Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH

“TRADISI LISAN SUKU BANJAR”


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Fiqih MI
DOSEN PENGAMPU

Hikmatu Ruwaida, M.Pd

Disusun oleh :
Kelompok 4
Aulia Fitri 20.11.20.0112.00676
Fitriati 20.11.20.0112.00682
Khairunnisa 20.11.20.0112.00697
Lia 20.11.20.0112.00704
Nita Hafizah 20.11.20.0112.00727
Rusiana A 20.11.20.0112.00760
Sakdiah 20.11.20.0112.00762
Sari Mawaddah 20.11.20.0112.00765
Siti Hapsah 20.11.20.0112.00774
Siti Marhamah Jamilah 20.11.20.0112.00778
Siti Sa’diyah 20.11.20.0112.00781
Zahratul Khatimah 20.11.20.0112.00796

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QURAN (STIQ) AMUNTAI


PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH
TAHUN AKADEMIK 2022-2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-
Nya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa petunjuk jalan yang lurus dari alam jahil
penuh kegelapan sampai kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan dan
cahaya keislaman. Sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Tradisi Lisan Suku Banjar”. Sehingga dengan makalah ini
diharapkan dapat menambah wawasan kita semua mengenai mata kuliah
Pembelajaran Fiqih MI.

Sehubungan dengan terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan


terima kasih kepada Ustadzah Hikmatu Ruwaida, M.Pd selaku dosen pengampu pada
mata kuliah Pembelajaran Fiqih MI, karena telah memberikan kepercayaannya
kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini.

Selain itu penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan, serta tidak terlepas dari berbagai macam kendala,
keterbatasan ilmu, dan referensi. Oleh karena itu, penulis masih mengharapkan
bimbingan dan saran dari berbagai pihak sehingga makalah ini menjadi lebih baik
lagi.

Amuntai, 03 Oktober 2022

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi .......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Tradisi Lisan Suku Banjar .................................................................... 3


B. Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Tradisi Lisan Suku Banjar ........... 26

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 46
B. Saran..................................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 47

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orang Banjar atau dikenal pula dengan Suku Banjar merupakan suku
mayoritas yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Selain orang Banjar,
Kalimantan Selatan juga dihuni oleh Suku Dayak yang tersebar di hunjuran
Gunung Meratus, Suku Jawa yang sudah sejak lama merantau di wilayah
Kalimantan Selatan dan sudah menyatu pula dengan Suku Banjar, Suku Bugis
yang banyak tersebar di wilayah Kotabaru, dan suku-suku lainnya yang berada di
Kalimantan Selatan sebagai pendatang.
Budaya yang berkembang dan dimiliki oleh Suku Banjar banyak
dipengaruhi budaya suku-suku lainnya yang hidup berdampingan di Kalimantan
Selatan. Hal ini terjadi karena suku-suku yang mendiami wilayah Kalimantan
Selatan saling berinteraksi dan menjalin komunikasi sebagai sebuah komunitas di
wilayah yang sama sehingga budaya yang mereka miliki menjadi saling
mempengaruhi. Hatmiati menjelaskan bahwa budayaberkaitan dengan kegiatan
masyarakat sehari-hari yang membentuk perilaku, tetapi tidak tertanam secara
permanen, budaya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. 1
Tradisi lisan sebagai bagian dari budaya orang Banjar juga mewarnai
kehidupan masyarakat sehari-hari. Tradisi ini dipakai selama beberapa generasi
secara turun-temurun, sebagaimana pendapat Murgiyanto yang menyata-kan
bahwa tradisi berasal dari bahasa Latin traditium, berarti segala sesuatu yang
diwariskan dari masa lalu. Tradisi lisan menjadi bagian dari kearifan lokal
sebuah tradisi yang dilakukan secara lisan, baik sudah mengenal aksara maupun
belum mengenal aksara. Tradisi ini mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang
meng-konstruksi pola hidup dan pola pikir masyarakat pemiliknya. Dalam

1
Annisa Akhlak, M. Bahri Arifin, and Syamsul Rijal, “Pemali Dalam Masyarakat Etnik
Banjar Di Kota Samarinda: Suatu Tinjauan Semiotika,” Jurnal Ilmu Budaya 3, no. 2 (2019): h. 2.

1
konteks seperti itu tradisi lisan orang Banjar juga menjadi cerminan dari
masyarakat Banjar yang memiliki nilai-nilai moral dan etika. Salah satu tradisi
lisan yang masih hidup dan berkembang di masyarakat adalah pemali, sebuah
bentuk larangan atau pantangan terhadap sesuatu yang dianggap tabu untuk
dilakukan.2
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja tradisi lisan suku banjar?
2. Bagaimana nilai-nilai kemasyarakatan dalam tradisi lisan suku banjar?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan tradisi lisan yang ada disuku banjar.
2. Untuk menjelaskan nilai-nilai kemasyarakatan dalam tradisi lisan suku
banjar.

2
Akhlak, Arifin, and Rijal, h. 2.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tradisi Lisan Suku Banjar


1. Pamali
Pada mulanya istilah tradisi lisan merupakan ciri peradapan primitif.
Tradisi merupakan salah satu bentuk warisan jangka panjang. Lisan adalah
bentuk pewarisan yang khas. Tradisi lisan merupakan warisan leluhur yang
abadi, budaya konu yang hampir di lupakan banyak orang namun tetap
bertahan. Salah satunya yaitu tradisi pamali dalam masyarakat Banjar. 3
Pamali merupakan bahasa lisan yang isinya berupa larangan atau pantangan.
Menurut sebagian masyarakat Banjar pamali dianggap sebagai mitos karena
kehadirannya diyakini sebagai suatu kepercayaan turun temurun yang bersifat
sakral yang tidak boleh dilanggar, karena apabila dilanggar maka berakibat
buruk.
Sebagai tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Banjar, ungkapan pamali bahasa Banjar mencerminkan sikap dan
pandangan masyarakat tersebut. Ada dua hal yang tercermin dalam
pengungkapan maksud dengan ungkapan pamali bahasa Banjar yang sering
digunakan oleh masyarakat Banjar. Pertama, Masyarakat Banjar adalah
masyarakat yang mengutamakan kesopanan dan kesatuan dalam
menyampaikan maksud. Larangan tidak disampaikan secara langsung, tetapi
dalam bentuk ungkapan lain yaitu kata pamali yang bermakna tabu. Larangan
dengan istilah pamali dimaksudkan agar penerima pesan tidak merasa didikte
atau digurui. Kedua, penggunaan pamali sebagai media pembentukan
karakter terutama yang berkenaan denga nilai karakter religius, toleransi,
disiplin, dan peduli sosial. Pengungkapan secara sederhana dengan bahasa
yang singkat tetapi syarat makna. Orang cenderung mudah memahai dan
3
Husin Jamiah, Ridhatullah Assya’bani, and Haris Zubaidillah, “Analisis Konstruksi Sosial
Dalam Pemaknaan Tradisi Lisan Budaya Pamali Masyarakat Banjar,” ISoLEC Proceedings 5, no. 1
(2021): 288–92.

3
mengingat pesan yang disampaikan secara singkat dibandingkan dengan
penyampaian yang panjang lebar. Dengan demikian inti dari pesan sebagai
bentuk penanaman nilai karakter akan mudah tercapai. 4
Pamali dibagi dua belas macam, yaitu: kehamilan, kelahiran, masa
anak-anak, pekerjaan rumah, mata pencaharian atau rezeki, berhubungan
dengan cinta kasih/perkawinan, berhubungan dengan kematian, berhubungan
dengan pemeliharaan tubuh, berhubungan dengan kehidupan rumah tangga,
berhubungan dengan agama atau religi, berhubungan dengan alam ghaib dan
berhubungan sosial.
Berikut pamali Banjar yang menunjukkan sakit akibat melanggar
pamali Banjar dalam kepercayaan masyarakat Banjar:
a. Sakit yang dialami perempuan hamil apabila melanggar pamali
Perempuan sebagai seorang istri akan mengalami hamil. Hamil
merupakan fase perjalanan seorang perempuan menjadi seorang ibu.
Hamil bagi seorang perempuan memberi kebahagiaan luar biasa, terlebih
jika itu kehamilan pertama. Hamil bagi perempuan Banjar dan keluarga
besarnya sebagai hal yang akan disambut dengan sukacita. Perempuan
hamil akan mendapat perhatian lebih dari keluarganya maupun orang-
orang di sekitarnya. Berbagai tindakan dari perempuan diamati dan dijaga
demi keselamatannya. Berbagai petuah orang tua dalam pamali harus
dipatuhi supaya terhindar dari segala marabahaya dan sakit akibat kualat.
1) Hamil Anggur
Sakit akibat melanggar pamali Banjar salah satunya bisa hamil
anggur. Hamil anggur dalam kepercayaan Banjar, yaitu perempuan
yang hamil di luar rahim karena sewaktu gadis ketika haid makan
kuning telur dalam perut ayam. Berikut pamali tentang hamil anggur.
Perempuan yang masih haid jangan memakan kuning telur ayam

4
Haswinda Harpriyanti and Ida Komalasari, “Makna Dan Nilai Pendidikan Pamali Dalam
Masyarakat Banjar Di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah,” STILISTIKA: Jurnal Bahasa,
Sastra, Dan Pengajarannya 3, no. 2 (2018): h. 242–243.

4
yang ada di dalam perut ayam saat disembelih, nanti kena penyakit
hamil anggur.
Pamali itu memaparkan bahwa perempuan yang sudah
bersuami bisa hamil anggur karena sewaktu gadis ketika sedang haid,
dia memakan kuning telur dalam perut ayam. Ancaman hamil anggur
muncul karena sugesti bentuk kuning telur yang masih dalam perut
ayam berbentuk seperti anggur. Oleh karena itu, dinamakan hamil
anggur.5
Pamali tersebut secara logika tidak masuk akal. Namun,
pamali tersebut memperingatkan para gadis untuk tidak makan
sembarangan ketika sedang haid. Ini karena saat haid kondisi tubuh
perempuan sedang lemah dan mudah diserang penyakit. Para orang
tua zaman dahulu khawatir ketika sedang haid, si gadis yang makan
kuning telur dalam perut ayam akan sakit. Hal itu berarti, pamali ini
sebagai sarana memperingatkan para gadis ketika sedang haid agar
berhatihati memilih makanan.
2) Bibir Sumbing
Sakit karena melanggar pamali yang berhubungan dengan
perempuan hamil selanjutnya, yaitu bibir sumbing. Acaman terkena
bibir sumbing karena melanggar pamali terdapat pada pamali. Simak
pamali berikut. Pamali membalah kayu pas babinian batianan, kaina
anaknya sumbing. Jangan membelah kayu saat istri hamil, nanti
anaknya sumbing.
Pamali tersebut memaparkan pantangan bagi suami ketika
istri sedang hamil untuk membelah kayu, dikhawatirkan anaknya
akan sumbing.
Zaman dahulu ancaman anak yang akan dilahirkan sumbing
ketika suami membelah kayu, memuat para suami tidak berani

5
Sri Wahyu Nengsih, “Sakit Akibat Melanggar Pamali Banjar Dalam Kepercayaan
Masyarakat Banjar,” Ceudah 7, no. 1 (2017): h. 79.

5
melakukan. Sugesti itu karena kemiripan bentuk kayu yang belah
dengan bibir sumbing. Secara logika, memang tidak bisa dibuktikan
antara melakukan pekerjaan membelah kayu dengan terjadinya bibir
sumbing. Pamali ini memperingatkan agar ketika suami membelah
kayu haruslah hati-hati. Jangan sampai terjadi kecelakaan akibat
ketidakhati-hatian tersebut.
3) Bayi di Kandungan Posisinya Melintang
Berikut pamali bagi perempuan hamil yang bisa menyebabkan
bayi dalam kandungan posisinya melintang. Urang batianan pamali
barabah digaguling, anaknya bisa tahalang. Perempuan hamil jangan
berbaring di guling, anaknya tidak bisa keluar karena posisinya
melintang.6
Pamali itu menyatakan pantangan perempuan hamil untuk
berbaring beralas kepala dengan guling dikhawatirkan bayi dalam
kandungan akan melintang. Jika bayi dalam posisi melintang, bayi
akan sulit dilahirkan secara normal (melalui jalan lahir). Bayi dalam
kandungan posisinya melintang sebagai ancaman menakutkan bagi
perempuan hamil yang melakukan hal itu. Hal tersebut berdasarkan
asumsi dari sugesti bentuk guling yang melintang. Ancaman posisi
bayi melintang itu sangat menakutkan bagi perempuan hamil mengnat
zaman dahulu belum ada proses melahirkan secara operasi sesar.
Itulah yang menyebabkan perempuan hamil begitu mematuhi pamali
ini supaya tidak kualat.
Secara logika, pamali ini tidak ada kaitannya antara berbaring
beralas kepala di guling dengan posisi bayi dalam kandungan yang
posisinya melintang. Melalui pamali ini, orang tua zaman dulu
mengingatkan untuk menjaga adab. Apabila tidur sebaiknya
menggunakan bantal untuk penyangga kepala. Bantal sesuai
fungsinya sebagai penyangga kepala, bukan guling. Kepala dalam

6
Nengsih, h. 80.

6
kepercayaan masyarakat Banjar, memiliki tempat terhormat yang
tidak boleh disembarangkan. Ketika menggunakan guling sebagai
penyangga kepala, pelaku dianggap tidak menghormati kepala dan
menyalahi adab.
4) Sulit melahirkan
Sakit lain yang dialami perempuan hamil ketika melanggar
pamali, yaitu sulit melahirkan. Pamali yang dilanggar ialah
membuang sampah di lubang. Urang batianan pamali mambuang
ratik di lubang, ngalih baranak. Perempuan hamil jangan membuang
sampah di lubang, sulit melahirkan. Dan membuang sampah ke
lubang rumah terutama untuk perempuan yang sedang hamil
dikhawatirkan akan sulit melahirkan (mengeluarkan bayi dari jalan
lahir). Pamali tersebut dilatarbelakangi rumah masyarakat Banjar
tempo dulu umumnya rumah panggung yang lantainya terbuat dari
kayu. Rumah panggung yang lantainya kayu biasanya ada celah-celah
lubang. Lubang-lubang rumah memudahkan untuk membuang
sampah ke kolong rumah.7
Pamali di atas mengandung makna untuk cinta kebersihan.
Pamali itu terutama ditujukan untuk perempuan hamil sebagai calon
ibu yang akan mengajarkan berbagai kebaikan bagi anaknya.
Membuang sampah melalui lubang ke kolong rumah, tentu bukan hal
yang baik untuk dilakukan. Apalagi jika kebiasaan itu dilakukan oleh
perempuan hamil. Sampah yang dibuang ke kolong rumah akan
menjadi sarang penyakit terutama bagi penghuninya. Supaya
perempuan hamil tidak membuang sampah melalui lubang, pamali
diberi ancaman sulit melahirkan.
b. Sakit yang dialami perempuan sehabis melahirkan apabila melanggar
pamali (Marayun)

7
Nengsih, h. 81.

7
Perempuan sehabis melahirkan memiliki banyak pantangan.
Beragam pantangan dalam kepercayaan Banjar bagi perempuan sehabis
melahirkan diantaranya untuk makan ikan betok. Perempuan sehabis
melahirkan akan terkena sakit maruyan, apabila melanggar pamali untuk
tidak makan ikan betok. Pamali urang imbah baranak mamakan iwak
papuyu, bisa maruyan. Perempuan setelah melahirkan jangan makan ikan
betok, bisa pendarahan.
Pamali itu menunjukkan pantangan untuk makan ikan betok
sehabis melahirkan karena dikhawatirkan akan sakit maruyan. Maruyan
dalam kepercayaan masyarakat Banjar adalah pendarahan disertai darah
menggumpal yang keluar setelah perempuan melahirkan, baik itu darah
merah maupun darah putih. Maruyan merupakan hal wajar dialami
perempuan sehabis melahirkan. Maruyan yang berlebihan tidaklah baik
bagi kondisi perempuan sehabis melahirkan terlebih jika itu darah merah.
Kondisi lemah sehabis melahirkan bila disertai dengan pendarahan hebat
bisa membahayakan nyawa si perempuan. Oleh karena itu, maruyan
berlebih perlu dicegah. Salah satunya dengan makanan dan minuman
yang akan menambah tenaga si perempuan. 8
Pamali ini menggambarkan kepercayaan masyarakat Banjar
bahwa makan ikan betok akan menyebabkan maruyan. Ikan betok salah
satu ikan berduri banyak yang dikhawatirkan akan membahayakan
perempuan sehabis melahirkan. Larangan dalam pamali ini dimaksudkan
agar perempuan yang habis melahirkan teliti dalam memilih makanan.
Jangan sampai makanan yang dimakan membahayakan.
c. Sakit yang dialami anak-anak apabila melanggar pamali yaitu:
1) Lama sembuh ketika dikhitan
Anak-anak dalam tumbuh kembangnya memerlukan perhatian
dan pengawasan dari orang tuanya. Beberapa pamali berikut memuat
beragam larangan yang dikhawatirkan akan menyebabkan sakit bagi

8
Nengsih, h. 82.

8
anak-anak bila melanggar. Berikut pamali yang berkenaan dengan
larangan ketika baru dikhitan. Kakanakan imbah basunat pamali
kaluar rumah, kaina lambat waras. Anak-anak yang baru dikhitan
jangan keluar rumah, nanti tidak cepat sembuh.
Pamali di atas memaparkan larangan bagi anak-anak yang
baru dikhitan untuk ke luar rumah, akan lambat sembuh. Pamali ini
beralasan karena bila orang yang berkhitan ke luar rumah ditakutkan
bekas khitannya terkena kuman. Hal itu menyebabkan luka infeksi
dari bagian yang dikhitan. Tentu semua itu harus dihindari mengingat
bahaya yang ditimbulkan. Anak-anak yang habis dikhitan memang
sebaiknya berada di rumah beristirahat untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Anak-anak lekat dengan aktivitas bermain. Aktivitas bermain
merupakan salah satu bagian penting anak-anak bersosialisasi dengan
teman sebayanya. Anak-anak sewaktu bermain pun sebaiknya
mendapat pengawasan orang tua. Orang tua memberi bekal
pengarahan kepada anak di tempat-tempat yang baik dan tidak
berbahaya.9
2) Timbul bisul
Anak-anak sebagian besar waktunya dihabiskan dengan
bermain. Namun, orang tua semestinya mengingatkan untuk bermain
di tempat yang tidak membahayakan. Berikut pamali yang berkaitan
dengan larangan bermain di kolong rumah. Kakanakan pamali
bapenanan di barumahan, bisa babisul kapala. Anak-anak jangan
bermain di kolong rumah, nanti bisa tumbuh bisul.
Pamali tersebut memaparkan tentang larangan anak-anak
bermain di kolong rumah karena bisa tumbuh bisul di kepala. Pamali
ini menjelaskan bahwa bermain di kolong rumah itu berbahaya. Salah
satunya bisa tumbuh bisul di kepala. Pamali ini berdasar latar

9
Nengsih, h. 83.

9
belakang rumah Banjar tempo dulu yang berbentuk panggung dan
berlantai papan. Pamali ini beralasan, mengingat kolong rumah yang
kotor. Kotoran dari rumah jatuh ke kolong rumah. Apabila anak-anak
bermain di kolong rumah, kotoran akan terkena kepalanya dan
mungkin saja akan menyebabkan tumbuh bisul. Oleh karena itu,
anak-anak diperingatkan untuk tidak bermain di kolong rumah.
Zaman modern sekarang, sangat jarang rumah masyarakat
Banjar yang berbentuk panggung. Kebanyakan masyarakat Banjar
sekarang membuat rumah beton bukan lagi rumah panggung. Rumah
beton tidak lagi memiliki kolong di bawahnya. Kaitannya dengan
pamali di atas, orang tua zaman dahulu menitipkan pesan untuk
generasi penerusnya untuk mengawasi dan memperingatkan anak
agar memilih jenis dan tempat permainan yang aman. Sebagai orang
tua zaman sekarang, perlu memerhatikan petuahpetuah generasi
terdahulu agar hidup selamat dan bahagia.10
3) Sawan
Pamali berikut mengingatkan tentang penyakit sawan akibat
melanggar pamali untuk tidak memakan buah gindalun. Urang nang
baisi anak halus pamali mamakan atau mambawa ka rumah buah
gindalun, kaina anaknya panyakit sawan. Orang yang memiliki anak
kecil jangan memakan atau membawa ke rumah buah gindalun, nanti
anaknya kena penyakit sawan.
Pamali itu mengatakan bahwa orang tua yang memiliki anak
kecil (masih balita) pantang memakan atau membawa buah gindalun
dikhawatirkan anaknya akan terkena penyakit sawan. Penyakit sawan
dalam kepercayaan Banjar adalah sejenis penyakit kulit seperti
biduran, gatal-gatal, bisulan, dan kulit bengkak-bengkak pada anak
kecil yang disebabkan oleh makanan atau membawa sesuatu
(tanaman) ke dalam rumah. Anak yang terkena sawan biasanya rewel.

10
Nengsih, h. 84.

10
Oleh karena itu, orang tua menghindari sesuatu agar anaknya tidak
kena sawan.
Pamali tersebut mengajarkan kehati-hatian dalam memilih
makanan dan membawa sesuatu ke dalam rumah yang ada anak
kecilnya. Anak kecil rawan terkena penyakit. Hal tersebut karena
daya tahan tubuhnya yang masih lemah. Seorang ibu yang menyusui
anak kecil perlu menyadari tidak semua makanan itu cocok untuk
anaknya. Makanan yang dimakan seorang ibu juga akan mengalir
lewat air susunya. Mau tidak mau, apapun yang dimakan sang ibu
juga akan dirasakan oleh anaknya. Anak yang tidak tahan terhadap
makanan yang dimakan sang ibu akan kena sakit, salah satunya
adalah sawan.11
4) Mudah sakit
Pamali berikut juga berkaitan dengan adab. Pamali kaluar
rumah pas sanja kuning, panggaringan. Pantang ke luar rumah ketika
senja kuning, penyakitan. Pamali tersebut memaparkan pantangan
untuk ke luar rumah ketika senja kuning karena bisa kena penyakit.
Pamali ini menunjukkan adanya kepercayaan masyarakat Banjar
terhadap senja kuning yang membawa penyakit. Dalam kepercayaan
masyarakat Banjar, para hantu dan jin jahat keluar untuk menebarkan
penyakit bagi manusia yang berada di luar rumah. Dampak ditebarkan
penyakit oleh para hantu dan jin jahat terutama sangat berpengaruh
untuk anakanak. Berdasarkan kepercayaan tersebut, setiap senja
kuning para orang tua bergegas mencari anaknya dan segera
membawanya pulang ke rumah.
Pamali ini masih dipercaya oleh masyarakat Banjar. Tidak
hanya saat senja kuning, setiap anggota keluarga dibiasakan untuk
berada di dalam rumah ketika senja. Anak-anak tidak diperkenankan
berkeliaran di luar rumah saat senja. Masyarakat Banjar yang agamis

11
Nengsih, h. 85.

11
melakukan persiapan untuk melaksanakan salat magrib dan mengaji
setelahnya. Kebiasaan ini terutama masih dilaksanakan di daerah
pedesaan. Pelajaran moral dari pamali ini mengajak pada perbuatan
dan kebiasaan untuk berada di dalam rumah ketika senja hari.
5) Mata Buta
Pamali berikut mengajarkan adab untuk tidak meminta uang
pada waktu malam. Pamali minta duit waktu malam, mata bisa picak.
Pantang meminta uang di waktu malam, mata bisa buta. Pamali
tersebut menunjukkan pantangan untuk minta uang di waktu malam
karena bisa menyebabkan mata buta. Pamali ini ditujukan kepada
anakanak. Anak-anak biasa minta uang jajan kepada orang tuanya.
Ketika malam hari pun kadang kala anak merengek minta uang jajan.
Dengan adanya pamali ini, orang tua akan melarang anaknya minta
uang pada malam hari. Secara logika, tidak ada hubungan antara
minta uang di malam hari.12
d. Sakit yang dialami remaja atau orang dewasa apabila melanggar pamali
Banjar
1) Penyakit Hati
Pamali lintuhut disatuakan ka dagu pas lagi duduk, panyakit
hati. Pantang lutut disatukan ke dagu selagi duduk, penyakit hati.
Pamali di atas mengatakan bahwa pantang menyatukan dagu ke lutut
selagi duduk karena akan menyebabkan penyakit hati. Penyakit hati
yang dimaksud bukan sakit liver melainkan penyakit hati (berkaitan
dengan akhlak), misalnya keras kepala, buruk sangka kepada orang
lain, sombong, suka dipuji, dan lain-lain.
Pamali tersebut mengajarkan tentang adab bahwa bertumpang
dagu ke lutut itu tidak baik. Pamali ini ditujukan kepada remaja yang
biasanya asyik dengan dirinya sendiri. Bertumpang dagu ke lutut
biasa dilakukan remaja sambil melamun. Pelaku yang melakukan

12
Nengsih, h. 86.

12
akan dianggap seorang pemalas dan suka berputus asa. Oleh karena
itu, ancaman dalam pamali itu adalah penyakit hati. Dari pada
bertumpang dagu ke lutut, lebih baik pelaku bekerja membantu orang
tua atau mengerjakan hal lain yang lebih bermanfaat.
2) Diare
Pamali berikut masih berkenaan dengan adab. Pamali makan
badungkung, bisa baheraan. Pantang makan sambil berjongkok, bisa
diare. Pamali tersebut memaparkan tentang larangan makan sambil
berjongkok karena akan mengakibatkan diare. Secara logika pamali
tersebut memang tidak masuk akal. Tidak ada hubungannya makan
sambil jongkok dengan terkena sakit diare. Namun, pamali tersebut
memberi pelajaran kepada remaja untuk beradab saat makan.
Makanan sebagai rezeki dari Tuhan wajib disyukuri. Makan bersila
lebih dianjurkan dan menunjukkan adab yang baik terhadap
pemberian Tuhan.13
3) Belacak (Gatal)
Pamali berikut masih mengenai adab makan. Pantang makan
waktu sanja, tangan bisa kena penyakit bacalak. Pantang makan
waktu senja, tangan bisa kena penyakit gatal. Pamali tersebut
memaparkan pantang makan waktu senja karena tangan pelaku akan
terkena penyakit bacalak (gatal). Penyakit bacalak dalam kepercayaan
masyarakat Banjar ialah sakit gatal pada tangan yang meninggalkan
bercak hitam. Secara logika, tidak ada hubungan antara makan waktu
senja dengan terkena penyakit bacalak. Namun, pamali ini memberi
pelajaran akhlak untuk tidak makan di waktu senja.
Waktu senja, waktu ketika umat Islam menunaikan ibadah
salat Magrib. Secara makna, pamali ini menunjukkan kebiasaan
masyarakat Banjar yang lebih mengutamakan salat. Jika lapar,
hendaknya makan sebelum senja atau kalau bisa ditahan makan

13
Nengsih, h. 87.

13
setelah salat Magrib. Makan ketika waktu senja dianggap tidak
beradab. Oleh karena itu, pamali ini memiliki ancaman bagi pelaku
terkena penyakit bacalak. Orang tua zaman dahulu berharap generasi
penerusnya mengerti adab-adab dan mau menaatinya.
4) Batimbil (Mata Timbilan)
Pamali berikut juga menunjukkan adab dalam bertingkah
laku. Mengintip orang yang sedang buang hajat merupakan perbuatan
yang menyalahi adab. Pamali ini masih bertahan sampai saat
sekarang karena kepercayaan akan pamali ini. Berikut pamalinya.
Pamali manilik urang di jamban, matanya batimbil. Pantang melihat
orang di jamban, matanya bakutil.
Pamali tersebut menunjukkan larangan mengintip orang yang
sedang buang hajat di jamban karena akan mengakibatkan mata
pelaku bakutil. Pamali ini dilatarbelakangi kehidupan masyarakat
Banjar yang dekat dengan kehidupan sungai. Jamban-jamban pada
zaman dahulu dibuat mengapung di sungai. Jamban-jamban itu dibuat
tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, memungkinkan orang lain untuk
mengintip.14
Secara logika, Pamali tersebut memang tidak menunjukkan
sebab akibat antara mengintip orang buang hajat dengan penyakit
mata bakutil. Namun, pamali ini mengajarkan masyarakat Banjar
untuk menjaga adab. Pelaku yang mengintip dianggap tidak menjaga
adab untuk menghormati orang lain. Hubungan sosial dengan orang
lain dijaga dengan menghormati hak-hak orang lain.
5) Kebinjaian (Tubuh gatal-gatal)
Pamali berikut mengenai pantangan mengambil buah binjai
saat hujan. Pamali manjatu binjai pas hari hujan, bisa kababinjaian.
Pantang mengambil binjai saat hari hujan, bisa kebinjaian. Pamali
tersebut mengatakan pantangan mengambil binjai bisa kabinjaian.

14
Nengsih, h. 88.

14
Pamali ini menjelaskan kepercayaan masyarakat Banjar apabila
mengambil pohon binjai saat hari hujan akan menyebabkan
kebinjaian. Kepercayaan masyarakat Banjar tentang kebinjaian
adalah penyakit gatal-gatal ketika menyentuh pohon binjai.
Kebinjaian bukan sekedar kepercayaan tetapi merupakan sebuah fakta
tentang gatal-gatal ketika menyentuh pohon binjai. Buah binjai dalam
keseharian diolah menjadi bahan membuat sambal. Rasanya sangat
lezat bila dijadikan sambal, tetapi bila dimakan buahnya saja akan
berasa sangat asam.
Pohon buah binjai biasanya tumbuh di daerah yang
mengandung air. Misalnya, pinggir sungai, pinggir daerah rawa, dan
di dalam hutan. Pamali ini mengandung makna untuk tidak memanjat
pohon binjai, apalagi di saat hujan. Pohon binjai dianggap oleh orang
tua zaman dahulu berbahaya karena menyebabkan penyakit
kebinjaian. Bahaya pohon binjai sudah dikenal oleh masyarakatnya.
Memanjat pohon binjai, selain dapat menyebabkan penyakit
kebinjaian juga bisa terpeleset dan terjatuh ke bawah yang dapat
menyebabkan si pemanjat bisa patah tulang bahkan tewas.
Secara makna, pamali ini menunjukkan kebiasaan masyarakat
Banjar yang lebih mengutamakan salat. Jika lapar, hendaknya makan
sebelum senja atau kalau bisa ditahan makan setelah salat Magrib.
Makan ketika waktu senja dianggap tidak beradab. Oleh karena itu,
pamali ini memiliki ancaman bagi pelaku terkena penyakit bacalak.
Orang tua zaman dahulu berharap generasi penerusnya mengerti
adab-adab dan mau menaatinya.15
2. Madihin
Madihin adalah kesenian daerah tradisional suku Banjar, Kalimantan
Selatan. Madihin diperkirakan telah ada setelah Islam menyebar di
Kalimantan Selatan, yaitu sekitar tahun 1800. Kesenian ini pada awalnya

15
Nengsih, h. 89.

15
berkembang di sekitar daerah Kampung Tawia, Kecamatan Angkinang,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan kemudian berkembang ke seluruh
daerah di Kalimantan Selatan. Madihin berasal dari kata madah, sejenis puisi
lama dalam sastra Indonesia, karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal
dari kalimat akhir yang bersamaan bunyi. Madah bisa juga diartikan sebagai
kata-kata pujian (bahasa Arab), hal ini bisa dilihat dari kalimat- kalimat
dalam bait-bait madihin yang kadang kala berupa pujian-pujian. Pendapat
lain mengatakan, bahwa madihin juga berasal dari bahasa Banjar, yaitu
papadah atau mamadahi atau dalam bahasa Indonesia berarti memberikan
nasihat.
Tradisi penuturan madihin sudah ada sejak Islam masuk wilayah
Kerajaan Banjar pada 1526. Madihin ada sejak abad ke-18 memasuki abad
ke-19, yaitu pada saat Syekh Arsyad Al- Banjari pulang ke banua Banjar dari
menuntut ilmu di tanah suci. Sejak itu pula berkembang seni madihin
bernapaskan nilai-nilai agama. Kedua pendapat itu cukup beralasan karena
madihin sangat kental dengan pengaruh Islam, akulturasi budaya Arab
Banjar. Istilah madihin, secara etiomologis berasal dari bahasa Arab madah
yang berarti nasihat atau pujian. Ungkapan syair yang dituturkan secara
berlagu merupakan analogi dari syair-syair bentuk puji-pujian kepada Nabi
Muhammad Saw.16
a. Tujuan dan Fungsi Madihin
Tujuan madihin sebagai media penyampaian pesan infomasi dan
komunikasi dalam sebuah kesenian dengan tujuan agar sebuah nasihat
agama, pembangunan, kritik, protes sosial seperti sindiran, media untuk
perbaikan moral dan karakter, serta pendidikan dapat tersampaikan
kepada masyarakat. Pesan-pesan pembangunan dalam tuturan madihin
sehingga sering ditanggap oleh lembaga, dinas, instansi, atau badan
pemerintahan, perusahaan swasta, organisasi masyarakat, bahkan partai
politik untuk menyampaikan program institusi penanggap. Pertunjukan

16
Mahraeni,dkk Fajar Kurniawan, Komunikasi Madihin, 2021, h. 87.

16
madihin sering ditampilkan pada acara hiburan menyambut hari jadi
provinsi atau kabupaten/kota, peresmian gedung, pembukaan atau
pencanangan kegiatan pemerintah pembukaan rapat musyawarah
organisasi kemasyarakatan, atau kampanye partai politik. Makna madihin
ialah syair-syair madihin yang mengandung nilai-nilai religious, sebagai
ungkapan rasa dan pengalaman bathin seorang pamadihinan dapat dilihat
dari pembukaan (hadiyan) dalam struktur kesenian madihin. Nilai spirit
dan rohani adalah merupakan nilai yang berkaitan dengan tindakan baik
dan buruk, benar dan salah, serta indah dan tidak indah. Nilai spirit ini
meliputi perwujudan tingkah laku dan perilaku manusia.
Materi yang disampaikan oleh seorang pemadihin pada dasarnya
meliputi seluruh unsur kehidupan, yang jelas apa yang disampaikan oleh
mereka sesuai dengan tema kegiatan acara dilaksanakan. Karena itu
isinya bisa berkenaan dengan masalah pembangunan, kesehatan,
pendidikan, agama dan lain-lain. Secara efektif kesenian atau permainan
madihin dapat digunakan sebagai media komunikasi, terutama dalam
menyampaikan tema-tema keagamaan (dakwah) kepada masyarakat luas.
Tema yang dimaksud di samping mengandung nilai-nilai dakwah, secara
tidak langsung juga bisa disinergikan dengan nilai-nilai memberikan
pendidikan atau dalam rangka memberi informasi kepada khalayak, dan
juga bersifat memberikan hiburan (entertainment), karena humor-humor
segar yang selalu diselipkan oleh pemadihin dalam penyampaian pesan
dan isi materinya. Selain itu fungsi madihin antara lain: 17
1) Sebagai media komunikasi menghibur, karena adanya perpaduan
antara seni vokal berupa nyanyian yang berisi syair atau pantun
dengan iringan pukulan perkusi terbang (sejenis gendang Melayu)
yang dimainkan langsung oleh pamadihinan. Jika sekarang dikenal
adanya musikalisasi puisi, boleh jadi seni tutur madihin dapat

17
Mahraeni,dkk Fajar Kurniawan, h. 88.

17
dikategorikan sebagai pelopor musikalisasi puisi di Kalimantan
Selatan.
2) Sebagai media komunikasi yang berfungsi humor, kalimat tutur
dalam syair dan pantun berbahasa Banjar yang dipentaskan dalam
madihin mengandung aspek humor, yang tujuannya memberikan
hiburan sekaligus nasihat.
3) Sebagai media komunikasi yang berfungsi sebagai informatif atau
penyampaian pesan- pesan.
4) Sebagai pendidikan. Syair dan pantun yang dituturkan dalam madihin
banyak sekali yang mengandung nasihat dan nilai-nilai agama, moral,
sosial kemasyarakatan. 18

Fungsi ini sesuai dengan latar sejarah madihin dan


berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan. Madihin menjadi media
dakwah yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan-pesan Islami,
pada masyarakat Banjar yang pada mulanya adalah penganut Hindu. Saat
ini fungsi dakwah dalam madihin sudah tidak lagi digunakan, karena
peran ulama dan para ustadz sudah sangat memadai. Demikian juga
dalam acara-acara peringatan hari-hari besar Islam, madihin kurang
mendapat tempat. Masyarakat lebih memilih syair-syair Maulid Al-
Habsyi, yang sekarang lagi marak di bumi Lambung Mangkurat.

Pamidihinan lebih fokus pada penyampaian pesan pendidikan,


berupa nasihat, saran, atau kritik membangun untuk menyempurnakan
tatanan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, fungsi pertama
madihin adalah menghibur. Fungsi ini sudah berjalan di awal-awal
perkembangannya.

Langkanya permadihinan terutama disebabkan dalam bermadihin


dituntut keahlian khusus, yang tidak mungkin dicapai tanpa minat dan

18
Mahraeni,dkk Fajar Kurniawan, h. 89.

18
kemauan belajar. Setidaknya ada enam kriteria profesional yang harus
dipenuhi oleh seorang permadihinan, yakni :

1) Terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan, struktur


bentuk fisik madihin.
2) Terampil dalam mengolah tema dan amanat (bentuk mental) madihin
yang dituturkan,
3) Terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan madihin secara
hafalan (tanpa teks) di depan publik,
4) Terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan madihin,
5) Terampil dalam hal mengolah musik pengiring madihin (menabuh
gendang rebana),
6) Terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika
menuturkan madihin di depan publik.19

Seni tutur madihin memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk


berkembang dibanding wayang Banjar. Dalam perkembangan
selanjutnya, madihin bahkan banyak menggunakan bahasa Indonesia
dengan tidak meninggalkan ciri khas penuturannya, berlagu dan
menggunakan dialek Banjar yang kental. Pengembangan lainnya dapat
dilihat dari segi penampilan. Kalau dahulu, madihin banyak ditampilkan
secara solo (sendiri), sekarang madihin bisa ditampilkan secara duet
(berdua), bahkan secara trio (bertiga). Walaupun bersifat fleksibel,
pengembangan seni sastra madihin tidak boleh lepas dari kaidah
penuturannya, yaitu berlagu dengan iringan musik perkusi gendang
rebana, dituturkan spontan, tanpa teks, menggunakan bahasa Banjar atau
bahasa Indonesia dengan dialek Banjar.

b. Struktur Penyajian Madihin

19
Mahraeni,dkk Fajar Kurniawan, h. 90.

19
Tuturan madihin yang dipentaskan memiliki struktur penyajian
baku yang meliputi empat langkah, yaitu pembukaan, penghormatan
(tabi), penyampaian materi atau isi (manguran), dan penutup. Penjelasan
keempat langkah itu adalah sebagai berikut:
1) Pembukaan, yaitu dengan melampirkan sampiran sebuah pantun yang
diawali pukulan rebana yang disebut pukulan membuka. Sampiran
pantun ini biasanya berisi ucapan salam dan memberikan informasi
tentang tema yang dibawakan dalam penyampaian pantun madihin.
2) Penghormatan (tabi), yaitu membawakan syair atau pantun yang
isinya menghormati penonton dan basa - basi lainnya.
3) Penyampaian isi (manguran), yaitu menyampaikan syair atau pantun
yang selaras dengan tema pesan yang ingin dituturkan. Bagian ini
lebih panjang dari yang lain.
4) Penutup, yaitu penyampaian simpulan, permohonan maaf, pernyataan
minta diri (pamit).20
3. Lamut
Lamut atau balamut adalah sebuah tradisi bakisah (bercerita atau
bertutur). Isi cerita atau tuturan lamut mengandung pesan dan nilai-nilai
keagamaan, sosial, dan budaya masyarakat Banjar. Lamut merupakan seni
cerita monolog berlagu diiringi pukulan gendang rebana, yang dimainkan
langsung oleh palamutan (sebutan seniman lamut). Konon, lamut berasal dari
negeri Cina, dibawa oleh para pedagang Tionghoa ke Banjarmasin hingga ke
Amuntai pada sekitar tahun 1816. Bahasa yang semula menggunakan bahasa
Tionghoa, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Banjar. Hingga
akhirnya lamut menggunakan bahasa Banjar. disebutkan bahwa, seni lamut
(versi bahasa Banjar, pen) pada mulanya berasal dari Amuntai.
Menurut Prof. M. Idwar Saleh, sebutan lamut berasal dari bahasa
Arab, yakni 'la-mautun' artinya 'yang tidak pernah mati', sebagai gambaran

20
Abdul Salam, Seni Tutur Madihin: Ekspresi Bahasa dan Sastra Banjar (Deepublish, 2018),
hal.72-78.

20
tokoh lamut yang menjadi ikon cerita. Palamutan laksana dalang (dalam
wayang kulit), yang sekehendak kuasanya dapat mengatur cerita, seperti
kuasanya Allah SWT, yang tak pernah mati. Lamut merupakan kesenian
istana berfungsi untuk hiburan dan upacara.
Di Kalimantan Selatan, lamut dikenal sebagai kesenian yang bernilai
sakral, karena di samping berfungsi sebagai hiburan (bahasa Banjar:
baramian), lamut juga digunakan sebagai media pengobatan (bahasa Banjar:
batatamba). menggambarkan, sebagai sarana upacara, lamut dilaksanakan
untuk menolak bala, doa selamat, ungkapan syukur, karena telah terlunasi
hutang/ janji, atau syukuran atas kesembuhan anak dari sakit. Palamutan
dalam upacara balamut, duduk di dinding penyekat ruang tamu (bahasa
Banjar: tawing halat), menghadapi sesajen untuk roh-roh yang datang pada
saat dilakukan upacara, sambil tangannya memegang terbang besar.
Palamutan duduk sendiri di ruang tamu, lampu dipadamkan. Komunitas
pendengar hanya duduk di sekitar halaman rumah atau di bawah (kolong)
rumah mendengarkan palamutan bertutur dengan cerita sesuai pakem yang
dibawakannya. Oleh karena itu, seni balamut tidak bisa dimainkan oleh
sembarang orang, kecuali ahlinya atau keturunan palamutan. Hal inilah, yang
menyebabkan seni tutur lamut menjadi langka.21

Terdapat beberapa kesamaan antara seni tutur lamut dan madihin,


terutama dari aspek properti yang digunakan, yaitu sama-sama menggunakan
terbang atau gendang dan dituturkan secara berlagu. Bedanya adalah lamut
mengandung unsur cerita atau bakisah, sedangkan madihin tidak. Uraian

21
Salam, h. 72.

21
tentang madihin dalam buku ini diuraikan secara khusus dalam bagian
tersendiri. 22
a. Teknik Pertunjukan Lamut
Lamut sebagai tradisi berkaitan dengan sikap kelompok
masyarakat Banjar dalam hal menganut religi atau kepercayaan, karena
itu, dalam pertunjukan lamut benda disertakan sebagai bentuk sajian.
Cerita lamut hampir mirip dengan cerita wayang dan dituturkan dengan
rangkaian bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Banjar.
Dari bentuk seperti itu dapat dikatakan bahwa lamut masih terpengaruh
oleh unsur-unsur kepercayaan Hindu. Selain itu masyarakat Banjar
merupakan masyarakat yang kental dengan ajaran Islam. Palamutan
merupakan orang Banjar yang beragama Islam. Oleh karena itu, tradisi
dalam Islam berpengaruh pula dalam lamut, seperti membuka
pertunjukan dengan ucapan basmalah: bismillaahirrohmanirrohim,
berdoa, dan salam. Namun, dalam pertunjukan lamut dikemukakan juga
para tokoh-tokoh yang berhubungan dengan para dewa, yang tidak
terdapat dalam ajaran Islam, beserta tokoh-tokoh orang dan mahluk-
mahluk halus lainnya.
Dalam kaitannya dengan pertunjukan lamut sebagai bentuk
komunikasi dengan para dewa, pihak penyelenggara selalu menyiapkan
piduduk sebelum pertunjukan dimulai. Selain itu palamutan juga terlebih
dahulu membaca mantra. Mantra tersebut menurut palamutan cukup
penting karena dengan adanya mantra, ia mampu bercerita atau bertutur
dengan lancar. Adanya mantra dan sajian ditujukan kepada makhluk
halus secara tradisional hanya diketahui oleh palamutan.
Jika pertunjukan lamur untuk membayar nadzar atau hajat,
pertunjukan harus menyiapkan seperangkat piduduk atau sejumlah kue
tradisional. Secara tradisional piduduk Tersebut menjadi simbol
pembayaran nadzar. Setelah semuanya tersedia, baru palamutan mulai

22
Salam, h. 73.

22
bertutur. Selain itu palamutan melakukan persiapan batin agar selama
bercerita ia tetap kuat dan lancar. Acara ini biasanya didahului dengan
upacara kecil, yakni membakar kemenyan di pedupaan. Pada saat itu
palamutan membaca doa dan mantra agar dalam pertunjukan ia dapat
memukau penonton. Seletah itu ia membelah biji kelapa muda untuk
diminum airnya. Dengan perlahan ia mengangkat Terbang dan
membisikkan sesuatu pada Terbang. Bisikan itu berupa mantra agar
Terbang bersuara nyaring dan merdu didengar oleh penonton.
b. Tempat Pertunjukan Lamut
Untuk mengadalan pertunjulan lamut, penyelenggara menyiapkan
tempat berupa tempat pentas kecil berukuran 2 x 2 x 1 meter. Tempat
pertunjukan ini dinamakan cacampan. Jika pertunjukan dilaksanakan di
lapangan atau ruang yang cukup luas seperti pekarangan rumah, gedung,
auditorium, cacampan biasanya ditempatkan di tengah-tengah. Cacampan
dilengkapi dengan kasur kecil atau sarung yang dilipat berlapis-lapis dan
dibentuk sedemikian rupa agar palamutan merasa nyaman duduk dan
bertutur. Hal ini mengingat bahwa pertunjukan biasanya memerlukan
waktu cukup lama, sehingga tempat duduk palamutan dibuat agak empuk
sehingga tidak terasa keras dan kaku ketika diduduki.23
Cerita yang disampaikan oleh palamutan diwarnai komedi,
dengan gaya, mimik, dan irama menabuh Terbang yang sangat
mendukung pertunjukan schingga lebih menarik perhatian penonton.
Selain cacampan, dipersiapkan juga peralatan lain berupa pedupaan untuk
membakar kemenyaan. Bau dan asap kemenyaan selalu mengepul dan
menimbulkan suasana khusuk dan mistik bagi penonton. Bau demikian
hadir dalam rangkaian komunikasi
Dengan mahkluk gaib yang hadir dalam pertunjukan tersebut.
Sebagai wujud komunikasi dengan roh yang hadir, sering juga disediakan
dua gelas kopi (pahit dan manis), air putih, dan rokok. Kalau pertunjukan

23
Jahdiah, “Lamut Dan Madihin Tradisional Banjar DiTengahArus Modernisasi,” n.d., h. 5.

23
itu untuk nadzar, tuan rumah biasanya menyediakan bermacam-macam
kue yang disebut “kue empat puluh macam” seperti nadzar untuk
penyembuhan suatu penyakit atau maksud lain. Selain itu disediakan pula
piduduk yang berupa beras, ketan, kelapa, telur ayam, gula merah,
benang, hitam, jarum, dan uang perak sekedarnya.
c. Alat Musik Lamut
Alat musik yang digunakan dalam pertunjukan lamut ialah sebuah
gendang rebana Yang dinamakan dengan tarbang, biasanya disebut
tarbang lamut yang terbuat dari kayu Pilihan seperti kayu jingah, sirang,
atau madang yang dikombinasi dengan kulit lembu dan Disimpai (diikat)
dengan rotan. Ukuran tingginya sekitar 20 cm dan diameternya antara 50-
100 cm. Terbang ini terdiri dari tiga bagian, yakni bagian (muka) rangka,
badan (kerongkong) dan belakang. Di sekeliling Terbang terdapat tiga
lubang yang berfungsi Sebagai tempat pegangan tangan dan untuk tali
gantungan. Dua lubang lainnya digunakan Untuk tempat lempengan besi
yang berbentuk lingkaran yang berfungsi menambah bunyi Gemerincing
pada alat tersebut. Terbang tersebut diletakkan palamutan di atas pahanya
Dengan posisi duduk bersila. Alat ini dirangkul dan dipangku sambil
dipukul dengan Pukulan yang khas. Irama yang ditimbulkan sesuai
dengan jalan cerita. Cerita suka duka, Iba, marah, perang, damai, banci,
bercinta, dan sebagainya, dapat diatur oleh palamutan Seperti irama
gamelan yang mengiringi cerita dalang. 24
d. Kedudukan Lamut
Pada umumnya lamut sudah lama dikenal masyarakat Banjar di
Kalimantan Selatan. yakul sekitar abad ke-19. Salah satu daerah yang
melahirkan seniman Tamut (palamutan) falah Kabupaten Hulu Sungai
Utara. Dari sana menjelang abad ke-20 seni ini menyebar hampir ke
seluruh perkampungan, terutama perkampungan yang berada di
sepanjang Sungai Nagara, Batang Amandit, Batang Alai, Batang

24
Jahdiah, h. 6.

24
Balangan, dan Tabalong. Lamut ini pada pada kejayaannya sangat
digemari oleh masyarakat tetapi sekarang seiring dengan kemajuan
zaman lamut hampir tidak dikenal lagi oleh anak muda sekarang.
e. Fungsi Lamut
Lamut berfungsi sebagai media da'wah agama Islam yang
menyampaikan ajaran ajaran agama, media komunikasi pemerintah warga
dengan muatan pesan-pesan pemerintah atau media pengundang dengan
menyampaikan pesan-pesan dari pengundang lamut kepada para hadirin
dan lingkungannya. Selain itu itu lamut juga berfungsi sebagai hiburan
yang menyajikan cerita, pesan-pesan melalui penyampaian yang jenaka
dan menghibur. Fungsi lain yang tak kalah penting adalah manyumpir,
yaitu tradisi hagi keturunan palomitan fungsi pewarisan dari satu
palamuran kepada generasi palamu ran berikutnya. Fungsi hajatan
palamutan dimaksudkan untuk kepentingan seperti tolak bala atau doa
selamat pada acara kelahiran anak, khitan atau sunatan, serta
mendapatkan rejeki. Fungsi lamut yang juga penting adalah sebagai
media pendidikan, terutama mengenai tata-kerama kehidupan
masyarakat. 25
4. Tatanggar
Tatangar sebagai salah satu folklor yang dimiliki oleh masyarakat
Banjar. Tatangar merupakan tradisi lisan yang termasuk takhyul dalam
bentuk kalimat pernyataan yang menyimbolkan atau menandakan sesuatu.
Tatangar termasuk folklor sebagian lisan karena bagian dari suatu
kepercayaan rakyat. Sebagai bagian dari folklor, tatangar memiliki beragam
nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat Banjar. Tatangar merupakan
pertanda yang dirasakan, terlihat, atau dialami oleh seseorang sebagai suatu
firasat.
Tatangar sebagai bagian dari folklor memiliki nilai-nilai berkaitan
dengan kehidupan masyarakat Banjar dalam lingkup budayanya. Melalui

25
Jahdiah, 7.

25
tatangar, warisan nilai-nilai budaya dilakukan dari generasi terdahulu ke
generasi berikutnya. Generasi terdahulu mewariskan beragam budaya Banjar
melalui Tatangar. Pengetahuan mengenai mimpi, alam, tata tingkah laku, ciri
fisik yang dianggap sebagai pertanda. Banyak hal menarik yang dapat
diambil sebagai pelajaran bagi generasi sekarang. Pelajaran mengenai alam
misalnya, betapa generasi terdahulu begitu memperhatikan alam. Berbagai
gejala alam di sekitar lingkungan dapat menjadi pertanda mengenai sesuatu.
Sebut saja tatangar berikut, Bila burung bubut babunyi, tandanya musim
hujan. “Bila burung bubut berbunyi, tandanya musim hujan”. Tatangar itu
menunjukkan bahwa masyarakat Banjar tempo dulu percaya jika terdengar
bunyi burung sebagai pertanda datangnya musim hujan.
Tatangar Banjar sebagai warisan nilainilai budaya Banjar tergambar.
Beragam budaya Banjar dalam tatangar Banjar diwariskan dalam
komunitasnya dan dimiliki secara kolektif. Warisan budaya mengenai
tatangar terus bertahan dalam kepercayaan masyarakat Banjar. Tatangar
bukan tidak mungkin akan hilang dari peradaban masyarakat Banjar. Jika itu
terjadi, anak-anak Banjar tidak tahu bahwa nenek moyangnya memiliki
tatangar. Padahal selayaknya tatangar tidak boleh hilang dari peradaban
masyarakat Banjar. Tatangar patut untuk dipertahankan. 26
B. Nilai-Nilai Kemasyarakatan dalam Tradisi Lisan Suku Banjar
Tradisi lisan jauh lebih berakar dalam masyarakat Indonesia. Begitu pula
pada masyarakat Banjar. Hal inilah yang menjadi salah satu kekuatan tradisi lisan
dalam. pandangan masyarakat Banjar sebagai bagian dari kebudayaan yang ada
di Kalimantan Selatan. Berbicara masalah bahasa lisan Banjar maka tidak lepas
hubungannya dengan tradisi tutur yang terdapat dalam masyarakat Banjar seperti
tradisi sastranya sebagai salah satu sarana ekspresi dan komunikasi yang lebih
lerstruktur dan terdokumentasi secara lisan dibandingkan percakapan biasa di
kehidupan sehari-hari.

26
Sri Wahyu Nengsih, “Tatangar Banjar Sebagai Ekspresi Sistem Kognisi Masyarakat
Banjar,” UNDAS: Jurnal Hasil Penelitian Bahasa Dan Sastra 12, no. 1 (2016): h. 196.

26
Edukasi dapat dilihat sebagai suatu upaya pewarisan budaya dari suatu
masyarakat kepada generasi muda dalam masyarakat tersebut, melalui
penanaman nilai-nilai budaya pada anak, melatih anak dalam keterampilan-
keterampilan khusus agar anak dapat hidup dan bekerja sebagai anggota
masyarakat.27
Berdasarkan rumusan di atas, salah satu nilai-nilai edukasi yang didapat
dari nilai nilai kebudayaan adalah tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan bagian
dari tradisi secara umum mempunyai nilai yang amat penting dalam pola
kehidupan masyarakat, apalagi bagi sekelompok masyarakat yang belum
mengerti bahasa tulis. Dalam sejarahnya, ungkapan tradisional merupakan bagian
perting dari proses pendidikan karakter yang dilakukan oleh masyarakat untuk
warganya: memiliki posisi sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial bagi
seseorang dalam berkata, bertindak, atau melakukan suatu kegiatan. Pada sisi
yang lain, ia juga menjadi indikator dalam menilai seseorang, apakah ia patuh
dan taat terhadap aturan aturan yang dibuat oleh masyarakat, baik dalam konteks
ajaran agama maupun norma-norma sosial. Nilai edukasi berkaitan erat dengan
keberlangsungan dari tradisi itu sendiri, proses regenerasi sadar atau tidak
merupakan proses edukasi untuk melestarikannya.
Sayangnya, kearifan lokal yang diusung oleh budaya tutur dimaksud,
sebagai tolok ukur sikap, prilaku, dan karakter seseorang, belum secara optimal
dipahami dan diwariskan untuk memberikan keteladanan. Nilai-nilai edukasi
dalam tutur lisan itu cenderung dipinggirkan, terdegradasi, dan bahkan ditabrak
secara serampangan, sehingga budaya sebagai media pendidikan masyarakat
tidak berjalan secara efektif. Tradisi lisan yang selama ini dijadikan sebagai salah
satu pewarisan nilai-nilai edukasi telah terancam punah oleh berbagai faktor
internal maupun eksternal yang terdapat di lingkungannya. Hal ini disebabkan
masyarakat menganggap tradisi lisan adalah sesuatu yang kuno atau bagian dari
masa lalu, masyarakat lebih senang mengikuti tradisi dari budaya barat yang
kebanyakan bertentangan dengan budaya timur. Oleh itu, berbagai nilai positif

27
Jamalie Zulfa, “Nilai-Nilai Edukasi Dalam Tradisi Lisan Masyarakat Banjar,” 2012, h. 32.

27
yang terkandung dalam berbagai ungkapan dan tradisi lisan masyarakat, sebagai
bagian dari kultur mesti diangkat dan dikembalikan kepada posisinya semula
sebagai nilai moral yang mengontrol perilaku dan karakter bermoral dalam
masyarakatnya. Permasalahan di atas menunjukkan bahwa masih diperlukannya
pengembangan dari tradisi lisan masyarakat Banjar dalam rangka mencapai mutu
pendidikan tinggi dan dalam upaya meningkatkan nilai-nilai edukasi yang
berkaitan dengan pembentukan karakter pada generasi muda. 28
Adapun nilai-nilai dalam tradisi lisan suku banjar yaitu:
1. Pamali
Berikut adalah sejumlah ungkapan pamali bahasa banjar yang
mengandung nilai karakter:
a. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Religius
Nilai religius berarti sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Ungkapan pamali bahasa Banjar yang mengandung nilai karakter religius
yaitu:
“Pamali guring imbah asar, mewaris panyakit gila.”
(Dilarang tidur setelah sholat asar, bisa menyebabkan penyakit gila)
Analisi:Ungkapan pamali ini merupakan penanaman ajaran agama Islam
yang melarang tidur setealah waktu sholat Ashar. Hal ini sesuai dengan
hadists Rasullah yang berbunyi “Barangsiapa yang tidur setelah ashar
kemudian ia kehilangan akalnya maka janganlah ia salahkan kecuali
dirinya”. Ungkapan pamali bahasa Banjar yang melarang tidur setelah
sholat Ashar merupakan menanaman nilai religi berbentuk sikap dan
perilaku yang patuh melaksanakan ajaran agama Islam.
b. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Jujur
Nilai jujur yang dimaksud adalah perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya

28
Zulfa, h. 33.

28
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Ungkapan pamali bahasa
Banjar yang mengandung nilai karakter jujur yaitu:
“Pamali bakaramput, kana ditatak malaikat ilat.”
(Jangan berbohong, nanti dipotong malaikat lidahnya)
Analisis: Ungkapan pamali ini sangat jelas kegunaannya agar orang
berbicara jujur / tidak berbohong. Berbohong merupakan perilaku yang
menggambarkan ketidakjujuran.
c. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Disiplin
Nilai disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Ungkapan pamali
bahasa Banjar yang mengandung nilai karakter disiplin yaitu:
“Pamali duduk di atas bantal, kaina bisa babisul.”
(Jangan duduk di atas bantal, nanti terkena bisulan)
Analisis: Duduk di atas bantal mengambarkan perilaku yang tidak tertib
dan patuh pada ketentuan yang sudah ditanamkan oleh masyarakat di
mana bantal merupakan alas untuk kepala saat berbaring, bukan untuk
diduduki.29
d. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Kerja Keras
Nilai kerja keras merupakan perilaku yang menunjukan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar atau tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Ungkapan pamali
bahasa Banjar yang menunjukan nilai karakter kerja keras yaitu:
“Imbah makan pamali langsung barabah, bisa pangoler.”
(Setelah makan jangan langsung berbaring, nanti jadi pemalas)
Analisis: Orang yang setelah makan langsung berbaring menandakan
orang tersebut pemalas, selain itu orang yang setelah makan langsung
berbaring sama halnya ia tidak menyelesaikan tugas setelah makan seperti
membersihkan tempat makan dan sebaginya. Larangan ini bermaksud
29
Haswinda Harpriyanti and Ida Komalasari, “Makna Dan Nilai Pendidikan Pamali Dalam
Masyarakat Banjar Di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah,” STILISTIKA: Jurnal Bahasa,
Sastra, Dan Pengajarannya 3, no. 2 (2018): h. 249.

29
membentuk sikap agar seseorang tidak malas dan menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya sampai selesai.
e. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain
dalam menyelesiakan tugas-tugas. Ungkapan pamali bahasa Banjar yang
mengandung nilai karakter mandiri:
“Amun hanyar datang matan sumur pamali mambasuh batis mancibuk
banyu digadur, kaina kana pancirian maulur harta nang ada.”
(Bila baru datang dari sumur pantangan membasuh kaki mengambil air
dari dalam ember, nanti memiliki sifat menghabiskan harta yang ada)
Analisis: Masyarakat banjar zaman dahulu kebanyakan menggunakan
sumur sebagai sumber air bersih. Langsung mengambil air dalam ember
yang sudah tersedia mencerminkan sifat malas dan tidak mau berusaha
sendiri.30
f. Nilai Ungkapan Pamali yang Mengandung Nilai Karakter Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Ungkapan pamali bahasa
Banjar yang mengandung nilai karakter cinta damai, yaitu:
“pamali manjijit talinga anak, anak bisa tambah bangal.”
(jangan menjewer telinga anak, nanti anaknya tambah bodoh)
Analisis: Mendidik anak dengan kekerasan akan membuat anak
mencontoh apa yang dia lihat, dan akan membuat meraka menjadi pribadi
yang cenderung tertutup dan keras kepala. Ungkapan pamali ini
mengandung nilai cinta damai agar orang tua tidak selalu menjewer
telinga saat menegur anak mereka.
g. Ungkapan Pamali Banjar yang Mengandung Nilai Karakter Peduli
Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya

30
Harpriyanti and Komalasari, h. 249.

30
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Ungkapan pamali
bahasa Banjar yang mengandung nilai karakter peduli lingkungan, yaitu:
“Pamali bakamih di hutan, diganggu urang halus.”
(Jangan kencing di hutan, nanti akan diganggu makluk gaib)
Analisis: Kencing sembarangan tidak mencerminkan perduli terhadap
lingkungan, kencing sembarangan akan mengganggu orang yang yang
sedang lewat karena baunya. Ungkpan pamali ini menanmkan nilai peduli
lingkungan.31
2. Madihin
Bamadihin adalah seni bertutur menggunakan syair-syair dan pantun
nasehat (madihin) tentang kehidupan, yang dilantunkan oleh satu hingga
empat orang (pamadihin). Pantun dan syair tersebut dilantukan dalam bahasa
banjar sambil diiringi alat musih tabuh rebana atau terbang.
Proses pementasan bamadihin terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu
pembukaan, pembacaan syair atau pantun penghormatan kepada penonton
(batabi), pembacaan syair atau pantun yang sesuai dengan tema pementasan
(mamacah hunga), dan penutup. Kesenian madihin ini mengandung nilai-nilai
edukasi bagi kehidupan orang Banjar yang tampak jelas dari nasehat yang
terkandung dalam syair dan pantun yang dilantukan. Nasehat itu biasanya
adalah berupa cara bagaimana berbaikti orangtua, taat kepada aturan agama,
hidup bersih, hidup bermasyarakat yang baik dan sebagainya.
a. Nilai Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab merupakan nilai tertinggi yang ditemukan
dalam tatanan nilai moralitas kesenian madihin. Nilai tanggung jawab
merupakan urusan yang melibatkan antara kewajiban dan tujuan tindakan
perilaku manusia. Nilai tanggung jawab dapat dilihat ketika seorang
pamadihinan mampu menyelesaikan pertunjukan madihin dari awal
sampai akhir dengan baik. Tanggung jawab terhadap penonton juga
merupakan bagian yang penting bagi seorang pamadihinan, karena tanpa

31
Harpriyanti and Komalasari, h. 250.

31
adanya penonton pertunjukan madihin tidak akan menjadi satu kesatuan
yang lengkap. Pertunjukan secara keseluruhan adalah hak mutlak
penonton, sehingga seorang pamadihinan harus mampu menunaikan
kewajibannya atas penampilan yang baik dan sesuai dengan harapan
penonton. Orang Banjar mempunyai sebuah istilah yang relevan dengan
nilai tanggung jawab yang terdapat pada kesenian madihin. Istilah tersebut
adalah gawi manuntung, yang serign disebut dalam keseharian aktifitas
kerja masyarakat secara umum. Gawi manuntung memiliki makna jika
melakukan suatu pekerjaan hendaknya dilakukan sampai tuntas dan
selesai. Hal ini sama dengan pementasan madihin, karena secara struktur
madihin memiliki urutan yang harus dilakukan. Maka dalam sebuah
pementasan madihin harus ada sikap dan rasa tanggung jawab untuk
menyelesaikan pertunjukan sampai akhir. Spirit gawi manuntung itu
adalah sifat yang dimiliki oleh orang banjar yang tergambar dalam serat
32
kesenian madihin.
b. Nilai Kedisiplinan
Nilai kedisiplinan dapat terlihat ketika seorang pamadihinan
sedang berada diatas panggung. Ketika sedang mementaskan madihin
diwajibkan untuk disiplin dan mampu mentaati semua struktur dan
prosedur yang ada dalam urutan penyajian pertunjukan madihin. Awalan
dilakukan dengan pembukaan memukul tarbang lalu kemudian diiringi
dengan hadiyan yang sangat khas, dilanjutkan dengan tabi dan kemudian
mamacah bunga, kemudian penyampaian isi, dan penutup biasanya
disuguhkan sebuah pantun. Dengan menaati tata aturan yang sudah baku
dalam struktur permaianan madihin ini sudah menggambarkan nilai
kedisiplinan yang tergambar dalam kesenian madihin. Nilai kedisiplinan
juga bisa dilihat ketika memainkan atau menyanyikan syair lagu sesuai
dengan iringan musiknya dalam satu kesatuan yang tepat dan serasi.

32
Budi Zakia Sani, “Kesenian Madihin di Banjarmasin Kalimantan Selatan dalam Tinjauan
Aksiologi dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter” 15 (April 2017): h. 88.

32
Dalam mementaskan sebuah pertunjukan madihin, seorang pamadihinan
dituntut harus cerdas dalam menyatukan unsur nyanyi, musik, dan
merangkai kata. Dengan kata lain harus ada keserasian antara bertutur,
bermusik, dan berfikir guna merangkai kesatuan pertunjukan. Hal
mengenai kedisiplinan akan menarik jika kita kaitkan dengan sebuah
peribahasa Banjar yang berbunyi nang kaya upuk mamadahi mayang.
Makna daripada peribahasa tersebut diatas adalah bahwa seseorang telah
memberitahu atau memerintahkan orang lain namun dirinya sendiripun
tidak melakukan hal tersebut, atau tidak memberikan contoh yang baik
kepada yang diperintahkan. Kebaikan yang dapat kita petik dari contoh
peribahasa diatas adalah bahwa jika kita ingin mengajarkan suatu
kedisiplinan kepada orang lain maka kita harus terlebih dahulu melakukan
atau memberikan contoh supaya ditiru atau dilakukan berikutnya. 33
c. Nilai Toleransi
Nilai toleransi terlihat pada saat pamadihinan membiarkan
penonton untuk memberikan tepuk tangan ketika syair yang sisampaikan
mengandung unsur humor atau jenaka. Humor atau jenaka ini dibuat oleh
pamadihinan untuk menyihir penonton agar bertepuk tangan dan
melemparkan tawa yang lepas, sehingga pada saat momen ini
pamadihinan wajib memberikan ruang kepada penonton untuk
meluapakan rasa senangnya. Sehingga rasa toleransi antara pamadihinan
dan penonton secara tidak sengaja sudah terjadi dalam kesenian madihin.
Orang banjar sangat menghargai akan adanya sikap toleransi dalam
kehidupan seharihari. Jika kita lihat sebuah peribahasa banjar yang
berbunyi hantu-hantu kuyang-kuyang, aku-aku urang-urang, maka akan
dapat kita ambil sebuah penjelasan yang bermakna bahwa peribahasa
diatas mengandung arti hidup adalah urusan masing-masing manusia yang
memiliki hak tersendiri atas kewajibannya. Namun dalam artian yang
lebih dalam peribahasa tersebut mengandung makna bahwa sebuah

33
Budi Zakia Sani, h. 89.

33
toleransi adalah sebuah tindakan yang berdasar atas norma yang berlaku
dan dianut secara bersama oleh lingkungan tertentu. Sehingga hal tersebut
merupakan gambaran yang dihadirkan oleh kesenian madihin sebagai
kesenian yang mengandung nilai keluhuran (toleransi) kepada orang lain
yang sesuai dengan prinsip hidup orang Banjar.
d. Nilai Cinta Tanah Air
Nilai Cinta Tanah Air adalah sebuah sikap yang mencerminkan
rasa nasionalisme yang kuat pada individu seseorang. Rasa memiliki dan
mencintai terhadap nusa dan bangsa adalah wujud nyata dari rasa cinta
tanah air tersebut. Dalam kehidupan seahri-hari rasa cinta tanah air ini
perlu selalu dilatih dan dipupuk pada generasi muda khususnya, karena ini
merupakan sebuah pronsip dasar mengenai konsep bela negara nantinya.
Oleh karena itu rasa cinta tanah air perlu dikembangkan baik melalui
proses pendidikan dan aktifitas lainnya. Cinta tanah air merupakan terusan
dari rasa mencintai kedaerahan. Dalam hal ini kita kaitkan dengan
kesenian madihin sebagai salah satu produk kesenian lokal nusantara yang
berasal dari Kalimantan Selatan. Sebagai salah satu cara untuk
menumbuhkan dan membibit nilai cinta tanah. Oleh karena itu sangat
penting untuk mengapresiasi kesenian daerah sendiri maupun kesenian
daerah yang berasal dari daerah lain, karena dengan makna apresiasi maka
akan tumbuh rasa saling menghargai yang akan menciptakan rasa dan nilai
cinta tanah air. 34
e. Nilai Kerja Keras
Nilai kerja bisa dilihat dari upaya seorang pamadihinan baik dalam
proses belajar madihin dan belajar memainkan alat musik iringannya
tarbang. Dalam proses belajar kesenian madihin memerlukan kerja keras,
karena kesenian ini merupakan salah satu kesenian yang tidak mudah
untuk dipelajari secara cepat dan sekilas. Belajar kesenian madihin
memerlukan kesabaran dan kerja keras yang tinggi. Selain itu juga dalam

34
Budi Zakia Sani, h. 90.

34
mengiringi atau memainkan tarbang madihin sebagi musik pengiring juga
adalah sebuah kerja keras yang sangat diperlukan bagi seorang
pamadihinan yang memang benarbenar ingin belajar dan mahir dalam
memainkan kesenian madihin. Nilai kerja keras ini berbanding lurus
dengan prinsip hidup urang banjar yaitu haram manyarah, waja sampai
kaputing. Hal tersebut mencerminkan bahwa urang Banjar memiliki
semangat juang yang besar dalam hidupnya dalam mencapai suatu tujuan
atau kehendak. Peribahasa tersebut pernah diucapakan seorang Pahlawan
Nasional Pangeran Antasari yang berasal dari Kalimantan Selatan pada
saat memimpin perang Banjar menghadapi para penjajah Belanda sebelum
era kemerdekaan, yang mana ucapan beliau tersebut dijadikan masyarakat
banjar sebagai peribahasa yang sangat prinsipal dalam menjalani hidup,
yaitu nilai kerja keras yang terkandung di dalamnya35
f. Nilai Kreatif
Madihin kocak yang dibuat oleh John Tralala pada era awal tahun
90-an merupakan penggubahan yang sangat berpengaruh pada pola
permaianan madihin saat ini. Kreatifitas John Tralala pada saat itu sudah
mengajarkan kita bahwa sebuah hasil pemikiran baru telah mampu
menjawab tantangan pada zamannya. Seorang seniman yang kreatif akan
menghasilkan karya yag kreatif juga. Kreatifitas dalam madihin juga
sangat bisa dilihat dari improvisasi yang dilakukan oleh seorang
pamadihinan dalam melantunkan syair spontan yang hadir tanpa dirancang
dan direncanakan oleh seorang pamadihinan. Spontanitas inilah yang
terkadang sangat sulit dimiliki oleh seorang pamadihinan, karena
kemampuan ini tidak bisa didapatkan secara mudah, memerlukan waktu
yang cukup lama dalam berlatih madihin untuk mampu atau dikategorikan
mahir dalam memainkan kesenian madihin tersebut. Secara tidak langsung
dapat kita lihat bahwa dalam salah satu inti kesenian madihin sangat
kental sifatnya berkaitan dengan unsur kreatifitas, kemampuan lagu,

35
Budi Zakia Sani, h. 91.

35
iringan musik, dan penuturan secara lisan mengajarkan kita bagaimana
nilai kreatifitas itu terkandung secara objektif di dalam kesenian madihin.
Nilai kreatifitas yang tampak pada setiap kesenian madihin mampu
menginspirasi siapa saja yang menyaksikan pertunjukan madihin. Dalam
tatanan ini madihin telah mampu memberikan hal yang bersifat positif
bagi siapa saja yang telah atau pernah menyaksikan kesenian tersebut.
g. Nilai Bersahabat/Komunikatif
Nilai Komunikatif salah satunya dapat dilihat ketika seorang
pemain madihin sedang menyebutkan nama salah seorang penonton atau
melibatkannya dalam materi madihin yang disampaikan. Biasanya itu
dilakukan oleh pamadihinan pada awal pertunjukan, yang mana bagian itu
merupakan salah satu cara untuk memberikan hormat dan menarik simpati
penonton yang hadir dalam pertunjukan madihin. Madihin sejatinya
adalah sebuah kegiatan komunikasi antara pamadihinan dengan
penontonnya, atau pada konteks yang lebih luas yaitu antara pamadihinan
dengan lingkungan sekitar yang sedang dihadapinya. Keterlibatan
penonton dalam suatu pertunjukan akan memberikan dampak yang baik
bagi pamadihinan, karena pamadihinan menyampaikan pesan kepada yang
merupakan teks untuk berkomunikasi dengan penontonnya. Sehingga
kondisi ideal yang diinginkan dalam pertunjukan akan tercapai, penonton
yang merasa dirinya terlibat dalam suatu pertunjukan akan memiliki rasa
simpatik yang lebih mengenai apresiasinya terhadap suatu kesenian.
Mengkomunikasikan narasi madihin kepada penonton yang sedang
menyaksikan sebuah pertunjukan kesenian madihin, misalnya dengan
menyebutkan nama tadi akan membuat gembira atau tersanjung bagi
penonton tersebut. Hal ini memberitahukan kita bahwa kesenian madihin
sangat erat sifatnya dengan nilai komunikatif. 36
3. Lamut

36
Budi Zakia Sani, h. 92.

36
Kesenian lamut selama berabad-abad telah ikut
membantu pembentukan pola sikap, pola pikir, dan tingkah laku masyarakat
pendukungnya. Hal itu disebabkan dalam lamut banyak memuat nilai- nilai,
baik itu nilai pendidikan, moral, maupun budaya. Kesenian lamut ini menurut
Asmuni sebenarnya bukanlah kesenian asli masyarakat Banjar. Lamut adalah
kesenian tutur asli masyarakat Tionghoa. Kesenian lamut ini dibawa para
pedagang Tionghoa ke Banjar terus berkembang ke pahuluan hingga Amuntai
pada tahun 1816 Keberadaan sebuah kesenian daerah seperti lamut
sebenarnya harus dipertahankan dan dilestarikan. Hal itu disebabkan melalui
kesenian daerah itu identitas sebuah daerah dan bangsa dapat diperkenalkan.
Selain itu sebuah kesenian daerah seperti lamut sebenarnya telah
ikut membantu pembentukan pola pikir, sikap, dan tingkah laku dari
masyarakat pendukungnya. Hal itu disebabkan dalam setiap sastra daerah
seperti lamut sebenarnya banyak memuat nilai-nilai tentang kearifan hidup
yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan pribadi, masyarakat, bangsa, dan
bernegara.37
4. Tatanggar
Tatangar merupakan produk budaya dari masyarakat Banjar yang sarat akan
nilai-nilai budaya Banjar. Tidak mengherankan apabila tatangar sebagai
sarana warisan nilai-nilai budaya Banjar oleh generasi terdahulu ke generasi
berikutnya. Nilai-nilai Budaya Banjar yang diwariskan dalam tatangar sebagai
berikut
a. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan
Nilai budaya Banjar dalam tatangar mengenai hubungan manusia dengan
Tuhan meliputi:
1) Percaya Terhadap Adanya Malaikat
Fitrah manusia untuk menyembah Tuhan dan menganut suatu
agama. Begitupun masyarakat Banjar. Masyarakat Banjar mengenal
Tuhan dalam kesehariannya. Pengenalan terhadap Tuhan

37
Asmuni Fahrurazie, Sastra Lisan Banjar Hulu (Landasan Ulin: Panakia, 2012), h. 28.

37
menyebabkan pelaksanaan aturan-Nya dengan penuh ketaatan. Tidak
mengejutkan jika masyarakat Banjar dikenal relegius. Hal itu
menunjukkan nilai-nilai budaya dalam tatangar Banjar mengenai
hubungan manusia dengan Tuhan.
Kepercayaan akan Tuhan dinyatakan dalam tatangar mengenai
pengakuan adanya malaikat yang ditunjukkan dalam kutipan berikut.
“Hayam bakotek tangah malam, tandanya ada malaikat turun ka
bumi.”
‘Ayam berkotek tengah malam, tandanya ada malaikat turun ke bumi’.
Tatangar di atas mengatakan bahwa saat ayam berkotek pada
waktu tengah malam sebagai hal yang menandakan keberadaan
malaikat yang turun ke bumi. Masyarakat Banjar percaya ayam dapat
melihat keberadaan malaikat. Saat mendengar kotek ayam pada malam
hari, masyarakat Banjar mengikutinya dengan bertasbih kepada Allah
swt. Mereka percaya bacaan tasbih yang dibaca akan didengar oleh
malaikat dan dilaporkan langsung kepada Tuhan sebagai sebuah amal
saleh.38
Nilai-nilai budaya Banjar mengenai percaya kepada malaikat
sebagai rukun iman bagi umat Islam. Seseorang yang percaya berarti
beriman dan mengakui malaikat sebagai ciptaan Allah swt. Malaikat
sebagai makhluk yang tidak kasad mata hanya dapat dipercayai
melalui iman. Dengan keimanan seorang hamba, ia akan sanggup
bangun di sepertiga akhir malam untuk memuji kebesaran Tuhan. Saat
manusia lain letap tertidur, ia bangun. Manusia itu mendapat doa dan
pujian dari para malaikat. Permohonan dan doa dari hamba yang
bangun di sepertiga malam akan disampaikan kepada Tuhan. Tuhan
akan sayang dan memberi manusia itu berbagai kemudahan segala
urusan serta kemuliaan di dunia akhirat.
2) Percaya akan Adanya Bidadari

38
Nengsih, “Tatangar Banjar Sebagai Ekspresi Sistem Kognisi Masyarakat Banjar,” h. 199.

38
Bukan hanya percaya akan keberadaan malaikat, masyarakat
Banjar percaya akan adanya bidadari. Saat burung sasikat berkejaran,
masyarakat Banjar percaya sebagai tanda burung itu sedang bermain
dengan bidadari terdapat pada kutipan berikut.
“Bila banyak burung sasikat babukahan, tandanya lagi bamainan
lawan bidadari.”
‘Bila banyak burung sasikit berkejaran, tandanya sedang bermain
dengan bidadari’.
Tatangar di atas menjelaskan Orang Banjar percaya bahwa saat
burung sasikat berkejaran sebagai tanda ia bermain dengan bidadari.
Secara logika, keberadaan burung sasikat sebagai tanda sedang
bermain dengan bidadari memang tidak bisa dibuktikan. Ini karena
secara kasat mata memang tidak tampak bidadari bersama burung
sasikat. Namun, tatangar itu membuktikan nilainilai budaya
masyarakat Banjar tentang percaya akan keberadaan bidadari sebagai
salah satu makhluk ciptaan Tuhan. Tatangar ini mengajarkan
masyarakatnya secara tidak langsung untuk menjaga kelestarian
burung sasikat.39
Konon katanya, bidadari diciptakan Tuhan berwujud
perempuan yang sangat cantik. Kecantikan bidadari tidak ada
bandingannya dengan perempuan di dunia. Bidadari diciptakan
sebagai teman untuk hamba Tuhan yang bertakwa ketika masuk ke
dalam surga. Keberadaan bidadari juga bersifat tidak kasad mata. Ia
tidak pernah dilihat oleh manusia pada umumnya. Keberadaan
bidadari hanya dapat dipercayai juga dengan lingkup iman.
Masyarakat Banjar yang relegius tentu meyakini keberadaan
bidadari. Dalam sebuah cerita rakyat, masyarakat Banjar memiliki
angan-angan kolektif mendeskripsikan keberadaan bidadari. Cerita
rakyat yang berjudul “Telaga Bidadari menunjukkan angan-angan

39
Nengsih, h. 200.

39
kolektif tentang keberadaan bidadari. Ini menjadi bukti penting nilai-
nilai budaya tentang pengakuan adanya bidadari. Tatangar di atas
hadir pula sebagai penguat tentang pengakuan pertanda mengenai
keberadaan bidadari.
3) Percaya Terhadap Adanya Surga dan Neraka
Masyarakat Banjar percaya akan adanya Tuhan. Kepercayaan
akan Tuhan diikuti dengan keyakinan akan keberadaan surga dan
neraka. Percaya akan surga dan neraka menyebabkan orang Banjar
takut berbuat dosa. Ancaman akan dosa dipaparkan dalam tatangar
berikut. 40
“Amun tamimpi malihat naraka, tanda banyak dusa.”
‘Bila bermimpi melihat neraka, tanda banyak dosa’.
Tatangar di atas mengingatkan orang Banjar untuk ingat
terhadap dosa. Manusia yang mengerjakan kejahatan dan kemaksiatan
menyebabkan ia berdosa. Tuhan berjanji akan membalas manusia yang
banyak berbuat dosa dengan memasukkannya ke neraka. Neraka
digambarkan begitu mengerikan. Neraka digambarkan sebagai tempat
yang penuh siksaan dan azab. Api dengan bara yang merah dan tidak
pernah padam memanggang manusia berdosa dengan tanpa ampun.
Teriakan pedih dan penuh penyesalan terdengar dari dalam neraka.
Adanya tatangar ini sebagai peringatan terhadap generasi
terdahulu kepada generasi penerusnya untuk gemar menebar kebaikan.
Kebaikan yang dilakukan meski sebesar atom akan dibalas dengan
pahala. Manusia yang berbuat kebaikan akan disukai Tuhan dan
mendatangkan keridhaan-Nya. Tuhan kemudian akan mengganjar
manusia itu dengan surga. Surga digambarkan Rasullah sebagai
tempat yang penuh kenikmatan. Sebaliknya, perbuatan yang buruk
akan menambah dosa. Perbuatan buruk akan mendatangkan murka
Tuhan kemudian diganjar neraka.

40
Nengsih, h. 200.

40
Nilai budaya masyarakat Banjar mengenai surga dan neraka
menjadikan masyarakat Banjar berusaha untuk hidup penuh kebaikan.
Mereka gemar menuntut ilmu agama Islam sebagai bekal menjalani
hidup di dunia. Berbagai majelis salawat dibentuk di masyarakat.
Mereka berharap ketenangan dan keberkahan hidup. Pondasi ketaatan
beragama sejak dini di tanamkan pada masing-masing keluarga. Anak-
anak dalam keluarga diajarkan untuk gemar mengaji. Masyarakat
Banjar lebih cenderung menyekolah anak-anaknya ke madrasah dan
pondok pesantren. Hingga tidak heran jika madrasah dan pesantren
menjamur.41
b. Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Masyarakat
Nilai budaya Banjar dalam tatangar mengenai hubungan manusia
dengan sesama masyarakat meliputi:
1) Menjaga Pergaulan antar Laki-laki dan Perempuan
Hubungan pria dan perempuan memiliki batasan berdasarkan
norma yang berlaku di masyarakat. Masyarakat Banjar yang relegius
memiliki tatanan yang mengatur anggota masyarakatnya untuk
menghidari pergaulan bebas. Pergaulan bebas antar laki-laki dan
perempuan dapat berakibat perbuatan zina. Perbuatan zina menjadikan
perempuan hamil di luar nikah. Hamil di luar nikah terdapat pada
tatangar Banjar berikut.
“Bila hujan panas bahari-hari, tandanya ada bujang atau balu nang
batianan kadada lakinya.”
‘Bila hujan panas berhari-hari, tandanya ada gadis atau janda hamil di
luar nikah’.
Tatangar itu mengatakan bahwa jika hujan tetapi panas sebagai
tanda ada gadis atau janda yang hamil di luar nikah. Secara logika,
tidak ada hubungan antara hujan panas dengan adanya gadis atau janda
yang hamil di luar nikah. Tatangar itu sebagai peringatan dari generasi

41
Nengsih, h. 201.

41
terdahulu terhadap bahaya pergaulan bebas antara laki-laki dan
perempuan. Pergaulan bebas jelaslah tidak baik. Pergaulan bebas
sangat bertentangan dengan norma agama. Hamil di luar nikah dapat
terjadi akibat pergaulan bebas. Hamil di luar nikah bagi orang Banjar
dianggap sebagai aib yang besar. Hal ini menyebabkan anak di luar
nikah dikatakan sebagai anak haram dalam bahasa Banjar dikatakan
“anak kampang”. Perempuan yang hamil di luar nikah akan
dicemoohan dan dikucilkan oleh masyarakat di sekitarnya.
Nilai-nilai budaya masyarakat Banjar untuk menjaga pergaulan
antar laki-laki dan perempuan ditanamkan dimulai dari lingkup
keluarga. Keluarga adalah benteng pondasi ketangguhan masyarakat
Banjar. Masyarakat Banjar tempo dulu sangat menjaga pergaulan antar
laki-laki dan perempuan. Dahulu tidak ada hubungan bernama pacaran
pada masyarakat Banjar. Perempuan bujang tidak dibiarkan berlama-
lama bergaul di luar rumah. Laki-laki dan perempuan yang saling
mencinta akan meminta izin orang tuanya untuk menikah. Hubungan
pernikahan tidak terikat pada batasan usia. Oleh karena itu, banyak
laki-laki dan perempuan yang menikah usia dini.42
2) Memuliakan Alim Ulama
Masyarakat Banjar sangat memuliakan ulama. Ulama dianggap
orang yang dekat dengan Allah swt. Apabila memiliki anak gadis,
mereka berharap anaknya akan menikah dengan ulama. Harapan agar
anak gadis menikah dengan ulama terdapat pada tatangar berikut.
“Amun tang kupu-kupu tarabang dalam rumah wan talihat wan
urang-urangnya haja, cagaran ada urang alim nang handak
badatang”.
‘Jika kupu-kupu terbang ke dalam rumah dan hanya terlihat oleh orang
tertentu saja pertanda akan ada ulama yang hendak melamar’.

42
Nengsih, h. 201.

42
Tatangar itu memaparkan bahwa apabila ada kupu-kupu
terbang ke dalam rumah keluarga yang memiliki anak gadis dianggap
sebagai pertanda ada orang alim yang akan melamar. Melamar dalam
bahasa Banjar disebut badatang. Badatang yang dimaksudkan ialah
melamar perempuan untuk dijadikan istri dengan membawa jujuran
atau mahar. Badatang pada konteks tatangar itu berarti melamar
perempuan dari keluarga yang rumahnya didatangi kupu-kupu.
Masyarakat Banjar sangat menghargai ulama dan ikatan suci
pernikahan. Apabila memiliki anak gadis yang sudah cukup umur,
orang tuanya akan sangat senang jika ada yang badatang. Rasa bahagia
dan bangga dari orang tua zaman dulu apabila yang badatang itu orang
alim. Ilmu agama kala itu lebih dipandang lebih berharga
dibandingkan dengan harta. Nilai budaya masyarakat Banjar untuk
memilih menantu dari segi ilmu agama lebih utama. Nilai itu selaras
dengan tuntutan agama Islam. 43
3) Kebersamaan dalam Menolak Bala
Bala berarti suatu yang mendatangkan malapetaka atau
musibah. Malapetaka atau musibah dalam pandangan masyarakat
Banjar, antara lain kebakaran dan penyakit. Masyarakat Banjar
mempercayai adanya pertanda yang berkaitan dengan malapetaka.
Kutipan tatangar berikut mengenai pertanda malapetaka kebakaran.
“Amun tamimpi malihat darah, tandanya kena cagar ada kabakaran”
‘Jika bermimpi melihat darah, tandanya akan terjadi kebakaran’.
Tatangar di atas memaparkan jika bermimpi melihat darah
sebagai pertanda terjadinya kebakaran. Secara logika, memang tidak
ada hubungan antara bermimpi melihat darah dengan terjadinya
kebakaran. Namun, bila orang alim suatu kampung yang bermimpi
maka warga masyarakat akan mewaspadainya. Kewaspadaan terhadap
bahaya kebakaran bertambah apabila ada warga masyarakat yang

43
Nengsih, h. 202.

43
melihat hantu api di kampungnya. Kebersamaan menolak bala yang
dilakukan masyarakat Banjar apabila ada pertanda akan terjadinya
kebakaran, yaitu dengan membaca burdah keliling kampung. Burdah
merupakan syair yang berisi puji-pujian kepada nabi Muhammad
SAW. Burdah disusun oleh Abu Abdillah Muhammad al-Busiri,
seorang ulama yang sangat mencintai Rasullah. Pembacaan burdah
keliling kampung lazimnya dilakukan oleh para laki-laki. Masyarakat
Banjar meyakini pembacaan burdah keliling kampung sebagai ikhtiar
penolak bala.
Nilai budaya masyarakat Banjar berupa kebersamaan dalam
menolak bala dengan membaca burdah keliling masih dilakukan
hingga saat ini. Hal ini menunjukkan kuatnya perasaan kebersamaan
dan keperdulian terhadap kampung. Bahaya yang mengancam
kampung menjadi tanggung jawab bersama bukan perseorangan. Rasa
kebersamaan ini menjadi modal pembangunan yang selain
mendekatkan pada keridhoan Allah swt. Selain itu, rasa kebersamaan
itu menjadi jalan mencapai kesejahteraan masyarakat Banjar. 44
Selain kebakaran, malapetaka yang dikhawatirkan terjadi di
bulan Safar. Bulan Safar pada tanggalan hijriah dianggap oleh
masyarakat Banjar sebagai bulan saat Allah swt. menurunkan balanya.
Kutipan berikut memaparkan mengenai tatangar Banjar berkenaan
dengan turunnya bala penyakit gaib di bulan Safar.
“Amun sapar, tandanya banyak panyakit gaib nang datang”.
‘Bila bulan safar datang, tandanya banyak penyakit gaib yang datang’.
Tatangar itu menjelaskan mengenai bulan Safar yang dipercaya
pertanda sebagai bulan turunnya bala berupa penyakit gaib.
Masyarakat Banjar mempercayai bahwa bulan Safar sebagai bulan
turunnya bala penyakit gaib. Alim ulama menganjurkan terutama pada
Rabu akhir Safar untuk banyak membaca Alquran, dzikir, dan salawat.

44
Nengsih, h. 203.

44
Rabu akhir Safar sangat dipercayai masyarakat Banjar sebagai puncak
turunnya bala. Para orang tua menganjurkan anakanaknya untuk
berada di rumah karena mengkhawatirkan keselamatan buah hatinya.
Nilai budaya masyarakat Banjar dengan menghidupkan bulan
Safar masih dilakukan hingga saat ini. Bulan Safar dihidupkan dengan
banyak mengingat Allah swt. Menghidupkan bulan Safar dengan
ibadah dianggap sebagai pranata sosial yang tidak tertulis. Pada
lingkup keluarga memasuki bulan Safar, para orang tua mengingatkan
anak-anaknya berhati-hati dan banyak mengingat Allah swt. Hal itu
sebagai bentuk ikhtiar men cegah kemurkaan Allah swt.45

45
Nengsih, h. 203.

45
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Budaya yang berkembang dan dimiliki oleh Suku Banjar banyak
dipengaruhi budaya suku-suku lainnya yang hidup berdampingan di Kalimantan
Selatan. Hal ini terjadi karena suku-suku yang mendiami wilayah Kalimantan
Selatan saling berinteraksi dan menjalin komunikasi sebagai sebuah komunitas di
wilayah yang sama sehingga budaya yang mereka miliki menjadi saling
mempengaruhi. Hatmiati menjelaskan bahwa budayaberkaitan dengan kegiatan
masyarakat sehari-hari yang membentuk perilaku, tetapi tidak tertanam secara
permanen, budaya dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Ada beberapa tradisi lisan yang
ada di suku banjar yaitu pamali, madihin, lamut, dan tatanggar.
Pamali merupakan bahasa lisan yang isinya berupa larangan atau
pantangan. Madihin berasal dari kata madah, sejenis puisi lama dalam sastra
Indonesia, karena ia menyanyikan syair-syair yang berasal dari kalimat akhir
yang bersamaan bunyi. Lamut atau balamut adalah sebuah tradisi bakisah
(bercerita atau bertutur).
B. Saran
Diharapkan para pembaca dapat mengambil pelajaran dan dapat
menambah wawasan dari makalah kami ini, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kami mohan maaf kalau ada kesalahan
dalam penulisan makalah ini, karna kami juga tidak mungkin luput dari
kesalahan.

46
DAFTAR PUSTAKA

Akhlak, Annisa, M. Bahri Arifin, and Syamsul Rijal. “Pemali Dalam Masyarakat
Etnik Banjar Di Kota Samarinda: Suatu Tinjauan Semiotika.” Jurnal Ilmu
Budaya 3, no. 2 (2019).
Asmuni Fahrurazie. Sastra Lisan Banjar Hulu. Landasan Ulin: Panakia, 2012.
Harpriyanti, Haswinda, and Ida Komalasari. “Makna Dan Nilai Pendidikan Pamali
Dalam Masyarakat Banjar Di Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.”
STILISTIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pengajarannya 3, no. 2 (2018):
242–52.
Harpriyanti. “Makna Dan Nilai Pendidikan Pamali Dalam Masyarakat Banjar Di
Desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah.” STILISTIKA: Jurnal Bahasa,
Sastra, Dan Pengajarannya 3, no. 2 (2018): 242–52.
Jahdiah. “Lamut Dan Madihin Tradisional Banjar DiTengahArus Modernisasi,” n.d.
Jamiah, Husin, Ridhatullah Assya’bani, and Haris Zubaidillah. “Analisis Konstruksi
Sosial Dalam Pemaknaan Tradisi Lisan Budaya Pamali Masyarakat Banjar.”
ISoLEC Proceedings 5, no. 1 (2021): 288–92.
Budi Zakia Sani. “Kesenian Madihin Di Banjarmasin Kalimantan Selatan dalam
Tinjauan Aksiologi Dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter” 15
(April 2017).
Mahraeni,dkk Fajar Kurniawan. Komunikasi Madihin, 2021.
Nengsih, Sri Wahyu. “Sakit Akibat Melanggar Pamali Banjar Dalam Kepercayaan
Masyarakat Banjar.” Ceudah 7, no. 1 (2017): 79–90.
Nengsih. “Tatangar Banjar Sebagai Ekspresi Sistem Kognisi Masyarakat Banjar.”
UNDAS: Jurnal Hasil Penelitian Bahasa Dan Sastra 12, no. 1 (2016): 97–
110.
Salam, Abdul. Seni Tutur Madihin: Ekspresi Bahasa dan Sastra Banjar. Deepublish,
2018.
Zulfa, Jamalie. “Nilai-Nilai Edukasi Dalam Tradisi Lisan Masyarakat Banjar,” 2012.

47

Anda mungkin juga menyukai