Anda di halaman 1dari 193

Pembinaan Narapidana

di Lembaga Pemasyarakatan
Indonesia

Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira,


Nurul Adhha
PENERBIT KBM INDONESIA adalah penerbit dengan misi memudahkan
proses penerbitan buku-buku penulis di tanah air Indonesia. Serta menjadi
media sharing proses penerbitan buku.
Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Indonesia
Copyright@2021
All right reserved

Penulis : Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira,


Nurul Adhha
Desain Sampul : Danillstr
Tata Letak : Ainur Rochmah
Editor Naskah : Dr. Muh. Fudhail Rahman, M.A.
Dr. Imam Subchi, M.A.
Sumber Gambar : https://www.freepik.com/

Hak cipta dilindungi undang-undang


Cetakan ke-1, Desember 2021
14 x 21 cm, xii + 181 halaman
ISBN 978-623-5679-47-1 (PDF)

Penerbit
PENERBIT KBM INDONESIA
Banguntapan, Bantul-Jogjakarta (Kantor I)
Balen, Bojonegoro-Jawa Timur, Indonesia (Kantor II)
081357517526 (Tlpn/WA)
Website: www.penerbitbukumurah.com
Email: karyabaktimakmur@gmail.com
Youtube: Penerbit Sastrabook
Instagram: @penerbit.sastrabook | @penerbitbukujogja
Anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia)

Isi buku di luar tanggung jawab penerbit

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin dari
Penerbit.
Abstrak

Salah satu alternatif pembinaan bagi narapidana di


Indonesia adalah pelaksanaan program pembinaan kepribadian
spiritual. Selama ini, hampir di seluruh lembaga
pemasyarakatan di Indonesia, program keagamaan yang
dilaksanakan oleh petugas sipir adalah program ceramah dan
aktivasi masjid maupun mushola lembaga pemasyarakatan.
Penelitian ini menganalisis model pembinaan warga binaan di
Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan pendekatan
maqa>sid al-shari>‘ah. Konsep ini mengaktifasi kerjasama antara
cendikiawan dan praktisi universitas, masyarakat, dan warga
lembaga pemasyarakatan dalam mengayomi para warga binaan
laki-laki dan perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum Islam dengan studi sosio legal yang bersifat
interdisipliner. Penelitian ini menggunakan studi ilmu hukum
Islam dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bimbingan Islam
dan ilmu sosial lainnya dari perspektif kemasyarakatan. Tim
Peneliti menggunakan model studi ini agar dapat
mendeskripsikan persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia
secara lebih bermakna baik dari sudut pandang teoretikal
maupun praktikal. Penelitian ini juga menggunakan metodologi
campuran yang terdiri dari kajian kualitatif atas kaidah fikiah
dan maqa>s}id syari>’ah dalam hukum Islam. Sumber data
penelitian adalah dokumen berupa undang-undang, peraturan

v
Kementerian Hukum dan HAM dan institusi di bawahnya,
eksperimen tajhi>z jana>zah dan wawancara semi terstruktur.
Penelitian ini dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung, Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta, dan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta. Pelaksanaan dan
optimalisasi pembinaan warga binaan pemasyarakatan di
ketiga lembaga pemasyarakatan masih terhambat oleh
beberapa kendala diantaranya, (1) persentasi bobot skoring
indikator spiritual yang rendah, (2) over kapasitas sumber
berbagai kemudaratan di lembaga pemasyarakatan, dan (3)
dilema keterbatasan dan ketiadaan tenaga fungsional. Kedua,
aktualisasi maqāṣid al-syarī’ah melalui tajhi>z jana>zah di
lembaga pemasyarakatan Indonesia berorientasi pada
peningkatan penerimaan diri narapida di tengah masyarakat,
meningkatkan pendekatan diri kepada Allah, melatih
kreativitas dan peran otak kanan warga binaan dengan
pendekatan Kognitif-psikomotorik dan spiritualitas,
memberikan pelatihan yang menunjang skill yang dapat
digunakan sebagai mata pencaharian bagi warga binaan.

vi
Daftar Isi

Abstrak ........................................................................................... v
Daftar Isi....................................................................................... vii
Kata Pengantar .............................................................................. xi
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 8
D. Kajian Terdahulu yang Relevan ..................................... 8
E. Metodologi Penelitian .................................................. 20
1. Ruang Lingkup Penelitian .................................... 20
2. Pendekatan Penelitian .......................................... 22
3. Sumber dan Jenis Data Penelitian ........................ 24
4. Teknik Pengumpulan Data ................................... 26
5. Teknik analisis Data............................................. 30
F. Sistematika Pembahasan .............................................. 32
G. Jadwal Penelitian.......................................................... 33
BAB II
MAQA>S}ID SYARI>’AH DAN PEMBINAAN NARAPIDANA . 35
A. Diskursus Maqa>s}id Syari>’ah......................................... 35
1. Makna dan Perkembangan Maqa>s}id Syari>’ah. ..... 35
2. Maqa>s}id Syari>’ah dalam hukuman (uqubah). ...... 53

vii
B. Konsep Pemenjaraan dan Pembinaan Narapidana ....... 62
BAB III
PEMBINAAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
DI INDONESIA ........................................................................... 71
A. Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan di Indonesia ....................................... 72
B. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Bandar Lampung .......................................................... 83
C. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta .......................................................................... 88
D. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta 93
E. Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas II A Bandar Lampung, Kelas II A
Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Salemba Jakarta............................................................ 96
a. Pembinaan Kepribadian ..................................... 100
b. Pembinaan Kemandirian .................................... 111
BAB IV
ANALISIS MAQA>S}ID SYARI>’AH
DI DALAM PEMBINAAN MORAL-SPIRITUAL
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN.................................... 115
A. Hambatan dan Tantangan Pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan Perspektif Hukum Islam.................. 116
1. Persentasi Bobot Skoring Indikator Spiritual
yang Rendah ....................................................... 116
2. Over Kapasitas Sumber Berbagai Kemudaratan
di Lembaga pemasyarakatan .............................. 119
3. Dilema Keterbatasan dan Ketiadaan Tenaga
Fungsional .......................................................... 123
B. Aktualisasi Prinsip-prinsip Maqa>s}id Syari>’ah di dalam
Tajhiz Janazah ............................................................ 127

viii
BAB V
PENUTUP .................................................................................. 141
A. Kesimpulan................................................................. 141
B. Saran ........................................................................... 143
Daftar Pustaka ............................................................................ 145
Glosarium dan Daftar Singkatan ............................................... 161
Index ........................................................................................... 169
Lampiran Dokumentasi .............................................................. 173
Biografi Penulis .......................................................................... 177

ix
x
Kata Pengantar

Alhamdulillah, rasa syukur yang paling utama tim


penulis ucapkan kepada Allah Swt. Karena Taufiq, Hidayah
dan Inayah-Nya tim penulis dapat menyelesaikan Buku
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia
ini.. Tidak kemampuan kecuali atas izin dan keagungan Allah
Swt. La> H{aula Wala> Quwwata illa> Billa>h. Semoga tim penulis
menjadi orang-orang yang selalu bersyukur, pantang menyerah,
dan selalu dalam bimbingan Allah Swt. menuju jalan yang
lurus. Amin. Salawat dan salam tim penulis haturkan kepada
Rasulullah saw., Nabi akhir zaman, panutan bagi sekalian alam.
Teladan rasulullah tidak akan pernah tergantikan, akhlak
rasulullah selalu menjadi yang utama bagi seluruh manusia di
muka bumi ini. Rasulullah merupakan Kekasih Allah yang
menyampaikan Islam yang rahmah dan ramah. Semoga kita
semua selalu meneladani rasulullah saw., agar kita
mendapatkan syafaatnya. Amin.
Penulis menyadari bahwa buku yang telah ada di tangan
anda saat ini adalah buku yang sederhana. semoga
dikesempatan yang lain di masa depan, buku ini dapat tim
penulis kembangkan lagi sehingga menjadi lebih matang dan

xi
komprehensif untuk pembaca nikmati. Tidak lupa tim penulis
sampaikan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Amany
Burhanuddin Umar Lubis, MA selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Imam Subchi, M.A.
selaku Ketua Pusat Penelitian dan Penerbitan (Puslitpen)
LP2M UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berserta jajarannya, Dr.
Kamarusdiana, M.H. selaku Ketua Pusat Pengabdian kepada
Masyarakat (PPM) LP2M UIN Syarif Hidayatullah beserta
jajarannya, dan Jajang Jahroni, Ph.D selaku Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
(LP2M) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya,
Riza Mahdar Fauzi selaku Wakil Ketua satu Senat Mahasiswa
UIN Jakarta serta seluruh civitas akademika dan Pustakawan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
support kepada tim penulis untuk menyelesaikan buku ini.
Semoga Allah senantiasa memberikan pahala kepada
mereka yang telah berkontribusi atas selesainya buku ini.
Semoga Allah membimbing kita kepada jalan hidup yang
penuh keridhoanNya, menempatkan kita dalam taman-taman
yang indah di surga, serta selalu menaungi kita dalam
kedamaian dan hikmah. Amin.

Ciputat Timur, 5 Desember 2021

Tim penulis

xii
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

A. Latar Belakang
embaga Pemasyarakatan dahulu dipandang
sebelah mata sebagai Institusi yang memfasilitasi
pemberian hukuman serta penangguhan
kemerdekaan tersangka kejahatan (Drake, 2012: 5). Lembaga
publik dan hukum harus memandang narapidana secara
berbeda. Narapidana yang dipenjara mungkin saja adalah
penjahat di mata hukum, namun narapidana juga merupakan
manusia yang pantas mendapatkan pertimbangan yang
manusiawi dan perlakuan dengan tepat. Meskipun sifat
kejahatan yang dilakukan oleh narapidana merupakan tindakan
melanggar norma dan hukum, hukuman yang ditegakkan pada
narapidana harus berada dalam tingkat parameter hak asasi
manusia yang dapat diterima akal sehat. Lembaga
pemasyarakatan seharusnya berfungsi sebagai lembaga yang
fokus mengayomi para warga binaan hingga siap dikembalikan

1
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

ke masyarakat (Soedjono,1972: 86). Para narapidana juga


manusia, dan mereka berhak diperlakukan dengan bermartabat
dan diberikan hak-hak mereka (Al-Fijawi, et al., 2019: 455-
474).

Oleh karena itu, sudah selayaknya narapidana yang aktif


dan berkelakuan baik selama masa pemidanaannya
mendapatkan pengurangan masa hukuman. (Yanto et al., 2019:
1-13). Pengurangan masa tahanan atau remisi bagi narapidana
bisa diupayakan dengan merangsang keaktifan narapidana
melalui keikutsertanyaan di berbagai program dukungan sosial
yang diberikan oleh petugas lapas atau sipir maupun
masyarakat. Lapas harus melaksanakan dukungan sosial
dengan melibatkan tokoh masyarakat, cendikiawan kampus,
narapidana, petugas sipir, serta masyarakat. Pelaksanaan
dukungan sosial yang rutin akan meningkatkan kualitas hidup
dan psikologis warga binaan pemasyarakatan agar mampu
pulih dengan menyadari kesalahan dan kejahatan yang pernah
dilakukan, memperbaiki diri, serta tidak mengulangi tindak
pidana (Pettus-Davis et al., 2011: 479-488). Pembinaan
narapidana melalui program-program dukungan social
merupakan salah satu upaya rehabilitatif di penjara. (Zwick:
2018, 8). Pembinaan ini bertujuan agar warga binaan siap
kembali kemasyarakat, dapat diterima kembali oleh
masyarakat dan lingkungannya (Sumpter et al., 2021: 473-
494). Setelah menjalani masa tahanannya narapidana harus
mampu berperan aktif dalam pembangunan lingkungan, serta
dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan
bertanggung jawab (Undang-undang No. 12 tahun 1995
tentang Pemasyarakatan).
Masyarakat internasional telah membuat undang-undang
dan peraturan dengan tujuan untuk melindungi hak-hak

2
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

narapidana. Berbagai badan dan sistem internasional seperti


Perserikatan Bangsa-Bangsa. PBB kemudian membuat
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
yang menyuarakan pelarangan penyiksaan, perlakuan kejam
tidak manusiawi, atau merendahkan martabat narapidana tanpa
pengecualian atau penghinaan. Aturan tersebut tertulis di
dalam pasal 10 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (ICCPR) yang mengatur bahwa mengamanatkan bahwa
"Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan
dengan kemanusiaan dan dengan menghormati martabat yang
melekat dari pribadi manusia." Selain itu, hak-hak narapidana
juga dilindungi melalui terbitnya buku saku bagi petugas Lapas
dengan judul Human Rights and Prisons pada tahun 2005 (UN,
2005).
Kondisi Lembaga pemasyarakatan dan Rumah tahanan
di Indonesia hingga saat ini masih dihadapkan pada berbagai
keterbatasan. Secara administratif, Indonesia masih
menyisakan keterbatasan fasilitas ruang tahanan. Padahal
jumlah krininalitas terus meningkat, dan berdampak pada
meningkatanya jumlah narapidana dan tahanan setiap tahunnya
(Roy, 2018: 2). Akibatnya Lapas mengalami over kapasitas.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Hukum
dan HAM tahun 2019, menunjukan, dari sejumlah 522 Lapas
dan Rumah Tahanan Negara yang ada pada tahun 2019, hanya
113 lembaga yang mampu menampung narapidana sesuai
dengan kapasitas yang tersedia. Sedangkan 407 lembaga
lainnya menampung narapidana dengan jumlah yang melebihi
beban kapasistas ruang tahanan. Bahkan dengan tingkat
kepadatan yang beragam. Idealnya lapas maupun rutan hanya
dapat menampung 126.837 narapidana dan tahanan, namun
pada Februari 2019 setiap lapas dan rutan harus menampung
narapidana dan tahanan hingga 257.851 orang. Jika dianalisis

3
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

pada setiap wilayah di Indonesia, dari 33 wilayah provinsi


hanya 3 wilayah provinsi yang tidak mengalami over kapasitas,
yaitu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku dan
Maluku Utara. Ruitan maupun lapas di 30 provinsi lainnya
semua mengalami over kapasitas (Usman, et al., 2020: 436-
444).
Di Indonesia pemahaman lapas sebagai penjara untuk
menyiksa narapidana sudah lama ditinggalkan. Tahun 1962
Menteri Kehakiman mempertegas bahwasanya konsep
pemasyarakatan yang ada di Lembaga pemasyarakatan
berfungsi sebagai sarana untuk mengayomi para warga binaan
hingga siap dikembalikan ke masyarakat (Soedjono, 1972: 86).
Warga binaan laki-laki dan perempuan mempunyai hak atas
perlindungan dan pembinaan yang sama (Juklia dan Wibowo,
2021: 185-193). Meskipun telah melakukan kejahatan atau
kriminalistas. Narapidana yang ada di lembaga pemasyarakatan
pada pasal 14 Undang-Undang No .12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan mengatur tentang pemberian hak-hak yang
harus diterima narapidana tanpa terkecuali, meliputi pelayanan
kesehatan, pendidikan perawatan serta pemberian remisi.
Menurut hukum Islam, Islam melindungi lima hak
esensial setiap manusia berdasarkan prinsip maqas̄ ị d al-
syari’̄ ah. Maqa>s}id syari>’ah merupakan hak asasi manusia yang
harus dipertahankan oleh masyarakat bagi para narapidana di
lapas. Hak tersebut adalah; pelestarian agama (al-di>n),
pelestarian hidup atau jiwa (al-nafs), pelestarian keluarga dan
kehormatan (al-nasl), pemeliharaan harta (al-ma>l), dan
perlindungan intelektual (al ‘aql) (Al-Syâthibî, 2003: 47).
Inilah hak fundamental yang harus dilindungi oleh masyarakat
tanpa memandang ras, agama, dan jenis kelamin (Al-Qur'an,
4:29). Kesucian hidup manusia dilindungi dalam Islam terlepas
dari apakah mereka seorang Muslim atau non-Muslim. Hukum

4
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

ini dianggap sebagai prinsip universal (Hathout, 2006). Pada


kesempatan lain, Al-quran menerangkan di dalam Surat al-
Maidah ayat 32 bahwa pelestarian kehidupan manusia
menyiratkan keamanan hidup dari serangan apa pun, yang
menyebabkan kematian, tetapi juga perlindungan kehidupan
dari kerusakan mental dan fisik seperti pelecehan dan
penyiksaan.

ْ َ ۢ ً ْ َ ََ َ ْ َ ََٗ َْ َ ْ َ ٰ َ َْ َ َ َ ٰ ْ َ ْ
ِ‫مِن اج ِل ذل ِك ۛ كتبنا على بن ِْى ا ِسراۤءِيل انه من قتل نفسا بِغير‬
َ ْ َ ْ َ َ ًْ َ َ َ ََ َ َ ََ َ َ َْ َ َ َْ
‫ح َياها‬ ‫نف ٍس ا ْو ف َسا ٍد ف ِى الا ْر ِض فكانما قتل الناس ج ِميعاۗ ومن ا‬
َ َ ُ ٰ َْ َُ ُ ُ ْ ُْ َ َ ْ ََ َ ًْ َ َ َ َ ْ َ َ ََ َ َ
‫ت ثم ا ِن‬ ِ ‫فكانما احيا الناس ج ِميعا ۗولقد جاۤءتهم رسلنا بِالبيِن‬
َ ُ َ َْ َ ٰ ْ َ
‫كثِيْ ًرا مِن ُه ْم َب ْع َد ذل ِك ف ِى الا ْر ِض ل ُم ْسرِف ْون‬

Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani


Israil, bahwa barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena
orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat
kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
semua manusia. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan
semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah datang
kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas. Tetapi kemudian banyak di antara mereka setelah
itu melampaui batas di bumi (Kemenag RI: 2021).
Pelestarian berupa penyelamatan seseorang dari
pembunuhan dan upaya agar tidak dirugikan, disiksa dan
dianiaya secara tidak adil juga merupakan pelestarian hidup. Di
dalam Surat al-Baqarah ayat 190 Al-quran dengan tegas

5
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

menasihati umat manusia untuk tidak melampaui batas bahkan


dalam konteks perang.

ُ ُ َ َ َ ْ ََُْ ََ ْ ُ َُْ َُ َ ْ َ ْ ُ َ
ُ ‫ب‬ِ ‫َوقات ِل ْوا ف ِْى َسبِي ِل اّلل ِٰ الذِين يقات ِلونكم ولا تعتدوا ۗ ا ِن اّلل ٰ لا ي‬
ْ
‫ال ُم ْع َتد ِْي َن‬

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang


memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(Kemenag RI: 2021).
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan
menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya serta
memerintahkan manusia agar memperjuangkan Islam hingga
mengalahkan kebatilan, namun dengan rambu-rambu kebaikan
(Shihab: 1996, 501). Narapidana yang dijatuhi hukuman
merupakan salah satu upaya untuk memerangi kenbatilan,
namun selama menjalani hukumannya narapidana merupakan
manusia yang sedang berada di jalan taubat dan harus
dibimbing, bukan disiksa hingga melampui batas kewajaran
atau melanggar hak asasi manusia. Maka dari itu segala
praktek penyiksaan dan pelecehan atau yang dapat melukai dan
mencederai psikologis narapidana di lapas dianggap sebagai
pelanggaran dalam pandangan sistem hukum Islam (Malekian,
2014: 1-6).
Salah satu alternatif pembinaan bagi narapidana di
Indonesia adalah pelaksanaan program religious keagamaan.
PPenelitian-penelitian terdahulu membuktikan bahwa program
pembinaan narapidana yang menggunakan pendekatan
keagamaan yang religious merrubah perilaku narapidana

6
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

menjadi positif (Jodi et al., (2014): 146-153), mengurangi


kecemasan dan depresi narapidana (Allen, 2013; Rezaei &
Mousavi, 2019, Prabowo et al., 2020), berpengaruh untuk
menekan keinginan bunuh diri narapidana (Suto et al., 2010:
288-312). Selama ini, hampir di seluruh lembaga
pemasyarakatan di Indonesia menggunakan program
keagamaan ceramah dan aktivasi masjid maupun mushola
lembaga pemasyarakatan. Salah satu kegiatan keagamaan
religious di dalam Islam adalah Fiqh Jenazah. Salah satu bagian
terpenting dari fiqh jenazah yaitu pelatihan penyelenggaraan
jenazah yang biasa dikenal sebagai tajhiz jana>zah. tajhiz
jana>zah memiliki prinsip yang sangat sejalan dengan ajaran
Islam yang menganjurkan manusia untuk siap akan kematian,
mampu menyelenggarakan jenazah muslim yang lain, serta
selalu ingat akan mati (Abidin, 2020). Sebagaimana Islam juga
menganjurkan ummatnya untuk mengunjungi orang yang
sedang sakit menghibur mendo’akan. Islam juga mewajibkan
seorang muslim untuk mampu menyelenggarakan jenazah
muslim yang lain. Apabila seseorang telah meninggal dunia,
hendaklah seorang dari mahramnya yang paling dekat dan
sama jenis kelaminnya melakukan kewajiban yang mesti
dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengkafani,
menyembahyangkan dan menguburkannya (Sholikhin, 2010).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada permasalahan diatas, permasalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana model pembinaan
spiritual narapidana di lembaga pemasyarakatan Indonesia.
Secara spesifik beberapa rumusan dari permasalahan utama
tersebut sebagai berikut:
1. Bagaimana model pembinaan spiritual warga binaan di
lembaga pemasyarakatan?

7
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

2. Bagaimana hambatan dan tantangan implementasi


pembinaan spiritual bagi narapidana di lembaga
pemasyarakatan?
3. Bagaimana aktualisasi maqāṣid al-syarī’ah melalui tajhi>z
jana>zah di lembaga pemasyarakatan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengetahui
model pembinaan spiritual narapidana di lembaga
pemasyarakatan Indonesia. Secara khusus tujuan penelitian
ialah:
1. Untuk menganalisis model pembinaan spiritual warga
binaan di lembaga pemasyarakatan
2. Untuk menganalisis hambatan dan tantangan
implementasi pembinaan spiritual bagi narapidana di
lembaga pemasyarakatan
3. Untuk menganalisis aktualisasi maqāṣid al-syarī’ah
melalui tajhi>z jana>zah di lembaga pemasyarakatan
Indonesia

D. Kajian Terdahulu yang Relevan


Terdapat beberapa penelitian terdahulu yang relevan
yang terkait dengan topic penelitian Tim Penelitidiantaranya,
Pertama, penelitian Jacoby dan Kozie‐Peak tahun 1997
yang bertajuk The benefits of social support for mentally ill
offenders: prison‐to‐community transitions menunjukan bahwa
27 orang narapidana Penjara Negara Bagian Ohio yang
mendapat dukungan sosial lebih baik selama masa tahanan
akan mengalami penyesuaian sosial yang lebih positif, kualitas
hidup yang lebih tinggi, dan residivisme yang lebih rendah. Di
dalam penelitian ini, para narapidana diidentifikasi oleh sipir

8
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

penjara, diwawancarai dan diberikan evaluasi psikologis


independen tidak lama sebelum masa pembebasan mereka.
Mereka kemudian diwawancarai berulang kali selama tahun
pertama setelah dibebaskan dari penjara tentang banyak aspek
terkait penyesuaian social (Jacoby dan Kozie‐Peak, 1997: 483-
501). Perbedaan penelitian Tim Penelitidengan penelitian
Jacob yaitu bentuk dukungan sosial yang akan Tim
Penelitianalisis adalah dukungan dalam bimbingan dengan
pendekatan keagamaan dan literasi melalui tajhiz jana>zah.
Selain itu jumlah subjek penelitian dalam penelitian ini adalah
50 orang santri dengan jenis kelamin perempuan saja.
Persamaan warga binaan yang menjadi subjek penelitian Tim
Penelitidengan Jacob salah satunya adalah warga binaan
sedang berada dalam masa yang dekat dengan habis masa
tahanannya.
Kedua, Al-Fijawi et al., pada tahun 2019 melalui
penelitiannya bertajuk Violations of Basic Rights of Prisoners
In Conventional and Islamic Law: Theory and Practice
menyampaikan bahwa meskipun sudah terdapat banyak
undang-undang yang menjunjung tinggi hak-hak narapidana di
seluruh dunia. Masih ditemukan narapidana yang sering
dianiaya oleh otoritas penjara. Narapidana dilecehkan, dan hak-
hak fundamental mereka sebagai manusia sering dilanggar.
Padahal pelecehan seksual terhadap para narapidana,
penyiksaan mental dan fisik terhadap mereka tidak boleh
terjadi. Menurut Al-Fijawi hal ini masih terjadi secara berulang
dikarenakan beberapa faktor diantaranya kepadatan di penjara,
fasilitas pendidikan yang tidak memadai untuk narapidana, dan
fasilitas perawatan kesehatan penjara yang buruk. Oleh
karenanya pengawasan untuk narapidana butuh landasan
Hukum Islam, karena Islam dengan jelas menjamin hak-hak
terdakwa di dalam syariatnya. Dalam hukum Islam, terdakwa

9
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

berhak atas kebebasan berekspresi tanpa rasa takut akan


pembalasan. Dalam hukum Islam, tiga elemen fundamental
harus dimasukkan dalam membuktikan sebuah kejahatan. Jika
salah satu dari unsur-unsur ini kurang, terdakwa tidak akan
dikenakan hukuman (Anwarullah, 1997). Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Tim Penelitiyang akan menganalisis
kegiatan bimbingan keagamaan di Lapas, namun perbedaannya
Tim Penelititidak mengamati berbagai tindakan pelecehan
maupun tindakan kekerasan yang mungkin dialami oleh warga
binaan di Lapas (Al-Fijawi, et al. 2019: 455-474).
Ketiga, penelitian Hidayati dkk yang bertajuk Aspek
Spiritual Terhadap Resiko Bunuh Diri Narapidana juga
melaporkan bahwasanya dari penelusuran secara sistematik
review pencegahan perilaku bunuh diri pada narapidana dapat
ditanggulangi dengan dengan pembinaan menggunakan
pendekatan aspek spiritual. Beberapa penelitan terdahulu
menurut Hidayati telah membuktikan bahwa dukungan
spiritual dapat menurunkan tingkat depresi dan mencegah
perilaku bunuh diri narapidana secqara umum. Kesimpulan
penelitian ini yaitu semakin tinggi kepercayaan narapidana
kepada Tuhan maka semakin rendah tingkat kekambuhan
depresi, menunrunnya kecemasan dan berkurangnya stress yang
dirasakan yang juga berakibat pada menurunnya angka bunuh
diri narapidana. Hal ini menunjukan bahwa aspek spiritual
merupakan aspek yang saangat perlu diperhatikan terkait
dalam mengatasi depresi yang berakibat resiko terjadinya
bunuh diri pada individu (Hidayati et al., 2021: 703-710).
Keempat, penelitian Pambhudi yang bertajuk Analisis
Yuridis Sosiologis Faktor-Faktor Penyebab Residivis Wanita
(Studi di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kelas II A Malang
pada tahun 2011. Penelitian ini mengangkat permasalahan
residivisme yang terjadi di kalangan warga binaan perempuan

10
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A


Malang, menurut Panbhudi meningkatnya jumlah warga binaan
residivis di Indonesia dilator belakangi oleh overkapasitas di
lingkungan lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Studi ini
dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan sosio legal
dengan teknik pengumpulan data interview bersama
responden/sampel yang didapatkan dari warga binaan serta
petugas Lapas. Pambhudi melakukan observasi langsung untuk
melakukan pengambilan data primer. Hasil studi ini kemudian
dianalisis secara deskriptif. Studi ini melaporkan bahwa
tingkat penghasilan ekonomi, tingkat pendidikan yang rendah,
kesadaran beragama yang rendah, latar belakang keluarga, serta
factor lingkungan kehidupan warga binaan menjadi beberapa
tantangan bagi warga binaan yang menyebabkan mereka
melakukan kejahatan kembali. Perbedaan antara studi ini
dengan studi Tim Penelitidiantaranya, Tim Penelititidak hanya
melakukan penelitian di satu lembaga pemasyarakatan
perempuan, namun dua lembaga pemasyaraakatan perempuan
di dua provinsi berbeda, yaitu Lampung dan DKI Jakarta,
kemudian satu lembaga pemasyarakatan Salemba Jakarta
dengan keseluruhan peserta eksperimen tajhiz jana>zah laki-laki.
Selain itu di dalam penelitian ini Tim Penelitimelakukan
analisis data dengan dua teknik yaitu analisis tematik dan
analisis mengguanakan kaidah-kaidah fikiah. Tim Penelitijuga
menambahkan metode eksperimen pelatihan tajhiz jana>zah
yang melibatkan narapidana yang sudah ditentukan sebagai
sumber pengambilan data primer. Tim Penelitijuga tidak hanya
berfokus kepada warga binaan residivis dan tidak terbatas pada
narapidana dengan latar belakang pemidanaan kasus tertentu
saja. Meski demikian persamaan anatara studi ini dengan
penelitian Tim Penelitiyaitu penggunaan jenis penelitian
hukum yuridis sosiologis untuk mendeskripsikan persoalan

11
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

sosial kemasyarakatan di Indonesia secara lebih bermakna baik


dari sudut pandang teoretikal maupun praktikal. Meskipun
secara khusus pada penelitian penulis, Tim
Penelitimenggunakan pendekatan interdisipliner interdisipliner
yaitu melibbatkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bimbingan
Islam dan ilmu sosial lainnya dari perspektif kemasyarakatan
untuk menganalisis data secara komprehensif.
Kelima, studi Chilimboyi ada tahun 2015 yang berjudul
Prisons and Education Provision in Zambia: a Historical
Perspective, 1964-2011. Studi ini membahas sistem penyediaan
pendidikan pemasyarakatan bagi narapidana di penjara Zambia.
Penelitian ini juga ikut mengamati proses rehabilitasi serta
reformasi yang dijalani dan dialami oleh narapidana selama 47
tahun yaitu sejak 1964 hingga 2011. Penelitian ini juga ikut
menyelidiki asal-usul kemunculan beserta perkembangan
pendidikan pemasyarakatan. Chilimboyi menggunakan metode
kualitatif dalam studi ini untuk menelusuri pendidikan penjara
sejak zaman kolonial di Zambia, yaitu ketika pertama kali
pendidikan dasar diperkenalkan kepada semua tahanan di
daerah bagian Rhodesia Utara. Perhatian khusus pendidikan
diberikan kepada orang kulit putih dan sebaliknya warga
binaan yang tidak berkulit putih tidak diberi kesempatan untuk
mengakses pendidikan dasar penjara pada tahap awal
kemunculannya. Fokus pendidikan penjara di Zambia saat itu
adalah membaca buku dengan kegiatan rekreasi. Namun sejak
tahun 1974 pendidikan penjara dibentuk kembali menjadi
pendidikan pemasyarakatan. Pendidikan pemasyarakatan
sebagian besar bertanggung jawab untuk mengubah perilaku
narapidana dengan pendekatan sosial dan psikologis tertentu
yang terkait dengan pemenjaraan. Studi ini mengungkapkan
bahwa pendidikan akademik dan kejuruan, pendidikan politik,

12
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

spiritual, moral, dan jenis pendidikan lainnya ditawarkan


kepada narapidana.
Lebih lanjut, studi juga mengungkapkan tantangan yang
menghambat perkembangan pendidikan pemasyarakatan di
Zambia dari zaman perjuangan kemerdekaan hingga 2011.
Tantangan tersebut diantaranya pendanaan yang tidak
memadai dan tidak menentu jumlahnya dan waktu
pencairannya, kurangnya koordinasi antara Layanan
Pemasyarakatan Zambia dan masyarakat untuk bekerja sama
mengembangkan pendidikan kemasyarakatan, kurangnya
pengembangan sumber daya manusia yang bertugas dan
kurangnya arah kebijakan pendidikan pemasyarakatan dari
pemerintah beserta jajarannya. Tantangan tersebut
menghambat penyelenggaraan pendidikan pemasyarakatan
yang efektif bagi narapidana. Studi ini juga melakukan evaluasi
dampak pendidikan pemasyarakatan terhadap narapidana dan
mantan narapidana. Studi menunjukkan bahwa pendidikan
pemasyarakatan membantu mengubah warga binaan menjadi
warga negara yang taat hukum melalui pengamatan ada kondisi
ekonomi, social, politik, bisnis dan pekerjaan keagamaan
mereka setelah keluar dari penjara. Sampai tahun 2011
pengadaan pendidikan ini juga mengurangi tingkat residivisme
diantara para tahanan di Zambia. Studi menyimpulkan bahwa
secara keseluruhan, pendidikan pemasyarakatan memiliki
dampak positif pada narapidana. Perilaku sebagian besar
mantan narapidana berubah karena pendidikan yang mereka
terima di penjara. Sebagian besar dari mereka menjadi individu
yang mandiri secara ekonomi dan sejahtera yang memberikan
nilai tambah bagi keluarga, komunitas, dan masyarakat pada
umumnya. Studi ini mencakup periode 1964 hingga 2011 yang
berlangsung pada masa pemerintahan dua pemerintahan, Partai
Persatuan Kemerdekaan Nasional (UNIP) dari 1964 hingga

13
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

1991 dan Gerakan Demokrasi Multipartai (MMD) dari 1991


hingga 2011.
Perbedaan studi ini dengan penelitian Tim
Penelitidianataranya, penelitian Tim Penelitidi laksanakan
hanya di tiga lembaga pemasyarakatan di dua daerah provinsi
di Indonesia yang berbeda yaitu DKI Jakarta dan Lampung.
Ketiga lembaga ini juga merupakan lembaga kelas IIA,
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta. Sedangkan studi ini dilakukan di banyak lokasi seperti
Arsip Nasional Zambia (NAZ) Markas Besar Penjara Zambia,
Daily Mail dan Times of Zambia, Penjara Keamanan
Maksimum Mukobeko, kantor Dewan Pembebasan Bersyarat
Nasional (NPB), kantor Asosiasi Perawatan dan Konseling
Penjara (PRISCCA) di Lusaka, Penjara Mazabuka, Mumbwa,
Penjara Udara Terbuka Mwembeshi, Lusaka Central, Penjara
Kamwala dan penjara Monze, serta Sekolah Reformasi
Katombora di Kazungula. Selain itu, yang paling mencolok
adalah penelitian ini merupakan penelitian hukum Islam
dengan pendekatan interdisipliner menggunakan ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan bimbingan Islam dan ilmu sosial lainnya
dari perspektif kemasyarakatan. Sedangkan pendekatan pada
penelitian ini adalah ilmu pendidikan saja. Selain itu penelitian
di juga membatasi informasi dari kalangan narapidana dan
petugas sipir saja, tidak melipatkan narasumber dari luar ketiga
lembaga pemasyarakatan.
Keenam, penelitian Nichols yang bertajuk An inquiry
into adult male prisoners' experiences of education pada 2016.
Studi ini mengekplorasi kebijakan pembelajaran bagi
narapidana di Inggris dan Wales. Studi ini juga berfokus pada
pembinaan kejuruan atau vokasional yang bertujuan untuk

14
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mendidik narapidana untuk meningkatkan kemampuan kerja


mereka setelah bebas dari masa tahanan. Penelitian dilakukan
dengan melakukan analisis terhadap surat-surat yang ditulis
oleh narapidana serta wawancara dengan narapidana yang
menjalani masa tahanan, mantan narapidana dan staf penjara.
Studi ini merupakan studi kualitatif ini menyelidiki
pengalaman pendidikan vokasional narapidana untuk
mengeksplorasi berbagai cara bagaimana pengalaman tersebut
diinterpretasikan. Interpretasi berulang melibatkan
pengembangan pribadi narapidana. Studi ini menunjukkan
bahwa berbagai perubahan dan transformasi pribadi dapat
dikaitkan dengan pengalaman pendidikan vokasional yang
diterima narapidana di penjara. Hal ini menunjukkan bahwa
interpretasi narapidana tentang pengalaman pendidikan mereka
sering melampaui kemampuan kerja mereka sendiri. Studi ini
juga memberikan pemahaman yang lebih besar tentang
identitas narapidana. Dimana sesungguhnya mereka
mengambil pelajaran dari seluruh elemen perjalanan hidup dan
menemukan dampak dari pengalaman pendidikan dalam narasi
surat-surat mereka.
Studi ini berusaha untuk mengedepankan konteks
kemanusiaan yang mendalam pada diri narapidana. Studi ini
juga dengan demikian, menyatakan bahwa pengalaman
pendidikan vokasional bagi narapidana dapat dipahami lebih
baik dalam konteks aspek kisah hidup mereka setelah bebas.
Studi ini mengungkapkan bahwa narapidana yang sebelumnya
tidak memiliki pengalaman pendidikan yang positif seringkali
mengalami kekurangan dalam pengembangan pribadi dan
kematangan emosional dan oleh karena itu pembelajaran bagi
narapidana harus diperhatikan dengan model pengembangan
'manusia seutuhnya' selain dari pada memberikan keterampilan
vokasional kepada narapidana untuk bekerja setelah bebas dari

15
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

amsa tahanan. Dengan demikian, nilai kemanusiaan dapat


berasal dari perkembangan pribadi yang tidak secara langsung
berhubungan dengan kemampuan kerja, seperti kemampuan
untuk mengatasi pengalaman pemenjaraan dan pengembangan
hubungan keluarga yang lebih baik. Dengan memasukkan
temuan tersebut, studi nichols ini juga menunjukkan
bagaimana pemahaman pengalaman pendidikan narapidana
berkontribusi untuk memahami tema-tema kunci dalam
sosiologi penjara diantaranya mengatasi masalah, maskulinitas,
identitas dan rasa sakit di penjara.
Persamaan studi ini dengan penelitian Tim Penelitidi
anataranya, sama sama menganalisis bagaiaman pembinaan
yang di lakukan di lembaga pemasyarakatan kepada narapidana
menggunakan pendekatan interdisipliner. Jika penelitian Tim
Penelitimenggunakan ilmu hukum Islam, kaidah-kaidah fikiah
dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bimbingan Islam dan
ilmu sosial lainnya dari perspektif kemasyarakatan, maka studi
ini khusus menggunakan berbagai disiplin ilmu kriminologi,
sosiologi dan pendidikan. Kemudian, studi disertasi ini dan
penelitain Tim Penelitijuga bertujuan untuk menarik perhatian
berbagai akademisi di bidang studi tersebut di atas, peneliti
penjara, praktisi penjara, staf penjara, profesional dalam
peradilan pidana, dan siapa pun yang memiliki minat dalam
pemenjaraan kontemporer untuk kembali mengembangkan
tema penelitian ini agar menciptakan pembinaan yang lebih
baik ke depannya bagis eluruh warga binaan. Perbedaanya di
anataranya penelitain Tim Penelitidilaksanakan di tiga
lembaga pemasyarakatan di dua daerah provinsi yang berbeda.
Selain itu, penelitian peneliti juga focus pada pembinaan
spiritual yang kemudian dianalisis dengan perspektif hukum
Islam, maqas̄ ị d al- syari’̄ ah, dan serta kebijakan yang berlaku di
Indonesia. Penelitian Tim Penelitijuga melaksanakan

16
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

eksperimen tajhiz jana>zah yang dilengkapi dengan pre-test


maupun post-test sebagai metode pengumpulan data utama.
Ketujuh, penelitian yang diselesaikan oleh Raddon pada
2015 yang bertajuk A Prisoners’ Project in Emergent Ethics.
Penelitian ini bertujuan untuk mengeskplorasi hubungan antara
proses etika intersubjektif yang muncul di antara narapidana,
sistem moral apa yang melandasi rehabilitasi narapidana di
dalam sistem peradilan pidana, serta bagaimana sistem dan
proses etika serta moral rehabilitasi narapidana ini dapat
diekspresikan dalam pengalaman hidup para narapidana setelah
bebas. Untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini,
Raddon membentuk kelompok kerja di dalam penelitiannya
yang melibatkan empat mantan tahanan di Kingston. Raddon
melakukan pengujian model filosofis moral tertentu untuk
menganalisis dampak dorongan rehabilitasi dalam pengalaman
hidup narapidana, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi
pada bidang intersubjektif, etika dekonstruktivis dan
menegaskan perbaikan di dalam diri narapidana sebagai subjek
etis. Studi ini mencoba menyampaikan m eksplorasi praktis
dan analitis tentang etika yang muncul di dalam dan di luar
pengalaman kontrol penjara. Hal ini diharapkan bekerja sebagai
kritik terhadap rehabilitasi yang berlansung dan dialami oleh
narapidana.
Studi ini mengungkap kecenderungan demoralisasi
rehabilitasi berdasarkan ketergantungan pada subjek yang
ditentukan oleh interioritas mereka yang dapat diketahui dan
ditempa. Raddon di dalam studinya mempertimbangkan
petualangan intra-subjektif bahwa subjek rehabilitasi ini
bertahan di bawah naungan teknik rehabilitatif psikoanalitik
dan hambatan yang dihadirkan untuk kebebasan, kreativitas,
dan perubahan. Raddon menggambarkan empat karakteristik
program rehabilitative yang dijalani oleh narapidana di

17
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Kingstone yaitu, pengulangan, standardisasi atau


universalisme, ketergantungan pada seperangkat pengetahuan
individu dan kekuasaan diskresioner. Studi ini juga
mengeskplorasi seputar kekerasan yang terjadi di lingkungan
tahanan, Raddon melihat bahwa kekerasan merupakan bagian
dari penindasan sistemik. Studi ini snagat berbeda dari
penelitian penulis, dikarenakan studi ini focus dalam kajian
norma dan etika di dalam rehabilitasi saja. Studi ini juga bukan
penelitian hukum. Namun demikian penelitian ini menganggap
bahwa narapidana yang ditahan berhak atas rehabilitasi, dan
bukan hanya sekedar pembinaan. Pada hakikatnya rehabilitasi
sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan pembinaan.
Selain itu, teori yang digunakan oleh studi ini adalah teori
seputar intersubjektif dan etika dekonstruktivis. Berbeda
dengan penelitian Tim Penelitiyang mengguanakan maqāṣid al-
syarī’ah dan kaidah-kaidah fikiah di dalam Hukum Islam.
Kedelapan, studi pada 2020 yang dilakukan oleh
Montasevee yang bertajuk Examining The Nature of
Aggressive Behaviour in Thai Male Prisoners And Factors
That Contribute to its Aetiology. Studi ini secara ekslusif
menyelidiki sifat dan perilaku agresif pada narapidana laki-laki
di Thailand dan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap
etiologinya. Tinjauan literatur studi ini dilakukan pada ruang
lingkup faktor risiko yang terkait dengan agresi yang terjadi di
antara narapidana laki-laki dewasa di seluruh dunia, yaitu
sekitar dua puluh satu penelitian terdahulu dimasukkan ke
dalam tinjauan pustaka studi ini. Narapidana laki-laki yang
menjadi sample studi ini berjumlah dua puluh enam narapidana
dewasa yang agresif dan 26 narapidana non-agresif. Pemilihan
narapidana dilakukan dengan menggunakan pemilihan pada
daftar periksa perilaku agresif langsung narapidana. Berkas-
berkas narapidana yang berpartisipasi ini dinilai karakteristik

18
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

umumnya, dan kemudian narapidana dari kedua kelompok


diwawancarai menggunakan wawancara terstruktur dan semi-
terstruktur. Kemudian data yang didapatkan dianalisis
mengguankan analisis konsekuensi respons stimuli organisme
dan analisis fenomenologis interpretatif untuk mengidentifikasi
karakteristik agresivitas narapidana lebih lanjut. Hasil analisis
menghasilkan berbagai temuan yang berbeda dan bervariasi
antara kelompok agresif dan non-agresif. Temuan studi ini
menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan terkait
dengan agresi penjara di antara narapidana laki-laki dewasa di
Thailand berada di berbagai tingkat Model Ekologis. (1) Di
tingkat individu, usia muda, riwayat pelecehan anak, riwayat
afiliasi geng sebelum penjara, variabel psikologis,
penyalahgunaan zat, tingkat pendidikan rendah, riwayat
kriminal dan memiliki tato ditemukan menjadi faktor risiko
agresi penjara, (2) pada tingkat hubungan, keanggotaan geng
penjara dan menjadi pemimpin kelompok secara signifikan
berhubungan dengan agresi narapidana di penjara. Kemudian
(3) di tingkat masyarakat, lingkungan penjara yang buruk,
penilaian narapidana yang buruk dan sikap staf penjara yang
buruk menjadi faktor risiko agresi penjara selanjutnya.
Perbedaan antara penelitian Tim Penelitidengan studi
ini, studi ini berfokus pada standar perilaku narapidana untuk
mengukur dan menemukan faktor yang berpengaruh pada
perilaku agresif narapidana saja. Dengan kata lain studi ini
foku pada perilaku narapidana selama berada di penjara saja.
Sedangkan penelitian Tim Penelitilebih berfokus kepada
pelaksanan pembinaan spiritual di tiga lembaga
pemasyaraakatan dengan pemilihan peserta eksperimen tajhiz
jana>zah ditentukan dengan standard sebagai berikut, di
lembaga pemasyarakatan perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung dan Salemba Jakarta, peserta ditentukan berdasarkan

19
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

bidang ekstrakurikuler atau peminatan vokasional yang dipilih


oleh narapidana selama menjalani masa tahanan yaitu
peminatan kegamaan atau santri. Lalu di lapas perempuan
Kelas IIA Jakarata, pemilihan narapidana dilakukan secara
langsung oleh petugas lapas. Selain itu, penelitian Tim
Penelitijuga menggunakan pendekatan interdisipliner
mengguankan cabang ilmu lainnya untuk menganalisis
pelaksanaan pembinaan. Jumlah narapidana yang menjadi
objek pengamatan di dlaam penelitian Tim Penelitijuga lebih
banyak, dengan detail 80 orang narapidana laki-laki di
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta, 32
narapidana perempuan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakarta, dan 45 orang narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung.

E. Metodologi Penelitian
1. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum Islam
dengan studi sosio legal yang bersifat interdisipliner.
Penelitian ini menggunakan studi besar tentang ilmu
hukum Islam dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
bimbingan Islam dan ilmu sosial lainnya dari perspektif
kemasyarakatan. Tim Penelitimenggunakan model studi
ini agar dapat mendeskripsikan persoalan sosial
kemasyarakatan di Indonesia secara lebih bermakna baik
dari sudut pandang teoretikal maupun praktikal
(Banakar, Reza, and Max Travers, 2005). Tujuannya
adalah agar penelitian ini dapat menjelaskan bagaimana
hukum Islam dapat menganalisis pelaksanaan pemulihan
narapidana di dalam kehidupan keseharian mereka di
Lembaga Pemasyarakatan (Haq, 2020: 132-150). Dalam
konteks penelitian ini, kehidupan warga binaan yang

20
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

akan diperhatikan adalah dalam ruang lingkup Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung,
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta,
Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta. Tim Penelitimemilih ketiga lembaga
pemasyarakatan lembaga karena lembaga ini merupakan
lembaga dengan levelisasi kelas menengah yaitu kelas
IIA di bawah jajaran Kementrian Hukum dan Hak Asasi
Manusia yang ada di Kantor Wilayah DKI Jakarta dan
Lampung. Ketiga lembaga ini diharapkan dapat
memberikan jawaban atas hipotesis bahwa ketiga
lembaga telah berkontribusi besar dalam keberhasilan
pemulihan narapidana jika dianalisis dengan perspektif
hukum Islam, maqas̄ ị d al- syari’̄ ah, serta kebijakan yang
berlaku di Indonesia.
Sebagaimana Carothers (2006) memaparkan
bahwa seharusnya banyak sekali persoalan masyarakat
yang termarginalkan yang harus dapat dipecahkan dan
dijawab secara kontekstual dan dengan bantuan berbagai
pendekatan keilmuan interdisipliner. Sehingga
masyarakat akademik dapat menjelaskan bagaiama
hubungan antara hukum dan masyarakat untuk mencapai
keadilan (Carothers, 2006: 15-30). Juga sebagaimana
Otto (2007) menawarkan cara untuk mengetahui
efektivitas hukum dan hubungannya dengan konteks
empiris di lapangan maupun ekologisnya, akademisi
membutuhkan pendekatan interdisipliner yang baik
berupa konsep maupun teori dari berbagai disiplin ilmu.
Kemudian ilmu-ilmu ini dapat digabungkan lalu
dikombinasikan untuk mengkaji fenomena hukum di
Indonesia. Dalam konteks penelitian, Tim Penelitiakan
menganalisis fenomena pembinaan warga binaan di

21
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

ketiga lembaga pemasyarakatan yang tidak Tim


Penelitiisolasi dari konteks Islam, psikologi, sosial,
politik, budaya dan lain-lain (Otto, 2007: 15).

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini juga menggunakan metodologi
campuran yang terdiri dari kajian kualitatif atas kaidah
fiqhiyah di dalam hukum Islam dan kebijakan undang-
undang di Indoensia, Kementerian Hukum dan HAM dan
institusi di bawahnya, eksperimen tajhiz jana>zah dan
wawancara semi terstruktur (Flick, 2007: 2-16). Studi ini
juga menggunakan metode kualitatif terintegrasi, yaitu
menggunakan metode kualitatif yang terhubung menuju
akses ke perspektif praktisi di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung, Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta, Dan
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta
(Bouma, 2000: 23), dan menawarkan wawasan berbasis
empiris ke dalam interpretasi (Patton,1999: 1189-1208).
dan makna yang diberikan para praktisi pada
pelaksanaan pembinaan kepada narapidana di lembaga
pemasyarakatan (Rudestam, Kjell, and Rae Newton,
1992: 6).
Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
analisis isi fenomena yang mengacu kepada penggunaan
metode, prosedur, dan teknik terpadu untuk menemukan,
mengidentifikasi, mengambil, dan menganalisis
dokumen aturan beserta kebijakan untuk relevansi,
signifikansi, dan pemaknaan fenomena pembinaan
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Bandar Lampung, Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Jakarta, Dan Lembaga

22
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta (Altheide,


David L., and Christopher J. Schneider, 1996: 23-41).
Tim Penelitimenggunakan pendekatan ini agar dapat
melaksanakan prosedur pengambilan sampel melalui
informasi dari lembaga kemudian dibandingkan dengan
teori dan penemuan terdahulu. Hal ini dilakukan agar
data yang didapatkan bisa digunakan kembali untuk
menggambarkan kategori tertentu dari informan secara
deskripsi naratif, untuk menggambarkan situasi,
pengaturan, gaya, gambar, makna dan nuansa pembinaan
warga binaan di ketiga lembaga secara mendalam.
Karena elemen-elemen tersebut merupakan topik kunci
dalam analisis isi fenomena (Altheide, 1987: 65-77).
Metode ini digunakan dengan alasan bahwa
analisis dokumen aturan maupun kebijakan sebagian
besarnya harus dilakukan dengan cara mengonfirmasikan
tata laksananya dalam diskusi bersama penerima layanan
dan wawancara individu semi terstruktur. Persepsi
seluruh informan wawancara tentang pelaksanaan aturan
dan kebijakan pembinaan narapidana di ketiga lembaga
akan diamati, dilaksanakan oleh peneliti, dicatat dan
kemudian digunakan dalam menganalisis dokumen
lainnya. Tim Penelitikemudian melakukan pengatagorian
tema-tema yang berkaitan dengan tema penelitian di
dalam daftar pertanyaan wawancara untuk
dikonfirmasikan dengan seluruh informan dan partisipan
dari kalangan narapidana di ketiga lembaga
pemasyarakatan. Hal ini bertujuan untuk menegaskan
kembali bahwa konteks budaya dan konteks situasional
(implementasi pembinaan yang dilaksanakan dalam
wujud tajhiz jana>zah) dapat digambarkan dengan tepat
dalam proses analisis.

23
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

3. Sumber dan Jenis Data Penelitian


Data Penelitian ini dikumpulkan dari beberapa
sumber. Pertama, bersumber dari hasil eksperimen tajhiz
jana>zah melibatkan peserta dari warga binaan yang
sudah ditentukan dan wawancara individu semi
terstruktur bersama informan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung,
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta,
Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta. Kedua data penelitian juga berasal dari hasil
dokumentasi naskah secara online menggunakan internet
yang diakses dengan menggunakan jaringan internet
umum dan juga menggunakan akses akun Scopus
Universitas Indonesia. Data penelitian ini juga terbagi
menjadi dua jenis,
a. Data primer merupakan, data hasil pengambilan
video dan foto wawancara semi terstruktur,
notulensi hasil pelaksanaan eksperimen tajhiz
jana>zah melibatkan peserta dari warga binaan
yang sudah ditentukan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Salemba Jakarta, dan dokumentasi
naskah berupa Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2006 atas Perubahan PP Nomor 32
Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

24
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata


Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan
Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, Peraturan
Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-
05.OT.01.01 Tahun 2010 Tanggal 30 Desember
2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Hukum dan HAM Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor 7
Tahun 2013 Tentang Pengangkatan Dan
Pemberhentian Pemuka Dan Tamping Pada
Lembaga Pemasyarakatan, Kepmenkeh Rl Nomor
M.02-PK.04.10 tahun 1990 tanggal 10 April 1990
tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan,
Undang undang Pemasyarakatan nomor 12 tahun
1995 tentang pemasyarakatan, Surat Edaran
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor
KP.10.13/3/1 tanggal 10 Mei 1973 tentang Wali
sebagai ganti orang tua dan kawan bagi anak didik
dalam lembaga, dan online document tentang
Panduan Modul Pembinaan di Rumah Tahanan
atau Lembaga Pemasyarakatan yang diakses
melalui http://sdp.ditjenpas.go.id/manual/3.6.1/
PanduanModulPembinaan.html, dan annual report
pembinaan warga binaan pemasyarakatan dari
ketiga Lembaga yang diakses melalui situs
website masing-masing.
b. Data Sekunder merupakan data penunjang seperti
jurnal, artikel, makalah, serta pendapat para ahli
terkait pembinaan warga binaan di lingkungan
lembaga pemasyarakatan.

25
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

4. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan pengumpulan data
secara langsung di lapangan penelitian di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung,
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta,
dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta melalui beberapa cara.
Pertama, eksperimen pelatihan tajhiz jana>zah,
yang bertujuan untuk mengajari warga binaan tentang
penyelenggaraan jenazah dengan mengikut sertakan
mereka sebagai partisipan pelatihan secara aktif. Praktek
ini mengikut sertakan Tim Peneliti dan peserta dari
kalangan warga binaan di ketiga lembaga
pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh peneliti pada 10
April 2021 di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Bandar Lampung, dan Tanggal 18 November
di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta,
dan Tanggal 19 November 2021 Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta. Partisipan
dari kalangan warga binaan terdiri dari 80 orang
narapidana laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Salemba Jakarta, 32 narapidana perempuan di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta,
dan 45 orang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung. Sebelum
mengikuti pelatihan partisipan dari dua lembaga 80
orang narapidana laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan
Kelas IIA Salemba Jakarta, 32 narapidana perempuan di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta.
Peserta mengerjakan pre-test seputar tema pelatihan
selama 20 menit, dengan rincian soal pilihan ganda
sebanyak 20 soal. Karakteristik pre-test ini adalah untuk

26
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mengidentifikasi pengetahuan umum keagamaan


narapidana dari dua lembaga pemasyarakatan seputar
tema penelitian yaitu tajhiz jana>zah secara garis besar
umum terstruktur (Kahan, 2001: 129-146). Kemudian
setelah mengikuti pelatihan, narapidana akan kembali
mengerjakan post-test dengan karakteristik soal yang
sama (Zientek, dkk., 2016: 638-659) Metode ini secara
umum tampak sederhana namun efektif untuk
mengumpulkan data kualitatif yang pada dasarnya
melibatkan warga binaan dalam perspektif Hukum Islam
dan maqāṣid al-syarī’ah. Eksperimen pelatihan tajhiz
jana>zah ini dilaksanakan dalam kelompok warga binaan
yang interaktif untuk memberikan informasi yang
mendalam dan memungkinkan Tim Peneliti mengetahui
perkembangan pengetahuan peserta seputar pembinaan
spiritual di lembaga pemasyarakatan. Kemudian
informasi yang berhasil didokumentasikan ini
dikonfirmasikan kembali kepada petugas lembaga
pemasyarakatan masing-masing warga binaan dari
kalangan. Hal ini dilakukan untuk menyimpan beberapa
informasi yang sepenuhnya harus dirahasiakan dari
publik atas dasar kode etik pembinaan warga binaan.
Kedua, wawancara individu semi terstruktur.
Metode ini merupakan salah satu metode yang paling
banyak digunakan untuk menghasilkan data dalam ilmu-
ilmu social (Holstein, 2002: 4). Tim Peneliti memilih
wawancara individu semi terstruktur ini agar dapat
memperoleh pengalaman subjektif dari masing-masing
partisipan baik dari kalangan narapidana dan petugas
lembaga pemasyarakatan. Tim Peneliti memilih metode
semi terstruktur agar wawancara dapat dilaksanakan
secara in-dept interview dengan tujuan menemukan

27
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

permasalahan yang dihadapi informan secara terbuka.


Informan yang berpartisipasi di dalam wawancara ini
diajak membagikan ide dan dimintai pendapat mereka
seputar pembinaan spiritual di masing-masing lembaga
pemasyarakatan. Sebagai catatan, peneliti tidak
mengenal semua partisipan dan tidak memiliki hubungan
dalam bentuk apapun sebelumnya. Tim Peneliti sudah
menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-
pertanyaan tertulis yang akan diajukan dalam wawancara
semi-terstruktur. Tim Peneliti juga lebih fleksibel untuk
mengajukan pertanyaan terbuka kepada partisipan dan
berkesempatan untuk melakukan pertanyaan dengan
berbagai variasi dan mengajukan pertanyaan yang lebih
spontan seiring berkembangnya tanya jawab.
Meskipun wawancara semi-terstruktur digunakan,
informasi latar belakang dan berita terkini dan
perubahan peraturan maupun program Panduan Modul
Pembinaan di Rumah Tahanan atau Lembaga
Pemasyarakatan yang diakses melalui http://sdp.ditjen
pas.go.id/manual/3.6.1/PanduanModulPembinaan.html
telah di observasi dan didokumentasikan oleh peneliti
sebelum melaksanakan wawancara dengan masing-
masing informan. Persiapan ini diperlukan karena
wawancara semi terstruktur bertujuan agar peneliti dapat
mengejar masalah dan siap berimprovisasi di saat proses
wawancara berlangsung (Wengraf, 2001: 2). Dalam
wawancara semi terstruktur, informasi mengenai judul
penelitian, tujuan penelitian, prosedur penelitian,
masalah kerahasiaan informan, tanggung jawab peneliti,
dan penjelasan seputar hak informan dari kalangan warga
binaan dan petugas lembaga pemasyarakatan
disampaikan oleh peneliti pada bagian pendahuluan.

28
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Seluruh informan memiliki kesempatan untuk


mempertimbangkan risiko anonimitas mereka dan
masalah lain yang dapat terangkat sebelum
mengonfirmasi persetujuan mereka secara tertulis.
Informan penelitian terdiri dari 3 sipir lembaga
pemasyarakatan. Rinciannya yaitu 1 orang sipir yang
berasal dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Bandar Lampung, 1 orang sipir yang bertugas di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta,
dan 1 orang sipir dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Salemba Jakarta. Adapun informan dari kalangan
warga binaan atau narapidana berjumlah 3 orang yang
terdiri dari 1 orang narapidana kasus terorisme yang
berasal dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Bandar Lampung, 1 orang narapidana kasus
penipuan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta, dan 1 orang narapidana penyalahgunaan
narkotika dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Salemba Jakarta.
Wawancara individual semi terstruktur bersama 6
orang informan berlangung kurang lebih 3 jam. Di mana
masing-masing peserta, menjalani proses wawancara
bersama Tim Peneliti selama 30 menit yang berlokasi di
masing-masing lembaga pemasyarakatan asal. Pada sesi
ini Tim Peneliti mengajukan pertanyaan yang sudah
disiapkan dan pertanyaan yang berkembang sesuai
dengan jalannya tanya jawab bersama informan.
Sebagian besar pertanyaan yang berasal dari
perkembangan wawancara secara spontan banyak
membahas kasus yang sering muncul, langka, tidak
terduga, serta bagaimana indikator pendukung
pembinaan, dan berbagai kritik, dan saran yang

29
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

diharapkan oleh masing-masing informan untuk


diadakan agar dapat meningkatkan pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Salemba Jakarta. Hasil wawancara ini sangat membantu
Tim Penelitimelalui proses analisis dokumen aturan dan
kebijakan pembinaan spiritual di dalam ketiga lembaga.
Ketiga, dokumentasi pelaksanaan pengumpulan
data penelitian ini dimulai pada pertengahan Maret 2021
dengan pengajuan surat yang dikirimkan ke Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung,
kemudian dilanjutkan pada pelaksanaan eksperimen
pelatihan tajhiz jana>zah pada Sabtu, 10 April 2021.
Pengajuan surat izin penelitian kepada Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta, Dan
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta
berlangsung pada pertengahan akhir Oktober 2021, dan
pelasanaan eksperimen pelatihan tajhiz jana>zah pada
Sabtu, 18 dan 19 November 2021. Peneliti secara pribadi
melakukan transkrip/ringkasan dan notulensi kegiatan
sesuai dengan persetujuan etik dari Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta.

5. Teknik analisis Data


Data yang diperoleh dari dokumentasi beberapa
dokumen hukum, berupa undang-undang dan kebijakan
pemerintahan berserta institusi di bawahnya, hasil
pengambilan data eksperimen pelatihan tajhiz jana>zah,
dan wawancara individu semi terstruktur dianalisis
menggunakan analisis tematik, kaidah-kaidah fikih
(Parray, 2012: 88-107), dan analisis maqa>s}id syari>’ah

30
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

oleh Syatibi dan Ibnu Asyur . Analisis tematik dijelaskan


oleh Kitzinger dan Barbour (1999) sebagai teknik
analisis yang berfungsi menggambar secara
komprehensif berbagai data dan membandingkan data
hasil diskusi tentang tema yang sudah ditentukan dan
memeriksa kembali bagaimana hasil pengambilan data
dengan berbagai jenis tenik yang digunakan dapat
menghasilakn hubungan dan keterkaitan dengan variasi
karakteristik data antar individu dan atau antar
kelompok (Barbour, Rosaline, and Jenny Kitzinger,
1999: 1-20). Analisis tematik ini akan dijalankan dengan
empat langkah tahapan analisis. Langkah pertama
melibatkan pengumpulan data, menyalin data dan
mengidentifikasi tema penelitian. Langkah kedua
melibatkan pengkategorian semua ekstrak dari transkrip
yang terkait dengan setiap tema. Tema-tema yang telah
diidentifikasi kemudian dikembangkan lebih lanjut
dengan mengelompokkan tema-tema tertentu secara
konseptual sehingga dapat menggali tumpang tindih isu
dan berbagai sinergi lainnya. Langkah ketiga dilakukan
dengan cara menggabungkan dan membuat katalog pola
terkait ke dalam sub-tema baru yang muncul dari ide
atau pengalaman yang dialami warga binaan dalam sesi
eksperimen pelatihan tajhiz jana>zah, dan wawancara
individu semi terstruktur, atau dicatat oleh peneliti
setelah sesi pengumpulan data selesai. Langkah terakhir
dilanjutkan untuk membangun interpretasi atau argumen
keseluruhan berdasarkan tema dan kaidah-kaidah fikih
dan maqa>s}id syari>’ah untuk mengasilkan kesimpulan
penelitian (Aronson, 1995: 1-3).

31
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

F. Sistematika Pembahasan
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar
belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian terdahulu
yang relevan, metodologi penelitian, rencana pembahasan, dan
jadwal penelitian.
Bab II membahas landasan teori tentang konsep maqa>s}id
syari>’ah dalam hukuman dan pembinaan narapidana di dalam
hukum Islam. Kemudian bab ini juga memaparkan bentuk
tujuan-tujuan dalam penerapan hukum dan sanksi, seperti
prepentif, represif dan rehabilitative. Selanjutnya bagian ini
memaparkan diskursus pemenjaraan dan pemidanaan
narapidana.
Bab III menyajikan konsep pembinaan dan
pembimbingan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di
Inodnesia, dan menyajikan profil serta program pembinaan
yang ada di ketiga lembaga yang menjadi lokasi penelitian,
yaitu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta, dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta. Kemudian pada bagian ini juga dibahas bagaimana
ketiga lembaga melaksanakan pembinaan bagi warga binaan.
Bab IV Menyajikan analisis program pembinaan warga
lapas dengan pendekatan Kaidah Fiqih dan maqa>s}id syari>’ah di
dalam tajhiz janazah yang dilaksanakan sebagai salah satu
model pembinaan narapidana di tiga lembaga pemasyarakatan
di Indonesia. Kemudian dilakukan juga analisis menggunakan
kaidah-kaidah fikiah untuk mengetahui sejauh mana aktualisasi
pembinaan spiritual, tantangan dan hambatan pembinaan
spiritual yang dihadapi oleh narapidana maupun ketiga
lembaga.
Bab V menyajikan kesimpulan dan rekomendasi bagi
penelitian selanjutnya.

32
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

G. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 9 bulan dengan
rincian tahapan sebagai berikut:
Waktu Kegiatan Keterangan
April- Sumber data primer dan
Pengumpulan data
November sekunder
Agustus- Pengumpulan data melalui
Penelitian lapangan
September observasi dan wawancara
Penggabungan sumber
November Pengolahan data
data dan analisis data
Laporan hasil
Desember Editing dan finishing
penelitian

Adapun jadwal pelaksanaan penelitian ini dirancang


sebagai berikut:
1. Pengumpulan data dan referensi tambahan di bulan
Maret 2021
2. Pengolahan Data di Bulan April 2021
3. Penyusunan Bab 2 di Bulan Mei 2021
4. Penyusunan Bab 3 di Bulan Juni 2021
5. Penyusunan Bab 4 di Bulan Juli 2021
6. Penyusunan Bab 5 di bulan November 2021
7. Editing, Finishing, dan Submit Laporan Hasil Penelitian
di bulan November 2021
8. Penyerahan Laporan Bentuk Buku ber-ISBN di bulan
Desember 2021

33
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

34
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

MAQA>S}ID SYARI>’AH

ab ini membahas landasan teori tentang konsep


maqa>s}id syari>’ah dalam hukuman dan pembinaan
narapidana di dalam hukum Islam, dan juga
memaparkan bentuk tujuan-tujuan dalam penerapan hukum dan
sanksi, seperti prepentif, represif dan rehabilitative, serta
mendiskripsikan diskursus pemenjaraan dan pemidanaan
narapidana.

A. Diskursus Maqa>s}id Syari>’ah


1. Makna dan Perkembangan Maqa>s}id Syari>’ah.
Secara etimologis kata maqaṣid merupakan bentuk
plural (lebih dari dua) dari maqṣad, sedangkan bentuk
regulernya ialah qasd. Kata ini mengandung arti salah
satu dari empat kelompok makna, yaitu: menginginkan,

35
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

menuju kepada, mendatangi, lurusnya suatu jalan


(wa’alallahi qashdus sabil) (Q.S. al-Naḥl: 09). dan Allah-
lah (menunjukkan) jalan yang lurus (Abu al-Fidā, 1999:
560) adil, bersikap pertengahan, seimbang, tidak
berlebih-lebihan (waqsid fi masyyika, dan sederhakanlah
cara berjalanmu/jangan seperti jalan orang yang
sombong); dan membelah sesuatu (qasadtu al-‘ud, saya
membelah gaharu) (Ibnu Manẓūr, 1999: 179-180; Al-
Fairūz Ābādiy, 1998: 310; al-Rāzi, 2005: 314). Ada pula
yang menyatakan bahwa al-qasd adalah tujuan yang
paling utama. Makna inilah yang sering kali digunakan
dan dimaksud oleh ulama fiqh dan ulama ushul fiqh.
Tujuan (al-maqa>s}id) adalah acuan dalam setiap
perbuatan mukallaf dan hukum berubah seiring dengan
perubahan tujuan (al-maqa>s}id). Ia adalah elemen yang
terdalam yang menjadikan landasan dalam setiap
perbuatan seseorang. Tujuan dan niat dalam hal ini tidak
ada perbedaan yang mendasar (al-Kaila>ni, 200: 44; ibn
H}irz Allah, 2007: 25; Ibn al-Manz}u>r, 1990: 96). Lalu
pemakaian kata serapan oleh bahasa Indonesia, dipakai
kata ‘maksud’ (isim maf’ūl) yang diartikan sebagai yang
dikendaki; tujuan; niat; kehendak; arti, dan; makna dari
suatu perbuatan, perkataan peristiwa dan sebagainya
(Sugono, 2008: 865).
Adapun kata shari‘ah secara etimologi berarti
tepian telaga tempat hewan maupun manusia meminum
air. Penamaan shari‘ah khusus untuk telaga yang
memiliki sumber mata air yang jernih, bersih, dan tidak
pernah mengalami kekeringan (Ibn al-Manz}u>r, 1990: 86).
Jika dikaitkan dengan makna ini, maka syariat Islam
merupakan ketentuan yang diturunkan oleh Allah untuk
menjadi acuan keyakinan, sikap dan perbuatan manusia

36
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mukallaf, oleh karena itu setiap mukallaf wajib merujuk


dan mempedomani petunjuk-petunjukNya dalam setiap
tidak-tanduk mereka. Maka ajaran Islam memiliki
kesamaan dengan shari‘ah yang selalu didatangi untuk
menyambung hidup. Selain itu juga terdapat kata syari’
yang berarti jalan besar (al-Raazi, 2003: 190). Dalam
lingkup pengertian ini syariat Islam merupakan jalan
hidup yang harus diikuti oleh setiap Muslim.
Sedangkan secara terminologi, menurut ‘Umar al-
Asyqar, telah terjadi pergeseran pemahaman atas istilah
shari‘ah antara ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin.
Menurutnya, pada periode awal-awal penggunaan istilah
shari‘ah mencakup seluruh aspek ajaran agama berupa
akidah, hukum dan adab. Sedangkan dalam istilah
muta’akhirin, cakupan shari‘ah terbatas pada aspek
hukum amaliah, yaitu bahwa syariat adalah hukum-
hukum yang diturunkan oleh Allah, sedangkan Fikih
adalah pemahaman mukallaf tentang hukum-hukum
dimaksud (al-Asyqar, 1990: 16). Di antara definisi
mutaakhirīn ialah yang dikemukakan oleh Maḥmūd
Syaltūt berikut:

‫أن الشريعة اسم للنظم والحكم التي شرعها الله أو شرع‬


‫أصولها وكلف المسلمين اايها ليأخذوا أنفسهم بها فى‬
‫عالقتهم ابلله وعالقتهم ابلناس‬
“Bahwa syari’at ialah nama untuk sistem dan
hukum-hukum yang disyariatkan Allah atau yang
disyariatkan kaidah-kaidah pokoknya, dan Dia
bebankan kepada para muslimin agar mereka
membawakan diri mereka mematuhi sistem dan

37
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

hukum-hukum tersebut dalam hubungan mereka


dengan Allah dan dalam hubungan mereka dengan
manusia” (Syaltūt, 2001: 73).

Lebih lanjut menurut Syaltūt sistem dan hukum


yang mengatur hubungan Muslim dengan Allah disebut
ibadah, sedangkan yang mengatur hubungannya dengan
sesama manusia disebut muamalah. Ruang lingkup
shari‘ah ini kemudian direduksi oleh Ibnu ‘Āsyūr;
menurutnya ruang lingkup shari‘ah terbatas pada hukum-
hukum yang mengatur hubungan sesama mukallaf,
sedangkan ibadah menurutnya lebih tepat disebut
dengan diyanah (Ibn ‘A<syu>r, 1990: 175).
Istilah shari‘ah telah diserap ke dalam Bahasa
Indonesia menjadi syariat yang pengertiannya merujuk
kepada definisi yang dikemukakan oleh Syaltūt. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, syariat ialah: hukum
agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah Swt, hubungan manusia
dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadis (Sugono, 2008: 1368).
Dengan demikian, merujuk pada uraian pengertian
masing-masing unsur kata majemuk di atas dapat
dipahami bahwa maqa>s}id syari>’ah ialah tujuan-tujuan
yang hendak diwujudkan dalam interaksi dan hubungan
manusia dengan Allah dan dengan sesama makhluk
melalui hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah.
Pengertian maqa>s}id syari>’ah yang pakem sulit
dilacak dalam kitab-kitab Usul Fikih klasik. Menurut al-
Raysuni, hal tersebut—besar kemungkinan—karena
maqa>s}id syari>’ah dalam pandangan mereka adalah

38
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

sesuatu yang sudah jelas adanya; mendefinisikan


maqa>s}id syari>’ah berarti mengidentifikasi sesuatu yang
telah dikenal. Definisi maqa>s}id syari>’ah baru ditemukan
dalam kitab-kitab usul fikih modern, tetapi Ibn ‘Āsyūr
pun hanya memberikan batasan untuk maqa>s}id syari>’ah
al-’āmah dan maqa>s}id syari>’ah al-khassah. Menurutnya
maqa>s}id syari>’ah al-’āmah ialah:

“Tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah yang terbaca


sebagai yang diinginkan Allah dalam penetapan
seluruh atau sebagian besar hukum syariat, tidak
hanya pada jenis tertentu hukum syariat saja” (Ibn
‘A<syu>r, 1990: 251).

Sedangkan tentang maqa>s}id syari>’ah yang khusus


pada hukum-hukum muamalat, Ibn ‘Āsyūr menulis,

“Tata cara yang diinginkan oleh Allah demi


tercapainya tujuan-tujuan manusia yang
bermanfaat, atau untuk menjaga kemaslahatan
umum dalam aktivitas individual, supaya usaha
pencapaian kemasalahatan khusus tidak
mengorbankan kemasalahatan umum yang dapat
timbul, baik, karena faktor kelalaian atau karena
memperturutkan ego dan hasrat yang
menyimpang” (Ibn ‘A<syu>r, 1990: 415).

al-Fasi (1394 H/1974 M.) menjelaskan bahwa


maqa>s}id syari>’ah merupakan tujuan dari syariat dan
makna-makna tersembunyi yang dijadikan oleh al-syari’
pada setiap hukum-hukum syariat (al-Fasi>, 1995: 7). Ilāl

39
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

al-Fasi> termasuk yang pertama-tama membahas maqa>s}id


al-syari>‘ah selain Ibn ‘A<syu>r di abad keempat belas
Hijriyah atau abad kedua puluh Masehi. Dia menulis
kitabnya Maqa>s}id al-syari>‘ah al-Islāmiyah wa
Makārimuhā dan tertulis tahun 1963 di akhir
mukadimahnya –bandingkan dengan kitab Bin Ibn
‘A<syu>r cetakan pertama, tahun 1946), – namun demikian
sebagian besar kandungan kitab tersebut tidak
berhubungan dengan maqa>s}id al-syari>‘ah dalam
perspektif hukum. (al-Yūbiy, 1999: 71).
Abu Zahrah menyebut maqa>s}id syari>’ah sebagai
maqa>s}id al-ahkam, tetapi tidak memberikan batasan
tertentu. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, makna-
makna dan tujuan-tujuan agama yang terpantau dalam
seluruh atau sebagian besar hukum-hukumnya; atau
tujuan dari syariat dan makna-makna tersembunyi yang
dijadikan al-Syari’ (Allah) dalam setiap hukum syariat
(az-Zuḥailiy, 1986: 1017.
Berpijak kepada batasan yang diberikan oleh Ibn
‘Asyur dan al-Fasi, Ahmad al-Raysuni menyimpulkan
bahwa maqa>s}id syari>’ah atau maqa>s}id syari>’ah adalah
tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan sebagai alasan
diturunkannya syariat demi kemaslahatan para hamba
(ar-Raisūniy, 2011: 8). Sementara al-Syatibi menyatakan
bahwa beban-beban syari>’ah kembali pada penjagaan
tujuan-tujuanya pada makhluk. Tujuan-tujuan ini tidak
lepas dari tiga macam: primer (dlaruriyyat), sekunder
(hajiyyat) dan tersier (tahsiniyyat). Al-Syari’ memiliki
tujuan yang terkandung dalam setiap penentuan hukum
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan
akhirat (Al-Sya>thibi>, 2003: 3). Dari beberapa definisi
yang dikemukakan para ulama di atas dapat dikatakan

40
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

bahwa maqa>s}id syari>’ah ialah: makna-makna dan


hikmah-hikmah yang dipahami dari hukum dan proses
pembentukan hukum syariat, berupa maslahat yang
menjadi alasan diturunkannya syariat oleh Allah.
Terlepas dari perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan maqa>s}id syari>’ah tersebut, para ulama
Ushul al-Fiqh sepakat bahwa maqa>s}id syari>’ah adalah
tujuan-tujuan akhir yang harus terealisasi dengan
diaplikasikanya syariat (Hasan, dkk., 2012: 395).
Pengaplikasian syari’at dalam kehidupan nyata (dunia),
adalah untuk menciptakan kemaslahatan atau kebaikan
para makhluk di muka bumi, yang kemudian berimbas
pada kemaslahatan atau kebaikan di akhirat.
Pada masa awal pengembangan pemikiran hukum
Islam, pembahasan maqa>s}id syari>’ah, menempati posisi
yang tidak terlalu signifikan, bahkan terkesan
dikesampingkan. Umumnya, para ulama Ushul al-Fiqh
sebatas menempatkanya pada tulisan-tulisan tambahan
saja pada hukum-hukum suatu madzhab. Pada awalnya
kajian maqa>s}id syari>’ah lebih dikenal dengan sebutan
mashâlih jama’ dari mashlahah. Sedangkan kajian
mashlahah oleh para Ushûliyyîn (para pakar ushûl al-
fiqh) dapat ditemukan ketika mereka membicarakan
tentang hikmat dan ‘illat ditetapkanya suatu hukum.
Adalah Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdillah
ibn Yusuf al-Juwaini, populer dengan nama Imam al-
Haramain (478 H) dapat dikatakan sebagai ahli teori
(ulama usul al-fiqh) pertama yang menekankan
pentingnya memahami maqa>s}id syari>’ah dalam
menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan
bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu
menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami

41
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

dengan benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-


perintah dan larangan-laranganNya (al-Juwaini>, 1997:
101; ibn H}irz Allah, 2007: 173).
Al-Juwaini (478 H) dalam al-Burhan fi Usul al-
Fiqh menyatakan :

‫ومن لم يتفطن لوقوع المقاصد في الوامر والنواهي فليس‬


‫على بصيرة في وضع الشريعة‬
“Bahwa seseorang yang belum memahami atau
peka dengan benar tentang tujuan diberlakukannya
syariat, maka ia belum punya kewenangan untuk
menetapkan hukum”.

Pernyataan al-Juwaini ini menegaskan betapa


pentingnya pengetahuan secara holistik tentang maqa>s}id
syari>’ah. Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh
maqa>s}id syari>’ah itu dalam hubungannya dengan ‘illat
dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: 1) yang
masuk dalam kategori primer (d}aru>riyya>t), 2) sekunder
(h}ajjiyya>t), 3) tersier (makramah), 4) sesuatu yang tidak
masuk kelompok d}aru>riyya>t dan h}ajjiyya>t dan 5) sesuatu
yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya (al-
Bu>t}i>, 2000: 176-177).
Banyak kalangan ulama ushul fiqh yang mengakui
bahwa al-Juwaini sebagai orang yang pertama kali
mendirikan bangunan teori maqa>s}id syari>’ah. Ia adalah
yang pertama kali melakukan katagorisasi maqa>s}id
syari>’ah yang akhirnya disederhanakan dalam tiga
katagori yaitu peringkat primer (d}aru>riyya>t), peringkat

42
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

sekunder (h}ajjiyya>t) dan peringkat tersier (tah}si>niyya>t)


(al-Juwaini>, 1997: 2).
Kemudian pemikiran al-Juwaini tersebut
dikembangkan oleh muridnya, al-Ghazali (505 H).
Pemikiranya, baik dalam bidang ushul fiqh atau lainnya,
menjadi pondasi para pemikir atau ulama setelahnya. Ia
adalah tokoh yang menjadi inspirasi dan panutan dalam
pemikiran Islam. Dalam bidang kajian ushul fiqh, jasa-
jasanya dalam meletakkan dasar-dasar kajian maqa>s}id
syari>’ah tidak terbantahkan.
Perhatian al-Ghazali tentang kajian maqa>s}id
syari>’ah bisa dilacak dalam tiga karyanya yaitu, al-
Mankhul min Ta’liqat al-Usul, Syifa‘ al-ghalil fi Bayan
al-Syabh wa al-Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, dan al-
Mustasfa min ‘Ilm al-Usul. Ia menegaskan bahwa dalam
menetapkan hukum, terlebih yang berkaitan dengan
muamalah haruslah memperhatikan nilai-nilai yang
dijadikan ‘illat bagi penetapan hukum. ‘Illat tersebut
harus sesuai dengan maqa>s}id syari>’ah (ibn H}irz Allah,
2007: 179; \al-Khi>n, 1990: 552-554).
Lebih jauh al-Ghazali berpendapat bahwa relasi
yang terbangun antara syariat dengan istislah sangat erat
sekali. Maslahat menurut al-Gazali adalah memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam
maslahat di atas bagi al-Gazali berada pada skala
prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi
tujuannya, yaitu peringkat primer (d}aru>riyya>t), sekunder
(h}ajjiyya>t) dan tersier (tah}si>niyya>t) (Al-Ghaza>li, 1990:
250; ibn H}irz Allah, 2007: 179).
Pernyataan al-Ghazali tentang esensi maqa>s}id
syari>’ah adalah maslahat bisa diketahui dari definisi

43
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

yang diutarakan oleh al-Ghazali sebagai berikut (Al-


Ghaza>li, 1990: 280-281).

ِ ‫َأ َّما الْ َم ْصلَ َح ُة فَه َِيي ِع َب َار ٌة ِفي ْ َال ْص ِل َع ْن َجلْ ِب َم ْن َف َع ٍة َأ ْو ََفْع‬
‫ فَا َّن‬، ‫ َول َ ْس نَا ن َ ْع ِني ِب ِه َذ ِل َك‬، ‫َجلْ َب الْ َم ْن َف َع ِة َو ََفْ َع َمضَ َّر ٍة‬
ِ
‫يل َمقَ ِاص ِد ِه ْم‬ ِ ‫الْ َمضَ َّر ِة َمقَ ِاصدُ ال َخلْ ِق َو َص َال ُح ال َخلْ ِق ِفي تَ ْح ِص‬
‫ لَ ِكنَّا ن َع ِني‬، َُ ‫لْ َم ْصلَ َح ِة ا لْ ُم َحافَ َظ َة عَلَى َم ْق ُصو َِ الشَّ ْر ِع َو َم ْق ُصو‬
َ‫ َوه َُو َأ ْن ي َ ْح َفظ‬: ‫عَلَ ْيه ِْم َِينَه ُْم الشَّ ْر ِع ِم ْن ال َخلْ ِق خ ْم َس ٌة‬
ِ ِ ‫ فَ ُك ُّل َما يَتَضَ َّم ُن ِح ْفظَ َه ِذ‬، ‫َون َ ْف َسه ُْم َو َع ْقلَه ُْم َون َ ْسلَه ُْم َو َمالهَ ُم‬
‫ َو ُك ُّل َما يُ َف ِو ُت َه ِذ ِ ِ ْ ُال ُصولِ ا ل َخ ْم َس ِة‬، ‫فَه َُو َم ْص ل َ َح ٌة‬
‫ْ ُال ُصو َل فَه َُو َم ْف َسدَ ٌة َو ََفْ ُعهَا َم ْصلَ َح ٌة‬

Definisi maslahat yang diutarakan oleh al-Ghazali


di atas, bisa dipersepsikan bahwa maslahat adalah
ungkapan yang asal maknanya adalah menarik
kemanfaatan atau menolak kesulitan. Namun bukan itu
yang dikehendaki oleh al-Ghazali. Mengambil manfaat
dan menolak kesengsaraan adalah tujuan makhluk.
Sementara kebaikan makhluk adalah menghasilkan
tujuan-tujuan mereka.
Maslahat dalam pandangan al-Ghazali adalah
menjaga tujuan syariat (maqa>s}id syari>’ah). Al-Ghazali
mencetuskan bahwa maqa>s}id syari>’ahtercermin dalam
lima hal pokok yaitu menjaga agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta. Setiap hukum atau aturan yang
mengandung lima prinsip ini, maka ia dinamakan

44
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

maslahat. Sebaliknya, setiap keputusan hukum yang


mengabaikan atau menafikan kelima dasar diatas, maka
ia adalah mafsadah dan menolaknya atau
menghindarinya adalah maslahat.
Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya
yang secara khusus membahas maqa>s}id syari>’ah adalah
‘Izz ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H) dari kalangan
Syafi’iyah. Ia lebih banyak menekankan dan
mengelaborasi konsep maslahat secara hakiki dalam
bentuk menolak mafsadat dan menarik manfaat.
Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan
dari tiga tingkat urutan skala prioritas, yaitu: d}aru>riyya>t,
h}ajjiyya>t dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia
menjelaskan, bahwa taklif harus bermuara pada
terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia maupun di
akhirat (al-Sala>m, 1990: 9). Dalam pandangan ‘Izz ibn
‘Abd al-Salam, maqa>s}id atau mafsadah itu selalu dalam
dua katagori yaitu, nafis dan khasis, kathir dan qalil, jali
dan khafi, ajil dan ukhrawi,’ajil dan dunyawi. Sedangkan
dunyawi terdiri dari mutawaqqi’ dan waqi’, mukhtalaf
fih dan muttafaq alaih (ibn H}irz Allah, 2007: 179).
Pembahasan tentang maqa>s}id syari>’ahsecara
khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al-Syatibi
dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al-Muwafaqat
yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang
sepertiga pembahasannya mengenai maqa>s}id syari>’ah.
Sudah tentu, pembahasan tentang maslahat pun menjadi
bagian yang sangat penting dalam tulisannya (Masud,
1995: 1-25).
Al-Syatibi (790 H) secara tegas mengatakan
bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-hukum-
Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia,

45
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, taklif


dalam bidang hukum harus mengarah pada terwujudnya
tujuan hukum tersebut (Al-Sya>t}ibi>, 1997: 4). Seperti
halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan
skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat,
yaitu d}aru>riyya>t, h}ajjiyya>t dan tah}si>niyya>t. Sedangkan
yang dimaksud dengan maslahat menurutnya,
sebagaimana pendapat al-Ghazali, bermuara memelihara
lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta (Al-Sya>t}ibi>, 1997: 5).
Al-Syatibi memaparkan tiga aliran yang diikuti
ulama usul fikih dalam usaha menyingkap maqa>s}id
syari>’ah. Aliran-aliran yang dimaksud adalah: Pertama,
aliran zahiriyah (literalis-tekstualis), yaitu ulama yang
mengikuti aliran ini berpendapat bahwa maqa>s}id
syari>’ah adalah sesuatu yang abstrak, tidak dapat
diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk
za>hir al-nas} yang jelas (eksplisit). Petunjuk itu tidak
perlu diteliti lagi tapi harus dipahami sebagaimana
adanya seperti yang tertulis dalam nas} (manurut bahasa).
Apakah takli>f (tugas diberikan Tuhan kepada manusia)
memperhatikan maslahat manusia itu sendiri atau pun
tidak, walaupun kemaslahatan itu telah terwujud pada
sebagian orang, namun itu semua tidak perlu
diperhatikan. Yang jelas kemaslahatan itu tidak dapat
diketahui sedikitpun tanpa melihat nas} dalam bentuk
tekstual. Pendapat ekstrim dari ulama yang menganut
aliran ini menolak nalar dan qiya>s.
Kedua, ulama yang tidak menempuh pendekatan
melalui zahirnya nas}s dalam memahami maksud al-
Quran dan Sunnah. Kelompok ini terbagi pula ke dalam
dua aliran, yaitu 1) Aliran batiniyah; kelompok yang

46
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mengikuti aliran ini berpendapat bahwa maqa>s}id


syari>’ah bukan terletak pada bentuk zahirnya nas}, tidak
pula dipahami dari nas} yang jelas. Namun, maqa>s}id
syari>’ah merupakan sesuatu yang tersembunyi di balik
itu semua (di dalam batin). Hal seperti ini terdapat pada
semua aspek syariat. Tidak seorangpun yang berpegang
pada makna lahir dari suatu lafazh dapat mengetahui
maksud syariat. Aliran ini merupakan aliran yang
berpretensi membatalkan syariat Islam dan dapat
membawa kepada kekafiran. Aliran ini berpendapat
bahwa imam mereka terpelihara dari dosa. Pendapat
seperti ini tidak mungkin dipahami, kecuali dengan
merusak makna lahir nas} al-Quran dan al-Sunnah yang
sudah jelas. 2) Aliran substansialis; kelompok yang
berpendapat bahwa maqa>s}id syari>’ahdapat diketahui
dengan memperhatikan makna-makna substansi (al-
ma’ani al-nazhariyyah) yang terdapat dalam lafazh. Arti
zahir dari suatu nas} bertentangan dengan makna
substansi, yang diperhatikan dalam makna substansi dan
arti zahir nas} ditinggalkan. Hal itu dilakukan baik
dengan memperhatikan kemaslahatan maupun tidak.
Paling penting adalah makna substansi itu harus diteliti
dengan baik sehingga nas} hari’ah mesti mengikuti
makna substansinya. Ketiga, aliran al-‘Ulama’ al-
Rasikhun, yaitu ulama yang menggunakan
penggabungan dua pendekatan antara arti zahir nas}
dengan makna substansi atau ‘illat-nya. Makna substansi
tidak boleh merusak makna zahir suatu nas}, demikian
pula sebaliknya, sehingga syariat Islam berjalan secara
harmonis tanpa ada kontradidksi di dalamnya. Dalam
konteks ini, aliran zhahiriyah, aliran batiniyah dan aliran
substansialis semuanya ditolak al-Syatibi dan dianggap

47
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

sebagai aliran sesat lagi menyesatkan. Aliran yang


diikuti oleh Al-Syatibi adalah aliran ketiga (al-‘ulama’
al-rasikhun) yang dapat dijadikan rujukan dalam
mengetahui maksud-maksud yang terdapat dalam al-
Qur’an dan Sunnah Nabi (Al-Sya>t}ibi>, 1997: 5).
Konsep maqa>s}id syari>’ah atau maslahat yang
dikembangkan oleh al-Syatibi di atas sebenarnya telah
melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya.
Konsep maslahat Al-Syatibi tersebut melingkupi seluruh
bagian syari>’ah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur
oleh nas}. Sesuai dengan pernyataan al-Ghazali, Al-
Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah menurunkan
syari>’ah adalah untuk mewujudkan kemaslahatan.
Meskipun begitu, pemikiran maslahat Al-Syatibi ini
tidak seberani gagasan al-Tufi (w. 716 H).
Pandangan al-Tufi mewakili pandangan yang
radikal dan liberal tentang maslahat. Al-Tufi
berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi
(takhsis) al-Qur’an, sunnah dan ijma’ jika penerapan nas
al-Qur’an, sunnah dan ijma’ itu akan menyusahkan
manusia. Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang
berlakunya maslahat al-Tufi tersebut adalah mu’amalah
(al-T}u>fi 1954: 46; Yusdani, 2007: 67). Sejak awal syariat
Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali
kemaslahatan manusia. Ungkapan standar bahwa syariat
Islam dicanangkan demi kebahagiaan manusia, lahir-
batin; duniawi-ukhrawi, sepenuhnya mencerminkan
maslahat. Akan tetapi keterikatan yang berlebihan
terhadap nas, seperti dipromosikan oleh paham
ortodoksi, telah membuat prinsip maslahat hanya
sebagai jargon kosong, dan syariat—yang pada mulanya
adalah jalan—telah menjadi jalan bagi dirinya sendiri.

48
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Dalam pandangan al-Tufi, secara mutlak maslahat


itu merupakan dalil syara’ yang terkuat bukan hanya
merupakan dalil ketika tidak adanya nas dan ijma’, juga
hendaklah lebih diutamakan atas nas dan ijma’ ketika
terjadi pertentangan antara keduanya. Pengutamaan
maslahat atas nas dan ijma’ tersebut dilakukan al-Tufi
dengan cara bayan dan takhsis, bukan dengan cara
mengabaikan atau meninggalkan nas sama sekali,
sebagaimana mendahulukan Sunah Nabi atas al-Qur’an
dengan cara bayan. Hal demikian dilakukan al-Tufi
karena dalam pandangannya, maslahat itu bersumber
dari sabda Nabi saw., “tidak memudaratkan dan tidak
dimudaratkan” (la dharar wala dhirar). Pengutamaan dan
mendahulukan maslahat atas nas ini ditempuh baik nas
itu qat’i dalam sanad dan matannya atau zhanni
keduanya Yusdani, 2007: 67).
Pasca kajian maqa>s}id syari>’ah yang digagas al-
Syatibi, kajian maqa>s}id syari>’ah nyaris berjalan di
tempat, dalam arti tidak ada sarjana Muslim yang khusus
mendedikasikan diri dalam bidang ini. Kemudian, pada
paruh kedua dari abad ke 20 Masehi, wacana maqa>s}id
syari>’ah kembali mendapatkan perhatian yang kuat dari
pemikir Muslim asal Tunisia, Muhammad Tahir Ibn
‘Asyur (1397 H./ 1973 M.), di tangan Ibn ‘Asyur inilah
proyek maqa>s}id syari>’ah yang telah dikaji secara teoritis
dan sistematis oleh Al-Syatibi hidup kembali. Dia
banyak menulis buku dan menulis berbagai majalah dan
koran di Tunisia. Di antara karya-karyanya adalah 1.
Alaysa al-S{ubh} bi Qari>b, 2. Maqa>s}id al-Syari>’ah al-
Islamiyyah, 3. Us}u>l al-Nizha>m al-Ijtima‘i> fi> al-Isla>m, 4.
al-Tahrir wa al-Tanwi>r min al-Tafsi>r, 5. al-Waqfu wa
Atsa>ruhu fi> al-Isla>m, 6. Uslu>b al-Insya>’ wa al-Khit}a>bah,

49
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

7. Muji>z al-Bala>ghah, 8. Ha>syiyah ala al-Qathr, 9. Syarh}


’ala Burdah al-Busyiri, 10. al-Gaits al-Ifriqi>, 11.
Ha>syiyah ’ala al-Mahalli> ’ala Jam’u al-Jawa>mi’, 12.
Ha>syiyah ’ala Ibn Sa’i>d al-Usymu>ni, 13. H{asyiyah ’ala
Syarh} al-‘Is}a>m li Risa>lat al-Baya>n, 14. Ta’li>q ‘ala ma
Qara’ahu min Shahi>h Muslim. Lihat ‘Iya>dh Kha>lid al-
Dibagh, (Ibn ‘A<syu>r, 2005: 91).
Ibn ‘Asyur menuangkan ide maqa>s}id-nya secara
khusus dalam karya-karyanya, seperti maqa>s}id syari>’ah
al-isla>miyyah, Tafsir al-Tahrir wa al- Tanwir, Usul al-
Nizham al-Ijtima‘i dan Alaysa al-Subhu bi Qarib. Dalam
pandangan Ibn ‘Asyur, maqa>s}id syari>’ah berdiri di atas
fitrah manusia. Berangkat dari firman Allah Swt dalam
QS. Al-Rum: 30 dan QS. al-A’raf: 119, Ibn ‘Asyur
menyatakan bahwa menjaga fitrah manusia adalah
termasuk dalam maqa>s}id syari>’ah, sehingga syariat Islam
tidak akan pernah bertentangan dengan akal manusia
selama ia dalam kondisi normal (Ibn ‘A<syu>r, 2005: 57).
Perhatian Ibn ‘Asyur tentang pentingnya maqa>s}id
syari>’ah tidak hanya berkaitan dengan fiqh atau ushul
fiqh, ia juga memberikan perhatian dalam penafsiran al-
Qur’an. Ia mengajukan beberapa prinsip pokok dalam
menafsirkan al-Qur’an, yang semuanya bermuara dari
urgensi dan signifikansi maqa>s}id syari>’ah; Pertama,
memperbaiki akidah, yaitu membebaskan manusia dari
kesyirikan dan penyerahan diri kepada selain Allah swt
karena selain Allah pasti tidak mampu berbuat sesuatu
apapun. Allah berfirman QS. al-Hud: 101 bahwa sama
sekali tidak bermanfaat kepada mereka semua sembahan
yang mereka seru selain Allah, di waktu adzab Tuhan
datang maka sesembahan itu tidak bisa berbuat apa-apa
akan tetapi hanya menambah kebinasaan terhadap

50
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mereka. Ini berarti bahwa selain dari Allah tidak bisa


memberi manfaat, syafaat dan segala hal yang
dibutuhkan oleh manusia, apalagi pada saat yang genting
(Shalih, 2003: 121).
Kedua, al-Qur’an merupakan kitab suci yang
bertujuan memperbaiki akhlak, baik hubungan vertikal
dengan Allah (habl min al-Allah) atau hubungan
horizontal dengan manusia (habl min al-nas). Semua itu
telah dicontohkan oleh nabi Muhammad saw dalam
kehidupan kesehariannya, sebagai nabi, rasul dan
sebagaimanusia biasa. Nabi Muhammad adalah al-
Qur’an hidup yang berjalan, sebab gaya hidup dan pola
pikir nabi Muhammad adalah potret dari ajaran yang
dituturkan dalam al-Quran. QS. al-Qalam (68): 4. Hal ini
juga sesuai dengan tujuan Rasulullah diutus ke dunia
yaitu untuk menyempurnakan akhlak (ibn Anas, 1990:
566).
Ketiga, menerangkan tentang syariat, baik yang
bersifat umum atau khusus. Dalam QS. al-Nahl: 89
dijelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an kepada
nabi Muhammad saw karena beberapa alasan: 1) penjelas
bagi segala sesuatu, 2) petunjuk bagi orang Islam, 3)
rahmat dan 4) kabar gembira bagi setiap orang Islam.
Dan juga dijelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an
sebagai pedoman manusia dalam memutuskan satu
perkara diantara manusia, berdasarkan tuntunan Allah
(QS. al-Nisa: 105).
Keempat, mensejahterakan, mendamaikan dan
menjaga perdamaian diantara manusia. Ini berdasarkan
pada QS. Ali ‘Imran: 103 yang mengintruksikan kepada
umatnya agar berpegang teguh pada tali-tali yang kuat
(al habl al wutsqa ) yaitu ikatan yang telah dibangun

51
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

oleh Allah, selanjutnya Allah menyinggung umatnya


agar bersyukur atas segala nikmat yang telah
dianugerahkan. Salah satu yang agung itu adalah telah
menyatunya bangsa Madinah dalam satu ikatan yaitu
Islam, setelah sebelumnya mereka terjerumus dalam
perpecahan, dan permusuhan yang tidak pernah
berkesudahan. Begitu juga QS. al An’am: 159 yang
menjelaskan bahwa orang yang bercerai berai, maka nabi
tidak akan pernah mengakui mereka sebagai umatnya.
Persatuan (ukhuwah Islamiyah) adalah barometer
keberhasilan suatu masyarakat. Sedangkan QS. al-Anfal:
46 mendiskripsikan betapa masyarakat yang tidak
bersatu akan hilang kewibawaannya, mereka tidak akan
pernah bisa bertahan dalam kehidupan ini, apalagi
mampu tampil sebagai masyarakat pemimpin (Shalih,
2003: 122).
Pada puncaknya Ibn ‘Asyur berkonsentrasi untuk
merumuskan secara sistematis konsep kaidah serta
substansi maqa>s}id syari>’ah sehingga dapat menjadi
sebuah disiplin ilmu yang independen dan tidak hanya
menjadi bagian dari ilmu ushul fiqh. Para pemikir
kontemporer, baik mereka yang concern dalam bidang
kajian usul fiqh atau tafsir al-Qur’an memberikan
pengakuan bahwa Ibn ‘Asyur adalah tokoh maqa>s}id
syari>’ah pasca al-Syatibi. Salah satu buktinya adalah
setiap diskursus seputar maqa>s}id syari>’ah yang
dipresentasikan oleh kalangan ulama sekarang banyak
merujuk pada tokoh ini. Bahkan secara khusus
Muhammad Habib Balkhoujah mantan sekjend Majma’
al-Fiqh al-Islami (komunitas pakar fiqh Islam) yang
berpusat di Jeddah, mengungkap kerangka pemikiran Ibn
‘Asyur dalam bukunya Ibn ‘Asyur dan proyek maqa>s}id

52
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

syari>’ah (2004), dan Husni Ismail intelektual Maroko


menyusunnya dalam buku yang berjudul Konsep
maqa>s}id syari>’ah menurut Ibn ‘Asyur (1995). Quraish
Shihab dalam tafsir al-Misbah sering kali merujuk pada
Ibn ‘Asyur.

2. Maqa>s}id syari>’ah dalam hukuman (uqubah).


Hukuman yang dalam bahasa arab disebut dengan
istilah ‘uqubah berarti balasan, celaan, pemberian
sepadan, ganjaran dan sesuatu yang menimpa, seperti
dalam ayat: ‫وان عاقبتم فعاقبوا بمثل ما عوقبتم به‬, dan juga
terambil dari kata ‘aqib yaitu bagian belakang tumit,
sehingga ‘uqubah tidak pernah ada kecuali setelah
terjadinya kejahatan (ibn Ibad al-Thaliqani, 1994: 25),
dengan demikian suatu uqubah / hukuman tidak mungkin
terjadi sebelum terjadinya perbuatan terlarang. Adapun
secara secara istilah, ‘uqubah (hukuman) adalah balasan
yang sesuai atas tindakan perbuatan yang diharamkan
atau meninggalkan kewajiban.
Dalam syariat Islam, berdasarkan bentuk
kejahatan yang dilakukan, hukuman dibagi menjadi tiga
yaitu hukuman Qisas, Hudud dan Ta’zir. Secara bahasa
Qisas berarti sesuatu yang sepadan, dan dominan
digunakan untuk hukuman bunuh bagi pembunuh,
adapun secara istilah Qisas berarti hukuman sepadan
terhadap pelaku kejahatan pembunuhan, atau
pemotongan dan melukai anggota badan yang dilakukan
dengan secara sengaja (az-Zarqa, 1990: 263). Adapun
Hudud adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh
syari’ (Allah swt) dan merupakan hak Allah swt,
(Maududi, Abdullah bin Muhammad bin, 1990:83).

53
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

seperti zina, Qazaf, minum khamer, mencuri dan


merampok. Sementara Ta’zir adalah hukuman yang
tidak ditentukan oleh syari’, namun diserahkan kepada
penguasa sesuai dengan kemaslahatan, dan berlaku untuk
banyak jenis kejahatan sesuai dengan kejahatan yang
buat oleh manusia (Abu Zuhrah, 1990: 133).
Adapun makna maqa>s}id syari>’ah sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa ia adalah tujuan dari
diturunkannya syari>’ah dan penerapannya, yaitu untuk
menciptakan kemaslahatan manusia, dan ukuran
kemaslahatan tersebut kembali kepada memelihara lima
hal pokok, yaitu memelihara jiwa, agama, akal, harta dan
keturunan, termasuk di dalam pelaksanaan uqubah atau
hukuman juga ada maqa>s}id syari>’ahnya. Dengan
demikian, secara umum maqa>s}id dalam hukuman tidak
lepas dari tujuan umum syariat yaitu untuk memelihara
dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga
manusia dari hal-hal yang dapat merusak kehidupan
mereka, karena pada dasarnya Islam memberikan
petunjuk dan pelajaran kepada manusia.
Adapun maqa>s}id syari>’ah secara khusus dalam
hukuman baik itu Qisas, Hudud, ataupun ta’zir, adalah
sebagaimana yang dijelaskan oleh ulama;
a. Untuk Menjaga system kehidupan dan kemaslahat
masyarakat luas; dan hal ini akan terlaksana
dengan cara menerapkan hukuman khusus untuk
tujuan menjaga lima hal pokok (D}aru>riyyat al-
khams), dan hal ini merupakan poros kehidupan,
karena tanpanya kehidupan tidak pernah akan
lurus, dan lima hal pokok ini bisa dikatakan
sebagai maqa>s}id kubra yang merupakan
kesepakatan semua agama tanpa memandang

54
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

perbedaan keyakinan dan nilai-nilai yang dianut.


Dan hukuman yang disyariatkan secara khusus
sebagai sarana untuk menjaga masyarakat, akan
tercapai dengan cara menutup pintu-pintu
kejahatan, kerusakan, ancaman, dengan membuat
aturan hukum yang kuat dan membuat jera pelaku
kejahatan serta wajib diterapkan, tentu tidak
dimaksudkan dari hal itu sebagai penganiayaan,
karena hukum syariat sejatinya berada seputar
memperbaiki kondisi umat di segala aspeknya
(Audah, 1992: 384).
b. Mencegah dan menghalangi dari menyebarnya
kejahatan dan kerusakan; selain tujuan menjaga
system kehidupan masyarakat, juga untuk
mencegah jiwa pelaku kejahatan dari mengulangi
kejahatannya Kembali, dan merupah perilakunya
dari penyelewengan hawa nafsu, serta mencegah
orang lain dari berfikir untuk melakukan
kejahatan, sehingga di sana ada pencegahan umum
dan khusus. Tujuan ini bisa difahami dari ayat
yang mensyaratkan kehadiran kelompok untuk
menyaksikan pelaksanaan hukuman, seperti dalam
ayat: ‫( وليشهد عذابهما طائفة من المؤمنين‬QS. An-Nur:2).
c. Keadilan dan kasih saying; syari’at Islam adalah
keadilan dan kasih saying, dan kejahatan adalah
permusuhan dan kezaliman terhadap keadilan dan
kasih saying yang tujuan syari’at islam, maka
tidak ada balasan kepada pelaku kejahatan kecuali
sesuai dengan kejahatannya, dan keadilan – kasih
saying bukan berarti meremehkan atau lemah
terhadap pelaku kejahatan, namun ia adalah tidak
batas dari hukuman serta tidak berlaku zalim. Dan

55
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

tujuan dari hukuman bukan pula sebagai balas


dendam, akan tetapi mengingatkan mereka
tentang kejahatannya dan hukuman yang sesuai.
d. Menjalankan perintah Allah; tujuan dari
pelaksanaan hukuman sejatinya adalah sebagai
bentuk pelaksanaan perintah Allah dan sebagai
bentuk ketaatan dan ketundukan. Dan perintah
Allah adalah segala yang telah ditetapkan
dikehendaki, oleh karenanya segala upaya
pelanggaran merupakan penentangan terhadap
Allah. Dengan demikian pelaksaan hukuman
memiliki magasid secara lebih jauh dari sekedar
urusan antar manusia. Dan diantara hukuman yang
diperintahkan Allah untuk dilaksanakan adalah
seperti Qisas, Hudud. Dan hendaknya penguasa
atau pihak-pihak yang memiliki otoritas
memahami hal ini.
e. Melindungi masyarakat dari bencana/hukuman
Tuhan; di antara sunatullah yang berlaku bagi
pelaku kezaliman adalah dengan didatangkannya
kepada mereka bencana, dan azab dari Allah swt,
hal itu sebagai bukti kuasa Allah swt. Beberapa
teks syari’at menunjukkan dan mengisyaratkan hal
tersebut, seperti dalam hadis yang artinya: “Wahai
kaum Muhajirin, ada lima hal jika kalian diuji
karenanya, dan aku berlindung agar kalian tidak
mendapatinya, .. dan beliu menyebut salah satunya
dan orang-orang yang pemimpinnya tidak
berhukum dengan kitab Allah melainkan Allah
akan menjadikan azab di antara mereka”. Dan
dalam hadis lain disebutkan: “Sesungguhnya
manusia yang melihat kemungkaran kemudian

56
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mereka tidak merubahkan, maka hamper-hampir


Allah menimpakan azab dari sisiNya”, dan dalam
ayat:
‫قل سيروا في الرض فانظروا كيف كان عاقبة الذين من قبل كان‬
‫أكثرهم مشركين‬
(QS. Ar-Rum: 42), oleh karenanya hal ini menjadi
bagian dari maqa>s}id dari pelaksanaan hukuman
dalam syariat.
f. Hukuman akan menghapus dosa dan kesalahan;
dalam pelaksanaan hukuman tidak hanya
membebaskan pelaku kejahatan dari hukuman
dunia, namun juga hal itu bisa menghapus dosa
dan menjadi sarana mendapatkan ampunan, serta
dibebaskannya dari azab akherat. Hal ini
sebagaimana difahami oleh para ulama Malikiyah,
Syafi’iyah, Hanibal dan Zahiriyah, (al-Nafrawy,
1955: 266). Hal ini didasari dengan hadis Nabi
saw Ketika berkata kepada para sahabatnya:
“berbaitlah kepadaku untuk tidak menyekutukan
Allah dengan sesuatu pun, dan janganlah mencuri,
jangan berzina, jangan membunuh anak-anakmu,
dan jangan melakukan dusta yang disebarkan di
antara kalian, dan jangan menentangku dalam hal
kebaikan, maka barangsiapa yang memenuhi hal
itu pahalanya ada pada Allah, dan barang siapa
yang terjerumus -melanggar- sesuatu dari hal itu
kemudian dilakasanakan hukuman di dunia maka
hal itu menjadi penghapus baginya, dan siapa yang
melanggar kemudian Allah menutupinya, maka
urusannya terserah Allah, jika Allah berkehendak
mengazabnya atau mengampuninya, maka

57
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

kemudian kami berbaiat”. Hadis riwayat Bukhari,


Jilid 5, halaman 55, nomor hadis 3892, pada bab.
Al-hudud kaffarah. Dan ada perbedaan di kalangan
ulama’ fiqh apakah hukuman dunia menghapus
dosa dan azab akherat.
g. Menghilangkan kebiasaan balas dendam dan
kesewangan dalam pembunuhan; terdapat tradisi
balas dendam dan melampai batas dalam kasus
pembunuhan di masyarakat Arab sebelum Islam.
Dimana tidak sedikit mereka dalam kasus terjadi
pembunuhan, mereka membalas dengan dan
terkadang membunuh orang yang tidak terlibat
dalam kasus pembunuhan tersebut, maka setelah
datang Islam, hal tersebut dihentikan, dan
mengharamkan segala bentuk pembunuhan tanpa
kebenaran. Sebagaimana firman Allah:
‫ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطان فال يسرف في القتل‬
(QS. Al Isra’: 33). Islam dengan kaidah hukumnya,
memerangi segala bentuk kezaliman dan tradisi
balas dendam, dan memberikan kepada keluarga
kurban hak qisas, sebagaimana ayat:
‫ولكم في القصاص حياة اي أولى اللباب لعلكم تتقون‬
(QS. Al Baqarah: 179).
h. Terapi kemarahan; diantara maqa>s}id hukuman
dalam syari’at adalah menjadikan sebagai terapi
bagi keluarga korban kejahatan, dengan demikian
syariat Islam memberikan perhatian pada sisi
kejiwaan mereka, agar meraka tenang dan
nyaman, sehingga mencegah mereka dari
melakukan balas dendam, dan dalam kasus
pembunuhan maka keluarga kurban diberikan hak

58
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

qisas, dan kemudian mereka boleh menentukan


pilihan antara mengambil hak qisas atau
memaafkan atau mengambil diyat.

Berdasarkan maqa>s}id syari>’ah khas dari hukuman,


bisa dikatakan bahwa dalam pelaksanaan hukuman,
paling tidak terdapat tiga aspek penerapan yaitu
prepentif, represif dan rehabilitatif. Aspek prepentif
dimaksudkan untuk mencegah agar orang tidak
melakukan dan mengulangi kejahatan dan orang lain
yang belum melakukan kejahatan agar tidak berbuat
kejahatan. Aspek represif merupakan penindakan
terhadap pelaku kejahatan, mengakkan supremasi hukum
dan memberikan hukuman terhadap pelakunya sesuai
dengan kejahatannya. Sedangkan rehabilitatif
merupakan upaya pembinaan agar kejahatan yang sama
tidak diulangi oleh penjahat bila ia masih hidup, atau
membina orang yang belum berbuat kejahatan agar
mereka tidak melakukan kejahatan. Ketiga aspek ini
berlaku secara integral dalam setiap hukum, dimana
setiap upaya prepentif selalu diiringi dengan upaya
represif jika kejahatan terjadi, dan dilanjutkan dengan
upaya rehabilitatif jika pelaku kejahatan masih hidup.
Misalnya dalam hukum Islam, upaya prepentif itu
terlihat dalam setiap ketentuan hukum jarimah, seperti
memberi pengertian tentang betapa berharganya jiwa
manusia sehingga membunuh satu orang laksana
membunuh banyak orang (QS. Al-Maidah: 32). Bila
seseorang tetap melakukan pembunuhan maka hukuman
yang diberikan kepadanya adalah dibunuh pula atau
diberi denda yang sangat berat (diyat) bila mendapat
maaf dari keluarga korban. Dengan hukuman yang

59
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

seberat ini maka orang tentu berfikir panjang untuk


membunuh.
Demikian pula agar orang tidak berzina maka
dianjurkan kawin bila telah mampu secara fisik dan
ekonomi, Islam membolehkan kawin dengan budak,
bahkan dibolehkan poligami bagi laki-laki dengan
beberapa ketentuan tertentu. Bila masih berzina
maka ia dihukum dengan hukuman cambuk atau rajam,
bahkan diusir dari negerinya kesuatu tempat terpencil
seperti penjara.
Terkait masalah ekonomi, Agar orang tidak
mencuri karena alasan ekonomi, maka diwajibkan zakat,
perintah untuk berinfak dan shadaqah sebagai wujud
kesadaran dan kepedulian sosial, ditanamkan rasa
persaudaraan sesama manusia menuju kesejahteraan
bersama. Bila telah berlaku keadilan ekonomi maka
niscaya tidak ada lagi orang yang mau mencuri, dan bila
seseorang tetap saja mencuri, bahkan dijadikannya
profesi, maka Islam menghukumnya dengan memberinya
hukuman potong tangan (QS. Al-Maidah:38). Selain
upaya prepentif dan represif, dalam hukum Islam juga
terdapat upaya rehabilitasi, yaitu upaya membina agar
setiap muslim dapat mentaati semua hukum Islam atas
dasar iman. Makanya dalam sejarah Islam masa 13 tahun
Nabi di Mekah difokuskan untuk membina akidah dan
keimanan umat Islam agar mereka menjadi muslim yang
taat.
Disamping pembinaan akidah dan iman dalam
Islam juga diajarkan tobat bagi orang Islam yang
terlanjur berbuat kejahatan. Menurut Ibnu
Taimiyah,beberapa hukuman hudud dapat digugurkan
bila pelakunya telah bertobat sebelum dibawa kehadapan

60
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

hakim. Ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa


taubat itu dapat menghapuskan hukuman had, seperti:
“Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan
perbaikan dan menjelaskan (nya),mereka itulah yang Aku
terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima tobat,
maha penyayang” (QS. Al-Baqarah: 160), dan dalam
ayat lain: “Kecuali bagi orang-orang yang bertobat
sebelum kamu dapat menguasai mereka, maka
ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang” (QS. Al-Maidah: 34).
Dari ayat-ayat tersebut diatas terlihat bahwa
beberapa jenis hukuman had menjadi gugur bila pelaku
jarimah telah bertobat. Diantara jarimah hudud yang
digugurkan hukumannya menurut ayat diatas antara lain
zina, hirabah dan pencurian. Namun pendapat ini tidak
diterima oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan
Imam Syafi`i, menurut mereka tobat tidak menghalangi
pelaksanaan hukuman had, karna beberapa contoh dari
Rasulullah beliau tetap memotong tangan Maiz dan
ghamidiyah yang telah mencuri dan menyerahkan diri
kepada Rasul dan bertobat. Demikian juga Rasul
memotong tangan Amar ibn Samurah karna mengaku
mencuri (Sabiq, 1998: 277).
Selain dari tiga aspek penerapan hukuman
tersebut, juga bisa difahami bahwa maqa>s}id dari
hukuman dalam syariat Islam tidak sebatas penerapan
hukuman di dunia, namun juga terdapat maqa>s}id di luar
itu, yaitu terkait dengan kehidupan akherat. Hal ini yang
tidak dijumpai dalam prinsip-prinsip hukum
konvensional.

61
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

B. Konsep Pemenjaraan dan Pembinaan Narapidana


Penjara untuk pertama kalinya hadir di tengah
kehidupan masyarakat berfungsi sebagai tempat kurungan
bagi pelanggar hukum, debitur, tawanan perang,
pembangkang politik, bidat agama (atau yang dapat disebut
sebagai penyangkal kebenaran-terwahyu yang diajarkan
Gereja) dan lain-lain. Penjara muncul sejak ribuan tahun lalu
sebelum era Kristen (atau sebelum lahirnya Isa). Robert
(2006: 74-86) menyatakan bahwa sejak 3000 SM hingga 400
SM, Kekaisaran Babilonia mempertahankan eksisitas penjara
bagi pelanggar kejahatan ringan dan debitur. Selain itu banyak
sekali catatan tentang penjara kuno yang muncul baik di
dalam buku Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama dari Alkitab
umat Kristen. Misalnya, di dalam buku First Kings, Alkitab
menyatakan bahwa orang-orang dapat dimasukkan ke dalam
penjara karena berbagai pelanggaran (The Holy Bible, 1982;
First Kings 22: 27). Namun sistem pemenjaraan pada waktu
itu, tidak mempertimbangkan aspek reformasi dan rehabilitasi
bagi narapidana yang dipenjara. Sistem penjara di masa lalu
tidak mempersiapkan narapidana untuk reintegrasi ke dalam
masyarakat (Breadly, 1938: 131).
Berdasarkan literature sejarah, konsep penjara modern
belum muncul sepenuhnya hingga abad ke delapan belas.
Sebelumnya konsep rehabilitasi dan reformasi modern
pemenjaraan bahkan tidak dimaksudkan sebagai pembinaan
bagi narapidana, Karen ayang ada hanya pengurungan untuk
hukuman. Pelanggar dikirim ke penjara bukan sebagai
hukuman itu sendiri, tetapi sarana untuk menjatuhkan
hukuman. Pengurungan dan pengasingan dari masyarakat
biasa tidak dilihat sebagai hukuman itu sendiri, tetapi
dijadikan sejenis rekrutmen pekerja untuk pekerjaan kasar dan
aktivitas penjara lainnya yang dilakukan para tahanan. Yang

62
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

kemudian hal ini dilihat sebagai hukuman. Penjara berfungsi


sebagai pusat penahanan untuk menampung para pelanggar
sampai negara memenuhi hukuman yang sebenarnya, baik
berupa hukuman mati maupun hukuman badan. Namun,
selama abad kedelapan belas, upaya reformasi pemenjaraan
dan rehbailitasi mulai dilakukan terhadap pemenjaraan
pemasyarakatan (DeLacy, 1986: 8-16).
Pada periode revolusioner di sekitar abad kedelapan
belas amulai muncul pergeseran tujuan pemenjaraan dari
pemberian hukuman menuju implementasi rehabilitasi bagi
para pelanggar atau narapidana. Margaret DeLacy (1986)
berpendapat bahwa sistem penjara di seluruh dunia
bereksperimen dengan 'metodologi dan model yang bervariasi
terus menerus untuk kemajuan narapidana. Frank Morn (1911:
1-5) juga berpendapat bahwa sistem penjara dalam
perkembangannya bereksperimen dengan pendekatan yang
berbeda untuk mewujudkan rehabilitasi atau pembinaan,
seperti pendidikan dan perawatan klinis bagi seluruh
narapidana. Morn juga menambahkan bahwa tujuan
pemenjaraan bergeser dari pemidanaan ke rehabilitasi dan
reformasi yang terpusat bagi narapidana. Pergeseran menuju
rehabilitasi dilakukan untuk mempersiapkan narapidana siap
dan layak kembali berintegrasi ke masyarakat setelah
memenuhi tuntutan masa tahanan di penjara (Morn, 1980:
554).
Dari titik inilah pendidikan pemasyarakatan muncul di
dunia Barat dnan dilaksanakan untuk merehabilitasi dan
mereformasi narapidana. Messemer (2011: 91-100)
menambahkan bahwa sejarah pendidikan pemasyarakatan
dapat ditelusuri dari Amerika Serikat (AS) sejak 1789.
Menurut Messemer, program pendidikan penjara pada awal
disebut sebagai 'Sekolah Sabat'. Tujuan Sekolah Sabat ini

63
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

adalah untuk mengajarkan para narapidana cara membaca


sehingga mereka dapat membaca Alkitab. Alkitab akan
memberikan kepada para narapidana 'pengetahuan, kesadaran
diri dan proses kognitif yang memungkinkan mereka membuat
keputusan yang lebih baik dalam hidup mereka setelah bebas
dari masa tahanan dan kembali ke masyarakat. Pada abad
kesembilan belas, filosofi di balik pemenjaraan berkembang
lebih jauh. Penjara menjadi lebih dari sekadar alternatif
hukuman fisik yang brutal. Karena dahulunya kekearasan fisik
dipandang sebagai penebusan dan mampu mengubah individu-
individu di dalamnya untuk menjadi orang yang lebih baik
(Johnson, Robert, Ania Dobrzanska, and Seri Palla, 2005: 22-
42).
Pada 1700-an rehabilitasi narapidana berhasil
dilaksanakan dengan baik di Amerika Serikat. Bennett (1968:
710) menyatakan bahwa di sebagian besar penjara, narapidana
laki-laki dengan catatan baik biasanya akan meninggalkan sel
mereka pada siang hari. Beberapa di anatara mereka akan
bekerja di pabrik penjara atau melakukan tugas pemeliharaan
seperti pekerjaan taman dan perbaikan peralatan. Sedangkan
narapidana yang lainnya akan bekerja sebagai juru tulis dan
juru ketik, atau menghadiri sekolah penjara atau beberapa
jenis program pelatihan lainnya (Bennett, 1968: 711). Di
dunia Barat, selama abad kesembilan belas dan kedua puluh
penekanan pada pemenjaraan terus berkembang menuju
reformasi dan rehabilitasi melalui pendidikan pemasyarakatan
(Jeanne dan Michell, 2006: 10). Bazos Audrey dan Jessica
(2004: 15-16) juga mengidentifikasi dua jenis sistem
pendidikan pemasyarakatan yang berkembang yaitu pelatihan
kejuruan atau yang sering disebut sebagai vokasional dan
pengembangan literasi atau berhitung. Bazos berpendapat
bahwa kursus pelatihan kejuruan berfokus pada perolehan

64
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

keterampilan yang langsung dapat ditransfer ke tempat kerja,


seperti perbaikan alat. Kursus pengembangan literasi dan
numerasi dipusatkan pada peningkatan keterampilan
membaca dan matematika. Keterampilan ini diperlukan bagi
mantan narapidana untuk bekerja dan reintegrasi mereka ke
dalam masyarakat.
Bergeser ke Afrika, jejak penjara berasal dari 2000
tahun sebelum kelahiran Kristus. Penggunaan penjara juga
sudah meluas di beberapa masyarakat adat Afrika. Misalnya,
di Mesir, selama era Kerajaan Tengah (sekitar 2000 SM),
Firaun memenjarakan penjahat non-Mesir dengan
pemberlakuan kerja paksa. Konsep rehabilitasi dan reformasi
tidak dikenal saat itu. Konsep pemenjaraan modern muncul
selama periode kolonial tetapi sebagaian besar sarjana
mengatakan muncul lebih pada periode pasca-kolonial, ketika
banyak upaya dilakukan untuk kesejahteraan narapidana
dalam meningkatkan kemampuan mereka bertahan di
kehidupan mereka setelah dipenjara. Di banyak penjara
Afrika, pendidikan pemasyarakatan menjadi solusi menuju
rehabilitasi dan reformasi narapidana (Bazos, Audrey, and
Jessica Hausman, 2004:17). Sebagian besar narapidana di
penjara adalah orang-orang yang memiliki latar belakang
keuangan dan pendidikan yang buruk. Karena banyak sekali
kejahatan yang dilakukan di masyarakat dimotivasi oleh
kemiskinan sebagai akibat dari kurangnya keterampilan dan
pengetahuan untuk pekerjaan. Pendidikan penjara, oleh karena
itu seharusnya, membekali narapidana dengan pengetahuan
dan keterampilan yang membantu mereka untuk berintegrasi
kembali ke dalam komunitas mereka masing-masing dan
untuk mencari pekerjaan atau menciptakan pekerjaan sendiri
setelah menjalani hukuman penjara mereka. Dengan cara ini

65
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

kejahatan di masa depan dapat dicegah (Muntingh, 2016: 35-


44).
Penjara dimaksudkan untuk rehabilitasi dan tindakan
korektif penyakit sosial narapidana (warga binaan). Menurut
Prinsip kelima Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Prinsip
Dasar Perlakuan terhadap Narapidana menjelaskan bahwa
“Kecuali untuk pembatasan yang secara nyata diharuskan oleh
fakta penahanan, semua narapidana harus mempertahankan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar yang ditetapkan dalam
Deklarasi Universal tentang Hak Kemanusiaan”. Dengan
demikian, narapidana berhak atas perlindungan dari kekerasan
seperti penyerangan, pemerkosaan, dan penyiksaan. Oleh
karena itu, merupakan tanggung jawab otoritas negara untuk
memastikan bahwa semua narapidana di penjara diurus dan
tidak disiksa (Porpora, et al., 2010: 254-270).
Di samping itu aturan umum hukum Islam dalam hal ini
adalah bahwa tidak seorang pun boleh diperlakukan buruk
hingga sakit atau disiksa. Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia menyatakan, “Tidak seorang pun boleh menjadi
sasaran penyiksaan dalam pikiran atau tubuhnya, atau
direndahkan, atau diancam dengan cedera baik pada dirinya
sendiri atau kepada siapa pun yang terkait atau dipegang erat
olehnya, atau secara paksa dibuat untuk mengaku di bawah
pengawasannya. kejahatan, atau dipaksa untuk menyetujui
suatu tindakan yang merugikan kepentingannya” (Hathout,
2006). Dalam hukum Islam tanggung jawab negara adalah
melindungi hak asasi manusia yang fundamental dari warganya
sebagai bagian dari keseluruhan kewajibannya untuk
memperlakukan warganya dengan adil (Hathout, 2006).
Sehingga dengan demikian setiap narapidana berhak atas
pemenuhan pembinaan moral dan spiritual sesuai dengan
agama yang dianutnya.

66
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Bimbingan moral dan spiritual piritual merupakan aspek


penting dari penjara yang harus dipertimbangkan. Setelah para
warga binaan menyelesaikan waktunya di penjara, mereka akan
kembali ke komunitas masing-masing. Jika skema rehabilitasi
tidak ada, para narapidana yang telah dipenjara karena
kejahatan akan terlibat kembali dalam kejahatan (Stewart,
2008). Lapas harus menyediakan fasilitas pembinaan dan
pelatihan bagi warga binaan sebagai bentuk terapi pemulihan
moral dan spiritual. Hal ini memungkinkan warga binaan untuk
memperbaiki kondisi, akhlak moral, serta memperoleh
Keterampilan yang dapat berguna untuk kehidupan masa depan
mereka ketika dibebaskan. Terlepas dari tantangan dalam
memberikan pembinaan bagi warga binaan, banyak pihak
masyarakat dan elemen institusi pemerintahan lainnya telah
memulai memberikan pelatihan bagi warga binaan (Hawley et
al., 2013).
Pemenjaraan juga dapat dijatuhkan melalui sanksi ta’zir
di dalam hukum pidana Islam. Karen sanksi ta’zir lebih
berpeluang untuk dikembangkan. Namun sebenarnya hakim
dapat lebih leluasa untuk menetapkan sanksi
mengikuti perkembangan zaman, salah satunya menjatuhkan
hukuman tahanan atau pemenjaraan bagi pelaku tindak pidana
dan masa tahanannya adalah sesuai dengan berat atau
ringannya tidak pidana yang ia lakukan. Hukuman
penangguhan kemerdekaan dengan pemenjaraan bagi pelaku
tindak pidana baru dikenal setelah dikenalnya hukuman
penjara. Sebagai catatan, meski penjara terus eksis dalam
setiap generasi fiqh, tetapi fiqh tidak merumuskan institusi
penjara. Artinya eksistensi penjara merupakan upaya
penyesuaian fiqh dengan konteks di mana fiqh berkembang
(Jubair dan ibn Ibrahim, 1996).

67
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Berdasarkan hukum pidana Islam, istilah penjara biasa


disebut al-sijnu atau al-habsu yang secara bahasa memiliki
makna menahan atau mencegah. Kata al-sijnu juga bersinonim
dengan kata al-hashru sebagaimana yang disebutkan di dalam
al quran surah al-isra ayat 8, yang artinya “Kami jadikan
neraka Jahannam penjara bagi orang orang yang tidak
beriman”. Menurut istilah Ibnu Qayyim Al-Jauzy “katahuilah
bahwa sesungguhnya penjara di dalam Islam bukan penjara
yang seperti kita ketahui (tempat sempit) akan tetapi penjara
dalam Islam yaitu menahan seseorang dan mencegahnya
untuk melakukan hal sesuai dengan keinginannya, baik
penahanan itu dilakukan di rumah, di masjid ataukah
menugaskan seseorang mengawasinya (Al-Jawziyah, 1990:
140). Menurut Syaikh Abdurrahman al-Maliki pemenjaraan
adalah menghalangi atau mencegah seseorang untuk mengatur
diri sendiri. Artinya, kebebasan atau kemerdekaan individu
untuk benar-benar dibatasi sebatas apa yang dibutuhkannya
sebagai seorang manusia (Al-Maliki, 2002). Al Quran telah
menjelaskan bahwa eksistensi penjara sudah sejak zaman
dulu, hal ini diketahui dari kisah nabi Yusuf as. yang
disebutkan di dalam surah Yusuf ayat 33, yang artinya “Yusuf
berkata:”Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada
memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau
hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan
cenderung untuk memenuhi keinginan mereka dan tentulah
aku termasuk orang-orang yang bodoh”.

68
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Surah Al-Maidah ayat 33, yang berbunyi

ً َ َْ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ ٰ َ ََ
َ ‫بار ُب ْو َن‬
‫اّلل ٰ َو َر ُس ْول ٗه َوي َ ْس َع ْون ف ِى الا ْر ِض ف َسادا‬ ِ ‫ا ِنما جزۤؤا الذِين ي‬
َْ َ َ ْ ْ ُُ ُ ََْ ْ ْ َْ َ َ َُ َْ ْ َُ َ ُ َْ ْ َُ َُ ْ َ
‫اف ا ْو ُينف ْوا‬
ٍ ‫ان يقتلوا او يصلبوا او تقطع ايدِي ِهم وارجلهم ِمن خِل‬
َ َ َ ْٰ َ ْ ُ َ َ ٰ َْْ
- ‫ض ذل ِك ل ُه ْم خ ِْزي ف ِى الدن َيا َول ُه ْم ف ِى الاخ َِرة ِ عذاب ع ِظيْم‬ ِۗ ِ ‫م َِن الار‬
٣٣
Artinya “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar”. Sebagian ulama menafisrkan kalimat dibuang
dari negeri adalah penjara (al-Zayla‘i, 2000: 179). Beberapa
hadist Rasulullah juga berbicara tentang penjara di antaranya,
yang artinya: Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari
kakeknya bahwasanya Nabi memenjarakan seorang karena
suatu tuduhan (HR. Abu Dawud 3603 dihasankan al-Albani).

Para sahabat pun dan orang-orang yang datang


setelah sahabat sepakat tentang adanya penjara di dalam
Islam. Adapun hikmah disyariatkannya penjara di dalam
Islam, para fuqaha menyebutkan bahwa sesunggunya penjara
sudah ada pada zaman Rasulullah saw. sahabat dan para
tabi’i>n sampai pada zaman sekarang, dan tidak dapat
dipungkiri bahwa penjara memiliki nilai kemaslahatan, di
antaranya menjaga para pelaku tindak pidana untuk

69
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

mengulangi perbuatannya selama dalam masa tahanan


dan sebagai sarana untuk menahan pihak tertuduh supaya
tidak melarikan diri sampai kasusnya terungkap. Dalam
sejarah Islam diketahui bahwa Rasulullah dan sahabat Abu
bakar tidak membangun penjara khusus pada masa mereka,
para pelaku kejahatan hanya ditahan di rumah, atau diikat di
salah satu pagar masjid dan sebagainya. Ketika pada zaman
Umar bin Khaththab ra., khilafah Islamiyyah semakin
berkembang dan menyebar di berbagai penjuru yang diikuti
dengan semakin banyaknya umat Islam, untuk itu, beliau
berinisiatif membeli rumah Shafwan bin Umayyah yang ada
di Makkah dengan harga 4.000 dirham. Rumah tersebut
kemudian dijadikan penjara oleh Umar. Maka tercatatlah
Umar ra. sebagai orang yang pertama kali membuat rumah
penjara dalam Islam (Al-Jawziyah, Ibnu Qayyim, 1990: 140-
141).

70
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

ab ini menyajikan aturan seputar pembinaan dan


pembimbingan warga binaan di Indonesia, profil
kelembagaan lembaga pemasyarakatan dan program
pembinaan yang ada di ketiga lembaga yang menjadi lokasi
penelitian, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Bandar Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakarta, dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Salemba Jakarta. Kemudian pada bagian ini juga menjelaskan
bagaiamana ketiga lembaga melaksanakan model pembinaan
dan pembimbingan bagi warga binaan dari berbagai latar
belakang kasus untuk mendapatkan gambaran secara general
mengenai pembinaan Moral-Spiritual Warga Binaan di
Indonesia.

71
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

A. Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan


Pemasyarakatan di Indonesia
Warga binaan atau narapidana yang ada di setiap rumah
tahanan maupun lembaga pemasyarakatan di Indonesia berhak
untuk mendapatkan pembinaan dan pembimbingan. Hal ini
didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan. Undang-undang mengamanatkan bahwa
pembinaan warga binaan berarti kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas ketaqwaan warga binaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, meningkatkan kualitas intelektual, perilaku,
profesional, sikap, dan kesehatan jasmani serta rohani warga
binaan dan anak pemasyakatan. Pembinaan warga binaan
masuk ke dalam salah satu indikator di dalam sistem
pemasyarakatan. Pada hakikatnya pembinaan warga binaan
berorientasi pada pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini
berhubungan erat dengan Program Pendidikan Masyarakat
(Kelompok Belajar Paket A dan Kelompok Belajar Usaha) di
lembaga pemasyarakatan dan bertujuan agar warga binaan
kelak setelah selesai menjalani masa pidananya dapat pulih dan
tidak lagi melakukan pelanggaran hukum serta dapat ikut
berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat di Indonesia
(Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pembinaan dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan)
Oleh karena itu, untuk melaksanakan pembinaan dan
pembimbingan bagi seluruh narapidana yang ada di Indonesia,
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan modul
pembinaan sebagai panduan pelaksanaan program bagi rumah
tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Modeul pembinaan ini
bertujuan untuk menjadi alat bantu pencatatan dan pengelolaan
dari program pembinaan warga binaan (progressive treatment).
Modul ini mengatur pembinaan agar dapat dilakukan secara

72
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

terstruktur dengan penjadwalan, dan terukur dengan penilaian


atau score tertentu pada tiap jenis atau bentuk program
pembinaan yang dilakukan. Disiplin pembinaan warga binaan
ini berfungsi sebagai panduan dalam melakukan pencatatan,
penambahan, melihat, perubahan, penghapusan, konversi ke
aplikasi perkantoran (excel), penghapusan dan pencetakan data
pada sub fitur yang ada di dalam Sistem Database
Pemasyarakatan (SDP). SDP ini merupakan sistem terintegrasi
yang mengatur mekanisme pelaporan dan konsolidasi
pengelolaan data warga binaan pemasyarakatan (WBP). Pada
dasarnya system ini berfungsi sebagai alat bantu kerja sesuai
kebutuhan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan,
Divisi Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,
http://sdp.ditjenpas.go.id/sdp_website/).
Modul ini wajib menjadi acuan bagi lembaga
pemasyarakatan atau rumah tahanan negara (SDP
Lapas/Rutan) untuk melaksanakan pembinaan bagi seluruh
narapidana di Indonesia. Adapun turunan modul ini
diantaranya,

Tabel. 3.1. Modul Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan


Negara (SDP Lapas/Rutan) di Indonesia
No Sub Modul Turunan Sub Modul
1 Sub-Modul Manajemen registrasi Warga Binaan
Pemsyarakatan.
2 Sub-Modul Perawatan,  Manajemen perawatan medis.
yang terdiri dari:  Manajemen bahan makanan.
3 Sub-Modul Keamanan  Register F.
dan Ketertiban, yang  Penempatan kamar.
terdiri dari:  Portir.

73
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

No Sub Modul Turunan Sub Modul


4 Sub-Modul  Kepribadian.
Pembinaan, yang  Kemandirian.
terdiri dari:

5 Sub-Modul Manajemen TPP.


6 Sub-Modul Manajemen biometric (sidik jari).
7 Sub-Modul Konsolidasi data ke pusat.
8 Sub-Modul  Manajemen kunjungan.
Pelayanan, yang  Self service Warga Binaan
terdiri dari: Pemsyarakatan.
 Layanan informasi bagi
masyarakat.

Sistem database pemasyarakatan yang dapat diakses


secara online merupakan website resmi aplikasi SDP (Sistem
Database Pemasyarakatan) yang dikelola oleh Data Info
Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan. Sistem ini berfungsi sebagai alat bantu kerja
sesuai kebutuhan Unit Pelaksana Kerja, Kantor Wilayah dan
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Selain bertujuan
meningkatkan kualitas layanan kepada warga binaan
pemasyarakatan (WBP/Narapidana), Sistem ini juga
diharapkan dapat meningkat kualitas layanan kepada
masyarakat maupun Internal pemasyarakatan.
Fungsi sistem database pemasyarakatan untuk
meningkatkan layanan kepada warga binaan pemasyarakatan
(narapidana) diwujudkan dalam beberapa standard. Standar
pertama yaitu meningkatkan kepastian warga binaan bebas
demi hukum tepat waktu sesuai yang ditentukan dalam putusan
pengadilan. Kepastian ini dapat diwujudkan dengan

74
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

memberikan fasilitas untuk memperhatikan satu, dua atau tiga


bulan ke depan warga binaan pemasyarakatan mana saja yang
akan keluar, selain itu dapat juga dilihat dari daftar warga
binaan pemasyarakatan mana yang belum memiliki salinan
putusan atau vonis, sehingga pegawai pemasyarakatan dapat
segera mencari salinan putusan atau vonis tersebut ke pihak
terkait, sehingga pada saat warga binaan pemasyarakatan
bebas, narapidana tersebut memang dapat dibebaskan sesuai
dengan persyaratan yang berlaku.
Selain itu, sistem ini juga membantu menjadi sarana
untuk meningkatkan kepastian ketersediaan balai
pemasyarakatan (BAMA) bagi warga binaan pemasyarakatan.
Hal ini dicapai dengan menyandingkan data SMS Gateway
perihal balai pemasyarakatan dan anggaran pada unit
pelayanan teknis tertentu dengan data over kapasitas pada unit
pelayanan teknis lainnya. Sehingga dapat ditentukan warga
binaan pemasyarakatan pada unit pelayanan teknis mana yang
sekiranya dapat segera dipindahkan agar suplai balai
pemasyarakatan kepada warga binaan pemasyarakatan tersebut
tetap terjamin. Selanjutnya sistem database pemasyarakatan
ini juga Meningkatkan kepastian pemenuhan hak pembebasan
bersyarat (PB). Dengan adanya fasilitas Self Service warga
binaan pemasyarakatan, maka warga binaan pemasyarakatan
secara mandiri dapat melihat kapan warga binaan
pemasyarakatan tersebut berhak mengajukan usulan
pembebasan bersyarat, dengan ini menekan kebutuhan
interaksi antara warga binaan pemasyarakatan dengan Petugas
yang berpotensi menimbulkan masalah. Selain itu penyampaian
surat keputusan pembebasan bersyarat lebih cepat, karena
dapat dilakukan pada kantor wilayah atau unit pelayanan
teknis terkait yang dengan sendirinya mempercepat sampainya
surat keputusan pembebasan bersyarat ke tangan warga binaan

75
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

pemasyarakatan. Terakhir berdasarkan sisi manajemen unit


pelayanan teknis, maka sistem database pemasyarakatan dapat
melakukan deteksi dini over kapasitas. Dengan fasilitas yang
ada, sistem database pemasyarakatan dapat menampilan data
unit pelayanan teknis mana saja yang over kapasitas, sehingga
para pengambil kebijakan dapat mengambil keputusan untuk
melakukan mutasi warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
data yang valid dan terkini, yang pada akhirnya warga binaan
pemasyarakatan dapat memperoleh tempat yang lebih baik
(Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, http://sdp.ditjenpas.
go.id/sdp_website/).
Selanjutnya sistem database pemasyarakatan berfungsi
untuk meningkatkan layanan kepada masyarakat diantaranya,
peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam
berinteraksi dengan jajaran pemasyarakatan. Hal ini dicapai
dengan mewujudkan kepastian antrian kunjungan FIFS (First
In First Served) dan Penurunan jumlah calo antrian. Sistem
database pemasyarakatan menyediakan fitur antrian.
Pengunjung akan mendapatkan nomor urut. Nomor urut ini
dijamin tidak akan dilewati oleh nomor urut lainnya. Nomor
urut paling kecil, akan dipanggil dan dilayani terlebih dahulu.
Sehingga calo yang selama ini menjadi momok di kawasan
pemasyarakatan dengan sendirinya akan kehilangan peran.
Pengunjung lebih baik antri karena kepastian layanan sesuai
urutan semakin meningkat. Selanjutnya peningkatan efisiensi
waktu tunggu pengunjung. Dahulu banyak pengunjung yang
kecewa dengan waktu tunggu pengunjung di kawasan lembaga
pemasyarakatan. Bahkan setelah antri lama, ternyata warga
binaan pemasyarakatan yang ingin dikunjungi tidak berada
pada lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan tersebut.
Misalnya karena warga binaan pemasyarakatan sedang sidang.
Sekarang sistem database pemasyarakatan menyediakan fitur

76
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

self service bagi pengunjung yang memberikan kemudahan


untuk memastikan apakah warga binaan pemasyarakatan
memang sedang berada di unit pelaksana teknis yang dituju.
Sebelum antri, bahkan sekarang pengunjung dapat mencari
apakah warga binaan pemasyarakatan yang ingin dikunjungi
memang sedang berada di lembaga pemasyarakatan atau rumah
tahanan tersebut. Adanya kepastian urutan antri, sehingga
pengunjung dapat memperkirakan sendiri kapan dia dipanggil
masuk ke ruang kunjungan.
Selain itu, sistem database pemasyarakatan juga
berfungsi membantu mewujudkan peningkatkan transparansi
data pemasyarakatan bagi media, masyarakat maupun lembaga
negara lainnya. Sistem database pemasyarakatan menyediakan
fasilitas SMS Lap, sehingga publik yang tertarik dan
membutuhkan info data statistik pemasyarakatan dapat dengan
mudah melihat melalui website, sehingga publik dapat melihat
secara ringkas dan padat perihat kondisi terkini pemasyarakat
di Indonesia. Terakhir sisten ini juga mewujudkan deteksi
pemalsuan data. Fitur ini penting, karena menciptakan
integrasi database penghuni secara nasional, yang selanjutnya
bisa juga mencegak pemalsuan data. Contoh kasusnya, jika
terdapat seorang warga binaan mengaku masih berumur
dibawah 18 tahun. Namun setelah dilakukan verifikasi data
menggunakan finger print maupun pencarian data via sistem
database pemasyarakatan, diketahui bahwa warga binaan
tersebut sudah pernah masuk penjara sebelumnya dan dari data
juga ditemukan bahwa umur dia sekarang sudah lebih dari 18
tahun. Seorang warga binaan yang diajukan mendapatkan
remisi, ternyata sistem database pemasyarakatan mendeteksi
bahwa warga binaan tersebut belum saatnya atau tidak lolos
syarat utk mendapatkan remisi tersebut. Selain itu, seorang
warga binaan yang mengaku beragama tertentu dengan maksud

77
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

mendapatkan remisi tertentu. Sistem database pemasyarakatan


dapat mengetahui pada saat masuk lembaga pemasyarakatan,
warga binaan tersebut beragama apa, sehingga remisi yang
diajukan dapat ditolak.
Berdasarkan sisi internal pemasyarakatan, keberadaan
sistem ini dapat meningkatkan kualitas pelayanan internal ke
dalam proses kerja pemasyarakatan sendiri seperti
mempermudah memonitor penyalahgunaan penempatan kamar.
Sistem memiliki fitur pencatatan lokasi keberadaan warga
binaan pemasyarakatan sampai ke tingkat kamar. Sistem ini
dapat memperlihatkan kamar yang kosong maupun kamar yang
penuh pada unit pelaksana teknis tertentu. Selanjutnya
mewujudkan dan membantu proses pengambilan keputusan.
Sistem ini memiliki fitur data warehouse. Pada fitur ini dapat
dilakukan analisa data dari berbagai dimensi, dan
memungkinkan dilakukannya analisis dalam bentuk (cut &
dice) .Misal: trend kejahatan, trend over kapasitas, statistik
napi masuk dan keluar, komposisi petugas keamana
dibandingkan dengan jumlah warga binaan pemasyarakatan.
Sistem ini juga akan memudahkan penyeragaman proses kerja
dan tertib administrasi. Penggunaan. Proses standardisasi data
input untuk setiap tahapan warga binaan pemasyarakatan akan
mudah terselesaikan. Seperti, menyeragamkan format
persuratan. Misal: surat bebas, surat keputusan pembebasan
bersyarat, surat sidang, dan lain-lain. Selain itu efeknya juag
penyeragaman pencatatan data warga binaan pemasyarakatan
dapat dilakukan sesuai jenis registrasi masing-masing
(Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, http://sdp.ditjenpas.
go.id/sdp_website/).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan, kegiatan pembinaan warga binaan di rumah

78
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

tahanan maupun lembaga pemasyarakatan terbagi menjadi dua


bentuk, (1) Program Kepribadian dan (2) Program
Kemandirian. Kedua bentuk program pembinaan ini, masing-
masing memiliki indikator-indikator yang spesifik yang harus
dilaksanakan dalam bentuk program maupun kegiatan wajib
bagi setiap warga binaan. Berikut ini tabel Indikatorprogram-
program kepribadian dan program kemandirian,

Tabel. 3.2. Indikator Pembinaan Warga Binaan di Indonesia


No. Program Kepribadian Program Kemandirian
1. Ketaqwaan kepada Tauhan Perikanan
Yang Maha Esa
2. Kesehatan Jasmani dan Jasa
Rohani
3. Rekreasi Keterampilan
4. Intelektual Lingkungan
5. Kesadaran Berbangsa dan Pertanian
bernegara
6. Kursus Perkebunan
7. Sikap dan Perilaku Industri
8. Materi Kepramukaan Peternakan
9. Kesadaran Hukum dan Produksi latihan keteranpilan
Penyuluhan
10. Tamping/Pekerjaan Dapur
Masing-masing indikator program ini juga memiliki
bobot nilai tertentu yang sudah ditentukan oleh Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan yang berfungsi sebagai standard
minimal ketercapaian program pembinaan bagi seluruh warga
binaan.

79
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Tabel 3.3. Bobot Penilaian Indikator Pembinaan


Usia dan Ketaqwaan Kesadaran Intelektual Sikap Kesehatan Kesadaran Bimbingan Total
Jenis Kepada berbangsa dan Jasmani Hukum Latker dan
Tindak Tuhan Yang dan Perilaku dan Rohani Kegiatan
Pidana Maha Esa bernegara Kerja
Dewasa 30% 8% 8% 8% 8% 8% 30% 100%
Umum
Anak 15% 5% 25% 20% 20% 10% 5% 100%
Tindak 20% 15% 5% 10% 20% 10% 20% 100%
Pidana
Narkoba
(User)
Tindak 30% 10% 5% 10% 10% 15% 20% 100%
Pidana
Narkoba
(Non User)
Tindak 5% 20% 5% 20% 15% 20% 15% 100%
Pidana
Terorisme
Tindak 10% 20% 5% 20% 5% 25% 15% 100%
Pidana
Korupsi

80
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Kemudian Masing-masing indicator pembinaan ini juga memiliki turunan kegiatan standar yang
harus diikuti oelh warga binaan diantaranya,
Tabel. 3.4. Kegiatan Pembinaan Tahap I Warga Binaan
Ketaqwaan Kesadaran Intelektual Sikap dan Kesehatan Kesadaran Bimbingan
Kepada Tuhan berbangsa Perilaku Jasmani dan Hukum Latker dan
Yang Maha Esa dan bernegara Rohani Kegiatan Kerja
Agama Islam PBB Keaksaraan Kerja Olah raga Penyuluhan Keterampilan
Fungsional Bakti Hukum Kerja
Blok
Shalat Berjamaah Upacara Membaca buku Apel Kesenian Penyuluhan Kegiatan Kerja
Bendara di Perpustakaan Harian
Shalat jumat Penyuluhan
Berjamaah Wawasan
Nusantara
Baca Quran
Ceramah
Agama Kristen
Kebaktian
Ceramah

81
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Ketaqwaan Kesadaran Intelektual Sikap dan Kesehatan Kesadaran Bimbingan


Kepada Tuhan berbangsa Perilaku Jasmani dan Hukum Latker dan
Yang Maha Esa dan bernegara Rohani Kegiatan Kerja
Keagamaan
Agama Hindu
Sembah yang
Ceramah
keagamaan
Agama Budha
Sembah yang
Ceramah
Keagamaan
Agama Kong
Hucu
Sembahyang
Ceramah
Keagamaan

82
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

B. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar


Lampung

Gambar 3.1. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar


Lampung

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar


Lampung adalah salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) pada
jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Wilayah Lampung yang berlokasi di Jl. Ryacudu Way
Hui Kecamatan Sukarame, Bandar Lampung. Lembaga
pemasyarakatan ini didirikan berdasarkan keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.03-PR.07.03 Tahun2007 Tanggal 23 Februari 2007. Lapas
Perempuan ini dibangun di atas tanah hibah Gubernur
Lampung berdasarkan Surat Gubernur Nomor:
028/0/99/10/2002 Tanggal 4 Februari 2002 Tentang
Persetujuan Lahan untuk Rumah Tahanan, Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), Lembaga
pemasyarakatan Narkotika, dan Lembaga pemasyarakatan
Wanita dengan luas areal tanah 25.000 m2 yang meliputi
bangunaan kantor 1030 m2 bangunan blok 2838 m2 sedangkan
sisanya berupa lahan pertanian dan halaman, sedangkan
bangunana lembaga pemasyarakatannya adalah milik

83
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia


(http://lppbandarlampung.kemenkumham.go.id/).
Lembaga Pemasyaraakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
lampung mulai beroperasi sejak tanggal 4 Februari 2008.
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
lampung juga berfungsi sebagai Rumah Tahanan gara
(RUTAN) Khusus Perempuan. Selain membina para
narapidana yang sudah divonis oleh Pengadilan dan sudah
mempunyai kekuatan hokum yang tetap, Lembaga ini juga
menerima titipan tahanan Khusus korupsi yang berada di
Wilayah Kota Bandar Lampung dan Tahanan Khusus korupsi
yang berada di Wilayah Lampung.

Gambar 3.2. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar


Lampung

Para tahanan Perempuan tersebut dititipkan dari pihak


kepolisisan, Kejaksaan, maupun dari pihak pengadilan dan juga
tahanan yang masih menjalani proses banding maupun kasasi.
Sejak terbitnya Surat Plt. Direktur Jenderal Pemasyarakatan
dengan Nomor: PAS.OT.01.02-04 tanggal 20 Februari perihal
Persetujuan Alih Fungsi Lapas Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung dengan Rutan Bandar Lampung, pada tanggal 24
April 2018, maka dilaksanakanlah Proses Alih Fungsi Lembaga

84
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung


dengan Rutan Kelas I Bandar Lampung. Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung
memiliki visi, yaitu “Masyarakat Memperoleh Kepastian
Hukum”. Kemudian misi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Bandar Lampung diantaranya,
1) Mewujudkan peraturan perundang-undangan yang
berkualitas;
2) Mewujudkan pelayanan hukum yang berkualitas;
3) Mewujudkan penegakan hukum yang berkualitas;
4) Mewujudkan penghormatan, pemenuhan, dan
perlindungan Hak Asasi Manusia;
5) Mewujudkan layanan manajemen administrasi
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; dan
6) Mewujudkan aparatur Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia yang profesional dan berintegritas.

Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar


Lampung memilki motto yaitu SIKOP “SIap Melayani -
KOmitmen – Profesional”. Lembaga ini juga menjunjung
tinggi tata nilai yang dianut oleh Kementerian Hukum dan
HAM menjunjung tinggi tata nilai kami ”P-A-S-T-I”. PASTI
dapat dijabarkan sebagai berikut,
1) Profesional: Aparatur Kementerian Hukum dan
HAM adalah aparat yang bekerja keras untuk mencapai
tujuan organisasi melalui penguasaan bidang tugasnya,
menjunjung tinggi etika dan integirtas profesi;
2) Akuntabel: Setiap kegiatan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai
dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku;

85
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

3) Sinergi: Komitmen untuk membangun dan memastikan


hubungan kerjasama yang produktif serta kemitraan
yang harmonis dengan para pemangku kepentingan
untuk menemukan dan melaksanakan solusi terbaik,
bermanfaat, dan berkualitas;
4) Transparan: Kementerian Hukum dan HAM
menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk
memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses
pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang
dicapai;
5) Inovatif: Kementerian Hukum dan HAM mendukung
kreatifitas dan mengembangkan inisiatif untuk selalu
melakukan pembaharuan dalam penyelenggaraan tugas
dan fungsinya.

Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan


Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung diatur berdasarkan
keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01.PR.03.01
Tahun 1985 tanggal 26 Februari 1985 Struktur Organisasi
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
lampung sebagai berikut,

86
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Gambar 3.3. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA

Saat ini yang menjabat sebagai Kepala Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung adalah
Putranti Rahayu, Bc.IP., S.H. Di dalam struktur organisasi ini,
Seksi yang berkaitan langsung dengan pembinaan dan
pembimbingan warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung adalah Seksi
Bimbingan Warga Binaan atau Anak Didik. Seksi ini memiliki
tugas memberikan bimbingan pemasyarakatan warga binaan
anak anak didik. Selain itu seksi ini juga memiliki beberapa
fungsi, diantaranya
1) melakukan registrasi dan membuat statistik serta
dokumentasi sidik jari warga binaan atau anak didik
2) memberikan bimbingan pemasyarakatan, mengurus
kesehatan dan memberikan perawatan bagi warga binaan
atau anak didik

87
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Seksi Bimbingan Narapidana atau Anak Didik juga


terdiri dari beberapa sub seksi, yaitu (1) Sub Seksi Registrasi,
yang bertugas melakukan pencatatan dan membuat statistik
serta dokumentasi sidik jari warga binaan atau anak didik; (2)
Sub Seksi Bimibingan Kemasyarakatan dan Perawatan yang
mempunyai tugas memberikan bimbingan dan penyuluhan
rohani serta memberikan latihan olah raga, peningkatan
pengetahuan asimilasi, cuti penglepasan dan kesejahteraan
warga binaan atau anak didik serta mengurus kesehatan dan
memberikan perawatan bagi warga binaan atau anak didik.

C. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta

Gambar 3.4. Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta

Berdasarkan sejarah pada awalnya bangunan Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta merupakan Panti
Sosial milik Dinas Sosial DKI Jakarta. Kemudian pada 1974
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, menyerahkan bangunan ini
kepada Direktur Bina Tuna Warga, M. Koesnoen, untuk

88
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

dipergunakan sebagai tempat menampung para pelanggar


peraturan daerah (kurungan). Selanjutnya pada 1985,
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara; salah satunya ditetapkan bahwa Rumah
Tahanan Negara Klas IIA Jakarta Timur dapat menampung
tahanan anak, pemuda dan juga tahanan wanita. Lalu tahun
2011, tahanan anak dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan
Salemba, dan Rumah tahanan negara Jakarta Timur hanya
menampung warga binaan wanita.
Pada 2016 Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia mengeluarkan keputusan Nomor M.HH-
10.OT.01.01 Tahun 2016 Tentang Pembentukan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta, yang sementara
beroperasional dan menjadi satu lokasi dengan Rumah Tahanan
Negara Kelas IIA Jakarta Timur yang menyebabkan bahwa per
tanggal tanggal 29 Mei 2017 Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Jakarta memiliki pintu masuk (Pintu
Pengamanan Utama), perkantoran dan blok hunian tersendiri
yang sudah terpisah meskipun masih berada satu lokasi dengan
Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Jakarta Timur.
Adapun struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Jakarta mempunyai alur organisasi
sebagai berikut,

89
Gambar 3.5. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

90
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Selanjutnya Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas


II A Jakarta, Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Ham
Dki Jakarta memiliki tugas pokokmelaksanakan
pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan atau yang biasa
disebut sebagai anak didik. Kemudian untuk melaksanakan
tugas sebagaimana dimaksud tersebut, Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Jakarta menyelenggarakan
pembinaan dan pembimbingan dengan mengaktivasi beberapa
fungsi diantara,(1) Melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan atau yang biasa disebut sebagai anak didik; (2)
Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola
hasil kerja; (3) Melakukan bimbingan sosial atau kerohanian
warga binaan pemasyarakatan atau yang biasa disebut sebagai
anak didikl; (4) Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata
tertib Lembaga Pemasyarakatan; dan (5) Melakukan urusan
tata usaha dan rumah tangga. Kemudian Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta juga memiliki
visi, misi, nilai, dan motto yang sama dengan Lembaga
Pemasyarakatan perempuan Kelas IIA Bandar lampung.
Demi mendukung kegiatan pembinaan maupun
pembimbingan warga binaan pemasyarakatan, Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta menyediakan
beberapa fasilitas primer bagi seluruh elemen pemasyarakatan
seperti, (1) ruang pendaftaran kunjungan; (2) Lahan Parkir; (3)
Lapangan Olah Raga; (4) Tempat ibadah (seperti Masjid,
Gereja, dan Vihara); (5) Ruang Salon dan tata boga; (6) Ruang
belajar (PKBM); (7) Perpustakaan; (8) Wartelsus (warung
telepon khsuus); (9) Kantin; (10) Beranggang (area hijau); (11)
Rumah Budidaya Jamur. Selain melengkapi fasilitas sarana dan
prasarana, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
Jakarta juga memfasilitasi jumlah tenaga kesehatan untuk

91
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

memaksimalkan pembinaan warga binaan sebagaimana tabel di


bawah ini menerangkan,

Tabel. 3.5. Data Jumlah Tenaga Kesehatan di Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta
Tahun 2020
Tenaga Kesehatan Paruh Waktu Purna Waktu
Dokter Umum - 3
Dokter gigi - -
Perawat - 1
Psikolog/Psikiater - -
Apoteker 1 1
Bidan - -
Ahli Gizi - -

Adapun jumlah warga binaan pemasyarakatan yang


dididik oleh Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
dari tahun ketahun dan kapasitasnya yaitu,

Tabel 3.6. Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan yang dididik


oleh Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
Uraian jenis Tahun
Warga Binaan
Pemasyarakatan 2015 2016 2017 2018 2019 2020
(WBP)
WBP Dewasa - - 365 372 373 361
WBP Anak - - - - - -
Jumlah - - 365 372 373 361
Selisih
- - - - - -
Penambahan

92
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Uraian jenis Tahun


Warga Binaan
Pemasyarakatan 2015 2016 2017 2018 2019 2020
(WBP)
Penghuni
Kapasitas - - 208 208 208 208
Over Crowded - - 75% 78% 78% 73%

D. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta

Gambar 3.6. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba

Secara historis pembentukan Unit Pelaksana Teknis


(UPT) Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
diresmikan sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.02-
PR.07.03 Tahun 2007 tanggal 23 Pebruari 2007 tentang
Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Salemba, Cibinong, Pasir Putih Nusakambangan, dan
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB di Way Kanan, Slawi,
Nunukan, Boalemo, dan Jailolo. Kemudian Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba mulai beroperasional sejak
15 Februari 2008 di atas lahan seluas ± 2 Ha dengan kapasitas

93
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

sementara mampu menampung 224 orang warga binaan


pemasyarakatan.
Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
ditandai dengan dimulainya pemekaran Unit Pelaksana Teknis
Pemasyarakatan Rumah Tahanan Negara Salemba menjadi 2
(dua) Satuan Kerja di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia DKI Jakarta sebagai berikut
Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat dan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba. Dan pemekaran ini terjadi
pada 2007. Sebenarnya sebelum 1945, bangunan Lembaga
Pemasyarakatan Salemba difungsikan sebagai tempat kurangan
bagi tahanan yang melakukan pelanggaran hukum Kolonial
Hindia Belanda. Kemudian pada 1945 bangunan lembaga
pemasyarakatan digunakan kembali untuk menampung tahanan
politik, tahanan sipil, dan pelaku kejahatan ekonomi.
Selanjutnya saat peristiwa G 30 S/PKI terjadi, sebagian
tahanan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Salemba
dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan
Lembaga Pemasyarakatan Glodok. Sejak 1960 hingga 1980
Lembaga Pemasyarakatan Salemba difungsikan sebagai Rumah
Tahanan Militer di bawah pimpinan Inrehab Laksusda Jaya.
Lalu pada 4 Februari 1980, pengelolaan Lapas Salemba diserah
terimakan dari Inrehab Laksusda Jaya kepada Departemen
Kehakiman R\epublik Indonesia melalui Kepala Kantor
Wilayah Ditjen Pemasyarakatan IV Jakarta Raya dan
Kalimantan Barat berdasarkan Surat perintah Pangkopkamtib
tanggal 9 Januari 1980, No. Sprint-12/KepKam/I/1980 dan
Surat Perintah Pelaksanaan No. Sprint-4-5/KAHDA/I/1980 tgl
23 Januari 1980. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri
Kehakiaman Republik Indonesia, No. M.04.UM.01.06 Tahun
1983, Lembaga Pemasyarakatan Salemba berubah status
menjadi Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat. Pada

94
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

tahun 2007 mengingat kondisi over kapasitas penghuni Rumah


Tahanan Negara Kelas I Jakarta Pusat yang semakin padat,
maka dilakukan pemekaran Rutan Kelas I Jakarta Pusat
menjadi 2 UPT yaitu Rumah Tahanan Negara Kelas I Jakarta
Pusat dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba. Danil
salah satu petugas pemasyarakatan menerangkan,

“hingga kini Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA


Salemba masih mengalami over kapasitas penghuni atau
warga binaan pemasyarakatan. Bahkan sekarang jumlah
warga binaan pemasyarakatan yang ada di sini mencapai
2000 narapidana lebih, padahal lapas kita ini
kapasitasnya hanya 250, maksimalya 500 orang lah. Oleh
karena itu para santri pesantren tidurnya di Aula. Yang
tidur di Aula bisa mencapai 200 lebih warga binaan
pemasyarakatan yang mayoritasnya adalah yang
dipidana kasus narkotika”.

Pada dasarnya Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A


Salemba juga memiliki visi, misi, nilai, motto serta alur kerja
struktur oraganisasi yang sama dengan Lembaga
Pemasyarakatan perempuan Kelas IIA Bandar lampung
maupun Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta. Berdasarkan sudut pandang struktur organisasi, saat
ini Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
adalah Yosafat Rizanto, A.Md.I.P., S.H., M.Si. Kemudian
Kepala Sub Bagian Tata Usaha dijabat oleh Fahmi Rezatya
Suratman, A.Md.I.P., S.H., M.Si., Kemudian Jabatan Kepala
Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan dipegang
oleh Kelik Sulistyanto, A.md.IP, S.H, M.H. Jabatan Kepala
Seksi Administrasi Keamanan Dan Ketertiban dijabat oleh

95
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Akhmad Heru Setiawan, A.Md.I.P., S.H., M.H. Kepala Seksi


Bimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan atau Anak Didik
dipegang oleh Mohamad Fadil, A.Md.I.P., S.H., M.H.
Selanjutnya Kepala Seksi Kegiatan Kerja dijabat oleh Efendi
Johan, A.Md.I.P., S.H. Kepala Urusan Kepegawaian Dan
Keuangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salembasaat ini
dipegang oleh R. Arie Harjanto, S.Sos., M.A. Kepala Urusan
Umum dijabat oleh Chandra Caniago, SAP., M.Si., jabatan
Kepala Sub Seksi Pelaporan Dan Tata Tertib diduduki oleh
Yudhy Rizaldy, A.Md.P., S.H. Kemudian Kepala Sub Seksi
Keamanan dijabat oleh Fatah Adhi Reza, A.Md.I.P., S.H.
Untuk jabatan Kepala Subseksi Bimbingan Kemasyarakatan
Dan Perawatan saat ini dijabat oleh Rendy Caesar Pratama
Putra, A.Md.P., S.H. Kepala Sub Seksi Registrasi dijabat oleh
Prayogo Utomo, S.H. Lalu jabatan Kepala Sub Seksi
Bimbingan Kerja Dan Pengelolaan Hasil Kerja dipegang oleh
Dudi Ilham Tuhulele, S.H. terakhir jabatan Kepala Sub Seksi
Sarana Kerja dipegang oleh Amir Hamzah, S.H.

E. Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan


Perempuan Kelas II A Bandar Lampung, Kelas II A
Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A
Salemba Jakarta
Pembinaan yang dilaksanakan oleh Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung
merupakan pembinaan dengan interaksi langsung yang bersifat
kekeluargaan antara Pembina dengan yang dibina (warga
binaan pemasyarakatan). Selain itu, selain itu pembinaannya
juga menggunakan pendekatan edukatif dimana setiap
treatment yang diberikan oleh petugas pemasyarakatan
maupun pembina bertujuan untuk merubah tingkah laku warga
binaan pemasyarakatan melalui keteladanan. Selain tiu petugas

96
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

pemasyarakatan dan pembina juga diwajibkan untuk


memperlakukan warga binaan pemasyarakatan dengan adil.
Keadilan inilah yang nantinya dapat menggugah hati warga
binaan pemasyarakatan untuk melakukan hal-hal terpuji. Selain
itu pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Bandar Lampung juga memperlakukan warga binaan
pemasyarakatan dengan menempatkan mereka sebagai manusia
yang memiliki potensi dan memiliki harga diri dengan hak-hak
dan kewajibannya yang sama dengan manusia lainnya.
Putranti, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Bandar Lampung menyampaikan bahwa,

“Pembinaan juga harus direncanakan secara terus-


menerus dan sistematis, petugas pemasyarakatan dan
pembina beserta warga binaan harus bersama-sama
memelihara memelihara dan meningkatkan keamanan
di institusidan keamanan ini dibutuhkan sesuai dengan
jenis pembinaan yang diadakan, pembinaan juga harus
dilakukan dengan dua tata cara, ada individual dan juga
kelompok atau dalam skala yang besar agar tujuan
pembinaan dapat tercapai dengan baik”.

Untuk mencapai tujuan pembinaan yang komprehensif


bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung
menggunakan pola pembinaan bertahap. Secara garis besar
pembinaan yang dilakukan mengikuti amanah modul
pembinaan yang diterbitkan oleh Ditjen Pemasyarakatan, yaitu
dengan menggunakan dua pendekatan, pendekatan dari atas
(top down approach) yaitu pembinaan kepribadian dan

97
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

pendekatan dari bawah (bottom up approach) yaitu berupa


pembinaan kegiatan kemandirian.
Kemudian Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta juga melaksanakan pembinaan dengan dua jenis
pembinaan yaitu, pembinaan kepribadian dan pembina
kemandirian. Namun di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakart, pembinaan kepribadian dibagi kepada lima
jenis pembinaan yaitu (1) pembinaan kesadaran beragama; (2)
pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara; (3) pembinaan
kemampuan intelektual; (4) pembinaan kecerdasan hukum; dan
(5) pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat; (6)
Olahraga; (7) Kesenian; (8) Kepramukaan.
Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta pembinaan juga bertujuan agar warga binaan
pemasyarakatan setelah usai menjalani masa pidananya tidak
kembali mengulangi perbuatannya (kejahatan di masa lalu).
Pembinaan ini diharapkan dapat membentuk kepribadian warga
binaan pemasyarakat untuk siap hidup bermasyarakat secara
baik, wajar, dan berpartisipasi aktif di dalam pembangunan
lingkungannya. Oleh karena itu, setiap warga binaan
pemasyarakatan di dalam Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Jakarta dibina dan dididik agar dapat
menyesali perbuatannya dan mengembangkan setiap warga
binaan menjadi insan yang lebih baik dan taat kepada hukum.
Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta dilaksanakan agar warga binaan pemasyarakatan dapat
menjunjung tinggi nilai-nilai moral serta mandiri dalam
kemandiriannya sebagai bekal kemampuan dan skill di
kemudian hari apabila sudah bebas dari sama tahanan.
Pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA

98
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Salemba juga terbagi emnjadi dua jenis, (1) Pembinaan


Kepribadian; (2) Pembinaan Kemandirian.

“Pembinaan kemandirian sesungguhnya berkaitan


dengan persiapan dan pemantapan skill future warga
binaan pemasyarakatan. Mereka akan dilatih untuk
mampu memproduksi sesuatu atau menghasilkan
sebuah karya yang layak untuk dikembangkan setelah
bebas dari masa tahanan sebagai produk yang
menghasil uang. Sebaliknya pembinaan kepribadian di
sini di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
dibagi menjadi beberapa jenis yang tujuan serta
fungsinya adalah untuk membangun kembali dan
memulihkan kebali diri maupun jiwa narapidana.
Dalam kasus narapidana narkotika bagi mereka akan
sulit untuk sembuh dari kecanduan, namun minimal
mereka mampu bertahan dari godaan selama disini dan
mengendalikan kecanduannya”.

Tabel 3.7. Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA


Salemba
Uraian Pembinaan
No Pembinaan Kemandirian
Kepribadian
1 Pembinaan Keterampilan memproduksi
Kerohanian
2 Pramuka Pertanian
3 Pendidikan Perkebunana
Kesetaraan
a. Kejar Paket A Peternakan
b. Kejar Paket B
a. Kejar Paket C

99
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Uraian Pembinaan
No Pembinaan Kemandirian
Kepribadian
4 Kursus Komputer
5 Kursus Bahasa
Inggris

a. Pembinaan Kepribadian
Dalam pelaksanaannya, pembinaan kepribadian di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung memberikan muatan materi pembinaan berasal dari
pihak petugas pembinaan. Pembinaan ini sudah berupa paket
pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan yang sudah
disediakan terlebih dahulu oleh pihak pembinaan atau
pemasyarakatan. Dalam jenis pembinaan ini, warga binaan
pemasyarakatan tidak ikut menetukan jenis pembinaan yang
akan dijalani. Warga binaan pemasyarakatan langsung dapat
menerima dan mengikuti kegiatan pembinaan kepribadian yang
dilaksnaakan oleh dari kami. Seorang narapidana harus
menjalani paket pembinaan kepribadian yang telah disediakan
dari Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung.

“Sebenarnya pembinaan pribadi ini lebih kepada


pembinaan yang bertujuan untuk memperbaiki segi
kejiwaan atau kerohanian warga binaan pemasyarakatan.
Di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
Bandar Lampung pembinaan kepribadian ini meliputi
pembinaan keagamaan, pembinaan kesadaran berbangsa
dan bernegara, ada juga pembinaan kemampuan
intelektual bagi warga binaan” Leni menambahkan.

100
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

a) Pembinaan Keagamaan.
Pembinaan keagamaan Islam merupakan salah satu
pembinaan yang terintegrasi dengan mushola Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung.
Pembinaan ini dijadikan sebagai salah satu kegiatan
“ekstrakurikuler lapas” uyang dapat diikuti oleh warga binaan
yang dijuluki sebagai “santri lapas”. Pada umumnya pembinaan
ini diberikan dengan tujuan agar para narapidana dapat
meningkatkan kesadaran terhadap agama yang mereka anut.
Hal ini dikarenakan agama merupakan pedoman hidup yang
diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia yang
bertujuan menyadarkan warga binaanbahwa sebagai manusia
hendaknya mereka di dalam hidupnya dapat mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang
buruk di masa lalu. Pembinaan ini berfungsi meningkatkan
kesadaran seluruh elemen yang ada di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung
terhadap agama. Dengan demikian, maka akan muncul
kesadaran dalam diri warga binaan pemasyarakatan sendiri
bahwa perbuatan tercela dan buruk yang mereka lakukan di
masa lalu adalah perbuatan yang tidak baik. Secara otomatis
pembinaan ini akan berusaha merubah warga binaan ke arah
yang benar. Salah satu warga binaan pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung
dengan inisial T menyampaikan bahwa,

“sebelum masuk penjara dan ikut kegiatan disini saya


bukan orang yang mau sholat, kesadaran beragama saya
tidak ada, saya rasa arah hidup saya selalu tidak jelas dan
tujuan saya juga begitu, jadinya saya dapat berbuat
sesuka hati. Akan tetapi setelah ikut kegiatan di lapas
ini, saya sadar bahwa hidup saya menjadi punya arah dan

101
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

tujuan, saya mau jadi lebih tahu tentang agama dan dan
saya terbiasa menjadi takut untuk berbuat jahat, kan
dilarang oleh Allah”.

Adapun kegiatan spiritual keagamaan yang biasanya


diadakan diantaranya,
a) Warga binaan pemasyarakatan tidur di sel yang sama
dengan santri lapas lainnya
b) Sel tahanan warga binaan pemasyarakatan berada dekat
dari mushola lapas
c) Melaksanakan kegiatan shalat berjamaah setiap harinya
Selain itu juga terdapat kegiatan spiritual dalam skala
besar yang diadakan oleh petuags pemasyarakatan
maupun berkerjasama dengan masyarakat dan institusi
lainnya yaitu diantaranya,
d) Pengajian Rutin.
Pengajian keagamaan ini sudah dilakukan secara rutin
diantaranya dua kali dalam seminggu. Kegiatannya
mencakup belajar membaca Al-Qur’an dengan metode
Iqro terlebih dahulu. Kegiatan baca tulis al-Qur’an ini
dilaksanakan pada kamis dan sabtu. Warga binaan
pemasyarakatan selain diajarakan membaca juga dibekali
pengetahuan agama yang dasar. Kegiatan ini
dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan yang
membunyai skil dalam baca tulis al-Qur’an.
e) Ceramah Keagamaan.
Ceramah keagamaan merupakan salah satu pembinaan
keagamaan yang berhubungan dengan hari-hari besar
keagamaan. Seperti ceramah ramadhan, ceramah isra’
mi’ra>j, ceramah menyambut kedatangan bulan
Ramadhan dan lain-lain. Kegiatan ini biasanya dilakuakn

102
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

secara meriah agar warga binaan juga merasakan


perasaan bahagia di hari-hari besar keagamaan, sehingga
warga binaan tidak merasa jenuh dengan jadwal
kegiatannya yang rutin dan lebih dari itu untuk
memperdalam kesadaran warga binaan pemasyarakatan
terhadap agamanya.

Mayoritas warga binaan pemasyarakatan di Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar Lampung
menyampaikan bahwasanya, sebagai warga binaan mereka ikut
serta dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan Islam yang
meriah dan warga binaan merasa perayaan ini sangat
bermanfaat bagi warga binaan untuk lebih dalam mengetahui
tentang agama dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Kegiatan pengajian rutin sifatnya tidak wajib bagi
seluruh warga binaan pemasyarakatan yang beragama Islam,
mereka yang tergabung menjadi santri lapas merupakan
penggerak dari kegiatan ini. Namun ceramah keagaamaan
merupakan salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh seluruh
warga binaan pemasyarakatan.
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta
juga melaksanakan pembinaan kepribadian dalam bentuk
pembinaan kesadaran beragama. Kegiatan yang masuk kedalam
indicator pembinaan kesadaran beragama diantaranya adalah
kegiatan shalat berjamaah di masjid lembaga, kegiatan One
Day One Jus (ODOJ), kegiatan ceramah keagamaan yang
biasanya dibawakan oleh tokoh masyarakat atau lembaga
lainnya dari luar Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta. Berikut ini data jumlah narapidan yang
memperoleh pembinaan kepribadian kesadaran beragama
berdasarkan perbedaan agama dari 2017 hingga 2020,

103
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Tabel 3.8. Jumlah Narapidan yang Memperoleh Pembinaan


Kepribadian Kesadaran Beragama Berdasarkan Perbedaan
Agama
Uraian
No 2017 2018 2019 2020
Keagamaan
1 Islam 179 186 340 285
2 Kristen Katolik 29 36 30 29
3 Kristen Protestan 55 61 62 65
4 Hindu - - - -
5 Budha 11 9 28 8
6 Konhuchu - - - -

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba


memfasilitasi warga binaan pemasyarakatan dengan rumah
ibadah untuk menunjang pelaksanaan pembinaan keagamaan.
Terdapat tiga rumah ibadah di sini yaitu Masjid, Gereja, dan
Vihara. Untuk pembinaan kerohanian, pelaksanaannya
dilakukan oleh masing-masing pembina. Maka warga binaan
pemasyarakatan yang beragama Islam akan dilatih dan
dibimbing oleh Ustadz yang berasal dari petugas
pemasyarakatan Salemba sendiri. Untuk warga binaan
pemasyarakatan yang beraga lain, seperti Kristen, hindu dan
budha dan konghucu, maka masing-masing tokoh agama
seperti Pastor, Biksu dan lainnya akan didatangkan dari luar
lembaga. Biasanya banyak sekali organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan yang turut serta berkontribusi untuk
pembinaan kerohanian. Terkait dengan pendanaan kegiatan
pembinaan kerohanian sejatinya sudah termasuk di dalam
anggaran keuangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA

104
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Salemba, namun demikian selama ini pembinaan kerohanian


masih membutuhkan tambahan support keuangan. Danil
menjelaskan bahwa,
Bersyukur kita mempunyai sponsor tetap yang
memberikan bantuan dan support kebutuhan untuk pelaksanaan
dan pengembangan pembinaan kerohanian, seperti untuk
pembinaaan kerohanian Islam maka terdapat beberapa Majlis
Taklim, dan institusi eksternal lainnya yang menyumbangkan
berbgaai kebutuhan baik uang maupun kebutuhan materi
lainnya. Lembaga-lembaga ini diantaranya, Majlis Taklim
Masjid Istiqlal, Majlis Taklim Masjid Sunda Kelapa, Dewan
Masjid Indonesia (DMI). Terdapat juga sejumlah Yayasan yang
ikut berkontribusi untuk mendanai kegiatan-kegiatan lainnya,
tidak hanya kerohanian, seperti Yayasan Tangan Pengharapan.
Khusus untuk kegiatan pembinaan kerohanian Islam,
warga binaan tidak hanya sekedar melakukan shalat lima
waktu secara berjamaah saja, namun juga mereka difasilitasi
untuk belajar membaca Al-Qur’an dan menghafalkannya,
pembelajaran Bahasa Arab dan Ceramah keagamaan. Namun
sejak 2020 hingga Oktober 2021 ini, dikarenakan pandemic
Covid 19 ini, kegiatan-kegiatan keagamaan yang sifatnya
pembinaan yang disampaikan oleh lembaga eksternal
diminimalisir bahkan hampir tidak ada. Dalam regulasinya
Masjid, Gereja, dan Vihara akan beroperasi dimulai dari Subuh
hingga maghrib saja, untuk menjaga keamanan rumah ibadah.
Untuk santri warga binaan pemasyarakatan yang beragama
Islam mereka juga difasilitasi dengan kegiatan pesantren yang
bernama “Darul Ilmi”. Sistem santri pesantren ini adalah
dengan rekrutmen, sehingga warga binaan yang memang
berminat untuk mengikuti kegiatan yang focus kepada
keagamaan akan ditempatkan di Aula lantai 1 yang ada di
sebelah masjid. Mereka tidak tidur di sel namun di Aula santri.

105
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Keikutsertaa warga binaan dalam pembinaan sebagai santri


pesantren ini merupakan murni rekrutmen, sehingga sama
sekali tidak ada paksaan dalam keikutsertaannya. Sebagaian
besar dari santri Darul Ilmi ini adalah berlatar belakang kasus
Narkotika.

b) Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara.


Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar
Lampung melaksanakana pembinaan ini dalam bentuk
penyuluhan-penyuluhan dan kepramukaan yang bertujuan
membina kesadaran berbangsa dan bernegara. Kepramukaan
dilakukan dengan tema kegiatan budi pekerti dan pramuka
untuk menyadarkan para narapidana agar lebih menghargai
hidup dan berbakti pada bangsa dan Negara Indonesia.
Kegiatan ini digerakan oleh para warga binaan pemasyarakatan
yang bergabung ke dalam ekstrakurikuler kepramukaan.
Mereka mendapatkan seragam, buku saku dan berbagai
peralatan kepramukaan. Pembina pramuka pun juga
didatangkan khusus. Selain tiu juga terdapat kegiatan
kepramukaan yang diinisiasi oleh civitas akademika di sekitar
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar
Lampung sebagai bentuk perhatian dan kontribusi pembinaan
eksternal dari masyarakat kepada warga binaan.
Sebaliknya Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta membagi pembinaan kesadaran berbangsa dan
bernegara menjadi tiga kegiatan saja, yaitu (1) wawasan
kebangsaan yang diimplementasikan dengan pelaksanaan
upacara; (2) Sikap cinta tanah air; dan (3) Nilai-Nilai
Pancasila. Biasanya dua kegiatan terakhir dapat dilaksanakan
dengan mengadakan penyuluhan yang diinisiasi oleh institusi
lain di luar Lembaga atau melalui sikap keseharian dari warga

106
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

binaan. Berikut ini Data jumlah warga binaan pemasyarakatan


yang memperoleh pembinaan ini dari 2017 hingga 2020,

Tabel 3.9. Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan yang


Memperoleh Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Uraian Tahun
Kesadaran Brebangsa

2017 2018 2019 2020


dan Bernegara

Wawasan
- 26 15 -
Kebangsaan
cinta tanah air - - - -
Nilai-Nilai - - - -
Pancasila

c) Pembinaan Kemampuan Intelektual.


Pembinaan ini mencakup muatan pembimbingan kepada
warga binaan pemasyarakatan yang bertujuan memberikan
bekal ilmu pengetahuan dan pengalaman intelektual. Sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia warga binaan
pemasyarakatan berhak atas peningkatan pengetahuan serta
kemampuan intelektual meski berada di lembaga
pemasyarakatan. Hal ini mengingat bahwa mereka juga berhak
untuk merasakan kemajuan yang yang terjadi di dunia luar
penjara. Karena bagaimana pun juga setelah masa tahananya
selesai warga binaan pemasyarakatan akan kembali ke
lingkungannya dan dituntut untuk siap menjadi bagian dari
pembangunan masyarakat kembali. Selain itu, urgensi
pembinaan ini juga didukung oleh beberapa alasan, sebagai
mana yang disampaikan oleh putranti,

107
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

“Pada faktanya warga binaan pemasyarakatan yang ada


disni sebagian besarnya adalah narapidana yang masih
belum lancar baca dan tulis. Secara garis besar kita ga
bisa pungkiri bahwa sebagian besar warga binaan kita di
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Bandar
Lampung memiliki latar belakang pendidikan rendah,
seperti hanya sekolah sampai sekolah menengah
pertama, bahkan juga sekolah dasar sehingga mereka ini
belum begitu mampu untuk membaca dan menulis”.

Melalu pembinaan kemampuan intelektual ini, para


warga binaan pemasyarakatan yang belum begitu mampu
membaca dan menulis difasilitasi pembina yang dapat
mengajarkan mereka membaca dan menulis. Pembinaan ini
diimplementasikan bahkan hingga warga binaan
pemasyarakatan dapat membaca dan menulis dengan baik,
benar, dan lancer. Selain itu, fasilitas yang mendukung
pembinaan ini juga tersedia agar setiap waktu warga binaan
pemasyarakatan dapat menggunakannya untuk belajar.
Fasilitas yang disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung diantaranya buku-buku
pengetahuan umum yang bertujuan untuk menambah wawasan
warga binaan agar ridak tertinggal dengan masyarakat pada
umumnya. Petugas pemasyarakatan juga memberikan warga
binaan pemasyarakatan akses kepada buku yang ada didalam
perpustakaan dan media informasi seperti koran dan majalah.
Perpustakaan ini dapat mereka akses untuk mengisi waktu
luang. Selain itu, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
II A Bandar Lampung juga mengadakan kegiatan pendidikan
yang fungsinya memberikan penyuluhan intelektual kepada
warga binaan. Kegiatan ini biasanya sebagaian besar diinisiasi

108
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

oleh masyarakat luar seperti civitas akademika kampus, tokoh


masyarakat, maupun tokoh agama.
Adapun di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
II A Jakarta, pembinaan kemampuan intelektual yang diikuti
oleh warga binaan pemasyarakatan sejak 2017 hingga 2020
diantaranya,

Tabel 3.10. Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan yang


Memperoleh Pembinaan Kemampuan Intelektual
Uraian Tahun
2017 2018 2019 2020
Kemampuan Intelektual

Pendidikan Kesetaraan
a. Kejar Paket A 2 4 2 2
b. Kejar Paket B 5 7 12 8
c. Kejar Paket C 9 14 12 8
Kursus-Kursus
Komputer 15 20 49 15
Bahasa Inggris 10 11 20 16
Kelas Kepribadian 11 12 15 15
Kepramukaan 0 10 10 0

Sejak pandemic Covid 19 melanda seluruh negeri,


dampak dari pembatasan social juga dialami oleh Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta. Bahkan
sepanjang tahun 2020 hingga Oktober 2021 tidak ada
kerjasama maupun pelaksanaan pembinaan dengan masyarakat
laur maupun institusi lainnya. Hal ini menyebabkan agenda
pembinaan penyuluhan-penyuluhan hampir sama sekali tidak
ada.
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta
juga melaksanakan pembinaan kemampuan intelektual kepada

109
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

warga binaan pemasyarakatannya dengan fasilitas pemberian


sertifikat untuk keikut sertaan mereka dalam kursus-kursus
seperti kursus computer dan kursus bahasa Inggris. Sertifikat
keahlian mereka akan diterbitkan oleh Pusat pelatihan Kerja
Daerah atau (PPKD) dki Jakarta. Sertifikat ini sangat
bermanfaat bagi warga binaan setelah menyelesaikan masa
pidananya. Selain itu, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakarta juga mengadakan pendidikan kesetaraan
sebagaimana yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Perempuan Kelas IIA Jakarta. Kesemua fasilitas tambahan ini
tidak dilaksanakan secara gratis, dan sebenarnya merupakan
kegiatan yang harus diikuti oleh warga binaan dengan
membayarkan sejumlah uang untuk biaya keikutsertaannya.
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta
memfokuskan agenda pembina kepribadian kepada Olahraga
dan Kesenian diantaranya,

Tabel 3.11. Warga Binaan Pemasyarakatan yang Memperoleh


Pembinaan kepribadian lainnya
Uraian Tahun
2017 2018 2019 2020
Pembinaan Kepriadian lainnya

Olah raga
Voli 7 20 23 28
Senam 136 93 116 105
Tenis Meja 3 5 9 8
Yoga 0 31 0 30
Kesenian
Seni Suara 15 20 54 48
Seni Tari 10 21 49 26
Seni Musik 0 10 13 9

110
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba juga


memfasilitasi warga binaan pemasyarakatan dengan program
kegiatan ini berupa kursus Komputer dan bahasa Inggris.
Kegiatan ini sejatinya diadakan dalam rangka program
pembinaan kepribadian dan intelektual bagi Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) yang bertujuan agar dapat menjadi
modal bagi Warga Binaan Pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba setelah selesai
menjalankan masa pidananya.

Gambar 3.7. Pembinaan kursus bahasa inggris di Lembaga Pemasyarakatan


kelas II A Salemba

b. Pembinaan Kemandirian
Pembinaan kemandirian merupakan implementasi dari
pembinaan dengan pendekatan dari bawah (bottom up
approach). Wujud pendekatan dari bawah pada pelaksanaan
pembinaan kemandirian ini adalah dengan memberikan warga
binaan pemasyarakatan materi dan pelatihan seputar
keterampilan. Pelatihan ini dapat diikuti oleh seluruh warga
binaan pemasyarakatan yang ingin mengembangkan
kemampuan dan bakat yang mereka miliki. Dengan demikian

111
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

diharapkan proses pembinaan akan berjalan dengan lancar dan


dapat memenuhi target yang diinginkan yaitu warga binaan
memiliki skil yang dapat diasah untuk siap kembali
berkontribusi di lingkungannya setelah menjalani masa pidana.
Kegiatan pembinaan kemandirian difasilitasi oleh
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung bagi warga binaan pemasyarakatan sangat beragam
jenisnya. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi (1) Kegiatan
Pelatihan Kemandirian Laundry; (2) Kegiatan Pelatihan
Kemandirian Tata Boga; (3) Kegiatan Pelatihan Kemandirian
Pijak dan Refleksi; (4) Kegiatan Pelatihan Kemandirian
Perikanan; (5) Kegiatan Pelatihan Kerajinan Tangan dan
Menjahit; (6) Kegiatan Peternakan dan Pertanian. Di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung
pembinaan keterampilan kemandirian banyak diikuti oleh
warga binaannya, oleh karena itu pembinaan kemandirian
mempunyai porsi waktu dan durasi yang cukup banyak
dibandingkan pembinaan kepribadian. Hal ini dikarenakan
hampir setiap hari pembinaan kemandirian diberikan dan
diikuti oleh warga binaan pemasyarakatan. Kegiatan
pembinaan kemandirian biasanya ini diikuti oleh warga binaan
pemasyarakatan dalam satu ruangan keterampilan dan
kemudian warga binaan mempraktikannya dengan dibimbing
oleh petugas pembimbing atau masyarakat yang dapat
berkontribusi mengadakan pelatihan.
Pada Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
Jakarta dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
melaksnakaan pembinaan kemandirian dilakukan dengan
mengadakan program-program pelatihan keterampilan dan
praktek kerja secara langsung. Jenis keterampilan yang
diadakan bertujuan untuk mendukung usaha-usaha mandiri,

112
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

misalnya kerajinan tangan, industri, rumah tangga, reparasi


mesin, dan alat-alat elektronika dan sebagainya.
Adapun kegiatan keterampilan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta dapat dibagi
menjadi dua bagian yaitu,
a) Keterampilan yang dapat emndukung usaha industri
kecil seperti keterampilan untuk mengelola bahan
mentah dari sektor perkebaunan dan perikanan seperti
ruangan budidaya jamur dan kolam budidaya lele.
b) Keterampilan yang difasilitasi disesuaikan dengan bakat
masing-masing warga binaan pemasyarakata, seperti
menjahit, tata boga, salon, menyulam dan lain-lain.

Tabel 3.12. Jumlah Narapidana yang mengikuti Program


Kemandirian dan Keterampilan
No Uraian 2017 2018 2019 2020
1 Perikanan - - 2 4
2 Peternakan - - - -
3 Perkebunaan, Anggrek, - 20 6 4
dan Buah-buahan
4 Industri dan Jasa - - 20 3
Meubel - - - -
Cukur/Pangkas 3 10 20 25
rambus/Salon
kecantikan
Pencucian kendaraan - - - -
Jahit 4 20 10 88
Keterampilan Tata Boga 4 20 20 35
Keterampilan Sulam - - - 20
Keterampilan Membatik - - - 20

113
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

No Uraian 2017 2018 2019 2020


Keterampilan emmbuat - - - 20
Sabun
Keterampilan Sablon - - - 20
5 Bimbingan Latker dan - - - -
kerja lingkungan

114
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

MAQA>S}ID SYARI>’AH

ab ini menyajikan analisis program pembinaan warga


lapas dengan pendekatan Kaidah Fiqih dan maqa>s}id
syari>’ah di dalam tajhiz janazah yang dilaksanakan
sebagai salah satu model pembinaan narapidana di tiga
lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Kemudian dilakukan
juga analisis menggunakan kaidah-kaidah fikiah untuk
mengetahui sejauh mana aktualisasi pembinaan spiritual,
tantangan dan hambatan pembinaan spiritual yang dihadapi
oleh narapidana maupun ketiga lembaga.

115
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

A. Hambatan dan Tantangan Pembinaan Warga Binaan


Pemasyarakatan Perspektif Hukum Islam
1. Persentasi Bobot Skoring Indikator Spiritual Yang
Rendah
Setiap lembaga pemasyarakatan menampung
warga binaan pemasyarakatan dengan beberapa kategori
di antaranya, narapidana dewasa, narapidana khusus, dan
narapidana anak. Berdasarkan peraturan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006
atas Perubahan PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dan Modul Pembinaan Pemasyarakatan,
nilai skoring indikator spiritual untuk Ketaqwaan
Kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi warga binaan
pemasyarakatan kasus Tindak Pidana Narkoba hanya
sebesar 20%, dan indikator kesehatan jasmani dan rohani
hanya sebesar 20%, padahal banyak sekali penelitian
yang sepakat bahwa nilai-nilai spiritual pecandu
narkotika dapat memulihkannya dengan baik. Tidak
hanya itu, warga binaan dengan latar belakang
pemidanaan Tindak Pidana Terorisme juga hanya
dikenakan beban scoring indicator Ketaqwaan Kepada
Tuhan Yang Maha Esa yang sangat rendah yaitu 5% lalu
indikator Kesehatan Rohani sebesar 15 %. Warga binaan
kejahatan Tindak Pidana Korupsi juga demikian beban
scoring indikator Ketaqwaan Kepada Tuhan Yang Maha
Esa yang sangat rendah yaitu 10% lalu indikator
Kesehatan Rohani sebesar 5 %. Padahal keduanya
merupakan kejahatan luar biasa yang sangat berbahaya.
Kaidah fikiah juga berbunyi,

116
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

‫المور بمقاصدها‬
“Setiap perkara bergantung pada tujuannya”.

Warga binaan yang melakukan kejahatan luar


biasa merupakan manusia yang tidak takut akan dose
karena telah merugikan orang lain atau mengambil hak
orang lain. Bahkan sebagaian besar mereka tidak percaya
bahwa ada Tuhan Allah yang selalu melihat dan
memerhatikan setiap langkah yang diambil selama
menjalani kehidupan. Oleh karena itu, sudah seharusnya
langkah pertama yang dilakukan adalah mengembalikan
rasa khauf kepada Tuhan harus dimaksimalkan. Banyak
penelitian yang menyebutkan bahwa pemulihan spiritual
seseorang dapat memperbaiki perilakunya sehingga
perilaku tercela dapat ditahan oleh kepercayaan
spiritualitas terhadap Tuhan (Somboon, 2019).
Penelitian Deuchar dkk. (2015) juga membuktikan
bahwa tokoh agama baik pendeta maupun ustadz (baik
tokoh agama Kristen dan Muslim) dapat dan layak
memberikan bimbingan pribadi yang mendukung dan
mendorong warga binaan yang berusia muda untuk
belajar dari pengalaman masa lalu mereka yang rusak
untuk menyadari dan melihat bahwa mereka masih
memilki potensi sendiri untuk pertumbuhan dan
perkembangan dalam kerangka moral yang baik agar
menjadi pribai yang baik. Giordano dkk. (2008) dan
Nurden (2010) juga mengkonfirmasi bahwa warga
binaan pemasyarakatan merasa bahwa pertemuan mereka
dengan pendeta atau tokoh agama pada masing-masing
agama memberi mereka ruang yang aman di mana

117
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

mereka merasa didengar dan dihormati sebagai manusia


meskipuyn mereka sedang menjalani masa hukuman.
Haris (2017) menyatakan bahwa akal beserta
psikologi para pecandu, penyalahguna maupun korban
penyalahguna narkotika sesungguhnya rusak dan
terganggu dengan narkotika. Oleh karena itu, mereka
perlu didorong untuk pulih menggunakan pendekatan
spiritual. Karena pada dasarnya, pengaruh dan peran
spiritualitas pada pecandu, penyalahguna maupun korban
penyalahguna narkotika terbukti dengan stabil dapat
meningkatkan kesadaran akal budi sebagai manusia yang
bermartabat. Kemudian dengan pengaruh spiritual ini,
kegiatan keagamaan yang dilakukan dapat menjadi
benteng seorang manusia untuk tidak melakukan tindak
pidana narkotika. Selain itu, di dalam panduan modul
pembinaan kegiatan keagamaan yang diamanatkan
sangat terbatas, hanya berupa shalat berjamaah, ceramah
agama dan pembelajaran baca tulis al-Qur’an.
Seharusnya dengan memerhatikan kelima prinsip
maqa>sid syari>’ah, seperti hifz}u al-Di>}n, hifz}u al-‘Aql
warga binaan pemasyarakataan harus banyak diberikan
kegiatan pelatihan yang bersifat praktik keagamaan agar
nilai-nilai keagamaan tersebut tidak hanya disampaikan
sebagai muatan materi saja, tetapi juga dipraktikan agar
para warga binaan menjadi terbiasa dan dapat
melakukannya tanpa pembinaan setelah kembali
kemasyarakat.
Mears (2006) juga menyatakan bahwa Dalam
ranah peradilan pidana, program-program yang
dilaksanakan dan direncanakan di penjara digambarkan
sebagai program yang berbasis agama. Program ini telah
mencakup berbagai layanan dan kegiatan keagamaan di

118
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

berbagai penjara di Amerika. Bahkan lembaga


pemasyarakatan pertama dalam sejarahnya didirikan di
atas ide-ide keagamaan seperti mendorong para pendosa
untuk melakukan upaya penyesalan atas dosanya, dengan
demikian secara tidak langsung indikator spiritual telah
menjadi landasan yang seharusnya diperkuat dalam
pembinaan warga binaan di lembaga pemasyarakatan
(Johnson et al., 1997; McGarrell dkk., 1999; O'Connor &
Perreyclear, 2002)

2. Over Kapasitas Sumber Berbagai Kemudaratan di


Lembaga pemasyarakatan
Kondisi Lembaga pemasyarakatan dan Rumah
tahanan di Indonesia hingga saat ini masih dihadapkan
pada berbagai keterbatasan. Secara administratif,
Indonesia masih menyisakan keterbatasan fasilitas ruang
tahanan. Padahal jumlah krininalitas terus meningkat,
dan berdampak pada meningkatanya jumlah narapidana
dan tahanan setiap tahunnya (Roy, 2018: 2). Akibatnya
Lapas mengalami over kapasitas. Berdasarkan data yang
dikeluarkan oleh Kementrian Hukum dan HAM tahun
2019, menunjukan, dari sejumlah 522 Lapas dan Rumah
Tahanan Negara yang ada pada tahun 2019, hanya 113
lembaga yang mampu menampung narapidana sesuai
dengan kapasitas yang tersedia. Sedangkan 407 lembaga
lainnya menampung narapidana dengan jumlah yang
melebihi beban kapasistas ruang tahanan. Bahkan
dengan tingkat kepadatan yang beragam. Idealnya lapas
maupun rutan hanya dapat menampung 126.837
narapidana dan tahanan, namun pada Februari 2019
setiap lapas dan rutan harus menampung narapidana dan
tahanan hingga 257.851 orang. Jika dianalisis pada

119
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

setiap wilayah di Indonesia, dari 33 wilayah provinsi


hanya 3 wilayah provinsi yang tidak mengalami over
kapasitas, yaitu wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta,
Maluku dan Maluku Utara. Rutan maupun lapas di 30
provinsi lainnya semua mengalami over kapasitas
(Usman, et al., 2020: 436-444).
Problem over kapasitas ini juga terkonfirmasi di
Lembaga Pemasyrakatan Kelas II A Salemba, Daya
tampung lembaga pemasyarakatan ini sejatinya hanya
sebesar 250 hingga maksimal 500 orang warga binaan
pemasyarakatan, namun realitasnya jumlag warga binaan
Lembaga Pemasyrakatan Kelas II A Salemba kini sudah
mencapai lebih dari 2000 warga binaan. Lembaga
Pemasyaratakatan Perempuan Kelas II A Jakarta juga
mengalami over kapasitas dimana kapasitas yang
seharusnya adalah menampung 208 orang, namun
realitas di lapangan jumlah warga binaan yang ada
disana mencapai 361 orang warga binaan. Over kapasitas
merupakan suatu fenomena yang sangat bertentangan
dengan tujuan syariat atau maqa>sid syari>’ah. Negara
sebagai pengelola dan penanggun jawab pembinaan dan
pembimbingan warga binaan di lapas seharusnya
memerhatikan problematika klasik ini dengan serius
sehingga tidak terjadi berbagai kemudaratan di masa
depan. Sebagai mana kaidah fikiah berbunyi,

‫ال ضرر وال ضرر‬


“Jangan mengalami mudarat, dan jangan membuat
mudarat”.

120
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Kaidah turunan juga berbunyi bahwa,


‫الضرر يزال‬
“Kemudaratan harus dihilangkan”.

Over Kapasitas ini sesungguhnya tidak hanya


berdampak pada keterbatasan ruang tidur atau sel
tahanan untuk warga binaan di lembaga pemasyrakatan
namun juga mempengaruhi pengadaan dana dan
ketersediaan dana untuk makan, serta berbagai kegiatan
pembinaan. Oleh karena itulah, meski berstatus lembaga
pemasyarakatan milik Negara, lembaga ini tetap
membutuhkan dukungan sponsor dari eksternal maupun
masyarakat. Tercatat selama bertahun-tahun Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Salemba mempunyai
berbagai donator dari berbagai kalangan yang
menyokong pengadaan pembinaan baik pembinaan
kepribadian maupun kemandirian warga binaan
pemasyarakatannya. Meski demikian sejatinya hal ini
dapat terus menjadi momok sangat sangat merugikan
bagi warga binaan. Kekurangan dana untuk pembinaan
adalah problem yang sangat sensitive, karena donator
atau sponsor eksternal sifatnya tidak permanen.
Nichols (2016) juga menyatakan bahwa
pendidikan bagi narapidana di penjara tidak akan dapat
membaik jika kendala ketersediaan guru atau pembina di
lembaga pemasyarakatan tidak seimbang, masalah
keuangan dan kebijakan yang tidak harmonis dengan
kebutuhan realitas di lapangan tidak diselesaikan. Illat
dari problematika ini adalah ‫ ضرر‬berupa keengganan
pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM
beserta jajarannya untuk disiplin dan taat terhadap

121
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

distribusi warga binaan di lembaga pemasyarakatan.


Perbandingan antara 500 kapasitas dengan realisasi 2000
warga binaan dipaksakan untuk ditampung dalam satu
adalah hal yang tidak wajar.
Tidak hanya itu, overkapasitas juga dapat
menimbulkan berbagai permasalahan turunan lainnya,
seperti akan muncul ketidak seimbangan antara jumlah
petugas pemasyarakatan dan fungsional seperti, guru
pembina, apoteker, dokter, psikolog, psikiatri dan lain-
lain dengan jumlah warga binaan. Hal ini akan
mendorong munculnya berbagai dilemma, seperti
kurangnya perhatian petugas secara maksimal terhadap
seluruh warga binaan. Mendiamkan problematika over
kapasitas secara logika sama dengan membuka berbagai
kemudaratan dalam berbagai aspek di masa depan.
Problematika-problematika ini pada akhirnya jelas
menghalangi terwujudnya prinsip prinsip maqa>sid
syari>’ah, diantaranya hifz}u al-Nafs. Salah satu contohnya
adalah warga binaan pesantren Darul Ulum Lembaga
Pemasyrakatan Kelas II A Salemba harus tidur dan
beristirahat di aula dengan jumlah mencapai 200 orang
karena over kapasitas. Mereka tidak bisa ditempatkan di
sel tahanan atau kamar tahanan akibat dari nihilnya
ketersediaan ruangan. Padahal hampir sebagian besar
warga binaan santri ini adalah narapidana dengan latar
belakang kasus narkotika. Rehabilitasi bagi pecandu,
penyalahguna, dan korban penyalahguna bukan perkara
sepele. Meski berada di lembaga pemasyarakatan
seharusnya mereka juga mendapat pembimbingan yang
layak sebagaimana korban narkotika lainnya di Badan
Narkotika Nasional bisa hidup dalam rehabilitasi yang
suportif dengan berbagai fasilitas yang memadai.

122
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Momok ini juga merupakan problematika berlapis,


pertama rehabilitasi di penjara merupakan rehabilitasi
paksaan, kedua keterbatasan fasilitas terutama sarana-
prasarana dan keuangan bagi pecandu penyalahguna, dan
korban penyalahguna dengan rehabilitasi paksaan akan
menyebabkan berbagai ‫ ضرر‬di kemudian hari.
Kaidah fikiah turunan selanjutnya juga
menegaskan bahwa,

‫الضرر ال يكون قديما‬


“Kemudaratan itu ada awal mulanya”.

Problematika over kapasitas ini tidak hanya


berasal dari ranah pratiknya saja, namun juga dari hulu
atau dari sumber kebijakan tentang tata cara dan
pelaksanaan pembinaan dan pembimbingan di lembaga
pemasyarakatan. Jika kebijakan tentang over kapasitas
tidak diharmonisasikan di dalam undang-undang maupun
di dalam kebijakan tata laksana dibawahnya, maka
masalah ini akan terus menggerogoti setiap lembaga
pemasyarakatan di Indonesia. Pembinaan warga binaan
akan terhambat dan tantangan ini akan terus jadi
bayang-bayang ancaman residivis narapidana
dikarenakan tidak terpenuhinya pembinaan secara
komprehensif.

3. Dilema Keterbatasan dan Ketiadaan Tenaga


Fungsional
Dilema keterbatasan jumlah tenaga fungsional
kesehatan di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan

123
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Perempuan Kelas II A Jakarta seharusnya dapat menjadi


peringatan maupun pengingat bagi Kementerian Hukum
dan HAM secara khusus maupun Pemerintah Secara
Umum. Berdasarkan laporan tahunan Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta pada
tahun 2020, lembaga ini menargetkan pelaksanan
layanan rehabilitasi narkotika kepada sebanyak 200
orang warga binaan pemasyarakatan, dan layanan
rehabilitasi social bagi 100 orang warga binaan lainnya.
Jika diperhatikan jumlah target layanan kepada warga
binaan tidak seimbang dengan jumlah tenaga medis
maupun tenaga fungsional yang tersedia. Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta hanya
memiliki 3 orang dokter umum, 1 orang apoteker, dan 1
orang perawat. Bahkan lembaga pemasyarakatan ini
tidak memiliki satu orang pun ahli gizi dan psikolog
maupun psikiater. Target dan Realitas di lapangan
sangat bertentangan. Bukan hanya itu, jika jumlah
ketersediaan tenaga fungsional ini dibandingkan dengan
jumlah warga binaan yang mencapai 361 orang maka
akan semakin tampak bahwa lembaga pemasyarakatan
ini tidak dapat menjalankan pembinaan, layanan maupun
pembimbingan yang efektif dan baik bagi warga
binaannya.
Normalnya meski warga binaan di lembaga
pemasyarakatan merupakan narapidana dengan
rehabilitasi paksaan, seharusnya hal ini tidak menjadikan
isu kekurangan tenaga medis maupun sarana prasarana
medis untuk detokvikasi diabaikan begitu saja.
Sebagaimana di dalam kaidah fikiah disebutkan,

124
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

‫الممتنع عاَة كالممتنع حقيقة‬


“Sesuatu yang menjadi halangan secara adat sama
kuat dengan yang hakiki”.

Jika di Badan Narkotika Nasional para pecandu


narkotika mendapatkan layanan maksimal dalam
rehabilitasinya, seharusnya pecandu, penyelahguna dan
korban penyalah guna narkotika di lembaga
pemasyarakatan manapun juga mendapatkan perlakuan
yang sama dan seimbang meski pada dasarnya mereka
menjalankan rehabilitasi paksaan dengan tuntutan
hukum. Ditambah lagi, kebanyakan penyalahguna
narkotika yang ada di lembaga pemasyarakatan dapat
bertemu dengan Bandar narkotika di Lembaga
Pemasyarakan, sehingga seharusnya rehabilitasi social
harus difasilitasi dengan baik oleh lembaga. Mustahil
rehabilitasi social dapat terlaksana tanpa ketersediaan
psikolog, psikiater, maupun konselor.
Jika di dalam kaidah fikiah disebutkan bahwa,

‫الحاجة تنزل منزلة الضرورة‬


“Kebutuhan sekunder (al-hājah) dapat naik ke
tingkat primer (al-darūrah)”.

Maka jika keberadaan, ahli Gizi, Psikolog,


konselor, maupun psikiater di lembaga pemasyarakatan
bukanlah kebutuhan primer, dikarenakan illat atau alasan
“lembaga pemasyarakatan bukan lembaga khusus
rehabilitasi bagi pecandu narkotika sebagaimana Badan

125
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Narkotika Nasional, seharusnya dengan ditetapkan


target rehabilitasi social maupun medis mencapai 300
orang, penyediaan tenaga fungsional yang berkaitan
dengan proses rehabilitasi ini adalah sebuh kebutuhan
yang mendesak dan menaikan derajat kebutuhan pada
tingkatan al-darūrah. Kebutuhan ini tidak hanya
dilatarbelakangi oleh target, karena pada dasarnya juga
dilatarbelakangi oleh jumlah warga binaan yang harus
dilayani mencapai 361 orang. Jumlah ini seharusnya
sudah dijadikan acuan bagi pengadaan tenaga fungsional
di Lembaga pemasyarakatan Perempuan Kelas II A
Jakarta.
Kemudian sebagaimana yang disebutkan oleh
Nichols (2016) bahwa tujuan mendasar dari pemenjaraan
bukan hanya untuk menghukum dan mengurung namun
juga untuk memenuhi hak setiap warga binaan
pemasyarakatan akan rehabilitasi agar dapat pulih dan
siap kembali ke masyarakat. Porpora, dkk. (2010) juga
menegas bahwa penjara tidak hanya kurungan namun
juga dimaksudkan untuk rehabilitasi dan tindakan
korektif penyakit sosial narapidana (warga binaan).
Bahkan juga menurut Prinsip kelima Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Prinsip Dasar Perlakuan
terhadap Narapidana menjelaskan bahwa “Kecuali untuk
pembatasan yang secara nyata diharuskan oleh fakta
penahanan, semua narapidana harus mempertahankan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang ditetapkan
dalam Deklarasi Universal tentang Hak Kemanusiaan”.
Pemenuhan ketersediaan tenaga fungsional bagi
warga binaan pemasyarakatan juga merupakan
pemenuhan hak mereka untuk dapat menjaga akal atau
melindungi prinsip maqa>sid syari>’ah, hifz}u nafs dan

126
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

hifz}u aql. Sebagai manusia yang menjalani masa


hukuman dan rehabilitasi di penjara, proses ini tidak
mungkin bisa dijalani tanpa bantuan professional.
Karena pada dasarnya petugas pemasyarakatan bukan
professional kejiwaan maupun kesehatan yang
bertanggung jawab untuk membimbing warga binaan
dalam menjalani rehabilitasi social maupun kesehatan.
Dengan demikian, sudah selayaknya warga binaan
pemasyarakatan berhak atas rehabilitasi sosial dengan
segara fasilitas pendukungnya baik sarana prasarana
maupun bantuan dari tenaga fungsional di penjara. Dan
pada akhirnya problematika ini merupakan tanggung
jawab otoritas negara untuk memastikan bahwa semua
narapidana di penjara dapat dilayani dengan baik agar
saat kembali ke masyarakat, warga binaan sudah berada
dalam keadaan pulih, siap, dan tidak mengulangi
kejahatannya kembali.

B. Aktualisasi Prinsip-prinsip Maqa>s}id Syari>’ah di dalam


Tajhiz Janazah
Agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pembinaan dan pembimbingan rehabilitasi dan pemulihan
warga binaan pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan.
Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa model
program berbasis keimanan dapat merangsang warga binaan
berperilaku lebih baik dan pulih untuk menjadi peribadi baik di
tengah masyarakat. Namun salah satu hambatan yang terjadi di
Indonesia adalah scoring indicator ketaqwaan dan kesehatan
jasmani pada beberapa kasus narapidana sangat rendah.
Padahal kasus yang menyebabkan warga binaan dipenjara
adalah kasus luar biasa yang seharusnya butuh perhatian
khusus. Sebenarnya berdasarkan modul pembinaan warga

127
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

binaan pemasyarakatan di Lembaga pemasyarakatan maupun


rumah tahanan Negara telah diamanatkan agar indicator
spiritualitas berada pada angka prioritas. Namun kegiatan
standard program keagamaan yang diamanatkan masih bersifat
individualistic atau belum merangsang munculnya perilaku
social seperti kerjasama dan praktik secara berjamaah. Program
keagamaan seperti shalat, ceramah, baca tulsi al-Qur’an dan
lainnya masih kental dengan sifat individualisme, karena
pahalanya dan dalam prakteknya bersifat individu, bukan untuk
mendatangkan kemaslahatan bersama secara komunal di
masyarakat.
Oleh karena itu, berdasarkan dorongan urgensi kegiatan
fard}u kifa>yah dalam agama Islam, penelitian ini dilakukan
dengan mengadakan pelatihan yang bersifat eksperimental
tajhi>z jana>zah kepada warga binaan pemasyarakatan di tiga
lembaga yaitu, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Bandar Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas
IIA Jakarta, dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta. Sebagai pembanding, maka warga binaan di Lembaga
Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung tidak
diberikan pre-test dan post-test dalam rangkaian pelatihan ini.
Pelatihan ini merupakan pelatihan yang berhasil merangsang
pengetahuan warga binaan tentang fikih kematian di dalam
Islam. Pelatihan disampaikan dengan tiga tahapan yang
pertama warga binaan pemasyarakatan melaksanakan pre-test
dan post-test pengetahuan seputar tajhiz jana>zah, kemudian
warga binaan mendapatkan materi ceramah interaktif seputar
fikih maut dan tajhiz jana>zah, serta yang terakhir warga binaan
melihat dan ikut berpartisipasi dalam melakukan kegiatan
tajhi>z jana>zah dengan dipandu oleh pembina kegitan pelatihan
eksperimen. Hasil pre-test warga binaan pemasyarakatan di
dua lembaga menunjukkan bahwa, warga binaan tergolong

128
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

sebagai muslim awam tentang pengetahuan kegamaan seputar


fikih maut dan tajhi>z jana>zah.\

Grafik 4.1. Pre-Test Fikih Maut dan Tajhi>z Jana>zah kedua


lembaga pemasyarakatan

Pre-Test Fikih Maut dan Tajhiz


Jenazah pada kedua lembaga
pemasyarakatan
4,2 Presentasi test
dijawab salah
9,6
Presentasi test
dijawab benar

Sumber: Hasil olah data pre-test oleh penulis

Grafik 4.2. Post-Test Fikih Maut dan Tajhi>z Jana>zah kedua


lembaga pemasyarakatan

Post-Test Fikih Maut dan Tajhiz Jenazah


pada kedua lembaga pemasyarakatan
1,2

Presentasi test
dijawab salah
9,8 Presentasi test
dijawab benar

Sumber: Hasil olah data post-test oleh penulis

129
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Latihan Fikih Maut dan Tajhiz Jenazah


pada Lembaga Pemasyarakatan
Perempaun Kelas II A Bandar Lampung
3,2 Presentasi test
dijawab salah
8,2
Presentasi test
dijawab benar

Sumber: Hasil olah data latihan oleh penulis

Berdasarkan analisis data tes kepada warga binaan


pemasyarakatan terlihat bahwa hasil pembinaan warga binaan
pemasyarakatan yang diberikan pre-test dan post-test setelah
ceramah interaktif seputar fikih maut dan tajhi>z jana>zah, serta
mengikuti pelatihan eksperimen tajhi>z jana>zah di lembaga
pemasyarakatan, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan
Kelas IIA Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA
Salemba Jakarta lebih tinggi dari warga binaan
pemasyarakatan di yang hanya mengikuti pembinaan pelatihan
tajhi>z jana>zah dengan metode biasa (tanpa diberikan pre-test
dan post-test). Warga binaan pemasyarakatan yang diberikan
pre-test dan post-test nilai rata-ratanya (9.8) lebih tinggi dari
warga binaan pemasyarakatan yang hanya mengikuti
pembinaan pelatihan tajhi>z jana>zah dengan metode biasa (3.2).
Adanya perbedaan hasil pembinaan tersebut merupakan
pengaruh dari perlakuan yang diberikan kepada dua lembaga,
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta, Dan
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta yang
mengikuti pelatihan eksperimen. Pemberian metode pre-test
dan post-test dalam proses pembinan dengan pelatihan kepada

130
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

warga binaan pemasyarakatan dapat dijadikan sebagai pengatur


kemajuan belajar (Advance Organizations) warga binaan yang
berfungsi sebagai penghubung antara apa yang sedang
dipelajari warga binaan ”saat ini” dengan apa yang akan
dipelajari setelahnya, sehingga warga binaan pemasyarakatan
akan lebih mampu memahami bahan pelatihan secara mudah.
Metode ini bisa mengukur sejauhmana kesiapan warga
binaan pemasyarakatan terhadap materi yang akan diajarkan
oleh pembina dan juga melihat sejauhmana hasil atau
kemampuan yang sudah dicapai warga binaan pemasyarakatan
selama pelatihan berlangsung (Ausubel, 1960: 267–272).
Sesuai dengan pendapat Ausubel bahwa siswa akan belajar
dengan baik jika apa yang disebut dengan Advance
Organizations didefenisikan dan dipresentasikan dengan baik”
Pengatur kemajuan belajar siswa yang merupakan konsep atau
informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi
pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa. Pemberian metode
pre-test dan post-test pada siswa akan menuntun siswa kepada
tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami materi
atau bahan pelajaran dengan baik pada proses belajar.
Dengan pelaksanaan pre-test warga binaan
pemasyarakatan sebelumnya harus memiliki persiapan akan
bahan atau materi yang akan diterima sehingga proses
pengintegrasian atau penyatuan (asimilasi) bahan yang sudah
dikuasai warga binaan pemasyarakatan dengan bahan atau
materi yang baru diajarkan dapat membuat perkembangan
warga binaan pemasyarakatan lebih baik atau penyesuaian
(akomodasi) materi pelatihan tajhi>z jana>zah yang sudah
dikuasai warga binaan pemasyarakatan dengan materi yang
akan diajarkan. Pembinaan spiritual kepada warga binaan
perempuan di Lapas Perempuan Bandar Lampung dilaksanakan
melalui pelatihan tajhi>z jana>zah. Melalui pelatihan ini, warga

131
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

binaan diajarkan untuk memahami islam dari sudut pandang


Fikih kematian. Implementasi dari pengenalan akan Fikih
kematian ini akan menuntun warga binaan mengenal bahwa
Islam mengajarkan kepada seluruh manusia semuanya pasti
akan mengalami kematian, dan tidak ada satu manusia pun di
dunia ini yang dapat mengetahui kapan waktunya kematian
menjemput. Dalam Islam kematian ada dua cara yaitu husnul
khatimah dan su’ul khatimah, husnul khatimah berarti
kesudahan yang baik yaitu kematian dalam keadaan iman
kepada Allah, sehingga berpeluang masuk syurga. Sedangkan
suul khatimah sebaliknya yaitu kematian dalam keadaan tidak
baik. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Surat al-Zumar
ayat 30 “Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya
mereka akan mati (pula)”. Dan surat ali-Imran ayat 185 “Tiap-
tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya
pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam
syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu
tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.
Sebelum menyelenggarakan peragaan memandikan
jenazah dan mengkafani jenazah, warga binaan juga dibekali
pendalaman pemahaman tentang konsep manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah yang ditempatkan pada derajat yang
tinggi. Oleh karena itu, melalui konsep ini, Warga binaan
diberikan untuk tidak takut akan kematian, karena Syariat
Islam sangat menghormati setiap muslim yang telah meninggal
dunia (Sudirman, 2006: 61). Oleh sebab itu warga binaan
diajarkan untuk memberikan perhatian khusus kepada muslim
yang telah meninggal dunia dengan spirit bahwasanya sesama
muslim adalah saudara bagi muslim lainnya yang masih hidup
dengan menyelenggarakan jenazah muslim yang sudah
meninggal dunia. Pemahaman ini didukung dengan

132
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

mengajarkan warga binaan hadis Rasulullah tentang urgensi


pelaksanaan memandikan jenazah bagi umat muslim. Hadist ini
merupakan hadis shahih yang di riwayatkan oleh Ummu
Athiyah ra, yang artinya: Ia berkata, Nabi S.A.W menjumpai
kami, ketika kami sedang memandikan putri beliau. Beliau
bersabda: Mandikanlah ia tiga kali atau lima kali atau lebih
banyak lagi bila menurut kalian hal itu perlu, dengan air dan
daun bidara. Dan pada basuhan terakhir bubuhkanlah kapur
barus atau sedikit kapur barus. Kalau kalian sudah selesai,
beritahukanlah aku. Ketika kami selesai, kami memberitahu
beliau, lalu beliau memberikan kain beliau kepada kami seraya
bersabda: Pakaikanlah ini padanya.
Selanjutnya pelatih juga menyampaikan bahwasanya
penyelenggarakan jenazah adalah kewajiban pertama setiap
muslim terhadap saudaranya yang telah meninggal dunia.
Orang yang lebih berhak menyelenggarakan jenazah adalah
mahramnya. Jika mahramnya tidak ada atau jika belum mampu
memandikannya maka dapat diserahkan kepada orang yang
dapat dipercaya dalam menjaga kerahasiaan jenazah. Jika
jenazahnya laki-laki maka yang memandikan laki-laki, dan
boleh Wanita memandikannya jika ia adalah istrinya atau
ibunya atau saudaranya atau putrinya, dan jika wanita maka
yang memandikan adalah Wanita, dan boleh laki-laki
memandikannya jika ia adalah suaminya atau ayahnya atau
saudaranya atau putranya.
Materi pendalaman tentang urgensi penyelenggaraan
jenazah yang dipakai oleh pelatih juga bersumber dari berbagai
buku fiqih yang relevan dan mumpuni dikalangan para
cendikiawan muslim, salah satunya buku Ensiklopedia
Indonesia karangan Hasan sadiliy. Pemakaian ini diharapkan
dapat memudahkan warga binaan yang berlatar belakang
pendidikan yang berbeda tingkat dapat memahami tajhi>z

133
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

jana>zah dengan mudah. Selama pelatihan warga binaan diajak


untuk mengenal makna kata jenazah, menurut Hasan Sadiliy,
yaitu memiliki makna seseorang yang telah meninggal dunia
yang sudah terputus masa kehidupannya dengan alam dunia ini
(Shadily, 1982). Disampaikan juga bahwa di dalam kamus al-
Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai seseorang yang
telah meninggal dunia dan diletakkan dalam usungan. Setiap
orang muslim yang meninggal dunia wajib dimandikan,
dikafani dan di disholatkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan
terkecuali bagi orang-orang yang mati syahid. Hukum
memandikan jenazah orang muslim menurut jumhur ulama
adalah fardhu kifayah (Munawwir, 1997: 215). Kata ini
bersinonim dengan al-mayyit (Arab) atau mayat (Indonesia).
Karenanya, Ibn al-Faris memaknai kematian (al-maut) sebagai
peristiwa berpisahnya nyawa (ruh) dari badan (jasad).
Kemudian warga binaan diberikan modul yang memuat
tata cara, bacaan dan do’a-do’a yang dibaca saat memandikan
jenazah, mengkafani jenazah dan menyolatkan jenazah.
Pelaksanaan tajhi>z jana>zah yang dilaksanakan di Lembaga
Pemasyarakatan kelas IIA Bandar Lampung menggunakan alat
peraga boneka manusia yang berukuran kecil, dengan jumlah
banyak, agar setiap warga binaan dapat memandikan peraga
jenazah tersebut masing-masing. Penggunaan boneka peraga
manusia yang berukuran lebih kecil merupakan pilihan yang
praktis dan efisian. Dana yang dikeluarkan lebih sedikit dari
pada dana untuk mengadakan peraga manusia dengan boneka
yang berukuran seperti manusia. Kemudian warga binaan
dibekali dengan perlengkapan mengkafani yang praktis, dimana
mereka melakukan pengukuran kain kafan dan pemotongan
kafan sendiri disesuaikan dengan peraga jenazah yang
berukuran kecil.

134
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Gambar 4.1. Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Bandar Lampung

Sedangkan warga binaan di dua lembaga lainnya yaitu


Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Jakarta dan
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Salemba menggunakan
alat peraga yang ukurannya besar hampir seperti manusia
remaja.

Gambar 4.2. Penyelenggaraan Pelatihan tajhi>z jana>zah Lembaga


Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Jakarta

135
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Gambar 4.3. Penyelenggaraan Pelatihan tajhi>z jana>zah di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba Jakarta

Setelah melakukan praktik memandikan dan mengkafani


janazah, warga binaan kembali mendapatkan pengayaan
tentang hikmah yang terkandung dalam tajhi>z jana>zah di dalam
kehidupan. Pengajaran dan pembiasaan pelatihan
menyelenggarakan jenazah merupakan salah satu nilai-nilai
spiritual yang sangat bermanfaat bagi warga binaan di ketiga
lembaga pemasyarakatan. Melalui pembinaan nilai-nilai
spiritual di dalam penyelenggaraan jenazah, para warga binaan
diajarkan menghargai manusia sebagai ciptaan Allah yang
terbaik yang tidak boleh disakiti. Hikmah yang dapat diambil
dari tata cara pengurusan jenazah, antara lain (Yunita dan
Valentine, 2020: 289-308).\
a. Memperoleh pahala yang besar.
b. Menunjukkan rasa solidaritas yang tinggi diantara
sesama manusia.
c. Membantu meringankan beban keluarga jenazah dan
sebagai ungkapan belasungkawa atas musibah yang
dideritanya

136
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Islam melindungi lima hak esensial manusia berdasarkan


prinsip maqa>s}id al-syari>‘ah. Maqa>s}id al-syari>‘ah merupakan
hak asasi manusia yang harus dipertahankan oleh masyarakat
bagi para narapidana di lapas. Hak tersebut adalah; pelestarian
agama (al-di>n), pelestarian jiwa (al-nafs), pelestarian keturunan
dan atau kehormatan (al-nasl), pemeliharaan harta (al-mal), dan
perlindungan intelektual (al ‘aql). Inilah hak fundamental yang
harus dilindungi oleh masyarakat tanpa memandang ras,
agama, dan jenis kelamin (Al-Qur'an, 4:29). Kesucian hidup
manusia dilindungi dalam Islam terlepas dari apakah mereka
seorang Muslim atau non-Muslim. Hukum ini dianggap sebagai
prinsip universal (Al-Syâthibî, 2003: 43). Pada kesempatan
lain, Al quran menerangkan di dalam Surat al-Maidah ayat 32
bahwa pelestarian kehidupan manusia menyiratkan keamanan
hidup dari serangan apa pun, yang menyebabkan kematian,
tetapi juga perlindungan kehidupan dari kerusakan mental dan
fisik seperti pelecehan dan penyiksaan. Pelestarian berupa
penyelamatan seseorang dari pembunuhan dan upaya agar tidak
dirugikan, disiksa dan dianiaya secara tidak adil juga
merupakan pelestarian hidup. Di dalam Surat al-Baqarah ayat
190 Al-quran dengan tegas menasihati umat manusia untuk
tidak melampaui batas bahkan dalam konteks perang.
Selain itu, Pembinaan spiritual melalui pelatihan tajhi>z
jana>zah mempunyai orientasi pada peningkatan penerimaan
diri narapida (hifzu al nasl) di tengah masyarakat. Tim Peneliti
menemukan beberapa peningkatan dalam pribadi peserta
pelatihan, diantaranya yaitu, pertama Hifz}u al-Di>n, tajhi>z
jana>zah sebagai faktor religius yang melatih warga binaan
untuk meningkatkan pendekatan diri kepada Allah dan
Rasulullah. Pasca kegiatan ini warga binaan dapat
melaksanakan berbagai ibadah sunnah selama bulan Ramadhan

137
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

dengan lebih baik, seperti shalat berjamaah, dan membaca al-


Qur’an.
Peningkatan Hifz}u al-Di>n melalui tajhi>z jana>zah ini
dapat mengurangi tingkat kekambuhan warga binaan
mengulangi tindak kejahatan yang serupa (residivis), melatih
warga binaan untuk menjadi warga negara yang baik dan
muslim yang memiliki religious skill for practice
penyelenggaraan jenazah yang merupakan salah satu syiar
agama. Tajhi>z jana>zah hukumnya fardu kifayah bagi kaum
muslimin, sehingga skill ini dapat melatih warga binaan
menjadi muslim yang dapat menerbar manfaat bagi masyarakat
muslim yang lain (Johnson, dkk., 1997: 145-166).
Kedua Hifzu al-’aqal, kegiatan tajhi>z jana>zah dalam
prakteknya juga melatih kreativitas dan peran otak kanan
warga binaan dengan pendekatan Kognitif-psikomotorik dan
spiritualitas melalui menghafalkan doa-do’a dan hadist hadist
terkait dengan tajhi>z jana>zah (Pelani, dkk., 2018: 444-458).
Ketiga Hifzu al-Nasl, kegiatan tajhi>z jana>zah menjadi salah
satu faktor religius berupa social skill yang menjadi salah satu
pendukung penerimaan diri warga binaan. Warga binaan
menjadikan pengalaman negatif nya mendapatkan hukuman
tahanan dan menjadi narapidana menjadi pelajaran positif
dimana selama masa tahanan warga binaan mampu melatih diri
dengan social skill (tajhi>z jana>zah) yang bermanfaat bagi
masyarakat setelah keluar dari penjara (Ardilla dan Herdiana,
2013: 1-7).
Pelatihan penyelenggaraan Jenazah sangat sejalan
dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya agar selalu
ingat akan mati. Pelatihan bagi warga binaan di Lapas
Perempuan kelas IIA Bandar Lampung dilaksanakan tiga hari
sebelum puasa Ramadhan. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan tekad dan semangat warga binaan untuk ikhlas

138
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

dalam melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh (Abidin,


2020). Pelatihan ini juga meningkatkan kepedulian antara
sesama warga binaan dalam kondisi sakit. Sebagaimana Islam
juga menganjurkan umatnya untuk mengunjungi orang yang
sedang sakit menghibur mendo’akan dan menyelenggarakan
jenazahnya. Apabila seseorang telah meninggal dunia,
hendaklah seorang dari mahramnya yang paling dekat dan
sama jenis kelaminnya melakukan kewajiban yang mesti
dilakukan terhadap jenazah, yaitu memandikan, mengkafani,
menyalatkan dan menguburkannya (Sholikhin, 2010).
Pembinaan moral skill dan religius skill merupakan
implementasi dari semangat hifzu al-Mal yang berguna untuk
mata pencaharian dan kebermanfaatan warga binaan di
masyarakat. Karena ditemukan beberapa petugas lembaga
pemasyarakatan yang tidak menguasai keterampilan untuk
memberikan pelatihan yang menunjang skill yang dapat
digunakan sebagai mata pencaharian bagi warga binaan. Tidak
semua lembaga pemasyarakatan perempuan mempunyai dana
untuk mengundang instruktur kegiatan keterampilan kerja
dengan pendekatan spiritual. Selain itu, sarana dan prasarana
pelatihan yang tersedia di lapas perempuan juga tidak
semuanya memadai. Bahkan lapas belum dapat mengadakan
kegiatan yang mengajarkan pemasaran hasil keterampilan
dengan baik (Saniastini and Nyoman, 2018: 1-16). Oleh karena
itu, tim peneliti mendorong pembinaan spiritual sebagai bentuk
dukungan kepada warga binaan untuk meningkatkan kualitas
hidupnya melalui pelatihan tajhi>z jana>zah yang dapat
diimplementasikan sebagai bekal untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik di lingkungan masyarakat.
Pelatihan tajhi>z jana>zah merupakan penerapan
perlindungan intelektual (al ‘aqal) bagi warga binaan
perempuan di Lapas Perempuan Bandar Lampung. Hal ini

139
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

dikarenakan masih ditemukannya “labeling penjahat” yang


diterima oleh mantan napi Lapas Perempuan Bandar Lampung
dari masyarakat yang membuat mereka kesulitan untuk
kembali beradaptasi dengan masyarakat terutama untuk
berhenti melakukan tindakan kejahatan. Labelling yang
diberikan berbagai kalangan di masyarakat terhadap mantan
napi atau pelaku kejahatan membuat banyak dari mereka yang
pada awalnya ingin berubah menjadi kesulitan untuk
beradaptasi dan tidak dapat diterima oleh masyarakat
(Handoyo. 2014: 1-6). Warga binaan yang terlatih
menyelenggarakan jenazah akan lebih mudah bergaul di
masyarakatnya, diharapkan dapat mengurangi stigma negatif
masyarakat terhadap mantan warga binaan.

140
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

A. Kesimpulan
enelitian ini menganalisis model pembinaan
spiritual narapidana melalui tajhi>z jana>zah di
lembaga pemasyarakatan Indonesia di tiga
lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia, yaitu
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta dalam kajian maqāṣid al-syarī’ah. Setelah proses
penelitian, disimpulkan bahwa kegiatan pembinaan dan
pembimbingan warga binaan di rumah tahanan maupun
lembaga pemasyarakatan terbagi menjadi dua bentuk, (1)
Program Kepribadian dan (2) Program Kemandirian. Kedua
bentuk program pembinaan ini, masing-masing memiliki
indikator-indikator yang spesifik yang harus dilaksanakan
dalam bentuk program maupun kegiatan wajib bagi setiap

141
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

warga binaan pemasyarakatan. Kemudian penelitian ini juga


menyimpulkan, bahwa :
Pertama, pelaksanaan dan optimalisasi pembinaan warga
binaan pemasyarakatan di ketiga lembaga pemasyarakatan
yaitu Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA Bandar
Lampung, Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIA
Jakarta, Dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Salemba
Jakarta masih terhambat oleh beberapa kendala diantaranya,
(1) persentasi bobot skoring indikator spiritual yang rendah, (2)
over kapasitas sumber berbagai kemudaratan di lembaga
pemasyarakatan, dan (3) dilema keterbatasan dan ketiadaan
tenaga fungsional
Kedua, aktualisasi maqāṣid al-syarī’ah melalui tajhi>z
jana>zah di lembaga pemasyarakatan Indonesia berorientasi
pada, (1) peningkatan penerimaan diri narapida di tengah
masyarakat. Peningkatan dalam pribadi peserta pelatihan
ditemukan, diantaranya yaitu, pertama hifz}u al-di>n, tajhi>z
jana>zah sebagai faktor religius yang melatih warga binaan
untuk meningkatkan pendekatan diri kepada Allah dan
Rasulullah. Pasca kegiatan ini warga binaan dapat
melaksanakan berbagai ibadah sunnah selama bulan Ramadhan
dengan lebih baik, seperti shalat berjamaah, dan membaca al-
Qur’an. Peningkatan hifz}u al-di>n melalui tajhi>z jana>zah ini
dapat mengurangi tingkat kekambuhan warga binaan
mengulangi tindak kejahatan yang serupa (residivis), melatih
warga binaan untuk menjadi warga negara yang baik dan
mengimplementasikan pancasila serta muslim yang memiliki
religious skill for practice penyelenggaraan jenaah yang
merupakan salah satu syiar agama. (2) pelatihan tajhi>z jana>zah
merupakan penerapan perlindungan intelektual (hifz}u al-‘aql)
bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan, (3) kegiatan
tajhi>z jana>zah mampu menerapkan hifz}u al-’aql, dalam

142
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

prakteknya karena mampu melatih kreativitas dan peran otak


kanan warga binaan dengan pendekatan Kognitif-psikomotorik
dan spiritualitas melalui menghafalkan doa-do’a dan hadist
hadist terkait dengan tajhi>z jana>zah. (4) kegiatan tajhi>z jana>zah
menjadi salah satu faktor religius berupa social skill yang
menjadi salah satu pendukung penerimaan diri warga binaan
sehingga mereka akan lebih mudah untuk mengamalkan hifz}u
al-nasl. Warga binaan menjadikan pengalaman negatif nya
mendapatkan hukuman tahanan dan menjadi narapidana
menjadi pelajaran positif dimana selama masa tahanan warga
binaan mampu melatih diri dengan social skill (tajhi>z jana>zah)
yang bermanfaat bagi masyarakat setelah keluar dari penjara.
(5) pembinaan warga binaan melalui tajhi>z jana>zah merupakan
implementasi dari semangat hifzu al-mal yang berguna untuk
mata pencaharian dan kebermanfaatan warga binaan di
masyarakat. Karena ditemukan beberapa petugas lembaga
pemasyarakatan yang tidak menguasai keterampilan untuk
memberikan pelatihan yang menunjang skill yang dapat
digunakan sebagai mata pencaharian bagi warga binaan.

B. Saran
Pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan di seluruh lembaga pemasyarakatan di
Indonesia masih membutuhkan perhatian dari pemerintah baik
dari tataran regulasi, praktik hingga anggaran. Rendahnya
skoring pemenuhan indikator ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan kesehatan jasmani serta rohani, kemudian
ketiadaan ketersediaan tenaga fungsional seperti Pembina
spiritual tetap, ahli gizi, psikolog dan psikiater dan
problematika over kapasitas di lembaga pemasyarakatan harus
menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat. Support
dari masyarakat dan swasta terhadap lembaga pemasyarakatan

143
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

berupa penggalangan dana membuktikan bahwa anggaran


untuk pembinaan warga binaan belum maksimal di Indonesia.
Tema penelitian pembinaan dan pembimbingan warga binaan
pemasyarakatan masih membutuhkan pengembangan lebih
intensif lagi, oleh karena itu Tim Peneliti memberikan
rekomendasi kepada peneliti selanjutnya agar dapat melakukan
penelitian tentang: (1) pembinaan warga binaan kejahatan
khusus terorisme dan korupsi di Lembaga Pemasyarakatan
yang ada di daerah lain di Indonesia, (2) melakukan penelitian
komparatif antara pelaksanaan pembinaan pelaku
penyalahgunaan narkotika dengan rehabilitasi pelaksanaan di
lembaga pemasyarakatan di Indonesia dan lembaga
pemasyarakatan di luar negeri.

144
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Daftar Pustaka

Abidin, Z. (2020). Fiqh Ibadah. Deepublish.


Abu al-Fidā` Ismail Bin Umar Bin Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-
‘Aẓīm, tahkik Sāmi Muhammad Salāmah (t.t.p.: Dār aṭ-
Ṭaybah, cet. 2, 1420H/1999M), jilid IV, h. 560
Abu Daud and Sulaiman bin al-Asy’ats. (1985) Sunan Abu
Daud. Al Maktabah Asy-Syamilah. Cet ke-5 Beirut: Dar
Al-Fikr.
Ahmad Warson Munawwir. "Kamus al-Munawwir." Surabaya:
Pustaka Progressif (1997), h. 215.
al-Asyqar, Umar Sulayman, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmiy (t.t.p:
Dār an-Nafā`is, t.t.), h. 16
al-Bu>t}i>, Muhammad Sa’i>d Ramd}a>n, D}awa>bit} al-Mas}lah}ah fi> al-
Shari>’ah al-Isla>miyah (Beirut: Muassisah al-Risa>lah,
2000), h. 176-177
al-Dibagh, ‘Iya>dh Kha>lid, Muhammad al-Ta>hir Ibn ‘A<syu>r,
(Damaskus: Da>r al-Qalam, 2005), h. 91
Al-Fairūz Ābādiy, al-Qāmūs al-Muḥīṭ, (Beirut: Muassasah al-
Risālah, cet. 6, 1419 H/1998 M), h. 310;

145
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

al-Fasi>, ‘Ilāl, Maqa>s}id al-syari>‘ah al-Islāmiyah wa


Makārimuhā (t.t.p. Dār al-Ġarb al-Islāmiy, cet. 5, 1995),
h. 7.
Al-Fijawi, M. F. A., Shah, M. A., Aung, U. T., & Muhammad,
M. K. (2019). Violations of Basic Rights of Prisoners In
Conventional and Islamic Law: Theory and Practice.
Intellectual Discourse, 27(2), 455-474.
Al-Ghaza>li, al-Mus}tasfa> min ‘Ilm al-Us}u>l, (Kairo: al -
Amiriyah, 1412), Vol. I, h. 250. Lihat juga H}irz Allah,
D}awa>bit} I’tiba>r al-Maqa>s}id ....., 179
Al-Jawziyah, Ibnu Qayyim. (1990). Ath-Thuruq Al-Hukmiyah
Fi as-Siyasah Asy-Syaríyyah. Cairo. Mathbaátu al-
Madani.
al-Juwaini>, Abu> al-Ma’ali Abd al-Ma>lik, al-Burha>n fi Us}u>l al-
Fiqh, Jilid I (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), h.
101.
al-Kaila>ni, Abd al-Rahma>n Ibra>him, Qawa>id al-Maqa>s}id inda
al-Ima>m al-Sha>t}ibi>: ‘Ard}an wa Dira>satan wa Tah}li>lan
(Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), h. 44.
al-Khi>n, Must}afa> Sa’i>d, Atha>r al-Ikhtila>f fi> al-Qawa>’id al-
Us}u>liyyah fi> Ikhtila>f al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-Fikr, tt),
h. 552-554.
al-Raisūniy, Ahmad, Naẓariyah al-Maqāṣid ‘inda al-Imām asy-
Syāṭibiy cet. 2, Maroko: Maktabah al-Hidāyah,
1432H/2011M.
Allen, R. S., Harris, G. M., Crowther, M. R., Oliver, J. S.,
Cavanaugh, R., & Phillips, L. L. (2013). Does
religiousness and spirituality moderate the relations
between physical and mental health among aging

146
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

prisoners? International Journal of Geriatric Psychiatry,


28(7), 710–717. https://doi.org/10.1002/gps.3874
Al-Maliki, Abdurrahman. (2002). Sistem Sanksi Dalam Islam.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Al-Nafrawy, Ahmad bin Ganim bin Salim, al Fawakih al
Diwany, (Mesir: Maktabah Mustafa al Baby al Halaby,
Cet. 3, 1374H), Jilid 1, h. 266.
al-Raazi, Muhammad bin Abi Bakr, Mukhtār al-Ṣiḥḥāḥ (Kairo:
Dār al-Ḥadīṡ, 2003), h. 190.
al-Rāzi> al-Ḥanafi>, Muhammad Abdul Qadir, Mukhtār aṣ-
Ṣiḥḥah, (Beirut, Dār Iḥyā` at-Turāṡ al-‘Arabi|>, cet. 4,
1426 H/2005 M), h. 314
Al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Syari>’ah, (Kairo: Mustafa
Muhammad, t.t,), Vol. II, h. 4
Al-Sya>thibi>, al-Muawa>faqat fi> Ushu>l al-Syari>’ah, (Beirut Da>r
al-Kutub al-Ilmiyah, 2003) Vol.II, h. 3.
Al-Syâthibî, Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003.
al-Thaliqani, Shahib al-Kafi al-Kifah Abu al-Qasim Isma‟il ibn
Ibad ibn al-„Abas ibn Ahmad ibn Idris al-Muhith fi al-
Lughah (Beirut, Lebanon : Alim al-Kitab, Cet. I, 1994
M/1414 H). jilid 8, h. 8.
al-T}u>fi, Najmuddin (w. 716 H), Syarh al-Hadis Arba'in an-
Nawaiyah, dalam Mustafa Zaid. 1954. al-Maslahat fi at-
Tasyri'i al-Islami wa Najmuddin al-T}u>fi (w. 716 H)
(Mesir: Dar al-Fikr al -Arabi,tt), 46.
Altheide, David L. "Reflections: Ethnographic content
analysis." Qualitative sociology 10, no. 1 (1987): 65-77.

147
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

_____, David L., and Christopher J. Schneider. "Process of


qualitative document analysis." Qualitative media
analysis (1996): 23-41.
al-Zayla‘i, J. A. A. (2000). Tabyin Al-Haqa’iq Sharh Kanz Al-
Daqa’iq. Cet. Ke-4. Bayrut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah.
al-Zuḥailiy, Wahbah, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmiy (Damaskus: Dār
al-Fikr, 1406H/ 1986M) jilid. II, h. 1017.
Aronson, Jodi. "A pragmatic view of thematic analysis." The
qualitative report 2, no. 1 (1995): 1-3.
Audah, Abdul Qadir, al-Tasyri' al-jina'i al-Islami, (Beirut:
Daar al-Kitab, 1992), jilid. 1, h. 384.
Audrey Bazos and Jessica Hausman, Correctional Education as
a Crime Control Program, (Los Angeles: UCLA School
of Public Policy and Social Research Department of
Policy Studies, 2004), p. 15.
Ausubel, David P. "The use of advance organizers in the
learning and retention of meaningful verbal
material." Journal of educational psychology 51, no. 5
(1960): 267.
Az-Zarqa, Mustafa ahmad, al Madkhal fi al Fiqh al ‘am
(Damasqus: Matba’ah al hayah, cet. 3, TT), Jilid 2, H.
263.
Baikie, K. A., & Wilhelm, K. (2005). Emotional and physical
health benefits of expressive writing. Advances in
psychiatric treatment, 11(5), 338-346.
Banakar, Reza, and Max Travers, eds. Theory and method in
socio-legal research. Bloomsbury Publishing, 2005, h. 7.

148
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Barbour, Rosaline, and Jenny Kitzinger. "Introduction: The


challenge and promise of focus groups." Developing
focus group research: Politics, theory and
practice (1999): 1-20.
Bazos, Audrey, and Jessica Hausman. Correctional education
as a crime control program. UCLA School of Public
Policy and Social Research, Department of Policy
Studies, 2004.
Bouma, G. D. The research Process South Melbourne (The
Fourth Edition), Oxford University Press." (2000), h. 23.
Bready, John Wesley. England, before and after Wesley: the
evangelical revival and social reform. London, Hodder,
1938.
Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid 5, h. 55, no. hadis 3892, bab. Al
hudud kaffarah.
Cameron, L. D., & Nicholls, G. (1998). Expression of stressful
experiences through writing: Effects of a self-regulation
manipulation for pessimists and optimists. Health
Psychology, 17(1), 84.
Carothers, Thomas. "The problem of knowledge." Promoting
the Rule of Law Abroad: In Search of
Knowledge (2006): 15-30.
Chilimboyi, Edwin. "Prisons and Education Provision in
Zambia: A Historical Perspective, 1964-2011." PhD
diss., University of Zambia, 2016.
Cohen, Sheldon, Lynn G. Underwood, and Benjamin H.
Gottlieb, eds. Social support measurement and
intervention: A guide for health and social scientists.
Oxford University Press, 2000, h. 29.

149
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Darwis, Mohammad, “Maqâshid Al-Syarî’ah dan Pendekatan


Sistem Dalam Hukum Islam Perspektif Jasser Auda”
dalam M. Arfan Mu’ammar, Abdul Wahid Hasan, et. Al.
(Ed), Studi Islam Perspektif Insider/Outsider, IRCiSoD,
Jogjakarta, 2012, h. 395
Davidson, K., Schwartz, A. R., Sheffield, D., et al (2002)
Expressive writing and blood pressure. In The Writing
Cure: How Expressive Writing Promotes Health and
Emotional Well-being (eds S. J. Lepore & J. M. Smyth),
pp. 17–30. Washington, DC: American Psychological
Association.
Deborah Drake. Prisons: punishment and the pursuit of
security. Springer, 2012.
DeLacy, Margaret. Prison Reform in Lancashire, 1700-1850: A
study in local administration. Vol. 33. Manchester
University Press, 1986.
Deuchar, Ross, Line Lerche Mørck, Yonah Matemba, Robert
McLean, and Nighet Riaz. "Young offenders, spiritual
journeys and criminal desistance in Denmark and
Scotland." In Contemporary Youth Contemporary Risk:
Journal of Youth Studies Conference. 2015.
Flick, Uwe. "What is qualitative research." Designing
qualitative research (2007): 2-16.
Flick, Uwe. "What is qualitative research." Designing
qualitative research (2007): 2-16.
Frank Morn, The Macmillan Family Encyclopedia, (New
Jersey: Arete Publishing, 1980), p. 554. 6 Morn, The
Macmillan Family Encyclopedia, (New Jersey: Arete
Publishing, 1980), p. 554

150
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Giordano, Amanda L., Elizabeth A. Prosek, and Cody T.


Lankford. "Predicting empathy: The role of religion and
spirituality." Journal of Professional Counseling:
Practice, Theory & Research 41, no. 2 (2014): 53-66
Giordano, Peggy C., Monica A. Longmore, Ryan D. Schroeder,
and Patrick M. Seffrin. "A life‐course perspective on
spirituality and desistance from crime." Criminology 46,
no. 1 (2008): 99-132.
Hasan Shadily. "Ensiklopedia Indonesia: Edisi
Khusus." Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve (1982).
Hathout, M., Jamil, U., Hathout, G., & Ali, N. (2006). In
pursuit of justice: The jurisprudence of human rights in
Islam. Muslim Public Affairs Council.
Hawley, J., Murphy, I., & Souto-Otero, M. (2013). Prison
education and training in Europe: Current state-of-play
and challenges. Birmingham: GHK.
Hidayati, Nur Oktavia, Fauziah Fallah Hanafiah, Ivana
Sundari, Sri Purnama Alam, and Venna Noer Fadillah.
"Aspek Spiritual terhadap Resiko Bunuh Diri
Narapidana." Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan
Perawat Nasional Indonesia 9, no. 3 (2021): 703-710.
Holstein, James A. Handbook of interview research: Context
and method. Sage, 2002, h. 4.
Ibn ‘A<syu>r, Maqa>s}id al-Syari>’ah al-Isla>miyyah, (Kairo: Da>r al-
‘Ilm, tt), h. 57.
ibn Abd al-Sala>m, Izzuddi>n, Qawa>id al-Ah}ka>m fi> Mas}a>lih al-
Ana>m, (Kairo: al -Istiqamat, t.t), Vol. I, h. 9.

151
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

ibn H}irz Allah, Abd al-Qa>dir, D}awa>bit} I’tiba>r al-Maqa>s}id fi


Maha>l al-Ijtiha>d wa Athruha> al-Fiqhi>, (Riya>d}: Maktabah
al-Rushd, 2007), h. 25.
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār Iḥyā al-Turāṣ al-
‘Arabi>, cet. 3, 1419H/1999M), jilid XI, h. 179-180;
Irianto, Sulistyowati. "Praktik Penelitian Hukum: Perspektif
Sosiolegal." Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan
Refleksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (2011), h.5.
Jackson, John H. "Perspectives on the Jurisprudence of
International Trade: Costs and Benefits of Legal
Procedures in the United States." Mich. L. Rev. 82
(1983): 1570.
Jacoby, J. E., & Kozie‐Peak, B. (1997). The benefits of social
support for mentally ill offenders: prison‐to‐community
transitions. Behavioral Sciences & the Law, 15(4), 483-
501.
James V. Bennett, The World Book Encyclopedia, vol. 15
(London: Stockholm, 1968), p. 710.
Jeanne Contardo and Michell Tolbert, Prison Postsecondary
Education: Bridging Learning from incarceration to the
community, (London: City University of New York,
2006), P.10.
Jodi, Khairul Hamimah Mohamad, Mohd Afifuddin Bin
Mohamad, Wirdati Mohd Radzi, Azizi Che Seman,
Naemah Abd Rahman, Nurhanisah Senin, Siti Fairuz
Ramlan, and Fuadah Johari. "The effectiveness of
religious module in improving psyco-spiritual health for
women inmates in prison." Life Science Journal 11, no. 3
(2014): 146-153.

152
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Johnson, Robert, Ania Dobrzanska, and Seri Palla. "The


American prison in historical perspective: Race, gender,
and adjustment." Prisons: Today and Tomorrow (2005):
22-42.
Jubair, I., & ibn Ibrahim, M. (1996). Criminal Law in Islam:
Basic Sources and General Principles, dalam Tahir
Mahmood (et al). Criminal Law in Islam and the Muslim
World, A Comparative Perspective.
Juklia, I., & Wibowo, P. (2021). Pemenuhan Hak-hak Warga
Binaan Pemasyarakatan (WBP) Menurut Undang-
undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Justitia: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, 8(1), 185-
193.
Kahan, James P. "Focus groups as a tool for policy
analysis." Analyses of Social Issues and Public Policy 1,
no. 1 (2001): 129-146.
King, L. A., & Miner, K. N. (2000). Writing about the
perceived benefits of traumatic events: Implications for
physical health. Personality and social psychology
bulletin, 26(2), 220-230.Malekian, F. (2014). Islamic
Law Justice Systems. The Encyclopedia of Criminology
and Criminal Justice, 1-6.
Margaret DeLacy, Prison Reform in Lancashire, 1700- 1850: A
Study in Local Administration, (London: Manchester,
1986), pp. 1, 5, 8, 16.
Masud, Muh}ammad Khalid, Sha>tibi’s Philosopy of Islamic
Law (Pakistan: Islamic Research International
University Islamabad, 1995), h. 1-25

153
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Mayor on Duty merupakan staf klinis atau konselor yang


bertugas dan bertanggungjawab atas program harian
rehabilitasi. Lihat Petunjuk Teknis Rehabilitasi
Therapeutic Community (TC), Jakarta: Badan Narkotika
Nasional Republik Indonesia, 2012, h. 5.
Mears, Daniel P., Caterina G. Roman, Ashley Wolff, and
Janeen Buck. "Faith-based efforts to improve prisoner
reentry: Assessing the logic and evidence." Journal of
criminal Justice 34, no. 4 (2006): 351-367.
Messemer, Jonathan E. "The historical practice of correctional
education in the United States: A review of the
literature." International Journal of Humanities and
Social Science 1, no. 17 (2011): 91-100.
Mughniyah, M. J. (2015). Fiqih Lima Mazhab: Ja'fari, Hanafi,
Maliki, Syafi'i, Hambali. Shaf.
Munawwir, Ahmad Warson. (1997). Kamus Al-Munawwir,
Surabaya: Pustaka Progressif.
Muntingh, Lukas. "Ten years after the Jali Commission
Assessing the state of South Africa’s prisons." South
African Crime Quarterly 58 (2016): 35-44.
Nichols, H. E. "An inquiry into adult male prisoners'
experiences of education." PhD diss., University of Hull,
2016
Nichols, H. E. "An inquiry into adult male prisoners'
experiences of education." PhD diss., University of Hull,
2016.
Nurden, H. "Working with faith." Youth Work Practice.
Hampshire: Palgrave Macmillan (2010): 121-132.

154
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Otto, Jan Micheil. "Some Introductory Remarks on Law,


Governance and Development." Notes for the course of
Law, Governance and Development, Leiden: Van
Vollenhoven Institute, Faculty of Law,
LeidenUniversity (2007), h. 15.
Parray, Tauseef Ahmad. "The legal methodology of “fiqh al-
aqalliyyat” and its critics: an analytical study." Journal
of Muslim Minority Affairs 32, no. 1 (2012): 88-107.
Patton, Michael Quinn. "Enhancing the quality and credibility
of qualitative analysis." Health services research 34, no.
5 Pt 2 (1999): 1189-1208.
Pennebaker, JW (2002) What our words can say about us.
Toward a broader language psychology. Psychological
Science Agenda, 15, 8–9.
______, JW (2004) Theories, therapies, and taxpayers. On the
complexities of the expressive writing paradigm.
Clinical Psychology: Science and Practice, 11, 138–142.
______, JW, Francis, ME & Booth, RJ (2001) Linguistic
Inquiry and Word Count (LIWC2001). Mahwah, NJ:
Erlbaum.
Pettus-Davis, Carrie, Matthew Owen Howard, Amelia Roberts-
Lewis, and Anna M. Scheyett. "Naturally occurring
social support in interventions for former prisoners with
substance use disorders: Conceptual framework and
program model." Journal of Criminal Justice 39, no. 6
(2011): 479-488.
Porpora, D. V., Nikolaev, A., & Hagemann, J. (2010). Abuse,
torture, frames, and the Washington Post. Journal of
Communication, 60(2), 254-270.

155
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Prabowo, Satria Agung, and Maki Zaenudin Subarkah.


"Hubungan Aktivitas Keagamaan dengan Kesehatan
Mental Narapidana." Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi
Universitas Negeri Padang) 11, no. 1 (2020): 35-45.
Residen merupakan seseorang yang mengalami gangguan
penggunaan/ ketergantungan Narkoba yang berada
dalam program Therapeutic Community TC. Lihat
Petunjuk Teknis Rehabilitasi Therapeutic Community
(TC), Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik
Indonesia, 2012, h. 5.
Rezaei, S., & Mousavi, S. V. (2019). The Effect of
Monotheistic Integrated Psychotherapy on the Levels of
Resilience, Anxiety, and Depression among Prisoners.
Health, Spirituality and Medical Ethics, 6(1), 2–10.
https://doi.org/10.29252/jhsme.6.1.2
Ridwan Haris, The Influence of The Islamic Psycho – Spiritual
Therapy on Muslim Adolescent Drug Addicts,
(Malaysia: International Islamic University Malaysia),
April 2017
Rudestam, Kjell, and Rae Newton. "Surviving your
dissertation. Newberry Park." (1992), h. 6.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Terj. Kahar Masyhur (Jakarta:
Kalam Mulia, 1998), Jld. 9, h. 277.
Sadiliy, Hasan. 1982. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoere.
Shalih, Abd al-Qadir Muhammad, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n fi>
al-‘As}r al- H{adi>ts, (Beirut: Da>r al-Makrifah, 2003), h.
121.

156
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Sholikhin, M. (2010). Ritual dan Tradisi Islam Jawa: Ritual-


ritual dan tradisi-tradisi tentang kehamilan, kelahiran,
pernikahan, dan kematian dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Islam Jawa. Penerbit Narasi.
Smyth, J. M. & Helm, R. (2003) Focused expressive writing as
self-help for stress and trauma. Journal of Clinical
Psychology, 59, 227–235.
Smyth, J. M. & Pennebaker, J. W. (1999) Sharing one’s story:
translating emotional experiences into words as a coping
tool. In Coping: The Psychology of What Works (ed. C.
R. Snyder), pp. 70–89. New York: Oxford University
Press.
Soper, B., & Von Bergen, C. W. (2001). Employment
counseling and life stressors: Coping through expressive
writing. Journal of employment counseling, 38(3), 150-
160.
Stewart, D. (2008). The problems and needs of newly
sentenced prisoners: results from a national survey.
London: Ministry of Justice.
Sugono, Dendi, (red.) et. al., Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi IV (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),
h. 865.
Sumpter, Cameron, Yuslikha K. Wardhani, and Sapto Priyanto.
"Testing transitions: Extremist prisoners re-entering
Indonesian society." Studies in Conflict & Terrorism 44,
no. 6 (2021): 473-494.
Suto, Ildiko, and Genevieve LY Arnaut. "Suicide in prison: A
qualitative study." The Prison Journal 90, no. 3 (2010):
288-312.

157
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Syaltūt, Maḥmūd, Al-Islām: ‘Aqīdah wa Syarīʻah, cet. XVIII


(Kairo: Dār asy-Syurūq, 1421H/2001M), h. 73.
Tavakoli, S., Lumley, M. A., Hijazi, A. M., Slavin-Spenny, O.
M., & Parris, G. P. (2009). Effects of assertiveness
training and expressive writing on acculturative stress in
international students: A randomized trial. Journal of
Counseling Psychology, 56(4), 590–596.
doi:10.1037/a0016634
Tebba. Sudirman 2006. Kiat Sukses Menjelang Maut. Jakarta:
PustakaIrVan.
United Nations. Office of the High Commissioner for Human
Rights, & United Nations High Commissioner for
Human Rights. (2005). Human rights and prisons: a
pocketbook of international human rights standards for
prison officials. United Nations Publications.
Usman, Usman, Bahder Johan Nasution, and Elizabeth Seregar.
"Over Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Dalam
Perespektif Kebijakan Hukum Pidana." Wajah Hukum 4,
no. 2 (2020): 436-444.
Walmsley, Roy, “World Prison Population List”, twelfth
edition, Institute for Criminal Policy Research, Institute
for Criminal Policy Research, University of London,
2018, hlm. 2.
Wengraf, Tom. Qualitative research interviewing: Biographic
narrative and semi-structured methods. sage, 2001, h. 2.
Wesley Bready, England before and after Wesley, (London:
Hodder and Stoughton, 1938), p. 131.
Wilkinson, Sue. "Focus group research." Qualitative research:
Theory, method, and practice 2 (2004): 177-199.

158
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Yanto, Oksidelfa, Rachmayanthy Rachmayanthy, and Djoni


Satriana. "Implementation of Remission For Female
Prisoner as One of The Rights in The Correction
System." Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan 7, no.
1 (2019): 1-13.
Yunita, N., & Valentine, F. (2020). Nilai-Nilai Pendidikan
Islam Serta Hikmah Pengurusan Jenazah. Belajea; Jurnal
Pendidikan Islam, 5(2), 289-308.
Yusdani, Menyimak Pemikiran Hukum Islam, dalam Journal
Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007, h. 67
Zientek, L., Nimon, K. and Hammack-Brown, B. (2016),
"Analyzing data from a pretest-posttest control group
design: The importance of statistical
assumptions", European Journal of Training and
Development, Vol. 40 No. 8/9, pp. 638-
659. https://doi.org/10.1108/EJTD-08-2015-0066
Zwick, Rebekah Gwynne. "Brother's Keeper: Self-Discovery,
Social Support, and Rehabilitation through In-Prison
Peer Mentorship." PhD diss., Nova Southeastern
University, 2018.

159
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

160
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Glosarium dan
Daftar Singkatan

Asimilasi : Proses pembinaan narapidana yang


dilaksanakan dengan membaurkan
narapidana kedalam kehidupan
masyarakat.
Balai : UPT yang melakukan penelitian
Pemasyarakatan kemasyarakatan, pendampingan,
(BAPAS) pembimbingan, dan pengawasan
terhadap WBP serta membuat laporan
penelitian kemasyarakatan digunakan
untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan persidangan.
Biometric : Teknologi kemanan yang menggunakan
bagian tubuh sebagai identitas. Bagian
tubuh yang dimaksud dalam hal ini
adalah sidik jari.
Cuti Bersyarat : Proses pembinaan diluar LAPAS bagi
(CB) narapidana yang dipidana selama 1
(satu) tahun ke bawah, sekurang-
kurangnya telah menjalani 2/3 (dua
pertiga) dari masa pidana minimal 6
(enam) bulan.

161
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Cuti Menjelang : Proses pembinaan diluar LAPAS bagi


Bebas (CMB) narapidana setelah menjalani 2/3 (dua
pertiga) dari masa pidana dengan
ketentuan dua pertiga tersebut tidak
kurang dari 9 (sembilan) bulan.
Cuti : Proses pembinaan diluar LAPAS bagi
Mengunjungi narapidana yang dilaksanakan melalui
Keluarga (CMK) kunjungan narapidana ke keluarga
asalnya. CMK merupakan kegiatan
rutin yang dapat dilaksanakan setiap
tiga bulan bagi narapidana yang
memiliki masa pidana 6 bulan.
Direktorat : Pelaksana yang berada dibawah dan
Jenderal tanggung jawab kepada Menteri
Pemasyarakatan Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
(DITJENPAS / bertugas menyelenggarakan perumusan
Pusat) dan pelaksanaan kebijakan di bidang
pemasyarakatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan. Urutan hirarki pada
organisasi berada diatas.
Kantor Wilayah : Bertugas melaksanakan tugas pokok
(Kanwil) dan fungsi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dalam wilayah propinsi berdasarkan
kebijakan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia dan
UU yang berlaku. Urutan hirarki pada
organisasi berada ditengah.
Lembaga : UPT tempat untuk melaksanakan
Pemasyarakatan pembinaan narapidana selama masa
(LAPAS) pidananya.

162
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Narapidana : Seseorang yang dipidana berdasarkan


(Napi) putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan
menjalani masa pidana di LAPAS.
Pembebasan : Proses pembinaan diluar LAPAS bagi
Bersyarat narapidana setelah menjalani sekurang-
kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari masa
pidana dengan ketentuan dua pertiga
tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan)
bulan.
Penelitian : Aktifitas yang dilakukan BAPAS
Kemasyarakatan terhadap WBP yang menghasilkan
(Litmas) laporan penelitian kemasyarakatan.
Pengguna / User : Pengguna aplikasi SDP baik dari UPT,
Kanwil atau DITJENPAS.
Register A I : Media untuk mencatat identitas
tahanan dalam tingkat penyidikan.
Register A II : Media untuk mencatat identitas
tahanan dalam tingkat penuntutan.
Register A III : Media untuk mencatat identitas
tahanan dalam tingkat pemeriksaan
Pengadilan Negeri.
Register A IV : Media untuk mencatat identitas
tahanan dalam tingkat pemeriksaan
Pengadilan Tinggi.
Register A V : Media untuk mencatat identitas
tahanan dalam tingkat pemeriksaan
Mahkamah Agung.
Register B I : Media untuk mencatat identitas
narapidana dengan masa pidana penjara
lebih dari 1 tahun.

163
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Register B IIA : Media untuk mencatat identitas


narapidana dengan masa pidana penjara
lebih dari 3 (tiga) bulan sampai dengan
12 (dua belas) bulan.
Register B IIB : Media untuk mencatat identitas
narapidana dengan masa pidana penjara
1 (satu) hari sampai dengan 3 (tiga)
bulan.
Register B IIIS : Media untuk mencatat identitas
narapidana yang sedang menjalani
subsider atau pengganti denda.
Register C : Media untuk mencatat identitas orang
titipan karena sandera pajak
(mempunyai hutang terhadap Negara).
Register D : Media untuk mencatat uang dan barang
barang milik tahanan/narapidana.
Register E : Media untuk mencatat identitas
pengunjung atau pembesuk
tahanan/narapidana.
Register F : Media untuk mencatat perbuatan
pelanggaran yang dilakukan oleh
tahanan/narapidana.
Register G : Media untuk mencatat identitas
tahanan/narapidana yang mengalami
gangguan kesehatan (sakit)
Register H : Media untuk mencatat identitas
tahanan/ narapidana yang diasingkan
karena sakit menular, kelainan jenis
kelamin dan gangguan jiwa.
na Mati : Media untuk mencatat identitas
terpidana yang dijatuhi hukuman

164
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

pidana mati dan sudah mempunyai


kekuatan hukum tetap tapi belum
dieksekusi.
Register Seumur : Media untuk mencatat identitas
Hidup narapidana yang sedang menjalani
pidana penjara seumur hidup.
Register UP : Media untuk mencatat identitas
narapidana yang sedang menjalani
pidana penjara sebagai pengganti
karena tidak membayar uang pengganti
(denda).
Remisi : Pengurangan masa pidana yang
diberikan kepada narapidana yang
memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
si Anak (RA) : Remisi Kemanusiaan yang diberikan
untuk anak umur X tahun.
Remisi Berbuat : Remisi Tambahan yang diberikan
Jasa pada Negara untuk yang berbuat jasa pada negara,
(RJN) diberikan bersamaan dengan Remisi
Umum.
Remisi : Remisi yang diberikan setiap 10 tahun
Dasawarsa (RZ2) sekali, diberikan bersamaan dengan
Remisi Umum.
Remisi Donor : Remisi Tambahan yang diberikan
Darah (DD) untuk yang melaksanakan donor darah,
diberikan bersamaan dengan Remisi
Umum.
Remisi Kejadian : Remisi yang diberikan misalnya saat
Luar Biasa (RKL) terjadi Bencana atau Kejadian luar
biasa lainnya.

165
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Remisi : Remisi yang diterima setelah Remisi


Kedua/Berikutnya Pertama.
Remisi : Remisi yang terdiri dari Remisi Anak,
Kemanusiaan Remisi Lansia, dan Remisi Sakit
Bekepanjangan
Remisi Khusus : Remisi yang diberikan sesuai agama
(RZ) masing-masing (contohnya Katolik dan
Protestan pada tanggal 25 Desember,
dan Islam pada Hari Raya Idul Fitri).
Remisi Lansia : Remisi yang diberikan untuk Lansia
(RL) (Umur > X tahun pada saat tanggal
pemberian) di Hari Lansia.
Remisi Pemuka : Remisi Tambahan yang diberikan pada
(RP) remuka, diberikan bersamaan dengan
Remisi Umum.
Remisi Pertama : Remisi Pertama kali yang didapatkan,
baik Remisi Umum, Remisi Khusus
(termasuk Remisi Susulan).
Remisi Sakit : Remisi Kemanusiaan yang diberikan
Berkepanjangan kepada yang mengalami sakit
(RSB) berkepanjangan di Hari Kesehatan.
Remisi Susulan : Remisi Umum atau Khusus yang
disusulkan untuk remisi yang tanggal
pemberiannya sudah lewat.
Remisi Umum : Remisi yang diberikan pada tanggal 17
(RU) Agustus.
Remisi Tambahan : Remisi yang terdiri dari Remisi
Pemuka, Remisi Donor Darah, dan
Remisi Berbuat Jasa pada Negara.
Residivis : Orang yang sudah melakukan tindak
kejahatan, dimana tindakannya sudah

166
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

dihukum dan dijalani. Lalu orang


tersebut melakukan tindakan kejahatan
lagi. Dalam hal ini SDP sudah pernah
menyimpan data WBP sebelumnya.
Rumah Tahanan : UPT tempat tersangka/terdakwa
(RUTAN) ditahan sementara sebelum keluarnya
putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap guna menghindari
tersangka/ terdakwa tersebut melarikan
diri atau mengulangi perbuatannya.
Scan : Suatu aktifitas untuk memasukkan
hasil penangkapan citra dari suatu
objek menggunakan perangkat kedalam
komputer. Objek yang dimaksud dalam
hal ini adalah sidik jari dan perangkat
yang dimaksud adalah scanner sidik
jari.
Sertifikat Digital : Kunci publik berupa file yang berisikan
(P12) informasi pribadi pemilik kunci publik,
contohnya nama, alamat, pekerjaan,
jabatan, perusahaan, website dan
lainnya. Sertifikat digital yang dibuat
bisa ditandatangani oleh diri sendiri
(tanpa diperlukan verifikasi pihak
ketiga) ataupun melalui verifikasi
pihak ketiga terpercaya
seperti Certificate Authority (CA).
Tahanan : Seseorang yang masih menunggu
putusan pengadilan dan menjalani masa
tahanan di RUTAN. Tahanan terdiri
dari tersangka dan terdakwa.
Tim Pengamat : Tim yang bertugas memberikan saran

167
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Pemasyarakatan mengenai program pembinaan WBP,


(TPP) membuat penilaian atas pelaksanaan
program pembinaan, pengamanan dan
pembimbingan, dan menerima keluhan
dan pengaduan dari WBP.
Unit Pelayanan : Bertugas pokok melaksanakan sebagian
Teknis (UPT) kegiatan teknis operasional dan/atau
kegiatan teknis penunjang, dimana
UPT berada dibawah Kanwil. UPT
tersebut adalah Kantor Imigrasi,
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),
Rumah Tahanan Negara (Rutan),
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara (Rupbasan), Balai
Pemasyarakatan (Bapas), Balai Harta
Peninggalan (BHP), serta Rumah
Detensi Imigrasi (Rudenim). Urutan
hirarki pada organisasi berada dibawah.
Warga Binaan : Orang-orang sedang menjalani sanksi
Pemasyarakatan kurungan atau sanksi sanksi lainnya
(WBP) menurut perundang-undangan.

168
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Index

2 B
2021, 40 Badan Narkotika Nasional, - 164
-, - 166 -
A bantuan, 31
bunuh diri, 17, 20
administratif, 13, - 129 -
agama, 14, 72, 76 C
akal, 11
aktif, 12, 36 Chilimboyi, 22
al ‘aql, 14
al-di>n, 14 D
al-Fasi>, 49, 50, - 156 -
Al-Fijawi, 12, 19, - 156 - Daerah Istimewa Yogyakarta, 14,
al-Ghaza>li>, 53, 54, 56, 58 - 130 -
Al-Juwaini>, 52 depresi, 16, 20
Allah, 9, 10 DKI Jakarta, 21, 24, 31, 40
al-ma>l, 14
al-Maidah, 15 E
al-nafs, 14
al-nasl, 14 empiris, 32
Al-Qur'an, 14 esensial, 14
al-Raysu>ni>, 48, 50 Ethnographic content analysis, -
al-Sya>t}ibi>, 50, 55, 57, 58, 59, 62 157 -
al-T{u>fi>,> 58, 59
alternatif, 3, 16, 74 F
Fiqh Jenazah, 17

169
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

fisik, 15, 19, 74 K


fundamental, 14, 19, 76
Kairo, - 156 -, - 157 -, - 161 -, -
H 168 -
kampus,, 12
hak, 11, 12, 14, 16, 19, 38, 76, - keagamaan, 3, 16, 19, 20, 23, 37
136 -, - 163 - kebijakan, 3, 26, 31, 32, 40
Hak Sipil, 13 kejahatan, 11, 12, 14, 20, 21, 72,
hidup, 12, 14, 15, 18, 25, 27, 74 75, 76, 77, 80
hukum, 3, 11, 14, 15, 16, 19, 21, kejam, 13
23, 24, 26, 28, 30, 31, 32, 40, Kelas, 4, 20, 24, 29, 31, 32, 34,
72, 76, 77, 78 36, 39, 40, 42, 81, - 93 -, - 138
-, - 151 -, - 152 -
I kemanusiaan, 13, 25
Kementrian Hukum dan HAM,
Ibn ‘A<syu>r, 48, 49, 50, 59, 60, 62, 13, - 129 -
- 155 -, - 161 - kerusakan, 15, 79
ilmu, 3, 22, 24, 26, 30, 31, 37 kesehatan, 14, 19
Indonesia, 3, 13, 14, 16, 17, 18, Kesucian, 14
21, 24, 26, 30, 31, 34, 42, 81, - kolonial, 22, 75
125 -, - 129 -, - 161 -, - 162 -, - Kozie‐Peak, 18, - 162 -
164 -, - 166 - krininalitas, 13, - 129 -
Informan, 38
institusi, 4, 32, 40
L
Institusi, 11
interdisipliner, 3, 22, 24, 26, 30, laki-laki, 3, 14, 21, 28, 30, 36, 74
31 Lampung, 4, 21, 24, 29, 31, 32,
internasional, 12 34, 36, 39, 40, 42, 81, - 93 -, -
Islam, 3, 9, 10, 14, 16, 17, 19, 22, 138 -, - 151 -, - 152 -
24, 26, 28, 30, 32, 37, 76, 77, Lapas, 12, 13, 20, 21, 77, - 129 -
78, 79, - 157 -, - 161 -, - 163 -, layanan, 39
- 167 -, - 169 - Lembaga, 3, 4, 11, 13, 14, 20, 24,
30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 81, -
J 93 -, - 129 -, - 168 -
Lembaga Pemasyarakatan, 3, 4,
Jacoby, 18, - 162 - 11, 20, 24, 30, 32, 34, 36, 38,
Jasser Auda, - 160 - 40, 42, 81, - 93 -, - 168 -
Jawa Barat, 31, 32, 40, - 151 -, - lingkungan, 12, 21, 28, 29, 35
152 -
Jeddah, 62

170
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

M P
Maluku, 14, - 130 - pelarangan, 13
Maluku Utara, 14, - 130 - pelayanan, 14
manusia, 11, 13, 14, 15, 16, 17, pelecehan, 15, 16, 19, 29
19, 23, 25, 76, 78, - 136 - Pemasyarakatan, 4, 12, 14, 21,
maqas̄ ị d al- syari’̄ ah, 14, 26, 31 23, 24, 30, 31, 32, 34, 36, 39,
Maroko, 63 40, 42, 81, - 138 -, - 151 -, -
masa tahanan, 12, 18, 25, 30, 73, 152 -, - 163 -
74, 79 pembinaan, 3, 14, 16, 17, 18, 20,
masjid, 3, 17, 78, 80 24, 26, 28, 29, 31, 32, 33, 35,
masyarakat, 3, 11, 12, 14, 23, 29, 37, 38, 40, 42, 45, 72, 73, 76,
30, 31, 72, 73, 74, 75, 77, - 77, 81, - 125 -, - 151 -
167 - pemerintah, 4, 31, 32
memandikan, 17 pemidanaan, 21, 73
mengkafani, 17 pendekatan, 31, 32
mental, 15, 19, - 156 - pendidikan, 14, 19, 21, 22, 23, 24,
menyembahyangkan, 17 25, 26, 29, 73, 74, 75
Mesir, - 157 - penelitian, 3, 16, 17, 18, 20, 24,
moral, 18, 23, 27, 76, 77 26, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34,
Muslim, 14, - 161 -, - 163 - 36, 37, 38, 40, 41, 42, 43, 81
penghinaan, 13, 79
N penjahat, 11, 75
penjara, 12, 14, 19, 22, 23, 24, 25,
Nabi, 9 26, 27, 29, 72, 73, 74, 75, 76,
narapidana, 3, 11, 12, 13, 14, 16, 77, 78, 79, - 137 -
17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, penulis, 9
25, 26, 27, 28, 29, 30, 33, 36, penyiksaan, 13, 15, 16, 19, 76, -
37, 39, 42, 45, 72, 73, 74, 75, 137 -
76, 77, - 125 -, - 129 -, - 136 -, peraturan, 12, 38
- 151 - perawatan, 14, 19, 73
narkotika, 37 perempuan, 3, 14, 19, 20, 29, 36
Negara, 13, 18, - 129 - perilaku, 16, 20, 22, 28, 29
non-Muslim, 14 permasalahan, 17, 20, 38
norma, 11, 28 Perserikatan Bangsa-Bangsa, 13,
76, - 136 -
O petugas, 3, 12, 13, 21, 24, 30, 37,
38
Ohio, 18 Politik, 13
over kapasitas, 13, - 129 - positif, 16, 18, 23, 25

171
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

primer, 21, 34, 43 T


program, 3, 12, 16, 27, 38, 42, 73,
74, 81, - 165 - tajhiz jana>zah, 4, 17, 18, 21, 27,
provinsi, 13, 21, 24, 26, - 130 - 29, 32, 33, 34, 36, 40
psikologi, 32 TC, - 164 -, - 166 -
publik, 11, 37 Therapeutic Community, - 164 -,
- 166 -
R tindak pidana, 12, 77, 79
Tunisia, 59
ras, 14
rehabilitasi, 22, 27, 31, 32, 72, U
73, 74, 75, 76, 77, - 136 -, -
164 - undang-undang, 40
rehabilitatif, 12, 27 Undang-undang, 12, 82, - 163 -
religious, 16, - 162 -
remisi, 12, 14 W
Residivis, 20
Rumah tahanan, 13, - 129 - Wanita, 20
rutan, 13, - 129 - warga binaan, 3, 11, 12, 14, 17,
18, 19, 20, 22, 23, 26, 30, 31,
33, 34, 35, 36, 38, 41, 76, 77,
S
81, - 136 -
sarana, 14, 72, 79 wilayah, 13, - 130 -
sehat, 11
sipir, 3, 12, 18, 24, 39 Y
sistem, 12, 16, 22, 27, 72, 73, 74
sosial, 3, 12, 18, 22, 24, 26, 30, yuridis sosiologis, 21
32, 76, - 136 -
spiritual, 17, 18, 20, 23, 26, 29, Z
37, 38, 42, 76, 77, - 125 -, -
128 -, - 151 -, - 162 - zaman, 9
studi, 3, 21, 22, 23, 24, 25, 26, Zambia, 22, 23, 24
28, 29, 30
Surat, 15, 35

172
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Lampiran Dokumentasi

173
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

174
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

175
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

176
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Biografi Penulis

Imam Sujoko adalah Doktor di bidang


Fiqh (Islamic Jurisprudence),
menyelesaikan S1 nya di Universitas
Islam Madinah Fakultas syari’ah, dan
gelar Master serta doktornya diperoleh di
International Islamic University Malaysia,
Department Fiqh & Usul Fiqh. Penulis
adalah dosen tetap di Fakultas Dirasat
Islamiyah UIN Jakarta, dan saat ini
menjabat sebagai Sekretaris Prodi Magister Pengkajian Islam
Sekolah Pasca Sarjana UIN Jakarta. Beberapa publikasi
artikelnya di jurnal Insaniyat, JHI IAIN Pekalongan, al-Ihkam
IAIN Madura, dan buku yang pernah ditulis berjudul
“Hukuman Mati; antara keadilan dan pelanggaran HAM”.
Selain sebagai dosen mengajar di kampus, juga aktif di
masyarakat memberikan ceramah, ta’lim, kajian tentang fiqh.

177
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Dr. Edwin Syarip, M.Ag. adalah Doktor


dalam Filsafat Islam lulusan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Saat ini bertugas
pada Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta sebagai wakil dekan
bidang kemahasiswaan, alumni dan
kerjasama. Beberapa publikasi penulis di
antaranya: Perception of Western Food
Consumers: The Potential of Halal
Products Industry in Bekasi, Indonesia (Syamsuri Ali, Laila
Maharani, Dhian Tyas Untari, Edwin Syarif) 2020;
Proceedings of International Conference in Recent Innovations
(ICRI) 2018 : Gold Mining Related Conflict in Tumpang Pitu
Banyuwangi East Java (Joharotul Jamilah, Muhammad Ismail,
Edwin Syarif) page 1643; Etika Falsafah Islam Perspektif
Kesetaraan Gender (Edwin Syarif) 2016; Pergulatan Sains dan
Agama Pergulatan Sains dan Agama (Edwin Syarif) 2013

178
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

Aida Humaira, lahir di Jakarta, 3 Februari


1982. Saat ini masih terdaftar sebagai
Candidat Doktor di Sekolah Pasca sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
mendapatkan gelar magister hukum Islam
di tempat yang sama (2003-2005). Strata
satu diperolehnya di Fakultas Dirasat
Islamiyah UIN Jakarta (1999-2003).
Pernah menjadi santriwati di Pondok
Pesantren Darul Muttaqien Parung-Bogor (1993-1999). Penulis
merupakan Dosen Tetap di Fakultas Dirasat Islamiyah UIN
Jakarta sejak tahun 2006 hingga sekarang. Pernah aktif sebagai
pengelola Jurnal Al-Zahra FDI (20142016). Menjabat sebagai
Sekretaris Program Studi Dirasat Islamiyah (2015-2019);
Ketua Program Studi Dirasat Islamiyah FDI UIN Jakarta
(2019-2023). Aktif dalam beberapa penelitian di bidang
pengkajian Islam dan telah menghasilkan sejumlah buku dan
artikel ilmiah yang dipublikasi di jurnal-jurnal terakreditasi
nasional. Diantaranya, Hukmu al-Hijab Wa al-Niqab ‘Inda
Fuqaha ‘Ashri al-Hadits, Jurnal Studi Islam Komprehensif:
Fatwa Online: Otoritas, Metodologi, dan Model Penyajian
(2020), Jurnal Al-Zahra (2007); Pandangan Hukum Islam
Tentan Konsep Nafkah Keluarga Dari Istri Karir, Buku ISBN
diterbitkan oleh LEMLIT UIN Jakarta (2007); Ringkasan Ihya
Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Sahara Publishers (2007);
Problematika Ekonomi Keluarga yang Bersumber dari Istri
Karir, Jurnal Bimas Islam (2009); Position and Role of sharia
Banks on Murabahah Contract Implementation, Jurnal
Madania (2019); Haji Funds For Infrastructure Investment,
Jurnal Al-Qalam (2020). Nomor kontak penulis (08128104476)
mail: aida.humaira@uinjkt.ac.id

179
Imam Sujoko, Edwin Syarip, Aida Humaira, Nurul Adhha

Nurul Adhha, S.S.I., M.A. adalah Dosen


Mata Kuliah Umum Agama dan Etika
Islam di Institut Teknologi Sumatera.
Adhha juga merupakan Tutor Tutorial
Online untuk mata kuliah Pendidikan
Agama Islam di Universitas Terbuka,
Marketing Specialist di Penerbit KBM
Indonesia, Reviewer naskah ilmiah, Editor
buku, dan salah satu Penilai Buku
Pendidikan Agama Islam di Kementerian Agama Republik
Indonesia. Adhha merupakan alumnus Fakultas Dirasat
Islamiah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Program Studi
Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang mendapatkan Beasiswa BLU UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2017) dan Beasiswa Fresh
Graduate Kementerian Agama RI (2017-2019). Adhha
dahulunya merupakan penggiat pendidikan dengan menjadi
pengasuh dan pengajar di Pesantren Modern Al-Adzkar
Pamulang pada 2017-2019 dan di Rumah Tahfidz Cendikia Al-
Munir, Yayasan Alrina Kab. Bekasi Jawa Barat pada 2019-
2020. Sebelumnya menempuh pendidikan tingkat Madrasah
Aliyah di MAPK Koto Baru Padang Panjang Sumatera Barat.
Sembari kuliah di UIN Jakarta, adhha juga menjadi santri di
Pondok Tahfidz Nurul Hikmah Ciputat (2014-2015). Sejak
2017 sampai sekarang aktif menjadi peneliti di bidang Islamic
studies, hukum, komunikasi, dan gender. Adhha juga aktif
mempublikasikan karya ilmiahnya dan hasil penelitiannya di
berbagai jurnal terakreditasi nasional maupun jurnal
international. Adhha hingga sekarang masih aktif mengikuti
berbagai konferensi ilmiah baik di tingkat nasional maupun
internasional. Selain itu adhha juga aktif sebagai penulis buku
ilmiah populer dan antologi, diantaranya Pemulihan Perempuan
Korban Kekerasan Analisis Perspektif Hukum Positif dan
Hukum Islam (2020) dan Kekuatan Do'a (2018).
Nomor kontak penulis (+6289617843241)
email: nurul.adhha@staff.itera.ac.id.

180
Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Indonesia

181

Anda mungkin juga menyukai