Anda di halaman 1dari 5

BAB V

PEMBAHASAN

Berdasarkan paparan data dan temuan data yang telah disajikan pada Bab

IV, maka pada Bab V ini peneliti melakukan pembahasan. Pembahasan yang

dilakukan meliputi bentuk ketidakadilan gender berupa aspek marginalisasi, aspek

subrordinat, aspek stereopit, aspek kekerasan, aspek beban kerja dan bentuk citra

perempuan berupa aspek fisik, aspek psikis, aspek social, dan aspek budaya yang

terdapat dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam Karya Dian

Purnomo.

5.1 Bentuk Ketidakadilan Gender yang Terjadi dalam Novel Perempuan

yang Menangis kepada Bulan Hitam karya Dian Purnomo

Ketidakadilan gender merupakan kondisi di mana relasi antara laki-laki

dan perempuan berlangsung timpang, merugikan bahkan mengorbankan salah

satu pihak ( Alfian, 2016:18). Akan tetapi yang menjadi masalah dan perlu

digugat oleh mereka adalah struktur ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran

gender dan perbedaan gender tersebut. Berdasarkan studi yang dilakukan dengan

menggunakan analisis gender ini, banyak ditemukan manifestasi ketidakadilan

seperti berikut: Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap

kaum perempuan. Kedua, terjadi subordinasi terhadap salah satu jenis kelamin,

umumnya kaum perempuan. Ketiga, adalah pelabelan negatif (streotipe) terhadap

jenis kelamin tertentu, dan strotipe itu mengakibatkan terjadinya diskriminasi


serta berbagai ketidakadilan lainnya. Keempat, kekerasan (violence) terhadap

jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, karena perbedaan gender. Kelima,

karena peran gender perempuan adalah mengolah rumah tangga, maka banyak

perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama

(burden).

Bentuk manifestasi ketidakadilan gender yang dikemukakan oleh Alfian

tersebut diungkapkan pula oleh Handayani dan Sugiarti (2008). Guna memahami

bagaimana perbedaan gender telah berakibat pada ketidakadilan gender tersebut

dapat dipahami sebagai berikut.

5.1.1 Marginalisasi

Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi. Ada beberapa

mekanisme proses marginalisasi kaum perempuan. Dari segi sumbernya bisa

berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi

dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi yang

disebabkan oleh perbedaan gender adalah adanya program di bidang pertanian

misalnya: revolusi hijau yang memfokuskan pada petani laki-laki mengakibatkan

banyak perempuan tergeser dan menjadi miskin. Sesungguhnya banyak proses di

dalam masyarakat dan negara yang memarginalkan masyarakat, seperti proses

eksploitasi namun ada salah satu bentuk pemiskinan yang berakibat hanya pada

jenis kelamin tertentu (perempuan) yang disebabkan oleh keyakinan gender.

Sebagai salah satu rangkaian dari upacara perkawinan, tradisi belis

menjadi langkah awal dalam menentukan posisi dalam relasi selanjutnya ketika
kabihu/kabizu yang terlibat di dalamnya belum jelas posisinya apakah sebagai

pengambil atau pemberi perempuan. Belis dalam masyarakat Sumba merupakan

salah satu tradisi yang mempunyai pertautan erat dengan tradisi-tradisi lain terkait

dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan manusia, serta

kondisi lingkungan alam setempat. Belis merupakan acara pemberian atau

penyerahan hewan (biasanya kerbau babi, dan kuda) dari pihak calon pengantin

laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan. Dalam masyarakat sumba

sebuah pernikahan selalu di atur orang tua, bahkan urusan belis pun di atur oleh

orang tua, pengantin hanya menerima jadi. Tapi jika sudah menikah segala

sesuatu kalua ada utang itu yang menangung bukan lagi orang tua melainkan

penganti tersebut.

Gambaran di atas dapat dibuktikan berdasarkaan kutipan berikut ini

(1)” Walaupun menikah karena cinta, tetapi tantangan kamu cukup


banyak. Sa punya suami dan sa punya kelurga juga bukan dari orang
berada. Hanya cukup sa. Tetapi kami tidak bisa memakai cara sendiri.
Semua orang tua yang atur. Lalu ketika sudah jatuh menikah, utang-utang
menjadi kami punya,” begitu Lawe bercerita. “ kami menunda punya anak
pun salah. Padahal kami hanya mau punya anak lahir ketika kami su siap,
su tidak ada utang. Sekarang sa punya suami masih ada utang delapan
ekor lagi hewan ke sa punya keluarga.(1/AK/135).

5.1.2 Subordinasi

Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap

perempuan. Terjadinya subordinasi terhadap perempuan disebabkan oleh tidak

adanya rasa pengertian laki-laki terhadap perempuan. Anggapan tidak penting

dalam mengambil keputusan. Anggapan sementara perempuan itu irrasional atau


emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat

munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Hal tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke

tempat dan dari waktu ke waktu secara peran dan posisi juga pekerjaan.

Kawin tangkap merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan

dalam adat masyarakat Sumba. Dalam istilah adat, cara peminangan ini

dinamakan piti rambang atau ambil paksa. Dalam hal ini, calon mempelai laki-

laki akan ‘menangkap’ calon mempelai perempuannya untuk kemudian dilamar

dan dinikahi. Kawin tangkap sebenarnya sudah ada kesepakatan antara kedua

belah pihak yaitu keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, namun tanpa

melibatkan perempuan itu sendiri. Anggapan tidak penting keputusan perempuan

itu yang menyebabkan tidak adanya keterlibatan perempuan dalah hal perjanjian

tersebut.

Gambaran di atas dapat dibuktikan berdasarkaan kutipan berikut ini

(1)”Seperti halnya Rega, Dangu tidak pernah Magi bercerita kepadanya


tentang Lebah Ali terkait lamaran, apalagi belis ( anak perempuan tak
tahu menahu soal perjanjian kawin tangkap, sebenarnya juga bukan
hal baru). Namun Lebah Ali juga bukanlah orang baru di hidup mereka.
Sudah sejak lama dijuluki mata keranjang, Lebah Ali adalah teman ama
kecil Magi yang sering berdatang kerumah Magi. Menurut cerita Magi,
sejak dulu pun, sejak teteknya bahkan belum tumbuh, Lebah Ali sudah
giat mencuri pandang bahkan beberapa kali mencoleknya. Dagu juga
pernah memergoki Lebah Ali memandagi Magi saaat perempuan itu dan
dirinya belajar berenang bersama. (1/AK/20-21)
(2) “Pemikiran awal bahwa Lebah Ali adalah satu-satunya yang bersalah,
perlahan pupus. Magi curiga ayahnya juga berada di balik upaya kawin
paksa ini. Hamper semua cerita yang dia dengar tentang kawin tangkap
selalu sama. Ada kesepakatan antar keluarga penculik dan keluarga
perempuan, tanpa melibatkan perempuan itu sendiri. Ayahnya, orang
yang selama ini Magi dia pikir berbeda dari ayah teman-temannya ternyata
sama saja.(2/AK/62)
Tokoh Magi benar-benar gusar karena jika perjajian adat sudah di sepakati

oleh wunang kedua keluarga maka tidak bisa dibatalkan atau diingkari karena

mengingkari sama saja dianggap keluarga pembawa bencana. Walau pun Magi

berontak atau berpedapat kepada keluarganya akan tetapi suaranya tidak akan

pernah dianggap, begitu juga suara perempuan yang lainnya di dalam rumahnya

sendiri.

Gambaran di atas dapat dibuktikan berdasarkaan kutipan berikut ini

(3)”Dengan ditutupnya laporan polisi bahwa Lebah Ali adalah tersangka


otak penculikan dan pelaku pemerkosaan terhadap Magi, maka larangan
laki-laki jahanam itu tidak boleh mendekati Magi pun turut dicabut. Dari
ayahnya, Magi mendengar sendiri bahwa rencana pernikahaan akan tetap
diteruskan karena Ama Bobo tidak sanggup menanggung aib dan tidak
mau keluarganya dianggap membawa bencana di seluruh kampung karena
mengingkari kesepakatan yang sudah dibuat antar wunang kedua keluarga.
Magi benar-benar gusar tetapi suaranya tidak berarti di rumahnya
sendiri. Sama seperti suara-suara perempuan lain di balik rumah-
rumah besar mereka.(3/AK/111).

5.1.3 Stereopit

Anda mungkin juga menyukai