Di Susun Oleh :
Syafiqatul Fuady
(200104500002)
2020
PENUGASAN
3. Kunjungilah salah satu kawasan permukiman yang ada di sekitar kampus atau
tempat tinggal saudara. Identifikasi nilai budaya dan perilaku arif apa yang masih
diterapkan dan yang telah ditinggalkan!
TABE’ (permisi) merupakan budaya yang sangat indah yang ditinggalkan oleh
leluhur yang mewariskan sopan santun yang tidak hanya melalui ucapan tetapi juga
dengan gerak. Bagaimanapun itu, hal ini perlu tetap dijaga karena tidak hanya
diperuntukkan kepada yang muda melakukan ke yang lebih tua tetapi juga sebaliknya.
Realita Saat Ini adalah budaya tabe’ perlahan-lahan mulai luntur dalam masyarakat,
khususnya pada kalangan anak-anak dan remaja. Mereka tidak lagi memiliki sikap tabe’
dalam dirinya. Entah karena orangtua mereka tidak mengajarkannya atau memang
karena kontaminasi budaya Barat yang menghilangkan budaya tabe’ ini. Mereka tidak
lagi menghargai orang yang lebih tua dari mereka. Mereka melewati tanpa permisi,
bahkan yang sering saya temukan banyak anak-anak yang memakai kata ‘BROO’ untuk
menyapa orang yang lebih tua dari mereka, bahkan kepada orangtua mereka sendiri.
Padahal sopan santun itu jika digunakan akan mencegah banyak keributan, akan
mencegah terjadi pertengkaran dan akan mempererat rasa persaudaraan. Bahkan jika
budaya tabe diterapkan dalam masyarakat maka tidak ada egosentris yang memicu
konflik seperti tawuran pelajar, perang antar saudara, dan jika dikerucutkan kewilayah
peserta didik, anak-anak yang mengenal budaya tabe’ akan berperilaku sopan dan tidak
mengganggu temannya.
4. Susunlah buku kerja tentang apa saja yang akan dan telah saudara lakukan setiap
hari terkait dengan aspek budaya terkait perilaku arif terhadap lingkungan
hidup.
Sejak abad yang lalu telah terjadi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran
manusia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Global per kapita pendapatan telah
hampir berlipattiga, pengharapan hidup rata-rata telah meningkat dengan hampir dua-
per-tiga, dan orang secara signifikan lebih terpelajar serta terdidik dibandingkan
pendahulu mereka. Namun demikian, abad yang lalu juga terjadi berbagai kerusakan
lingkungan hidup – bahwa dalam mengejar suatu peningkatan kualitas hidup, manusia
khususnya korporasi, mulai mengembangkan perilaku yang merusak lingkungan hidup
dan mengganggu keberlanjutan sumberdaya alam dan, oleh karena itu, bertentangan
dengan kepentingan jangka panjang kita. Populasi manusia secara geometris
berkembang pesat, sementara daratan panen mengalami erosi, hutan merosot, spesies
sedang menghadapi pemunahan, suplai air bersih berkurang, perikanan menurun dan
polusi mengancam kesehatan manusia. Secara keseluruhan, masyarakat sedang
mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kualitas sumberdaya alam yang
semakin menurun sementara pertumbuhan yang dilakukan manusia justru tergantung
kepadanya. Pertentangan nyata ini telah mendorong banyak peneliti untuk melakukan
penelitian tentang penyebab dan solusi bagi degradasi lingkungan hidup. Makalah ini
menawarkan fokus serupa, namun demikian juga menerapkan suatu lensa dari perilaku
organisasi untuk menghasilkan penglihatan mendalam terhadap perilaku-perilaku yang
secara nyata tidak kelihatan. Di dalam pandangan penulis, permasalahan lingkungan
hidup bukan semata-mata masalah teknologi atau ekonomi, tetapi juga masalah tingkah
laku dan budaya. Sementara itu teknologi dan kegiatan ekonomi mungkin saja menjadi
penyebab perilaku yang merusak lingkungan hidup secara langsung. Adalah
argumentasi penulis dimana kepercayaan-kepercayaan individual, norma-norma
budaya dan institusi kemasyarakatan memandu pengembangan tingkah laku yang
merusak lingkungan hidup. Pertanyaan dalam diri penulis, kemudian, harus
mempertimbangkan bagaimana perilaku individual dan sosial membentuk persepsi
mereka terhadap lingkungan hidup dan bagaimana mungkin individu, organisasi, dan
nilai instrumental dapat mengabadikan perilaku yang merusakkan lingkungan hidup itu.
Penulis mulai dengan satu asumsi sederhana bahwa manusia, menurut sejarah, telah
terlibat dalam perilaku yang merusak lingkungan hidup dan berada dalam posisi yang
bertentangan dengan kepentingan lingkungan bagi kemampuannya bertahan hidup
dalam jangka panjang. Karena kecenderungan inilah, banyak peluang telah hilang
untuk mengoreksi disfungsionalitas ini. Ada pendapat bahwa banyak atribut yang
menghilangkan peluang bagi ilmu sosial dan ilmu politik untuk mempromosikan
perlindungan terhadap lingkungan hidup. Penulis tidak setuju. Bagaimanapun, para
ilmu pengetahuan sosial dan politik memfokuskan pada seberapa jauh persepsi dan
pengembangan ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, dan struktur sosial
mempengaruhi proses perilaku yang merusak lingkungan hidup. Perilaku yang merusak
lingkungan hidup ini mencakup perilaku-perilaku yang memfokuskan kebutuhan yang
dengan segera harus dipenuhi dan tidak memperhitungkan masa depan dan secara
bersamaan mengabaikan nilai dari modal lingkungan hidup dan dampak negatifnya.
Berbagai jenis perilaku ini mengantar penulis pada pemikiran tentang bagaimana tiga
tingkat dari batasan organisasi dapat membatasi kemampuan kita untuk merasakan
kerusakan lingkungan hidup
LATIHAN
Dengan etika lingkungan, kita tidak saja mengimbangi hak dan kewajiban
terhadap lingkungan, tetapi etika lingkungan hidup juga membatasi perilaku, tingkah
laku dan upaya untuk mengendalikan berbagai kegiatan agar tetap berada dalam batas
kewajaran lingkungan hidup.
1. Keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas kehidupan di bumi dalam
arti yang sama dan dalam kerangka yang sama dengan makhluk hidup lain dan
merupakan anggota dari komunitas yang sama.
2. Keyakinan bahwa spesies manusia, bersama spesies lain adalah bagian dari sistem
yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari makhluk
manapun, serta peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya tidak ditentukan
oleh kondisi fisik lingkungan, melainkan oleh relasinya satu sama lain.
3. Keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan
sendiri. Artinya setiap organisme adalah unik dalam mengejar kepentingan sendiri
sesuai caranya sendiri.
4. Keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendir tidak lebih unggul dari makhluk hidup
lain.