LP Isolasi Sosial - Ni Putu Pande Ratnawati - 2014901228

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

ISOLASI SOSIAL

OLEH :

NI PUTU PANDE RATNAWATI


NIM.2014901228

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA
PADA PASIEN DENGAN PASIEN ISOLASI SOSIAL

I. Kasus/Masalah Utama
Masalah utama dalam laporan pendahuluan ini adalah isolasi sosial.
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Pengertian
Penarikan diri atau isolasi sosial merupakan suatu tindakan
melepaskan diri baik perhatian ataupun minatnya terhadap lingkungan
sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara ataupun menetap
(Abdul Muhith, 2015).
Isolasi sosial adalah keadaan di mana seseorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya (Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan
mengancam (Farida, 2012).
Isolasi sosial adalah suatu sikap dimana individu menghindari diri
dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan
hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi
perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Mereka mempunyai kesulitan
untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbang dalam
Fitria, 2010).
B. Etiologi
Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif.
Menurut Stuart dan Sundeen (2007), belum ada suatu kesimpulan yang
spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan
interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:
1. Faktor Predisposis
Menurut Fitria (2009) ada empat faktor predisposisi yang
menyebabkan Isolasi Sosial, diantaranya:
a) Faktor Tumbuh Kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial. Bila tugas perkembangan tidak
terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial
yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah social
(Damaiyanti, 2012).
b) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam
hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma yang
salah dianut oleh keluarga di mana setiap anggota keluarga yang
tidak produktif seperti lanjut usia, penyakit kronis, dan
penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosialnya
c) Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung
terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
dapat mempengaruhi terjadinya gangguan hubungan sosial
adalah otak, misalnya pada klien skizofrenia yang mengalami
masalah dalam hubungan sosial memiliki struktur yang
abnormal pada otak seperti atropi otak, serta perubahan ukuran
dan bentuk sel sel dalam limbik dan daerah kortikal
d) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam
teori ini yang termasuk dalam masalah berkomunikasi sehingga
menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana
seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling
bertentangan dalam waktu bersama atau ekspresi emosi yang
tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan
dengan lingkungan diluar keluarga.
2. Faktor Presipitasi (pencetus)
Menurut Stuart (2007) faktor presipitasi atau stresor pencetus
pada umumnya mencakup peristiwa kehidupan yang menimbulkan
stres seperti kehilangan, yang memenuhi kemampuan individu
berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. Faktor
pencetus dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu sebagai
berikut :
a) Stresor Sosiokultural.
Stres dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain
dan faktor keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga
dan berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b) Stresor Psikologi.
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan untuk
mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan orang dekat atau
kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
(Prabowo, 2014)
C. Tanda dan Gejala
1. Gejala subjektif
a) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain
b) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain
c) Klien merasa bosan
d) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan
e) Klien merasa tidak berguna
2. Gejala objektif
a) Menjawab pertanyaan dengan singkat, yaitu “ya” atau “tidak”
dengan pelan
b) Respon verbal kurang dan sangat singkat atau tidak ada
c) Berpikir tentang sesuatu menurut pikirannya sendiri
d) Menyendiri dalam ruangan, sering melamun
e) Mondar-mandir atau sikap mematung atau melakukan gerakan
secara berulang-ulang
f) Apatis (kurang acuh terhadap lingkungan)
g) Ekspresi wajah tidak berseri
h) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
i) Kontak mata kurang atau tidak ada dan sering menunduk
j) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya
(Trimelia, 2011)
D. Akibat
Salah satu gangguan berhubungan sosial diantaranya perilaku
menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan oleh perasaan tidak
berharga yang bisa dialami pasien dengan latar belakang yang penuh
dengan permasalahan, ketegangan, kekecewaan, dan kecemasan
(Prabowo, 2014).
Perasaan tidak berharga menyebabkan pasien makin sulit dalam
mengembangkan berhubungan dengan orang lain. Akibatnya pasien
menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktivitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Pasien
semakin tenggelam dalam perjalinan terhadap penampilan dan tingkah
laku masa lalu serta tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut halusinasi (Stuart dan Sudden dalam Dalami,
dkk 2009).
III. Pohon Masalah dan Data Yang Perlu Dikaji
A. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Resiko Gangguan Efek


Persepsi Sensori:
Halusinasi

Isolasi Sosial Core Problem

Koping Individu Tidak


Efektif Causa

B. Data Yang Perlu Dikaji


1. Subjektif
a) Tidak mau berbicara
b) Tidak mau bertemu orang
c) Menyendiri
d) Tidak mau kontak dengan orang lain
2. Objektif
a) Pasien hanya diam
b) Tidak ada kotak mata
c) Menyendiri
d) Tidak mau makan
e) Selalu menunduk saat diajak berkomunikasi
f) Kurang bersemangat

IV. Diagnosa Keperawatan


Dari pengkajian yang dilakukan pada klien dengan isolasi social, diagnosa
keperawatan yang mungkin muncul yaitu
a. Isolasi Sosial
b. Koping Individu Tidak Efektif
c. Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi

V. Perencanaan Keperawatan
Adapun rencana keperawatan yang diberikan pada klien dengan isolasi
social dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu sebagai berikut:
Klien Keluarga
No
SPIP SPIK
1. Mengidentifikasi penyebab Mendiskusikan masalah yang
isolasi sosial pasien dirasakan keluarga dalam merawat
pasien
2. Berdiskusi dengan pasien Menjelaskan pengertian, tanda dan
tentang keuntungan gejala isolasi yang dialami pasien
berinteraksi dengan orang beserta
lain proses terjadinya
3. Berdiskusi dengan pasien Menjelaskan cara-cara merawat
tentang kerugian tidak pasien isolasi sosial
berinteraksi dengan orang
lain
4. Mengajarkan pasien cara
berkenalan dengan satu
orang
5. Membimbing pasien
memasukan kegiatan dalam
jadwal kegiatan harian
SP2P SP2K
1. Memvalidasi masalah dan Melatih keluarga mempraktikan cara
latihan sebelumnya merawat pasien dengan isolasi social
2. Melatih pasien berkenalan Melatih keluarga melakukan cara
dengan dua orang atau merawat langsung kepada psien
lebih isolasi sosial
Membimbing pasien
3. memasukan dalam jadwal
kegiatan harian
SP3P SP3K
1. Memvalidasi masalah dan Membantu keluarga membuat jadwal
latihan sebelumnya aktivitas di rumah termasuk minum
2. Melatih pasien berinteraksi obat (discharge planning).
dalam kelompok Menjelaskan follow up pasien
3. Membimbing pasien setelah pulang
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian

Menurut Keliat dan Akemat (2010)  intervensi keperawatan untuk pasien


dengan isolasi sosial adalah
a. Tindakan keperawatan pada klien
1. Tujuan keperawatan
a) Klien dapat membina hubungan saling percaya
b) Klien dapat menyadari penyebab isolasi social
c) Klien dapat berinteraksi dengan orang lain
2. Tindakan keperawatan
a) SP 1 klien : Membina hubungan saling percaya, membantu klien
mengenal manfaat berhubungan dan kerugian tidak berhubungan
dengan orang lain, dan mengajarkan klien berkenalan.
1) Bina hubungan saling percaya
(a) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan klien
(b) Berkenalan dengan klien : perkenalkan nama lengkap dan
nama panggilan perawat serta tanyakan nama lengkap dan
nama panggilan klien.
(c) Tanyakan perasaan dan keluhan klien saat ini.
(d) Buat kontrak asuhan : apa yang perawat akan lakukan
bersama klien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempat
pelaksanaan kegiatan.
(e) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi
yang diperoleh untuk kepentingan terapi.
(f) Tunjukan sikap empati terhadap klien setiap saat
(g) Penuhi kebutuhan dasar klien jika mungkin
2) Bantu klien mengenal penyebab isolasi social
(a) Tanyakan pendapat klien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain
(b) Tanyakan penyebab klien tidak ingin berinteraksi dengan
orang lain
3) Bantu klien mengenal manfaat berhubungan dengan orang lain
dengan cara mendiskusikan manfaat jika klien memiliki
banyak teman.
4) Bantu klien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain dengan cara :
(a) Diskusikan kerugian jika klien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain
(b) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik
klien
5) Bantu klien untuk berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap
b) SP 2 klien     : Mengajarkan klien berinteraksi secara bertahap
(berkenalan dengan orang pertama/perawat).
c) SP 3 klien     : Melatih klien berinteraksi secara bertahap
(berkenalan dengan orang kedua/klien).

VI. Diagnosa Medis


A. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan sekelompok gangguan psikotik, dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir.
Kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan
kekuatan dari luar. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi
pikiran dan persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak
serasi atau tumpul.
Skizofrenia juga dapat diartikan sebagai sindrom heterogen kronis
yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi,
perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi
psikososial. Gangguan pemikiran tidak saling berhubungan secara logis,
persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan
berbagai gangguan aktivitas motorik yang aneh. OSD (orang dengan
skizofrenia) menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali
masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi.
B. Etiologi Skizofrenia
1. Endokrin
Teori ini dikemukakan berhubungan dengan sering timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium
dan waktu klimakterium, tetapi teori ini tidak dapat dibuktikan.
2. Metabolisme
Teori ini didasarkan karena penderita skizofrenia tampak pucat, tidak
sehat, ujung extremitas agak sianosis, nafsu makan berkurang dan
berat badan menurun serta pada penderita dengan stupor katatonik
konsumsi zat asam menurun. Hipotesa ini masih dalam pembuktian
dengan pemberian obat halusinogenik.
3. Teori Adolf Meyer
Menurut Meyer, skizofrenia merupakan suatu reaksi yang salah,
suatu maladaptasi, sehingga timbul disorganisasi kepribadian dan
lama kelamaan orang tersebut menjauhkan diri dari kenyataan
(otisme).
4. Teori Eugen Bleuler
Penggunaan istilah skizofrenia menonjolkan gejala utama penyakit
ini yaitu jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau
ketidakharmonisan antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan.
Bleuler membagi gejala skizofrenia menjadi 2 kelompok yaitu gejala
primer (gangguan proses pikiran, gangguan emosi, gangguan
kemauan dan otisme), gejala sekunder (waham, halusinasi dan gejala
katatonik atau gangguan psikomotorik yang lain).
C. Klasifikasi Skizofrenia
1. Skizofrenia Simplek
Sering timbul pertama kali pada usia pubertas, gejala utama berupa
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses
berfikir sukar ditemukan, waham dan halusinasi jarang didapat, jenis
ini timbulnya perlahan-lahan.
2. Skizofrenia Hebefrenia
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada
masa remaja atau antaraa 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah
gangguan proses berfikir, gangguan kemauaan dan adanya
depersonalisasi atau double personality.
3. Skizofrenia Katatonia
Timbulnya pertama kali umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta
sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
4. Skizofrenia Paranoid
Gejala yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan
waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan pemeriksaan yang
teliti umumnya ada gangguan proses berfikir, gangguan afek emosi
dan kemauan.
D. Penatalaksanaan Skizofrenia
1. Terapi somatik (medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati skizofrenia disebut
antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan
perubahan pola fikir yang terjadi pada skizofrenia. Pasien mungkin
dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum mendapatkan
obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok bagi
pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan
merupakan terapi obat-obatan pertama yang efektif untuk mengobati
Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat antipsikotik yang dikenal saat
ini, yaitu:
a) Antipsikotik konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunaannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif, antipsikotik
konvensional sering menimbulkan efek samping yang serius.
Contoh obat antipsikotik konvensional yaitu: Haldol
(haloperidol), stelazine (trifluoperazine), mellaril (thioridazine),
thorazine (chlopromazine), trilafon (perphenazine), dan prolixin
(flufenazine)
b) Newer atypical antipsycotics
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal karena
prinsip kerjanya berbeda, serta sedikit menimbulkan efek
samping dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.
Contoh newer atypical antipsycotics yang tersedia yaitu:
Risperdal (risperidone), seroquel (quetiapine), dan zyprexa
(olanzopine).
c) Clozaril (Clozapine).
Clozaril memiliki efek samping yang jarang tetapi sangat serius.
Clozaril dapat menurunkan jumlah sel darah putih yang berguna
untuk melawan infeksi. Ini artinya pasien yang mendapat
crozaril harus memeriksakan kadar sel darah putihnya secara
reguler. Para ahli merekomendasikan penggunaan crozaril bila
paling sedikit 2 dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak
berhasil.
2. Terapi Psikososial
a) Terapi perilaku
Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus
untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa. Dengan
demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang
seperti berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan
postur tubuh aneh dapat diturunkan.
b) Terapi berorientasi keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, pasien skizofrenia
kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali anggota keluarga dengan jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur. Ahli terapi harus membantu
keluarga dan pasien mengerti tentang skizofrenia. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga efektif dalam
menurunkan relaps.
c) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi
secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial,
meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi
pasien skizofrenia. Kelompok yang memimpin dengan cara
suportif sangat baik dilakukan untuk memulihkan kondisi
pasien.
Daftara Pustaka

Dalami, dkk . (2009). Buku Saku Komunikasi Keperawatan. Cetakan


pertama. Jakarta : Trans Info Media
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.
Bandung: Refika Aditama
Dermawan, Deden & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa: Konsep dan
Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen
Publising
Farida Kusumawati & Yudi Hartono. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika.
Fitria , N. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika
Fitria, (2010). Prinsip dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
Dan Strategi Pelaksanaa
Herdman. (2011). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta. Nuha Medika
Kusumawati, F & Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa.
Jakarta: Salemba Medika
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa( Teori dan Aplikasi).
Yogyakarta: Andi.
Prabowo, Eko. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika
Stuart, Gail, W. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Editor
Pamilih Eko Karyuni ; alih Bahasa. Jakarta : EGC.
Stuart, dan Sundeen. (2007). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta:
EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan
Indonesia. Jakarta: DPP PPNI
Trimeilia. (2011). Asuhan Keperawatan Klien Isolasi Sosial. Jakarta Timur:
TIM.

Anda mungkin juga menyukai