“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa
innaa ilaihi raaji'uun”. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari
Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah: 155-157)
“Sungguh mengagumkan urusan orang mumin itu, sesungguhnya semua urusan yang ada
padanya baik, dan sikap itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mumin, bila ia tertimpa
kesenangan maka ia bersyukur dan syukur itu baik baginya, dan bila tertimpa musibah maka ia
bersabar dan sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
َّ ِض ُل ب
الص ْب ِر ِ ول،اح
َ َكنَّا َنَت َفا ِ ت وَأل ُّ
َ ِ َم الْج َر
َ َ َ ُكلنَا نَك َْرهُ ال َْم ْو
Kita semua membenci kematian dan perihnya luka, tetapi kita dimuliakan dengan bersabar.
(Imam Ibnu Abi ad Dunya, Ash Shabru wats Tsawab ‘alaih, hal. 28)
Hal ini dianjurkan, dan dibolehkan diumumkan di masjid, agar diketahui kaum muslimin
untuk didokan dan dishalatkan. Makruh jika tujuan untuk membanggakan tentang wafatnya -misal-
karena dia tokoh. Dalil dan penjelasan:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Rasulullah ﷺmemberitahukan kami
tentang Najasyi, Raja Etiopia (Habasyah), di hari kematiannya. Beliau bersabda: “Mohonkanlah
ampun bagi saudara kalian.” (HR. Bukhari No. 1327)
وفيه استحباب االعالم بامليت ال على صورة نعي اجلاهلية بل جمرد اعالم الصالة عليه وتشييعه وقضاء حقه يف ذلك والذي جاء من النهي عن النعي
ليس املراد به هذا وامنا املراد نعي اجلاهلية املشتمل على ذكر املفاخر وغريها
Pada hadits ini terdapat kesunahan mengumumkan kematian selama tidak dengan cara
jahiliyah, tapi semata-mata pemberitahuan untuk menshalatkannya dan memenuhi haknya. Ada
pun larangan An Na’yu maksudnya adalah pemberitahuan dengan cara jahiliyah yaitu
menyebutkan dengan kebanggaan dan selain itu. (Syarh Shahih Muslim, jilid. 16, hal. 23)
Jadi, tidak benar memukul rata bahwa An Na’yu itu terlarang, Imam Az Zurqaniy
Rahimahullah menyebutkan:
3. Menangis Sewajarnya
Menangis sewajarnya itu boleh berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, yang terlarang adalah
NIYAHAH, yaitu: meratap, meraung, dan menyesali kematiannya dan tidak ridha. Allah Ta’ala
berfirman:
Dalam Shahih Al Bukhari, Rasulullah ﷺJuga pernah menangis saat wafat anaknya tercinta
yaitu Ibrahim, disaat usia masih belum dua tahun. Saat itu, Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu
‘Anhu bertanya:
ِ ٍ ِ َ وَأنْت يا رس
َ ول ِإاَّل َم ا َي ْر
ضى ُ ب حَيْ َز ُن َواَل نَ ُق ِإ
َ صلَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم َّن الْ َعنْي َ تَ ْد َم ُع َوالْ َقْل ْ ِول اللَّه َف َق َال يَا ابْ َن َع ْوف ِإن ََّها َرمْح َةٌ مُثَّ َأْتَب َع َها ب
َ ُأخَرى َف َق َال َُ َ َ َ
يم لَ َم ْح ُزونُو َن ِ ربُّنَا وِإنَّا بِِفراق َ ِإ
ِ
ُ ك يَا ْبَراه َ َ َ
“Mengapa No. menangis, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Wahai Ibnu ‘Auf,
sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang)”. Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat
yang lain dan bersabda: “Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya saja
kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini
wahai Ibrahim pastilah bersedih”. (HR. Bukhari No. 1303)
Aku memberikan rukhshah (keringanan) menangisi mayit, selama tidak melukai diri dan
tidak meratap, karena meratap itu memperbarui kesedihan, menolak kesabaran, dan dosa besar.
(Imam Ibnu Abdil Bar, al Istidzkar, jilid. 3, hal. 72. Lihat juga at Tamhid, jilid. 17, hal. 729)
ٌت َويَ ُكو ُن َم َعهُ َكاَل ٌم َمكُْروه َّ س بِالْبُ َك ِاء َقْب َل الْ َم ْو ِت َو َب ْع َدهُ َما مَلْ يُْرفَ ْع بِِه
ُ الص ْو َ اَل بَْأ
Tidak apa-apa menangis sebelum kematian mayit atau sesudahnya, selama tidak
meninggikan suara dan dicampur dengan kata-kata yang makruh. (Imam Abul Walid al Baji, al
Muntaqa Syarh al Muwaththa’, jilid. 2, hal. 25)
Mendoakan jenazah baik yang baru atau yang sudah lama, merupakan sunnah dan adab bagi
orang yang hidup kepadanya, dan doa tersebut sampai dan bermanfaat kepadanya. Ini perkara yang
telah ijma’ (konsensus) sepanjang zaman umat Islam di berbagai penjuru dunia Islam. Dalam hadits
Shahih, Rasulullah ﷺmendoakan sahabatnya yang wafat di hadapannya yaitu Abu Salamah
Radhiallahu ‘Anhu:
ني َوافْ َس ْح لَهُ يِف َقرْبِ ِه َونَ ِّو ْر لَهُ فِ ِيه ِ َّ اللَّه َّم ا ْغ ِفر َأِليِب سلَمةَ وارفَع درجتَه يِف الْمه ِديِّني واخلُْفه يِف ع ِقبِ ِه يِف الْغَابِ ِرين وا ْغ ِفر لَنَا ولَه يا ر
َ ب الْ َعالَم َ َُ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ْ َ ُ َ ََ ْ ْ َ َ َ ْ ُ
“ALLAHUMMAGHFIR LIABI SALAMAH WARFA' DARAJATAHU FIL MAHDIYYIIN WAKHLUFHU FI
'AQIBIHI FIL GHAABIRIIN, WAGHFIR LANAA WALAHU YAA RABBAL 'ALAMIIN, WAFSAH LAHU FII
QABRIHI WA NAWWIR LAHU FIIHI (Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, tinggikan derajatnya di
kalangan orang-orang yang terpimpin dengan petunjuk-Mu dan gantilah ia bagi keluarganya yang
ditinggalkannya. Ampunilah kami dan ampunilah dia. Wahai Rabb semesta alam. Lapangkanlah
kuburnya dan terangilah dia di dalam kuburnya)." (HR. Muslim no. 920)
“Adapun doa dan bersedekah, maka keduanya telah disepakati (ijma’) akan sampai
kepadanya (mayit), dan keduanya memiliki dasar dalam nash (dalil) syariat.” (Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, Jilid. 7, hal. 465)
Ahli Fiqih Abad 20, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
وال جتعل، ربنا اغفر لنا والخواننا الذين سبقونا باالميان: (والذين جاؤا من بعدهم يقولون: وهذا جممع عليه لقول اهلل تعاىل،الدعاء واالستغفار له
" " إذا ص ليتم على امليت فأخلص وا ل ه ال دعاء: وتق دم ق ول الرس ول ص لى اهلل علي ه وس لم، ) ربن ا إن ك رؤوف رحيم،يف قلوبن ا غال لل ذين آمن وا
" اللهم اغف ر حلين ا وميتن ا " وال زال الس لف واخلل ف ي دعون لالم وات ويس ألون هلم الرمحة:وحف ظ من دع اء رس ول اهلل ص لى اهلل علي ه وس لم
.والغفران دون إنكار من أحد
Berdoa dan istighfar untuknya. Ini telah menjadi ijma', berdasarkan firman Allah Ta'ala:
"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan An¡ar), mereka berdoa, “Ya Tuhan
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan
janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya
Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al Hasyr: 10). Dan sabda
Rasulullah ﷺ: “Jika kalian menyalatkan mayit maka khususkanlah doa baginya." Dan doa yang
Rasulullah ﷺsenantiasa jaga: "Ya Allah ampunilah orang yang masih hidup di antara kami dan yang
sudah wafat di antara kami." Kaum salaf dan khalaf terus menerus mendoakan orang yang sudah
wafat, memohonkan rahmat dan ampunan, dan tidak ada satu pun manusia yang mengingkari.
(Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 568)
Mendoakan jenazah bisa menggunakan doa di atas atau doa-doa lainnya yang berisi
kebaikan bagi jenazah.
Hal ini diperselisihkan para ulama, namun jumhur (mayoritas) salaf mengatakan sampai dan
bermanfaat. Hal ini berdasarkan hadits, Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
ﷺbersabda:
“Bacalah surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat di antara kalian.”
(HR. Abu Daud no. 3121, Ahmad no. 19419. Hadits ini dinilai SHAHIH, oleh Imam Ibnu Hibban
(Shahih Ibni Hibban no. 3002), Begitu pula oleh Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, Kitabul
Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah. Sementara yang lain menyatakan DHA’IF seperti
Ibnul Qaththan, Ad Daruquthni. Lihat Subulus Salam, jilid. 3, hal. 63. Lihat juga Al Hafizh Ibnu
Hajar, Talkhish Al Habir, No. 734, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid. 4, hal. 22. Mayoritas
ulama memaknai arti hadits di atas adalah membacanya menjelang wafat, namun sebagian ulama
mengatakan bisa menjelang dan/atau sesudah)
Madzhab Imam Ahmad dan mayoritas ulama salaf berpendapat sampainya (pahala baca Al
Quran buat mayit). (Taudhihul Ahkam, Jilid. 2, hal. 19)
Syaikh Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa sampainya bacaan Al Quran kepada mayit
merupakan pendapat mayoritas:
Dalam mazhab Syafi’i, ada dua pendapat, yang masyhur adalah tidak sampai, namun yang
mukhtar (terpilih) oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah adalah sampai. Dalam Fathul Mu’in tertulis:
املشهور من مذهب الشافعي أنه ال يصل ثواهبا إىل امليت وقال بعض أصحابنا يصل ثواهبا للميت: أما القراءة فقد قال النووي يف شرح مسلم
مبجرد قصده هبا ولو بعدها وعليه األئمة الثالثة واختاره كثريون من أئمتنا واعتمده السبكي وغريه
Ada pun membaca Al Quran (buat mayit), berkata An Nawawi dalam Syarh Muslim: “Yang
MASYHUR dari mazhab Syafi’i adalah tidak sampai pahalanya.” Sebagian sahabat kami (Syafi’iyyah)
berkata: sampai pahalanya kepada mayit jika semata-mata dimaksudkan kepadanya walau
dilakukan setelah wafatnya. Inilah yang dianut oleh tiga imam, dan DIPILIH (MUKHTAR) oleh
mayoritas imam-imam kami, dan dipegang oleh As Subki dan lainnya. (Imam Zainuddin Al Malibari,
Fathul Mu’in, jilid. 1, hal. 432)
Ini juga sampai dan bermanfaat berdasarkan sunnah dan ijma’. Dari Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
ِ ِ
َّق َعْنهُ قَ َال َن َع ْم
َ صدَ َوص َف َه ْل يُ َكف ُِّر َعْنهُ َأ ْن َأت َ صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم ِإ َّن َأيِب َم
ِ ُات َوَتَر َك َمااًل َومَلْ ي َّ
َ ِّ َأن َر ُجاًل قَ َال للنَّيِب
“Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi : “Sesungguhnya ayahku sudah wafat,
dia meninggalkan harta dan belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal
itu akan menghapuskan kesalahannya? Rasulullah menjawa: Na’am (ya).” (HR. Muslim No. 1630)
Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, memasukkan hadits ini dalam Bab Wushul Tsawab
Ash Shadaqat Ilal Mayyit (Bab: Sampainya pahala Sedekah kepada Mayit). Imam An Nasa’i dalam
kitab Sunan-nya memasukkan hadits ini dalam Bab Fadhlu Ash Shadaqat ‘anil Mayyit (Bab:
Keutamaan Bersedekah Untuk Mayyit).
A. Memandikan
Namun ini tidak berlaku bagi yang mati syahid karena peperangan, mereka tidak
dimandikan, dan tidak dikafankan tetapi dikubur dengan pakaian terakhir yang dipakainya, tidak
wajib dishalatkan tapi boleh jika dishalatkan. (Mukhtashar al Fiqh al Islami, hal. 570)
Pada dasarnya tidaklah mayit laki-laki dimandikan kecuali oleh laki-laki, dan wanita juga
demikian, karena pertimbangannya memandikan sesama jenis itu lebih ringan, dan keharaman
menyentuh itu tetap ada pada kondisi hidup dan setelah matinya. Mereka (ulama) berbeda
pendapat tentang urutan (siapa yang paling berhak). Hanafiyah mengatakan yang disunnahkan
adalah yang lebih dekat kekerabatannya dengan si mayit, namun jika dia tidak tahu bagaimana
memandikan, maka diberikan kepada orang yang amanah dan wara’. (Ibid, jilid. 13, hal. 56)
أن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم: فعند ابن ماجه. ويسرت ما يظهر له من الشر، لينشر ما يراه من اخلري،وينبغي أن يكون الغاسل ثقة أمينا صاحلا
." " ليغسل موتاكم املأمونون:قال
Sepatutnya orang yang memandikan adalah orang yang terpercaya, amanah, dan shalih.
Supaya jika ada kebaikan yang dilihatnya dia bisa sebarkan, dan dia menutup jika ada keburukan
yang Nampak. Dalam hadits Ibnu Majah, bahwa Rasulullah ﷺbersabda: “Hendaknya yang
memandikan mayat kalian adalah orang-orang yang amanah.” (Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 514)
B. Mengkafankan
.َو َّات َف ُقوا على وجوب تكفني الْ َميِّت َوَأنه مقدم على ال ّدين َوالْ َو َرثَة
Para ulama sepakat wajibnya mengkafankan mayat, dan ini didahulukan dibanding
pengurusan hutang dan warisan. (Ikhtilaful Aimmah Al ‘Ulama, jilid. 1, hal. 179)
Kain kafan laki-laki adalah tiga lembar menurut mayoritas ulama, seperti Imam Malik, Imam
Asy Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal. Ada pun Imam Abu Hanifah mengatakan dua lembar,
namun seandainya tiga lembar maka itu afdhal (lebih utama). Di sisi lain, Semua sepakat minimal
satu lembar juga tetap sah. Sebab intinya sudah terpenuhi yaitu tertutupnya aurat mayit. Ada pun
mayit wanita juga tiga lembar seperti laki-laki, namun lima lembar lebih afdhal. Menurut Imam
Malik tidak ada batasan khusus tentang jumlah lembar kain, sehingga seandainya hanya selembar
pun tetap sah, karena prinsipnya telah terpenuhi yaitu tertutupnya aurat.
Hendaknya berwarna putih, dan ada pun yang makruh: mu’ashfar (berwarna
‘ushfur/merah), muza’far (mengandung za’faran) dan sutera. Boleh dengan kain ihram, ada pun
yang wafatnya saat ihram, dia dikafankan dengan kain ihramnya tanpa menutup kepalanya, kecuali
wanita tetap ditutup kepalanya. (Ibid, jilid. 1, hal. 179-180. 1, lihat juga Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal.
517-519)
C. Dishalatkan
Ini juga fardhu kifayah berdasarkan ijma’ (Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 521), dan telah sama-
sama diketahui. Keutamaannya seperti yang Rasulullah ﷺsampaikan:
ِ َ َان؟ ق
ِ «مثْل الجبلَي ِن ِ
ِ َالقيراط ِ ِ ِ ِ ِ ِّ َ ُالجنَ َاز َة َحتَّى ي
»يم ْي ِن
َ العظ
َ ْ َ َ ُ :ال َ َو َما:يل
َ ق،» َو َم ْن َشه َد َحتَّى تُ ْدفَ َن َكا َن لَهُ ق َيراطَان،ٌ َفلَهُ ق َيراط،صل َي َ َم ْن َش ِه َد
Siapa yang menyaksikan jenazah sampai dia menyalatkannya maka dia dapat pahala SATU
QIRATH, siapa yang menyaksikan sampai penguburan maka dia mendapatkan DUA QIRATH. Lalu
ada yang bertanya: “Berapa dua qirath?” Beliau menjawab: “Ukuran dua gunung besar.” (HR.
Bukhari no. 1325. Dalam Shahih Muslim no. 945, satu qirath adalah sebesar gunung Uhud)
Boleh shalat jenazah di waktu terlarang shalat, sebagaimana para sahabat nabi -baik
muhajirin dan anshar- menyalatkan ‘Aqil bin Abi Thalib, setelah ‘ashar dan tidak satu pun sahabat
nabi yang mengingkarinya. Sehingga kebolehan ini menjadi ijma’. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al
Hawi Al Kabir, jilid. 3, hal. 95)
D. Dikuburkan
Ini fardhu kifayah, mayoritas ulama mengatakan boleh dikuburkan siang atau malam. Syaikh
Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يرى مجهور العلماء أن الدفن. ) (أمل جنعل االرض كفاتا أحياء وأمواتا: قال اهلل تعاىل،أمجع املسلمون على أن دفن امليت ومواراة بدنه فرض كفاية
ودفن علي فاطمة رضي، فقد دفن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم الرجل الذي كان يرفع صوته بالذكر ليال.بالليل كالدفن بالنهار سواء بسواء
. وكذلك دفن أبو بكر وعثمان وعائشة وابن مسعود،اهلل عنها ليال
Kaum muslimin telah ijma’ bahwa menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah. Allah Ta’ala
berfirman: “Bukankah kami jadikan bumi ini tempat berkumpul bagi yang hidup dan yang mati”.
Mayoritas ulama mengatakan menguburkan di malam hari itu sama dengan di siang hari, tidak
lebih tidak kurang. Rasulullah ﷺmenguburkan di malam hari seorang laki-laki yang meninggikan
suaranya saat berdzikir, Ali menguburkan Fathimah di malam hari, demikian juga Abu Bakar,
Utsman, Aisyah, dan Ibnu Mas’ud. (Fiqhus Sunnah, jilid. 1, hal. 543)
Sunnah dibacakan Al Quran di kubur menurut mayoritas ulama dan salaf. Tertulis dalam Al
Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:
ِ َذهب مُجْهور احْل نَ ِفيَّ ِة والشَّافِعِيَّ ِة واحْل نَابِلَ ِة ِإىَل َأنَّه الَ تُكْره قِراءةُ الْ ُقر
ُّ آن يِف الْ َم َقابِ ِر بَل تُ ْستَ َح
ب ْ َ َ َُ ُ َ َ َ َ ُ ُ َ َ
Mayoritas ulama baik Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah mengatakan tidak makruh
membaca Al Quran di kuburan bahkan itu sunnah (mustahab). (Al Mausu’ah, jilid. 38, hal. 347)
Dalilnya:
ِ اهلل صلَّى اهلل علَي ِه وسلَّم ي ُقو ُل ِإذَا مات َأح ُد ُكم فَالَ حَتْبِسوه وَأس ِرعوا بِِه ِإىَل َق ِ ِه ولْي ْقرْأ ِعْن َد ر
ْأس ِه ِ ع ِن اب ِن عمر ر ِضي اهلل عْنهما قَ َال مَسِ عت رسو َل
َ َ ُ َ رْب ُْ ْ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ َْ ُ َ ُْ َ ُ ْ َ ُ َ ُ َ َ ََ ُ ْ َ
ِاب و ِعْن َد ِرجلَي ِه خِب امِت َِة سور ِة الْب َقر ِة يِف َق ِ ه
ِ ِ ِ ِ حِت
رْب َ َ َ ُْ َ ْ ْ َ َب َفا َة الْكت
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu'Alaihi
wa sallam bersabda, “Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan,
segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan
ayat terakhir Surat Al Baqarah di dekat kakinya”.
(HR. At Thabarani dalam Al Mu'jam Al Kabir No. 13613, Al Baihaqi dalam Syu'ab Al Iman
No. 9294. Al Hafidz Ibnu Hajar Al 'Asqalani, imam pakar hadits dizamannya menyatakan bahwa
status hadits di atas adalah HASAN. (Fathul Bari, 3/184). Penghasanan terhadap hadits ini juga
diikuti oleh: Imam Badruddin Al 'Aini. ('Umdatul Qari, 12/382). Imam Ash Shan'ani (Subulussalam,
2/106). Imam Az Zurqani (Syarh Az Zurqani, 2/127)
Imam Yahya bin Ma'in Rahimahullah, imam yang begitu ketat dalam penelitian hadits.
Beliau ditanya tentang hukum membaca Al Quran di sisi kubur, Beliau menjawab:
ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺒﺸﺮ ﺑﻦ ﺇﻤﺳﺎﻋﻴﻞ اﺤﻟﻠﻲﺒ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﻤﺣﻦ ﺑﻦ اﻟﻌﻼء ﺑﻦ اﻟﻠﺠﻼﺝ ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻟﺒﻨﻴﻪ ﺇﺫا ﺃﺩﺧﻠﺖ اﻟﻘﺮﺒ ﻓﻀﻌﻮﻲﻧ ﻲﻓ اﻟﻠﺤﺪ ﻭﻗﻮﻟﻮا ﺑﺴﻢ اﻪﻠﻟ
ﻭﻋﻠﻰ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ اﻪﻠﻟ ﻭﺳﻨﻮا ﻋﻠﻰ اﻟﺮﺘاﺏ ﺳﻨﺎ ﻭاﻗﺮﺅﻭا ﻋﻨﺪ ﺭﺃﺳﻲ ﺃﻭﻝ اﻟﺒﻘﺮﺓ ﻭﺧﺎﻤﺗﺘﻬﺎ ﻓﺈﻲﻧ ﺭﺃﻳﺖ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺫاﻙ
Berkata kepadaku Mubasysyir bin Ismail al Halabi, dari Abdurrahman bin al 'Ala dari
ayahnya, bahwa dia berkata kepada anaknya: "Jika engkau memasukkan aku ke kubur, letakkanlah
aku di Lahad, bacalah "Bismillah wa' ala Sunnati Rasulillah," dan dan bacakanlah dibagian kepalaku
awal surat Al Baqarah dan penutupnya, SEBAB AKU MELIHAT IBNU UMAR menyukai
(menyunnahkan) hal itu. (Tarikh Ibnu Ma'in, 4 /502)
Ini juga perilaku para sahabat Anshar, Imam Amir Asy Sya'bi Rahimahullah berkata:
كانت األنصار إذا مات هلم امليت اختلفوا إىل قربه يقرءون عنده القرآن
Orang-orang Anshar (para sahabat) jika ada yang wafat si antara mereka, mereka
berkumpul di kubur mayit tersebut, dan mereka membaca Al Quran di sisinya. (Imam Abu Bakar Al
Khalal, Al Qira'ah 'Indal Qubur, no. 7)
8. Beberapa Pertanyaan
Boleh menurut mayoritas. Hal itu dilakukan oleh Ali Radhiallahu ‘Anhu memandikan
Fathimah Radhiallahu ‘Anha, dengan sanad shahih dalam kitab Usudul Ghabah-nya Imam Ibnul Atsir.
Peristiwa itu tidak ada yang mengingkari dan telah menjadi ijma’. (Al Mausu’ah, jilid. 13, hal. 58).
Sebagian ulama mazhab Syafi’i mengatakan, utamakan kaum wanita dulu, jika tidak ada barulah
suaminya. (Imam An Nawawi, Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, jilid. 5, hal. 135) Sebagian Syafi’iyah
yang lain mengatakan suami lebih utama, jika tidak ada atau tidak mampu barulah kaum wanita.
(Imam Asy Syarbini, Mughni al Muhtaj, jilid. 1, hal. 335) Malikiyah mengatakan suami lebih utama,
barulah kaum wanita. (Imam Al Kharrasyi, Syarh Mukhtashar Al Khalil, jilid. 2, hal. 114) Sementara
Hanafiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengatakan: tidak boleh, karena kematian
membuat bukan mahram lagi, seperti perceraian. (Al Mausu’ah, jlid. 13, hal. 58) Yang lebih kuat
adalah BOLEH, berdasarkan ucapan Rasulullah ﷺkepada Aisyah:
ِ ُك و َدفنت
ِ ِ ِ ِ ِ ِّ ما ضَّر ِك لَو ِم
ك ُ صلَّْي
َ ت َعلَْي َ ت َعلَْيك َفغَ َّسْلتُك َو َكفَّنتُك َو
ُ ت ْقبلي ف ُق ْم ْ َ َ
"Tidak apa-apa bagimu sekiranya kamu meninggal sebelumku, aku akan mengurusimu,
memandikan, mengafani, menshalatkan dan menguburkanmu. " (HR. Ibnu Majah no. 1465. Al
Bushiri mengatakan: “para perawinya terpercaya.”)
Ada pun istri memandikan suami, maka mayoritas ulama mengatakan boleh, bahkan Ibnul
Mundzir dan Al ‘Abdari menukil adanya ijma’ kebolehan hal ini. (Syaikh Muhammad Na’im Sa’iy,
Mausu’ah Masail al Jumhur, jilid. 1, hal. 245)
- Apakah anak boleh memandikan orang tuanya?
Boleh, yaitu anak laki-laki memandikan ayah, sedangkan anak perempuan memandikan
ibunya. Ada pun anak laki memandikan ibu, atau anak perempuan memandikan ayah, maka ini
hanya boleh jika tidak ada pilihan yang sejenis lagi. Maksudnya untuk ibu, usahakan dimandikan oleh
kaum wanita dulu, jika tidak ada sama sekali barulah anak laki-lakinya dan tetap jaga auratnya.
Untuk ayah usahakan cari kaum laki-laki dulu, jika tidak sama sekali barulah anak wanitanya. (Al
Mausu’ah, jilid. 13, hal. 57)
Ya, ini sunnah, sama seperti mandi wajib bagi orang hidup. Ini sepakat empat mazhab.
Ya ganjil, Minimal tiga kali siraman menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Malik yang
mengatakan tidak ada batas minimal. (Syaikh Muhammad Na’im Sa’iy, Mausu’ah Masail al Jumhur,
jilid. 1, hal. 247), boleh lebih dari tiga, baik lima, tujuh, dst.
- Apakah ada dasarnya menghadapkan orang yang menjelang wafat dan mayat ke arah
kiblat?
Itu hal yang sunnah, baik menjelang kematian atau sesudah wafat. Sebagaimana
diriwayatkan oleh Al Hakim dan Al Baihaqi, dari Abu Qatadah bahwa Bara bin Ma’rur berpesan ketika
menjelang kematiannya agar dihadapkan kearah kiblat. Dan, hal itu disampaikan kepada Nabi ﷺ
beliau bersabda: “Itu tepat pada fitrahnya.” (HR. Al Hakim, 1/353, Al Baihaqi, 3/384. Dishahihkan
oleh Imam Al Hakim dan disepakati Imam Adz Dzahabi), juga hadits lain: “Baitul Haram adalah
kiblat kalian baik ketika hidup dan mati.” (HR. Abu Daud No. 2875, Al Hakim, 1/59, 4/259, Al
Baihaqi, 3/408. Hasan, lihat Shahihul Jami’ No. 4605)
Melepaskan tali pocong yang mengikat kepala dan badan adalah sunnah. Ini dilakukan para
salaf seperti yang disebutkan Imam Ibnu Abi Syaibah, sanadnya lemah namun sangat banyak
jalurnya sehingga jika dikumpulkan menjadi kuat dan telah menjadi dasar. Juga dilakukan Rasulullah
ﷺterhadap jenazah Nu’aim bin Mas’ud Al Asyja’i, saat melepas tali yang mengatupkan mulutnya.
(Syaikh Husein bin ‘Audah, Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Muyassarah, jilid. 4, hal. 163. Imam Ibnu
Qudamah, Al Mughni, jilid. 2, hal. 191)
Azan dikubur diperselisihkan. Sebagian ulama mengatakan benar adanya, seperti Syafi’iyyah
dan Malikiyah generasi belakangan. Dalilnya adalah qiyas, yaitu diqiyaskan dengan saat manusia
lahir ke dunia diazankan maka meninggalkannya pun juga demikian. Namun, Imam Malik
membid’ahkan azan dipakai selain untuk shalat. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 2,
hal.373)
Itu sunnah menurut mayoritas ulama (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, jilid. 32,
hal. 250), berdasarkan banyak dalil. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu 'Anhu, katanya:
ْأس ِه ِم ْن ِشق ِِّه اَألمْيَ ِن ِ ِ ٍ ِِ ٍ ش الْماء علَى َق ِ ِه بِالَ ُل بن رب ِ
َ اح بق ْربَة بَ َدَأ م ْن قبَ ِل َرََ ُْ َو َكا َن الَّذى َر َّ َ َ َ رْب: قَ َال. الْ َماءُ َرشًّا-صلى اهلل عليه وسلم- ِّ ش َعلَى َقرْبِ النَّىِب َّ ُر
َحىَّت ا ْنَت َهى ِإىَل ِر ْجلَْي ِه
Kubur Nabi ﷺdisirami air Jabir berkata: Yang menyiramkannya adalah Bilal bin Rabah
dengan sebuah qirbah (wadah air dari kulit), dimulai dari bagian kepala sisi bagian kanan sampai
ujung kakinya. (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6990)
َصبَاء
ْ ضع عليه َح
َ إبراهيم َو َو
َ ش َعلَى َقرْبِ ابنه
َّ النيب صلى اللَّه عليه وسلم َر
ّ أن
Bahwa Nabi ﷺmenyiramkan air ke kubur puteranya, Ibrahim, dan meletakkan kerikil di
atasnya. (HR. Musnad Asy Syafi’i No. 599, dengan susunan Syaikh As Sindiy)
أن النيب قام على قرب عثمان بن مظعون بعدما دفنه وأمر برش املاء
Bahwa Nabi ﷺberdiri di sisi kubur Utsman bin mash’un setelah dikuburnya dan
memerintahkan untuk disiramkan air. (HR. Al Bazzar No. 3822)
Syaikh Muhammad Abdul Malik Az Zaghabi mengatakan bahwa semua sanad hadits tema di
atas adalah dhaif, tetapi satu sama lain saling menguatkan sehingga sampai derajat maqbul (bisa
diterima), dan menjadi dalil disyariatkannya amal tersebut. (Tsamanun Su'aalan 'An 'Adzaabil
Qabri wa Na'iimihi, Maktabatul Iman, Manshurah, Mesir)
أما احلكمة يف رش املاء ووضع احلصى فال نعرفها فما علينا إال: ومعلوم أن إبراهيم مات طفالً ال وزر عليه وإمنا يفعل ذلك الرسول تعليما لنا
القبول واإلمتثال ألن يف الشرع أموراً تعبدية ال ندرك أسرارها
Telah diketahui bahwa Ibrahim wafat saat masih kecil dan tidak ada dosa padanya.
Perbuatan Rasulullah ﷺitu merupakan pendidikan buat kita, ada pun apa hikmahnya dalam
menyirami air dan meletakkan kerikil itu kita tidak mengetahuinya, yang wajib bagi kita adalah
menerimanya dan menjalankannya, karena pada syariat ada perkara peribadatan yang akal kita
tidak mencapai apa rahasia-rahasianya. (Musnad Asy Syafi’i, Ibid)
Ini diperselisihkan ulama. Ini sunnah menurut para fuqaha Syafi’iyyah, dan bid’ah menurut
ulama Hambali di Arab Saudi seperti Syaikh Bin Baaz.
يسن وضع جريدة خضراء لالتباع و سنده صحيح و ألنه يخفف عنه ببركة تسبيحها اذ هو اكمل من تسبيح اليابسة لما تلك من نوع حياة
و قيس بها ما اعتيد من طرح الريحان و نحوه
Disunahkan meletakkan pelepah kurma yang masih hijau dalam rangka mengikuti sunah,
dan sanadnya shahih, dan hal itu bisa meringankan si ahli kubur mellui keberkahan tasbih pelepah
kurma tsb. Lebih sempurna lagi tasbih dr yang pelepah masih basah karena itu termasuk jenis
tanaman hidup, dan diqiyaskan dengan hal itu adalah menaburkan kembang harum dan
semisalnya. (Tuhfatul Muhtaj, 3/198)
Demikian. Wallahu A’lam