Anda di halaman 1dari 4

Dampak

Negatif Media
Massa
Alam demokrasi memberikan kesempatan media massa menyampaikan informasi,
menularkan gagasan, memberikan bimbingan, mengontrol penyimpangan-penyimpangan,
termasuk mengawasi pejabat yang korupsi, menyampaikan kebijakan pemerintah. Di
samping itu ada dampak-dampak negatif yang dapat diperbuat Alam demokrasi
memberikan kesempatan media massa menyampaikan informasi, menularkan gagasan,
memberikan bimbingan, mengontrol penyimpangan-penyimpangan, termasuk mengawasi
pejabat yang korupsi, menyampaikan kebijakan pemerintah. Di samping itu ada dampak-
dampak negatif yang dapat diperbuat melalui media massa.

Pimpinan media massa tentu menyadari bahwa kebebasan yang diberikan menuntut
tanggung jawab yang melekat erat dengan tanggung jawab yang diberikan. Sudahkah
semua penanggung jawab media massa melaksanakan tugas sesuai dengan harapan
masyarakat? Masalah ini perlu kita renungkan bersama.

Proses psikologi yang terjadi, yaitu fakta-fakta bahan informasi baik yang dapat dibaca
maupun melalui televisi atau radio, akan membentuk persepsi pembaca maupun
pendengarnya; mula-mula memberikan gambaran-gambaran yang menumpuk tersebut
dibanding-bandingkan satu dengan yang lain, akhirnya merupakan persepsi yang lebih
lengkap, mengandung gambaran dan penilaian tentang apa yang dilihat dan didengarnya.
Kumpulan persepsi-persepsi tersebut dapat membentuk citranya yang dapat lebih lama
memenuhi benak otaknya.

Citra mengandung gambaran, penilaian, dan membayangkan sesuatu yang dianggap


benar, jadi citra merupakan hasil dari berbagai persepsi yang dialami berkali-kali.

Sebagai contoh tentang citra anak, dapat penulis paparkan sebagai berikut. Pada suatu
tayangan TV terjadi wawancara di mana pewawancara menanyai seorang anak umur
sekitar 13 tahun:

Pewawancara (P): Bagaimana kesanmu tentang orang Amerika? Jawab anak: Kalau orang
Amerika itu ... semau gue ...

(P): Bagaimana kesanmu tentang orang Jepang?

Jawab anak: Kalau orang Jepang itu ... disiplin ... semangat.

(P): Bagaimana kesanmu tentang orang China?

Jawab anak: Kalau orang China itu pandai dagang.

(P): Sekarang bagaimana kesanmu tentang orang Indonesia?

Jawab anak: ... Wah ... kalau orang Indonesia ... itu ... kacau ...
Tentu saja penulis terhenyak mendengar jawaban anak yang masih polos tersebut.
Jawaban anak yang masih murni dan polos tersebut, menggambarkan citra yang melekat
dalam benaknya.

Terbentuknya Citra

Terbentuknya citra tidak terlepas dari persepsi, jadi citra anak tentang orang Indonesia
tidak terlepas dari persepsinya sehari-hari melalui TV, membaca koran, dan mendengar
berita di radio, sehingga persepsi tentang orang Indonesia yang negatif tersebut terbentuk,
karena tiap hari mendengar tentang perkosaan, penyiksaan anak, pembunuhan, korupsi,
dan sebagainya, sehingga kejadian-kejadian yang serba negatif tersebut menimbulkan
kesimpulan bahwa di Indonesia banyak orang Indonesia yang berbuat negatif,
bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku, baik nilai-nilai sosial maupun nilai agama
yang dianut anak.

Betulkah jawaban anak, yang merupakan refleksi dari citra tersebut? Jawaban anak
tersebut dapat dimengerti, karena hampir tiap hari mendengar atau dapat membaca berita-
berita negatif. Berita positif yang dapat membanggakan bangsa Indonesia, seperti Taufik
Hidayat berhasil merebut juara dunia, Chris John menjadi juara WBA, remaja kita
berhasil dalam olimpiade fisika, dan sebagainya, tersisih dari perhatian anak, sehingga
yang terkesan adalah berita yang serba negatif.

Berita-berita seperti perkosaan oleh ayah kandung, bunuh diri anak SD karena tidak dapat
membayar uang sekolah, atau berita-berita sensasional biasanya lebih menarik perhatian
pembaca atau pendengar warta berita, sehingga merupakan bahan persepsi yang dominan
dan membentuk citra anak dan remaja.

Media massa tentu bermaksud membeberkan suatu masalah dengan jelas, faktual, akurat,
seperti apa adanya. Tetapi dampak-dampak psikologik yang terjadi, mungkin kurang
mendapat perhatian, sebagai bahan pertimbangan patut dibeberkan atau ditayangkannya
berita tersebut, sehingga dapat dibaca atau dilihat masyarakat yang tingkat pendidikan dan
tingkat kedewasaannya tidak sama. Sesuai social learning theory maka yang terjadi di
lingkungan sosial akan merupakan masukan bagi perkembangan akal, perasaan, dan
kehendaknya. Bagi anak dan remaja yang dalam taraf perkembangan menemukan nilai-
nilai, sesuatu yang diketahui dari lingkungan dengan mudah akan ditirunya.

Berita-berita sensasional telah menggusur cerita tentang kepahlawanan dan cerita-cerita


yang membanggakan bangsa Indonesia, maka ilustrasi tentang citra anak bahwa orang
Indonesia "kacau" merupakan bahan introspeksi kita semua, khususnya media massa yang
ikut bertanggung jawab terhadap perkembangan masa depan bangsa Indonesia. Masalah
lain yang perlu penulis singgung adalah dampak negatif dari berita dalam media massa,
yang dapat menimbulkan demonstration effect pada masyarakat kita yang budayanya
berbeda-beda, dan pada umumnya masih rendah tingkat pendidikannya.

Sesuatu yang baru dan yang menarik perhatiannya dengan mudah akan ditiru, bahkan
dampaknya akan lebih demonstratif, seperti masyarakat yang terisolasi dan baru pertama
melihat wisatawan memakai pakaian you can see, maka remaja-remaja setempat juga
akan merubah pakaiannya, memotong lengan baju pakaiannya, sehingga lebih you can see
dari pada pakaian wisatawan wanita yang dilihatnya.

Demonstration effect juga akan terjadi pada pemuda-pemudi kita yang dapat melihat nilai-
nilai pergaulan Barat yang sangat bebas. Dalam film-film yang ditayangkan TV sering
kita melihat adegan-adegan seks bebas yang dilakukan laki-laki dengan perempuan yang
belum menikah. Meskipun pergaulan dan seks bebas tidak dilakukan semua pemuda dan
pemudi Barat, tetapi bahaya demonstration effect bisa terjadi, sehingga sementara
pemuda-pemudi kita menganggap berhubungan seks sebelum menikah sebagai hal yang
biasa, yang menganggap sebagai hal yang tabu justru dianggap pandangan yang kuno.

Budaya-budaya Barat yang ditayangkan TV akan dapat menimbulkan gegar budaya


(cultural shock) terutama pada remaja dan pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan
tertutup, dan baru mengenal nilai-nilai budaya Barat, yang sebenarnya bertentangan
dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

Contra Culture

Budaya anak muda yang berbeda dengan budaya masyarakat, dapat berupa independent
culture, yaitu budaya bebas yang tidak ada hubungan atau lepas dari budaya masyarakat,
anak-anak muda sudah merasa cukup dewasa dan dapat memilih nilai-nilai yang dianggap
cocok dan benar. Independent culture tidak selalu jelek, berbeda tetapi tidak selalu
bertentangan dengan budaya masyarakat.

Memang budaya selalu berkembang, sehubungan itu anak-anak muda perlu dijadikan
subjek untuk turut mengembangkan budaya, sehingga lebih sesuai dengan dinamika
perkembangan masyarakat. Kriteria independent culture yang tidak sesuai dengan norma
masyarakat, bukan satu-satunya ukuran tentang terjadinya penyimpangan, yang dapat
menjadi ukuran yang lebih meyakinkan adalah norma-norma agama.

Berbeda dengan independent culture, maka contra culture tidak hanya berbeda dengan
budaya masyarakat setempat. Problema semacam ini perlu kita pelajari secara cermat,
apakah budaya tradisional yang lama sudah usang dan perlu diganti yang baru, ataukah
budaya anak-anak muda yang menyimpang dari budaya tradisional yang menyimpang
dalam arti tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Ukuran baik atau buruknya contra culture harus dikembalikan pada norma agama. Kalau
budaya anak muda jelas bertentangan dengan norma masyarakat, dan jelas pula
bertentangan dengan norma agama, maka budaya anak muda tersebut harus dilarang.
Media massa dapat ikut mengontrol dan mengawasi budaya anak muda yang bertentangan
dengan norma sosial dan sekaligus bertentangan dengan norma agama.

Contoh contra culture yang perlu segera dikontrol dan diawasi media massa adalah
budaya seks bebas yang dewasa ini sudah ada beberapa tanda, adanya gejala yang
bertentangan dengan norma masyarakat dan sekaligus juga bertentangan dengan norma
agama. Perkembangan pornografi dan bahkan pornoaksi perlu segera diwaspadai karena
gejala semacam ini jelas akan merusak tatanan sosial dan nilai-nilai agama.

Penulis adalah dosen Pascasarjana UNJ

Anda mungkin juga menyukai