2. Ya, model pembelajaran terpadu sesuai untuk anak kelas 1 SD, karena 3 alasan berikut:
a. Sesuai dengan cara belajar anak. Anak yang duduk di kelas awal SD adalah anak yang
berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini merupakan masa perkembangan yang
sangat penting dan sering disebut periode emas (the golden years). Siswa pada usia
seperti anak kelas 1 SD masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan, satu
keterpaduan (berpikir holistik) dan memahami hubungan antar konsep secara
sederhana. Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki struktur kognitif
yang disebut schemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil
pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek
tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep
yang sudah ada dalam pikirannya) dan proses akomodasi (proses memanfaatkan
konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Belajar dimaknai sebagai
proses interaksi anak dengan lingkungannya.
b. Sesuai dengan tahap perkembangan intelektual anak yang berada pada tahap operasi
konkret. Anak-anak belajar dari hal-hal konkret, yakni yang dapat dilihat, dapat
didengar, dapat diraba, dapat dirasa, dan dapat dibaui. Proses pembelajaran masih
bergantung pada objek-objek konkret dan pengalaman yang dialami mereka secara
langsung, di mana hal ini sesuai dengan falsafah belajar bermakna (meaningful
learning). Pembelajaran terpadu mengakomodasi kebutuhan anak untuk belajar dari
hal-hal yang konkret sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibu Pratiwi. Belajar
bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep
relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar
menghasilkan pemahaman yang utuh sehingga konsep yang telah dipelajari akan
dipahami dengan baik dan tak mudah dilupakan.
c. Saat proses belajar melalui pembelajaran terpadu, setiap anak, termasuk anak kelas 1
SD, tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi juga berupa
kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang lebih
utuh. Ini juga sejalan dengan falsafah konstruktivisme yang menyatakan bahwa
anak mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari
seorang guru kepada anak.