Pada suatu hari di di pedalaman hutan ada seekor burung
merak yang angkuh dan sangat sombong. Ia sangat membanggakan dirinya karena memiliki bulu-bulu yang indah. Keseharian Merak selain mencari makan Ia lebih sering berjalan-jalan dan menjumpai binatang lainnya hanya sekedar untuk menyombongkan keindahan yang dimilikinya. Saat Merak sedang berjalan-jalan di tengah hutan, Ia bertemu dengan Bebek, dan seperti biasa merak beraksi menyombongkan dirinya. Ia mulai merentangkan bulu indahnya dihadapan si bebek. “Lihat bebek, lihatlah bulu indahku ini. Apakah kau punya bulu-bulu yang indah seperti diriku,” kata Merak Bebek yang tidak suka berdebat akhirnya memilih diam dan pergi meninggalkan Merak yang sombong itu. “Ah, kau ini memang bebek payah dan jelek.” ujar Merak melihat bebek pergi meninggalkannya. Tidak berapa lama hinggap lah bangau. Dan seperti biasa Merak mulai merentangkan bulunya yang indah dibawah sinar matahari. “Bangau, coba kau lihat,” kata Merak “Dapatkah kau mengalahkan keindahan ku? Lihat, aku bermandikan kemewahan dan pelangi, sedangkan bulu mu kusam kelabu seperti debu.” Bangau pun mulai merentangkan sayapnya dengan lebar-lebar dan kemudian ia terbang ke atas. Di atas bangau bicara kepada Merak “Merak, lihatlah aku. Apakah kau bisa terbang seperti aku, ikutilah aku jika kau bisa,” kata bangau. Akan tetapi Merak hanya bisa diam berdiri terpaku karena Ia tidak bisa terbang keatas seperti bangau.
Hikmah: Janganlah kita menyombongkan diri terhadap apa yang kita
miliki. Karena mungkin saja mereka punya apa yang kita tidak miliki. Malin Kundang
Dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga kecil berasal dari daerah
pesisir pulau Sumatera. Mereka memiliki seorang anak laki-laki yang sangat baik dan ramah, dia bernama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat mengkhawatirkan, jangankan membeli pakaian baru, untuk sekedar makan setiap hari saja mereka sulit. Itulah alasan utama Ayahnya untuk mencari pekerjaan ke daerah lain.
Harapan terbesar mereka adalah Ayahnya pulang dengan selamat
dan membawa pakaian baru, uang yang banyak, dan bisa memperbaiki rumah tuanya yang surah rapuh dimakan rayap. Setelah berbulan-bulan Ayahnya merantau, jangankan surat, kabar keberadaanya pun tidak ada, Malin Kundang dan ibunya sangat kecewa dan sedih.
Kini Malin kecil sudah tumbuh dewasa, ia menjadi pemuda yang
tampan dan gagah. Malin Kundang berpikir mencari pekerjaan di daerah lain, mengingat sulitnya mencari pekerjaan yang layah di daerahnya, tentunya dengan harapan yang sama, bahwa ketika dia kembali ke kampung halamannya, bisa menjadi orang kaya.
Akhirnya Malin Kundang pun ikut berlayar bersama dengan
seorang pembuat kapal dagang yang sukses di kampungnya. Sementara di kapal, Malin Kundang yang serba ingin tahu, terus bertanya dan mempelajari ilmu pelayaran dari teman-temannya. Malin Kundang belajar dengan tekun tentang pembuatan kapal, dan akhirnya dia sangat mahir dalam ilmu itu.
Lebih dari 10 pulau sudah dia kunjungi, namun sayangnya hari
naaspun datang, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin diserang oleh bajak laut. Semua harta benda itu disita, beberapa anak buah kapal dibunuh oleh bajak laut. Malin yang sudah hafal seluk beluk kapal, dia bersembunyi sampai tidak asa satu orang pun yang menemukannya, dia pun selamat. Kapal itu dihancurkan para perompak, Malin Kundang terombang ambing di tengah laut tanpa tahu arah. Nasib baik masih berpihak kepada Malin, dia terdampar di pantai. Tubuh yang lemah tidak makan siang dan malam, Malin Kundang berusaha berjalan ke desa terdekat dari pantai itu. Malin dibantu oleh warga desa itu, setelah menjelaskan apa yang sudah menimpanya.
Betapa terkejutnya dia ketika melihat desa yang subur, berbeda
dengan deta tempat kelahirannya yang gersang dan susah air. Warganya yang ramah, menerima Malin dengan baik, dengan keuletan dan ketekunannya di desa itu, Malin berhasil menjadi orang kaya. Ini memiliki banyak kapal dagang dengan, lebih dari 100 orang yang bekerja padanya.
Karena merasa sudah sukses dan kaya, Malin menikahi seorang
gadis, dia dan istrinya berlayar ke seluruh dunia untuk berbulan madu. Akhirnya dia tiba di sebuah pulau di mana dia dilahirkan. Semua orang yang mengenalnya, menyampaikan kabar baik kepulangan Malin Kundang kepada ibunya.
Dengan hati yang sangat bahagia, ibunya membawa makanan
kesukaan Malin Kundang, tetapi sayangnya dia tidak mengenali ibunya. Dia berpura-pura, karena dia malu, Ibunya datang dengan pakaikan jelek.
“Malin Kundang anak durhaka,” begitu warga menyebutnya.
Kecewa dengan kelakuan putranya ibunya mengutuk Malin ke batu. Malin Kundang yang gagah dan kaya raya itu pun akhirnya perlahan tubunya menjadi batu. Malin berusaha untuk meminta maaf, namu sayang Ibunya tidak bisa menarik kutukan itu sampai seluruh tubuhnya berubah menjadi batu seutuhnya.
Pesan Moral: Pada cerita rakyat Malin Kundang ini, ketekunan,
keuletan, dan kerja keras Malin Kundang memang harus kita tiru, karena itu adalah contoh yang baik. Sifat malu mengakui orang tuanya itu yang tidak boleh dicontoh, karena sekaya apapun kita tidak akan bisa membalas budi baik orang tua yang sudah merawat dan membersarkan kita.