Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2022


UNIVERSITAS HALUOLEO

CEREBRAL PALSY

OLEH:

Laode Mujahiddin Marjan, S.Ked


K1B1 20 071

Pembimbing
dr. Waode Sitti Asfiah Udu, M.Sc., Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Laode Mujahiddin Marjan


NIM : K1B1 20 071
Judul Referat : Cerebral Palsy

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2022

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Waode Sitti Asfiah Udu, M.Sc., Sp.A


CEREBRAL PALSY

Laode Mujahiddin M, Waode Sitti Asfiah U

A. PENDAHULUAN

Cerebral Palsy (CP) atau Palsi Serebral (PS) adalah sekelompok

gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bergerak dan

menjaga keseimbangan serta postur tubuh. CP adalah disabilitas motorik

paling umum di masa kanak-kanak. CDC memperkirakan bahwa rata-rata 1

dari 345 anak di AS memiliki CP.1

Cerebral palsy merupakan penyebab utama kecacatan fungsi motorik

pada masa anak-anak. Kerusakan otak yang menyebabkan cerebral palsy

sangat bervariasi dan terdapat banyak faktor yang terlibat, diantaranya

kelainan genetik, infeksi, traumatik, dan metabolik. Kerusakan pada

perkembangan otak ini terbagi menjadi periode prenatal, perinatal, dan

postnatal. Kerusakan pada periode prenatal paling sering terjadi, dimana 75-

80% kasus terjadi akibat infeksi saat hamil, paparan bahan teratogenik, dan

hamil bayi kembar. Insidensi bayi lahir prematur lebih tinggi daripada bayi lahir

normal.2

Prevalensi PS pada anak usia 3-10 tahun diperkirakan antara 2-4 kasus

per 1000 anak. Suatu penelitian di Cina melaporkan bahwa prevalensi PS

pada anak usia kurang dari 7 tahun sebesar 1,6 kasus per 1000 anak atau

diperkirakan terdapat 310.000 anak. Di Indonesia, laju insidens PS adalah 1

tiap 34.000 penduduk. Dengan demikian, jika jumlah penduduk Indonesia


diperkirakan 230 juta penduduk, maka diperkirakan terdapat 7.000 penderita

PS di Indonesia.3

B. DEFINISI

Palsi serebral adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang

menetap dan tidak progresif, meskipun gambaran klinisnya dapat berubah

selama hidup, terjadi pada usia dini dan merintangi perkembangan otak

normal dengan menunjukkan kelainan posisi dan pergerakan disertai kelainan

neurologis berupa gangguan korteks serebri, ganglia basalis dan serebelum.4

Palsi serebral (PS) adalah gangguan fungsi motor dan postur akibat lesi

anatomi otak yang bersifat statis non-progresif pada saat perkembangan otak,

sehingga mengakibatkan perubahan tonus dan kelemahan otot, gerakan

involunter, ataksia atau kombinasi abnormalitas tersebut. Gangguan

perkembangan tersebut terjadi pada masa pranatal, perinatal maupun

postnatal yang menyebabkan kelainan perkembangan otak. Meskipun lesi di

otak bersifat statis, manifestasi klinis dapat berubah seiring pertambahan usia

disebabkan oleh plastisitas otak.3

C. EPIDEMIOLOGI

Menurut CDC, studi berbasis populasi baru-baru ini dari seluruh dunia

melaporkan perkiraan prevalensi CP mulai dari 1 hingga hampir 4 per 1.000

kelahiran hidup atau per 1.000 anak. Sementara pada jurnal yang ditulis oleh

Dillip, Prevalensi CP untuk semua kelahiran hidup berkisar antara 1,5 hingga

3 per 1.000 kelahiran hidup, dengan variasi antara negara berpenghasilan

tinggi dan rendah hingga menengah dan wilayah geografis. Karena, pada


banyak bayi dan anak-anak, temuan neuromotor abnormal cenderung hilang

dalam beberapa tahun pertama, terutama selama 2-5 tahun pertama

kehidupan, prevalensi CP yang dilaporkan cenderung lebih tinggi selama

masa bayi. Meskipun prematuritas dan berat badan lahir rendah merupakan

faktor risiko utama CP, beberapa faktor lain juga terkait dengan atau

berpotensi meningkatkan risiko CP. Beberapa studi epidemiologi melaporkan

bahwa setengah dari anak-anak yang mengembangkan CP lahir tepat waktu

tanpa faktor risiko yang teridentifikasi. Meskipun dalam banyak kasus, CP

adalah akibat dari cedera pada otak janin atau neonatal, onset CP pasca-

neonatal telah dikenali. CP postneonatal terjadi akibat cedera otak setelah

periode neonatal dan sebelum usia 5 tahun. Di Indonesia, laju insidens PS

adalah 1 tiap 34.000 penduduk. Dengan demikian, jika jumlah penduduk

Indonesia diperkirakan 230 juta penduduk, maka diperkirakan terdapat 7.000

penderita PS di Indonesia. Untuk populasi bayi prematur didapatkan angka

kejadian yang jauh lebih tinggi yaitu 43 per 1000 kelahiran hidup untuk bayi

usia gestasi 28 sampai 31 minggu dan 82 per 1000 kelahiran hidup untuk usia

gestasi <28 minggu.1,5,6

Sekitar 50% kasus PS termasuk ringan dan 10% termasuk kasus berat.

25% memiliki intelegensia (IQ) rata-rata normal sementara 30% kasus

menunjukan IQ dibawah 70, 35% disertai kejang dan 50% menunjukan

gangguan bicara. Laki-laki lebih banyak dari perempuan (1,4 : 1,0), dengan

rata-rata 70 % ada pada tipe spastik, 15% tipe atetotic, 5% ataksia, dan

sisanya campuran.7
D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Etiologi pasti palsi serebral pada bayi sebenarnya masih belum

diketahui. Diduga adanya komplikasi dari berat lahir rendah, asfiksia lahir,

solusio plasenta, dan posisi janin yang abnormal dikaitkan dengan penyakit

ini. Etiologi dari PS dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu prenatal, perinatal,

dan pascanatal: 7

1. Prenatal

Infeksi terjadi dalam masa kandungan, menyebabkan kelainan pada

janin, misalnya toksoplasmosis, rubela dan penyakit inklusi sitomegalik.

Kelainan yang menonjol biasanya gangguan pergerakan dan retardasi

mental. Anoksia dalam kandungan (misalnya: solusio plasenta, plasenta

previa, anoksi maternal, atau tali pusat yang abnormal), terkena radiasi

sinar-X dan keracunan kehamilan dapat menimbulkan PS.

2. Perinatal

a. Anoksia

Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah

brain injury menyebabkan terjadinya anoksia. Hal ini terdapat pada

kedaan presentasi bayi abnormal, disproporsi sefalo-pelvis, partus

lama, plasenta previa, infeksi plasenta, partus menggunakan bantuan

instrumen tertentu dan lahir dengan seksio caesaria.

b. Perdarahan otak

Perdarahan ortak dan anoksia dapat terjadi bersama-sama,

sehingga sukar membedakannya. Perdarahan dapat terjadi di ruang


subarachnoid akan menyebabkan penyumbatan CSS sehingga

mengakibatkan hidrosefalus. Perdarahan spatium subdural dapat

menekan korteks serebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.

c. Prematuritas

Bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita

perdarahan otak yang lebih banyak dari pada bayi cukup bulan,

karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-

lain masih belum sempurna.

d. Ikterus

Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan

jaringan otak yang permanen akibat masuknya bilirubin ke ganglia

basal, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah.

e. Meningitis Purulenta

Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat atau tidak

tepat pengobatannya akan mengakibatkan gejala sisa berupa palsi

serebral.

3. Pascanatal

Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu

perkembangan dapat menyebabkan cerbral palsy antara lain :

a. Trauma kapitis dan luka parut pada otak pasca-operasi.

b. Infeksi misalnya meningitis bakterial, abses serebri, tromboplebitis,

ensefalomielitis.

c. Kern icterus.
Faktor risiko palsi serebral memiliki pola berbeda antara negara

maju dan berkembang.6

Tabel 1. Faktor risiko PS di negara maju dan negara berkembang

Negara maju Negara berkembang


1. Sebagian besar berhubungan dengan 1. Penyebab pasca persalinan banyak
kejadian sebelum persalinan: berpengaruh :
 Prematuritas (>70%)  Infeksi susunan saraf pusat ++
 Pertumbuhan janin terhambat +
 Infeksi intrauterin dan  Toksisitas bilirubin ++
korioamnionitis 2. Asfiksia neonatal ++++
 Perdarahan antepartum
 Kelainan patologis plasenta
2. Kehamilan kembar
3. Asfiksia neonatal (<10%)

E. PATOMEKANISME

Pada sekitar 90% kasus, PS merupakam hasil dari proses destruktif

yang merusak jaringan otak yang sehat yang menyebabkan kelainan dalam

perkembangan otak. Hipoksia dan iskemia diyakini sebagai penyebab paling

sering cedera otak. Studi kelainan patologis dan pencitraan pada PS telah

menunjukkan berbagai kombinasi lesi di korteks serebral, periventricular

white matter, ganglia basal, dan cerebellum. Tahap maturasi otak selama

peristiwa patogenetik yang terjadi menentukan jenis dan lokasi lesi, serta

respons spesifik terhadap cedera.8

Lokalisasi lesi otak setelah kerusakan difus sangat bervariasi. Pada bayi

prematur, periventricular white matter merupakan tempat yang paling rentan.

Sebaliknya, pada bayi fullterm terutama mempengaruhi korteks serebral dan

subkortikal dan periventricular white matter.8

Palsi Serebral disebabkan oleh banyak faktor yang terjadi pada masa

perkembangan otak baik pranatal, natal dan pasca natal. Penyebab dari
gangguan tersebut antara lain gangguan kromoson atau zat teratogenik yang

terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan yang mengganggu embriogenesis

dan mengakibatkan malformasi organ yang berat. Zat teratogenik yang

mengganggu sesudah trimeter I kehamilan akan mempengaruhi maturasi otak.

Hipoksik iskemik dapat menyebabkan kelainan mikro anatomi, sekunder

akibat migrasi neural crest dari neuron. Bila terjadi pada masa perinatal akan

mengakibatkan iskemi atau perdarahan otak yang kemudian mengakibatkan

infark otak.9

Pada masa pasca natal penyebabnya adalah infeksi, meningoensefalitis,

trauma kepala, toksin dan lainnya. Oleh berbagai sebab di atas bila yang

terkena korteks motorik akan timbul kelainan yang disebut palsi serebral

suatu kelainan yang ditandai dengan lambatnya perkembangan motorik,

kelainan sikap tubuh atau gerakan, dan tonus otot. Pusat motorik di otak

terletak di bagian posterior dari lobus frontalis. Di bagian anterior dari lobus

frontalis terletak pusat yang mengatur kestabilan emosi dan personalitas serta

tempat menyimpan ingatan baru. Lobus temporal, parietal, dan oksipital juga

sangat berpengaruh terhadap fungsi motorik, selain juga untuk fungsi lainnya

seperti kemampuan kognitif. Jadi bila terjadi gangguan motorik yang berat

seperti palsi serebral maka bagian otak yang terkena pasti luas atau menyebar,

atau dapat pula lokal, disertai oleh penyumbatan aliran pembuluh darah besar,

sumbatan aliran cairan serebrospinal atau adanya aktivitas fokus epileptikus.9

F. MANIFESTASI KLINIS
Gangguan motor berupa kelainan fungsi dan lokalisasi serta kelainan

bukan motor yang menyulitkan gambaran klinis palsi serebral. Kelainan

fungsi motor terdiri dari :4

1. Spastisitas : lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada

traktus kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan pada

tonus otot , peningkatan reflex otot kadang di sertai klonus (reflex

peregangan otot yang meningkat) dan tanda Babinski positif. Tonic neck

reflex muncul lebih lama dari normal namun jarang terlihat jelas, dan

reflex neonatus lainnya menghilang pada waktunya. Hipertonik permanent

dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot tidak sama pada

sesuatu gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan pergelangan tangan flexi,

tangan pronasi, jari flexi dengan jempol melintang di telapak tangan. kaki

adduksi, panggul dan lutut flexi, kaki plantar-flexi dengan tapak kaki

berputar ke dalam. Golongan spastisitas ini meliputi 2/3-3/4 penderita

cerebral palsy.

2. Perubahan tonus otot : lokasi lesi yang menyebabkan ketidaknormalan

tonus otot terutama pada brain stem . bayi pada golongan ini pada usia

bulan pertama tampak flaksid dan berbaring dengan posisi seperti katak

terlentang dan mudah di kelirukan dengan bayi dengan kelainan motor

neuron menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus otot daari

rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak flaksid dan sikap

seperti katak terlentang namun bila dirangsang atau mulai diperiksa tonus

ototnya berubah menjadi spastis .reflex otot normal atau sedikit meningkat
dan klonus jarang ditemukan. Tanda Babinski bisa positif maupun tidak.

Karakteristik dari cerebral palsy tipe ini adalah reflex neonatus dan tonic

neck reflex menetap, kadang terbawa hingga masa kanak-kanak. Reflex

tonus otot dan reflex moro sangat jelas. Sindrom dari perubahan tonus otot

dapat disertai dengan choreoathetosis dan ataxia. Sekitar 10-25 persen

anak dengan cerebral palsy mengalami sindrom ini.

3. Choreoathetosis :lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah

ganglia basalis . 5-25 persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan

choreoathethosis. Anak dengan choreoathetosis memiliki gangguan

pergerakan dengan karakteristik pergerakan yang tidak disadari dan sikap

yang abnormal. Pasien biasanya flaccid pada 6 bulan pertama lahir dan

kadang di salah diagnosiskan dengan gangguan motor unit. Gerakan yang

tidak disadari dan kelainan sikap biasanya berkembang selama

pertengahan tahun kedua . reflex neonatus kadang tampak, spastisitas dan

ataxia bisa ditemukan. Kecacatan motorik kadang berat, kelainan postur

mengganggu fungsi normal eksremitas.

4. Ataxia : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah

cerebellum. 1-15 persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan ataxia.

Pasien dengan kondisi ini biasanya flaccid ketika bayi dan menunjukkan

perkembangan retardasi motorik. Menjelang akhir tahun pertama ketika

mereka memulai menjangkau suatu objek dan mencoba berdiri, itu mulai

tampak dan mereka tidak seimbang. Ketidaknormalan akibat rendahnya


tonus otot menetap hingga kanak-kanak. Reflex otot normal dan reflex

neonatus hilang sesuai umur normal.

5. Bentuk campuran : choreoathetosis di sertai spastisitas atau dengan

sindrom perubahan tonus adalah tipe campuran 17 yang paling sering dari

disfungsi motorik, tapi semua jenis kombinasi dapat terjadi.

Selanjutnya terdapat gangguan motorik yang dapat dijumpai pada anak

dengan CP.

1. Gangguan perkembangan mental : hal ini ditemukan pada sekitar setengah

dari seluruh pasien cerebral palsy . perkembangan mental harus selalu di

nilai dengan perhatian besar pada anak dengan retardasi perkembangan

motorik. Kecacatan motorik harus selalu dapat dimengerti dan latih potensi

terbaik anak sebelum perkembangan intelektual mereka di evaluasi. Tipe

lain dari gangguan perkembangan motorik bisa terlihat pada anak dengan

cerebral palsy , beberapa dari mereka menunjukkan gejala perhatian yang

mudah teralih, kurang konsentrasi, gelisah, dan prilaku tidak di duga.

2. Konvulsi : konvulsi adalah gambaran klinik yang kompleks , biasanya

pada anak tetraparesis dan hemiparesis . pemeriksaan

electroencephalogram harus di lakukan pada kondisi tersebut.

3. Retardasi pertumbuhan : retardasi pertumbuhan terlihat pada semua jenis

gangguan pergerakan . retardasi pertumbuhan paling signifikan pada

hemiparesis, ukuran tangan,kaki, kuku yang tidak sama adalah tanda

diagnostic yang penting.


4. Gangguan sensorik : gangguan sensasi adalah hal biasa yang di temukan

pada hemiparesis

5. Gangguan penglihatan : paling sering adalah strabismus yang biasa di

temukan pada pasien dengan spastic diparesis. Katarak terlihat utamanya

pada anak dengan asphyxia pada periode perinatal yang berat, scar setelah

koreoretinitis terlihat pada anak dengan infeksi fetus.

6. Gangguan pendengaran : di temukan 5-10 persen dari seluruh anak yang

menderita cerebral palsy. gangguan pendengaran ditemukan paling banyak

pada anak dengan choreoathetosis dan syndrome perubahan tonus otot.

7. Kesulitan berbicara : dapat ringan hingga berat. Pada choreoathetosis

biasanya pergerakan involunter juga mempengaruhi bibir dan otot lidah.10

Walaupun kerusakan struktur otak pada PS bersifat statis non-progresif,

tetapi dampaknya sangat bervariasi dan dapat berubah seiring berjalannya

waktu. Palsi serebral dapat disertai beberapa gangguan atau kelainan, antara

lain disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan

bicara, gangguan nutrisi dan menelan, infeksi saluran napas atas, serta

epilepsi.10

G. KLASIFIKASI

Palsi serebral dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit neuromuskular,

topografi defisit motori, berat ringannya gejala PS dan menurut Gross motor

function classification system (GMCS) :8,10,11

1. Klasifikasi berdasarkan defisit neuromuskular

Berdasarkan defisit neuromuskular, PS diklasisfikasikan menjadi PS tipe:


a. Spastik, bentuk ini melibatkan sistem piramidal yang ditandai dengan

lesi upper motor neuron, adanya kelemahan, hipertonus,

hiperrefleksia, serta adanya klonus dan refleks Babinski yang positif.

b. Diskinetik (distonia dan koreoatetoid), bentuk ini melibatkan sistem

ektrapiramidal yang ditandai adanya rigiditas, korea, koreoatetosis,

dan gerakan distoni.

c. Ataksid, bentuk ini jarang dijumpai, biasanya mengenai

keseimbangan dan persepsi dalam. Penderita biasanya mengalami

gangguan koordinasi yang buruk.

d. Campuran, bentuk ini sering ditemukan pada penderita yang

mempunyai lebih dari satu bentuk PS. Bentuk yang sering ditemukan

adalah PS spastik dengan gerakan atetoid.

2. Klasifikasi atas dasar topografi defisit motorik

Terdiri atas :monoplegia, diplegia, hemiplegia, triplegia, tetraplegia

atau kuadriplegia, dan hemiplegia ganda. Monoplegia, yaitu kelumpuhan

pada salah satu anggota gerak, umumnya merupakan bentuk hemiplegia

yang sangat ringan yang hanya mengenai lengan. Hemiplegia adalah

kelumpuhan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama dengan lengan

lebih berat dibandingkan tungkai. Hemiplegia ganda adalah kelumpuhan

keempat anggota gerak; umumnya lengan terkena lebih berat daripada

tungkai yang sesisi, dan terdapat asimetri antara kedua sisi tubuh.

Diplegia adalah kelumpuhan pada keempat anggota gerak, namun

tungkai lebih berat daripada lengan. Triplegia jarang dijumpai; apabila


yang terkena adalah kedua lengan secara asimetris dan satu tungkai maka

triplegia merupakan bentuk ringan hemiplegia ganda, namun apabila yang

terkena adalah kedua tungkai dan satu lengan maka triplegia merupakan

bentuk ringan diplegia yang asimetris. Tetraplegia atau kuadriplegia

adalah kelumpuhan pada keempat anggota gerak, dengan lengan terkena

lebih atau sama berat dengan tungkai.

Gambar 1. Klasifikasi atas dasar topografi defisit motorik7

3. Klasifikasi bedasarkan berat ringannya gejala

Tabel 2. Klasifikasi PS berdasarkan berat ringannya gejala10


4. Gross motor function classification system (GMFCS)

Klasifikasi GMFCS dibuat berdasarkan kemampuan dan

keterbatasan motorik anak di rumah, sekolah, maupun di lingkungan.

Kemampuan motorik yang diamati terutama kemampuan duduk (truncal

control) dan berjalan yang terbagi menjadi 5 tingkatan (derajat I sampai

V). Penilaian perkembangan motorik dilakukan selama 45 sampai 60

menit. Ruangan tempat penilaian dilakukan harus nyaman bagi anak untuk

beraktivitas. Anak yang tergolong level I dapat berjalan tanpa

keterbatasan, level II dapat berjalan dengan keterbatasan, level III dapat

berjalan dengan menggunakan alat bantu yang dipegang atau digerakkan

dengan tangan (handheld), level IV dapat bergerak sendiri dengan

keterbatasan dan mungkin dapat menggunakan alat bantu mobilitas

bertenaga listrik, dan level V perlu didorong secara manual menggunakan

kursi roda.

Tabel 3. Gross motor function classification system (GMFCS) sesuai

usia12
Umur Level Kemampuan Motorik yang dimiliki Anak PS
<2 tahun I 1. Mampu bergerak dari tiduran/tengkurap kemudian
duduk dan dari duduk menuju tengkurap, dapat duduk
di lantai dengan kedua tangan bebas untuk menyentuh
mainan.
2. Mampu menggunakan tangan dan lutut untuk
merangkak secara seimbang.
3. Dapat mulai berdiri dengan merambat.
4. Dapat berjalan diantara 18 bulan dan 2 tahun tanpa
perangkat mobilitas bantu.
II 1. Mampu duduk di lantai dengan bantuan tangan ikut
menopang tubuh untuk menjaga keseimbangan.
2. Dapat merayap menggunakan perut atau merangkak
pada tangan dan lutut.
3. Berusaha untuk berdiri dengan berpegangan pada
benda atau orang lain.
III 1. Dapat duduk di lantai dengan mendukung punggung
belakang.
2. Dapat berguling dan merayap maju menggunakan
perut.
IV 1. Dapat mengontrol pergerakan kepala
2. Dapat mempertahankan duduk di lantai apabila badan
didukung atau ditopang secara keseluruhan.
3. Dapat berguling dari telentang dan tengkurap dengan
waktu berguling cukup lama
V 1. Tidak mampu mengontrol pergerakan tubuh termasuk
pengontrolan kepala.
2. Tidak mampu menjaga antigravitasi kepala meskipun
dalam posisi tengkurap atau duduk.
3. Memerlukan bantuan orang dewasa untuk berguling.
2-4 tahun I 1. Anak mampu duduk di lantai tanpa didukung oleh
kedua tangan.
2. Anak mampu berdiri pada posisi duduk tanpa bantuan
orang dewasa dan mampu duduk dari berdiri dengan
kontrol yang baik.
3. Anak mampu berjalan tanpa alat bantu.
II 1. Mampu duduk di lantai tetapi memiliki kesulitan
dengan keseimbangan ketika kedua tangan
memanipulasi objek.
2. Mampu berpindah posisi duduk tanpa bantuan orang
dewasa.
3. Mampu berdiri di atas permukaan yang stabil.
4. Mampu merangkak dengan pergerakan tangan dan lutut
yang seimbang.
5. Mampu berjalan dengan memegang benda atau berjalan
dengan alat
III 1. Mampu duduk dengan posisi W-sitting dan
membutuhkan bantuan orang dewasa untuk mencapai
posisi duduk.
2. Mampu merayap menggunakan perut.
3. Mampu merangkak menggunakan tangan dan lutut
dengan pergerakan salah satu bagian kaki diseret,
merangkak sebagai metode utama untuk mobilitas.
4. Mampu berdiri tanpa bantuan orang lain dan berjalan
pada arah yang pendek.
5. Mampu berjalan di dalam ruangan dengan
menggunakan walker dan bantuan orang dewasa untuk
kemudi.
IV 1. Mampu duduk di lantai dengan bantuan kedua tangan
untuk menjaga keseimbangan.
2. Sering membutuhkan peralatan adaptif untuk duduk
dan berdiri.
3. Mobilitas utama dakam ruangan baru mencapai
berguling, merayap menggunakan perut, atau
merangkak pada tangan dan lutut tanpa gerakan kaki
V 1. Gerak refleks terbatas dan belum mampu melawan
gravitasi.
2. Semua bidang fungsi motorik terbatas.
3. Tidak memiliki alat gerak mandiri
4-6 tahun I 1. Mampu berpindah dari duduk dari lantai ke kursi tanpa
bantuan dan sebaliknya.
2. Mampu berdiri dari duduk di kursi tanpa bantuan.
3. Mampu berjalan di dalam dan di luar rumah, dan
mampu memanjat tangga.
4. Terkadang muncul kemampuan untuk berlari dan
melompat
II 1. Mampu duduk di kursi dengan tangan dapat bergerak
bebas.
2. Mampu bergerak dari duduk di lantai atau bangku
untuk berdiri dengan permukaan yang stabil untuk
mendorong dan menarik tangan.
3. Mampu berjalan dalam ruangan dan jarak pendek di
luar ruangan dengan permukaan bertingkat.
4. Mampu menaiki tangga dengan berpegangan pada
pagar tapi belum dapat melompat.
III 1. Mampu duduk di kursi biasa tetapi memerlukan
dukungan pada panggul dan tulang belakang untuk
memaksimalkan fungsi tangan.
2. Mampu bergerak dari kursi duduk pada permukaan
yang stabil untuk mendorong dan menarik kedua
tangan.
3. Mampu berjalan menggunakan walker pada permukaan
miring atau bertingkat dengan bantuan orang dewasa
tetapi belum bisa untuk bepergian jarak jauh atau pada
permukaan tidak rata.
IV 1. Mampu duduk di tempat duduk adaptif untuk
pengendalian trunk dan memaksimalkan fungsi tangan.
2. Mampu berpindah dari kursi duduk dengan bantuan
orang dewasa
3. Mampu berjalan dengan baik apabila menggunakan
walker dan memerlukan pengawasan orang dewasa
tetapi kesulitan berjalan pada permukaan yang tidak
rata.
4. Mampu bergerak secara mandiri apabila menggunakan
kursi roda bertenaga.
V 1. Gangguan fisik membatasi kontrol gerakan dan
kemampuan untuk mempertahankan anti-gravitasi
kepala dan tonus batang tubuh.
2. Semua bidang fungsi motorik terbatas.
3. Anak-anak tidak memiliki gerakan independen.
6-12 I 1. Mampu berjalan dengan keseimbangan yang baik di
Tahun lingkungan rumah, sekolah dan di lingkungan.
2. Mampu berjalan naik dan turun trotoar tanpa bantuan
fisik dan tangga tanpa berpegangan tangan. Mampu
berlari dan melompat, tetapi kecepatan, keseimbangan,
dan koordinasi terbatas.
II 1. Mampu berjalan dengan pengawasan, tetapi mengalami
kesulitan berjalan jarak jauh dan menyeimbangkan diri
di permukaan tidak rata, miring atau ketika membawa
benda.
2. Mampu berjalan naik turun tangga dengan memegang
pagar atau bantuan fisik.
3. Mampu berjalan di luar ruangan dengan bantuan fisik,
perangkat mobilitas genggam.
4. Mampu berlari dan melompat dengan waktu
pelaksanaan sangat lambat. Memerlukan alat adaptasi
untuk melakukan kegiatan fisik dan olahraga.
III 1. Mampu berjalan dalam ruangan dengan bantuan walker
otomatis.
2. Ketika duduk memerlukan sabuk pengaman untuk
keselarasan panggul dan keseimbangan.
3. Pergerakan dari duduk ke berdiri dan dari berdiri ke
duduk memerlukan bantuan orang lain atau
memerlukan dukungan yang kuat.
4. Memerlukan kursi roda untuk mobilitas jarak jauh.
5. Memerlukan pengawasan atau bantuan orang lain atau
berpegangan pada tangga untuk berjalan naik turun.
Memiliki keterbatasan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan fisik.
IV 1. Memerlukan bantuan mobilitas untuk berbagai situasi.
2. Membutuhkan perangkat duduk adaptif untuk trunk dan
kontrol panggul.
3. Mampu berguling, merayap, atau merangkak, berjalan
jarak pendek dengan bantuan. Mampu beradaptasi
dengan lingkungan sekolah dan masyarakat apabila
menggunakan kursi roda manual.
V 1. Memerlukan kursi roda untuk melakukan segala
aktivitas dan memerlukan bantuan orang dewasa untuk
setiap perpindahan posisi.
2. Tidak mampu melawan gravitasi termasuk
mempertahankan kepala untuk tegak
12-18 I 1. Mampu berjalan di rumah, sekolah, di luar rumah, dan
tahun di masyarakat.
2. Mampu berjalan naik turun trotoar dan tangga
bertingkat tanpa bantuan fisik.
3. Mampu berlari dan melompat dengan kecepatan,
keseimbangan, dan koordinasi terbatas.
4. Mampu berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tertentu.
II 1. Menggunakan kursi roda untuk mobilitas jarak jauh di
luar ruangan.
2. Membutuhkan bantuan fisik ketika berjalan di
permukaan yang tidak rata.
3. Membutuhkan alat adaptasi ketika berolahraga
III 1. Mampu berjalan menggunakan alat bantu.
2. Memerlukan sabuk pengaman ketika duduk.
3. Memerlukan bantuan fisik ketika berpindah dari duduk
ke berdiri dan dari berdiri ke duduk.
4. Mobilitas di luar ruangan menggunakan kursi roda
5. Memerlukan bantuan fisik dan pengawasan ketat ketika
berjalan pada medan yang miring atau naik turun
tangga.
IV 1. Menggunakan mobilitas roda di sebagian besar
kegiatan.
2. Memerlukan tempat duduk adaptif.
3. Memerlukan bantuan fisik 1-2 orang ketika berpindah
posisi.
4. Memerlukan bantuan fisik atau mobilitas roda untuk
berjalan jarak pendek.
5. Dapat berjalan jauh dengan kursi roda bertenaga.
V 1. Memerlukan kursi roda manual untuk semua kegiatan
2. Tidak mampu mempertahankan gaya gravitasi kepala
dan batang tubuh serta memiliki kontrol buruk untuk
pergerakan lengan dan kaki.
3. Teknologi bantu digunakan untuk menegakkan kepala,
duduk, berdiri dan mobilitas.
4. Memerlukan peralatan adaptif untuk setiap aktivitas
dan bantuan.

H. DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis palsi serebral harus dilakukan secara hati-hati.

Diperlukan anamnesis yang teliti serta pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

neurologis yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis.10

1. Anamnesis

Harus dipastikan bahwa keterlambatan tersebut tidak memburuk

(progresif) atau berupa kehilangan kemampuan yang pernah dicapai

(regresi). Pada anamnesis perlu ditanyakan : 10

a. Riwayat pranatal (masalah pada masa kehamilan, misalnya penyakit

ibu, pajanan toksin, alkohol, narkoba, perawatan antenatal, gerakan

janin, dan riwayat trauma).

b. Riwayat perinatal (masa gestasi, cara persalinan dan presentasi bayi,

lama persalinan, berat badan lahir, skor Apgar, pH darah umbilikus,


komplikasi persalian, lama perawatan di inkubator, ada tidaknya

perdarahan intraventrikular, prosedur yang dijalani selama perawatan

misalnya ventilasi mekanik, continuous positive airway pressure,

extracorporeal membrane oxygenation, ada tidaknya masalah

minum).

c. Riwayat pascanatal (kernikterus, infeksi susunan saraf pusat).

d. Riwayat perkembangan (motorik kasar dan halus, bahasa, interaksi

sosial).

e. Riwayat lain (pola makan, riwayat tindakan bedah, kejang, ada

tidaknya gangguan pergerakan, pola miksi dan defekasi, ada

tidaknya masalah pendengaran dan penglihatan, riwayat imunisasi).

2. Pemeriksaan fisik dan neurologis

Pada pemeriksaan fisis ini dilihat keadaan umum anak, status gizi

anak Wajah diamati untuk melihat dismorfik yang mengarah kepada

sindrom tertentu seperti sindrom Down yang berisiko mengalami

keterlambatan perkembangan. Pemeriksaan mata dan telinga untuk melihat

apakah fungsi organ sensoris yang penting dalam perkembangan anak

normal atau tidak. Pemeriksaan kemampuan dengar dengan melihat reaksi

bayi terhadap suara keras, kemampuan mengikuti sumber suara sesuai

usia, reaksi ketika dipanggil nama dan ajakan bicara.3

Pemeriksaan neurologis difokuskan pada konfirmasi obyektif ada

atau tidaknya keterlambatan motorik, tonus otot, refleks primitif, reaksi


postural, refleks tendon, refleks patologis, pola gerakan, dan pola berjalan

(gait).3

Tonus otot dapat dinilai pertama kali dari observasi saat bayi

berbaring, adakah frog leg position dimana keempat ekstremitas

menempel pada alas periksa dan tidak tampak gerakan fleksi-ekstensi

tungkai melawan gravitasi. Bayi dengan tonus otot normal akan terlihat

aktif bergerak, fleksi-ekstensi ekstremitas secara aktif melawan gravitasi.

Tonus otot anak kurang dari 2 tahun diperiksa dengan melakukan

pemeriksaan:3

a. Respons tarikan untuk menilai tonus otot leher apakah masih terdapat

head lag atau tidak

b. Suspensi vertikal (anak dipegang pada kedua ketiak dan diangkat)

dilihat apakah bahu tetap terangkat, kepala tegak , anak dapat

mempertahankan posisi kepala, dan punggung dalam 1 garis lurus

serta dilihat apakah tungkai bawah terangkat dalam posisi fleksi.

c. Suspensi horizontal, anak dipegang di dada dan diangkat pada posisi

horizontal, disebut normal jika kepala tegak, ekstremitas terangkat

melawan gravitasi, disebut hipotonia jika kepala dan 4 ekstremitas

terkulai lemas membentuk huruf U, hipertonia jika keempat

ekstremitas tampak kaku ke bawah.

Jika anak sudah dapat berjalan perhatikan cara berjalan (gait),

apakah pola jalan yang kaku (spastic gait), kaki yang diseret sebelah,

mudah jatuh ketika berjalan/berlari. Saat berjalan dilihat adakah kelainan


bentuk kaki yang dapat menganggu proses berdiri dan berjalan seperti:

telapak kaki datar atau flat foot, bentuk kaki toeing-in. Untuk menilai

keseimbangan pada waktu bermain dilihat juga adakah tremor, dismetri,

badan miring pada waktu duduk dan gangguan koordinasi. Gaya jalan ini

tergantung pada keterlibatan kelenturan atau kontraktur otot yang berbeda

yang diamati pada anak-anak dengan PS.

Gambar 2. Pola berjalan pada anak PS tipe spastik hemiplegik13

Gambar 3. Pola berjalan pada anak dengan PS diplegik 13


Pemeriksaan refleks fisiologis (trisep, bisep, brakioradialis, patella,

achiles), refleks patologis Babinski dan klonus merupakan pemeriksaan

neurologis yang penting untuk menentukan apakah keterlambatan motorik

merupakan hal yang patologis disebabkan oleh lesi upper motor

neuron/UMN. Refleks Babinski disebut abnormal jika masih ditemukan

diatas usia 18 bulan. Pemeriksaan refleks primitif dan postural juga

dilakukan untuk menilai apakah refleks-refleks tersebut menetap atau

terlambat muncul.3

Selain itu CP dapat didiagnosis menggunakan kriteria Levine

(POSTER). POSTER terdiri dari:

P- Posturing/ Abnormal Movement (Gangguan posisi tubuh atau gangguan

bergerak)

O- Oropharyngeal problems (Gangguan menelan atau fokus di lidah) S-

Strabismus (Kedudukan bola mata tidak sejajar)

T- Tone (Hipertonus atau Hipotonus)

E- Evolution maldevelopment (refleks primitive menetap atau refleks

protective equilibrium gagal berkembang)

R- Reflexes (peningkatan refleks tendon atau refleks babinski menetap)

Abnormalitas empat dari enam kategori diatas dapat menguatkan diagnosis

CP.14

3. Penunjang

Pemeriksaan penunjang ultrasonografi, CT scan dan magnetic

resonance imaging (MRI) dibutuhkan untuk mendeteksi kelainan


anatomik intrakranial yang bermamfaat untuk menentukan etiologi,

menegakkan diagnosis, perlunya konsultasi genetik, maupun prognosis,

meskipun tidak mengubah tatalaksana. Saat ini MRI lebih disukai

dibandingkan pemeriksaan pencitraan lain karena lebih sensitif terutama

untuk menentukan etiologi dan waktu terjadinya kerusakan otak yang

mengakibatkan gangguan perkembangan. Dengan pemeriksaan MRI

dapat dilihat adanya kelainan pada substansia alba dan substansia grisea,

adanya malformasi, infark fokal, lesi kortikal dan subkortikal, serta

leukomalasia periventrikular. Hasil MRI yang normal dapat dijumpai pada

12-14% anak PS. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak

direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin dan hanya dilakukan bila

didapatkan bangkitan kejang.10,15


Gambar 4. Lesi otak pada PS pada pemeriksaan MRI8

Tidak ada pemeriksaan tunggal tertentu yang dapat menegakkan

diagnosis pasti PS. Algoritma pendekatan yang dapat digunakan dalam

menilai pasien PS dapat dilihat :10


Bagan 1. Alogaritma penegakan diagnosis PS10

Diagnosis palsi serebral ditegakkan berdasarkan adanya keterlambatan

perkembangan motorik. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan

kelumpuhan tipe upper motor neuron dan/atau adanya gerakan dan postur

abnormal serta refleks primitif yang menetap. Pemeriksaan ke arah metabolik

dan analisis genetik tidak rutin dilakukan kecuali bila didapatkan dismorfisme

atau adanya riwayat keluarga dengan keterlambatan perkembangan.10


I. TATALAKSANA

Tatalaksana PS bertujuan untuk memaksimalkan potensi fungsional

anak. Perlu diingat bahwa defisit neurologis pada PS tidak dapat diubah.

Namun demikian, perubahan kemampuan fungsional dapat terjadi, sehingga

perlu dilakukan penilaian ulang secara berkala baik oleh tenaga medis

maupun oleh keluarga. Tata laksana bersifat individual, bergantung pada

manifestasi klinis yang ada dan membutuhkan pendekatan multidisiplin yang

melibatkan bidang saraf anak, respirologi anak, gastroenterologi anak, gizi

anak, psikiatri anak, THT, mata, rehabilitasi medis, ortopedi, bedah saraf,

serta psikolog.15

1. Farmakologi

Obat-obatan yang dapat mengurangi keketatan otot dapat digunakan untuk

meningkatkan kemampuan fungsional, mengobati rasa sakit dan

mengelola komplikasi yang berkaitan dengan spastisitas atau gejala PS

lainnya.16

a. Injeksi botulinum toksin

Botulinum Toxin A adalah neurotoxin yang disuntikkan ke otot-otot

yang ditargetkan untuk mengatasi spastik dan distonia lokal pada

anak-anak dengan PS. Botulinum toxin A memblok pelepasan

asetilkolin, yang merupakan salah satu neurotransmiter utama di

neuromuscular junction dan menyebabkan kelumpuhan otot. Efeknya

biasanya terlihat dalam 12-72 jam setelah injeksi pada otot yang
terkena dengan efek yang bertahan selama 3-6 bulan. Oleh karena itu

diindikasikan untuk injeksi berulang.17,18

b. Baclofen intratekal

Penggunaan baclofen melalui intratekal memungkinkan konsentrasi

cairan serebrospinal (CSF) yang jauh lebih tinggi sambil mengurangi

kemungkinan efek samping umum yang berhubungan dengan

pemberian oral. Pompa baclofen ditanamkan secara subkutan di perut,

dan kateter yang memanjang dari pompa diposisikan secara intratekal

pada tingkat yang sesuai. 17,18

c. Injeksi fenol dan alkohol

Suntikan alkohol intamuskular dapat digunakan dalam pengobatan

anak-anak dengan PS untuk mengurangi spastisitas untuk beberapa

periode waktu, meskipun dilaporkan periode waktu ini akan berkurang

disetiap injeksi berikutnya. Fenol dapat disuntikkan untuk membantu

mengendalikan spastisitas lokal pada anak-anak dengan PS. Fenol

bertindak sebagai agen neurolitik kimia atau blok saraf,

menghancurkan sementara. Suntikan alkohol dan fenol menghasilkan

nekrosis neuron lokal akibat denaturasi protein. Efek awal setelah

tindakan injeksi alkohol dicatat dalam beberapa jam, berlangsung dari

2 minggu hingga 36 minggu. Onset dan durasi injeksi fenol bervariasi;

umumnya, durasi yang dilaporkan adalah antara 1- 36 bulan. 17,18

d. Obat oral
Obat oral adalah pengobatan sistemik, bukan fokal, untuk spastisitas

pada anak-anak dengan PS. obat oral yang umum digunakan pada

anak-anak baclofen, diazepam, clonazepam, dantrolen dan

Tizanidine.19

1) Baclofen oral

Baclofen mengurangi pelepasan neurotransmitter dan substansi P

dengan berikatan pada reseptor GABAB. Karena tindakan

utamanya adalah pada tingkat medula spinalis, baclofen sangat

berguna dalam mengobati spastisitas akibat gagguan pada medula

spinalis, seperti pada pasien dengan cedera medula spinalis dan

demielinasi mielopati. Dosis awal adalah 2.5 mg/hari, yang dapat

dititrasi secara bertahap hingga maksimum 20-60mg/hari,

berdasarkan respons terapi. 18,19

2) Diazepam dan clonazepam

Benzodiazepin telah terbukti mengurangi spastisitas umum,

hiperrefleksia, dan kejang otot yang menyakitkan. Peningkatan

juga terlihat dalam rentang pasif gerakan sendi dan gerakan

spontan. Diazepam telah terbukti meningkatkan tidur dan

mengurangi kecemasan. Diazepam telah digunakan dalam kisaran

dosis dari 1-10 mg per dosis yang diberikan 3-4 kali/hari.

Clonazepam cepat diserap setelah pemberian oral, memiliki

waktu paruh 18-28 jam, dan telah digunakan untuk mengurangi


kejang otot saat malam. Dosis pada anak-anak adalah 0,01-0,3

mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali/hari. 18,19

3) Datrolen

Dantrolene bekerja pada otot rangka untuk mengurangi spastik

dengan menghambat pelepasan kalsium dari retikulum

sarkoplasma, sehingga melepaskan sambungan listrik dari

kontraksi. Pada anak-anak, dantrolene dimulai dengan dosis

rendah, biasanya 0,5 mg/kgBB diberikan dua kali sehari,

meningkat 0,5 mg/kgBB setiap 5-7 hari hingga dosis maksimum

12 mg/kgBB/hari atau 400 mg/hari. 18,19

4) Tizanidin

Tizanidine memberikan efek antinosiseptif yang dimediasi oleh

pelepasan zat P dalam sumsum tulang belakang. Tizanidine

dimulai dengan dosis 1 mg yang diberikan pada waktu tidur untuk

anak di bawah 10 tahun dan 2 mg untuk anak-anak 10 tahun atau

lebih. Dosis pemeliharaan 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi empat

kali sehari. 18,19


Tabel 4. Antispasitas yang direkomendasikan oleh AAN15

2. Non Farmakologi

a. Fisioterapi

Fisioterapi harus segera dimulai secara intensif. Fisioterapi

dapat mencegah deformitas dan mengoptimalkan fungsi motorik dan

postur. Peningkatan kekuatan otot dicapai dengan melakukan jadwal

rutin yang secara progresif meningkatkan latihan yang melibatkan

semua kelompok otot utama. Latihan fisioterapi khusus dirancang

untuk meningkatkan keseimbangan, kontrol postural, gaya berjalan,

dan membantu dengan mobilitas dan transfer (misalnya dari tempat

tidur ke kursi roda). Pelatihan kekuatan fungsional dikombinasikan

dengan latihan plyometrik dan pelatihan keseimbangan telah

digunakan untuk meningkatkan fungsi pada anak dengan PS. 15,16

Sehubungan dengan latihan kekuatan fungsional, penelitian

telah menunjukkan bahwa menargetkan otot-otot spesifik paling


efektif dalam aktivasi otot. Sebuah penelitian telah menunjukkan

bahwa program trampolin bungee adaptif 12 minggu meningkatkan

kekuatan otot tungkai bawah. Program trampolin bungee ini termasuk

memantul, melompat, melompat dengan tumit, melompat dengan mata

tertutup, berlatih urutan melompat, dan permainan seperti dodgeball.20

b. Terapi okupasi

Terapi okupasi dapat membantu meningkatkan keterampilan

motorik. Fokus utama terapi okupasi adalah untuk meningkatkan

fungsi motorik halus dari ekstremitas atas untuk membantu anak

dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara lebih efisien.

Terapi okupasi juga menilai apakah peralatan adaptif dan teknologi

bantu dapat meningkatkan kemandirian anak. Contohnya : peralatan

makan khusus, saklar untuk mengakses komputer dan elektronik,

gunting adaptif dan peralatan menulis, dan adaptasi untuk pakaian

seperti tarikan ritsleting dan kait tombol. Terapi okupasi pediatrik juga

dapat memberikan constraint therapy, terapi sensorik integratif, terapi

terkait penglihatan dan terapi terkait makanan.16,

c. Pelatihan Treadmill

Pelatihan Treadmill sebagai intervensi untuk anak-anak dengan

PS untuk meningkatkan keseimbangan serta simetrisitas ekstremitas

bawah. Suatu penelitian telah menunjukkan bahwa 3-4 sesi per

minggu selama 3-4 bulan pelatihan treadmill pada anak di bawah usia

6 tahun dengan kemampuan rawat jalan menyebabkan peningkatan


kecepatan gerakan melangkah, serta kemandirian dalam berjalan kaki.

Pelatihan Treadmill membutuhkan waktu dan tenaga. Pelatihan gaya

berjalan robot telah terbukti mengurangi waktu dan beban kerja yang

terkait dengan pelatihan treadmill tradisional.19

d. Orthosis, peralatan adaptif, dan teknologi bantu

Dalam manajemen jangka panjang anak-anak dengan PS,

penting untuk menentukan berapa banyak bantuan yang dibutuhkan

setiap hari untuk fungsi yang optimal. Orthosis, peralatan adaptif dan

perangkat teknologi bantu digunakan untuk meningkatkan

kemampuan fungsional anak dan memfasilitasi kegiatan kehidupan

sehari-hari.19

e. Terapi Bicara-Bahasa

Gangguan pendengaran juga harus dideteksi sedini mungkin

agar intervensi dapat segera diberikan dan gangguan bahasa dapat

segera diatasi. Skrining pendengaran dilakukan pada usia kurang dari

6 bulan. Skrining pendengaran dapat menggunakan otoacoustic

emission (OAE), automated auditory brainstem response (AABR),

atau brainstem auditory evoked response (BAER atau BERA).15

Ahli patologi bahasa dapat membantu komunikasi antara orang

tua / pengasuh dan anak-anak bahkan ketika hanya ada sedikit ucapan

verbal. Terapi ini termasuk: keterampilan pra-bahasa (vokalisasi),

bahasa isyarat manual, gerakan, papan komunikasi gambar, dan/atau

perangkat komunikasi keluaran suara. Strategi untuk berkomunikasi


ini dapat mengurangi frustrasi anak, dan meningkatkan peluang

mereka untuk berekspresi sendiri.16,20

f. Pembedahan

Pembedahan dilakukan jika ada kondisi tertentu misalnya untuk

reposisi pada kontraktur atau spastisitas. Skoliosis dan dislokasi

panggul merupakan kondisi tersering yang memerlukan

pembedahan.15

g. Terapi Nutrisi

Pemberian terapi nutrisi yang adekuat pada pasien PS

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tata laksana

komprehensif PS. Pemberian asupan per oral lebih diutamakan pada

anak dengan palsi serebral yang tidak berisiko mengalami aspirasi.

Nutrisi enteral harus segera diberikan pada kasus disfungsi oromotor

yang rentan terhadap aspirasi atau kondisi anak PS yang tidak dapat

mencukupi kebutuhannya melalui asupan oral. Pipa nasogastrik hanya

digunakan untuk pemakaian jangka pendek, sedangkan penggunaan

jangka panjang disarankan untuk melakukan gastrostomi. Pemberian

nutrisi enteral secara bolus atau intermiten lebih fisiologis

dibandingkan pemberian kontinu.21

Modifikasi diet dengan memperhatikan densitas kalori serta

konsistensi yang sesuai dapat membantu meningkatkan toleransi dan

tercapainya target kenaikan berat badan. Pemantauan dan evaluasi

harus dilakukan secara berkala untuk mencegah terjadinya overweight


dan obesitas akibat pemberian pemberian makan berlebihan dan

rendahnya aktivitas pada anak PS.21

h. Pendidikan

Anak PS dididik di sekolah luar biasa atau di sekolah inklusi

sesuai kemampuan kognitifnya. Mereka sebaiknya diperlakukan sama

seperti anak lainnya, sehingga mereka tidak merasa terasing di

lingkungannya. Orangtua juga diedukasi agar jangan melindungi anak

secara berlebihan.15

J. DIAGNOSIS BANDING

1. Global developmental delay

Global developmental delay adalah keterlambatan yang bermakna

pada 2 atau lebih ranah perkembangan (motorik kasar/halus, kognitif,

bicara/bahasa, personal/sosial dan aktivitas harian), keterlambatan tersebut

terjadi dengan kualitas yang sama. Sedangkan pada PS keterlambatan yang

dominan adalah ranah motor, kalaupun terdapat keterlambatan ranah lain

seperti bicara atau kognitif, keterlambatan tersebut sebagai masalah yang

menyertai (komorbiditas).3

2. Kelainan bentuk kaki dan joint laxity

Keterlambatan motor yang terjadi sebagian besar pada tahap

perkembangan berdiri dan berjalan. Tahap perkembangan lain seperti

mengangkat kepala, tengkurap bolak-balik, berguling, duduk normal.

Kerap ditemukan adanya joint laxity (fleksibilitas sendi yang berlebihan),

yang sering ditemukan adalah di pergelangan kaki (ankle) yang


menyulitkan anak untuk berdiri lepas dengan posisi yang stabil. Jika anak

belum dapat berdiri dengan stabil tentu akan sulit mengembangkan

kemampuan berjalan.3

3. Spinal Muscular atrophy

Spinal muscular atrophy (SMA) adalah gangguan neuromuskular (lesi

LMN) yang kerap ditemukan sebagai penyebab keterlambatan motor pada

bayi dan balita. Spinal muscular atrophy terbagi 3 tipe yaitu: SMA tipe 1

adalah bentuk yang paling berat dan muncul sebelum usia 6 bulan, SMA

tipe 2 timbul usia 6 sampai 18 bulan, SMA tipe 3 timbul usia diatas 18

bulan.3

K. GANGGUAN PENYERTA PALSI SEREBRAL

1. Gangguan Nutrisi

Tidak optimalnya pertumbuhan dan status gizi anak PS telah

dilaporkan pada beberapa penelitian. Anak berkebutuhan khusus, termasuk

PS, berisiko mengalami kekurangan asupan oral akibat kelainan oromotor,

gangguan fase faringeal terkait aspirasi, dan kesulitan komunikasi yang

mengurangi kemampuan untuk meminta makan dan minum.Beberapa

gangguan lain seperti disabilitas intelektual, gangguan penglihatan dan

pendengaran, serta kejang juga berpengaruh pada derajat kesulitan makan

pada anak PS.15

2. Gangguan pendengaran

Lebih kurang 12% anak PS mengalami gangguan pendengaran.

Angka kejadian gangguan pendengaran lebih tinggi apabila etiologi PS


berkaitan dengan berat lahir rendah, kernikterus, meningitis neonatal, atau

ensefalopati hipoksik-iskemik. Gangguan pendengaran umumnya berupa

kelainan neurogenik pada persepsi nada tinggi, sehingga anak menjadi

sulit menangkap kata-kata. Gangguan pendengaran akhirnya juga

berdampak negatif terhadap perkembangan bahasa. Anak PS dengan

disabilitas intelektual dan pemeriksaan radiologis abnormal berisiko tinggi

untuk mengalami gangguan pendengaran. 15

3. Gangguan penglihatan

Hampir 20% anak dengan PS juga mengalami gangguan penglihatan.

Gangguan penglihatan dapat berupa strabismus, ambliopia, nistagmus,

buta kortikal, dan kelainan visus. Anak-anak PS dengan leukomalasia

periventrikular juga cenderung memiliki masalah persepsi visual. Skrining

penglihatan perlu dilakukan pada anak PS sehingga kelainan tersebut

dapat terdeteksi sejak dini.15

4. Gangguan kognitif

Sekitar 25% anak PS akan mengalami kesulitan belajar ataupun

disabilitas intelektual. Makin berat kerusakan otak, makin berat pula

gangguan kognitif. Sekitar 50% anak dengan PS spastik kuadriplegia

memiliki kemungkinan mengalami disabilitas intelektual.15

5. Epilepsi

Prevalensi epilepsi pada PS berkisar antara 15% sampai 60% dan

bervariasi menurut tipe PS. Epilepsi lebih sering terjadi pada PS tipe

spastik kuadriplegia dan PS yang disertai disabilitas intelektual.


Dibandingkan dengan kelompok kontrol, anak PS memiliki risiko lebih

besar untuk terkena epilepsi pada tahun pertama, mengalami status

epileptikus, serta memerlukan politerapi obat anti epilepsi.15

L. PROGNOSIS

Prognosis pada PS berhubungan dengan jenis dan tipe PS, fungsi

motorik, adanya refleks patologis yang menetap, dan komorbiditas yang

menyertai. Prognosis PS dapat diprediksi atas dasar klasifikasi kemampuan

motorik fungsionalnya berdasarkan sistem skoring gross motor functioning

measure (GMFM) untuk menentukan tingkatan gross motor function

classification system (GMFCS) pada gambar 4.

Gambar 4. Gross Motor Function Classification System (GMFCS) usia 6-

12 tahun8
Anak yang tergolong GMFCS level I dan II, yaitu yang dapat berjalan

tanpa alat bantu baik dengan atau tanpa keterbatasan, tidak akan mengalami

perburukan fungsi. Sebaliknya, anak yang tergolong GMFCS level III, IV,

dan V yang tidak mampu berjalan sendiri akan mencapai puncak fungsi

motorik kasar pada usia tertentu, diikuti penurunan fungsi. Apabila didukung

dengan perawatan dan tata laksana yang memadai, maka anak PS akan

memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Tata laksana anak PS sangat

memerlukan dukungan orangtua, sehingga orangtua juga perlu mendapatkan

informasi mengenai diagnosis, program terapi, dan kemungkinan hasil yang

dapat dicapaikemampuan motorik fungsionalnya berdasarkan sistem skoring

gross motor functioning measure (GMFM) untuk menentukan tingkatan

gross motor function classification system (GMFCS).

Gambar 5. Prediksi skor GMFM menurut usia sesuai tingkatan GMFCS15

Keterangan:

GMFM = gross motor functioning measure

Level I: mampu berjalan tanpa keterbatasan

Level II: mampu berjalan dengan keterbatasan


Level III: mampu berjalan dengan alat bantu mobilisasi digerakkan tangan

Level IV: mobilisasi mandiri dengan keterbatasan, mungkin dengan alat bantu bertenaga listrik

Level V: ditransport menggunakan kursi roda manual *) Skor GMFM pada GMFCS level III, IV,

dan V akan mencapai puncak pada usia yang ditandai garis putus-putus, kemudian menurun.
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. 2020. Cerebral Palsy (CP). https://www.cdc.gov/ncbddd/cp/index.html.


Accessed on July 2021.
2. Apriani FD. 2018. Deteksi Dini Cerebral Palsy Pada Bayi Sebagai Upaya
Pencegahan Keterlambatan Dalam Diagnosis. Gema Kesehatan : 10 (2).
3. Handryastuti S. 2016. Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Motorik pada
Anak. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Doctors Without Border: recent
Advances in Pediatrics IKA FKUI-RSCM hal 12-29. Jakarta : Universitas
Indonesia.
4. Soetomenggolo, T.S dan Ismael, S. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak,. Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI).
5. Indra RM. 2017. Infants At High Risk of Cerebral Palsy: Is Prevention
Possible?. Proceedings of Update in Child Neurology: Everything You Should
Know about Motor and Movement Problems in Children Page 44-53. Jakarta :
Universitas Indonesia.
6. Utomo AHP. 2013. Cerebral Palsy Tipe Spastic Diplegy pada Anak Usia Dua
Tahun. Medula. 1(4) : 25-34.
7. Jamika, L, Hallman-Cooper, Franklyn Rocha Cabrero. Last Update in NCBI
2021. Cerebral Palsy. NCBI.
8. Oka LAA, Soetjiningsih. 2000. Aspek Kognitif Dan Psikososial pada Anak
Dengan Palsi Serebral. Sari Pediatri. 2(2) : 109 – 11.
9. Anidar. 2017. Update on The Diagnosis and Classification of Cerebral Palsy.

Proceedings of Update in Child Neurology: Everything You Should Know

about Motor and Movement Problems in Children Page 54-65. Jakarta :

Universitas Indonesia.

10. Saharso D. 2006. Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Continuing

Education IKA FK UNAIR Hal 1-32. Surabaya : Universitas Airlangga.


11. Brandenburg JE, Fogarty MJ, Sieck GC. 2019. A Critical Evaluation of

Current Concepts in Cerebral Palsy. Journal Physiology. 34: 216–229.

12. Sarathy K, Doshi C, Aroojis A. 2019. Clinical Examination of Children with

Cerebral Palsy. Springer. 53 (1) : 35-44.

13. Selekta MC. 2018. Cerebral Palsy Tipe Spastik Quadriplegi Pada Anak Usia

5 Tahun. Majority. 7(3).

14. Nur FT. 2017. Comprehensive Management of Cerebral Palsy: an overview.

Proceedings of Update in Child Neurology: Everything You Should Know

about Motor and Movement Problems in Children Page 66-73. Jakarta :

Universitas Indonesia.

15. Mayo Clinic. 2021. Cerebral Palsy : Diagnosis and Treatment.

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/cerebral-palsy/diagnosis-

treatment/drc-20354005. accesed on July 2021.

16. NSW Health. 2018. Management Of Cerebral Palsy In Children-A Guide

For Allied Health Professionals : Guidline. NSW Government Page 1-113.

NSW Helath.

17. Delgado, MR, et al. 2010. Practice Parameter : Pharmacologic Treatment of


Spasticity in Children and Adolescents With Cerebral Palsy : AN Evidence-
Based Review. Neurology. 74 (4) : 336-343
18. Rana M, Upadhyay J, Rana A, Durgapal S, Jantwal A. 2017. A Systematic
Review on Etiology, Epidemiology, and Treatment of Cerebral Palsy.
International Journal of Nutrition, Pharmacology, Neurological Diseases.
7(6) : 76-83.
19. Patel DR, Neelakantan M, Pandher K, Merrick J. 2019. Cerebral palsy in
children: a clinical overview. Translational Pediatrics. All rights reserved.
20. Prawitasari T 2017. Masalah dan tata laksana nutrisi pada palsi serebral.

Proceedings of Update in Child Neurology: Everything You Should Know

about Motor and Movement Problems in Children Page 84-91. Jakarta :

Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai