Anda di halaman 1dari 4

6.

Pengampuan dan Keadaan Tak Hadir

Pengampuan

Kata pengampuan berasal dari bahasa belanda(curatele) yang berarti


penyempitan dan pencegahan. Yaitu pencegahan terhadap seseorang dari
mengelola hartanya. Dalam hukum Islam pengampunan hukuman disebut dengan
istilah al-‘afwu atau al- syafa’at. Adapun dalam hukum positif disebut dengan
istilah grasi. Pengampunan hukuman menurut al-Mawardi terkandung dalam dua
term, yaitu al-‘afwu dan al-syafa’at. Kata al-‘afwu menurut al-Mawardi berarti
pemaafan. Kata ini hanya menjadi hak untuk korban atau keluarga pihak korban.
Kata al’afwu dalam prakteknya digunakan dalam bentuk pencabutan tuntutan
hukum atas terpidana. Adapun kata al-syafa’ah menurut al-Mawardi berarti
pengurangan, perubahan atau peniadaan pidana, yang kata ini selain menjadi hak
pemerintah atau penguasa atau presiden, juga ada andil dari pihak korban.
Meskipun pihak kurban memiliki andil dalam pemberian grasi, namun yang lebih
diunggulkan oleh al-Mawardi adalah keputusan dari pihak pemerintah atau
penguasa atau presiden Kata al-syafa’ah ini digunakan ketika putusan pidana atas
terpidana akan dan atau telah ditentukan. maka, dapat disimpulkan term yang
tepat untuk grasi menurut al-Mawardi adalah al-syafa’ah. Dan implementasi
praktek dari grasi menurut al- Mawardi, meskipun praktek grasi lebih sering
dibahas al-Mawardi pada permasalahan kasus hukum ta’zir, tetapi grasi juga bisa
diberlakukan dalam kasus jarimah (tindak pidana) hudud dan qishash. al-Mawardi
juga menjelaskan bahwa meskipun kata al-‘afwu menjadi hak pihak korban atau
keluarga pihak korban dalam beberapa kasus ta’zir, pemerintah yang berwenang
tetap dapat memberikan ta’zir kepada terpidana atau tersangka meskipun telah
diberikan maaf oleh pihak korban sebelum perkaranya diadukan ke pengadilan.

Keadaan Tak Hadir (Afwezeigheid)

Pengertian keadaan tak hadir adalah keadaan tidak adanya seseorang di


tempat kediamannya karena bepergian atau meninggalkan tempat kediaman, baik
dengan ijin atau tanpa ijin dan tidak diketahui dimana ia berada.1

Keadaan Tak Hadir (Afwezeigheid) diatur dalam BAB ke-18 KUHPdt (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Dari Pasal 463 BW kita dapat mengetahui
bahwa keadaan tidak hadir terdiri dari beberapa unsur, yaitu:

1. Meninggalkan tempat kediamannya


2. Tanpa memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakilinya

1
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang Dan Keluarga, Surabaya:
Aairlangga University Press, 1991, hlm. 242.
3. Tidak menunjuk atau memberikan kepada orang lain untuk mengurus
kepentingannya
4. Kuasa yang pernah diberikan telah gugur
5. Jika timbul keadaan yang memaksa untuk menanggulangi pengurusan
harta bendanya secara keseluruhan atau sebagian
6. Untuk mengangkat seorang wakil, harus diadakan tindakan-tindakan
hukum untuk mengisi kekosongan sebagai akibat ketidakhadiran tersebut.
7. Mewakili dan mengurus kepentingan orang yang tidak hadir, tidak hanya
meliputi kepentingan harta kekayaan saja, melainkan juga untuk
kepentingan-kepentingan pribadinya.

Menurut Tan Thong Kie, keadaan tidak hadir dapat dibagi ke dalam 3 masa,
yaitu: masa pengambilan tindakan sementara, masa ada dugaan hukum mungkin
telah meninggal dan masa pewarisan definitif.2
a. Masa pengambilan tindakan sementara
Masa yang pertama terjadi apabila seseorang meninggalkan tempat
tinggalnya tanpa mewakilkan kepentingannya kepada seseorang. Pada
keadaan ini tindakan sementara hanya diambil jika ada alasan yang
mendesak untuk mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya.
Tindakan sementara tersebut dimintakan kepada pengadilan negeri oleh
orang yang mempunyai kepentingan harta kekayaan atau jaksa.
Selanjutnya hakim kan memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan
untuk mengurus seluruh atau sebagian harta serta kepentingan orang
yang tidak hadir.
b. Masa ada dugaan hukum mungkin telah meninggal
Masa kedua, terjadi jika:
 Ia tidak hadir selama 5 tahun tanpa meninggalkan surat kuasa
 Ia tidak hadir selama 10 tahun; surat kuasa ada, tetapi masa
berlakunya sudah habis
 Ia tidak hadir selama 1 tahun, apabila orangnya termasuk awak
atau penumpang kapal laut atau pesawat udara
 Ia tidak hadir selama 1 tahun, apabila orangnya hilang pada suatu
peristiwa fatal yang menimpa sebuah kapal laut atau pesawat
udara.

Permohonan persangkaan meninggal dunia tersebut diajukan oleh


pihak-pihak yang berkepentingan kepada pengadilan negeri di tempat
tinggal orang yang tidak hadir dan dilakukan pemanggilan sebnayak tiga
kali. Panggilan tersebut dilakukan melalui harian yang ditentukan oleh
2
Tan Thong Kie, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Inchtiar Baru Van Hoeve,
2007, hlm.44.
hakim dan ditempelkan di pintu pengadilan negeri serta kantor walikota.3

c. Masa pewarisan definitif


Masa ini dimulai tiga puluh tahun setelah pernyataan persangkaan
meninggal dunia tercantum dalam putusan pengadilan atau seratus tahun
setelah kelahiran orang yang tidak hadir. Akibat dari dimulainya masa
pewarisan definitif adalah:
 Semua jaminan dibebaskan
 Para ahli waris dapat mempertahankan pembagian harta
warisan sebagaimana telah dilakukan atau membuat pemisahan
dan pembagian definitif
 Hak menerima warisan secara terbatas berhenti dan para ahli
waris dapat diwajibkan menerima atau menolaknya.

Apabila orang yang tidak hadir tersebut kembali atau memberikan


tanda-tanda tentang masih hidupnya setelah masa pewarisan
definitif, maka ia berhak untuk meminta kembali harta
kekayaannya dalam keadaan sebagaimana adanya beserta harta
yang telah dipindahtangankan, semuanya tanpa hasil dan
pendapatan dari hartanya, serta tanpa bunga.

Apabila terdapat hibah wasiat atau warisan yang jatuh kepada


seorang yang tidak hadir yang apabila ia sudah meninggal dunia
harta tersebut jatuh kepada orang lain, maka harta tersebut dapat
dikuasai oleh orang yang disebut terakhir ini seolah-olah orang
yang tidak hadir telah meninggal dunia. Namun penerima harta
tersebut hanya berhak menguasai harta setelah ia memperoleh izin
dari pengadilan negeri.4

Keadaan Tak Hadir dalam Hubungan Perkawinan

Berkaitan dengan hubungan perkawinan, apabila suami atau istri


meninggalkan pasangannya dengan i’tikad buruk dan tidak hadir di tempat
kediaman bersama selama 10 tahun tanpa kabar, maka istri atau suami yang
ditinggalkan berhak untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengambil dan menghadapkan suami atau istri yang meninggalkan tersebut
dengan surat panggilan sebanyak tiga kali. Apabila panggilan ketiga telah
dilakukan dan yang bersangkutan atau wakilnya tidak hadir, maka pengadilan
dapat memberi izin kepada istri atau suami yang ditinggalkan untuk
melangsungkan perkawinan dengan orang lain.

3
Ibid. hlm.44-45
4
Ibid, hlm. 46.
Setelah izin kawin diberikan, tetapi perkawinan belum dilangsungkan
dan orang yang tidak hadir tersebut kembali atau ada orang yang membawa
berita bahwa orang tersebut masih hidup, maka izin yang telah diberikan oleh
pengadilan menjadi gugur karena hukum. Namun apabila perkawinan telah
dilangsungkan, maka perkawinan tersebut tetap sah dan suami atau istri yang
kembali tersebut berhak untuk kawin dengan orang lain.5

5
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op.Cit., hlm. 245.

Anda mungkin juga menyukai