Anda di halaman 1dari 3

R.

A KARTINI
Sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya berawal kala dia yang berusia
12 tahun dilarang melanjutkan studinya sehabis tadinya bersekolah di Europese
Lagere School( ELS) di mana dia pula belajar bahasa Belanda. Larangan buat
Kartini mengejar cita- cita bersekolahnya timbul dari orang yang sangat dekat
dengannya, ialah bapaknya sendiri.

Bapaknya bersikeras Kartini wajib tinggal di rumah sebab umurnya telah


menggapai 12 tahun, berarti dia telah dapat dipingit. Sepanjang masa dia tinggal
di rumah, Kartini kecil mulai menulis surat- surat kepada sahabat
korespondensinya yang mayoritas berasal dari Belanda, di mana dia setelah itu
memahami Rosa Abendanon yang kerap menunjang apapun yang direncanakan
Kartini.

Dari Abendanon jugalah Kartini kecil mulai kerap membaca buku- buku serta
koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, ialah tentang gimana
wanita- wanita Eropa sanggup berpikir sangat maju. Api tersebut jadi terus
menjadi besar sebab dia memandang perempuan- perempuan Indonesia
terdapat pada strata sosial yang amat rendah.
Lewat surat- surat yang dia kirimkan, nampak jelas kalau Kartini senantiasa
membaca seluruh perihal dengan penuh atensi sembari terkadang membuat
catatan kecil, serta tidak tidak sering pula dalam suratnya Kartini menyebut
judul suatu karangan ataupun cuma melansir kalimat- kalimat yang sempat dia
baca.

Saat sebelum Kartini tiba usia 20 tahun, dia telah membaca buku- buku
semacam De Stille Kraacht kepunyaan Louis Coperus, Max Havelaar serta
Surat- Surat Cinta yang ditulis Multatuli, hasil buah pemikiran Van Eeden,
roman- feminis yang dikarang oleh Nyonya Goekoop de- Jong Van Beek, serta
Die Waffen Nieder yang ialah roman anti- perang tulisan Berta Von Suttner.
Seluruh buku- buku yang dia baca berbahasa Belanda.

Pada bertepatan pada 12 November 1903, Kartini dituntut menikah dengan


bupati Rembang oleh ibu dan bapaknya. Bupati yang bernama K. R. Meter.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini tadinya telah mempunyai istri,
tetapi nyatanya suaminya sangat paham cita- cita Kartini serta memperbolehkan
Kartini membangun suatu sekolah perempuan.

Sepanjang pernikahannya, Kartini cuma mempunyai satu anak yang diberi nama
Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini setelah itu menghembuskan napas
terakhirnya 4 hari sehabis melahirkan anak salah satunya di umur 25 tahun.
Pemikiran serta Surat- Surat Kartini Wafatnya Kartini tidak serta- merta
mengakhiri perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya sebab salah satu temannya
di Belanda, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan surat- surat yang dahulu
sempat dikirimkan oleh Kartini kepada sahabatnya di Eropa. Abendanon setelah
itu membukukan segala pesan itu serta diberi nama Door Duisternis tot Licht
yang bila dimaksud secara harfiah berarti" Dari Kegelapan Mengarah Sinar".
Novel ini diterbitkan pada tahun 1911, serta cetakan terakhir ditambahkan suatu
pesan" baru" dari Kartini.

Pemikiran- pemikiran Kartini dalam surat- suratnya tidak sempat dapat dibaca
oleh sebagian orang pribumi yang tidak bisa berbahasa Belanda. Baru pada
tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkan tipe translasi novel dari Abendanon yang
diberi judul" Habis Hitam Terbitlah Cerah: Buah Benak" dengan bahasa Melayu.

Pada tahun 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam
kalangan Pujangga Baru menerbitkan tipe translasinya sendiri dengan judul
Habis Hitam Terbitlah Cerah. Tipe kepunyaan Pane membagi novel ini dalam 5
bab buat menampilkan metode berpikir Kartini yang terus berganti. Sebagian
translasi dalam bahasa lain pula mulai timbul, serta seluruh ini dicoba supaya
tidak terdapat yang melupakan sejarah perjuangan RA. Kartini semasa hidupnya
itu.

Anda mungkin juga menyukai