Anda di halaman 1dari 22

MEyYUSUI KEADAAN KHUSUS

1. Menyusui pada ibu HIV

Menyusui pada ibu pengidap HIV merupakan masalah penting dan selalu menjadi perdebatan. Hal ini
dikarenakan efek ganda dari pemberian ASI, yaitu sebagai sumber nutrisi utama pada bayi dalam 6
bulan pertama kehidupannya; di sisi lain juga sarana penularan HIV. Sejak ilmu pengetahuan mampu
membuktikan bahwa salah satu tahap penularan vertikal HIV pada anak adalah melalui air susu ibu,
berbagai langkah pencegahan kemudian diteliti dan dibakukan agar bayi yang lahir dari ibu HIV ini
mendapatkan yang terbaik.Selama 16 tahun terakhir para ahli di dunia telah membuat berbagai
kesepakatan penting mengenai rekomendasi pemberian makan pada bayi yang terpapar infeksi HIV dari
ibunya. Awalnya dengan berusaha meniadakan paparan melalui laktasi yang dilakukan di negara maju.
Beberapa tahun kemudian pemberian ASI diijinkan asal dalam waktu yang singkat dan dengan
penghentian cepat. Rekomendasi terakhir adalah mengijinkan pemberian ASI asalkan diberikan secara
eksklusif selama 6 bulan pertama dan boleh dilanjutkan hingga usia anak 2 tahun.Panduan nasional
maupun rekomendasi internasional dibuat umum, karenanya tidak serta merta tepat atau relevan
dengan situasi yang dihadapi suatu masyarakat, kecuali bila sudah diadaptasikan menurut konteks
budaya dan sosial dimana perempuan dapat mengambil keputusan sendiri dalam hal pengasuhan
anaknya. Untuk mengetahui permasalahan kontroversi dalam pemberian ASI pada bayi yang lahir dari
ibu HIV akan dibahas mengenai risiko dalam ASI, berbagai data penelitian penting dan simulasi
penghitungan untung-rugi pemilihan laktasi atau tidak.

a. Siklus hidup virus HIV

Virus HIV adalah virus dengan inti terdiri dari 2 lembaran RNA(ribonucleic acid) dan terbungkus kapsul
inti dan kapsul luar. Virus ini memerlukan sel host (inang) untuk hidup dan berkembang biak. Asal-usul
virus ini belum diketahui pasti; beberapa hipotesis yang mendekati kenyataan pembuktian genetik
adalah hasil mutasi virus serupa yang menginfeksi kera Macaque dan diduga sudah ada sejak 70 tahun
yang lalu. Perkembangan penyakit infeksi HIV sendiri baru jelas pada tahun 1980-an.Bila virus HIV masuk
ke dalam tubuh manusia, maka ia akan berusaha menempel pada sel dan masuk ke dalamnya. Sel yang
dipilih virus ini terutama adalah sel limfosit CD4, yaitu salah satu subtipe sel limfosit dalam tubuh kita
yang bertugas mengatur respon imun tubuh terhadap berbagai serangan infeksi dari luar. Selain sel
terpilih tersebut, sel lain yang juga diserang adalah makrofag, sel dendrit-keduanya dari golongan sel
yang sama yang bertugas sebagai pembersih dan pemakan semua bahan asing atau sel mati dalam
tubuh- sel lemak, dan sel glia di otak.Setelah berhasil menempel, dengan senjatanya virus ini akan
menyatukan kapsul luarnya dengan dinding sel host/inang dan intinya masuk ke dalam badan sel
inangnya. Sebenarnya dengan karakteristik RNA, virus HIV harusnya hanya berhenti di sitoplasma (cairan
tubuh sel). Tetapi dengan kepiawaian senjata enzim yang dimilikinya, rangkaian RNA tersebut kemudian
diubah menjadi rangkaian DNA (deoxyribonucleic acid) serupa dengan rangkaian genetik inti sel inang.
Setelah menjadi rangkaian DNA, materi virus ini (proviral DNA) kemudian masuk ke inti sel inang,
memotong rangkaian DNA sel inang dan menyisipkan diri di antaranya seolah-olah DNA virus ini adalah
bagian dari DNA sel inang yang utuh. Bila inti sel inang ini membelah dan mempersiapkan diri untuk
membuat cloning sel baru, maka secara
langsung virus HIV ikut membelah. Dalam proses pembelahan inti tersebut kemudian diproduksi cetakan
perintah genetik dalam bentuk lembaran RNA yang dikeluarkan ke sitoplasma kembali. Cetakan ini
kemudian dengan aktif mengumpulkan materi protein dari sitoplasma untuk membuat cloning sel baru
dan virus baru. Apabila lembaran inti virus HIV baru sudah lengkap terbentuk, maka lembaran ini akan
berusaha keluar dari badan sel inang yang sudah didudukinya sehingga sel inang menjadi rusak.

b. Perjalanan penyakit penderita infeksi HIV

Baik pada orang dewasa dengan sistim imun yang sudah mapan maupun pada anak, infeksi HIV
menyebabkan sel sasarannya (limfosit CD4) rusak sehingga pada saat jumlahnya sedemikian rendah
maka sistim imun tubuh menjadi tidak dapat berfungsi untuk menghalau infeksi yang ringan sekalipun.
Tidak mengherankan bila pada penderita infeksi HIV, infeksi jamur Candida yang biasanya terjadi lokal
dapat menyebabkan sakit berat. Untuk memudahkan, dibuat peringkat berdasarkan gejala klinisnya
yang dikenal dengan stadium I yang ringan dan hampir tanpa gejala; stadium II yang umumnya muncul
dalam bentuk gangguan di kulit; stadium III dengan aneka infeksi oportunistik dan akhirnya stadium IV
yang kita kenal sebagai AIDS.Pengklasifikasian juga dapat dilakukan berdasarkan jumlah sel limfosit CD4.
Kalau masih segar bugar, umumnya jumlah atau proporsi limfosit CD4 masih normal, makin berat
stadium klinisnya maka makin menurun jumlah sel limfosit CD4. Pada kasus dewasa maupun anak yang
tercatat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, umumnya sudah berada dalam stadium klinis III atau IV dan
dengan jumlah atau proporsi sel limfosit CD4 sangat rendah.

c. Penularan HIV dari ibu ke anak

Sebanyak 90% penularan pada anak berumur < 13 tahun terjadi pada saat perinatal, artinya terjadi
selama dalam kandungan, selama proses kelahiran dan sesudah kelahiran. Pembuktian menunjukkan
penularan dapat terjadi melalui plasenta, meskipun plasenta tidak dapat ditembus oleh sel-sel ibu yang
terinfeksi HIV, akan tetapi virus HIV yang bebas masih dapat menembus pertahanan plasenta. Proses
kelahiran merupakan porsi terbesar terjadinya penularan karena selama proses tersebut ada
kemungkinan bayi menelan cairan yang terdapat di jalan lahir; perlukaan akibat gesekan sehingga
memungkinkan terdapatnya luka terbuka di kulit kepala bayi dan meningkatkan risiko bersinggungan
dengan cairan tubuh ibu. Sedangkan penularan pasca lahir yang paling mungkin adalah melalui
pemberian ASI mengingat di ASI dapat ditemukan virus bebas, atau sel limfosit CD4 yang sudah
terinfeksi oleh virus HIV.Bila tidak dilakukan upaya pencegahan apapun, besarnya risiko penularan dari
ibu ke bayi sebesar 40%. Bila tidak dilakukan sesuatu maka dalam waktu singkat akan terdapat banyak
anak hidup yang tertular HIV dan akan menyebabkan beban kesehatan yang nyata di seluruh dunia. Oleh
karena itu dilakukan berbagai cara untuk mengurangi besarnya transmisi perinatal ini dan WHO
menjadikannya sebagai unsur dasar gerakan mengontrol penyebaran infeksi HIV di dunia.Sejak tahun
1996 ketika program pencegahan lengkap mulai dipublikasikan, angka transmisi ini dapat diturunkan
lebih dari 50%nya. Yang dikatakan pencegahan penularan lengkap adalah mengobati ibu saat kehamilan
dengan pemberian anti retroviral (ARV), menghindari jalan lahir normal dengan melakukan operasi
Caesar elektif dan tidak memberikan ASI. Gerakan pencegahan ini kemudian dilakukan di seluruh dunia.
Akan tetapi langkah lengkap ini tidak mudah diterjemahkan dan diterapkan pada berbagai kondisi sosial
masyarakat. Di Afrika sudah sejak awal tidak lengkap karena bedah Caesar adalah kemewahan,
meskipun pemberian ARV saja yang sangat sederhana terbukti mampu menurunkan angka penularan
HIV. Namun demikian memilih cara pemberian nutrisi pada bayi tidak sesederhana yang diperkirakan.
Oleh karena itu sekitar tahun 2000 WHO bersamasama UNICEF membuat panduan untuk pemberian
laktasi yang meliputi ASI eksklusif selama beberapa bulan pertama, dan pindah ke penggantinya bila
sudah memungkinkan dalam waktu yang singkat pula.Kemudian muncul banyak laporan, juga dari
Afrika, yang menyatakan bahwa bayi yang mendapat ASI dalam waktu lebih singkat lebih mudah sakit
dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI lebih lama meskipun risiko tertular HIVnya lebih tinggi.
Penyetopan ASI dalam waktu 1 - 3 hari juga menyebabkan timbul beberapa masalah baik pada ibu
maupun pada bayi.Setelah panduan pencegahan dan pemberian ASI dengan cara di atas memiliki
banyak efek buruk untuk populasi Afrika, dibuat rekomendasi baru pada tahun 2010 yang menyatakan
bahwa ibu-ibu yang mengikuti program pencegahan penularan HIV diperbolehkan memberikan ASI
kepada bayi yang dilahirkannya dengan cara pemberiannya secara eksklusif dan dilindungi dengan
pemberian ARV selama jangka waktu menyusui.Dampak dari rekomendasi ini tidak ada untuk
masyarakat yang memilih untuk memberikan susu formula sebagai bagian program pencegahan
transmisi HIV. Untuk masyarakat yang tidak dapat memilih pemberian susu formula maka kehadiran
rekomendasi ini berdampak pada lama pemberian ARV, penyediaannya dan konsekuensi terhadap
program perawatan, pengobatan dan dukungan terhadap orang dengan HIV secara global.

Negara maju menelaah rekomendasi ini dan dampaknya terhadap praktik pencegahan transmisi HIV dari
ibu ke anak yang selama ini mereka lakukan. Untuk Inggris, pada pertemuan terakhir bulan April
2010, BHIVA (British HIV Association) sedang membuat panduan seandainya ada ibu HIV positif yang
berencana memberi ASI pada bayinya. Masalah penting yang harus diawasi untuk keselamatan bayinya
adalah dengan melakukan pemberian ARV pada ibu selama periode menyusui, pengawasan lebih ketat
untuk pemberian ASI eksklusif dan efek samping obat dan diusahakan sesingkat mungkin
serta pemeriksaan kadar virus setiap bulan. Oleh karena itu syarat tambahan untuk ibu yang diijinkan
memberikan ASI adalah kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter.

Cara apapun yang dipilih selalu ada konsekuensinya. Memberi ASI artinya tetap memaparkan bayi pada
kemungkinan tertular infeksi HIV. Tidak memberi ASI menyebabkan tujuan menurunkan angka
mortalitas tidak tercapai karena anak-anak yang lahir dari program pencegahan justru meninggal karena
berbagai sebab akibat tidak memperoleh ASI.

d. Kandungan ASI dalam konteks penularan HIV

Air susu ibu mengandung partikel nutrisi dan vitamin, sel-sel utuh, bakteri komensal, antibodi,
komplemen, komponen kimiawi yang berperan dalam komunikasi antar sel, dan kuman penyakit dalam
bentuk bakteri atau virus. Sel yang berada dalam ASI memiliki konsentrasi 10.000 - 1.000.000 sel/mL,
yang meliputi sel epitel saluran ASI, makrofag dan limfosit. Makrofag adalah sel dalam tubuh manusia
yang berperan dalam memakan sel lain yang tidak berfungsi, kuman, dan segala sesuatu yang dianggap
akan membahayakan tubuh manusia. Sedangkan sel limfosit adalah salah satu jenis sel leukosit yang
berperan sebagai konduktor respon imun tubuh terhadap benda asing atau dianggap asing.
Meskipun belum terbukti bahwa ASI yang ditanam di media tertentu mampu memproduksi koloni virus
HIV, akan tetapi DNA proviral pada ASI dapat dideteksi dengan pemeriksaan PCR (polymerase chain
reaction). Prevalens terdeteksinya partikel DNA HIV pada ASI dari kelompok ibu hamil pengidap HIV
dalam 4 penelitian di Afrika berkisar antara 44 - 58%. Pada penelitian lain di Kenya sel yang terinfeksi
HIV memiliki kisaran 1/10.000 - 1/3 sel. Mereka yang kadar sel terinfeksi HIV pada ASI sangat tinggi
adalah ibu-ibu yang sudah pada tahap stadium klinis HIV lanjut (ditandai dengan kadar sel CD4 sangat
rendah) dan defisiensi vitamin A.

e. Angka kematian bayi dan balita

Pengaruh pemilihan pemberian makan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif terhadap angka kematian
bayi dan balita tidak berbeda. Tanpa melihat berapa banyak yang akhirnya tertular HIV, maka angka
kematian pada saat seharusnya anak-anak ini berumur 2 tahun cukup tinggi. Pada 5 penelitian besar di
Afrika yang membandingkan pemberian susu formula dan ASI pada ibu HIV positif tidak menunjukkan
keunggulan susu formula dari ASI dalam mengukur berapa persen yang tetap hidup sampai usia 2 tahun.
Umumnya lama pemberian ASI pada populasi di atas adalah 4 - 6 bulan, disertai pemberian ARV baik
pada ibu dan atau pada bayinya. Untuk menunjang pemberian susu formula selain diberikan susu
formula juga diberikan akses ke air bersih. Yang ditengarai menyebabkan tingginya kematian adalah
budaya mixed feeding, baik pada kelompok formula maupun ASI.

f. Laktasi dan perburukan gejala klinis ibu

Penelitian yang dilakukan Otieno mencari apakah proses laktasi menyebabkan memburuknya kesehatan
ibu menyusui. Dalam kesimpulannya disebutkan bahwa selama menyusui memang indeks masa tubuh
dan kadar sel limfosit CD4 menurun dengan cepat, tetapi konsentrasi virus di darah dan kematian tidak
meningkat gara-gara ibu menyusukan anaknya. Pada saat yang sama peneliti lain di Kenya justru
melaporkan bahwa kematian pada ibu HIV yang menyusui bayinya terjadi lebih banyak dibandingkan
dengan ibu yang tidak menyusui.

g. ASI lebih superior dibandingkan susu formula untuk negara berkembang

Dalam kaitannya dengan pandemi HIV di seluruh dunia, pendekatan negara maju yang menghilangkan
sama sekali paparan melalui ASI ternyata tidak dapat diterapkan di negara berkembang dan miskin
karena peningkatan angka kematian yang berhubungan dengan pemberian susu formula yang tidak
aman.

Penelitian MASHI di Botswana dan PEPI di Malawi menunjukkan bahwa kebijakan pemberian susu
formula sebagai upaya pencegahan penularan HIV memang berefek menurunkan angka penularan
vertikal akan tetapi di sisi lain menyebabkan angka kematian bayi lebih tinggi karena tidak disertai
dukungan kebijakan publik untuk memenuhi kebutuhan dasar akan air bersih. Demikian pula halnya bila
ASI diberikan dalam waktu yang pendek (KiBS di Kenya, BAN di Malawi dan HIVIGLOB di Uganda).
h. Membuat Laktasi Aman

Untuk situasi daerah di negara Indonesia yang akan menghadapi kesulitan untuk menghilangkan
paparan HIV lewat ASI maka pendekatan seperti negara-negara Afrika di atas dapat dilakukan.
Seandainya memang dipilih untuk memberikan ASI, maka diperlukan langkah-langkah untuk membuat
laktasi cukup aman meskipun tetap memiliki risiko menularkan/penularan HIV.

i. ASI Eksklusif

ASI eksklusif artinya pada periode tersebut hanya ASI yang diberikan pada bayi, tidak termasuk air
sekalipun, apalagi makanan padat. Di negara kita dan juga di banyak negara, mixed feeding ini
menghambat pelaksanaan pemberian ASI eksklusif, baik pada situasi dengan bahaya HIV maupun tidak.

Penelitian pencegahan transmisi HIV yang pemberian ASI eksklusif dikontrol dengan ketat di Afrika
Selatan, penularan HIV pada saat bayinya berumur 6 bulan hanya 4%. Begitu ibu-ibu ini tidak disiplin dan
mixed feeding, maka risiko ini naik 10 kali lipat dengan pemberian makanan padat dan 1,8 kali bila
dicampur susu formula. Pada penelitian lain diketahui bahwa risiko tertular HIV pada mixed
feeding adalah 2-6 kali lipat dibandingkan dengan ASI eksklusif.

Untuk keberhasilan ASI eksklusif ini maka diperlukan perubahan perilaku pada ibu-ibu sejak sebelum
melahirkan. Dengan intervensi perilaku, di penelitian tersebut didapatkan ASI eksklusif pada 82%
peserta penelitian pada umur 6 minggu setelah lahir, 66% pada saat 3 bulan dan 40% pada saat 6 bulan.

Penelitian Mashi melaporkan kepatuhan ibu terhadap penggunaan susu formula di populasinya
mencapai 91% dibandingkan dengan kepatuhan pemberian ASI eksklusif yang hanya 18%. Studi lain di
Zambia menunjukkan bahwa ibu menyusui dengan mudah pindah ke mixed feeding pada saat usia bayi
dini. Penelitian di Cote dIvoire menunjukkan bahwa 69% ibu penderita HIV yang memilih memberikan
susu formula pada bayinya didapatkan masih memberikan susu saja pada umur bayi 3 bulan.

Kepatuhan ibu-ibu ini sebagai unsur penting dalam penelitian belum tentu dengan mudah diaplikasikan
pada masyarakat di luar penelitian. Dilaporkan tingkat kepatuhan pada petunjuk dari tenaga kesehatan
hanya 30% saja.

j. Pemberian ARV

Penelitian di Mozambique menunjukkan penurunan transmisi HIV bila ibu menyusui minum ARV selama
menyusui sebagai kelanjutan ARV selama masa kehamilan. Pada penelitian AMATA di Rwanda ARV
diberikan sejak trimester kedua kehamilan dan diteruskan hingga sebulan pasca menyusui. Pada
kelompok ibu menyusui maupun tidak, tidak ditemukan penularan, tidak ada perbedaan gangguan
perkembangan maupun angka kesakitan dan kematian. Pada penelitian MITRAPLUS ibu-ibu menyusui
diberikan ARV selama 6 bulan, angka penularannya menurun hingga 0,9%.
k. Memanaskan ASI

Cara untuk tetap memberikan ASI adalah dengan memerah dan kemudian melakukan pemanasan
dengan harapan virus HIV mati. Cara yang dipublikasi sebelumnya adalah dengan memanaskan ASI
secara langsung (merusak banyak komponen nutrisi dan imunologis) dan cara Pasteurisasi Holder (suhu
62.5 0Celcius selama 30 menit) adalah tidak mudah dan murah karena meskipun secara ilmiah fungsi
imunologis ASI dapat dipertahankan, tetapi bahan ASI dapat habis karena waktu pemanasan yang lama
dan rumah tangga harus memiliki termometer masak yang khusus.

Cara lain yang dianggap lebih mudah dikerjakan adalah dengan metode flash-heating, yaitu dengan cara
menaruh ASI dalam tempat kemudian ditaruh di panci kecil berisi air kemudian dipanaskan.
Setelah mendidih segera diangkat dan dibiarkan dingin sampai suhu badan manusia. Cara ini tidak
mengganggu kadar vitamin A, meskipun menurunkan kadar vitamin B2 dan B6.

l. Laktasi pada bayi yang terinfeksi HIV

Terdapat 4 penelitian yang menunjukkan bahwa keuntungan pemberian ASI pada anak secara umum
juga ditemukan pada anak yang terinfeksi HIV. Di ZEBS (Zambia), angka kematian penderita
HIV pada umur 12 bulan lebih banyak pada anak yang hanya mendapat ASI selama 4 bulan dibandingkan
dengan anak yang setelah diketahui sakit, ASI tetap diteruskan. DI Afrika Selatan bayi yang tertular HIV
yang mendapat ASI lebih jarang sakit dibandingkan bayi sakit yang tidak mendapat ASI. Efeknya lebih
nyata pada 2 bulan pertama kehidupannya. Pada penelitian Malawi, anak terinfeksi HIV yang mendapat
ASI jarang sakit. Penelitian MASHI di Botswana menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada
mereka yang tidak disusui. Oleh karena itu WHO mengubah rekomendasinya, bila seorang anak sudah
diketahui terinfeksi HIV dan masih disusui sebaiknya diteruskan saja hingga paling tidak 2 tahun.

Kesimpulan

Pemberian ASI pada situasi ibu mengidap infeksi HIV memerlukan pertimbangan atas keuntungan dan
kerugiannya. Meskipun memberi ASI artinya menambah risiko bayi tertular HIV, tetapi untuk negara
berkembang dengan sumber daya penyediaan susu formula terbatas, peningkatan risiko tersebut
dikompensasi dengan berkurangnya risiko kematian akibat penggunaan susu formula yang tidak aman.

2. Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui

  

Pengobatan tuberkulosis pada ibu menyusui harus memerhatikan aspek kesehatan ibu dan juga bayi.
Tuberkulosis merupakan masalah yang umum pada wanita usia reproduktif dan masih menjadi
penyebab mortalitas pada ibu dan anak. Tuberkulosis diperkirakan menjadi penyebab kematian 500.000
wanita setiap tahunnya dengan prevalensi penderita aktif tuberkulosis lebih dari 60 kasus per 100.000
populasi dengan rata-rata prevalensi 0,7%-7,9% pada negara-negara dengan risiko tinggi tuberkulosis,
termasuk Indonesia. Tingginya kasus tuberkulosis pada wanita hamil dan menyusui tidak lepas dari
tingginya kasus HIV pada ibu hamil. Prevalensi tuberkulosis mungkin lebih tinggi dibandingkan yang
diperkirakan pada negara-negara dengan risiko tinggi tuberkulosis karena rendahnya akses wanita hamil
dan menyusui ke fasilitas kesehatan.[1]

Selama kehamilan, respon proinflamasi pada sel T-helper (Th-1) ditekan yang pada akhirnya
memungkinkan tidak munculnya gejala penyakit dan meningkatkan infektivitas bakteri tuberkulosis.
Setelah melahirkan, supresi pada Th1 hilang dan bekerja sebaliknya, seperti pada sindrom rekonstitusi
imun pada pasien HIV yang memulai terapi antiretroviral, mengakibatkan respon proinflamasi
meningkat dan eksaserbasi gejala. Pada penelitian skala besar terbaru ditemukan wanita pasca
melahirkan dini berisiko dua kali lebih tinggi mengidap tuberkulosis dibandingkan wanita tidak hamil.[1]

Tenaga kesehatan sering dihadapkan pertanyaan oleh wanita menyusui dengan tuberkulosis, apakah
obat anti tuberkulosis aman selama menyusui. Dahulu, ibu dengan tuberkulosis dipisahkan dengan bayi
mereka sampai ibu tidak infeksius. Pemisahan ini mengakibatkan bayi tidak mendapatkan air susu ibu
dan meningkatkan risiko infeksi serta malnutrisi pada bayi. Beberapa hal yang diperhatikan untuk
menentukan keamanan obat anti tuberkulosis pada ibu menyusui adalah apakah obat dapat terkandung
dalam air susu, adakah efek samping pada produksi air susu dan kualitas, dan adakah efek pada bayi
yang meminum air susu yang mengandung obat.

 
a. Keamanan Obat Anti Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui

Seseorang yang terdiagnosis tuberkulosis paru berdasarkan konfirmasi pemeriksaan bakteriologis


melalui pemeriksaan mikroskopis langsung (BTA positif), biakan, maupun tes diagnostik cepat
(GeneXpert) ataupun terdiagnosis secara klinis akan menjalani tahapan pengobatan tuberkulosis paru.
Tahapan pengobatan terdiri dari tahap awal setiap hari selama 2 bulan untuk menurunkan jumlah
kuman sehingga daya penularan lebih rendah dan tahap lanjutan dengan tujuan membunuh sisa kuman
dan mencegah kekambuhan. Pada tahap awal kombinasi obat anti tuberkulosis yang diberikan
adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol dan pada tahap lanjutan dengan beberapa obat
pilihan selama 4 sampai dengan 6 bulan. Di Indonesia, regimen standar untuk terapi lanjutan adalah
rifampisin dan isoniazid.[2,3]

Sebagian besar komponen air susu ibu (ASI) mirip dengan komponen plasma dan secara teori semua
obat memiliki potensi untuk berpindah dari plasma ibu ke ASI. Perpindahan molekul ini dapat melalui
proses difusi pasif dari gradien konsentrasi tinggi ke rendah, transpor aktif melawan gradien konsentrasi,
dan difusi transelular. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apakah molekul obat-obatan yang
dikonsumsi oleh ibu terdapat dalam air susu ibu dan seberapa besar efek yang dapat timbul pada bayi
sehingga dapat menjadi pertimbangan pemberian terapi untuk ibu menyusui.[4,5]

Obat anti tuberkulosis lini pertama seperti rifampisin, isoniazid, etambutol dan pirazinamid tergolong
dalam kategori C berdasarkan Food and Drug Administration (FDA). Obat-obat ini menunjukkan efek
samping pada fetus hewan coba namun penelitian adekuat dengan populasi terkontrol pada manusia
belum dilakukan, pertimbangan keuntungan dibandingkan kemungkinan risiko harus dilakukan.

Rifampisin, etambutol, dan pirazinamid dapat melewati air susu ibu namun dengan jumlah minimal (0,5-
6%) sehingga efek pada bayi minimal atau hampir tidak ada. Isoniazid dapat terkandung dalam air susu
ibu lebih tinggi (6,4-25%), memiliki efek samping neurotoksik dan berpotensi mengganggu metabolisme
asam nukleat serta hepatotoksisitas pada ibu, namun tetap aman untuk bayi yang disusui.[1,4]

Ibu menyusui dengan tuberkulosis paru aktif yang sedang dalam terapi isoniazid harus diberikan
suplemen piridoksin dengan dosis 14-25 mg/hari serta diperiksakan secara berkala untuk mendeteksi
neuritis perifer dan fungsi hepar untuk memantau efek hepatotoksisitas yang mungkin timbul.[8,9]

Rifampisin aman diberikan kepada ibu yang sedang menyusui, namun konsumsi rifampisin bersamaan
dengan kontrasepsi hormonal akan menurunkan efektivitas dari kontrasepsi hormonal tersebut
sehingga ibu menyusui, jika mendapat terapi tuberkulosis paru terutama rifampisin, sebaiknya
menggunakan pilihan kontrasepsi selain hormonal.[1,4]

Obat anti tuberkulosis lini kedua sebagian besar masuk ke golongan D dalam kategori FDA terutama
golongan aminoglikosida seperti streptomisin, kanamisin, dan amikasin. Streptomisin tidak boleh
diberikan pada ibu hamil karena melewati sawar plasenta dan menimbulkan efek teratogenik pada
fetus, namun dapat diberikan pada ibu menyusui karena tidak menyebabkan risiko ototoksisitas pada
bayi yang menyusui dari ibu yang menerima streptomisin karena diabsorbsi sangat sedikit di usus.
Penelitian mengenai beberapa obat antituberkulosis lini kedua lainnya seperti siklosferin dan golongan
fluorokuinolon (levofloksasin, moxifloksasin) masih minim terhadap efek samping pada ibu menyusui,
sehingga pemberiannya harus dengan perhatian dan pengawasan yang lebih ketat.[1]

b. Rekomendasi Tatalaksana Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui

Rekomendasi pemberian obat anti tuberkulosis pada ibu menyusui dan kemoprofilaksis pada
bayi bergantung pada kapan diagnosis tuberkulosis paru aktif ditegakan pada ibu. World Health
Organization (WHO) menganjurkan ibu tidak dipisah dari bayi dan tetap menyusui bayinya. Bakteri
tuberkulosis tidak melewati air susu ibu, jika bayi ikut terinfeksi, maka jalur masuknya adalah melalui
droplet ke saluran napas. Jika ibu terkena mastitis tuberkulosis, menyusui dapat menggunakan payudara
yang tidak terinfeksi.[3,6]

Menurut WHO, terdapat tatalaksana spesifik pada situasi berbeda sesuai dengan waktu tegaknya
diagnosis tuberkulosis paru pada ibu sebagai berikut:

 Jika ibu terdiagnosis tuberkulosis paru aktif dan sudah memulai terapi 2 bulan atau lebih
sebelum persalinan, ibu harus diperiksakan sputum mikroskopis bakteri tahan asam (BTA)
sebanyak 2 kali dan pastikan hasil negatif sehingga tidak infeksius saat bayi lahir : Jika hasil
negatif maka terapi obat anti tuberkulosis ibu dilanjutkan, ibu dapat menyusui normal, bayi
diberi imunisasi BCG segera mungkin setelah lahir. Kemoprofilaksis untuk bayi tidak
direkomendasikan. Jika hasil bakteri tahan asam positif mendekati persalinan maka bayi
diberikan kemoprofilaksis isoniazid selama 6 bulan dan imunisasi BCG setelah terapi isoniazid
selesai dengan dosis 10 mg/kgBB/hari.

 Jika ibu terdiagnosis tuberkulosis paru aktif dan memulai terapi obat anti tuberkulosis kurang
dari 2 bulan sebelum persalinan, namun hasil pemeriksaan sputum mikroskopis bakteri tahan
asam masih positif : Ibu dapat melanjutkan terapi anti tuberkulosis dan tetap harus menyusui
normal. Bayi diberikan profilaksis isoniazid selama 6 bulan, kemudian dilakukan imunisasi BCG
setelah selesai pemberian isoniazid. Jika BCG sudah diberikan saat lahir karena status ibu tidak
jelas atau karena ketidaksengajaan, hal ini tidak berbahaya, namun vaksin akan mati oleh karena
konsumsi isoniazid, sehingga bayi harus diberikan imunisasi BCG ulang setelah selesai
pemberian profilaksis isoniazid.

 Jika ibu terdiagnosis tuberkulosis paru aktif kurang dari dua bulan pasca persalinan : Maka ibu
tetap diberikan penatalaksanaan tuberkulosis dan tetap dapat menyusui. Bayi diberikan
kemoprofilaksis isoniazid selama 6 bulan, serta vaksin BCG setelah kemoprofilaksis isoniazid
selesai.

 Jika ibu terdiagnosis tuberkulosis paru aktif dua bulan atau lebih setelah persalinan : Maka ibu
tetap diberikan penatalaksanaan tuberkulosis dan tetap menyusui secara normal. Bayi diberikan
profilaksis isoniazid selama 6 bulan. Jika vaksin BCG sudah diberikan saat bayi lahir, tidak ada
manfaat jika diberikan BCG ulang setelah pemberian kemoprofilaksis dan penambahan berat
badan serta status kesehatan bayi harus diawasi. Namun jika vaksin BCG belum diberikan
sebelum pemberian profilaksis isoniazid, maka vaksin diberikan setelah profilaksis isoniazid
selesai.

Tabel 1 Rekomendasi Penatalaksanaan Tuberkulosis Pada Ibu Menyusui

Diagnosis TB aktif sebelum persalinan Diagnosis TB aktif setelah persalinan

>2 bulan sebelum persalinan

BTA (-) beberapa BTA (+) beberapa < 2 bulan


saat sebelum saat sebelum sebelum < 2 bulan setelah >2 bulan setelah
persalinan persalinan persalinan persalinan persalinan

Tatalaksana TB pada
Tatalaksana TB Tatalaksana TB Tatalaksana TB ibu
Tatalaksana TB pada ibu pada ibu pada ibu
pada ibu Menyusui normal
Menyusui normal Menyusui normal Menyusui normal
Profilaksis Isoniazid 6
Menyusui normal
Profilaksis Profilaksis Profilaksis bulan pada bayi
Tidak perlu Isoniazid 6 bulan Isoniazid 6 bulan Isoniazid 6 bulan
Jika BCG belum
kemoprofilaksis pada bayi pada bayi pada bayi
pada bayi diberikan setelah lahir,
BCG setelah BCG setelah BCG setelah maka dapat diberikan
Vaksin BCG saat kemoprofilaksis kemoprofilaksis kemoprofilaksis setelah kemoprofilaksis
lahir selesai selesai selesai selesai

Sedangkan menurut American Academy of Pediatrics, bayi dengan ibu tuberkulosis paru pada fase
infeksius, tidak dalam terapi obat anti tuberkulosis, atau kurang dari dua minggu masa pengobatan,
harus dipisahkan dari ibu namun tetap dapat diberikan ASI karena penularan terjadi lewat saluran
napas. BTA sputum ibu harus diperiksakan dan diperbolehkan kontak dengan bayi kembali saat sputum
BTA negatif. Jika ibu sudah mendapat terapi ≥2 minggu dan tidak infektif bayi boleh disusui. Bayi
diberikan profilaksis dengan isoniazid selama tiga bulan kemudian dilakukan uji tuberkulin. Jika hasil
pemeriksaan positif, bayi dievaluasi ulang berdasarkan pemeriksaan klinis dan radiologis. Jika terdeteksi
adanya infeksi aktif, kemoprofilaksis dilanjutkan sampai bulan keenam dan vaksin BCG intradermal
diberikan kemudian. Jika uji tuberkulin negatif pada tiga bulan kehidupan, kemoprofilaksis boleh
dihentikan dan dapat diberikan BCG intradermal. Bayi juga disarankan untuk mendapat suplementasi
piridoksin 1-2 mg/kg/hari sekalipun hanya ibu yang mendapat terapi isoniazid. [5,6]

Dosis obat anti tuberkulosis yang diberikan pada ibu pasca persalinan dan menyusui tidak berbeda
dengan dosis obat anti tuberkulosis dewasa pada umumnya sesuai rekomendasi WHO. Penyesuaian
dosis tidak diperlukan pada ibu menyusui dengan tuberkulosis paru. Jika pasien terbukti mengalami
resistensi pada obat-obat anti tuberkulosis lini pertama, pemberian obat-obat anti tuberkulosis lini
kedua dapat diberikan karena tidak terdapat kontraindikasi absolut namun dengan pemantauan yang
lebih ketat.[1,2]

Kesimpulan

Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan tuberkulosis kebanyakan masuk dalam kategori C
dan D berdasarkan FDA. Namun, penggunaan obat-obat ini saat menyusui relatif aman. Rifampisin,
etambutol, dan pirazinamid dapat melewati air susu ibu namun dengan jumlah minimal (0,5-6%)
sehingga efek pada bayi minimal atau hampir tidak ada. Isoniazid dapat terkandung dalam air susu ibu
lebih tinggi (6,4-25%), namun tetap dapat digunakan selama menyusui.

WHO merekomendasikan agar ibu yang mendapatkan penatalaksanaan tuberkulosis paru aktif tetap
menyusui bayinya dan tidak dipisahkan. Dosis dan regimen tatalaksana yang digunakan pada ibu
menyusui tetap sama dengan populasi dewasa lainnya. Penyesuaian dosis pada ibu menyusui tidak perlu
dilakukan. Selama pengobatan, status kesehatan dan berat badan bayi harus dipantau.

3. Tongue Tie dan Pengaruhnya Pada Cara Menyusui Bayi

Ketika mendengar kata “tongue tie,” kebanyakan dari kita memiliki gambaran tentang seseorang yang
berusaha untuk berbicara di depan banyak orang, tapi terbata-bata. Pada kenyataannya, tongue tie
adalah kondisi medis yang terjadi pada banyak orang, dan memiliki dampak khusus pada cara menyusui
bayi.

Apa itu tongue tie?

Istilah medis untuk kondisi yang dikenal sebagai tongue tie adalah “ankyloglossia.” Ini terjadi ketika
frenulum (lapisan yang menghubungkan dasar lidah dan bawah mulut) terlalu pendek dan tebal,
menyebabkan gerakan lidah menjadi terbatas. Tongue tie merupakan kondisi yang ada saat lahir dan
juga bisa disebabkan karena keturunan karena jika ditelusuri lebih lanjut, dalam satu keluarga pasti ada
lebih dari satu anggota keluarga mengalami kondisi ini. Antara 0,2 hingga 2 persen bayi lahir dengan
tongue tie.

Fakta tentang tongue tie dan cara menyusui dengan kondisi tersebut

Di beberapa tahun belakangan, banyak yang makin tertarik tentang cara menyusui bayi yang tongue tie.
Lalu ada banyak pembahasan dan informasi yang menimbulkan konflik, tidak heran banyak ibu merasa
bingung tentang bagaimana tongue tie bisa terkait dengan masalah cara menyusui bayi yang mungkin ia
alami.

Nah, biar Anda bisa tahu tentang kondisi tongue tie lebih baik lagi, coba cek beberapa hal berikut ini.
1. Anak yang memiliki frenulum itu wajar

Tiap orang punya jaringan tali di bawah lidah. Ini disebut dengan frenulum atau frenum. Kehadiran
frenulum tidak akan menyebabkan masalah. Yang jadi masalah adalah ketika frenulum anak itu pendek
dan kencang. Kondisi ini akan membatasi gerakan lidah dan menyebabkan masalah fungsional. Cara
menyusui bayi jadi tidak maksimal saat anak punya tongue tie.

2. Tongue tie tidak bisa didiagnosa melalui foto

Anda tidak bisa tahu apakah bayi mengalami tongue tie hanya dengan melihat foto lidahnya. Sekali lagi,
kehadiran frenulum tidak akan jadi masalah. Kita harus tahu, apakah frenulum menyebabkan masalah
fungsional dan mempengaruhi cara menyusui bayi atau tidak.

Jadi ketika seseorang memposting foto lidah bayi di internet dan bertanya, “Apakah bayi saya
mengalami tongue tie?” Jawabannya adalah, “Ini tidak bisa ditentukan karena dokter harus
memeriksanya.”

3. Tongue tie bisa mempengaruhi cara menyusui bayi

Bayi perlu punya gerakan lidah yang baik untuk bisa:

o Melakukan pelekatan yang dalam pada payudara

o Mengeluarkan ASI dengan baik dari payudara

Bila gerakan lidah bayi terbatas karena tongue tie, maka ia tidak bisa melakukan cara menyusui dengan
baik.

4. Tanda kondisi lidah bayi perlu diperiksa karena mempengaruhi cara menyusui

Ada sejumlah tanda yang membuat ibu curiga anak mengalami tongue tie dan memperngaruhi cara
menyusui bayi, antara lain:

o Proses menyusui terasa sakit

o Puting luka dan berdarah

o Cara menyusui bayi seperti tidak bisa menghisap ASI

o Berat bayi tidak naik banyak

o Kelenjar ASI tersumbat atau Ibu mengalami mastitis berulang kali.

Tapi ingat, tanda-tanda di atas bisa muncul karena beragam masalah lain yang berhubungan dengan
menyusui, tidak hanya karena kondisi lidah tongue tie.
5. Tanda tongue tie tidak selalu tampak jelas

Tidak ada klasifikasi tongue tie yang universal. Jadi bisa saja kalau satu tenaga medis mendiagnosa anak
mengalami tongue tie, sedangkan tenaga medis yang lain merasa kalau anak tidak ada tongue tie. Ini
tidak salah. Beberapa tenaga medis mendiagnosa tiap frenulum sebagai tongue tie dan menganggap tiap
masalah pada cara menyusui bayi terjadi karena tongue tie.

Tidak ada kesepakatan yang jelas di antara para tenaga medis tentang diagnosa tongue tie. Ini membuat
banyak orang tua semakin bingung dalam membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan saat
mereka menemukan masalah dalam cara menyusui bayi yang sepertinya mengalami tongue tie.

6. Butuh pemeriksaan detail untuk mendiagnosa tongue tie

Untuk menilai apakah bayi mengalami masalah pada cara menyusui akibat tongue tie atau tidak itu
butuh pemeriksaan detail, seperti:

o Pemeriksaan fisik lidah bayi di mana tenaga medis akan meletakkan jarinya di dalam
mulut bayi dan memeriksa gerakan lidah dan hisapan bayi.

o Mengamati cara menyusui bayi saat minum dari botol susu.

o Berbicara pada ibu tentang semua tanda yang dicurigai mengarah ke kondisi tongue tie
dan melihat riwayat kesehatan anak.

7. Kadang langkah terbaik adalah menunggu dan melihat (wait and see)

Setelah pemeriksaan individual dilakukan, hasil analisa bisa merujuk Dokter untuk:

o Tidak melakukan apapun terhadap frenulum

Biasanya karena masalah cara menyusui bayi dapat teratasi dengan cara lain, seperti mengoptimalkan
posisi dan pelekatan.

o Memutuskan untuk memotong frenulum

Misalnya saat ketika posisi dan pelekatan menyusui sudah dioptimalkan, Ibu tetap mengalami masalah

o Memutuskan untuk menunggu dan melihat

Ini mungkin terjadi saat ada masalah menyusui lainnya, seperti hiperlaktasi dan refleks pengeluaran ASI
pada payudara Ibu terlalu cepat. Dokter biasanya akan menunggu sampai masalah cara menyusui
tersebut selesai dulu, sebelum memutuskan tindakan yang harus dilakukan pada frenulum anak.

8. Pemotongan frenulum disebut frenotomi


Bila tongue tie menyebabkan masalah dalam cara menyusui bayi, dokter mungkin akan melakukan
prosedur pemotongan frenulum yang disebut fretonomi. Ini bisa dilakukan dengan gunting steril atau
laser oleh dokter.

Cara mengetahui apakah bayi mengalami tongue tie

Untuk mengetahui apakah bayi Anda mengalami tongue tie atau tidak, coba hadapkan diri Anda ke si
kecil dan julurkan lidah Anda, lalu biarkan ia menirunya. Jika ia tidak bisa memanjangkan lidahnya, atau
bentuk ujung lidahnya seperti hati, maka Anda perlu memeriksakannya ke dokter. Anda juga bisa
memasukkan salah satu jari Anda ke mulut bayi dan biarkan ia menghisapnya. Amati apakah lidahnya
melebar ke gusi untuk melingkari dasar jari Anda atau tidak. Jika tidak, Anda perlu membawanya ke
dokter.

Pada beberapa kasus, tongue tie akan hilang dengan sendirinya dalam satu tahun dan tidak akan
menyebabkan masalah pada cara menyusui bayi atau perkembangan bicara anak.

Tongue tie yang parah bisa menyebabkan masalah bicara. Suara tertentu sulit diproduksi jika lidah tidak
bisa bergerak bebas, seperti ‘th,’ ‘s,’ ‘d,’ ‘l,’ dan ‘t.’ Perkembangan gigi anak juga bisa terganggu, tongue
tie yang parah bisa menyebabkan celah pada dua gigi depan bawah.

Anak dengan tongue tie juga kesulitan untuk menjilat saat makan es krim, menjulurkan lidah, atau
bermain alat musik tiup. Mungkin saat ini hal-hal tersebut bukan kemampuan yang Anda anggap
penting, tapi suatu hari kemampuan ini menjadi sangat penting bagi anak Anda.

Efek negatif tongue tie pada cara menyusui bayi

Dampak negatif dari tongue tie bisa berdampak pada kemampuan cara menyusui bayi. Untuk
mendapatkan ASI dari payudara, bayi perlu menggerakkan lidah untuk menempel pada puting dan
areola, menariknya ke belakang mulut dan menekan ke langit-langit mulutnya. Gerakan ini akan
memberi tekanan pada jaringan di balik areola, tempat ASI tersimpan, dan ASI kemudian mengalir ke
mulut bayi.

Lidah memiliki peran penting dalam proses cara menyusui bayi, jika frenulum bayi terlalu pendek
sehingga lidahnya tidak bisa memanjang ke gusi bawah, ia akan menekan payudara dengan gusi ketika
menyusu, yang bisa mengakibatkan nyeri pada puting.

Tongue tie dapat berdampak pada penambahan berat badan yang rendah dan bayi akan sering rewel
karena tidak cukup mendapatkan ASI. Ibu menyusui juga bisa mengalami trauma pada cara menyusui
bayi karena puting luka, saluran ASI tersumbat, dan mastitis.

Tapi beberapa bayi yang mengalami tongue tie masih tetap bisa menyusu dengan baik. Ini tergantung
pada cara frenulum melekat dan juga tergantung pada kondisi payudara ibu. Jika ibu memiliki puting
berukuran kecil atau menengah, bayi bisa menarik ASI dengan cukup baik meski mengalami tongue tie.
Sebaliknya, jika puting ibu berukuran besar, puting datar, atau tertarik ke dalam, maka tongue tie ringan
sekalipun bisa menyebabkan masalah bagi bayi yang menyusu.
Tanda tongue tie pada bayi

Berikut ini beberapa tanda tongue tie pada bayi yang bisa menimbulkan masalah:

 Bayi berulang kali berhenti saat menyusu.

 Produksi ASI menjadi berkurang.

 Terdengar suara saat bayi menyusu.

 Ibu mengalami nyeri puting saat bayi menyusu karena bayi mengunyah puting, bukan
menghisap, untuk mendapatkan ASI.

 Penambahan berat badan anak sangat lambat.

Meski beberapa gejala di atas bisa disebabkan oleh masalah lain, ada baiknya Bunda memeriksakan bayi
ke dokter untuk mengetahui sebab lain selain tongue tie. Tongue tie bisa bermasalah bila cara menyusui
bayi tidak membaik, bahkan setelah Anda mencoba berbagai posisi menyusui.

Cara mengatasi tongue tie

Jika tongue tie menyebabkan masalah pada cara menyusui bayi, ada prosedur sederhana yang disebut
frenotomi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini. Frenotomi merupakan prosedur medis yang
tidak menimbulkan rasa sakit. Dokter cukup memotong frenulum agar longgar dan lidah bisa bergerak
lebih bebas. Waktu yang dibutuhkan tidak lama karena frenulum hampir tidak mengandung darah, jadi
biasanya hanya mengeluarkan beberapa tetes darah saja.

Bayi bisa disusui segera setelah prosedur frenotomi dilakukan dan pendarahan bisa langsung terhenti.
Anestesi dan jahitan tidak dibutuhkan saat frenotomi dilakukan. Bayi menangis saat prosedur ini
dilakukan lebih karena tubuhnya dipegangi dan ditahan selama beberapa detik, bukan karena rasa sakit.
Prosedur ini tak jauh beda dengan tindik telinga, keduanya terasa tidak nyaman tapi tidak menimbulkan
risiko infeksi, sangat aman, dan prosedurnya sangat sederhana.

Semakin dini tongue tie terdeteksi, dan frenotomi dilakukan, cara menyusui bayi akan semakin efektif
dan nyaman. Bila tongue tie tidak terdeteksi dan frenulum tidak dipotong hingga bayi berumur
beberapa bulan, bayi biasanya akan belajar menghisap dengan benar. Kadang latihan menghisap
dibutuhkan untuk beradaptasi dengan gerakan lidahnya yang semakin meluas.

Bila tongue tie menyebabkan kesulitan cara menyusui yang berat, maka semakin dini frenulum
dipotong, akan lebih baik untuk anak. Kadang ada anak menjalani prosedur ini ketika sudah besar karena
tidak teridentifikasi hingga mereka mulai mengalami masalah bicara yang signifikan.
Meski memotong frenulum merupakan prosedur yang sederhana, aman, dan tidak rumit, kadang sulit
untuk menemukan dokter yang mau melakukannya. Riwayat tongue tie masih kontroversial. Hingga
abad ke-19, banyak bayi yang melakukan prosedur frenotomi karena ada potensi pada masalah cara
menyusui bayi dan cara anak bicara.

Prosedur apapun yang melibatkan proses pemotongan lapisan pada mulut bisa berpotensi infeksi atau
kerusakan pada lidah, terutama bila alat pemotongnya tidak steril atau dilakukan tanpa antibiotik. Nah,
karena prosedur ini dilakukan sangat sering, meski sebenarnya tidak perlu dilakukan, dokter mulai
jarang memotong frenulum dan prosedur ini jarang dilakukan.

Dokter lebih memilih untuk menunggu dan melihat apa yang akan terjadi dengan membiarkan alam
menjalankan tugasnya. Sering kali, frenulum akan merenggang dengan sendirinya tanpa intervensi.

Di waktu yang sama ketika frenotomi jarang dilakukan, tingkat menyusui juga menurun drastis. Cara
menyusui bayi melalui botol susu tidak sulit, meski anak mengalami tongue tie. Ini karena
mekanismenya sangat berbeda dengan menyusu pada payudara dan pelebaran lidah tidak memiliki
peran penting saat bayi menyusu dari botol.

Karena kebanyakan bayi saat itu disusui melalui botol, dokter beranggapan tidak perlu melakukan
prosedur tersebut karena tidak dibutuhkan, tidak mengganggu proses cara menyusui bayi, dan jarang
menyebabkan masalah pada perkembangan bicara.

Mitos tentang  tongue tie

Bunda, berikut ini adalah beberapa mitos yang berkembang tentang tongue tie:

 Mitos: Semua bayi yang mengalami tongue tie juga mengalami lip tie pada bibir atas

Tidak ada indikator untuk mengukur siapa yang berisiko mengalami masalah ini dan siapa yang tidak.

 Mitos: Frenotomi  dengan laser lebih baik daripada frenotomi  dengan gunting

Tidak ada bukti yang menunjukkan kalau demikian. Kedua metode sama-sama bisa digunakan.

 Mitos: Semua bayi yang mengalami tongue tie butuh frenotomi

Mungkin benar pada sebagian bayi akan memperoleh gerakkan optimal bila frenotomi dilakukan. Tapi
masih dibutuhkan bukti untuk menentukan ini.

 Mitos: Frenotomi dengan laser sangat aman

Laser sebenarnya sangat berbahaya dan bisa menyebabkan kerusakan ketika digunakan oleh orang yang
tidak terlatih.

Ada beberapa jenis laser berbeda, beberapa sesuai untuk pembedahan jaringan lunak. Laser yang salah
bisa merusak jaringan collateral dan menciptakan jaringan luka eksesif yang bisa menyebabkan
penempelan kembali.
 Mitos: Semua konselor laktasi tahu cara mendeyteksi tongue tie

Konselor laktasi harus dilatih untuk dengan tepat untuk memeriksa kondisi tongue tie. Jadi tidak semua
dokter atau konselor laktasi tahu cara mendeteksi tongue tie.

Hal yang akan dialami bayi setelah prosedur frenotomi

Anda bisa menyusui bayi segera setelah prosedur frenotomi dilakukan, dan banyak ibu yang langsung
merasakan perbedaan dari cara menyusui bayi. Tapi ingat, masih ada tugas yang perlu dilakukan.

Setelah beberapa jam frenotomi selesai, mulut bayi akan terasa sakit, dokter biasanya
merekomendasikan analgesik. Bayi akan sangat rewel. Jadi jangan terkejut bila bayi menolak
menyusu selama waktu-waktu ini karena rasa sakit. Ini terjadi sementara dan biasanya segera membaik
dengan cepat.

Selama waktu ini, Anda bisa memerah ASI untuk meredakan bengkak di payudara, dan susui bayi
dengan sendok, gelas, atau botol.

Pada prosedur frenotomi, irisan dilakukan pada frenulum untuk mengurangi kekencangan. Bekas irisan
harus dibiarkan terus terbuka hingga sembuh. Selama sekitar 2 minggu, kita harus melatih bayi untuk
merenggangkan lidah dan memijat irisan luka sebanyak 3 atau 4 kali sehari.

Bayi yang mengalami tongue tie dan tidak bisa menyusu dengan benar juga akan belajar untuk
beradaptasi pada kondisi lidah setelah frenotomi dilakukan. Setelah lidahnya terbebas, ia perlu belajar
bagaimana menyusu menggunakan otot berbeda.

Ketika pelekatan bayi di payudara sudah bagus, ibu pasti akan merasa nyaman dan   cara menyusui bayi
bisa efisien.

Kini jumlah ibu menyusui kian meningkat, sehingga bertambah juga jumlah dokter yang menyadari
dampak tongue tie pada cara menyusui bayi. Maka dari itu, sekarang sudah banyak dokter yang semakin
tahu bagaimana mendiagnosa dan menangani tongue tie pada bayi.

Bila Anda merasa si kecil mengalami kesulitan menyusu karena tongue tie, Anda perlu mencari dokter
yang bisa mendiagnosa dan memotong frenulum. Meski kebanyakan dokter secara teori bisa melakukan
frenotomi, banyak ibu yang lebih memilih ke ahli bedah atau spesialis.

Bila bayi mengalami tongue tie, tapi tetap bisa menyusu dengan baik, Anda tetap perlu memberitahukan
hal ini pada dokter. Dokter akan memastikan apakah kondisi ini serius dan berisiko pada perkembangan
bicara anak atau menyebabkan masalah lain di kemudian hari atau tidak. Dokter gigi anak juga bisa
menilai apakah kondisi ini mempengaruhi perkembangan mulut dan gigi bayi atau tidak.
4. Pandemi Covid-19: Bisakah Ibu Tetap Memberikan ASI?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan ASI (Air Susu Ibu) sebagai makanan yang ideal
untuk bayi karena aman, bersih dan mengandung antibodi. ASI mengandung energi dan nutrisi
yang dibutuhkan bayi usia 0-2 tahun. Oleh karena itu, tenaga kesehatan harus memastikan
bahwa semua keluarga dari ibu nifas mengetahui cara menyusui yang benar. Sosialisasi
mengenai hal ini dapat dilakukan melalui diskusi pada saat konseling pemeriksaan kehamilan.
Selain memberi pengetahuan mengenai baiknya ASI, keluarga harus diajarkan mengenai ilmu
tentang ASI. Pengetahuan terkait ASI seperti bagaimana ASI dapat mengoptimalkan
perkembangan dan pertumbuhan, ASI berpengaruh pada kesehatan anak dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, dan komponen ASI yang unik dan tidak terkandung dalam susu formula
(Diane L. Spatz, 2020).

Mengingat keunggulan ASI dibandingkan dengan susu formula membuat adanya gagasan
“Breastfeeding advice during the Covid-19 outbreak” atau anjuran menyusui selama pandemi
Covid-19. Hal ini berdasarkan pada fakta bahwa melalui ASI bayi akan mendapatkan antibodi
dan faktor anti infeksi yang tentunya dapat melindungi bayi baru lahir dari infeksi. Sejak 18
Maret 2020, dengan anjuran dari WHO, wanita yang terkonfirmasi positif Covid-19 dapat
menyusui bayinya jika mereka mau. WHO merekomendasikan wanita untuk tetap menyusui
(memberikan ASI) dengan prosedur pencegahan penularan Covid-19. Hingga saat ini, belum
diketahui apakah penularan Covid-19 dapat terjadi melalui aktivitas menyusui (pemberianASI).
Hal ini dikarenakan pemahaman tentang penularan Covid-19 yang terbatas dan berdasarkan
beberapa laporan dimana tidak ditemukan jejak virus dalam ASI(Salvatori G et al., 2020).

Menurut jurnal “Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed”, terdapat beberapa pertimbangan untuk
memberikan ASI pada bayi. Pertama, perhatian utamanya bukan apakah virus dapat ditularkan
melalui ASI, melainkan apakah ibu yang terinfeksi dapat menularkan virus melalui tetesan
pernapasan selama masa menyusui. Protokol pencegahan dasar yang dapat dilakukan saat
melalukan proses menyusui seperti mencuci tangan sebelum menyentuh bayi dan memakai
masker wajah. Kedua, dampak negatif pada hubungan bayi dan ibu pada awal menyusui
mungkin terjadi. Hal ini dikarenakan adanya pemisahan bayi dan ibu sesaat setelah proses
melahirkan (karena ibu positif Covid-19). Ketiga, pada beberapa kasus pemberian ASI secara
langsung tidak direkomendasikan, maka opsi penggunaan ASI perah dapat dijadikan solusi agar
bayi tetap mendapatkan manfaat ASI. Keempat, beberapa pandangan yang terbatas tidak
Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kebidanan di Era Pademi Covid-19 Edisi 2 49 dapat
mempertimbangkan ASI sebagai perantara infeksi SARSCoV-2. Sebaliknya, ASI mengandung
spesifik antibodi yang mungkin dapat memodulasi suatu genap- infeksi SARS-CoV-2 pada bayi
baru lahir bayi (Letters, 2020). Hingga saat ini, belum ada bukti kuat yang menunjukkan
penularan SARS-CoV-2 dari ibu ke bayi melalui ASI. ASI memang merupakan “ramuan
kehidupan” untuk bayi baru lahir. ASI adalah campuran nutrisi yang ideal, komponen seluler,
dan molekul bioaktif yang dibuat oleh ibu dengan gizi yang signifikan. Oleh karena itu, manfaat
ASI sangat baik untuk bayi baru lahir. Relevansi kemungkinan yang spesifik dengan IgA aktivitas
melawan SARS CoV-2 hadir dalam ASI dari ibu dengan riwayat infeksi Covid-19. Pemberian ASI
pada bayi dari ibu yang terinfeksi Covid-19 perlu mempehatikan protokol kesehatan dan
kebersihan yang baik. Selain itu, terdapat manfaat kontak ibu dan bayi dalam bentuk langsung
menyusui. Pemberian ASI secara langsung dapat dilakukan pada kasus ringan dari infeksi SARS-
CoV-2. Bayi baru lahir memiliki tingkat risiko tinggi untuk tertular virus melalui kontak langsung
dari ibu atau penyedia layanan kesehatan. Oleh karena itu, kebersihan perpasan harus
diperhatikan saat melakukan kontak dengan bayi baru lahir. Terdapat panduan untuk
mempertimbangkan apakah ibu dengan positif SARS-CoV-2 dapat menyusui/memberikan ASI
pada bayinya. Pengambilan keputusan dilakukan bersama oleh penyedia layanan kesehatan dan
ibu, hal ini sangat penting dikarenakan ASI merupakan asupan nurtrisi bagi bayi. Adapun prinsip
panduan utama yang digunakan, yaitu: 50 a. Manfaat menyusui untuk ibu dan bayi b. Risiko
penularan dari ibu ke bayi c. Kasus ibu dapat dikategorikan ringan atau berat. Kategori ini
berkaitan dengan viral load, infektivitas, dan kemampuan ibu untuk memberi makan dan
merawat bayinya Jika ibu mengalami kasus yang berat, maka akan sulit bagi ibu untuk memiliki
kemampuan merawat atau menyusui bayinya. (Ritu Cheema et al., 2020) Gambar 1
menunjukkan siklus yang terjadi jika ibu dan bayi dipisahkan saat masa menyusui. Hal-hal buruk
dapat terjadi seperti menurunkan produksi ASI dan manfaat perawatan meningkatkan risiko
ketidakstabilan bayi dan potensi kebutuhan Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kebidanan di Era
Pademi Covid-19 Edisi 2 51 akan Unit Perawatan Intensif (NICU) sebagai akibat dari pemisahan
bayi dari ibu (Ritu Cheema, 2020). Pemberian ASI dapat dipertimbangkan berdasarkan dua
pendekatan, yaitu tingkat keparahan penyakit ibu dengan Covid-19 dan kemampuan ibu untuk
menyusui. Asuhan ibu, tingkat keparahan infeksi maternal, dan tingkat sumber daya merupakan
faktor yang berperan dalam pengambilan keputusan mengenai menyusui selama pandemi
Covid-19. Selain itu, keputusan tentang menyusui/ memberikan ASI juga harus
mempertimbangkan manfaat termasuk nutrisi, imunologi, perkembangan keuntungan dari ASI
dan ikatan emosional dari payudara makan, serta risiko infeksi pada bayi baru lahir. Sangat
penting untuk memahami epidemiologi SARS-CoV-2, risiko penularan infeksi dari ibu ke bayi
baru lahir, dan tingkat keparahan infeksi pada bayi baru lahir untuk menganalisis risiko dan
manfaat pemberian ASI langsung pada bayi (Ritu Cheema at all, 2020). 52 Ibu Positif Covid-19
Dengan Gejala Ringan Dapat Menyusui Langsung Tingkat risiko penularan dari ibu ke neonatus
tergolong rendah meskipun sangat mungkin terjadi. Manfaat interaksi ibu ke anak dapat
dioptimalkan saat menyusui secara langsung. Seperti yang diilustrasikan pada gambar 2,
sebelum dan sesudah menyusui bayi, ibu harus menggunakan masker, mencuci tangan dan
payudara menggunakan sabun dan air yang mengalir. Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kebidanan
di Era Pademi Covid-19 Edisi 2 53 Saat selang waktu antara pemberian makan, tempat tidur bayi
setidaknya berjarak 6 kaki (2 meter) dari tempat tidur ibu, sebaiknya diberikan penghalang fisik
(seperti tirai). Tindakan pencegahan ini dilakukan sampai ibu afebrile (tanpa antipiretik),
menunjukkan peningkatan gejala, atau setidaknya memiliki dua kali tes negatif untuk SARS-CoV-
2 24 jam secara terpisah (Ritu Cheema at all, 2020). Ibu Positif Covid-19 Dengan Gejala Berat
Tidak Dianjurkan Menyusui Langsung Interaksi langsung antara ibu dan bayi dapat berkurang
karena ketidakmampuan ibu untuk menyusui sebagai akibat dari kondisi klinis (gejala sedang
atau berat). Dalam kasus ini, penggunaan ASI perah menjadi solusi. Kebersihan dalam
menggunakan pompa dan memberikan ASI untuk bayi adalah hal yang terpenting. Untuk
memberikan ASI perah, ibu harus memcuci tangan dan membersihkan payudaranya dengan
sabun dan air sebelum memerah ASI menggunakan pompa 54 ASI. Pemberian ASI pada bayi
dapat dilakukan oleh anggota keluarga ataupun perawat di ruang yang terpisah. Ada baiknya ibu
memiliki pompa khusus untuk payudaranya. Sebelum dan sesudah digunakan, pompa dan
wadah ASI perah harus dibersihkan. Permukaan luar wadah ASIP harus didesinfeksi sebelum
disimpan. Komunikasi antara ibu dan dokter sangat diperlukan untuk mengambil keputusan
menyusui secara langsung ataupun tidak. Hal ini dikarenakan metode pemberian ASI secara
tidak langsung dapat memberikan dampak negatif pada ikatan ibu dan bayi. Keputusan untuk
memisahkan bayi dan ibu dapat diambil jika terjadi pada kasus berat seperti saat ibu berada di
ruang ICU dan tidak dapat menyusui atau bahkan tidak memiliki kemampuan untuk merawat
bayi ataupun dirinya sendiri (Ritu Cheema et al., 2020). Pemberian ASI dengan metode pompa
ASI memberikan efek tersendiri di masyarakat, ada yang menerima ada pula yang menentang
hal ini. Alasan penentangan ini dikarenakan terpisahnya ibu dan bayi dapat berdampak negatif
dan implikatif terhadap emosional bayi. Sejauh ini, hanya dua media publikasi telah melaporkan
adanya SARS-CoV-2 dalam ASI. Namun, belum ditemukan peran ASI sebagai wahana penularan
Covid-19 pada bayi baru lahir. Justru tidak sedikit yang percaya bahwa ASI dapat memberikan
antibodi pelindung terhadap infeksi SARS-CoV-2 bahkan pada neonatus yang terinfeksi. Dalam
penelitian lain, ibu dengan gejala penyakit hydroxychloroquine dapat menyusui dengan aman
dan tidak menunjukkan efek samping pada bayi yang diobati dengan remdesivir. ASI dinyatakan
aman karena Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kebidanan di Era Pademi Covid-19 Edisi 2 55
memiliki nutrisi, imunologi yang baik untuk perkembangan dan pertumbuhan bayi dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Pemberian ASI sangat direkomendasikan untuk bayi yang baru
lahir. Kemungkinan dari pratik pemisahan ibu dan bayi serta pembatasan pemberian ASI
dilakukan di lingungkan dan rumah sakit yang memiliki tingkat positif Covid-19 tinggi. Sementara
itu, beberapa badan kesehatan internasional dan sosial medishubungan termasuk WHO, Royal
College of Obstetricians and Ginekolog (RCOG), dan Masyarakat Neonatologi Italia mendukung
pemberian ASI langsung dengan memperhatikan kebersihan antara ibu dan bayi, serta
memperhatikan kondisi kesehatan ibu atau kebutuhan terapi kepada bayi baru lahir. Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) dan American Academy of Pediatrics (AAP) telah
mengambil pendekatan yang lebih konservatif terhadap materi potensial penularan. APP
menerbitkan pedoman yang menganjurkan pemberian ASI langsung atau penggunaan ASI perah
yang disesuaikan dengan kondisi ibu dan bayi. CDC menyadari pentingnya kontak ibu dan bayi
serta pengambilan keputusan bersama antara keluarga dan dokter tetapi tidak memberikan
panduan yang jelas mengenai metode menyusui yang harus digunakan. ASI dapat menurunkan
risiko infeksi bayi pasca kelahiran yang mungkin dipaparkan dari pernapasan ibu (Ritu Cheema et
al., 2020). 56 Risiko, Insiden, dan Tingkat Keparahan Infeksi Terdapat beberapa virus seperti
Zika, Ebola, dan Marburg yang dapat ditularkan dalam rahim. Covid-19 menambahkan pola
penularan ini. Sedangkan morbiditas ibu selama tahun 2002 hingga Epidemi SARS-CoV tahun
2003 terdokumentasi dengan baik dan tidak ada bukti penularan vertikal pada bayi baru lahir.
Meskipun penelitian terbatas, virus ini tidak terdeteksi oleh RT-PCR (rantai polimerase
transkripsi reaksi) dalam cairan ketuban, plasenta, darah tali pusat, atau payudara. Laporan dari
kasus keguguran pasien SARS-CoV-2 tidak ditemukan adanya virus ini di jaringan plasenta. Pada
bayi yang lahir dari ibu yang terkonfirmasi positif Covid-19 pun tidak ditemukan adanya infeksi.
Berbeda virus Zika – ditularkan dari nyamuk ke manusia– yang dapat menyebabkan bayi lahir
cacat. Hingga saat ini, tidak ada bukti yang konkret mengenai penularan Covid-19 dari ASI.
Selama pemberian ASI memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan serta
mempertimbangkan kondisi kesehatan ibu dan bayinya, maka ibu diperbolehkan untuk
menyusui. Hasil penelitian yang dilakukan pada 38 wanita hamil trimester ketiga (positif Covid-
19) di China menemukan tidak ada indikasi adanya SARS-CoV-2 pada cairan ketuban, sampel
darah ASI, atau tali pusar. 30 bayi yang dilahirkan dan menjalani tes terkonfirmasi negatif.
Penelitian lain yang dilakukan pada 10 bayi yang lahir dari ibu dengan pneumonia SARS-CoV-2
menemukan bahwa beberapa bayi mengembangkan gejala sesak napas, sianosis, perdarahan
lambung, dan 1 bayi meninggal karena gagal beberapa organ dan koagulasi intravaskular
Adaptasi Kebiasaan Baru dalam Kebidanan di Era Pademi Covid-19 Edisi 2 57 diseminata. Hasil
tes pada semua bayi dinyatakan negatif, hal ini menunjukkan menunjukkan bahwa komplikasi
neonatus ini tidak terkait penularan intrauterine. Laporan terbaru dari neonatus dengan
peningkatan immunoglobulin Antibodi (Ig) -M terhadap SARS-CoV-2 yang diambil setelah lahir
memiliki kemungkinan penularan di dalam rahim. Namun, hasil tes dari semua bayi tersebut
negatif Covid-19. Perlu diingat bahwa tes IgM rentan terhadap kesalahan mengenai hasil positif
atau negatif, serta reaktivitas silang, dan tidak direkomendasikan untuk menjadi dasar diagnosis
(Ritu Cheema et al.,2020). Bayi baru lahir ini dapat terpapar Covid-19 melalui berbagai media
seperti ibu yang menyusui (tidak menggunakan masker), anggota keluarga yang terinfeksi, atau
bahkan dari penyedia layanan kesehatan. Kasus yang terjadi dari neonatus yang lahir dari ibu
positif Covid-19, kedua bayi memiliki hasil tes negatif selama rawat inap. Pada hari ke-15, salah
satu dari dua bayi tersebut dinyatakan positif tetapi tidak menunjukkan gejala yang berat.
Antibodi sIgA (sekretori imunoglobulin A) dari ASI yang terindikasi dalam bayi menciptakan
perlindungan sehingga bayi tersebut tidak mengalami gejala yang berat. Sementara itu, satu
bayi yang lain tetap negatif meskipun terdapat hasil positif pada plasenta, pusar darah, dan ASI
(tiga dari lima spesimen) selama rawat inap. Penelitian mengenai ASI dan penularan Covid-19
melalui ASI hingga saat ini terus dilakukan. Belum ada bukti yang meyakinkan tentang transmisi
vertikal dari Covid-19. Namun tetap tidak menutup fakta bahwa bayi yang baru lahir sangat
rentan tertular virus atau penyakit dari kontak secara horizontal (Ritu Cheema et al., 2020). 58
Pentingnya komunikasi dan sosialisasi mengenai risiko menyusui di masa pandemi Covid-19,
terlebih lagi untuk ibu atau bayi yang terkonfirmasi positif virus tersebut. Meskipun rentan,
kasus positif pada anak-anak relatif rendah dibandingkan dengan kasus positif pada orang
dewasa. Proses menyusui yang dilakukan oleh ibu yang positif Covid-19 akan aman jika
memperhatikan protokol kesehatan dan kebersihan yang dapat menjadi cara pencegahan
penularan Covid-19 pada bayi. Penggunaan donor ASI atau susu formula juga dapat dilakukan
sebagai opsi lain untuk memenuhi asupan makanan bayi jika kondisi ibu tidak memungkinkan
(Augusto Pereira et all, 2020). Pemberian ASI Dari Ibu Positif Covid-19 (dalam pengobatan) Bayi
yang mendapatkan ASI dari seorang ibu yang tengah dalam pengobatan Covid-19 berpotensi
terpapar obat/ antivirus yang diminum ibunya. Meskipun begitu, dosis yang terdapat dalam ASI
(yang diminum bayi) tergolong rendah. National Library of Medicine’s Database LactMed
menyebutkan bayi yang terpapar hydroxychloroquine selama menyusui hanya menerima
sebagian kecil obat ini pada ASI. Hasil dari penelitian pada 33 ibu yang menerima
hydroxychloroquine jangka panjang menemukan tingkat rendah obat dalam ASI, hanya 1,9%
hingga 3,2% (dalam mg/kg) dari dosis yang ibu konsumsi. Dengan begitu maka ibu yang sedang
dalam pengobatan Covid-19 tetap boleh melakukan proses menyusui atau memberikan ASI
kepada bayinya. Adaptasi Kebiasaan Baru d

https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/menyusui-pada-ibu-hiv

https://www.alomedika.com/pengobatan-tuberkulosis-pada-ibu-menyusuiPenatalaksanaan

https://www.ibupedia.com/artikel/balita/8-fakta-tongue-tie-dan-pengaruhnya-pada-cara-menyusui-
bayi

Dewi Andariya Ningsih, S.ST., M. Keb1 Prodi S1 Kebidanan Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Ibrahimy

  

Anda mungkin juga menyukai