T1 - 372015060 - Bab Iv
T1 - 372015060 - Bab Iv
Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai perubahan energi terbarukan secara
global dan hubungannya dengan kebijakan Renewable Energy Directive Uni Eropa. Dalam
praktek penggunaan energi ternyata menjadi permasalahan bagi negara-negara, yang mana
ketergantungan pada impor dan penggunaan energi minyak dan batubara memberi dampak
buruk terhadap pemanasan global sehingga menjadi indikator terbesar dalam perubahan
iklim. Dalam mengatasi pemanasan global, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan
kesepakatan perjanjian internaional melalui Protokol Kyoto 1997 yang merupakan
amandemen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC)
yaitu kesepakatan perjanjian internasional mengenai komitmen mengurangi perubahan iklim
yang disebabkan oleh pemanasan global.
Uni Eropa memiliki keseriusan dalam menanggapi isu pemanasan global yang
disebabkan oleh penggunaan energi tidak terbarukan. Dalam memenuhi kebutuhan energi,
negara-negara anggota Uni Eropa masih bergantung pada impor minyak dan batubara.
Kebutuhan energi yang tidak terbarukan tentu akan memberi dampak buruk terhadap
pemanasan global. Ini menjadi langkah penting bagi Uni Eropa untuk menghentikan
ketergantungan impor energi. Uni Eropa melihat bahwa energi menjadi salah satu faktor yang
mendukung pertumbuhan ekonomi negara karena ketidaktergantungan impor energi akan
menghemat biaya pengeluaran negara. Uni Eropa pun membuat sebuah kebijakan Renewable
Energy Directive. Kebijakan ini merupakan langkah bagi Uni Eropa untuk mendorong
negara-negara anggota menggunakan energi yang bersih dan terbarukan. Dalam proses
pembuatan kebijakan, Uni Eropa memiliki beberapa bentuk aturan maupun hukum Uni
Eropa, salah satunya adalah directive. Keberadaan directive menjadi landasan bagi negara-
negara anggota untuk menerapkan kebijakan. Dalam bahasan ini, penulis akan menjelaskan
kekuatan directive dalam konteks kebijakan Renewable Energy Directive. Uni Eropa sebagai
organisasi suprnasionalis memiliki kekuatan dalam negara-negara anggota. Dalam bahasan
terakhir bab ini, penulis akan menjelaskan bagaimana transformasi hukum Uni Eropa terjadi
di negara-negara anggota dalam konteks kebijakan Renewable Energy Directive Uni Eropa.
4.1 Perubahan Energi dalam Dunia Global dan Energi Terbarukan Uni Eropa
Perubahan mendasar yang sedang terjadi dalam sistem energi global yang mempengaruhi
negara-negara adalah perubahan transisi energi terbarukan. Transisi energi terbarukan sebagai
upaya untuk mengatasi perubahan iklim yang memberikan dampak pemanasan global.
Negara-negara perlu untuk memperluas akses penggunaan energi yang terbarukan.
Penggunaan energi ini akan memberi dampak terhadap pengurangan pemanasan global dan
peningkatan pertumbuhan perekonomian negara. Energi berperan penting dalam
pembangunan manusia yang berkelanjutan dan pada saat ini sistem energi menjadi hal yang
penting untuk dibahas. Ini menjadi sebuah langkah dan strategi dalam mengatasi
permasalahan dan tantangan dunia global terkait pembangunanan ekonomi, kemiskinan,
keamanan pangan yang memadai dan perlindungan iklim (Nebojsa Nakicenovic, 2012: 4).
Pada hasil penelitian yang dilakukan Serdar, Ali dan Ozlem mengatakan bahwa pada
masa sebelum revolusi industri orang hanya menggunakan sumber energi terbarukan, namun
terjadinya revolusi industri memberi perubahan dalam penggunaan energi dalam dunia global
yang mana pada abad kedua puluh manusia semakin bergantung pada energi bahan bakar
fosil sebagai bahan sumber energi. Negara-negara semakin banyak bergantung pada bahan
bakar fosil, batubara dan minyak bumi sebagai sumber energi. Penggunaan bahan bakar fosil
akan berdampak terhadap ekonomi yang mana dunia akan menghadapi krisis yang
mengancam keberadaan peradaban. Permintaan energi global setiap tahunnya mengalami
peningkatan sebesar 1,6%, permintaan energi yang meningkat akan berdampak pada krisis
energi. Dominasi bahan bakar fosil pada produksi energi telah menyebabkan masalah terkait
perubahan iklim yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca, kerusakan lapisan ozon,
peningkatan sinar ultraviolet, penurunan keanekaragaman hayati, meningkatnya erosi tanah
serta kontaminasi yang disebabkan oleh limbah dalam industri (Fyfe et al, 1998: 187-196).
Masalah keamanan energi dipandang menjadi masalah yang relatif umum dalam
beberapa tahun terakhir ini. Dunia perlu mengembangkan keamanan energi terbarukan yang
mampu mengatasi masalah ini. Adanya kekhawatiran terkait keamanan energi terjadi karena
penurunan pasokan energi dan meningkatnya biaya energi. Permintaan energi secara global
terus meningkat, sehingga ini menyebabkan biaya energi global meningkat. Terjadinya
penurunan ketersediaan bahan bakar fosil menyebabkan ketidakcukupan dalam pemenuhan
energi. Hal ini secara perlahan akan mendorong negara-negara untuk menggunakan sumber
energi terbarukan sebagai struktur yang lebih berkelanjutan.
Energi terbarukan adalah sumber daya yang dengan cepat mengisi sendiri dan dapat
digunakan berulang kali. Energi terbarukan akan menghasilkan energi bersih yang tidak akan
melepaskan emisi gas rumah kaca dalam prosesnya. Adapun keuntungan yang dihasilkan dari
energi terbarukan adalah; sumber energi tidak akan habis, dapat digunakan berulangkali,
menghasilkan energi bersih yang tidak mencemari lingkungan, membutuhkan perawatan
yang lebih sedikit, energi terbarukan bersalah dari alam sehingga mengurangi biaya produksi.
Penggunaan terkait energi terbarukan berkembang begitu pesat yang ditandai melalui
upaya internasional khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Konvensi Kerangka
Kerja PBB mengenai perubahan iklim (UNFCCC) yang dirundingkan pada KTT bumi di Rio
de Janeiro pada tanggal 3-14 Juni 1992. Ini adalah sebuah kesepakatan perjanjian
internasional yang berkomitmen dalam mengurangi perubahan iklim yang disebabkan oleh
pemanasan global. UNFCCC membuat kerangka kerja keseluruhan dalam upaya memenuhi
tantangan perubahan iklim. Pada dasarnya target dari konvensi adalah menstabilkan
konsentrasi gas rumah kaca pada level yang dapat menghindari kerusakan pada sistem iklim.
Keberlanjutan dari konvensi ini dilakukan beberapa tahun kemudian yang dilaksanakan
melalui Protoko Kyoto pada Desember 1997. Terbentuknya Protokol Kyoto secara sah
mensetujui target pengurangan emisi gas karbon sebesar 55% oleh negara-negara industri.
Selain itu, Protokol Kyoto memberikan objektif dari konvensi untuk menstabilkan
konsentrasi pengurangan emisi gas rumah kaca di atmosfer pada level aman, yaitu level yang
dimana tidak akan mempengaruhi sistem iklim. Ini semakin mendorong lembaga ini untuk
terus konsisten dalam menyuarakan pengalihan energi yang ramah lingkungan melalui
Milenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) yang
dikeluarkan oleh PBB.
Protokol Kyoto 1997 yang dihasilkan dari kesepakatan di bawah Konvensi Kerangka
Kerja PBB tentang Perubahan iklim (UNFCCC) adalah salah satu perjanjian internasional
yang mengikat secara hukum dunia yang berfokus untuk mengurangi emisi gas karbon.
Hanya anggota dari konvensi yang bisa menjadi anggota dari Protokol Kyoto. Pada saat itu
Uni Eropa dan 15 negara anggota yaitu Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis,
Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Luksemburg, Belanda, Portugal, Spanyol, Swedia dan
Inggris telah mengadopsi Protokol. Uni Eropa adalah pihak dari Konvensi Kerangka Kerja
PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris. Di
bawah Protokol Kyoto, Uni Eropa berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca
sebesar 8% dan sebesar 20% pada tahun 2020. Uni Eropa memenuhi komitmen UNFCCC
untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca, yang mana pada tahun 2000 Uni Eropa
mengurangi emisinya sebesar 3,3%. Ini berarti bahwa Uni Eropa membuat kemajuan menuju
pencapaian target penguruangan emisi dari Protokol Kyoto sebesar 8%. Sebagian besar dari
kemajuan ini adalah karena pengurangan besar dalam emisi di Jerman sebesar 18,3%, Inggris
sebesar 12% dan Luksemburg sebesar 44,2%.
Uni Eropa menghadapi tantangan terhadap meningkatnya perubahan iklim dengan
konsekuensi serius di sektor energi, dimana muncul isu mendesak terkait campuran produksi
nasional dari masing-masing negara anggota. Pembagian energi terbarukan dan efisiensi
energi terbarukan perlu untuk ditingkatkan, ini sebagai upaya untuk mencegah dampak
perubahan iklim. Uni Eropa sendiri berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca sekaligus
mendorong negara anggota untuk melakukan hal yang sama. Uni Eropa bertanggungjawab
atas pengurangan emisi gas rumah kaca dan membuat kebijakan untuk transisi energi
terbarukan. Keamanan energi menjadi fakot penting yang berkontribusi pada kebijakan
energi yang efisien. Dalam Pasal 194 Uni Eropa tercantum bahwa mempromosikan efisiensi
energi, penghematan dan pengembangan energi adalah bentuk energi terbarukan. Uni Eropa
telah mengeluarkan sebagian besar anggarannya untuk mendukung kebijakan terkait iklim
dan energi. Uni Eropa bermaksud untuk mengubah kebijakan energi dengan menempatkan
pada dunia nilai yaitu mengurangi konsumsi energi hingga 15% dan impor energi sebesar
26% pada tahun 2020.
Dalam dunia internasional, Uni Eropa mengambil komitmen untuk mengatasi perubahan
iklim akibat penggunaan energi tidak terbarukan. Uni Eropa semakin menyadari bahwa
meningkatnya pemanasan global akibat penggunaan energi tidak terbarukan yang dihasilkan
dari proses pembakaran hutan untuk penanaman kelapa sawit (sebagai minyak), pembakaran
batu bara dan gas yang menghasilkan karbon dioksida harus segera diatasi dalam campuran
energi di negara-negara anggota. Ini sesuai dalam Pasal 191 ayat 1 mengenai
mempromosikan bentuk energi terbarukan adalah salah satu tujuan kebijakan energi Uni
Eropa. Peningkatan penggunaan energi dari sumber terbarukan merupakan bagian penting
dari langkah-langkah mengurangi emisi gas rumah kaca.
Uni Eropa salah satu kawasan yang peduli terhadap masalah energi. Energi menjadi
penting dalam pemenuhan kebutuhan negara-negara anggota, yang digunakan untuk pemanas
ruangan, energi transportasi dan penerangan. Dalam memenuhi energi tersebut, Uni Eropa
bergantung pada impor bahan bakar fosil dan batu bara. Uni Eropa mengonsumsi seperlima
dari energi dunia, ini memiliki dampak besar pada perekonomian Uni Eropa. Uni Eropa
adalah importir energi terbesar di dunia yang mengimpor 53% energinya dengan biaya
pertahun sekitar € 400 miliar. Ketergantungan pada impor energi membuat Uni Eropa rentan
terhadap gangguan, sehingga mengambil langkah bagi Uni Eropa untuk memiliki sumber
energi terbarukan dan bersih seperti yang dihasilkan dari angin, air, sinar matahari dengan
menggunakan turbin angin dan panel surya. Dengan menggunakan lebih banyak energi
terbarukan dalam pemenuhan energi, Uni Eropa secara perlahan akan menurunkan
ketergantungan pada impor bahan bakar fosil sehingga akan menghasilkan energi yang
terbarukan.
Penggunaan energi terbarukan Uni Eropa kemudian ditetapkan ke dalam Renewable
Energy Directive (RED) yang menetapkan target terkait konsumsi energi final sebesar 20%
dari sumber energi terbarukan pada tahun 2020. Renewable Energy Directive (RED) adalah
regulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa pada tanggal 23 April 2009 mengenai
kewajiban bagi negara anggota Uni Eropa untuk menggunakan energi yang bersih dan
terbarukan. Dalam pencapaian ini, negara-negara anggota Uni Eropa telah berkomitmen
untuk mencapai target energi terbarukan dalam ranah nasional yang dari 10% di Malta hingga
49% di Swedia. Masing-masing negara anggota Uni Eropa diharuskan setidaknya 10% bahan
bakar transportasi berasal dari sumber energi terbarukan pada tahun 2020. Secara domestik,
negara anggota Uni Eropa memiliki sumber daya energi terbarukan yang layak untuk
dimanfaatkan bahkan beberapa wilayah Eropa memiliki potensi yang lebih besar untuk energi
terbarukan. Misalanya, beberapa wilayah negara anggota memiliki sungai yang cocok
digunakan sebagai pembangkit tenaga air dan sinar matahari yang cocok untuk tenaga surya.
Di sisi lain, ini akan menciptakan pasar energi internal Eropa yang memberi peluang besar
bagi negara-negara anggota untuk bekerjasama dalam memanfaatkan sumber daya energi
terbarukan demi mencapai target energi terbarukan pada tahun 2020.
Pencapaian target ini dapat dilakukan melalui mekanisme kerjasama yang ditetapkan
melalui Renewable Energy Directive (RED). Kerjasama ini dapat berupa transfer statistik
energi terbarukan, proyek energi terbarukan bersama serta skema dukungan energi terbarukan
bersama. Masing-masing negara harus mengikuti jalur yang berbeda dalam memenuhi
kewajiban sesuai dengan petunjuk energi terbarukan. Semua negara anggota Uni Eropa telah
mengadopsi aksi nasional Renewable Energy Directive (RED) yang menunjukan tindakan
apa yang akan dilakukan untuk memenuhi target energi terbarukan.
In order to carry out their task and in accordance with the provisions of this Treaty, the European
Parliament acting jointly with the Council, the Council and the Commission shall make regulations
and issue directives, take decisions, make recommendations or deliver opinions. A regulation shall
have general application. It shall be binding in its entirety and directly applicable in all Member
States. A directive shall be binding, as to the result to be achieved, upon each Member State to which it
is addressed, but shall leave to the national authorities the choice of form and methods. A decision
shall be binding in its entirety upon those to whom it is addressed. Recommendations and opinions
shall have no binding force.
Berdasarkan Pasal 249 diatas dijelaskan bahwa regulasi itu sifatnya mengikat secara keseluruhan yang
langsung diterapkan negara-negara anggota. Directive Uni Eropa bersifat mengikat maupun tidak
mengikat yang ditujukan pada masing-masing negara anggota. Negara anggota terlebih dahulu dapat
mengubahnya ke dalam hukum nasional, yang nanti akan dimasukan ke dalam undang-undang
nasional. Uni Eropa tidak dapat memaksa setiap negara anggota untuk mengadopsi kebijakan Uni
Eropa berdasarkan langkah-langkah yang dilakukan Uni Eropa, namun Uni Eropa hanya dapat
memantau pencapaian target nasional negara-negara anggota. Sementara rekomendasi dan opini tidak
memiliki kekuatan yang mengikat.
Penerapan hukum directive Uni Eropa dalam kebijakan energi terbarukan Uni Eropa
pada dasarnya memiliki penerapan secara langsung, ini sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
directive Uni Eropa (Josefin, Lisa Lindstrom, 2017: 9). Penerapan langsung adalah
karateristik dari aturan dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh perjanjian dan sebagaimana
diatur dalam ketentuan perjanjian yang terdiri dari hubungan langsung dengan undang-
undang Uni Eropa. Dalam penerapan langsung, hukum directive Uni Eropa memiliki
ketentuan yang memberikan pengaruh terhadap sistem hukum negara anggota. Directive akan
menjadi undang-undang Uni Eropa yang akan diarahkan pada negara-negara anggota. Uni
Eropa akan menetapkan tujuan dari kebijakan yang akan dicapai oleh setiap negara anggota
dan negara anggota harus meloloskan ke dalam undang-undang domestik yang relevan. Ini
akan memberikan dampak pada ketentuan dalam jangkah waktu yang sudah ditetapkan,
biasanya jangka waktu yang diberikan selama dua tahun.
Dalam Pasal 288 (2) dikatakan bahwa suatu peraturan Uni Eropa harus berlaku secara
umum, harus mengikat secara keseluruhan dan langsung berlaku di semua negara-negara
anggota. Dalam Pasal 288 disebutkan hanya regulasi yang dapat langsung diterapkan oleh
negara-negara anggota tanpa harus mengubah kebijakan tersebut. Namun, di sisi lain Uni
Eropa menjelaskan melalui Pasal 288 (2) bahwa transformasi hukum Uni Eropa yang bersifat
directive dapat memberikan efek langsung, artinya bahwa hukum ini memiliki hak dan
kewajiban secara langsung pada negara-negara anggota dengan alasan peraturan tersebut
harus jelas, tidak ambigu dan memberikan efek tindakan lanjut. Kewajiban dari hukum
tersebut berada pada negara-negara anggota, begitu juga halnya dengan implementasi
kebijakannya. Hukum Uni Eropa yang bersifat directive akan memberikan otoritas bagi
negara-negara untuk memilih bentuk dan metode yang digunakan dalam penerapan hukum
directive. Ketika kebijakan diadopsi maka negara-negara anggota harus mendorong otoritas
lokal maupun regional untuk menetapkan target yang telah ditentukan tanpa menghilangkan
target Uni Eropa serta melibatkan otoritas lokal dan regional dalam menyusun rencana aksi
energi terbarukan yang memberikan kesadaran dalam memanfaatkan energi dari sumber
terbarukan.
Sebagaimana tercantum dalam Renewable Energy Directive yang menetapkan kerangka
kerja Uni Eropa untuk promosi energi dari sumber terbarukan dan memberlakukan target
secara hukum di negara-negara anggota yang akan diterapkan dalam undang-undang
nasional. Dalam undang-undang nasional, directive harus berisi aturan tentang pembagian
target energi terbarukan secara keseluruhan. Implementasi dari directive ini harus
mencerminkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Uni Eropa. Negara-negara anggota
diharapkan untuk berkontribusi pada promosi energi dari sumber terbarukan. Dalam rangka
untuk membuatnya lebih mudah untuk mencapai semua target yang ditetapkan, directive
menekankan agar negara-negara anggota mempromosikan dan mendorong efisiensi energi
dan penghematan energi. Menurut Pasal 3 (2) terkait Renewable Energy Directive bahwa
negara-negara anggota berkewajiban memperkenalkan langkah-langkah yang dirancang
secara efektif untuk memastikan bahwa peningkatan konsumsi energi dari sumber terbarukan
dapat tercapai. Dalam mencapai target nasional secara keseluruhan, negara anggota dapat
menerapkan dua langkah yang mungkit secara eksplisit yaitu skema dukungan atau langkah-
langkah kerjasama dengan negara-negara anggota. Directive Uni Eropa tidak
memperkenalkan mekanisme penegakan atau hukuman ketat yang dapat langsung
dilaksanakan di negara-negara anggota.
Pada dasarnya perubahan energi global telah mempengaruhi Uni Eropa untuk bertindak
lebih lanjut dalam penggunaan energi terbarukan. Untuk mematuhi Protokol Kyoto di bawah
Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan iklim, Uni Eropa pada tahun 2000 sepakat
untuk menstabilkan emisi gas rumah kaca melalui European Climate Change Programme
(ECCP). Ada tiga target yang ingin dicapai yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca,
mempromosikan energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi. Sebagai lanjutannya,
Komisi Eropa menyusun rancangan “Renewable Energy Roadmap” yang membangun energi
terbarukan berkelanjutan dengan target energi terbarukan sektor listrik. Hal ini menjadi dasar
bagi Uni Eropa untuk bertindak lebih lanjut dalam penggunaan energi terbarukan melalui
Renewable Energy Directive. Dalam hukum Uni Eropa, directive bersifat mengikat maupun
tidak mengikat. Directive dalam kebijakan Renewable Energy Directive Uni Eropa
menetapkan kerangka kerja umum untuk mempromosikan energi dari sumber energi
terbarukan. Ini menetapkan target wajib secara keseluruhan energi dari sumber terbarukan
dalam konsumsi akhir energi. Directive akan menjadi undang-undang Uni Eropa yang akan
diarahkan pada negara-negara anggota. Hal yang telah disebutkan di atas akan berkaitan erat
dengan implementasi kebijakan Renewable Energy Directive Uni Eropa yang terjadi di
Jerman melalui program energiewende.