031 127,2449 725,919 ,408 ,971
VAR032 128,1531 699,203 ,840 ,970
VAR033 128,2041 704,597 ,798 ,970
VAR034 127,2653 743,723 -,218 ,972
VAR035 128,1224 711,902 ,838 ,970
VAR036 128,6837 708,961 ,690 ,970
VAR037 128,0612 704,120 ,789 ,970
VAR038 128,8265 729,774 ,248 ,971
VAR039 128,9490 714,853 ,705 ,970
VAR040 128,3163 714,301 ,661 ,971
VAR041 128,7245 721,026 ,495 ,971
VAR042 128,2245 701,702 ,809 ,970
VAR043 128,7347 715,022 ,585 ,971
VAR044 128,6837 706,961 ,769 ,970
VAR045 127,6735 735,006 ,039 ,972
VAR046 127,4490 725,817 ,215 ,972
VAR047 128,3469 705,920 ,743 ,970
VAR048 128,4592 711,570 ,582 ,971
VAR049 128,7551 722,372 ,461 ,971
VAR050 128,3163 713,105 ,735 ,970
VAR051 127,3265 728,573 ,302 ,971
VAR052 127,4694 730,004 ,175 ,972
VAR053 128,1020 707,185 ,724 ,970
VAR054 128,4694 698,808 ,804 ,970
VAR055 127,6327 728,606 ,246 ,971
VAR056 128,1735 717,196 ,592 ,971
VAR057 128,6020 710,304 ,681 ,970
VAR058 128,3673 703,864 ,767 ,970
VAR059 128,6224 709,289 ,714 ,970
VAR060 128,1020 710,278 ,647 ,971

Alpha 0,971

NB: Item yang gugur di cetak tebal dan di garis bawahi.


DATA VALID ITEM SKALA MOTIVASI
BERPRESTASI
HASIL UJI VALIDITAS & RELIABILITAS
SKALA BURNOUT
Item-Total Statistics

Scale Corrected Squared Cronbach's


Scale Mean if Variance if Item-Total Multiple Alpha if Item
Item Deleted Item Deleted Correlation Correlation Deleted
VAR00001 86,5714 307,216 ,220 ,340 ,935
VAR00002 87,2449 294,104 ,563 ,585 ,932
VAR00003 87,0918 290,435 ,630 ,590 ,931
VAR00004 87,2857 290,165 ,629 ,582 ,931
VAR00005 87,4082 295,646 ,538 ,585 ,932
VAR00006 87,5714 293,031 ,601 ,625 ,931
VAR00007 87,4184 290,761 ,705 ,620 ,930
VAR00008 87,3571 292,149 ,604 ,625 ,931
VAR00009 87,7857 294,418 ,536 ,582 ,932
VAR00010 87,1122 299,441 ,439 ,385 ,933
VAR00011 87,0204 294,412 ,491 ,496 ,933
VAR00012 87,4286 293,443 ,649 ,591 ,931
VAR00013 87,4898 293,345 ,568 ,549 ,932
VAR00014 87,4388 289,321 ,686 ,560 ,930
VAR00015 87,3061 289,967 ,643 ,691 ,931
VAR00016 87,4286 292,186 ,622 ,572 ,931
VAR00017 87,5714 290,062 ,587 ,598 ,932
VAR00018 87,0612 287,316 ,639 ,665 ,931
VAR00019 86,7857 299,015 ,402 ,408 ,934
VAR00020 86,9184 297,292 ,417 ,460 ,934
VAR00021 87,4796 295,283 ,510 ,472 ,932
VAR00022 86,8571 302,887 ,277 ,282 ,935
VAR00023 87,2959 289,757 ,619 ,519 ,931
VAR00024 87,3980 292,098 ,676 ,644 ,931
VAR00025 87,1837 290,729 ,577 ,573 ,932
VAR00026 86,7755 292,794 ,472 ,507 ,933
VAR00027 87,3776 292,341 ,574 ,553 ,932
VAR00028 87,1122 292,637 ,596 ,606 ,931
VAR00029 86,8776 285,902 ,681 ,634 ,930
VAR00030 87,1531 300,853 ,303 ,442 ,935

Alpha 0,934

NB: Item yang gugur di cetak tebal dan di garis bawahi.


DATA VALID ITEM SKALABURNOUT
LAMPIRAN C

UJI ASUMSI
3. UJI NORMALITAS
Hasil Uji Normalitas Skala Motivasi Berprestasi dan Skala Burnout

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
MB 98 100,0% 0 ,0% 98 100,0%
Burnout 98 100,0% 0 ,0% 98 100,0%

Descriptives

Statistic Std. Error


MB Mean 102,5714 2,70092
95% Confidence Lower Bound 97,2108
Interval for Mean Upper Bound
107,9320

5% Trimmed Mean 100,8776


Median 88,0000
Variance 714,907
Std. Deviation 26,73775
Minimum 77,00
Maximum 164,00
Range 87,00
Interquartile Range 45,50
Skewness ,989 ,244
Kurtosis -,677 ,483
Burnout Mean 83,1939 1,74027
95% Confidence Lower Bound 79,7399
Interval for Mean Upper Bound
86,6478

5% Trimmed Mean 83,7166


Median 88,5000
Variance 296,797
Std. Deviation 17,22780
Minimum 44,00
Maximum 116,00
Range 72,00
Interquartile Range 26,50
Skewness -,573 ,244
Kurtosis -,818 ,483
Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
MB ,334 98 ,000 ,764 98 ,000
Burnout ,144 98 ,000 ,926 98 ,000
a Lilliefors Significance Correction

Motivasi Berprestasi

Histogram

30

25

20
Frequency

15

10

Mean = 102.5714
Std. Dev. = 26.73775
0 N = 98
75.00 100.00 125.00 150.00
MB
Normal Q-Q Plot of MB

2
Expected Normal

-2

-4

40 60 80 100 120 140 160 180


Observed Value

Detrended Normal Q-Q Plot of MB

1.0
Dev from Normal

0.5

0.0

-0.5

-1.0
80 100 120 140 160 180
Observed Value
180.00

160.00

140.00

120.00

100.00

80.00

MB
Burnout

Histogram

25

20
Frequency

15

10

Mean = 83.1939
Std. Dev. = 17.2278
0 N = 98
40.00 60.00 80.00 100.00 120.00
Burnout
Normal Q-Q Plot of Burnout

2
Expected Normal

-2

-4

40 60 80 100 120 140


Observed Value

Detrended Normal Q-Q Plot of Burnout

0.4

0.2
Dev from Normal

0.0

-0.2

-0.4

-0.6

40 60 80 100 120
Observed Value
120.00

100.00

80.00

60.00

40.00

Burnout
4. UJI LINEARITAS
Hasil Uji Linearitas

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


MB 102,5714 26,73775 98
Burnout 83,1939 17,22780 98

Correlations

MB Burnout
Pearson MB 1,000 -,798
Correlation Burnout -,798 1,000
Sig. (1-tailed) MB . ,000
Burnout ,000 .
N MB 98 98
Burnout 98 98

Variables Entered/Removed(b)

Variables Variables
Model Entered Removed Method
1 Burnout(a) . Enter
a All requested variables entered.

b Dependent Variable: MB

Model Summary(b)

Model R R Square Adjusted R Std. Error of Change Statistics


Square the Estimate
R Square Sig. F
Change F Change df1 df2 Change
1 ,798(a) ,637 ,633 16,20129 ,637 168,194 1 96 ,000

a Predictors: (Constant), Burnout


b Dependent Variable: MB
ANOVA(b)

Model Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 44147,753 1 44147,753 168,194 ,000(a)
Residual 25198,247 96 262,482
Total 69346,000 97
a Predictors: (Constant), Burnout
b Dependent Variable: MB
Coefficients(a)

Model Unstandardized Standardized 95% Confidence Collinearity


Coefficients Coefficients t Sig. Interval for B Correlations Statistics
Std. Lower Upper Zero-
B Error Beta Bound Bound order Partial Part Tolerance VIF
1 (Constant) 205,593 8,111 25,349 ,000 189,494 221,693
Burnout - -
-1,238 ,095 -,798 ,000 -1,428 -1,049 -,798 -,798 1,000 1,000
12,969 ,798

a Dependent Variable: MB

Coefficient Correlations(a)

Model Burnout
1 Correlations Burnou
1,000
t
Covariances Burnou
,009
t
a Dependent Variable: MB

Collinearity Diagnostics(a)

Variance Proportions
Dimensio Condition
Model n Eigenvalue Index (Constant) Burnout
1 1 1,979 1,000 ,01 ,01
2 ,021 9,810 ,99 ,99
a Dependent Variable: MB

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N


Predicted Value 61,9464 151,1066 102,5714 21,33381 98
Residual -47,96161 46,32845 ,00000 16,11756 98
Std. Predicted Value -1,904 2,275 ,000 1,000 98
Std. Residual -2,960 2,860 ,000 ,995 98
a Dependent Variable: MB
Histogram

Dependent Variable: MB

25

20
Frequency

15

10

Mean = 4.61E-16
Std. Dev. = 0.995
0 N = 98
-3 -2 -1 0 1 2 3
Regression Standardized Residual

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: MB
1.0

0.8
Expected Cum Prob

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob
LAMPIRAN D
HASIL KOLERASI
Hasil Uji Korelasi Burnout dengan Motivasi Berprestasi
Akademis

MB Burnout
MB Pearson Correlation 1 -.798(**)
Sig. (1-tailed) . .000
N 98 98
Burnout Pearson Correlation -.798(**) 1
Sig. (1-tailed) .000 .
N 98 98
** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
LAMPIRAN E
GAMBAR
GRAPHIC SCATTER

180.00

160.00

140.00
MB

120.00

100.00

80.00

40.00 60.00 80.00 100.00 120.00


Burnout
LAMPIRAN F
ALAT UKUR

Anda mungkin juga menyukai