Anda di halaman 1dari 38

Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan:

Studi Hermeneutik menurut Teori Humanisme Mangunwijaya

terhadap Lukas 10:25-37

TUGAS AKHIR

DIBUAT OLEH:

Dania Natalia Kamuntuan

712014077

Fakultas Teologi

Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga

2019
ii
iii
,

iv
v
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur bagi Allah yang selalu hadir sebagai manusia Ilahi yang oleh
karena rahmat-Nya telah membawa dan menuntun penulis untuk menyelesaikan tugas
akhir ini, sehingga dapat terselesaikan dengan segala baik. Proses penulisan tugas
akhirnya ini telah menjadi perjalanan iman dari penulis yang oleh kasih-Nya telah
menghadirkan lingkungan dan orang-orang yang senantiasa mendukung serta turut hadir
dalam proses penyelesaian tugas akhir ini, untuk itu izinkan penulis untuk berterima
kasih kepada:

1. Mama, papa dan kak Stefan Kamuntuan yang selalu memberikan motivasi dan
semangat serta selalu mendoakan penulis.
2. Ray Kamuntuan, Ane Mokodongan, Asti Pomo, ade Yegha dan ade Queen yang
turut memberikan dukungan untuk penulis.
3. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang telah menerima dan
mengijinkan penulis untuk dapat berproses dalam kampus Indonesia mini ini.
4. Fakultas Teologi yang di dalamnya para pimpinan, dosen, staf, serta petugas
kebersihan yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman serta
menciptakan lingkungan yang mendukung bagi penulis selama proses
perkuliahan.
5. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS., Ph.D., sebagai Pembimbing I, dan Pdt. Agus
Supratikno, M.Th sebagai Pembimbing II yang setia memberikan waktunya untuk
selalu mengarahkan dan membimbing penulis serta memperlengkapi penulis
dengan berbagai ilmu demi rampungnya tugas akhir ini.
6. Para petugas perpustakaan Kolsani Yogyakarta yang menuntun penulis untuk
mengenal karya-karya dari Mangunwijaya dengan berbagai ilmu dan buku-buku
yang dipinjamkan.
7. Wali Studi Dr. David Samiyono MTS, MSLS bersama rekan-rekan perwalian
yang menjadi keluarga penulis selama berkuliah di UKSW.
8. Rekan-rekan Teologi angkatan 2014 Bisa, Maju, Berprestasi!, sebagai teman,
saudara seperjuangan dan sepelayanan.

vi
9. Keluarga Indonesia Internasional Culture Festival (IICF) yang telah bersedia
mendukung, memberikan motivasi, penghiburan dan semangat untuk penulis
sebagai saudara dalam indahnya perbedaan.
10. Rekan-rekan PPL 1-5 dan Panti Asuhan Sumber Kasih yang telah menjadi rekan
dalam sepelayanan selama PPL.
11. Sahabar-sahabat penulis yang tergabung dalam grup “kece”: Mega Pantow,
Jessica Londa, Julinda Baris, Vella Simbadju, Isabella Mokoagow, Tifany
Watuliu, Olif Watuliu, Christin Manosoh, Della Parigi dan Putri Kapoh.
12. Saudara-saudariku dalam persatuan kost kartini satu: Justitia, Vero, Tere, Rachel
Evalina dan Rachel Guluda yang telah mendukung dan memberikan kasih
sayangnya kepada penulis.
13. Kelompok diskusi Bonafide Alti Howan, Nataniel Blegur, AJPM, Eman Manoe
dll yang telah membantu penulis dalam menambah ilmu selama proses penulisan
tugas akhir ini.
14. Sahabat-sahabat terkasih yang telah menjadi saudara seperjuangan dalam satu
bimbingan Vina Prisilia Inik, Evi Livenia Porayouw dan Joshua Hendrikson
Siregar.
15. Gloria Saraun dan Claudia Losu sebagai teman, sahabat dan saudara dalam
perantauan.
16. Andre Sarese dan Jovial Lalenoh sebagai teman-teman yang telah membantu
penulis dalam proses penulisan (pengetahuan dalam mengatur kalimat dan
meminjamkan buku-buku)
17. Bagi seluruh kelompok marginal baik yang miskin, terpinggirkan dll yang
seharusnya dimanusiakan oleh sesama manusia.

Salatiga, 09 September 2019

Dania Natalia Kamuntuan

vii
Daftar Isi
Lembaran Pengesahan ........................................................................................................ ii
Pernyataan Tidak Plagiat ................................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Akses …….……………………………………………………. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi.……………………………………………………….. v
Ucapan Terimakasih .......................................................................................................... vi
Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………………………… viii

Abstrak ................................................................................................................................ x
1. Pendahuluan ................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................................. 4
1.4 Metode dan Teknik Penelitian............................................................................... 4
1.5 Sistematika Penulisan ............................................................................................ 4
2. Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Menurut Mangunwijaya ....................... 5
2.1 Pengertian Hermeneutik ....................................................................................... 5
2.2 Latar Belakang Mangunwijaya ............................................................................. 6
2.3 Humanisme menurut Mangunwijaya .................................................................... 7
2.3.1 Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan ..................................... 8
2.3.2 Memanusiakan Manusia melalui Pendidikan ................................................ 9
2.3.3 Keadilan dan Keberadaban Manusia ........................................................... 10
2.3.4 Dimensi Transendental menjadi Dasar dalam Memanusiakan
Manusia……………………………………………….………….………..11
2.4 Kesimpulan dan Penggunaan Teori Humanisme menurut Mangunwijaya untuk
Studi Hermeneutik terhadap teks Lukas 10:25-37.............................................. 13
3. Konteks Sosial Budaya dari Penulisan teks Lukas .................................................... 13
3.1 Latar belakang Teks Lukas ................................................................................ 13
3.1.1 Penulis Teks Lukas ...................................................................................... 13
3.1.2 Tempat dan Waktu Penulisan ...................................................................... 14
3.1.3 Konteks Sosial Budaya dalam Lukas .......................................................... 15

viii
3.1.4 Situasi dan Keberadaan Komunitas Lukas .................................................. 16
3.2 Pandangan manusia menurut Lukas ................................................................... 16
3.3 Kesimpulan ......................................................................................................... 18
4. Studi Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Mangunwijaya terhadap Lukas
10:25-37 ..................................................................................................................... 18
4.1 Studi Hermeneutis dalam Menafsirkan Lukas 10:25-37 .................................... 18
4.2 Upaya Menafsirkan teks Lukas 10:25-37 dengan Perspektif Humanisme
Mangunwijaya .................................................................................................... 19
4.2.1 Pembebasan bagi orang-orang Marginal ..................................................... 19
4.2.2 Perumpamaan sebagai Pedagogis ................................................................ 20
4.2.3 Keadilan dan Kesetaraan Manusia .............................................................. 21
4.2.4 Hidup Kekal sebagai Dimensi Transendental ............................................. 23
4.3 Kesimpulan ......................................................................................................... 24
5. Penutup ...................................................................................................................... 24
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 24
5.2 Saran ................................................................................................................... 25
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 27

ix
Abstrak
Dalam studi hermeneutik terdapat banyak ahli yang telah menafsirkan teks Lukas
10:25-37 dengan berbagai pendekatan dan pandangan menurut para penafsir. Berbagai
kesimpulan dari tafsiran tersebut menegaskan tentang kasih universal. Penulis mendekati
teks dengan menggunakan perspektif humanisme Mangunwijaya. Tujuannya untuk
menjelaskan pandangan humanisme Mangunwijaya dalam Lukas 10:25-37. Melalui studi
hermeneutik, penulis menemukan bukan hanya sekedar kasih universal tetapi
menemukan keberpihakan kepada orang marginal, perumpamaan sebagai pedagogis,
keadilan dan kesetaraan serta aspek dari dimensi transendental. Penemuan ini
berimplikasi kepada persoalan masa kini perihal memperlakukan sesama manusia.

Kata kunci : Humanisme Mangunwijaya, Studi Hermeneutik, Orang Marginal.

x
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perumpamaan tentang orang Samaria dalam Lukas 10:25-37 merupakan
perumpamaan yang terkenal dan penting oleh gereja Kristen.1 Perumpamaan tersebut
mengangkat tentang relasi orang Samaria dan orang Yahudi. Hubungan antara orang
Samaria dan orang Yahudi ini menjadi menarik karena mewujudkan sikap mengasihi
kepada sesama mausia, meskipun dalam hubungan tersebut terdapat sikap eksklusivitas
dari orang Yahudi terhadap orang Samaria.

Narasi tentang orang Samaria dibahas oleh para penafsir Perjanjian Baru
menggunakan berbagai pendekatan. Namun dalam membicarakan narasi ini terdapat latar
belakang yang mempengaruhi cara berpikir dari seorang penafsir. Para penafsir
Perjanjian Baru tersebut antara lain yaitu Stefan Leks dan B.J Boland & Naipospos.

Penafsir pertama yaitu Stefan Leks, ia merupakan seorang pengajar di salah satu
sekolah Katolik.2 Penafsir ini cenderung menggunakan pendekatan literal dalam
perumpaan orang Samaria.3 Meskipun penafsiran Leks ini dipengaruhi oleh teori sumber
Q, sehingga terdapat diskusi antara teks Lukas dengan teks Injil lainnya terkhususnya
Injil Markus.4 Hal ini dibuktikan dari pernyataan tentang tindakan kasih yang dikaitkan
dengan Markus 12:28. Dalam ayat tersebut,ahli Taurat telah bersikap baik dan tidak ingin
mencobai Yesus melainkan hanya mengujinya.5 Selain itu, dalam perumpamaan ini
digambarkan bahwa penulisan Lukas tidak tertarik dengan perdebatan teoritis tentang
hukum yang berlaku sehingga kata ini muncul dalam teks sebanyak tiga kali dalam ayat
25, 28 dan 37.6

1
B.J. Boland dan P.S. Naispospos, Injil Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 268.
2
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 5.
2
Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 5.
3
Pendekatan literal adalah persesuaian antara teks dengan kebenaran dasariah dogmatik. Lih. Aris
Margianto, Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama dan Pembacaan Kitab Ayub Bersama dengan Orang-
orang yang hidup dengan HIV/AIDS, Indonesian Journal of Theology, (Desember 2017), 236.
4
Hal yang sama dengan Boland dan Naipospos yang dipengaruhi oleh sumber Q dimana Injil Markus
sebagai acuan dalam penulisan teks Lukas. Lih Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 267.
5
Leks, Tafsir Injil Lukas, 296.
6
Leks, Tafsir Injil Lukas, 296.

1
Selanjutnya penafsiran Leks bahwa teks Lukas dipengaruhi oleh teks-teks dalam
Perjanjian Lama.7 Hal ini dibuktikan dengan penekanan “perintah utama” tentang
mengasihi Allah dilakukan oleh orang Yahudi setiap hari melalui pengakuan iman dari
orang Yahudi.8 Berdasarkan hal tersebut, Yesus digambarkan oleh Lukas yang bertujuan
untuk menggambarkan caramengasihi “sesama” secara universal. Sebab melihat
pemahaman orang Yahudi berkaitan dengan kata “sesama” sebagai sebangsa, dan orang
asing dianggap sebagai seorang kafir, ini berpengaruh terhadap perwujudan kasih yang
hanya berlaku pada golongan Yahudi saja.9 Dalam penafsiran Leks, mengasihi diri
sendiri tidak dapat dilakukan karena menganggap pribadi sebagai yang berharga sehingga
kasih yang menyenangkan adalah kasih yang memanfaatkan. Dengan demikian menurut
Leks, mengasihi Allah, diri sendiri dan sesama harus dilakukan secara penuh dalam
tindakan dan bukan teoritis.

Penafsir kedua adalah B.J Boland dan P.S. Naipospos. Penafsir ini cenderung
menggunakan pendekatan sosio-historis terhadap perumpamaan orang Samaria. Hal ini
terlihat dari penjelasan tentang perjalanan yang berkaitan dengan ahli Taurat dan konteks
perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho.10 Serupa dengan Leks, dijelaskan oleh Boland dan
Naipospos berkaitan dengan arti sesama bagi ahli Taurat. Pendekatan sosio-historis
diungkapkan melalui perumpamaan yang mengisahkan tentang perjalanan Yerusalem ke
Yerikho dengan situasi jalan yang dilalui menunjukkan penganiayaan dilakukan oleh
penyamun.11 Narasi ini menggambarkan ketidakpedulian dari Imam dan orang Lewi
terhadap korban dari samun tersebut. Berdasarkan hal itu, mengasihi sesama seharusnya
dilakukan tanpa melihat latar belakang identitas, golongan dan agama.

Mengasihi menurut Boland dan Naipospos haruslah dikaitkan dengan hati, jiwa dan
akal budi sebagai satu kesatuan, sehingga hal ini dapat juga mengasihi Allah secara

7
Hal yang sama dilakukan oleh Boland dan Naipospos yang menggunakan kitab Ulangan dan Imamat (lih
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 296), sedangkan Leks menggunakan kitab Daniel lih. Leks, Tafsir Injil
Lukas, 296.
8
Leks, Tafsir Injil Lukas, 297.
9
Leks, Tafsir Injil Lukas, 298.
10
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 271-272.
11
Dalam KBBI penyamun adalah orang yang merampas, perampok. Lih. Boland dan Naipospos, Injil
Lukas, 271-272.

2
total.12 Namun dalam konteks orang Yahudi, kata sesama diartikan sebagai kawan atau
saudara dalam arti luas dan kata itu disamakan dengan teman sebangsa.13 Meskipun
pengertian sesama ini kemungkinan terasa luas oleh orang Yahudi. Selain itu, dalam
narasi ini terdapat sebuah dialog yang menimbulkan perbedaan pendapat antara Yesus
dan ahli Taurat. Sebab dalam dialog tersebut kasih menurut Yesus digambarkan sebagai
kasih universal. Kemungkinan konteks narasi ini dikaitkan dengan perspektif yang
berbeda, sehingga jalan yang dilalui oleh korban samun merupakan jalan yang sering
terjadi pembegalan.14 Dengan demikian Boland dan Naipospos menekankan tentang
kasih kepada Allah menjadi penting daripada korban yang disembelih.15

Berdasarkan pemaparan di atas terdapat persamaan antara Leks dan Boland &
Naipospos. Persamaan tersebut diantaranya kasih kepada semua manusia, penafsir masih
dipengaruhi oleh Perjanjian Lama dan sumber Q, mengasihi sesama sebagai tindakan
konkret dan tokoh Yesus membutuhkan perluasan makna terhadap arti sesama. Dengan
demikian terlihat bahwa para penafsir menggunakan historis sebagai ilmu teoritis untuk
mengetahui persamaan-persamaan tersebut. Meskipun demikian para penafsir pun
terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan Lukas 10:25-37. Perbedaan tersebut
nampak dalam pernyataan Leks tentang tidak memperdebatkan teks ini secara teoritis,
hanya menyinggung sedikit tentang perjalanan Yesus dan perumpamaan ini bukanlah
kiasan, berbeda halnya dengan Boland dan Naipopos, ia mengungkapkan bahwa teks ini
terdapat penelusuran mengapa kata sesama harus dipertanyakan dan teks ini diibaratkan
sebagai kiasan. Namun dapat disimpulkan bahwa narasi Lukas 10:25-37 lebih luas
ditafsirkan oleh Boland dan Naipospos karena menyinggung perjalanan yang dilalui oleh
orang Samaria merupakan jalan yang sering terjadinya pembegalan.

Boland dan Naipospos menekankan tentang sisi etika dari perumpamaan orang
Samaria yang menunjukkan tidak ada perbedaan antargolongan untuk mengasihi sesama
manusia. Penafsiran ini menjadi menarik karena perumpamaan tentang orang Samaria
dapat ditinjau dari pandangan humanisme. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memakai

12
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 269.
13
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 270.
14
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 271.
15
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 272.

3
pendekatan humanisme dari teori Yusuf Bilyarta Mangunwijaya karena dalam konteks
Indonesia masih terjadi diskriminasi dan penindasan atas nama golongan. Humanisme
Mangunwijaya menekankan tentang tindakan nyata terhadap sesama tanpa melihat latar
belakang identitas, golongan dan agama, sehingga penulis memberi judul tulisan ini yaitu
“memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan” melalui studi hermenutik dengan
menggunakan perspektif Mangunwijaya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah dalam
tulisan ini adalah bagaimana pandangan humanisme dalam Lukas 10:25-37 yang ditinjau
dari studi hermeneutik menurut teori humanisme Mangunwijaya dan apa relevansinya
terhadap gereja dan masyarakat dalam memperlakukan sesama manusia.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan untuk melakukan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan tentang pandangan
humanisme dalam Lukas 10:25-37, ditinjau dengan menggunakan teori humanisme
Mangunwijaya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sesuatu yang dapat dipelajari
secara teoritis dengan menambah pengetahuan terhadap hermenutik. Selain itu, manfaat
lainnya secara praksis dapat mengetahui bagaimana cara gereja dan masyarakat untuk
memperlakukan sesama manusia.

1.4 Metode dan Teknik Penelitian


Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hermeneutik dengan perspektif
humanisme Mangunwijaya. Melalui metode ini, penulis hendak merekonstruksi teks dan
merelevansikannya dalam konteks masa kini. Penelitian ini adalah penelitian pustaka
yang berkaitan dengan studi hermeneutik dan studi humanisme Mangunwijaya.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan ini dibahas dalam lima bagian: pertama, membahas
pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan
penelitian, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan. Kedua menjelaskan
mengenai pengertian hermeneutik dan teori humanisme Mangunwijaya.Ketiga membahas
konteks sosial budaya dalam teks Lukas. Keempat membahas studi hermeneutik dengan

4
perspektif humanisme Mangunwijaya terhadap Lukas 10:25-37. Kelima akan terdapat
kesimpulan dan saran.

2. Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Menurut Mangunwijaya


Pada bagian ini, penulis hendak menjelaskan mengenai teori humanisme menurut
Mangunwijaya yang berkaitan dengan studi hermeneutik.Bagian ini terdiri dari
pengertian hermeneutik,latar belakang dari Mangunwijaya dan teori humanisme
Mangunwijaya. Bagian akhir dari penulisan terdapat kesimpulan dan langkah-langkah
hermeneutik.

2.1 Pengertian Hermeneutik


Pengertian hermeneutik adalah menafsirkan, mengartikan atau menerjemahkan.16
Istilah hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein atau hermeneia yang
berarti menafsirkan atau interpretasi.17 Hermeneutik dapat diartikan juga sebagai suatu
kegiatan atau kesibukan untuk menyingkap makna sebuah teks, sementara teks dapat
dimengerti sebagai jejaring makna atau struktur simbol-simbol yang tertuang dalam
tulisan atau pun bentuk-bentuk lain.18 Dalam pengertian hermeneutik, teks dapat diartikan
secara luas yang berarti semua hal berkaitan dengan manusia seperti seperti norma,
budaya dan lain-lain akan disebut sebagai teks. Berdasarkan dengan pengertian tersebut,
kegiatan menafsir dibutuhkan untuk menemukan dan memahami semua yang berkaitan
dengan teks.

Sebab itu penulis hendak melakukan studi hermeneutik dengan menggunakan


pandangan humanisme Mangunwijaya. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis
hendak melakukan studi hermeneutik terhadap Lukas 10:25-37 dengan menggunakan
perspektif humanisme. Namun dalam studi hermeneutik membutuhkan pemahaman latar
belakang dari Mangunwijaya.

16
Yusak B. Setyawan, Hermeneutik Perjanjian Baru: Suatu Perkenalan, (Salatiga: Fakultas Teologi
UKSW, 2016), 9.
17
Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Inerpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015).14.
18
Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 12.

5
2.2 Latar Belakang Mangunwijaya
Mangunwijaya yang memiliki nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir di
Ambarawa 6 Mei 1929. Anak sulung dari 12 bersaudara, tujuh di antaranya perempuan
dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdanijah.19 Orang tua dari
Mangunwijaya adalah seorang guru SD dan TK. Saat Mangunwijaya beranjak dewasa
terdapat kata-kata dari ayahnya yang selalu diingatnya yaitu “hidup bukan hanya untuk
mencari nasi dan uang, tetapi harus mencari yang sejati”.20 Melalui kata-kata ayahnya, ia
bermimpi untuk mencari kesejatian hidup dengan menjadi seorang pastor.

Dalam perjalanan hidup Mangunwijaya, masa-masa sekolah menjadi masa yang


terindah. Menurutnya, sekolah diibaratkan sebagai surga karena telah memberikan latihan
kecerdasan, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan berbagai ilmu lainnya. Namun
masa-masa indah itu pun hilang saat Jepang memasuki wilayah Indonesia pada tahun
1942.21 Akibat dari peristiwa itu banyak sekolah yang ditutup. Maka tidak heran pada
waktu itu Mangunwijaya sering mengalami perpindahan sekolah.

Memasuki tahun 1943 telah terjadi perang revolusi kemerdekaan oleh bangsa
Indonesia. Pada masa-masa ini sangat berdampak dalam kehidupan Mangunwijaya.
Perang Revolusi yang terjadi mengakibatkan banyak murid-murid dimobilisasi untuk
menjadi pejuang dan bermarkas di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Sekolah yang
seharusnya menjadi tempat untuk menuntut ilmu berubah menjadi tempat perekrutan
untuk menjadi seorang tentara. Berdasarkan hal ini, Mangunwijaya menjadi seorang
tentara di bawah kepemimpinan Mayor Soeharto. Selama Mangunwijaya menjadi
seorang tentara, ia sempat merasakan pertempuran di daerah Magelang dan Ambarawa. 22
Dalam pertempuran tersebut Mangunwijaya merasa nilai-nilai kemanusiaan dalam
dirinya hilang sehingga saat perang berakhir, Mangunwijaya memutuskan untuk
bergabung dalam komunitas pemuda Katolik.

19
A. Ferry T. Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009), 149.
20
Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 149.
21
Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme, 150.
22
Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme, 150-151.

6
Selama Mangunwijaya bergabung dalam komunitas pemuda Katolik terdapat
peristiwa menarik. Peristiwa menarik itu adalah peristiwa saat Mangunwijaya mendengar
pidato dari Mayor Isman yang berisikan tentang “jangan kalian sebut kami pahlawan atau
bunga bangsa sebab para pemuda telah belajar melukai dan membunuh sehingga perang
tersebut membuat para pemuda tidak bertumbuh dengan normal.23 Hal ini mengantarkan
Mangunwijaya kepada kegelisahan tentang bangsa Indonesia. Dalam kegelisahannya,
Mangunwijaya menyadari bahwa seorang pejuang tidak layak untuk disebut sebagai
pahlawan, karena seorang pahlawan tidak mungkin dapat melukai dan membunuh sesama
manusia. Dengan demikian Mangunwijaya memutuskan untuk melanjutkan mimpinya
menjadi seorang pastor atau rohaniawan yang melayani orang-orang marginal, khususnya
dalam bidang pendidikan.

Sosok Mangunwijaya adalah seorang guru, pemikir intelektual, arsitektur dan


pejuang humanis. Berbagai sebutan diterima beliau melalui sikap dan karya tulisnya.
Kombinasi antara keterbukaan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh
terhadap masa depan yang baik merupakan modal utamanya dalam menulis.24 Dapat
disimpulkan bahwa berbagai karya tulis dan sikap praksisnya masih relevan hingga
sekarang ini.

2.3 Humanisme menurut Mangunwijaya


Humanisme menurut Mangunwijaya adalah paham yang menganggap manusia
yang marginal sebagai nilai yang tertinggi, merujuk pada pembebasan manusia melalui
gerakan sosial dan pendidikan dari ikatan diskriminasi dan penindasan yang terkandung
dalam kebijakan dehumanis. Sebagai rohaniawan, Mangunwijaya ingin mengabdi kepada
orang-orang marginal karena ia menganggap bahwa manusia yang marginal merupakan
gambaran dari transedental. Secara konkret, teori ini dibahas dalam empat bagian yaitu
memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan, memanusiakan manusia melalui
pendidikan, keadilan dan keberadaban manusia dan dimensi transedental.

23
Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 151.
24
Abdurahman Wahid, Romo Mangun di Mata Para Sahabat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 31.

7
2.3.1 Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan
Keberpihakan Mangunwiaya terhadap orang-orang marginal merupakan salah
satu bentuk dari memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Hal ini menunjukkan
bahwa Mangunwijaya tampil sebagai seorang pejuang untuk membela orang-orang
marginal.Pada konteks kehidupan dari Mangunwijaya, masih sering ditemui berbagai
kebijakan dehumanis yang merugikan orang-orang marginal.25 Akibat dari kebijakan
dehumanis, Mangunwijaya hadir untuk mengritik kebijakan tersebut dengan kecerdasan
intelektual yang dimilikinya.

Kritikan Mangunwijaya terhadap kebijakan dehumanis terjadi di rezim Orde


Baru.26 Pada masa itu sedang terjadi krisis moneter, berkaitan dengan politik dan
ekonomi yang disebabkan oleh adanya korupsi, kolusi dan nepotisme. 27 Akibat dari krisis
tersebut membuat orang-orang marginal mengalami penindasan karena ketatnya sistem
politik dan ekonomi. Masa orba adalah masa ketikabangsa Indonesia telah lama merdeka
tetapi belum sepenuhnya merdeka menurut Mangunwijaya. Hal ini terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara kemerdekaan bangsa dengan kemerdekaan manusia, yang
seharusnya antara kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan manusia dengan rasa
keterikatannya harus selalu diusahakan.28 Jelas hal ini mendorong Mangunwijaya untuk
membela orang-orang marginal dari sikap diskriminasi dan penindasan yang berasal dari
kebijakan dehumanis.

Mangunwijaya dikenal sebagai seorang sosialis. Sebutan sosialis untuk


Mangunwijaya bukan merujuk kepada penganut Marxisme tapi disebut sebagai
sosialisme individual. Sosialisme individual adalah semangat kebersamaan yang
diterapkan sebagai kebaikan hati untuk selalu memberikan apa yang dimilikinya kepada
orang-orang yang berkekurangan.29 Tercatat beberapa gerakan sosial yang dilakukan oleh
Mangunwijaya untuk membela orang-orang marginal, salah satu contohnya pada

25
Pengertian kebijakan dehumanis adalah kebijakan yang menghilangkan harkat dari manusia.
26
Rezim Orde Baru adalah sistem pengelolaan pemerintah yang umumnya dijalankan oleh militer.
Selanjutnya penulisan Orde Baru akan disingkat menjadi orba.
27
Mulki Mulyadi, “Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia”,
Academia Journal, (Juli 2019), 6.
28
Y.B Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi: Republik Yang Adil dan Beradab, (Jakarta:
Erlangga,1999)53.
29
Arief Budiman, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) 128.

8
peristiwa penggusuran di daerah Kali Code, Yogyakarta. Dalam peristiwa tersebut,
Mangunwijaya mengatakan bahwa rencana penggusuran penduduk dari tepi sungai Code
merupakan ketidakadilan dan berlawanan dengan jiwa Pancasila.30 Selain itu,
Mangunwijaya membela orang-orang marginal dengan menggunakan cara anti
kekerasan. Artinya Mangunwijaya siap untuk mengorbankan nyawa untuk mencapai
tujuannya dalam mengubah visi dari pemerintah, agar tidak melakukan penindasan dan
diskriminasi kepada orang-orang marginal.

Keberpihakan yang dilakukan oleh Mangunwijaya mendapatkan pemahaman


tentang keberhargaan dari orang marginal. Dalam hal ini, Mangunwijaya ingin
menunjukan sikap praksisnya, meskipun dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah.
Sebab Mangunwijaya menyadari adanya kedekatan antara ia dan pemerintah sehingga
memutuskan untuk membela orang-orang marginal dari kebijakan dehumanis.

2.3.2 Memanusiakan Manusia melalui Pendidikan


Memanusiakan manusia melalui pendidikan adalah bagian terpenting dari teori
humanisme menurut Mangunwijaya. Sebab pendidikan adalah wilayah netral yang bisa
dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas.31 Mangunwijaya ingin memberikan
pendidikan yang membebaskan untuk orang-orang marginal agar mampu
mengembangkan kualitas dan kemampuan yang dimiliki.Hal yang sama dikemukakan
oleh Magnis Suseno bahwa manusia ditempatkan di pusat perhatian dan pendidikan yang
dimengerti sebagai usaha untuk mengembangkan manusia secara utuh.32

Pendidikan yang dicetuskan oleh Mangunwijaya mengarah kepada pendidikan


rakyat. Pendidikan rakyat sangat berkaitan dengan budaya yang dijadikan sebagai ilmu
pengetahuan. Tujuannya untuk mempersatukan manusia melalui kebudayaan dan nilai
yang terkandung di dalamnya.33 Jika kebudayaan dapat tertanam dalam pendidikan,
apabila kebudayaan itu relevan dan memberi harapan yang dapat dirasakan oleh

30
Parhorasan Situmorang, “Perjumpaan dengan Romo Mangun, Artidjo Alkostar dan Busyro Muqoddas di
Kali Code, Inspirasi bagi Pemuda, Kompasiana,
https://www.kompasiana.com/parhorasan/581379aba22bd37285e511e/perjumpaan-romo-mangun-artidjo-
alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-pemuda(diakses pada jam 13.00 tanggal 27 Sept
2018).
31
Benny Susetyo, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 88.
32
Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 48.
33
Y.B. Mangunwijaya, Paradigma Baru bagi Pendidikan Rakyat, (Jakarta: Prisma no. 7, 1980), 13.

9
naradidik; manfaat yang dirasakan sedikit atau pun banyak mampu menimbulkan
hubungan antara pendidik dan naradidik dalam bentuk dialog.34

Dalam pendidikan, Mangunwijaya menggunakan budaya untuk memberikan


kemudahan bagi orang-orang marginal dalam proses belajar mengajar misalnya
penggunaan kurikulum oleh Mangunwijaya cenderung menyenangkan bagi naradidik
karena menggunakan alam sebagai media pembelajaran seperti alat musik dari barang
bekas.35 Melalui hal itu, jelas bahwa budaya adalah pengetahuan paling terdekat dalam
kehidupan orang-orang marginal. Dalam proses belajar mengajar membentuk hubungan
yang erat dan mampu menghasilkan naradidik yang kreatif dan eksploratif-komunikatif
sehingga akan menciptakan pendidikan yang menyenangkan. Salah satu contoh konkret
dari pendidikan ini yaitu adanya sekolah Mangunan yang bertempat di Sleman,
Yogyakarta.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang


membebaskan menurut Mangunwijaya menggunakan konsep budaya sebagai suatu ilmu
pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan orang-orang marginal dalam proses
belajar mengajar. Selain itu, pendidikan yang membebaskan menjadi bukti konkret dalam
memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Dengan adanya pendidikan, manusia
mampu untuk meningkatkan nilai dalam dirinya yang disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki.

2.3.3 Keadilan dan Keberadaban Manusia


Keadilan dan keberadaban manusia menjadi kegelisahan Mangunwijaya dalam
memperjuangkan kemanusiaan.36 Kegelisahan terjadi karena belum terdapat penanaman
nilai-nilai kemanusiaan kepada generasi muda. Selain itu, menanamkan sikap patriot dan
nasionalis membutuhkan waktu yang lama sehingga keadilan dan keberadaban manusia
menjadi kegelisahan sekaligus menjadi harapan untuk generasi muda.

Kemerdekaan Indonesia haruslah seimbang dengan kemerdekaan manusia


sehingga membutuhkan ideologi Pancasila untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dari
34
Y.B. Mangunwijaya, Paradigma Baru bagi Pendidikan Rakyat, 14
35
Leo Febrianus, “Pendidikan Pemerdekaan menurut Romo Mangun”, Academia Journal, (Juli 2019), 8.
36
Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 45-46

10
bangsa. Ideologi yang terkandung dalam Pancasila memiliki nilai perikemanusiaan yang
adil dan beradab, meskipun tidak mengabaikan nilai lainnya.37 Tujuan dari hal ini ialah
untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila kepada setiap generasi. Nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila memiliki keterkaitan dengan budaya sehingga nilai-nilai ini
menjadi dasar dalam menegakkan keadilan bagi orang-orang marginal.

Dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tubuh Pancasila, setiap


generasi harus memiliki sikap patriot, nasionalis dan cinta terhadap bangsa. Dengan
memiliki jiwa nasionalis dan patriot diharapkan mampu untuk berpikir dalam
mewujudkan keseimbangan dari kemanusiaan.38 Selain itu, setiap generasi harus
mengetahui tantangan yang dihadapi sehingga perlu pengenalan budaya untuk
mempertahankan nilai kemanusiaan dalam tubuh Pancasila. Meskipun secara realitas,
setiap generasi menganggap budaya sebagai suatu hal yang kuno karena pemahaman
yang tradisional terasa sulit untuk dilakukan.39 Salah satu contoh tantangan yang dihadapi
adalah perkembangan teknologi yang semakin hari semakin pesat. Dampak dari
tantangan tersebut membuat kehidupan sosial menjadi kehidupan individual karena lebih
mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.

Mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam tubuh Pancasila menjadi amanat


yang sulit untuk setiap generasi. Sebab membutuhkan proses untuk memiliki sikap
patriot, nasionalis dan cinta terhadap bangsa. Hal ini menjadi harapan bangsa untuk
menghasilkan generasi yang dapat mempertahankan dan melakukan nilai-nilai
kemanusiaan dengan berdasarkan ideologi Pancasila. Dengan demikian, generasi muda
diharapkan untuk melakukan nilai-nilai kemanusiaan itu secara nyata dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

2.3.4 Dimensi Transendental menjadi Dasar dalam Memanusiakan Manusia


Dimensi transendental menjadi dasar dalam memanusiakan manusia menurut
Mangunwijaya. Sebagai rohaniawan yang iamemiliki prinsip untuk menjadi pribadi yang
baik, mampu untuk memanusiakan manusia dan melalui hal ini manusia menemukan

37
Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, 55.
38
Sindhunata, Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), 33.
39
Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 60.

11
jalan kepada pencipta-Nya.40 Jelas bahwa Mangunwijaya ingin melayani orang-orang
marginal karena sudah menjadi prinsip hidupnya. Tugas melayani orang-orang marginal
telah menjadi pengabdiannya seumur hidup.

Dimensi transendental termuat dalam teologi pemerdekaan. Teologi Pemerdekaan


atau Teologi Pembebasan adalah hasil refleksi dari nalar manusia tentang penerimaan
wahyu yang mendahuluinya sehingga tidak hanya kemauan atau emosi, melainkan
pikiran yang diikutsertakan dalam tanggung jawab sikap beriman.41 Melalui hal ini pola
pikir manusia untuk beriman kepada Pencipta dijadikan sebagai potensi bahwa manusia
itu berharga. Artinya, dalam diri manusia terdapat pribadi pencipta-Nya, sehingga
manusia diberi tugas untuk saling mengasihi sesamanya.

Pemikiran Mangunwijaya mengenai memanusiakan manusia bukanlah sekedar


teori tetapi memiliki dimensi transendental. Dalam hal ini, Mangunwijaya memiliki peran
sebagai seorang yang netral dan memilih untuk berdamai tanpa adanya kekerasan serta
memilih untuk mencari persamaan dari pada perbedaan.42 Secara spesifik setiap
perbedaan agama terdapat amanah dari Yang Maha Kuasa untuk bersatu mengagungkan
kemuliaan-Nya. Amanah dari-Nya antara lain adalah hidup bukan sekedar hidup.tetapi
untuk memanusiakan manusia lain.43

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memanusiakan manusia merupakan


jalan menuju dimensi transendental. Sebab memandang manusia sebagai gambaran
Pencipta, membuat setiap orang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya. Melalui
dimensi transedental, setiap manusia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan akan
mengambil sikap etis untuk melakukan suatu hal yang baik atau tidak baik. Akhirnya,
memanusiakan manusia menjadi sikap praksis yang harus dilakukan dalam masyarakat.

40
Y.B. Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 21.
41
Y.B Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia,111.
42
Siregar, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, 230.
43
Siregar, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, 231.

12
2.4 Kesimpulan dan Penggunaan Teori Humanisme menurut Mangunwijaya
untuk Studi Hermeneutik terhadap teks Lukas 10:25-37
Keberpihakan yang dilakukan oleh Mangunwijaya telah menunjukkan bahwa
manusia merupakan makhluk yang berharga. Dengan adanya hal itu, seharusnya manusia
mampu untuk memanusiakan manusia lain yang tidak manusiakan melalui pendidikan
yang membebaskan. Melalui pendidikan yang membebaskan mampu untuk memberikan
keadilan dan mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan keberadaban manusia.
Dalam hal ini menjadi kegelisahan dari Mangunwijaya untuk menanamkan nilai-nilai
kemanusiaan terhadap generasi muda. Sebab Mangunwijaya menyadari bahwa
menanamkan nilai-nilai kemanusiaan mampu untuk membebaskan orang-orang marginal
dari penindasan dan diskriminasi. Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan
secara praksis mampu untuk menunjukkan jalan menuju dimensi transendental. Dengan
demikian, teori humanisme Mangunwijaya masih relevan untuk dilakukan pada masa
kini.

Terdapat beberapa langkah yang dilakukan untuk studi hermeneutik dengan


menggunakan pandangan humanisme menurut Mangunwijaya. Pertama, penulis hendak
menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang teks Lukas. Kedua membahas
memahami teks dengan menggunakan humanisme. Ketiga terdapat kesimpulan dari
kepenulisan bagian tiga.

3. Konteks Sosial Budaya dari Penulisan teks Lukas


Pada bagian ini penulis hendak menguraikan tentang latar belakang dari
kepenulisan teks Lukas. Selain itu, pada bagian ini penulis hendak memberikan
pandangan tentang manusia menurut teks Lukas yang dikaitkan dengan sosial budaya.
Pada akhir bagian ini terdapat kesimpulan dan langkah-langkah untuk bagian berikutnya.

3.1 Latar belakang Teks Lukas


3.1.1 Penulis Teks Lukas
Penulis teks Lukas sering dikaitkan dengan penulis teks Kisah Para Rasul. Hal ini
dibuktikan dengan adanya prolog dari kedua teks yang ditujukan kepada seorang yang
bernama Teofilus (lih. Luk 1:1; Kis 1:1). Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa

13
penulis teks Lukas dan penulis teks Kisah Para Rasul merupakan orang yang sama. 44
Namun kebenaran tentang siapa penulis Lukas belum dapat diketahui secara pasti.

Dalam proses pencarian identitas dari penulis teks Lukas, terdapat suatu
pernyataan yang mengatakan bahwa penulis Lukas merupakan seorang dokter dan teman
seperjalanannya Paulus, karena kemungkinan penulis Lukas telah bergabung dengan
Paulus untuk memasuki Eropa kemudian penulis Lukas telah menemani Paulus dalam
perjalanan terakhirnya menuju Yerusalem.45 Selain itu, kemungkinan lainnya menyatakan
bahwa penulis Lukas bukan berasal dari Yahudi. Hal ini ditunjukkan melalui teks Lukas
yang menyinggung tentang dunia Yunani (lih. Luk 5:19).46 Ciri-ciri lainnya yang
menunjukkan bahwa penulis teks Lukas bukan berasal dari orang Yahudi yaitu dengan
memperhatikan gaya dan susunan tulisan Lukas yang menggunakan hukum dwiganda.47
Berdasarkan dengan hal ini, penulis Lukas disebut sebagai satu-satunya penulis
Perjanjian Baru yang bukan orang Yahudi.48 Meskipun demikian menurut penulis,
kebenaran tentang identitas dari penulis teks Lukas masih belum diketahui kebenarannya.

3.1.2 Tempat dan Waktu Penulisan


Tempat penulisan teks Lukas menurut tradisi belum dapat dipastikan
kebenarannya, karena informasi yang tersebar menyatakan bahwa penulis Lukas
kemungkinan menuliskan teksnya di luar Palestina atau di daerah Laut Tengah.49 Selain
itu, terdapat pernyataan bahwa kemungkinan penulis Lukas telah menulis disuatu tempat
di dunia dengan menggunakan bahasa Yunani, sehingga para pendukung Roma seperti
Teofilus dapat membantu misi Kristen bertumbuh.50 Secara spesifik, penulis Lukas
sangat memahami bahasa Yunani dengan sangat baik dan memiliki kaitannya dengan
Kekaisaran Roma.

44
John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016), 211.
45
Drane, Memahami Perjanjian Baru, 212.
46
Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru,(Yogyakarta: Kanisius, 1984),122.
47
Pengertian Hukum Dwiganda adalah cara kepenulisan teks Lukas yang menduakalikan kata-kata dan
kalimat-kalimat yang menghubungkan dua kata yang saling melengkapi atau yang merupakan lawan
masing-masing dan seterusnya. Lihat Boland dan Naispospos, Injil Lukas, 8.
48
Drane, Memahami Perjanjian Baru, 212.
49
B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 256.
50
Amy Jill Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, (USA:
Harper Collins e-book, 2006), 38.

14
Berdasarkan dengan tempat penulisan teks Lukas dapat dikatakan bahwa teks
Lukas sangat memahami situasi kekristenan awal di bawah kekaisaran Roma. Secara
tradisi, penulis Lukas sering dikaitkan dengan peristiwa hancurnya Yerusalem yang
terjadi sekitar tahun 70 ZB.51 Berbeda dengan pendapat Groenen, ia mengatakan bahwa
kemungkinan teks Lukas ditulis sekitar tahun 80 ZB dengan didasarkan oleh keadaan
Yerusalem yang sudah lama dikatakan sebagai “bangsa kafir” (lih. Likas 21:24b).52
Meskipun demikian, saya menyimpulkan bahwa penulis teks Lukas telah menulis
naskahnya sekitar tahun 70 ZB dengan keadaan kota Yerusalem yang hancur. Selain itu,
terdapat orang-orang yang telah menganut agama Kristen dengan latar belakang
pemerintahan Roma dengan kebudayaan Yunani sebagai ciri lainnya.

3.1.3 Konteks Sosial Budaya dalam Lukas


Dalam narasi Lukas pada umumnya memberikan penjelasan mengenai pelbagai
tradisi meskipun Lukas cenderung menggunakan tradisi Yunani. Sebab digambarkan
bahwa Lukas berada dalam konteks Romawi yang sudah dipengaruhi budaya Yunani
(Helenisme). Selain itu Lukas menulis untuk para pembaca Yunani.53 Hal ini pun
ditunjukkan dengan kemampuan penulis Lukas yang menuliskan teksnya menggunakan
bahasa Yunani dengan baik.

Tradisi Yunani mendominasi penulisan teks Lukas, tetapi secara isi teks Lukas
lebih menunjukan kekuasaan Yahudi. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan penulis
Lukas yang anti-semitisme.54 Gambaran sikap anti semitisme dari Lukas memberikan
pengaruh terhadap gambaran komunitas Lukas (Kristen Awal). Sebab komunitas Lukas
dikategorikan sebagai minoritas di tengah-tengah komunitas Yahudi.55 Sebagai minoritas,
komunitas Lukas kemungkinan mendapatkan tekanan dari komunitas Yahudi, hal itu
menjadi alasan mengapa penulis Lukas meminta perlindungan kepada Teofilus.

51
Leks, Tafsir Injil Lukas, 23.
52
Groenen, Pengantar Perjanjian Baru, 122.
53
Wlli Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2000), 194.
54
Anti Semitisme adalah gagasan yang memusuhi orang Yahudi, lih. Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru,
191.
55
Groenen, Pengantar Perjanjian Baru, 121.

15
3.1.4 Situasi dan Keberadaan Komunitas Lukas
Keberadaan komunitas Lukas berkaitan dengan seorang yang bernama Teofilus.
Hal ini ditunjukkan pada bagian awal teks Lukas yang menyebut Teofilus sebagai
penerima teks Lukas. Tujuan dari penulis Lukas hendak memberikan laporan historis
kepada Teofilus tentang kekristenan dan meminta bantuan kepadanya untuk membantu
kekristenan awal bertumbuh.56 Berdasarkan hal ini, kemungkinan seorang Teofilus
memiliki status sosial yang cukup tinggi di bawah kekaisaran Roma. Hal ini dibuktikan
dengan kata “Yang Mulia”yang memberikan penekanan bahwa seorang Teofilus
merupakan seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi meskipun bukan Yahudi.57
Kemungkinan lainnya bahwa seorang Teofilus merupakan salah seorang yang tergabung
dalam komunitas Lukas (Kristen Awal).

Adanya komunitas Lukas dalam kepenulisan Lukas telah menunjukkan bahwa


kisah tentang Yesus telah diketahui sejak abad pertama. Meskipun demikian, komunitas
Lukas dikategorikan sebagai minoritas yang tidak selalu disenangi oleh masyarakat
sekitarnya. Kemungkinan komunitas Lukas merasa tertekan dan kurang aman di tengah-
tengah masyarakat Yahudi sehingga meminta seorang Teofilus untuk melindungi
komunitas Lukas. Keberadaan dari komunitas Lukas kemungkinan berkaitan dengan
kekaisaran Roma, walaupun keberadaannya secara spesifik masih sukar untuk diketahui
kebenarannya.58

3.2 Pandangan manusia menurut Lukas


Pandangan tentang manusia menurut Lukas akan membantu dalam membaca teks
dalam perspektif humanisme. Namun dalam mengetahui pandangan tentang manusia
menurut Lukas, dipengaruhi oleh adanya konteks sosial-budaya dari Yahudi dan Yunani
karena terdapat kemungkinan bahwa penulis Lukas memiliki hubungan yang sangat dekat
dengan konteks sosial-budayanya. Dengan demikian, saya pun membahas mengenai
pandangan manusia menurut Yahudi dan Yunani.

Secara umum orang Yahudi tidak menyukai komunitas Lukas karena orang
Yahudi telah memiliki sistem yang lengkap sehingga dirasa tidak membutuhkan
56
I. Howard Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2017), 146.
57
Boland dan Naispospos, Injil Lukas, 13.
58
Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, 145.

16
Perjanjian Baru karena kitab Taurat dan interpretasinya dalam komunitas Yahudi sudah
menawarkan tentang wahyu Ilahi.59 Selain itu, orang Yahudi menjadikan Taurat sebagai
realitas tertinggi dalam sejarah dan penciptaan manusia. Dalam hal ini orang Yahudi
bertindak selaras dengan kehendak Tuhan dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari
kehidupan.60 Orang Yahudi menganggap umat yang tidak berpegang pada Taurat disebut
kafir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia harus menaati dan memegang
Taurat sebagai tujuan utama untuk memahami pandangan manusia menurut Yahudi.

Pemahaman yang berbeda dilakukan oleh orang Yunani dalam memberikan


pandangannya tentang manusia. Pemahaman orang Yunani tentang manusia dilandasi
oleh berbagai pemikir dunia, salah satunya dikemukakan oleh Plato yang merupakan
seorang ahli filsafat. Menurut Plato, manusia adalah dua komponen yang berharga dan
saling bekerja sama, karena jika badan tidak memiliki jiwa maka badan itu akan menjadi
mati (mayat).61 Artinya bahwa dua komponen dalam diri manusia menjadi satu-kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, pemikiran Plato memberikan makna tentang nilai
penting yang dimiliki oleh manusia. Pemahaman tentang manusia menurut orang Yunani
didasarkan oleh komponen yang dimiliki oleh manusia kemudian dijadikan sebagai suatu
yang bernilai tinggi.

Gambaran tentang manusia menurut orang Yunani memberikan pengaruh


terhadap pandangan manusia menurut Lukas. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan yang
mengatakan bahwa manusia adalah suatu kesatuan dari tubuh, jiwa, roh, akal budi dan
lain-lain sebagai suatu bentuk kehidupan.62 Secara spesifik, Lukas memandang manusia
sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup
lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pandangan Lukas tentang manusia selaras dengan
pandangan manusia menurut Mangunwijaya karena keberhargaan dari manusia telah
memberikan dampak untuk melakukan pembebasan terhadap orang-orang marginal.

59
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 17.
60
John L. Esposito dkk,”World Religion Today: Agama-agama Dunia Dewasa ini”, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2015), 84.
61
Marselius Sampek Tondok, Skripsi tentang Humanisme dalam perspektif Iman Kristiani, (Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 1998). 46.
62
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 270.

17
3.3 Kesimpulan
Identitas dari penulis teks Lukas belum dapat diketahui secara pasti
kebenarannya. Namun, kemungkinan penulis teks Lukas memiliki kaitannya dengan
kekaisaran Roma karena tujuan dari kepenulisan Lukas mengarah kepada seorang yang
bernama Teofilus. Kemungkinan seorang Teofilus merupakan pendukung Roma sehingga
penulis teks Lukas meminta untuk membantu komunitas Lukas (Kristen Awal) untuk
bertumbuh. Selain itu, pandangan manusia menurut Lukas selaras dengan pandangan
manusia menurut Mangunwijaya. Dapat disimpulkan bahwa penulis teks Lukas dan
Mangunwijaya memandang manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai tinggi
dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya.

Berdasarkan latar belakang dan pandangan tentang manusia menurut Lukas


membentuk pola pikir tentang memanusiakan manusia lain yang berdasarkan pada teori
humanisme Mangunwijaya. Adapun beberapa langkah sebagai upaya menafsirkan teks
Lukas 10:25-37 dengan menggunakan pandangan humanisme menurut Mangunwijaya.
Pertama penulis hendak menguraikan tentang upaya penafsiran teks Lukas 10:25-37.
Kedua, penulis akan memberikan kesimpulan untuk menemukan relevansi dari
memanusiakan manusia lain pada masa kini.

4. Studi Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Mangunwijaya terhadap


Lukas 10:25-37
4.1 Studi Hermeneutis dalam Menafsirkan Lukas 10:25-37
Setelah menguraikan latar belakang kitab Lukas, pada bagian ini dalam perspektif
humanisme Mangunwijaya penulis akan memusatkan perhatian pada keempat bagian.
Bagian pertama tentang memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Bagian kedua
mengenai pendidikan yang membebaskan. Bagian ketiga mengenai keadilan dan
keberadaban manusia. Bagian keempat mengenai dimensi transendental. Keempat bagian
ini menjadi pertanyaan hermeneutis dalam menafsirkan teks Lukas 10:25-37.

18
4.2 Upaya Menafsirkan teks Lukas 10:25-37 dengan Perspektif Humanisme
Mangunwijaya
4.2.1 Pembebasan bagi orang-orang Marginal
Lukas menggambarkan tokoh Yesus sebagai pembebas dalam teks Lukas 10:25-
37. Dalam narasinya. Yesus menyatakan keberpihakannya terhadap orang-orang
marginal. Sebab konteks pada zaman Yesus hidup penuh dengan hiruk-pikuk
permasalahan sosial, budaya hingga politik yang sering dikaitkan dengan-Nya. Secara
umum, Yesus sering digambarkan sebagai seorang yang melawan hukum atau menentang
adat-istiadat Yahudi.63 Berdasarkan hal itu, kemungkinan Lukas ingin menekankan
tentang hubungan yang dekat antara Yesus dengan orang-orang Yahudi.

Narasi Lukas 10:25-37 merupakan jawaban yang disampaikan atas pertanyaan


dari ahli Taurat kepada Yesus mengenai hukum yang berlaku. Dalam dialog yang
berbentuk tanya jawab tersebut, Yesus memberikan perumpamaan tentang orang Samaria
karena umumnya orang Yahudi dan ahli Taurat menganggap orang Samaria sebagai kafir.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan secara keagamaan, sehingga orang Samaria
memahami Pentateuk sebagai kanon sedangkan orang Yahudi menganggap kitab
Pentateuk dan kumpulan kisah lainnya sebagai sebuah kitab.64 Dengan adanya perbedaan
tersebut, orang Samaria mengalami penindasan di tengah masyarakat Yahudi.

Penindasan yang terjadi pada orang Samaria dapat terjadi juga pada semua orang.
Sebab kurangnya sikap memanusiakan manusia lain bisa menjadi salah satu faktornya.
Melalui narasi Lukas 10:25-37 memberikan pandangan tentang memanusiakan manusia
yang tidak dimanusiakan berdasarkan dengan konteks sosial. Hal yang sama dilakukan
oleh Mangunwijaya dalam memanusiakan manusia dalam konteks Indonesia.Menurutnya
kemanusiaan harus dibela dengan segala risiko.65 Sebab dengan kemanusiaan mampu
untuk memupuk sikap memanusiakan manusia lain dengan menunjukkan sikap etis dari
manusia itu. Melalui hal tersebut, kemanusiaan haruslah dalam bentuk praksis untuk
dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

63
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 19.
64
Gary Knoppers, Jews and Samaritans: The Origins and History of Their Early Relation, (New York:
Oxford University, 2013), 179.
65
St. Sularto, Penziarahan Panjang Humanisme, 71.

19
Pembebasan dan keberpihakan yang digambarkan Lukas dalam tokoh Yesus
memberikan pandangan baru tentang kasih universal. Artinya dengan memanusiakan
manusia terdapat sikap praksis untuk saling menerima dan mengasihi satu dengan yang
lain tanpa melihat latar belakang kehidupannya. Dengan demikian pandangan humanisme
menurut Lukas dan Mangunwijaya memiliki kemiripan dalam memanusiakan manusia
lain. Sebab terdapat unsur kasih untuk melakukannya dalam kehidupan bermasyarakat.

4.2.2 Perumpamaan sebagai Pedagogis


Perumpamaan sebagai pedagogis menjadi daya tarik untuk semua orang menurut
gambaran Lukas. Sebab perumpamaan dalam narasi Lukas 10:25-37 merupakan hasil
adaptasi dari budaya Yahudi abad pertama.66 Secara konkret, perumpamaan adalah suatu
bentuk dari pengajaran, sehingga pengajaran tersebut merupakan perkara tentang
pengalaman hidup manusia setiap hari.67 Dengan demikian, Lukas memberikan
pandangan tentang pengajaran yang mudah dipahami melalui karakter Yesus.

Narasi tentang orang Samaria disampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diajukan oleh ahli Taurat kepada Yesus tentang perintah utama yang terkandung dalam
hukum taurat. Perintah utama tersebut memuat tentang “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan
dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”
(ayat 27). Ajaran ini merupakan ajaran dasar bagi orang Yahudi sehingga sangat
diperhatikan oleh ahli Taurat.68 Meskipun demikian ahli Taurat dan orang Yahudi belum
menjalankan perintah tersebut dengan baik. Jelas dalam narasi Lukas 10:25-37 yang
dikaitkan dengan perintah utama memberikan tujuan untuk mengritik ahli Taurat dan
orang Yahudi dalam hal mengasihi sesama. Dalam narasi Lukas 10:25-37 terdapat
perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh ahli Taurat dengan Yesus mengenai
pertanyaan siapakah sesama manusia. Menurut ahli Taurat kata sesama (bhs. Yunani
πληζί ον)69 yang ditanyakan kepada Yesus memiliki pengertian orang yang paling

66
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20.
67
A.M Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 3.
68
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20.
69
Penulis mencoba menafsirkan berdasarkan kata dari sesama yaitu πλησί ον(kata tunggal) yang memiliki
pengertian tentang orang yang paling dekat. Akan tetapi dilihat sebelum kata πληζί ον memiliki awalan
ηὸ ν yang merupakan bagian dari kata sandang tertentu, maka kata sesama menurut ahli Taurat merujuk
kepada sesama orang Yahudi.

20
terdekat. Namun pertanyaan yang diajukan ahli Taurat kepada Yesus memiliki maksud
untuk menjebaknya sebab pertanyaan dari ahli Taurat merujuk kepada sesama orang
Yahudi. Melalui hal itu, secara jelas digambarkan bahwa Yesus tidak ingin terjebak
dalam pertanyaan ahli Taurat sehingga Ia menjawabnya dengan menggunakan
perumpamaan. Pada akhir narasi ini Yesus membimbing ahli Taurat mengenai
pemahaman arti sesama (bhs. Yunani πληζί ον)70 sehingga ahli Taurat menjawab “orang
yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ayat 37). Jawaban ini menjadi
penting karena menggambarkan pengajaran tentang memanusiakan manusia melalui
ajaran kasih yang seharusnya dilakukan secara praksis.

Tanya jawab yang terdapat dalam narasi Lukas 10:25-37 merupakan pengajaran
yang membebaskan. Hal ini menunjukkan telah terciptanya hubungan yang erat melalui
dialog antara pengajar dan naradidik sehingga menghasilkan cara belajar berpikir analitis
dalam kerangka berpikir kreatif.71 Melalui pembelajaran analitis dapat disimpulkan
bahwa narasi ini mampu untuk menelanjangi arti sesama manusia yang bersifat
ekslusivitas. Artinya semua manusia akan menjadi sesama sehingga dibutuhkan sikap
memanusiakan manusia lain tanpa melihat latar belakang kehidupan. Dengan demikian
pengajaran utama dari narasi ini mengenai memanusiakan manusia berdasarkan dengan
kasih universal harus dilakukan dalam bentuk praksis.

4.2.3 Keadilan dan Kesetaraan Manusia


Hiruk pikuk permasalahan tentang sosial, budaya dan politik dalam gambaran
Lukas membawa suatu pemahaman tentang bagaimana cara untuk menegakkan keadilan
dan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab narasi ini mengandung pandangan
negatif terhadap orang-orang Yahudi yang bukan konteks asli Yesus sehingga Yesus
digambarkan sebagai seorang pemberontak dalam masyarakat Yahudi.72 Meskipun
demikian gambaran Yesus sebagai pemberontak menunjukkan sikapnya dalam

70
Pada ayat yang ke 36, kata πληζί ον (kata tunggal) diikuti dengan kata δοκεῖ (berasal dari kata δοκέ ω
yang artinya menganggap) yang merupakan kata sifat yang dipakai untuk kata benda pada orang ketiga
maskulin dengan memiliki arti sesama manusia yang dianggap paling terdekat. Hal ini ditunjukkan untuk
menjawab pertanyaan dari ahli taurat tentang siapakah sesama manusia.
71
Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, 14.
72
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 40.

21
mempraktekkan tentang keadilan sosial. Hal ini terjadi karena Ia adalah satu-satunya
yang peduli terhadap orang-orang marginal.73

Gambaran Lukas mengenai Yesus yang sedang berdialog dengan ahli Taurat
mengenai perintah utama menjadi salah satu tindakan dari keadilan dan kesetaraan. Sebab
dalam dialog mengisahkan tentang kedekatan tokoh Yesus dengan ahli Taurat, hubungan
yang terjalin karena adanya saling berbagi ilmu dalam mengajarkan tentang dunia kepada
semua orang.74 Melalui hal tersebut, Lukas telah menggambarkan dengan jelas tentang
keberpihakan dan kepedulian Yesus terhadap orang-orang marginal sehingga Ia dengan
berani mengritisi dan membimbing ahli Taurat untuk memahami sesama secara universal.
Tujuan dari tindakan tersebut untuk membebaskan orang-orang marginal (orang Samaria)
dari sikap diskriminasi dan penindasan yang terjadi karena adanya kebijakan dehumanis.

Pada umumnya ahli Taurat dan para pemuka agama lainnya tidak menyukai
tentang kasih universal. Hal ini terjadi karena ahli Taurat dan para pemuka agama lainnya
hanya memenuhi tugasnya sebagai imam tapi tidak mempraktikkannya.75 Secara konkret,
mengasihi sesama merupakan ayat yang umum digunakan dalam pemikiran Yahudi.76
Berdasarkan hal itu, wajar jika penulis Lukas mengaitkan tentang mengasihi sesama ke
dalam narasi orang Samaria.

Keadilan dan kesetaraan yang digambarkan oleh Lukas mirip dengan konsep
keadilan menurut Mangunwijaya. Meskipun demikian untuk mempraktikkan keadilan
dan kesetaraan harus sesuai dengan konteks sosialnya. Melalui narasi Lukas 10:25-37
dapat disimpulkan bahwa peduli dan berpihak kepada orang-orang marginal menjadi
bagian terpenting untuk memanusiakan manusia. Sebab secara teoritis memanusiakan
manusia terlihat mudah tapi untuk melakukannya menjadi tugas yang sulit. Hal ini jelas
dalam peristiwa di Kali Code digambarkansecara jelas tentang perjuangan Mangunwijaya
untuk membela orang-orang marginal tanpa menggunakan kekerasan. Dengan demikian
upaya untuk memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan harus dilandaskan dengan

73
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 19.
74
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20.
75
Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 273.
76
Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 23.

22
kasih universal agar keadilan dan kesetaraan dapat dilakukan dalam kehidupan
bermasyarakat.

4.2.4 Hidup Kekal sebagai Dimensi Transendental


Hidup kekal sebagai dimensi transendental terwujud dalam perjumpaan
antarmanusia. Hal ini ditunjukkan oleh Lukas dalam dialog yang dilakukan oleh ahli
Taurat dan Yesus mengenai “apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang
kekal” (ayat 25). Dialog tersebut merujuk kepada dasar dalam memahami perjalanan
manusia menuju transendental. Dengan adanya hal itu terdapat perdebatan antara ahli
Taurat dan Yesus yang digambarkan Lukas untuk menemukan jalan tersebut.

Perdebatan yang digambarkan oleh Lukas berkaitan dengan hukum yang berlaku
tentang mengasihi Tuhan, sesama dan diri sendiri. Namun dalam perdebatan itu
difokuskan tentang siapa sesama manusia. Hal ini menjadi alasan Lukas untuk
menggunakan perumpamaan tentang orang Samaria sebagai media pengajaran. Dalam
pengajaran tersebut secara jelas Lukas menggambarkan bahwa seorang Samaria mungkin
lebih dekat kepada Kerajaan Allah dari pada ahli Taurat dan orang Yahudi lainnya. 77
Sebab dalam pengajaran tersebut orang Samaria memiliki belas kasihan dalam
memandang korban penyamun. Dengan demikian untuk memperoleh hidup yang kekal
seharusnya memiliki belas kasihan dalam memanusiakan manusia yang tidak
dimanusiakan sehingga seorang manusia dapat menemukan jalan menuju dimensi
transendental.

Konsep tentang dimensi transendental menurut pandangan Lukas sedikit berbeda


dengan konsep transendental menurut Mangunwijaya meskipun sama-sama menekankan
tentang kasih universal. Dalam perumpamaan orang Samaria, dimensi transendental
menurut Lukas memiliki tujuan yang jelas untuk memperoleh hidup yang kekal,
sedangkan dimensi transendental menurut Mangunwijaya terjadi dalam perjumpaan antar
manusia. Konsep dimensi transendental menurut Mangunwijaya ditunjukkan melalui
pernyataan tentang menjadi pribadi yang baik dan manusia yang memanusiakan sehingga
melalui hal itu manusia menemukan jalan kepada pencipta-Nya.78 Dengan demikian

77
Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, 169.
78
Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 21.

23
dalam relasi antar manusia untuk saling mengasihi bukan hanya persoalan antar manusia
tetapi sampai pada dimensi transendental atau sampai kepada dimensi Ilahi.

4.3 Kesimpulan
Membaca Lukas 10:25-37 dengan perspektif humanisme Mangunwijaya telah
menemukan empat poin penting di dalamnya yaitu pembebasan terhadap orang-orang
marginal, perumpamaan sebagai pedagogis, keadilan dan kesetaraan manusia serta hidup
kekal sebagai dimensi transendental. Dalam keempat poin ini menjelaskan tentang
pentingnya memanusiakan manusia yang berlandaskan dengan kasih universal untuk
menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Selain itu, pengajaran yang
digambarkan oleh Lukas dengan jelas mengritisi dan membimbing ahli Taurat untuk
memahami arti sesama secara universal. Sebab semua orang akan menjadi sesama
sehingga harus memiliki sikap memanusiakan manusia untuk dapat memanusiakan
manusia lain tanpa melihat latar belakang kehidupan. Selain itu, memanusiakan manusia
mampu untuk menunjukkan jalan pada dimensi transendental sebagai tujuan dari hidup
manusia. Dengan demikian, memanusiakan manusia bukan hanya teori tetapi tindakan
yang harus dilakukan dalam masyarakat sama seperti yang dilakukan oleh Mangunwijaya
dalam konteks Indonesia.

5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Dengan menggunakan teori humanisme Mangunwijaya dalam membaca Lukas
10:25-37 melalui studi hermeneutik, dapat disimpulkan bahwa memanusiakan manusia
merupakan tindakan praksis yang harus dilakukan dalam masyarakat. Namun untuk
melakukan kemanusiaan tersebut harus disesuaikan dengan konteks sosial budayanya
karena permasalahan tentang kemanusiaan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat.
Keberpihakan kepada orang-orang marginal hingga dianggap sebagai pemberontak
terhadap pemerintah harus dilakukan untuk membebaskan orang-orang marginal dari
penindasan dan sikap diskriminasi yang terdapat dalam kebijakan dehumanis. Selain itu,
narasi ini akan membimbing dan mengritisi sikap eksklusivitas yang masih terjadi
sehingga manusia seharusnya melakukan tindakan kemanusiaan tanpa melihat latar
belakang kehidupan. Dalam hal ini, perlu adanya pengambilan keputusan etis untuk

24
memanusiakan manusia yang dilandaskan dengan kasih universal. Sebab melakukan
kemanusiaan merupakan jalan menuju dimensi transedental. Artinya dengan bersikap etis
dengan melakukan kemanusiaan dapat menjadi manusia yang baik dan menemukan jalan
kepada Pencipta. Akhirnya memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan melalui
studi hermeneutik dapat dilakukan dalam membaca teks Lukas 10:25-37 dengan
menggunakan perspektif humanisme menurut Mangunwijaya.

5.2 Saran
Narasi Lukas 10:25-37 merupakan narasi yang sangat disukai dan menjadi teks
yang penting dalam kehidupan bergereja. Berdasarkan dengan hal itu penulis hendak
memberikan saran dan relevansi yang dapat dilakukan pada masa kini. Saran dan
relevansi ini akan ditujukan kepada gereja dan masyarakat secara umum dalam
memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan melalui sikap praksis.

Dalam peraturan PGI yang terkandung dalam Pokok-Pokok Panggilan Bersama


(PPPB) memuat mengenai keharusan gereja untuk membentuk persekutuan yang inklusif
terhadap sesama manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui sikap gereja yang harus
meningkatkan hubungan dan kerjasama antar umat beragama serta percaya kepada Tuhan
Yang Maha Esa untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi baik itu masalah
kemiskinan, keadilan, perdamaian dan lain sebagainya.79 Secara realitas aturan PGI
berbeda dengan gereja secara umum. Sebab hubungan dan kerja sama antar umat
beragama belum terlaksana dengan baik sebab masih ada gereja yang bersifat
eksklusivitas. Selain itu, gereja-gereja terkesan bungkam atas sikap diskriminasi dan
penindasan yang terjadi pada masa kini sehingga memanusiakan manusia pun sulit
dilakukan dalam bentuk praksis. Dengan demikian seharusnya gereja merefleksikan
setiap kekurangan dan melakukan tindakan memanusiakan manusia sebagai upaya dalam
meneladani tindakan Yesus. Salah satu upaya untuk memanusiakan manusia ialah
bersikap inklusif, toleransi dan membantu sesama manusia yang berkekurangan. Sebab
memanusiakan manusia yang dilandaskan dengan kasih akan membawa manusia dalam

79
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 65.

25
hidup yang damai dan indah dalam keberagaman. Akhirnya narasi Lukas 10:25-37 tidak
dipandang sebagai teoritis tetapi dapat dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

26
Daftar Pustaka

Boland, B.J dan Naispospos, P.S. Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Budiman, Arief et al. Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar HistorisTeologis. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2016.
Drewes, B.F. Satu Injil Tiga Pekabar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Groenen OFM, Dr,C, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Hardiman, Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Hunter, A.M. Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2001.
Indratno, Ferry et al dalam forum Mangunwijaya IV. Penziarahan Panjang Humanisme
Mangunwijaya. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009.
Knoppers, Gary. Jews and Samaritans: The Origins and History of Their Early Relation.
New York: Oxford University, 2013.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Levine, Amy Jill. The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish
Jesus. USA: Harper Collins e-book, 2006.
Mangunwijaya, Y.B. Paradigma Baru Pendidikan Rakyat. Jakarta: Majalah Prisme no.7,
1980
------------. Pasca Indonesia Pasca Einstein. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
------------. Merintis RI yang Manusiawi: Republik Yang Adil dan Beradab. Jakarrta:
Erlangga, 1999.
------------. Memuliakan Allah Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1999
Marshall, I. Howard, diterjemahkan..Tafsiran Alkitab Abad ke 21. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2017.
Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis terhadap Masalah-
Masalahnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000
Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenal Interpretasi.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-
Gereja di Indonesia (DKG-PGI) 2014-2019. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Setyawan, Yusak. Hermeneutik Perjanjian Baru: Suatu Perkenalan. Salatiga: Fakultas
Teologi UKSW, 2016.

27
Sindhunata dkk. Menjadi Generasi Pasca Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya.
Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Wahid, Abdurahman et al. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius,
1999

Jurnal:
Margianto, Aris. Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama dan Pembacaan Kitab Ayub
Bersama dengan Orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Indonesian
Journal of Theology(2017). Diakses 12 Agustus 2019.
Mulyadi, Mulki. Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap
Perekonomian Indonesia. Academia Journal(2019). Diakses 7 Agustus 2019.
Febrianus, Leo. Pendidikan Pemerdekaan Menurut Romo Mangun. Academia Journal
(2019). Diakses 7 Agustus 2019.

Skripsi
Tondok, Marselius Sampek. “Skripsi tentang Humanisme dalam Perspektif Iman
Kristiani.” Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 1998.

Website
Situmorang, Parhorasan. “Perjumpaan dengan Romo Mangun, Artidjo Alkostar dan
Busyro Muquddas di Kali Code”. Kompasiana (Oktober
2016).https://www.kompasiana.com/parhorasan/5813279aba22bd37285e511e/perjumpaa
n-romo-mangun-artidjo-alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-
pemuda, Diakses 27 September 2018.

28

Anda mungkin juga menyukai