Anda di halaman 1dari 31

KORELASI STUDI ETNOMATEMATIKA DENGAN TRADISI SEDEKAH

LAUT (NYADRAN) DI DESA TRATEBANG WONOKERTO

Disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Tengah Semester mata kuliah

Etnomatematika Dosen Pengampu : Alimatus Sholikhah,M.Pd.

Disusun Oleh :

1. Nanda Atika (2619003)

2. Slamet Nisfu Siyam (2619016)

3. Shinta Amelia (2619029)

PRODI TADRIS MATEMATIKA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,

penyusun dapat menyelesaikan tugas penelitian yang berjudul “Korelasi Studi Etnomatematika

Dengan Tradisi Sedekah Laut (Nyadran) Di Masyarakat Desa Tratebang Wonokerto”.

Tak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Ibu Alimatus Sholihah, M. Pd.

selaku dosen pengampu mata kuliah Etnomatematika. Yang telah membentuk penyusun dalam

mengerjakan tugas penelitian ini. Penyusun juga mengucapkan kepada Bapak Casmari sebagai

narasumber dalam penelitian ini.

Tugas penelitian ini disusun guna memenuhi tugas Ujian Tengah Semester

Etnomatematika dan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

Etnomatematika di lingkungan tempat tinggal.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

penelitian ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat

mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan

penelitian ini.

Pekalongan, 11 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................................

KATA PENGANTAR........................................................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

1.3 Tujuan penelitian............................................................................................................. 2

BAB II KAJIAN TEORI DAN METODE PENELITIAN ............................................................ 3

2.1 Kajian Teori .................................................................................................................... 3

2.1.1 Etnomatematika...................................................................................................... 3

2.1.2 Pembelajaran Matematika ...................................................................................... 4

2.1.3 Tradisi .................................................................................................................... 4

2.1.4 Nyadran .................................................................................................................. 5

2.2 Metode Penelitian ........................................................................................................... 6

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 7

3.1 Kajian Historis Objek Penelitian ..................................................................................... 7

3.2 Studi Etnomatematika dari Objek Matematika ............................................................... 9

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 25

4.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 25

4.2 SARAN ......................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 26

LAMPIRAN..................................................................................................................................... 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak ragam budaya.

Keberagaman setiap masyarakat melahirkan sebuah indentitas, kebudayaan juga

menyimpan nilai-nilai kehidupan manusia, seperti lingkungan tempat tinggal.

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata buddyah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi (akal). Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai sesuatu yang

berkaitan atau bersangkutan dengan akal.1

Berdasarkan buku karya Harsojo, banyaknya ritual atau upacara sebuah tradisi yang

dilakukan oleh masyarakat terlepas dari adanya pengaruh budaya luar serta tantangan sosial

masyarakat. Artinya perubahan sosial dipengaruhi oleh perubahan masyarakat.

Masyarakat dan kebudayan keduanya tidak dapat dipisahkan karena masyarakat dan

budaya merupakan satu kesatuan dalam sistem sosial budaya. Keduanya melekat erat

dalam suatu kehidupan dan dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Tradisi yang

diwariskan leluhur Jawa sangatlah banyak, salah satunya tradisi sedekah laut (nyadran).

Tradisi ini bertujuan untuk ucapan rasa syukur atas hasil laut yang diperoleh masyarakat

setempat.

Dalam pembelajaran berbasis budaya menjadi suatu cara bagi siswa untuk

mentransformasikan hasil observasi ke dalam bentuk yang kreatif tentang bidang ilmu.

Salah satu bentuk pembelajaran berbasis budaya yaitu etnomatematika.2

1
Koentjaningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta : P. D Aksara, 1969), hlm. 76
2
Astri Wahyuni, Ayu Aji, dan Budiman Sani, 2013, Peran Etnomatematika Dalam Membangun
Karakter Bangsa, Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.Yogyakarta,09

1
Terdapat korelasi antara tradisi sedekah laut (nyadran) dengan pembelajaran

etnomatematika, seperti dalam kegiatan yang dilakukan, peralatan yang dibutuhkan,

maupun filosofi yang terkandung didalamnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan rumusan masalahnya,

yaitu sebagai berikut :

1. Apa saja etnomatematika yang dapat dihasilkan dari Tradisi Sedekah Laut (Nyadran) ?

2. Materi matematika apa yang terkait dengan Tradisi Sedekah Laut (Nyadran) ?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui etnomatematika yang dapat dihasilkan dari Tradisi Sedekah Laut

(Nyadran).

2. Untuk mengetahui materi matematika apa yang terkait dengan Tradisi Sedekah Laut

(Nyadran).

November, hlm.64

2
BAB II

KAJIAN TEORI DAN METODE PENELITIAN

2.1 KajianTeori

2.1.1 Etnomatematika

Etnomatematika terdiri atas dua kata yaitu Etno (budaya) dan matematika. atau

dalam arti sempitnya adalah matematika di dalam budaya. Etnomatika pertama kali

dikenalkan oleh D’Ambrosio (1989), beliau adalah seorang matematikawan asal

Brazil, menurutnya istilah etno menggambarkan semua hal yang berhubungan dengan

identitas budaya, misalnya bahasa, makanan, pakaian, jargon, kode, dan fisik.

Sedangkan untuk matematikanya mencakup tentang aritmetika, meng-klasifikasikan,

mengurutkan, menyimpulkan, dan modeling.3

Adapun pengertian etnomatematika secara umum yaitu cara-cara khusus yang

digunakan oleh suatu kelompok budaya atau masyarakat tertentu dalam aktivitas

matematika. Di mana aktivitas matematika adalah aktivitas yang di dalamnya terjadi

proses pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam

matematika atau sebaliknya, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung,

mengukur, merancang bangunan atau alat, membuat pola, membilang, menentukan

lokasi, bermain, menjelaskan, dan sebagainya.4

2.1.2 Pembelajaran Matematika

Pengertian pembelajaran menurut Thobroni (2016), merupakan suatu proses

belajar yang dilakukan berulang-ulang sehingga mengakibatkan perubahan perilaku

3
Silviyani Hardiarti, “Etnomatematika: Aplikasi Bangun Datar Segiempat pada Candi Muaro
Jambi”, Jurnal Aksioma, Vol. 8 No. 2, (November, 2017), hal. 100.
4
Sarwoedi, dkk “Efektifitas Etnomatematika dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman
Matematika Siswa”, Jurnal Pendidikan Matematika Raflesia, Vol. 3 No. 2, (Desember, 2018), hal. 173.

3
yang biasanya bersifat tetap.5

Menurut Heruman, matematika merupakan sesuatu konsep yang sifatnya abstrak

dan akan baru dipahami oleh siswa jika diberikan penguatan, agar mereka

mempunyai memori yang lebih dalam.6

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses atau kegiatan guru

matematika dalam mengerjakan matematika kepada peserta didiknya, yang di

dalamnya terkandung upaya guru untuk menciptakan iklim dan pelayanan

terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang

beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan peserta didik serta antara

peseta didik dengan peserta didik dalam mempelajari matematika.7

2.1.3 Tradisi

Menurut R. Redfield tradisi itu dibagi menjadi dua, yaitu great tradition (tradisi

besar) dan little tradition ( tradisi kecil). Tadrisi besar yaitu tradisi yang berasal dari

masyarakat yang memikirkan secara mendalam pada tradisi yang dimiliki, sehingga

mereka peka dan peduli dengan budaya mereka sendiri. Sedangkan tradisi kecil

berkebalikan dengan tradisi besar.8

Muhaimin (2017:78) menurutnya tradisi itu terkadang disamakan dengan kata-

kata adat dalam pandangan masyarakat dan dipahami sebagai struktur sama. Hal ini

bertujuan agar dalam tradisi, masyarakat mengikuti aturan-aturan adat.9

5
Thobroni,Belajar dan Pembelajaran Teori dan Praktek. Jakarta : AR-RUZZ MEDIA, 2016,
hlm.35.
6
Een Unaenah, dkk, “Teori Brunner pada Konssep Bangun Datar Sekolah Dasar”, Nusantara :
Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, Vol. 2, No. 2, Juli 2020, h. 330.
7
A Suyitno, Dasar-dasar Proses Pembelajaran 1, (Semarang: UNNES Press, 2004), hal. 2
8
Robert Redfield. Masyarakat Kebudayaan dan Kebudayaan, (Jakarta: CV Rajawali Press. 1999),
hal. 79
9
Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal : Potret dari Cirebon, Terj. Suganda
(Ciputat: PT. Logos wacana ilmu, 2001), hal. 11

4
Menurut Koentjaraningrat (1997: 29) tradisi adalah suatu kegiatan yang

bermanfaat dan berguna bagi kehidupan masyarakat, dimana keberadaan suatu tradisi

tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat.10

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tradisi merupakan warisan-warisan budaya yang

tetap bertahan hidup di masa kini dan yang masih kuat hubungannya dengan

kehidupan masa kini.

2.1.4 Nyadran

Nyadranan adalah salah satu warisan budaya dan keyakinan bahwa tempat-

tempat tertentu yang dianggap suci atau keramat . keyakinan ini sudah ada sejak

zaman nenek moyang atau sejak belum mengenal agama (animisme dinamisme).

Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

Dalam adat masyarakat Jawa, tradisi nyadran dilakukan setiap bulan sura.

Menurut Poerwadarminta (2007) nyadran berarti slametan (sesaji) ing papan kang

kramat (selametan memberi sesaji di tempat keramat). Atau dapat diartikan pula

sebagai selametan di bulan ruwah yang dilakukan untuk menghormati leluhur-

leluhur.11

2.2 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan metode eksplorasi,

observasi, dokumentasi, dan studi literature. Dalam penelitian ini tidak dimaksudkan untuk

menguji hipotesis tertentu hanya menggambarkan apa adanya suatu variabel, gejala, atau

10
Iin Afriani, Tradisi Nyadran Di Desa Ngasem Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara, Skripsi thesis,
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG, 2019, h. 20.
11
Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. (Jakarta: Balai Pustaka,2007) , hal.
259.

5
keadaan.12

Dengan bersumber pada literatur-literatur dari jurnal, buku, maupun ebook dapat

menambah sumber referensi dalam pembahasan dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tratebang, Wonokerto dengan mengambil objek

penelitian berupa Tradisi Nyadran (sedekah laut) di masyarakat sekitar.

12
Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendektan Praktek, Jakarta:PT. Rineka
Cipta, hlm 243.

6
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kajian Historis Objek Penelitian

Tradisi nyadran sudah ada sejak zama Hindu-Budha sebelum agama Islam masuk di

Indonesia. Zaman Kerajaan Majapahit tahun 1284 terdapat pelaksanaan seperti nyadran

yaitu tradisi craddha. Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur

yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk penghormatan terhadap

leluhur yang telah meninggal. Tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa

penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa selamatan. 13

Ada beberapa perspektif nenek moyang tentang sesaji dipersembahkan untuk

penunggu laut.

Menurut hasil wawancara dengan Bapak Casmuri selaku perangkat desa Tratebang,

Wonokerto menuturkan bahwa Tradisi Nyadran telah ada sejak zaman Nabi Adam a.s,

ketika Qabil sebagai petani dan Habil sebagai peternak. Keduanya akan dinikahkan oleh

Nabi Adam a.s. dengan saudara kandungnya sendiri. Qabil dengan adiknya Habil yang

bernama Labuda, sedangkan Habil akan dinikahkan dengan adiknya Qabil yang bernama

Iqlima. Namun, Qabil menolaknya dan terkena rayuan iblis. Akhirnya Nabi Adam

menyuruh mereka untuk memepersembahkan korban (sesaji). Saat itu Qabil yang bekerja

sebagai petani mempersembahkan hasil pertanian berupa gandum yang terjelek. Sedangkan

Habil sebagai seorang peternak mempersembahkan kambing terbaiknya. Disaksikan

seluruh keluarga Adam, keduanya mempersembahkan masing-masing hasilnya diatas bukit.

Dengan demikian, mereka telah mengenal ritual sesembahan namun dengan bentuk dan

13
Suyitno, Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger, Satu Buku,Tengger, 2021,
hlm.107

7
pelaksanaan yang berbeda.

Sedangkan di zaman Walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Alquran.

Masyarakat Jawa Kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada

dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Sebenarnya para walisongo

ingin melarang adanya kegiatan nyadran. Akan tetapi, tradisi tersebut telah melekat pada

masyarakat, sehingga adat dan tradisi ini masih tetap ada hingga sekarang, namun

dilaksanakan dan dalam bentuk yang sesuai dengan syariat Agama Islam dan

mempersembahkan rasa syukur pada Allah SWT.

Tradisi nyadran ini semakin lama semakin mengalami perubahan yang lebih baik

dibanding terdahulu. Pada zaman dulu, yang di larung adalah kepala manusia. Hal ini

terjadi karena adanya oknum – oknum tertentu yang sesat dan memanfaatkan tradisi ini

untuk melakukan perbuatan yang tercela, seperti penyembahan kepada makhluk halus,

pesugihan, dan sejenisnya. Akan tetapi semenjak Islam hadir ditengah – tengah masyarakat.

Yang pada mulanya menggunakan kepala manusia kemudian diubah dengan menggunakan

kepala hewan. Perkembangan pola piker masyarakat, sumber daya alam, dan perubahan

social masyarakatnya berhasil memperngaruhi perkembangan dan perubahan pada Tradisi

Nyadran.14

Nyadran atau tradisi sesaji ada berbagai macam bentuk. Seperti sesaji yang

diletakkan di perempatan jalan, sesaji yang berbentuk air gentong yang diletakkan di depan

rumah, maupun sesaji yang dilarung ke laut.

Tradisi nyadran atau sedekah laut sendiri mengalami perubahan setiap zamannya.

Dahulu tradisi ini merupakan ritual larung sesaji di laut dengan menggunakan kepala sapi.

14
Sri Widati, “Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan : Kajian Perubahan Bentuk
dan Fungsi”, Jurnal PP, Vol. 1, No. 2, Desember 2011, h. 142.

8
Namun, zaman sekarang telah diganti dengan kepala hewan, berupa kepala kerbau.

Alasannya, para masyarakat meyakini bahwa hewan tersebut yang paling kuat dan dapat

hidup dimana saja, baik di laut maupun di darat serta dapat membantu pekerjaan petani di

sawah.

3.2 Studi Etnomatematika dari Objek Penelitian

Etnomatematika sangat banyak ditemukan dalam suatu budaya tertentu, salah

satunya dapat ditemui pada objek kajian yang telah kami lakukan, yaitu Tradisi Nyadran

hasil penelitian ini, dapat ditemukan unsur etnomatematika dalam objek kajian yaitu

Tradisi Nyadran di Desa Tratebang, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan.

Tradisi sedekah laut atau nyadran adalah satu tradisi yang mana didalamnya terdapat

prosesi membuang atau yang dikenal dengan istilah melarung ke tengah – tengah laut.15

Tradisi upacara sedekah laut ini merupakan salah satu warisan Indonesia yang

berbentuk kegiatan upacara. Tradisi ini hanya dilakukan oleh sebagian masyarakat

Indonesiaa yang memiliki kepentingan tertentu. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh

masyarakat yang berada di daerah pesisir pantai, seperti di daerah Pesisir Wonokerto.

Upacara sedekah laut (nyadran) yang ada di Desa Tratebang, Kecamatan Wonokerto

diadakan setahun sekali, yaitu pada bulan Sura (Kalender Jawa). Tujuan pengadaan upacara

sedekah laut ini yaitu sebagai bentuk rasa syukur terhadap Allah SWT atas hasil laut yang

telah diperoleh karena mayoritas didaerah pesisir pantai masyarakatnya memiliki mata

pencaharian sebagai nelayan dan menjadikan laut sebagai sumber penghidupan. Selain itu,

dilakukannya sedekah laut yaitu untuk memohon keselamatan bagi para nelayan dan

keluarganya agar ketika melakukan tugasnya mencari nafkah dapat lancar tanpa gangguan

15
Sri Widati, “Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan : Kajian Perubahan
Bentuk dan Fungsi”, Jurnal PP, Vol. 1, No. 2, Desember 2011, h 143.

9
ataupun hambatan apapun.

Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, kami menemukan fakta mengenai Tradisi

Sedekah Laut (Nyadran) bahwa didalamnya terdapat unsur-unsur konsep etnomatematika.

Konsep-konsep matematika tersebut dapat ditemui mulai dari persiapan acara, penentuan

waktu pelaksanaan, alat dan bahan yang digunakan, sesaji yang akan dilarung, dan lain

sebagainya. Berikut konsep matematika yang kita temukan dalam Tradisi Sedekah Laut

(Nyadran) :

1. Persiapan Upacara

Masyarakat nelayan Desa Tratebang biasanya membutuhkan waktu selama

kurang lebih sejak satu tahun sebelum pelaksanaan, terutama persiapan mengenai dana

yang akan digunakan. Para nelayan umumnya memberikan iuran rutin setiap bulan

untuk menyambut upacara adat sedekah laut. Besarnya iuran dari para nelayan

tergantung hasil tangkapan atau pendapatan masing-masing nelayan. Persiapan upacara

adat sedekah laut sangat panjang dan sangat rumit. Hal ini karena membutuhkan banyak

sesaji untuk prosesi upacara sehingga peralatan yang dibutuhkan juga banyak. Seperti

dalam konsep matematika materi matematika keuangan.

Konsep matematika yang terkandung adalah Anuitas. Anuitas merupakan suatu rangkaian

pembayaran yang mana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan jangka tertentu. (Kellison,

1991).16 Anuitas atau yang dikenal dalam bahasa Latin yaitu Annus memiliki arti tahun,

merupakan pembayaran pada interval tertentu. Contoh anuitas yaitu pembayaran bulanan, tiga

bulanan, setiap setengah tahun, dan sebagainya. Anuitas ini ada dua jenisnya, yang pertama

adalah anuitas yang setiap periode pembayarannya adalah sama, sedangkan jenis yang kedua

16
Devni Prima Sari, “Variasi Pembayaran Anuitas dengan Pola Deret Aritmatika”, Jurnal LEMMA, Vol. 1,
No. 1, November 2014, h. 10.

10
yaitu pembayaran tiap periodenya tidak sama.17

Misalkan saja setiap nelayan memberikan iuran berkisar Rp50.000-Rp200.000 dalam

setiap bulannya. Seperti yang disajikan dalam tabel berikut :

Nelayan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Bulan 1 50.000 100.000 75.000 150.000 50.000 100.000 200.000 150.000 50.000 150.000

Bulan 2 50.000 100.000 75.000 150.000 100.000 90.000 50.000 150.000 100.000 100.000

Bulan 3 50.000 100.000 75.000 150.000 150.000 150.000 150.000 100.000 50.000 50.000

Bulan 4 50.000 100.000 75.000 150.000 75.000 150.000 100.000 100.000 200.000 100.000

Bulan 5 50.000 100.000 75.000 150.000 50.000 100.000 50.000 50.000 200.000 100.000

Bulan 6 50.000 100.000 75.000 150.000 100.000 50.000 100.000 100.000 50.000 100.000

Bulan 7 50.000 100.000 75.000 150.000 90.000 80.000 50.000 100.000 80.000 100.000

Bulan 8 50.000 100.000 75.000 150.000 100.000 150.000 50.000 100.000 90.000 100.000

Bulan 9 50.000 100.000 75.000 150.000 150.000 50.000 100.000 100.000 100.000 100.000

Bulan 50.000 100.000 75.000 150.000 100.000 50.000 75.000 100.000 150.000 100.000

10

Bulan 50.000 100.000 75.000 150.000 50.000 200.000 80.000 50.000 50.000 100.000

11

Bulan 50.000 100.000 75.000 150.000 200.000 50.000 100.000 200.000 50.000 100.000

12

Dari tabel hasil iuran diatas dapat dihasilkan jumlah total keseluruhan iuran yang

dilaksanakan oleh para nelayan setiap tahunnya yaitu sekitar Rp15.000.000 dalam satu tahun.

Dana yang dihasilkan tersebut dapat membeli berbagai peralatan dan mengadakan acara

seperti wayang kulit atau lainnya. Semakin banyak dana yang dihasilkan, semakin meriah

17
Ibid., h.10.

11
pula acara tradisi sedekah laut yang diadakan.

Jika dilihat berdasarkan datanya, maka dapat disimpulkan bahwa pembayaran atau

iuran ini merupakan konsep anuitas yang pembayaran tiap periodenya berbeda – beda. Hal

ini menunjukkan bahwa proses persiapan Tradisi Nyadran mengandung unsur konsep

etnomatematika.

2. Penentuan Waktu Pelaksanaan

Tradisi Sedekah Laut (Nyadran) biasanya dilaksanakan pada bulan Syuro atau

Ruwah. Mengenai penanggalannya ditentukan oleh ketua penyelenggara melalui

musyawarah bersama tokoh-tokoh masyarakat di daerah Wonokerto.

Musyarawarah ini dilakukan untuk menentukan tanggal dan hari baik agar

upacara Nyadran dapat berjalan dengan baik dan tanpa gangguan. Perhitungan

pelaksanaan waktu ini sesuai dengan konsep operasi matematika yang diterapkan

masyarakat Desa Tratebang dalam menentukan hari baik dengan menggunakan operasi

penjumlahan dan pembagian.18

3. Persiapan Peralatan

Dalam pelaksaannya, tentu suatu upacara harus mempersiapkan segala peralatan

yang diperlukan dalam proses upacara, begitupun dengan Tradisi Nyadran. Pada tradisi

ini ada banyak peralatan yang dibutuhkan, diantaranya :

a. Perahu tempel

Perahu tempel merupakan perahu yang digunakan untuk membawa sesaji

yang akan dilarung ke tengah laut. Perahu ini disebut dengan perahu tempel karena

perahu ini menggunakan mesin tempel. Perahu ini jika ditilik berdasarkan konsep

18
Setiawati, Riska and Sunarto, Sunarto and Yusra, Dela Amrina, 2020, “Identifikasi Unsur Matematika
dalam Kebudayaan Jawa yang Masih Digunakan di Desa Pasar Singkut Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun
Provinsi Jambi”, Skripsi thesis, UIN Sulthan Tahaha Saifuddin Jambi,hlm 2

12
matematika memiliki yaitu berbentuk seperti bangun datar.

Bangun datar merupakan bangun yang mempunyai bentuk dua dimensi

yaitu panjang dan lebar namun tidak memiliki tinggi dan juga ketebalan.19

Berdasarkan bentuknya, kami mneyimpulkan bahwa perahu tempel ini termasuk

kedalam jenis bangun datar trapesium. Sebagaimana dengan konsep trapesium yang

telah dijabarkan oleh Fara Virgianita Pangandonga yang menyebutkan bahwa

trapesium adalah segiempat yang memiliki dua sisi sejajar, yaitu sisi atas dan sisi

bawah.20

Gambar 1. Perahu tempel

Sumber : https://images.app.goo.gl/H2nSGttz7y6jz54f7

b. Ancak Bambu

Ancak merupakan alat yang digunaakan sebagai tempat atau alas sesaji

dalam proses pelaksanaan Nyadran. Alat ini terbuat dari anyaman bambu yang

memiliki bentuk segiempat. Hal ini sesuai dengan konsep matematika bangun datar

segi empat. Persegi merupakan segiempat yang memiliki sisi dan sudut yang sama

19
Een Unaenah, dkk, “Teori Brunner pada Konssep Bangun Datar Sekolah Dasar”, Nusantara :
Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, Vol. 2, No. 2, Juli 2020, h. 327.
20
Fara Virgianita Pangandongan, “Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar Terhadap
Segiempat”, Dwija Cendekia : Jurnal Riset Pedagogik, Vol. 3, No. 2, 2019, h. 148.

13
panjang.21

Gambar 2. Ancak Bambu

Sumber :https://images.app.goo.gl/Hv3uLkJDfRoxQX1F7

c. Jodhang

Jodhang ialah salah satu alat yang digunakan dalam Tradisi Nyadran.

Jodhang dalam nyadran merupakan wadah yang digunakan untuk tempat

mengantarkan benda - benda atau makanan dalam suatu upacara. Biasanya

jodhangterbuat dari kayu jati dengan warna dan motif yang memiliki makna

tertentu. Cara penggunaan alat ini yaitu dengan dipikul beberapa orang.

Jika dilihat, jodhang ini didalamnya terdapat salah satu unsur dalam

etnomatematika, jodhang memiliki bentuk yang serupa dengan konsep bangun

datar persegi panjang. Persegi panjang yaitu segiempat dengan sisi yang

berhadapan sama besarnya.22

21
Pangandongan, Fara Virgianita. 2019. Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar

Terhadap Segiempat”, Dwija Cendekia : Jurnal Riset Pedagogik, Vol. 3, No. 2. h. 150.
22
Ibid., h. 150.

14
Gambar 3. Jodhang

Sumber : https://images.app.goo.gl/BYpRZbFN8r6AZ4y19

d. Tampah/ tambir

Tampah atau tambir merupakan alat untuk meletakkan sesaji yang

berbentuk lingkaran dan terbuat dari anyaman bambu. Tampah memiliki ukuran

tertentu dengan diameter beragam. Biasanya tampah memiliki diameter sekitar 65 –

80 cm. Tampah juga bisa digunakan sebagai tempat tumpeng pada proses upacara

Nyadran. Alat ini masih banyak digunakan masyarakat Indonesia hingga sekarang

sebab harganya terjangkau dan praktis dalam penggunaannya.

Tampah memiliki unsur matematika berupa konsep bangun datar yaitu

lingkaran karena mempunyai ciri - ciri seperti lingkaran, salah satu cirinya

memiliki diameter.

15
Gambar 4. Tampah

e. Pengaron

Pengaron adalah alat yang digunakan dalam Tradisi Nyadran sebagai

tempat nasi. Pengaron terbagi menjadi dua macam, yaitu pengaron besar dan kecil.

Pengaron besar memiliki dimeter lingkaran atas sekitar 50 cm dengan tinggi 20 cm,

sedangkan pengaron kecil memiliki diameter sekitar 35 cm, dan tingginya 19 cm.

Pengaron ini terbuat dari tanah liat dan memiliki bentuk seperti kuali. Pengaron

memiliki unsur konsep matematika yaitu bangun ruang silinder.

Bagian ruang yang dibatasi himpunan titik – titik yang berada pada seluruh

permukaan bangun disebut dengan bangun ruang.23 Pengaron ini dikategorikan

kedalam bentuk silinder/ tabung karena memiliki ciri – ciri seperti tabung, yaitu

mempunyai dua sisi berbentuk lingkaran dan satu sisi lengkung, rusuknya terdiri

dari dua lengkungan, dan tidak mempunyai titik sudut.

23
Agus Suharjana, Mengenal Bangun Datar Ruang dan Sifat – Sifatnya di Sekolah Dasar,
(Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika,
2008, h. 26.

16
Gambar 5. Pengaron

Sumber : https://images.app.goo.gl/FfKJAMzpxLDCKQpy7

f. Takir

Takir terbuat dari daun pisang dengan bagian ujungnya ditusuk dengan lidi

kecil. Takir biasanya digunakan sebagai tempat makanan, seperti jenang, bubur,

nasi, dan lainnya. Takir memiliki makna filosofi yaitu kesederhanaan, kreativitas,

kemandirian. Takir memiliki bentuk persegi panjang sebagaimana dengan konsep

matematika yaitu bangun datar persegi panjang.24

Gambar 6. Takir

24
Dinas Pariwisata, Gelar BudayaTradisional Sedekah LautCilacap. (Cilacap : Dinas Pariwisata Cilacap,
1999), h. 78.

17
Sumber : https://images.app.goo.gl/rECgNqmzmdvxcRuN7

g. Centong

Centong merupakan perkakas rumah tangga yang digunakan untuk

mengambil atau mengaduk nasi saat memasak. Centong terbuat dari batok kelapa

dan kayu. Saat ini, centong tidak hanya digunakan untuk alat rumah tangga saja,

melainkan bisa untuk souvenir. Centong memiliki bentuk setengah bola

sebagaimana seperti konsep matematika bangun ruang setengah bola.25

Gambar 7. Centong

Sumber : https://images.app.goo.gl/7ULXkn6SFmxCDuZE6

4. Persiapan Sesaji

Selain persiapan peralatan, masyarakat di Desa Tratebang juga perlu

mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan digunakan untuk pelarungan ke

tengah laut, berikut persiapan sesaji yang dibutuhkan :

a. Kembang Telon dan Kembang Prapatan

Kembang telon merupakan salah satu bahan sesaji pada prosesi Tradisi

25
Lilyk Eka Suranni, “Peralatan Dapur Tradisional Sebagai Warisan Kekayaan Budaya Bangsa Indonesia”,
Jurnal Arkeologi Papua, Vol. 7, No. 1, Juni 2015, h. 56.

18
Nyadran. Telon dalam bahasa Jawa berarti terdiri dari tiga warna, sesuai dengan

jumlah kembangnya yaitu tiga jenis bunga, yaitu mawar merah, melati, dan

bunga kenanga. Kembang telon digunakan sebagai pengharum. Tiap-tiap

kembang telon memiliki makna masing-masing. Bunga mawar mempunyai

makna filosofi yaitu sanepa dilambangkan sebagai diperbolehkan untuk

memiliki pengharapan apa saja. Kenanga maknanya eling dilambangkan yaitu

pengingat kepada Sang Pencipta. Bunga melati melambangkan kesucian.

Adapula yang namanya kembang prapatan, yang terdiri dari lima macam

bunga yaitu kembang kanthil (cempaka), mawar putih, bunga sedap malam, dan

kembang melati gambir.

Kembang telon dan prapatan jika dijumlahkan menjadi tujuh rupa, atau

masyarakat sering menyebutnya dengan bunga tujuh rupa. Hal ini berkaitan

dengan materi operasi penjumlahan, yaitu tiga ditambah lima sama dengan tujuh.

Gambar 8. Kembang Telon

Sumber : https://images.app.goo.gl/J7PLceZhfDPSdMZT9

b. Jajan Pasar

Jajan pasar melambangkan harapan berkah dari Tuhan; ketan, kolak,

19
dan apem, poci, risol, kue lapis, nagasari, onde – onde, dan lain sebagainya.

Semuanya merupakan satu-kesatuan yang bermakna permohonan ampun jika

melakukan kesalahan. Aneka jajan tersebut memiliki bentuk yang beragam, dan jika

ditelusuri satu per satu bentuknya menyerupai konsep matematika bangun ruang.

Misalnya, onde – onde bentuknya serupa dengan bangun ruang bola, risol menyerupai

bentuk silinder/tabung, kue lapis seperti balok, kue poci berbentuk kerucut, wajik dan

jenang seperti belah kerupat dan terkadang berbentuk jajar genjang. Hal itu

menunjukkan bahwa jajan pasar mempunyai hubungan dengan konsep etnomatematika.

Gambar 9. Jajan Pasar

Sumber : https://images.app.goo.gl/hdtM9CdETxVVZUi99

c. Nasi, Lalapan, dan Lauk Pauk

Sebuah tradisi atau acara tentunya ada makanan yang bisa disantap

bersama-sama, hal ini juga berlaku pada saat acara nyadranan. Makanan yang

ada di acara nyadranan banyak sekali jenisnya, mulai dari nasi, ayam ingkung,

lalapan, dan masih banyak jenis lauk pauk. Saat acara makan-makan inilah yang

paling ditunggu oleh masyarakat. Nasi, lauk pauk, dan lalapan memiliki konsep

matematika berupa konsep pembilang, misalnya ½ , ¼ , dan seterusnya.

Selain itu, ketika proses pembuatan jamuan – jamuan ini juga

20
terkandung konsep etnomatematika, yaitu perkalian dan konversi satuan.

Tepatnya saat pengukuran berat dan jumlah makanan yang akan dibuat harus

diperkirakan sesuai dengan jumlah masyarakat yang ikut serta dalam Tradisi

Nyadran. Misalnya, ingin membuat 100 porsi untuk 100 orang maka perlu

mengkalikan sejumlah orangnya yaitu seratus. Saat meracik makanan juga aka

nada resepnya, dan bahan – bahan resep tersebut memiliki satuan berat,

contohnya 500 gram, 200 gram, 5 kg, dan sebagainya yang mana hal ini ada

didalam konsep matematika.

Gambar 10. Nasi Uduk

Sumber : https://images.app.goo.gl/hBaUuLiCLCB6uy6Y6

21
Gambar 11. Lauk Pauk

Sumber : https://images.app.goo.gl/s8M7oZAKmwf9r4qn9

Gambar 12. Lalapan

Sumber : https://images.app.goo.gl/KwAQ4Uci5XaqGMwk6

d. Kepala Kerbau, Kepala Sapi atau Kepala Kambing

Dalam tradisi nyadran kepala hewan tersebut memilki makna sebagai

kebodohan yang harus dibuang jauh-jauh. Dibuang ke laut karena menurut

masyarakat Jawa laut itu tidak ada ujungnya yang bisa mengalirkan sesuatu

sampai jauh. Kepala hewan tersebut jika diamati ternyata memilki konsep

matematika berupa satuan berat, karena tentunya kepala hewan tersebut memilki

ukuran yaitu berat.

22
Gambar 13. Kepala Kerbau dan Alat Timbang

Sumber : https://images.app.goo.gl/3Z18tpmhayg4Gw6P8 dan

https://images.app.goo.gl/GsXLZmGC2rVBWDF68

e. Pisang

Pisang yang harus ada di tardisi nyadranan, yaitu pisang sanggan dan

pisang raja pulut, pisang yang dipilih adalah pisang yang kualitasnya nomer satu,

maksudnya tua betul, tidak cacat, dan jumlahnya harus genap.

Dari penjabaran diatas penyusun dapat menyimpulkan bahwa kedua

pisang dalam tradisi nyadranan tersebut terdapat etnomatematika konsep

bilangan genap.

Gambar 14. Pisang Sanggan

Sumber : https://images.app.goo.gl/bwp4pWHzHjBau4bW7

23
Gambar 15. Raja Pulut

Sumber : https://images.app.goo.gl/gQBSS96tUPzmUXSs9

24
BAB IV

SARAN DAN KESIMPULAN

4.1 KESIMPULAN

Tradisi sedekah laut atau yang biasa disebut nyadran yang diadakan oleh masyarakat

Desa Tratebang, Wonokerto merupakan tradisi atau adat yang diselenggarakan masyarakat

nelayan Wonokerto satu kali dalam setahun, yaitu setiap Bulan Suro (kalender Jawa).

Upacara ini mengandung makna religius, yaitu sebagai bentuk rasa syukur atas hasil

tangkapan ikan nelayan dan permohonan do’a keselamatan serta kelimpahan hasil

tangkapan ikan pada tahun berikutnya. Upacara adat ini juga mengandung konsep

matematika didalamnya, seperti pada proses pelaksanaannya, peralatan, hingga sesaji yang

akan dilarung ke laut.

4.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari data-data di lapangan, pada

dasarnya penelitian ini berjalan baik. Namun bukan suatu kekeliruan apabila peneliti ingin

mengemukakan beberapa saran yang mudah-mudahan bermanfaat bagi kemajuan

pendidikan pada umumnya. Adapun saran yang peneliti ajukan adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya pada penelitian selanjutnya dapat memperdalam kembali mengenai

Korelasi Etnomatematika dengan Tradisi Nyadran (sedekah laut).

2. Hendaknya para peneliti selanjutnya lebih mengembangkan ruang lingkup penelitian,

mengingat penelitian yang dilaksanakan ini belum sepenuhnya bisa menggambarkan

tentang apa saja etnomatematika yg terdapat di Tradisi Nyadran.

Dalam proses pengumpulan data, hendaknya menggunakan teknik yang diperkirakan

dapat lebih optimal dalam mendapatkan data yang diperlukan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Afriani, Iin. 2019. Tradisi Nyadran Di Desa Ngasem Kecamatan Batealit Kabupaten Jepara.

Skripsi thesis. UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG.

AG, Muhaimin. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal : Potret dari Cirebon, Terj. Suganda.

Ciputat : PT. Logos wacana ilmu.

Arikunto, Suharsini. 2002, Prosedur Penelitian : Suatu Pendektan Praktek. Jakarta:PT. Rineka

Cipta.

Eka Suranni, Lilyk. 2015. Peralatan Dapur Tradisional Sebagai Warisan Kekayaan Budaya

Bangsa Indonesia. Jurnal Arkeologi Papua. Vol. 7, No. 1.

Hardiarti, Silviyani. 2017. Etnomatematika: Aplikasi Bangun Datar Segiempat pada Candi

Muaro Jambi. Jurnal Aksioma, Vol. 8 No.2.

Koentjaningrat. 1969. Pengantar Antropologi. Jakarta : P. D Aksara.

Pangandongan, Fara Virgianita. 2019. Konsepsi Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar Terhadap

Segiempat”, Dwija Cendekia : Jurnal Riset Pedagogik, Vol. 3, No. 2.

Pariwisata, Dinas. 1999. Gelar Budaya Tradisional Sedekah Laut Cilacap. Cilacap: Dinas

Pariwisata Cilacap.

Poerwadarminta. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Redfield, Robert. 1999. Masyarakat Kebudayaan dan Kebudayaan. Jakarta: CV Rajawali Press.

Sari, Devni Prima. 2014. Variasi Pembayaran Anuitas dengan Pola Deret Aritmatika. Jurnal

LEMMA, Vol. 1, No. 1.

Sarwoedi, dkk. 2018. Efektifitas Etnomatematika dalam Meningkatkan Kemampuan Pemahaman

Matematika Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika Raflesia, Vol. 3 No. 2.

Setiawati, dkk. 2020. Identifikasi Unsur Matematika dalam Kebudayaan Jawa yang Masih

26
Digunakan di Desa Pasar Singkut Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun Provinsi

Jambi. Skripsi thesis. UIN Sulthan Tahaha Saifuddin Jambi.

Suharjana, Agus. 2008. Mengenal Bangun Datar Ruang dan Sifat – Sifatnya di Sekolah Dasar.

(Yogyakarta : Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga

Kependidikan Matematika).

Suyitno, A. 2004. Dasar-dasar Proses Pembelajaran 1. Semarang: UNNES Press.

Suyitno. 2021. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger. Satu Buku: Tengger

Thobroni. 2016. Belajar dan Pembelajaran Teori dan Praktek. Jakarta : AR-RUZZ MEDIA.

Unaenah, Een. 2020. Teori Brunner pada Konsep Bangun Datar Sekolah Datar. Nusantara :

Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, Vol. 2, No. 2.

Wahyuni, Astri, Ayu Aji, dan Budiman Sani. 2013. Peran Etnomatematika Dalam Membangun

Karakter Bangsa. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. FMIPA

UNY.Yogyakarta

Widati, Sri. 2011. Tradisi Sedekah Laut di Wonokerto Kabupaten Pekalongan : Kajian

Perubahan Bentuk dan Fungsi. Jurnal PP, Vol. 1, No. 2.

27
LAMPIRAN

28

Anda mungkin juga menyukai