Anda di halaman 1dari 128

Mafia - 3

Chapter 1 – It Means Forever

ALYANATA

“IS it good?”
Radit ikut mencondongkan tubuhnya untuk
melihat layar handphone yang menampilkan foto yang
baru saja kami ambil. We agreed to take one, since this
moment happened once in a lifetime, with him, sitting
beside me, hugging me and kissing my temple, while
me—of course—showing my ring. Ditambah dengan
tawa bahagia yang tidak lepas dari wajah kami.
“The necklace and ring are seriously beautiful,”
ucapku terpana melihat foto kami berdua. Aku dan
Radit tipe pasangan yang jarang berfoto bersama dan
hanya di momen-momen khusus. Seperti kemarin
ketika kami merayakan ulang tahunnya dan ya
sekarang ini. “Thank you.”
“It’s beautiful because you’re the one who wearing
it, Yang,” ucap Radit sambil menatap handphone-nya
karena aku baru saja mengirimkan foto tersebut,
sementara sebelah lengannya yang sejak tadi tidak
lepas memelukku—kini menarikku lebih dekat dan
Mafia - 4
menyandarkan pelipisnya di kepalaku. “Can I upload it
on my IG?”
“I’m going to do the same thing. Kamu ngapain
pake izin segala, Dit?” Aku tertawa kecil.
“Because I think this will be the first time that we
expose each other on our social media, right?”
Aku mengangguk. Benar, sekalipun hubungan kami
sudah berjalan cukup lama—don’t count those three
months, please—tapi aku atau Radit memang belum
pernah membagikan apapun di social media tentang
kami berdua. Some people who didn’t really know us—
or outside our circle—still think that we are single.
Single dalam artian bahkan nggak punya pacar. Tapi
berhubung aku dan Radit sama-sama punya prinsip
bahwa hubungan itu bukan tentang orang lain harus
tau atau tidak, jadi kami nggak pernah ambil pusing.
We didn’t hide it, though. Kalau ada yang bertanya
secara langsung, aku dan Radit akan menjawab jujur.
Tapi kalau nggak ditanya, ngapain harus diumumkan ke
seantero dunia? Nothing to be proud of, yang ada ntar
diketawain anak ABG gara-gara umur segini tapi masih
bangga dengan status pacaran.
Ehm, umur segini versi Radit maksudnya. Sorry,
aku sih masih muda dibanding dia.
Mafia - 5
Tapi kali ini beda. Untuk sebuah momen yang tidak
akan pernah kulupakan seumur hidupku, untuk pria
pertama—selain Papa, tentu saja—yang memberiku
kebahagiaan lebih dari semua yang pernah kurasakan,
untuk seseorang yang tidak menjanjikan hal-hal muluk
namun memintaku untuk bisa terus bersamanya
apapun yang terjadi karena ia tidak akan
melepaskanku, kupikir itu cukup kujadikan alasan.
“But you haven’t upload it, though?” Aku
mengangkat alis ketika aku selesai meng-upload di
Instagram dan menemukan bahwa feed Radit belum
berubah sama sekali.
“Lagi ngirim fotonya dulu…” ucap Radit masih
sambil mengutak-atik handphone. Sementara aku
mengubah mode handphone-ku menjadi silent.
Bukannya sok ngartis atau apa, Cuma aku udah bisa
menebak bahwa nggak lama lagi aku akan menerima
beberapa ‘teror’ terutama dari beberapa orang yang
aku yakin akan melakukannya begitu mereka melihat
foto yang baru saja aku posting. Dan aku sedang tidak
ingin menghabiskan waktuku dengan handphone.
Tidak ketika kami sedang menikmati quality time
berdua saat ini.
Mafia - 6
Namun baru saja aku ingin menaruh handphone
kembali di atas meja, sebuah notifikasi muncul di sana
dan langsung menarik perhatianku.
“Kamu ngirim fotonya ke Mama?” tanyaku ketika
melihat dari layar notifikasi bahwa Mama baru saja
mengirimkan sebuah foto di grup keluarga kami. Aku
belum membukanya, tapi kurasa foto apalagi yang
Mama kirim selain ini?
“Mama yang mana?” tanya Radit sambil
memasang cengiran lebar di wajahnya.
Aku hanya menggeleng-geleng kecil mendengar
ucapan Radit. “Mamaku, Radit.”
“Starting from few hours ago, Tante Laras is soon-
to-be my Mom,” jawabnya dengan senyum jumawa.
Dasar! Pede banget jadi orang. “Kenapa emang?”
“Soalnya Mama ngirim sesuatu ke group WA kami
bertiga…” Aku menggantung kalimatku seraya
membuka notifikasi tersebut. “Apalagi kalau bukan
foto—WHAT?” Mataku seketika melebar. Aku
mengangkat wajah dan menatap Radit. Kontras
denganku, ekspresi Radit justru tersenyum penuh arti.
Di grup Whatsapp keluargaku yang isinya adalah
Mama, Papa, dan aku sendiri, Mama baru saja
Mafia - 7
mengirimkan fotoku dan Radit, disusul dengan info
tambahan di bawahnya.
‘Mama Laras added Praditya.’
And you know another surprise thing? Bukan
hanya satu notifikasi. Melainkan di atasnya pun ada
notifikasi baru—salah, grup baru lebih tepatnya. Titled
as ‘Biggest Fans of P&N’, yang isinya nggak lain dan
nggak bukan adalah lima keluarga inti Radit. Now it’s
six, dengan keterangan paling terbaru.
‘Tante Nadine added you’.
“Welcome, Alyanata. You should say it also to me,”
ucapnya tanpa sekalipun menghilangkan senyum di
wajahnya.
Aku menatap Radit, masih tidak percaya sekaligus
takjub dengan ‘pergerakannya’. “Mama sama Papa
udah tau rencana kamu? Tante Nadine sama Om Setyo
juga?”
Radit mengangguk dan mengulurkan lengannya,
membawaku ke pelukannya lagi sebelum ia menjawab.
“Udah, dong. Udah sejak dua minggu lalu mereka tau.
Aku ngomong sama Papa dan Mama sebelumnya.
Tentu saja mereka mendukung sepenuhnya. Papa
bahkan sempat-sempatnya nambahin di tengah-tengah
wejangannya kalau aku kelamaan geraknya. Kalau
Mafia - 8
Mama nggak usah ditanya ya, Ya. Mungkin kalau aku
bilang nikahnya mau besok, hari itu juga beliau booking
ballroom saking semangatnya,” terangnya, sementara
aku tersenyum geli mendengarnya. “And then the day
after that, aku ke rumah orang tua kamu. Pas kamu lagi
lembur malam itu. Remember when I said that I have
an occasion that night? Malam itu aku datang ke
Menteng. Minta izin buat ngelamar anak mereka satu-
satunya. Itu rasanya jauh lebih nervous dibandingkan
mau ketemu client super penting sekalipun, Ya. Untung
masih bisa ku-handle—semoga sih nggak sampai di-
notice Om Candra sama Tante Laras kalau aku nervous-
nya parah. But Thank God, I’ve managed to say it
clearly. Aku bilang niat aku kayak gimana, aku juga
bilang bahwa aku nggak bisa menjanjikan untuk selalu
bikin kamu bahagia—because we knew that life isn’t
always full of flowers—tapi aku janji untuk selalu
berusaha yang terbaik untuk kamu. Prioritize you in my
life, fulfilling my duty as your husband, making you
won’t ever regret it to live with me. That’s what I
promise to your parents. Orang tua kamu nggak
langsung menjawab sih, Om Candra dan Tante Laras
menanyakan banyak hal, but once again, I’m so
thankful with them, karena yang mereka tanyakan dan
mereka pastiin bukan Cuma tentang bagaimana kamu
nantinya, tapi tentang bagaimana kita berdua nantinya.
Mafia - 9
They included me in their thought, they make sure of
everything, not only about you but also me. Sampai
akhirnya mereka setuju dan mendukung sepenuhnya
niat aku ke kamu…” ucap Radit lagi dan kini
menatapku. “After almost three hours feeling nervous
endlessly, aku akhirnya bisa bernapas lega ketika Om
Candra dan Tante Laras ngasih restunya, Ya, they even
said how thankful they are to have me as a new family
member. Dimana sebenarnya justru aku yang sangat
berterima kasih ke mereka. Kamu anak satu-satunya, I
know it’s not easy to let someone else take a
responsibility over their precious daughter…”
Aku mungkin memang tidak berada di sana ketika
Radit bertemu dengan orang tuaku, namun dari
ekspresi dan cerita Radit, entah kenapa aku bisa
merasakan perasaan haru yang aku yakin juga Radit
rasakan. Aku mengerjapkan mataku, mencoba agar
tidak menangis sekali lagi. “Dua minggu lalu, you said?”
Radit mengangguk. “Sebenarnya beberapa hari
sebelum itu, pas lagi makan siang di PS, aku mutusin
buat beli cincin. Cuma berhubung waktu itu size yang
aku cari nggak tersedia, so I have to wait for two
weeks. Tapi nggak papa sih, biar pas sekalian sebelum
ultah kamu besok.”
Mafia - 10
“That’s also one of my question. Kenapa kamu
ngelamarnya harus sehari sebelum ultahku? I mean,
nggak sekalian dibarengin gitu?”
Radit tertawa kecil. “The answer is a bit cheesy, Ya,
to be honest. Actually, aku nggak tau sebenarnya
nyiptain momen yang pas untuk ngelamar kayak
gimana. Ya inipun kepikirannya tadi pas belanja di
supermarket.” Ia meringis ke arahku yang kubalas
dengan senyuman geli. “Tapi emang aku mau
ngelakuinnya hari ini. At least, sebelum jam dua belas.
Karena aku mau ngucapin ultah ke kamu bukan lagi
dengan status sebagai pacar, but as your husband-to-
be. Tuh kan udah kubilang cheesy tai kucing gini?” Ia
mengacak-acak rambutnya sendiri ketika melihat aku
menyipitkan mata. “Kalau aku ngelamarnya pas
ngerayain ultah kamu, itu namanya scene stealer, Ya.
Hari ultah kamu ya harinya kamu. Aku nggak mau
fokusnya teralih karena kuganggu dengan acara
ngelamar kayak gini. Ditambah lagi, kalau aku
ngelamarnya malam-malam pas pergantian hari,
kesempatan buat meluk kamu terus-terusan nggak bisa
lama-lama. Harus kepotong waktu tidur, kan? Ya bisa
sih lama kayak gini, kalau aku diizinin tidurnya di kamar
yang sa—“ Radit tidak melanjutkan kalimatnya karena
aku sudah keburu mencubit pinggangnya, yang justru
membuatnya malah tertawa puas. Untungnya ia buru-
Mafia - 11
buru menyerah dan membawaku kembali ke
pelukannya. “Changing the topic, Ya. Besok makan
malam ultah kamu bareng Om Candra dan Tante Laras
jadi?”
“Jadi.” Aku mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan
bagi keluargaku kalau ada yang berulang tahun maka
kami akan berkumpul untuk makan malam bersama. As
for this year, tentu saja Radit termasuk di dalamnya.
Radit tidak langsung menjawab, melainkan meraih
handphone-nya. Sekilas aku melihat tumpukan
notifikasi di sana yang aku yakin sebagian besar adalah
respon dari posting-an di Instagram. “Kamu
reservasinya di Vong Kitchen kan ya buat berempat?”
Aku mengangguk, masih bingung. “Kenapa
emang?”
“Nambah, ya. Udah confirmed. Jadi buat sembilan
orang.”
“Sembilan? Kok bisa?”
“Now we have two families, Ya. Hadiningrat dan
Widjayakusuma,” jawab Radit yang lagi-lagi
membuatku takjub. “Sebenarnya ini juga udah
direncanain. Naina sama Mas Gino bahkan udah
booking flight ke Jakarta ntar malam. Om Candra sama
Mafia - 12
Tante Laras juga udah tau. Cuma ya… gitu. Belum ada
yang pasti sampai mendengar jawaban kamu tadi.”
Aku lagi-lagi menatap Radit dengan tatapan tidak
percaya sekaligus menyerah. “Jadi kamu udah
ngerencanain sejauh ini bahkan sebelum kamu tau
kepastiannya?”
Radit mengangguk sambil nyengir. “Naina bahkan
udah siap-siap minta ganti rugi kalau-kalau dia keburu
ke sini di saat ternyata kamu nolak lamaranku tadi.
Fortunately, it didn’t happen—Thank God. Jadi yah…
begitulah. Life is always about taking a risk on every
step that we choose kan, Ya…”
“Okay…” Aku hanya mampu mengangguk dan
menerima, tidak berniat mendebatnya dengan segala
rencananya ini. Biarlah, yang penting kan ending-nya
sesuai dengan yang kami harapkan. Lagipula aku
berterima kasih karena dia menyusun segalanya
dengan sangat baik. Aku kembali melingkarkan
lenganku di pinggangnya ketika Radit memelukku lebih
erat lagi. “And since you’ve brought the topic about my
birthday, aku tau aku seharusnya nggak berkomentar
sekali lagi urusan kayak gini. But once again, I clearly
know about these two jewelries that I’m wearing right
now…” Aku sengaja memberi jeda di ucapanku. “Ini
Mafia - 13
hitungannya udah masuk hadiah ultahku, kan? Kamu
nggak akan ngasih hadiah lagi, kan?”
Radit berdehem pelan. “Eng… beda, Ya…”
Aku reflek menegakkan tubuhku dan menatapnya
dengan tatapan galak. “Are you crazy, Dit? Spending
your money like this at once only for me?”
Okay, once again, aku tau aku sebenarnya nggak
boleh mengomel seperti ini. This is a proposal ring, and
a necklace as a gift. Tapi, aku hapal betul jenis koleksi
yang ini. Aku bukannya mau mengatur keuangan Radit.
Nggak sama sekali. Aku nggak akan protes kalau
uangnya ia pakai untuk membeli barang yang ia
inginkan—termasuk jam tangan rasa mobilnya itu.
Uang dia, hak dia. Tapi ketika ia menggunakan hasil
kerja kerasnya itu untukku, tentu saja aku merasa
nggak nyaman. After all, harusnya dia bisa memakai
uangnya untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Radit lagi-lagi berdehem. “It’s more than just
‘worth it’, Ya. This happened once in a lifetime, kayak
yang kamu bilang. And we also want to give the best to
the one that we love, right? I’m doing it right now. Jadi,
nggak boleh protes. Ini aja aku udah diprotes sama
Naina waktu aku kirim foto cincinnya. ‘That diamond
isn’t big enough’, katanya. Tapi berhubung aku pilihnya
berdasarkan bayangan akan seperti apa di tangan
Mafia - 14
kamu, that’s why I choose this. Just like the necklace, I
fell for for the ring right when I saw it,” tambahnya, kali
ini diikuti dengan kecupan di pelipisku. Melihatku yang
belum menjawabnya, ia kembali melanjutkan
ucapannya. “Anggap aja impas dengan IWC yang kamu
kasih kemarin.”
Ada alasan lain memang kenapa aku agak ‘bawel’
dengan urusan kado ulang tahun ini. Karena sebulan
lalu, ketika ia berulang tahun, dia justru memintaku
agar tidak perlu memberinya apapun. Namun tetap
saja tidak mungkin kulakukan. I’ve bought him another
IWC. Itupun bahkan awalnya dia sempat bersikeras
untuk mengganti bill belanjanya yang tentu saja
kutolak mentah-mentah. Namanya juga kado, mana
ada kado di-reimburse? Dikira tagihan makan malam
bareng klien apa?
Ditambah lagi, dibandingkan dengan IWC
Portofino yang aku berikan kepadanya, rasanya tetap
saja masih nggak ada apa-apanya dengan dua
perhiasan yang tengah kukenakan sekarang—dan
entah kado apa yang akan ia berikan nanti. Like… oh
c’mon, bahkan tanpa perlu melihat katalognya sekali
lagi, aku sudah terlalu hapal dengan bentukan princess-
cut engagement ring ini. Gimana aku nggak pusing
mikirnya?
Mafia - 15
“I just really want to give you my best, Ya. Besok
kalau mau beliin aku IWC lagi juga boleh biar kamunya
seneng,” ucap Radit lagi sambil mengelus rambutku.
“Jadi… yang ini dipakai aja terus ya, Sayang. Nanti yang
buat jari manis tangan kanan baru kita cari bareng-
bareng.”
I’ve told you many times, he really knows how to
deal with me. Aku menengadah dan menatap Radit
yang juga balas menatapku sambil tersenyum bahagia.
“Thank you for making me happy,” ucapku tulus.
Radit memperpendek jarak di antara kami.
“Pleasure on me. And I’m willing to do it forever for
you…” ucapnya sebelum ia menunduk dan menciumku.
Mafia - 16

Chapter – 2 Crazily Irresistible

ALYANATA

“EH… ada calon manten!”


Aku yang tengah sibuk mengetik chat Whatsapp,
reflek mengangkat wajah dan melihat seseorang yang
baru saja memasuki lift di lantai enam menyapaku.
Salah satu AVP di divisi Internal Audit—Friska, if I have
to mention her name—yang juga merupakan teman
sekelasku saat di kelas development program. Aku
hanya tersenyum kalem—setengah meringis lebih
tepatnya—karena bukan Cuma aku yang ada di lift saat
itu, sehingga otomatis membuat beberapa orang yang
ada di sana ikutan menatapku.
“Lo ini ya… Adem ayem eh tau-tau begitu posting
foto sama cowok, langsung foto lamaran. Ckckck…”
Friska dengan semangatnya langsung berceloteh. “Gue
sama si Gia, waktu itu pas lagi makan bareng—“ Ia
menyebut salah satu AVP di divisi yang sama yang juga
kukenal. “—seketika heboh sendiri, tau! Alyanatais
taken, seketika jadi hari patah hati sedunia lah!”
Mafia - 17
“Hush, ngasal!” Aku hanya menggeleng-geleng
mendengar ucapannya yang berlebihan. “Hari patah
hati sedunia hanya berlaku enam bulan lalu. Waktu
Gefriska Ataya nikah,” ucapku sambil balik
menggodanya.
“Ish. Princess-nya kelas kita mah nggak ada
tandingannya!” tukas Friska tanpa ampun. “Eh tapi
seriusan, pas ngeliat fotonya laki lo, awalnya gue sama
si Gia kayak déjà vu gitu soalnya ngerasa familier.
Untung di group WA langsung ada yang bocor.
Pantesan aja familier, kita kan pernah papasan waktu
abis rapat di lantai dua itu. Yang pas lo selesai rapat
biweekly meeting project bareng Direksi,” sambungnya
lagi. “Tau nggak sih, gue udah penasaran aja anak lo
nanti bakalan kayak gimana secara ini calon emak-
bapaknya bentukannya udah cakep banget kayak gini.”
Aku hanya mampu tertawa pasrah mendengar
celotehan Friska sampai lift yang kami tumpangi kini
berhenti di lantai dasar. Kami berpisah di mesin absen,
karena Friska menuju ke lobby sedangkan aku berjalan
ke basement tempat mobilku terparkir.
Kurang dari satu jam kemudian setelah
meninggalkan gedung WideNation, aku sudah sampai
di Ivy, tempat di mana aku dan Radit janji untuk
bertemu malam ini. Dari kejauhan pun, aku sudah bisa
Mafia - 18
melihat pria yang tengah duduk di sana dan tengah
fokus dengan layar laptop di hadapannya. Sama sekali
tidak menyadari kehadiranku. Barulah ketika aku
menarik kursi di hadapannya, fokus Radit akhirnya
teralih. Ekspresinya yang sejak tadi serius kini berganti
menjadi senang.
“Aku pikir kamu masih di kantor.” Radit berdiri dari
kursinya untuk mengecup keningku sebelum kami
berdua duduk berhadapan.
“Meeting-nya selesai lebih cepet. Jadi begitu
selesai, langsung ke sini,” jawabku. “Mbak Mita belum
datang, kan?” tanyaku, menyebutkan person-in-charge
dari wedding organizer yang akan mengurus segala
rencana acara kami mulai dari lamaran sampai dengan
resepsi nantinya.
“Belum.” Radit mengecek IWC Ingenieur di
tangannya. “Janjiannya jam delapan, Yang. Setengah
jam lagi paling. Makan dulu aja.”
“Kamu juga belum pesen makan, kan?”
“Belum. Samain aja sama kamu, atau manapun
yang kamu mau pesenin,” jawab Radit. Since he’s not a
picky eater, jadi dia lebih sering membiarkanku
memilihkan makanan untuknya. “Ya, kamu ke Jogja jadi
kapan?”
Mafia - 19
“Jumat, jam sepuluh malam,” jawabku. Weekend
ini aku beserta Mama dan Papa akan ke Jogja
mengunjungi Eyang—dari pihak Papa—yang tujuannya
tentu saja adalah hasil dari makan malam dua keluarga
yang baru saja dilaksanakan minggu lalu. Eyangku
sendiri sudah mendengarnya lewat telepon, namun
tetap saja kami merasa tetap harus menyampaikan
secara langsung.
Radit menatap layar Surface sebelum kembali
menatapku. “My flight will be on Saturday morning. 7
AM.”
“Ke SG?”
“Ke Jogja.”
Gerakanku yang tengah membuka botol Equil
terhenti seketika. “Gimana?”
Radit menggeser laptop dari hadapan kami dan
kini mencondongkan tubuhnya, sementara matanya
berkilat senang. “Tujuan kamu k esana buat ngasih tau
Eyang sekaligus minta restu sebelum acara lamaran
resmi dilaksanain, kan?”
Aku yang masih bingung hanya mampu
mengangguk tanpa suara.
Mafia - 20
“Aku yang bakal minta restu beliau langsung, Ya.
Udah seharusnya kayak gitu,” ucap Radit dengan nada
yakin.
“Papa sama Mama tau?”
“Papa Mama siapa?” Sebuah cengiran seketika
muncul di wajahnya. Belakangan ini dia memang
sangat suka mempertegas hal-hal semacam ini.
Mentang-mentang pas makan malam keluarga
kemarin, kami berdua sudah dilarang memanggil ‘Om
dan Tante’ ke orang tua satu sama lain, that’s why he’s
enjoying it so much.
“Papa Candra, Papa Setyo, Mama Nadine, Mama
Laras.” Meskipun sambil memutar mata ke arahnya,
entah kenapa aku betah-betah aja meladeni
kekonyolan pria ini. “Kamu ini mainnya underground
banget ya? Jadi ini kamu bakal ke Jogja ketemu Eyang,
yang nggak tau Cuma aku dan Eyang doang?”
“Cuma kamu yang baru tau sekarang, lebih
tepatnya,” jawab Radit dengan senyum penuh arti.
“Eyang Ardhana udah tau kok aku bakal nyusul. Thanks
to Papa Candra dan Mama Laras yang memudahkan
segala urusan calon menantu kesayangannya.”
Astaga. Bahkan aku nggak bisa membantah
kalimatnya sekalipun kalimat itu dipenuhi kenarsisan
Mafia - 21
level dewa. Ya emang nggak salah sih. Gimana nggak
kesayangan kalau Cuma satu-satunya?
Namun di samping itu semua, apa yang baru saja
dia lakukan saat ini menurutku adalah hal luar biasa.
Sungguh, jika kupikir bahwa ia sudah melakukan hal
yang membuatku merasa dihargai adalah ketika ia
meminta izin ke orangtuaku lebih dulu sebelum
melamarku, ternyata aku salah. Nggak cukup hanya itu,
ia bahkan dengan sangat gentleman-nya akan meminta
restu langsung ke eyangku. Di mana mungkin
umumnya hal itu baru dilakukan ketika acara lamaran
resmi. But Radit is Radit. Yang selalu saja melakukan
hal yang tidak kuduga.
“It must be hard for you, Dit,” ucapku sambil
menatapnya terharu sekaligus berterima kasih. “I can’t
say anything but thank you.”
“No, it’s not hard at all, Ya. Itu namanya
kewajibanku sebagai calon suami kamu. Like I said, I’m
willing to do it wholeheartedly.” Ia balas menatapku
dengan tatapannya yang selalu berhasil membuatku
tenang. “Ngomong-ngomong itu ucapan kamu tadi
nggak mau diralat? Kamu bisa bilang yang lain selain
‘thank you’, lho…”
“Apa?”
Mafia - 22
“I love you.” Ia mengucapkannya dengan sangat
manis sehingga membuatku reflek ikut tersenyum.
“And let me answer it right away. I love you too…”
Mafia - 23
PRADITYA

“Udah selesai nervous-nya?”


Gue yang tengah mengemudi mobil meninggalkan
area Casa Grande di Jogja, melirik ke arah Alya yang
tersenyum di seat sebelah. “Udah sejak dikasih restu
sama Eyang Ardhana dan Eyang Inggrid tadi, nervous-
nya seketika itu juga hilang,” jawab gue sambil nyengir.
Bersamaan dengan otak gue yang seketika memutar
kembali apa yang terjadi pagi tadi di rumah Eyang
Ardhana.
Begitu gue landed, gue emang langsung ke rumah
beliau. Begitu gue dipersilakan masuk, Pak Ardhana—
iya gue awalnya manggilnya gitu, berhubung beliau kan
mantan direktur utama salah satu lembaga keuangan
pada masanya dan tentu saja gue sangat familier—
duduk di sana dan menyambut gue dengan ramah,
namun tetap terlihat tegas. Persis Om—eh—Papa
Candra waktu itu. Sejak di bandara Soetta sebenarnya
gue udah mulai nervous nggak jelas. Bahkan ketika
Alya menjemput gue di Adisucipto, bukannya hilang
malah justru makin nervous. Meskipun menurut Alya,
gue nggak ada tampang-tampang atau tanda-tanda
gugupnya sedikitpun. Malah kelihatan tenang dan
percaya diri. Meskipun emang sedikit lebih bawel dari
Mafia - 24
biasanya. Ya mohon maaf, gue kalau nervous
bawaannya emang ngebacot. Untung Alya sabar dan
tetap ngeladenin gue.
Baik banget, kan? Calon istrinya siapa dulu.
Eh, sampai mana tadi? Gini nih bawaannya kalau
mau jumawa urusan Alya. Kadang suka lupa topik
utama.
Jadi, begitu gue masuk, seperti seharusnya gue
tentu saja langsung menyalami kedua eyangnya Alya,
baru kemudian ke orang tuanya. Eyang Ardhana itu
persis Papa Candra. Dari cara ngomongnya aja, gue
udah langsung nge-fans. FYI, gue itu jarang nge-fans
sama orang. Kalau iya, biasanya alasan utamanya
karena mereka cerdas. Papa Candra dan Eyang
Ardhana termasuk di dalamnya.
“Dadi, niki remene Alya (Jadi ini pacarnya Alya)?”
“Nuwun, Inggih Eyang.”
Actually, gue tau Eyang Ardhana tipe orang yang
bicaranya pun flexible suka nyampur tiga bahasa—
Indonesia, Inggris dan Jawa, bahkan kalau gak salah
ingat Alya pernah bilang beliau juga bisa bahasa
Mandarin mengingat beliau dan Eyang Inggrid sama-
sama punya turunan tersebut—tapi berhubung
suasana saat ini sangat serius, gue tau gue harus pakai
Mafia - 25
bahasa apa. Apalagi kalau bukan krama. Inggil pula.
Dulu waktu kecil gue sering ngeluh betapa susahnya
belajar bahasa jawa dengan level krama, ngoko dan
sebagai-sebagainya. Sekarang gue baru sadar itu
penting. Terutama di saat-saat menghadap keluarga
calon istri gue kayak gini.
“Eyang sudah dengar tentang kamu dan Alya dari
Candra dan Laras. Katanya kamu sengaja datang
langsung mau ketemu Eyang.”
“Inggih, Eyang.” Gue mengangguk sekali lagi.
“Nyuwun ijin ngantosaken piyambak (Mohon izinnya
menyampaikan langsung).”
“Silakan, Nak.”
Gue yang awalnya duduk di sofa, berpindah posisi
dan duduk bersimpuh di hadapan Eyang Ardhana yang
duduk bersampingan dengan Papa Candra. Gue mati-
matian menjaga agar tetap bisa mengendalikan diri
dengan tenang. Nervous-nya udah level akut banget
sumpah waktu itu. Gue menarik napas dalam-dalam
sebelum mulai berbicara. “Dalem sowan wonten
ngarsanipun Eyang, dalah nyuwun pangestu badhe
nggarwo wayah eyang. (Saya datang di hadapan Eyang,
dengan maksud untuk memohon restu menikahi cucu
eyang).”
Mafia - 26
“Praditya Widjayakusuma, pertanyaan Eyang
Cuma satu. Sudah yakin mau hidup dengan Alya
sampai tua, sampai maut memisahkan?”
“Insya Allah yakin, Eyang.”
“Alyanata Hadiningrat,” Eyang Ardhana ganti
menatap ke Alya yang entah sejak kapan ikut duduk
bersimpuh di samping gue—membuat gue saat itu juga
merasa terharu sekaligus semakin yakin untuk semua
yang sudah dan tengah gue lakuin. “Sudah yakin mau
hidup dengan Radit, susah senang dijalani bersama?”
“Inggih, Eyang. Insya Allah.”
Eyang Ardhana selama beberapa saat menatap
gue dan Alya bergantian sebelum akhirnya bertukar
pandang dan senyum dengan Papa Candra. “Menowo
saling tresno, saling sayang, saling njogo tekan tuwo
kaken ninen, Eyang kanthi legowo maringi pengestu
kanggo sliramu kabeh. (Kalau saling cinta, saling
sayang, saling jaga sampai tua, Eyang ikhlas kasih restu
untuk kalian).”
Gila, bayangin aja, waktu Eyang Ardhana akhirnya
ngomong kayak gitu, seketika itu juga gue rasanya
plong abis. Beruntung tapi gue tetap bisa menjaga
ekspresi untuk tetap tenang, biarpun urusan senyum-
senyum bahagia nggak bisa gue tahan sih. But it’s halal
to smile blissfully, mengingat semua yang di sana juga
Mafia - 27
melakukan itu. Bahkan setelahnya, gue udah langsung
kayak dianggap keluarga sendiri. Begitu acara
ngomong-ngomong serius ini selesai dan dilanjutin
makan siang bareng, nggak butuh waktu lama gue
udah asyik mengobrol banyak hal dengan keluarga
Alya. Ngobrol dengan Eyang Ardhana dan Eyang Inggrid
mirip dengan ngobrol dengan eyang gue sendiri.
Mungkin itu alasannya gue ngerasa nyaman dalam
waktu singkat.
Well… dan mungkin juga emang udah jodoh.
Makanya dipermudah segalanya.
Eh, gue kedengeran songong, nggak? Nggak sih
harusnya. Fakta, kok.
“Ini kamu yakin nginapnya di hotel? Eyang tadi
bolak-balik nanyain kamu nggak nginep di rumah aja.”
Gue tersenyum sekilas ke arah Alya. “Kalau nurutin
kemauan sendiri ya aku sih dengan senang hati nerima
tawaran beliau, Ya. Cuma harus sadar diri, belum
pantes ngeiyain. Nanti aja kalau udah resmi jadi suami
kamu baru bisa.”
Alya balas tersenyum ke arah gue yang gue artikan
dia sependapat. “Hotelnya di mana?”
Mafia - 28
“Di mana lagi?” Gue menoleh ke arah Alya ketika
kami memasuki area parkir hotel. “The place when our
story has just started in this city.”
Alya tertawa kecil menanggapi ucapan gue. “Aku
drop terus aku balik ke rumah, kan?” tanyanya dengan
nada bercanda sembari kami berjalan menuju kamar
gue ketika selesai dengan urusan parkir dan check in.
“Sayang,” gue memasang ekspresi pura-pura
serius, sambil menge-tap access card di pintu dan
membiarkan Alya masuk lebih dulu. “Ini tadi kamu
diminta nemenin aku jalan-jalan, lho—meskipun aku
tau yang Jogja coret siapa dan yang orang Semarang
tapi lebih paham Jogja siapa—” tambah gue iseng yang
sukses mendapatkan cubitan di pinggang dari Alya.
“Emang kamu nggak denger kata Eyang Ardhana tadi?
‘Ajak Radit jalan-jalan keliling Jogja, kan kamu sendiri
jarang. Kalau balik Jogja, kerjanya Cuma di rumah aja
nempel sama Eyang Ardhana dan Eyang Inggrid. Jalan-
jalan sampai puas tapi jangan lupa balik ke rumah lagi
buat makan malam bareng.’ Berhubung ini masih siang,
Yang, jadi please ijinin calon suami kamu ini naruh
koper bentar.”
“Naruh koper aja, kan? Trus mau ke mana?”
“Di Jogja tempat yang dikunjungi nggak bakal
habis, Ya,” ucap gue lagi. “Tapi berhubung seperti yang
Mafia - 29
tadi aku bilang ini masih siang and we still have plenty
of times, so let me do this first.” Gue melangkah maju
dan memeluknya dari belakang. “Udah dari tadi
pengen meluk kamu tapi saking nervous-nya jadi lupa.”
Alya memutar tubuhnya dan balas memeluk
sambil menyandarkan kepalanya di dada gue. “Thank
you so much for coming, Dit. I am just so speechless by
seeing all of your efforts.”
“Like I said, worth it, Alya. Dapetnya kamu soalnya.
I have no complaint at all.” Gue mempererat pelukan
gue dan mengecup pelipisnya. “Shit. I can’t really wait
to call you Mrs. Praditya Widjayakusuma.”
Alya mendongak sambil meringis pelan. “Yang
bikin aku tau-tau dapat request di IG lima puluh lebih
dalam sehari hanya karena the most eligible bachelor-
nya GMG posting foto cewek pertama kalinya,
ditambah keterangan udah taken pula.”
“Oh ya?” Gue mengangkat sebelah alis. “Bagus,
dong. Biar orang-orang yang kepo pada tau secantik
dan se-‘princess’ apa calon istriku—“
“Hush. Dasar sombong.”
Gue tertawa geli. “Wajar, Sayang. Nyari yang kayak
kamu tuh susahnya minta ampun, harus nunggu
Mafia - 30
sampai umurnya sepertiga abad dulu baru akhirnya
ketemu.”
Alya menatap gue sambil menggeleng-geleng
pasrah. “Kamu ini… gimana para cewek-cewek sekitar
kamu itu dulu nggak melting seketika kalau dikasihnya
kalimat ala womanizer kayak gini mulu.”
“Mau sekalian ditunjukin ‘kelakuan ala womanizer-
nya’ juga, nggak?” tanya gue sambil mengedipkan
mata dan tersenyum penuh arti sebelum kemudian
menciumnya.
It always feels amazing whenever I kiss her.
Rasanya gue kayak abis diinjeksi obat pemberi rasa
senang dosis tinggi dan sensasinya luar biasa bahagia.
Sekaligus—okay ini jangan sampai Alya tau, sih. At
least dia baru boleh tau ketika gue sama dia udah
sah—gue kayaknya butuh diinjeksi obat penambah
rasa sabar juga. Bukan sabar karena emosi. Tapi ya…
Yah, you know lah.
Cowok, tiga puluh tiga tahun, udah tobat sejak
sekian lama. Paham kan? Iya udah dipaham-pahamin
aja kalau belum.
Awas kalau ada yang bocor urusan ini ke Alya. Bisa
habis gue dicubit sana sini. Apalagi kalau sampai Naina
yang tau, habis udah harga diri gue.
Mafia - 31
I’ve told you. Alya is crazily irresistible. In the past,
now, and in the future.
And that’s why I’m addicted to her.
Mafia - 32

Chapter – 3 One Step Closer

PRADITYA

KALAU gue pikir acara sakral itu Cuma pas akad


nikah nanti, ternyata gue salah besar. Bahkan di saat
baru acara lamaran resmi kayak gini, dari sejak
sebelum gue dan keluarga berangkat ke rumah Alya di
Menteng, di saat gue menjalani prosesi meminta doa
restu lebih dulu dan bokap memimpin untuk membaca
doa bersama, di situ gue bahkan udah bisa ngerasain
betapa sakralnya semua proses yang bakal gue jalanin
ini.
Dan ternyata suasananya semakin terasa begitu
gue sampai di rumah Alya. Meskipun acara lamaran ini
emang Cuma diperuntukkan untuk keluarga dan
beberapa sahabat kami, tapi tetep aja udah keliatan
rame banget begitu gue udah di sana. Fyi, gue
sebenarnya nggak terlalu paham dengan segala prosesi
adat. Kayak yang pernah gue bilang, gue masih ngerti
dikit-dikit kalau Jawa. Tapi ya Cuma dikit. Untunglah
keluarga gue dan keluarga Alya juga setuju untuk nggak
sepenuhnya harus mengikuti semua prosesi adat.
Mafia - 33
Mengutip kalimat para bokap dan eyang kami waktu
itu, ‘yang penting niat baiknya tersampaikan’.
Alya nggak ada di jajaran kursi keluarga
Hadiningrat. Kalau kata nyokap, ada moment-nya
sendiri emang dia bakalan masuk ketika acara udah
mulai. Ya gue sih manut aja, meskipun tetap penasaran
secantik apa dia dalam balutan kebaya yang senada
dengan batik gue yang berwarna crème dan putih ini.
Bener aja, begitu acara udah dibuka, barulah Alya
berjalan masuk didampingi oleh keluarganya—
entahlah, mungkin tante atau sepupunya, gue belum
begitu kenal—dan akhirnya duduk diapit oleh kedua
orang tuanya. Persis di hadapan gue. Kalau bukan
karena suasananya yang emang beneran lagi sakral,
mungkin gue udah terang-terangan memuji dia saat ini.
Sumpah, cantik banget. Gue bahkan kehabisan kata-
kata buat ngedeskripsiin dia. Yang bisa gue lakuin saat
ini hanya tersenyum ke arahnya ketika tatapan kami
bertemu, dan dibalas dengan senyum kalem darinya.
Gila, gue nggak paham lagi seberapa beruntungnya
diri gue. Gue bahkan nggak bisa mengalihkan tatapan
gue ketika MC acara menyerahkan microphone ke
gue—mempersilakan untuk menyampaikan secara
langsung niat gue, setelah tadi Mas Gino udah
menyampaikan kata sambutan mewakili pihak keluarga
Mafia - 34
Widjayakusuma dan juga udah direspon oleh salah
seorang sepupu Alya sebagai perwakilan keluarga
Hadiningrat.
Sambil mengucap bismillah dalam hati dan
menarik napas dalam-dalam, gue akhirnya
menyampaikan niat gue setelah sebelumnya membuka
dengan salam dan sapaan ke semua yang hadir di sana.
“…Saya, Praditya Nugraha Aldern Widjayakusuma,
putra dari Bapak Prasetyo Yudistira Arata
Widjayakusuma dan Ibu Nadine Anjani Ratmono,
dengan ini datang kemari bersama keluarga dengan
maksud menyampaikan niat tulus saya untuk
meminang Alyanata Rahayu Hadiningrat, putri satu-
satunya dari Bapak Arimukti Candra Hadiningrat dan
Ibu Larasati Thalia Ferrers.” Gue mati-matian menjaga
untuk nggak tercekat karena perasaan haru yang
seketika menyeruak dari dalam diri gue.
“Saya sadar bahwa saya tidak mampu menjanjikan
bahwa hidup saya dan Alya akan selalu bahagia ke
depannya karena kami tau perjalanan kami berdua
masih akan sangat panjang dan bahwa hidup tidak
hanya akan selalu diisi dengan kesenangan. Namun
saya berjanji akan memberikan semua yang terbaik
untuk Alya, sungguh-sungguh berusaha untuk
memberikannya kebahagiaan sekaligus bersama-sama
Mafia - 35
menjalani pahit dan manisnya perjalanan hidup di
masa yang akan datang, sampai tua, sampai maut
memisahkan kami, dan Insya Allah sampai kami
dipertemukan kembali di surga. Saya berjanji akan
menjadikan Alya prioritas hidup saya, membimbingnya,
menjalani kehidupan dengan tujuan lebih baik, dan
menyayanginya sepenuh hati tanpa henti. Oleh karena
itu, Insya Allah saya siap lahir batin untuk meminang
Alya jika kedua orang tua, para eyang, dan seluruh
keluarga mengizinkan dan memberikan restu.”
Di seberang, gue melihat Alya menyeka ujung
matanya, begitu pula dengan Mama Laras. Baru
kemudian setelah beberapa saat, Alya akhirnya terlihat
siap untuk menjawab.
“Saya, Alyanata Rahayu Hadiningrat, putri Bapak
Arimukti Candra Hadiningrat dan Ibu Larasati Thalia
Ferrers…”
Shit. Bahkan hanya dengan kalimat pertamanya
yang diucapkan dengan suaranya yang sangat lembut
itu seketika bikin gue merinding. “Dengan restu Bapak,
Ibu, Eyang, dan keluarga, dengan ini menerima
pinangan dari Praditya Nugraha Aldern
Widjayakusuma.”
Finally, setelah berjam-jam, gue serasa baru
menghirup oksigen lagi. Gue tersenyum ke arah Alya
Mafia - 36
yang kali ini juga dibalas dengan senyum lega—sama
seperti gue.
This is the prologue in our new chapter of life and
we glad that we’ve made it.
Gue dan Alya mengikuti segala prosesi lamaran
tersebut, termasuk acara pemberian seserahan dan
pemasangan (kembali) cincin oleh nyokap gue ke Alya,
baru setelah itu sesi foto-foto yang cukup panjang
mengingat keluarga gue dan keluarga Alya emang
cukup banyak. Ditambah lagi dengan para tamu yang
hadir.
Tapi, mau sebanyak apapun orang yang ada di
sekitar gue, mata gue tetap aja susah beralih dari calon
istri gue itu. Entah dia yang cantiknya parah atau gue
yang otaknya gak waras parah.
“Komuk lo, Bambang!” Ryan berbisik ke gue ketika
Alya tengah berfoto dengan sepupu-sepupunya.
“Dijaga tuh dijaga. Baru officially lamaran. Nggak usah
mesum gitu kalau ngeliatin calon istri lo. Sabar.
Perjuangan lo masih panjang.”
Ada security? Ini tolong temen saya satu dibawa
keluar aja. Kayak bangke soalnya.
Mafia - 37

Chapter 4 - Mutual Understanding

ALYANATA

AKU pernah mendengar orang bilang bahwa,


terkadang ketika kita akhirnya dipertemukan dengan
jodoh kita, segala urusan kita menuju ke step
berikutnya pasti akan dimudahkan, asalkan dengan
niat yang tulus dan sungguh-sungguh.
Kupikir mungkin memang ucapan itu benar
adanya.
Dari sejak Radit melamarku dan dilanjutkan
dengan berbagai hal yang kami lalui sampai saat ini,
aku dan Radit tidak mengalami kendala sedikitpun.
Bahkan ketika kami dibatasi oleh jarak—karena
beberapa kali Radit harus stay di Singapore—kami bisa
mengatasinya dengan baik.
Beruntung aku dan Radit sama-sama tidak
menuntut hal-hal yang terlalu spesifik untuk acara
pernikahan kami. We know this will only happen once
in a lifetime dan tentu saja kami ingin membuatnya
sangat memorable, tapi memorable tidak harus selalu
berarti serba ribet, kan? Thanks to both of our families,
Mafia - 38
yang juga membuat segalanya menjadi lebih mudah.
Kedua keluarga tidak menuntut banyak hal adatnya
harus seperti apa, temanya harus gimana, dan
sebagainya. Mereka sepenuhnya menyerahkan
keputusannya kepada kami. ‘We will support you, no
matter what your decision is.’ Itu yang mereka katakan
kepada kami.
“Akadnya nanti rencananya juga di Four Seasons,
Mbak?”
“Iya.” Aku mengangguk ke arah Mbak Mita,
wedding organizer kami, yang saat ini tengah duduk di
hadapanku sambil membahas pilihan dekorasi yang
akan kugunakan nantinya ketika kami bertemu di Sofia
malam ini. “Harinya sama sih, Mbak. Paginya akad,
malamnya lanjut resepsi. Beda ballroom aja.”
“Oke,” Mbak Mita mengangguk. “Kemarin aku
udah kirim kan ya katalognya yang buat dekor acara
akad sama resepsi. Nggak harus ditentuin sekarang sih,
Mbak. Cuma mungkin paling Mbak Alya bilang ke kita
aja dulu kira-kira dream wedding-nya mau kayak
gimana. Biar kita bisa bikin estimasi persiapan dari
sekarang supaya bisa terpenuhi semuanya pas hari H,”
ujar Mbak Mita lagi. “Kemarin Mas Raditnya bilang ke
kami kalau dia ngikut semua maunya Mbak Alya aja.”
Mafia - 39
“Radit udah ngasih tau budget dari kami berapa
nggak, Mbak? Kalau udah, mungkin bisa di-filter biar
saya pilihnya nggak kebanyakan.”
Mbak Mita dan asistennya berpandangan sambil
nyengir, yang membuatku mengangkat alis heran.
“Nah itu dia, Mbak. Kemarin waktu nanya Mas Radit,
dia bilang nggak pasang budget berapa. Katanya,
pokoknya ikutin semua yang Mbak Alya mau, Mas
Raditnya pasti oke.”
What the?! Ini si Radit perlu diingatkan sekali lagi
nggak sih kalau dia mau nikah? Bukan mau jadi
investor e-wallet pakai acara bakar-bakar duit segala.
Sebenarnya urusan budget acara pernikahan kami
ini memang aku tidak tahu-menahu. Ketika kami
membahas tentang ini di awal, Radit dengan sangat
hati-hati mengutarakan permohonannya. Permohonan
agar segala urusan budget biar dia yang tanggung.
Sebenarnya aku awalnya keberatan, namun Papa Setyo
dan Mama Nadine pun ternyata mengharapkan yang
sama. Sampai akhirnya berdasarkan pembicaraan
keluarga, kami setuju bahwa urusan budget akan
diatur oleh Radit, sementara dari orang tua Radit dan
orangtuaku tetap akan memberikan kepada Radit.
Alasan mereka berdua adalah karena ini acara
pernikahan terakhir dari masing-masing anak mereka.
Mafia - 40
Well, di kasusku bahkan pertama dan terakhir. Jadi
mereka meminta agar diizinkan ikut menanggung biaya
pernikahan kami. Kalau udah orang tua kami berdua
yang meminta seperti itu, mustahil rasanya aku dan
Radit menolak. Makanya akhirnya Radit setuju namun
dengan kesepakatan share terbesar tetap dari Radit
dan aku tidak diperkenankan merogoh kantongku
sendiri untuk acara ini.
‘Dipakai beli yang lain aja yang kamu pengen.
Enjoying your hardwork, Ya. Urusan biaya nikah kita,
percayain aja sama aku, Papa Setyo sama Papa
Candra.’
Makanya kenapa aku terkaget-kaget mendengar
fakta yang baru saja disampaikan oleh Mbak Mita. Ini
mau nikahan dimana sih? Himalaya?
“Hai, sorry, telat.” Sebuah suara yang sudah terlalu
kukenal membuatku menengadah diikuti dengan sosok
pria yang mengecup puncak kepalaku sebelum
kemudian ia menarik kursi sambil menyapa Mbak Mita
dan asistennya. Pria yang entah kenapa nggak terlihat
ada leceknya meskipun aku tau dia baru saja landed
setelah penerbangan dari SG dan langsung menuju ke
sini.
Mafia - 41
“Jadi udah sampai mana bahasnya?” tanya Radit
begitu ia selesai memesan makanan dan menatapku
dengan excited. “Udah pilih temanya, Ya?”
Aku sebenarnya ingin membahas perihal budget
tadi namun aku mengurungkan niat dan memilih
mengalah. Nggak adil rasanya kalau aku mengeluarkan
protes di saat aku sendiri sudah setuju memberikan
hak sepenuhnya untuk masalah ini ke Radit. Lagipula,
kasihan. Dia capek-capek baru landed di Jakarta lagi
setelah seminggu penuh yang pastinya melelahkan di
SG trus malah kujejali dengan omelanku yang juga
tidak akan mengubah apapun. Lagipula aku seharusnya
bersyukur diberikan rejeki seperti ini, bukannya malah
protes. Maka dari itu, yang kulakukan adalah
menggeleng dan tersenyum. “Nunggu kamu. Milihnya
bareng-bareng aja.”
Radit menatapku dengan kilatan senang di
matanya. “Yakin? Aku bawel lho, Ya.”
“Udah tau. Nggak usah dibilang,” ucapku reflek
yang dibalas dengan tawa geli dari Radit.See? It feels
much better to see him smiling back at me warmly
rather than putting him in a difficult situation just
because my childish problem.
Like he said, I am his home. And I will always make
it like that, for him.
Mafia - 42
For my husband-to-be that I love so much.
“Mbak…” Radit tau-tau bersuara ketika aku dan
Mbak Mita tengah membahas salah satu dekorasi yang
bertemakan modern romantic dengan hanging lights,
chandeliers, dan sebagainya, membuat kami menoleh
ke arahnya yang tengah memperhatikan sesuatu di
layar tab. “Nanti tetep boleh ditambah ini-itu kan ya?
Nggak harus plek-plekan ngikut yang di katalog ini?”
“Bisa dong, Mas. Ada personal request atau
preference-nya mungkin? Nanti biar kita catat dulu.”
Radit melirik sekilas ke arahku sambil memasang
cengiran di wajahnya. Membuatku seketika bisa
menebak kalau yang akan dia ucapkan pastilah bukan
sesuatu yang wajar. “Lighting-nya bisa dibikin biar saya
tetap keliatan ganteng dan seger sekalipun udah
berjam-jam berdiri nggak, Mbak? Apapun temanya,
yang paling penting itu dulu.”
Astaga! Ucapan penuh aura narsisnya bahkan
hampir membuatku menganga mendengarnya,
sementara Mbak Mita dan asistennya terkikik geli.
Mohon maaf, itu kalimatku tadi, jangan dikasih tau
ke dia dulu, ya. Dosis narsisnya lagi ketinggian
sekarang, bahaya kalau makin ditambah dengan
mendengar kalimatku tadi.
Mafia - 43
And can someone give me an aspirin, please?
Susah emang kalau punya tunangan jiwa womanizer
dan narsisnya sekuat ini. Harus banyak-banyak nahan
pusing.
Luckily, my love for him is infinite…
Mafia - 44
PRADITYA

“Ya…”
“Hm?”
Gue meletakkan paper cup kopi yang udah kosong
sambil menunduk dan tersenyum ke arah Alya. Tadi,
sepulang dari Sofia, seperti biasa gue tentunya akan
menghabiskan jumat malam gue di apartemen Alya,
dengan spot favorit kami di sofabed—and of course
while cuddling onto each other.
Seperti sekarang ini. Di saat gue tau mungkin
saatnya untuk membahas beberapa hal serius dengan
Alya yang sebelumnya belum sempat kami berdua
bahas sedikitpun.
“Setelah kita nikah nanti…” gue mulai membuka
topik pembicaraan. “Kita mau tinggal dimana? I mean,
ya aku tau homebase-ku akan tetap di SG dan kamu di
Jakarta. Tapi bukan berarti aku tinggalnya di sana, kan?
Kalau misalkan lagi project di Indonesia tentu aja aku
bakal tinggal lebih lama di sini. Atau bahkan sekalipun
nggak project, aku akan ke sini at least tiap weekend
atau bahkan kapanpun waktu yang memungkinkan…”
gue menatap Alya. “Kita punya dua apartemen, kan? Di
sini dan di Setiabudi. Which one do you prefer?”
Mafia - 45
Gue mengira Alya butuh waktu untuk berpikir,
namun ternyata sepertinya dia udah memikirkan hal ini
jauh sebelum gue. “Aku ikut maunya kamu, Dit. Kalau
kamu mau jadiin ini sebagai rumah utama, tentu saja
aku nggak keberatan. Tapi aku juga sama sekali nggak
keberatan kalau aku yang pindah ke apartemen kamu
di Setiabudi. I’ve been thinking about this dan
menurutku nggak ada masalah mau di mana aja.”
“Kalau aku ajak pindah ke Setiabudi, boleh?” tanya
gue hati-hati.
“Boleh. Nggak masalah sama sekali.” Alya
tersenyum. “Kamu ada saran unit yang ini bagusnya
disewain apa dijual aja?”
“Dibiarin kayak gini aja juga nggak papa, Yang.”
Gue mengelus rambutnya. “In case, suatu saat kamu
kangen ke sini, atau kita lagi pengen ganti suasana, bisa
ke sini kapan aja. But since this is yours, aku nyerahin
keputusannya ke kamu.”
“Kan nantinya jadi milik bareng-bareng, Dit. Segala
keputusannya harus persetujuan kamu juga.”
“Yang punya aku jadi milik bareng-bareng. Such as
that unit in Setiabudi, si RR, atau si Q7. Tapi, yang
punya kamu tetap punya kamu, Ya. Itu hak kamu, hasil
kerja kamu dan aku nggak akan protes untuk apapun
keputusan yang kamu ambil.”
Mafia - 46
Alya menatap gue sejenak sebelum menghela
napas—yang gue asumsiin dia memilih untuk menuruti
ucapan gue dibandingkan harus berdebat yang nggak
ada gunanya. Stok sabar dia emang luar biasa, sih.
Makanya gue cinta.
“Ya udah, untuk sekarang tetep kayak gini aja dulu,
ya. One day if I want to sell some of them, I will still ask
your permission. Sekalipun kamu bilang itu hak aku,
aku tetap berharap kamu ngasih pandangan kamu
juga. Okay?”
“Siap, Ya.” Gue mengecup puncak kepalanya
sekilas sambil tersenyum. Seperti yang gue bilang, gue
bener-bener kayak dikasih anugerah berlimpah sama
Tuhan. Dikasih pasangan yang nggak suka bikin ribet
apapun. Gue pernah bilang dulu-dulu jaman gue masih
pedekate sama Alya kan, ya? Terpujilah wanita kayak
Alyanata. Make our life much easier. Dan sampai
sekarang pun tetap kayak gitu.
“Kamu kayaknya masih ada yang mau diomongin,
right?”
Gue reflek nyengir mendengar tebakan Alya yang
tepat sasaran. Paling nggak bisa emang nyembunyiin
sesuatu dari calon istri gue ini. Dia selalu tau kalau ada
hal-hal yang terkadang gue rasa belum tuntas tapi gue
menahan diri untuk nggak bilang. Contohnya ya seperti
Mafia - 47
ini. Bukan karena gue nggak mau, Cuma… gue agak-
agak susah mau ngomongnya. Tadi aja mau minta dia
ninggalin apartemen ini trus pindah ke Setiabudi, gue
udah extra hati-hati banget nanyanya. Takut dia
tersinggung atau apa. Ya gue tau Alya bukan tipe orang
kayak gitu, tapi tetap aja kalau udah ngomongin aset—
dan berhubung ini pertama kalinya gue bahas topik
kayak gini sama Alya—ya emang termasuk topik yang
agak sensitif. Terutama ketika semua yang kita miliki
adalah sebagian besar dari hasil kerja keras kita
masing-masing.
“Ehm… aku boleh ngasih kado khusus as a wedding
gift, nggak?”
Alya tau-tau menegakkan duduknya dan menatap
gue dengan kening berkerut—yang seketika membuat
gue jiper. “What do you mean by ‘wedding gift’? Itu
seserahan, mahar, dan sebagai-sebagainya nanti
emang bukan wedding gift?”
Gue menggaruk kepala gue yang nggak gatal
sambil meringis pelan. “Itu kan yang wajib, Yang.
Maksudnya, yang buat honeymoon…”
Sebenarnya gue sama Alya juga sama sekali belum
pernah bahas tentang rencana honeymoon kami. Ya
gimana mau bahas, urusan nikah aja masih on
progress. Namun gue sebenarnya udah meminta
Mafia - 48
persetujuan Alya kalau honeymoon kami nantinya
persis setelah acara resepsi. Berhubung kami dan
keluarga setuju untuk mengadakan akad dan resepsi di
hari yang sama—biar jor-joran aja sekalian—makanya
gue merencanakan besoknya gue dan Alya bisa
langsung ngambil flight. Biar bisa lama nikmatin waktu
honeymoon sebelum cutinya keburu habis.
“Kenapa dengan honeymoon-nya?”
“Kalau aku yang atur boleh nggak? Ya semacam
pengen ngasih surprise ke kamu tujuannya nanti ke
mana. Kamunya tinggal terima aja. Accepting and
enjoying, lebih tepatnya.”
Alya menatap gue sejenak. “Jadi aku nggak
bakalan dikasih tau kita bakalan honeymoon ke
mana?”
“I want to make the destinations as a surprise
wedding gift. Gimana?”
Alya terdiam sambil terlihat menimbang-nimbang
penawaran gue. “But at least you have to give me a
clue. Kan nggak lucu kalau aku bawa baju yang nggak
sesuai dengan kondisinya nanti di sana.”
“Dibawa aja semua, Ya. Siapa tau kita butuh
semuanya nanti,” jawab gue sambil tersenyum penuh
arti. “Boleh ya, Sayang?”
Mafia - 49
Alya lagi-lagi menghela napas namun kali ini diikuti
senyum pasrah. “Ya udah, boleh. Jangan aneh-aneh aja
tapi ya idenya.”
“Nggak dong, it will be a beautiful honeymoon. I
promise.” Gue menarik Alya kembali ke pelukan gue.
“Thank you, Ya.”
“I also want to say the same thing. Thank you.” Ia
menengadah. “Mau bahas apa lagi?”
“Actually, we still have many things to talk about,
Ya. But we also still have plenty of time. Berhubung
seminggu nggak ketemu kamu, keinginannya untuk
ngomong panjang lebar kalah sama keinginannya buat
meluk kamu. Jadi ya udah, ngomongnya bisa kapan-
kapan lagi aja. Sekarang pengen meluk kamu aja dulu.”
“Dipeluk doang?” tanya Alya sambil menahan
senyum. Bikin gue jadi gemes sendiri ngeliat dia kalau
udah kayak gitu.
“Belum selesai itu ngomongnya, Sayang. Aku biarin
kamu ngehirup oksigen dulu banyak-banyak buat stok
biar ciumannya bisa la—“ Gue tertawa geli sekaligus
puas ketika melihat Alya Cuma bisa mencubit gue
dengan wajah memerah.
By the way, Alya pernah memberitahu gue sebuah
quote. Entah kenapa gue tiba-tiba mengingatnya
Mafia - 50
sekarang ini, ketika kami menghabiskan waktu dengan
perasaan bahagia saat ini, ketika gue menciumnya
dengan senyuman yang tidak lepas dari kami berdua,
dan bahkan ketika kami menghabiskan sepanjang
malam dengan menonton, kadang diselingi dengan
main game, sambil sesekali mengobrol hal-hal yang
nggak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa gue bisa
melakukan hal-hal seperti ini dengan seseorang,
dengan perasaan bahagia yang nggak bisa gue
ungkapkan.
Yeah, right. The saying is true.
“To be loved by the one you loved… is
everything…”
And she is my everything.
Mafia - 51

Chapter 5 - That’s What Friends Are For

PRADITYA
“SO, Schengen?” Alya bertanya sambil tersenyum
ketika kami berdua baru saja meninggalkan kedutaan
Perancis setelah selesai mengurus keperluan biometrik
visa siang itu.
“And another one which didn’t require Visa,”
sambung gue ikut tersenyum ke arahnya sementara
gue melajukan mobil menuju ke Monty’s untuk makan
siang sebelum gue mengantar Alya kembali ke kantor.
Alya memutar tubuhnya menghadap gue.
“Gimana? Europe is not enough for you?”
“As you’ve just heard during documents checking,
we will only visit two countries there. Since we have
two weeks for honeymoon, sayang kalau Cuma di dua
tempat itu Cuma di Eropa aja. I mean… ini bukan
pertama kalinya kita ke sana kan, so let’s give a chance
to other places, too.”
“Where?”
“I’m not telling you now, Yang.” Gue nyengir ke
arah Alya. “Kamu bakal tau kalau kita udah di bandara
nanti. Kalau aku kasih tau sekarang semuanya bukan
Mafia - 52
surprise lagi, dong. Ini aja terpaksa banget kamu harus
tau lebih awal demi kepentingan visa.”
Alya hanya tertawa kecil dan memilih untuk nggak
bertanya lebih lanjut tentang surprise dari gue. “Sabtu
pagi kamu bisa join apa nggak?”
“Ke designer, kan? Aku pasti ikut dong, Ya. Masa
nggak…”
Alya menatap gue dengan pandangan khawatir.
“Kamu kalau capek, istirahat aja dulu di rumah, Dit.
Beberapa minggu ini workload kamu parah banget.
Yang bagian kamu bisa nyusul kok.”
Gue kembali tersenyum mendengar ucapan Alya.
“This is our wedding, Ya. You and me. Aku juga mau
punya andil sama kayak kamu di sini. And the heavy
workload is just nothing compares to my excitement
for our wedding.”
Sebelah tangan Alya terangkat dan menyugar
rambut gue dengan lembut. “Baik banget sih, Dit.”
Senyum gue bertambah lebar ketika gue
mencondongkan pipi gue ke arahnya yang dibalas
dengan kecupan oleh Alya di sana.
“Ntar malam kalau nggak lembur jadi mau ke PI?”
tanya gue ketika kami akhirnya sampai di Monty’s. Gue
sama Alya sampai sekarang emang belum nyari cincin
Mafia - 53
nikah karena terlalu padatnya jadwal kami berdua
belakangan ini. Itupun malah baru keingatnya kemarin
banget. Untung gue lagi di Jakarta sampai seminggu ke
depan karena urusan kerjaan.
“Boleh. Aku sih kayaknya nggak ada deadline buat
hari ini, ya. Karena tadi datangnya jam delapan jadi
harusnya jam lima-an udah bisa balik. Kamu?”
Gue mengecek schedule di handphone sebelum
menjawab pertanyaan Alya. “Aku setengah enam
harusnya bisa selesai. Aku jemput jam enam ya di
kantor. Pulangnya ke Menteng?”
Alya mengangguk. Mendekati hari pernikahan
kami yang memang tinggal hitungan bulan, Alya lebih
sering menghabiskan waktunya di rumah orang tuanya.
Namanya juga anak satu-satunya yang bentar lagi mau
‘dilepas’, makanya mau quality time sebanyak-
banyaknya sebelum Alya berganti status. Biasanya Alya
balik ke apartemen pas weekdays, itu juga kalau gue
lagi di Indonesia. Because I will sleep there for one or
two nights, menggantikan ritual weekend kami yang
dihabiskan dengan orang tua masing-masing. Alya di
Menteng, gue di Bogor. Atau kadang kami saling
mengunjungi keluarga satu sama lain.
“Yaelah. Jauh-jauh gue dari Kuningan ke Senopati,
ketemunya Praditya lagi.”
Mafia - 54
Gue dan Alya reflek menoleh dan mendapati Ryan
dan Fanny yang baru saja masuk ke restoran dan kini
sudah berdiri di samping meja kami dengan cengiran
lebar. Sementara Ryan dan Fanny sibuk berkomentar
mengenai sempitnya dunia—dimana tentu saja gue
dan Alya punya istilah lain untuk itu—gue bergeser
agar mereka bisa bergabung.
“Kok kalian udah makan aja, sih? Perasaan gue
sama Ryan tadi bahkan udah lumayan cepet kabur
lunch break-nya tapi masih keduluan kalian.”
“Gue tadi izin bentar ke embassy, trus ya begitu
selesai pas jam makan siang,” jawab Alya begitu Ryan
dan Fanny selesai memesan makanan. “Ryan lagi
meeting di WN?”
“POC. Karena timeline cycle dua nya mundur jadi
tender-nya juga ikut ke-delay,” terang Ryan.
“Kapan keputusannya?”
“Lusa paling.” Ryan menjawab pertanyaan gue.
“Lo nggak ikutan lagi, Dit? Fully sama Ryan nih?”
“Masih, kok.” Gue mengangguk di sela-sela
kesibukan gue mengunyah makanan. “Cuma porsinya
nggak segede Ryan. Bagian gue di cycle dua Cuma satu
dari sekian scopes. Sisanya gue serahkan ke Bapak
Associate Partner kebanggaan kita semua.”
Mafia - 55
Ryan mendelik ke arah gue. “Untung ada calon
kakak ipar gue di sini, kalau nggak, makian gue udah di
ujung mulut banget ini.”
“Apanya yang calon kakak ipar? Alya lebih muda
kali dari lo!” protes gue seketika. Sementara Alya dan
Fanny hanya bertukar pandang sambil tertawa kecil.
“Ya lo-nya tapi kan lebih tua!” balas Ryan—bocah
banget emang kadang bahasan gue sama Ryan. Kayak
gini aja dibahas. “Lagian si Alya, lebih muda gitu tapi
tetep aja bikin gue takut.”
“Eh! Emang gue pernah ngapain?” Alya menatap
Ryan dengan tatapan protes namun sekaligus geli.
“Yang sering ngomelin lo tuh si nona ini, bukan gue.”
“Eh sorry nih, gue bukannya ngomelin. Nih bocah
aja emang tukang ngeyel.” Fanny segera membela diri.
“Tapi emang dia tuh kadang jiper sama lo, Al. Lo sih,
dingin banget kalau baru kenal.”
“Setuju.” Gue dan Ryan sontak mengangguk.
“Bener, Ya. Itu pengakuan jujur. Aku aja dijutekin pas di
grandkemang waktu itu…” gue buru-buru
menambahkan ketika Alya menatap gue dengan
tatapan ‘kamu-ngapain-ikut-ikutan’. Beruntung calon
istri gue yang cantik itu hanya bisa tertawa pasrah—
nggak protes sedikitpun.
Mafia - 56
Ya emang fakta sih. Dia pasti juga sadar. Gue
pernah bilang kan ya, kadang gue harus turun tangan
kalau ‘dingin’nya dia sama strangers kelihatan jelas.
Makanya sering dikira sombong. Ntar giliran kenal,
baru pada cinta.
Eh gimana? Kok seketika gue nggak terima sendiri
dengan kalimat terakhir gue.
“Resepsi kalian nanti pake tema apa jadinya?”
“Romantic modern. Ngikutin yang pas buat
princess,” jawab gue sembari mengedipkan mata ke
arah Alya. Sementara di samping gue, Ryan menoyor
gue pelan saking muaknya. Bangke emang.
“Lo nggak bakal nyanyi kan nanti, Dit?”
Si Onta! Gue memutar mata ke arahnya. “Ya kali!
Yang ada entar tamu undangan bukannya pada
terharu, gue-nya malah dicaci maki. Suara gue kan
biasa aja.”
“Pas-pasan. Bukan ‘biasa aja’. ‘Biasa aja’ mah
masih lebih tinggi derajatnya dibanding pas-pasan,”
ucap Ryan tanpa dosa. Sementara Alya dan Fanny lagi-
lagi hanya nyengir dan geleng-geleng mendengar
perdebatan kami berdua. “Baguslah. Kasian soalnya
tuh dekor udah bagus tapi dirusak sama suara lo.”
Mafia - 57
Ya Allah. Nasib buruk apa sih gue ini dapat sahabat
segininya banget kayak onta—eh bangke—eh bangke
onta, deh. Tapi berhubung yang dia omongin fakta, jadi
gue memilih menurut. Ya mau gimana? Suara gue
emang biasa aja—pas-pasan kalau kata si Ryan.
Makanya sejak kecil belajarnya main piano, bukan
nyanyi. Soalnya tau diri.
“Lo nyanyi tapi ya, Yan.” Meskipun nyebelin, gue
harus mengakui suara Ryan emang bagus banget
parah. Makanya womanizer-nya juga parah. Cewek-
cewek sekitar dia kan gampang luluh kalau denger
suara cowok bagusan dikit, apalagi kalau ditunjang
tampilan yang kayak Ryan.
“Iya, Yan. Please.” Alya ikut menyahuti ucapan
gue. Ini emang pernah gue bahas sama Alya. Meminta
Arrayan Kastara Airlangga nyanyi adalah salah satu to
do list untuk acara resepsi kami.
“Kalau udah bawa-bawa Alya dan nikahan lo, gue
nggak bisa nolak lah. Lagian keajaiban dunia bahwa
Radit akhirnya melepas masa lajang—dan ada yang
mau—ya worth it lah buat gue nyumbang suara…”
ucap Ryan dengan kadar kenarsisan tembus langit.
“Tagihannya tapi gue kirim nyusul ya. Satu lagu seribu
USD aja. Tarif asli gue mahal, cuy. Udah untung gue
ngasih harga temen.”
Mafia - 58
Gue menatap Fanny dengan serius. Satu-satunya
penyelamat umat manusia macam gue dan Alya dari
ketidakwarasan Ryan. “Fan, tolongin, Fan. Lo bikin dia
diam, apapun caranya. Lo tendang keluar juga boleh.
Gue ikhlas lahir batin.”
Mafia - 59

Chapter 6 - Canon in D

PRADITYA

“Gue belom juga ngucapin ijab kabul, Na. Udah


mewek aja lo…
Naina reflek memukul pelan lengan gue sambil
meraih tissue di sampingnya. “Gimana gue nggak
terharu, gue pikir gue masih harus nunggu sekian
tahun untuk liat lo pake baju kayak gini.”
Super sekali alasan nangisnya kakak gue ini. Cuma
karena adiknya bentar lagi mau akad nikah dan itu
lebih cepat dari perkiraannya.
“Ganteng, nggak?”
“Hush! Masih sempetnya lo narsis di saat kayak
gini. Nggak nervous apa lo? Bentar lagi mau jadi suami
orang.”
“Ya ini nervous parah makanya gue jadi banyak
ngomong,” ucap gue sambil meringis, bersamaan
dengan Papa dan Mama yang baru saja memasuki
kamar tempat gue menginap di Four Seasons sekaligus
tempat menunggu sebelum acara dimulai. Nggak lama
kemudian, kedua eyang beserta grandpi dan grandmi,
Mafia - 60
juga Mas Gino, ikut masuk dan berkumpul di sana. Gue
tau artinya. Bentar lagi gue harus turun ke bawah,
tempat akad nikah dilaksanakan. Ada hal yang harus
dilakuin lebih dulu. Gue nggak terlalu paham apakah ini
adat atau emang Cuma kebiasaan di keluarga gue aja,
yang jelas gue—sebagai yang akan menikah di sini—
akan meminta ijin dan restu lebih dulu ke para tetua—
eh nyebutnya apa sih? Intinya yang dituakan lah, ya.
Jangan tanya suasana di ballroom seperti apa
begitu gue sampai di bawah. Karena suasana sakral
yang gue rasain tiba-tiba jauh berkali-kali lipat
dibandingkan saat acara lamaran kemarin. Gue nggak
henti-hentinya menarik napas dalam-dalam, mencoba
untuk tetap tenang.
Di jajaran depan setelah para keluarga, gue
melihat beberapa teman dekat gue dan Alya udah di
sana. Keempat teman gesrek gue di GMG—yang tadi
bahkan udah sempat ke kamar gue lebih dulu, lalu ada
Arga dan Karin. Selain itu, anggota tim Alya juga ada di
sana dan beberapa yang gue kenalin sebagai orang
yang cukup dekat dengan Alya. Sementara setau gue,
Fanny dan Jane ada di ruang tunggu mempelai wanita.
Gue seketika merasa waktu berjalan sangat lambat
ketika akhirnya semua prosesi awal selesai gue lakuin
sampai akhirnya gue dan Pak—eh jadi salah manggil
Mafia - 61
saking groginya—Papa Candra kini duduk berhadapan.
Siap untuk ijab kabul. Nggak peduli seberapa dekat gue
dengan beliau sekarang, tetap aja situasinya sekarang
nggak memungkinkan gue untuk santai. Bahkan
sekalipun Papa Candra tersenyum menenangkan—
mungkin beliau sadar betapa gugupnya gue saat ini—
gue Cuma berharap semoga tadi pas gue balas
tersenyum, gue nggak keliatan kayak kambing dipaksa
nyengir.
Dan ketika akhirnya proses ijab kabul dimulai,
fokus gue benar-benar hanya di sana. Satu kalimat dari
Papa Candra dan satu kalimat dari gue dengan
sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, dengan lancar
gue ucapkan, bersamaan dengan perasaan haru yang
menyeruak begitu akhirnya gue mendengar ucapan
‘sah’ dari para tamu undangan.
Satu kalimat yang penuh janji, penuh tanggung
jawab, bukan hanya kepada diri gue, Alya, dan orang
tua kami. Tapi juga kepada Tuhan. Satu kalimat yang
dengan resmi mengubah status gue dan Alya menjadi
suami istri secara sah.
Gimana gue nggak seketika terharu? Bahkan di
saat gue membuka mulut mengucapkan kata pertama,
gue sadar betapa sakralnya ucapan ini.
Mafia - 62
Sambil menyeka air mata yang gak bisa lagi gue
tahan, gue menundukkan kepala dan ikut berdoa untuk
keberkahan keluarga gue. Keluarga gue yang baru.
Gue pikir nervous gue udah hilang sepenuhnya.
Tapi ternyata belum, terlebih ketika MC acara
mengumumkan bahwa mempelai wanita sebentar lagi
memasuki ballroom. Fyi, gue udah nggak ketemu Alya
dua minggu ini. Dipingit, istilah adatnya. Jadilah gue
dan dia tadi malam harus puas dengan video call—
padahal kamarnya Cuma beda lantai doang.
Bener aja, gue reflek menahan napas ketika calon
istri gue—eh istri dong sekarang—memasuki ruangan
dengan anggunnya. Gimana nggak anggun, dia pakai
baju adat kayak gini itu emang nunjukin sisi ningratnya
dia dengan sempurna.
Gue harus ngomong apa? Otak gue blank beneran.
Haru, kagum, takjub, senang, bahagia, udahlah itu
semua campur aduk.
Boleh sombong nggak sekali aja? Nggak usah
dinyinyirin tapi, maklumin aja namanya juga suami.
Istri gue cantik banget. Gue nggak bisa lagi
ngedeskripsiinnya. Kalau kadang gue bilang Ryan kadar
narsisnya tembus langit, buat Alya ya ini… kadar
cantiknya yang nembus langit udahan. Gue nggak bisa
berhenti tersenyum ketika dia akhirnya berdiri di
Mafia - 63
samping gue. Alya menatap gue dengan tatapannya
yang teduh, yang bisa gue rasain maknanya. Gue imam
dia sekarang, dan dia siap mengikuti langkah gue.
Gue pikir gue nggak akan berurai air mata lagi
setelah prosesi tadi. Ternyata gue salah. Karena saat
ini, ketika kami bersimpuh di hadapan kedua orang tua
dan memohon doa restu untuk keluarga kami yang
baru, disitu sekali lagi pertahanan gue runtuh—apalagi
Alya yang bahkan isakannya jauh lebih parah dibanding
gue. Ketika bokap dan nyokap memeluk gue,
mengucapkan syukur, mengucapkan terima kasih atas
kebahagiaan yang gue berikan kepada mereka, dan
memberikan gue pesan-pesan pendek namun sangat
bermakna dan akan terus gue ingat. Begitu pula ketika
gue memohon restu di Papa Candra dan Mama Laras,
tangis gue pun masih tetap nggak tertahankan. Semua
yang mereka sampaikan, persis seperti apa yang bokap
dan nyokap sampaikan.
“… Mama dan Papa titip putri satu-satunya yang
Mama lahirkan dengan susah payah, Radit. Tolong
saling jaga, saling mencintai tanpa henti, ajarkan dia
hal-hal yang baik, bimbing hidupnya untuk tetap di
jalan yang benar. Saling menerima kekurangan satu
sama lain. Saling mendoakan satu sama lain. Mama
dan Papa akan selalu berdoa untuk kalian berdua.
Kalian, anak-anak yang akan selalu kami sayangi…”
Mafia - 64
Dan gue tau, janji gue ke para orang tua, ke Alya,
ke diri gue, dan kepada Tuhan bukan sekedar ucapan
belaka. I know, starting today, I have more
responsibilities. Gue akan selalu berupaya sebaik
mungkin menjalankan tanggung jawab gue.
“Bantu aku ya, Ya, untuk memberikan sebaik-
baiknya buat keluarga kita…” ucap gue lirih, masih
diliputi perasaan haru ketika kami selesai dengan
segala prosesi akad nikah dan adat ini.
“I will. I promise. You have me on your side, Dit.
Always and forever.”
And just like what Herman Hesse ever said…
If I know what love is… it is because of her.
Mafia - 65
ALYANATA

Kalau ada yang bertanya apakah aku tidak lelah


sedikitpun karena sejak pagi tadi sampai malam ini
belum beristirahat sama sekali, jawabanku nggak.
No, I don’t feel tired at all. Satu-satunya kata yang
mewakili perasaanku saat ini adalah bahagia.
“Mau pingsan deh gue liat lo cantiknya super
parah ini, mau pakai baju adat kek, mau pakai wedding
dress kayak gini, yang ada makin cantik aja lo jadinya.
Bagi-bagi ke orang napa,” komentar Fanny ketika aku
tengah bersiap-siap melangkah masuk ke ballroom
tempat resepsi akan diadakan malam ini.
“Ngasal. Ini mah emang gaunnya yang cantik
banget,” ucapku. Ya emang bener, aku aja sampai
nggak berhenti terkagum-kagum tadi ketika melihat
gaun pengantin dari Biyan yang kukenakan sekarang.
Aku sengaja memilih yang modelnya cukup simple, tapi
detail gaunnya tetap membuatnya terlihat sangat
mewah dan elegan. Ditambah lagi warnanya adalah
perpaduan crème dan putih yang merupakan warna
favoritku.
“Ah gue sih tau lo-nya nggak fokus ke diri lo sendiri
makanya nggak nyadar. Lo terlalu sibuk mengagumi
Mafia - 66
suami lo yang Masya Allah ganteng dan makin shining
itu mentang-mentang aura pengantinnya keliatan
banget, kan?”
“Woy, ah!” Aku tertawa sambil menggeleng-
geleng ke arah Fanny, sementara para bridesmaid yang
lain di belakang tersenyum geli. “Tuh, udah dipanggil
keluar gue-nya. Yuk.”
Begitu mendengar suara MC dari tempat acara
berlangsung, dan menunggu sign dari mas-mas
organizer yang standby di tempatku menunggu, aku
menarik napas dalam-dalam dan berjalan keluar.
Berdasarkan konsep yang kami setujui, Radit memang
akan menungguku di ballroom, sementara aku berjalan
diiringi oleh para bridesmaid.
Begitu menginjakkan kaki di ballroom, kilatan flash
dari kamera, dan juga tatapan-tatapan senang dari
orang-orang seketika terarah kepadaku. Sambil
sesekali membalas sapaan para tamu di sisi kiri dan
kanan, aku dengan perlahan melangkah maju. Namun,
aku reflek mengangkat alis ketika yang aku lihat di sana
hanya barisan best man yang menutupi keberadaan
Radit. Namun, sedetik kemudian, rasa penasaranku
tiba-tiba teralihkan oleh suara Radit melalui
microphone—yang entah darimana.
“A song for my beautiful wife…”
Mafia - 67
Bersamaan dengan itu, para bestman yang tadi
berbaris di hadapanku kini terpecah dan akhirnya
menunjukkan seseorang yang sejak tadi kucari. Namun,
ia bukannya berdiri di hadapanku. Ada piano di sana—
yang sama sekali tidak pernah kubayangkan karena
Radit tidak pernah menyinggung hal ini sedikitpun—
dengan Radit yang duduk di baliknya sambil
menatapku dengan senyumnya yang memikat,
sebelum akhirnya dentingan piano itu terdengar di
seantero ballroom.
Oh Lord…
Aku bahkan tidak tau apakah jantungku berdetak
sangat kencang atau justru terasa seperti berhenti
ketika mendengar nada pertama yang Radit mainkan.
Nada yang sangat familiar di telingaku, ditambah lagi
aku sering meminta Radit memainkannya di piano.
For me, the most beautiful melody is Canon in D.
And he always plays it beautifully. Just like now.
Seluruh perhatianku yang hanya terpusat
kepadanya ketika ia memainkan melodi itu dengan
sangat indah. Apalagi tatapannya hampir tidak pernah
lepas sedikitpun ke arahku, seakan-akan bahwa tidak
ada hal lain yang lebih penting di sini selain aku dan hal
itu tanpa sadar membuat ujung mataku basah.
Mafia - 68
I’ve told you guys, the melody is just too beautiful.
Aku bahkan kehabisan kata-kata untuk menjelaskan
betapa indahnya ketika ia memainkannya di sini, saat
ini, di hari pernikahan kami.
Lord, I can’t even be more thankful to have him as
my husband, and to love and be loved by him.
Ketika ia selesai memainkan lagu tersebut, Radit
akhirnya menghampiriku, tanpa menghapus
senyumnya sedikitpun. Senyumnya berubah menjadi
tawa geli ketika melihatku yang berurai air mata. “Did I
just make you cry, Sayang?”
Aku memukul dadanya pelan dengan buket bunga
yang kupegang. “You just make me feel beyond
happy.” Aku menengadah menatapnya. “Thank you.
It’s so beautiful.”
Radit melangkah maju dan mengecup keningku.
“It’s one of a way to say how thankful I am towards
you. Thank you for being my wife.”
“And thank you for choosing me as your wife, my
dear husband.”
Mafia - 69
PRADITYA

“Itu emang pas tadi dibantu bersihin sama Mbak-


Mbak semua itu, nggak tuntas-tuntas banget? Kasian
ini kamunya jadi telat mau istirahatnya.” Radit yang
baru saja keluar dari kamar mandi, menghampiriku
yang tengah membersihkan wajahku sekali lagi. Tadi,
begitu acara selesai sekitar pukul sebelas—dan segala
sesi foto dan mengobrol sampai pukul setengah satu
malam, para staf MUA yang kami hired memang masih
tinggal untuk membantuku membersihkan segala
macam riasan di wajahku. Namun, tetap saja aku
melakukan ritual skin care basic sebelum tidur.
“Ini Cuma mastiin sekali lagi aja kok, Dit. Nih,
bentar lagi udahan,” jawabku sambil berdiri dan
mengecup pipinya sekilas sebelum berlalu ke kamar
mandi.
Sejak tadi siang sampai sekarang, Radit memang
tidak henti-hentinya memastikan bahwa aku baik-baik
saja dan masih cukup kuat berdiri menerima para tamu
undangan. Ia bahkan sudah memesan pihak hotel
untuk menyediakan layanan spa dan massage untuk
malam ini—yang setengah jam lalu sudah kurasakan
nikmatnya—dan untuk besok pagi sebelum sarapan
Mafia - 70
bersama para keluarga. Mengingat kami akan
berangkat honeymoon keesokan malamnya.
Aku keluar dari kamar mandi lima belas menit
kemudian dan mendapati Radit bahkan sudah
berbaring dengan nyamannya di salah satu sisi tempat
tidur. Aku tau ia juga sama lelahnya denganku namun
dia bahkan lebih peduli denganku dibandingkan
dengan dirinya sendiri. Ia tersenyum ketika aku selesai
dengan urusanku dan akhirnya berbaring di
sampingnya—di lengannya lebih tepatnya.
“Out all of questions and many things that I want
to say to you, for now I will only ask one question—
mengingat ini udah terlalu larut malam and we both
need some rest,” ucap Radit ketika kami saling
bertatapan dan dengan aku yang berada di
pelukannya. “Are you happy, Alyanata?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. “I’m so
happy—I can’t even describe how happy I am and I
can’t be more thankful,” jawabku jujur. “How about
you? Are you happy?”
“You won’t have any idea how happy I am. Thank
you, Ya. It’s more than enough for me.” Radit
mengecup keningku lama. “Okay, let’s stop talking. Kita
punya banyak waktu nanti. For now, let’s get some rest
to enjoy our trip tomorrow.” Tangannya bergerak
Mafia - 71
mematikan lampu kamar sebelum akhirnya menarikku
lebih erat ke pelukannya. “Night, Yang.”
Aku menghirup napas dalam-dalam. Merasakan
aroma Sauvage yang samar-samar masih tercium dan
rasa hangat yang ia berikan.
“Good night, husband.”
And I know this will always be my favorite place…
His warm hug, his fragrance, his tender kiss…
Him. Praditya Nugraha himself.
Mafia - 72

Chapter 7 - As Sweet As Sugar

PRADITYA

“So, this is our last destination?” tanya Alya ketika


di sore menjelang malam itu kami tengah berjalan
menyusuri Champ de Mars. Salah satu tempat yang
dulu pernah gue idamkan akan jadi tempat dimana gue
dan pasangan gue akan menghabiskan waktu di sana.
Finally, it happens. Setelah destinasi honeymoon
pertama kami yang nggak lain dan nggak bukan tentu
saja adalah Maldives—clap your hand, please.
Omongan gue waktu di Jogja ternyata kesampaian—
dan setelah seminggu di sana—of course we need at
least one week, bahkan seandainya kalau cuti kami
berdua lebih dari dua minggu, we will spend more time
there. Meng-explore tempatnya sehari dua hari,
swimming and diving during leisure time, dan sisanya
ya… you know lah ya.
Namanya juga honeymoon. *ketawajumawa*—
gue dan Alya berangkat ke Switzerland, since both of
us love that country the most in Europe. Tiga hari
setelahnya, baru akhirnya kami ke Paris. Salah satu
tempat yang kata Alya selalu jadi dream destination-
Mafia - 73
nya untuk honeymoon. We’ve been here more than
once, dan gue emang bisa bilang kalau feel-nya jauh
berbeda ketika gue datang sendiri, atau sama temen,
dibanding ketika gue datang dengan istri gue.
“Yep,” gue mengangguk sambil tersenyum.
People always say Paris is so damn romantic. I
couldn’t agree more. Coba aja jalan kaki—mau di
tamannya atau di tengah kotanya pun—pas sore hari,
itu udah cukup untuk ngerasain betapa romantisnya
kota ini.
Gue dan Alya masih terus berjalan dengan pelan di
sepanjang taman yang kini mulai diterangi oleh lampu
karena sebentar lagi langit akan berubah gelap, namun
justru semakin menambah kesan indahnya Champ de
Mars ini. Gue menoleh ke arah Alya, dan sebuah
senyuman bahagia reflek muncul di wajah gue ketika
melihat dia. She—in her black short dress, brown long
coat, black boots, the sunglasses on top of her head—
whom always makes me wondering how can she’s just
getting prettier and prettier day by day. Melihat dia
ada di sini, berjalan berdampingan, dengan tangan gue
yang memeluk pundaknya dan tangannya yang
melingkari pinggang gue, gue nggak bisa berkata apa-
apa selain bersyukur untuk kebahagiaan yang diberikan
untuk kami berdua.
Mafia - 74
Alya yang sepertinya menyadari tatapan gue yang
nggak lepas darinya, ikut menoleh. Kami bertatapan
selama beberapa saat, menikmati keheningan yang
penuh makna di antara kami berdua.
Gue menunduk, dan Alya udah tau apa yang akan
gue lakuin karena gue masih bisa menangkap sebuah
senyuman darinya sebelum akhirnya gue mencium
bibirnya.
Paris, Champ de Mars, twilight…
Dan… Istri gue…
Emang semanis itu ternyata.
Mafia - 75

Chapter 8 - Additional Parts : To My


Beloved

SELAMA tiga puluh tiga tahun hidup gue, gue


selalu berpikir bahwa jatuh cinta adalah proses yang
tidak gampang. Gue punya berbagai macam prinsip
dan pandangan hidup, yang nggak semua orang bisa
setuju dengan hal tersebut. Gue selalu berpikir bahwa
mungkin akan ada waktunya dimana gue harus
berhenti mengharapkan ada orang yang bisa
memahami gue yang ‘sekarang ini’. Bahwa tidak
mungkin gue akan mendapatkan seseorang yang bisa
memahami gue sama baiknya seperti gue memahami
diri sendiri. Sampai gue bertemu dengan seorang
Alyanata. Seseorang yang mengajarkan banyak hal di
hidup gue. Seseorang yang menunjukkan bagaimana
perasaan cinta sesungguhnya. Bahwa cinta tidak
selamanya hanya diisi kebahagiaan dan kesenangan,
melainkan ada pengorbanan, kesedihan, kesabaran,
serta ada kekuatan. Seseorang yang membuat gue
sadar bahwa di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin,
termasuk bertemu dengan orang yang bisa memahami
dan menerima kita apa adanya. I got so much blessings
in my life and Alyanata is one of the best that I have.
Mafia - 76
“To my dearest wife, the one that I love the most,
Alyanata Rahayu Hadiningrat Widjayakusuma.
For me, home is not a place. It’s you. And it’s
always been you. Please don’t ever leave me. Stay by
my side. Because I know, there is no life without love,
and there is no love without you.”

Praditya. A name that changes my entire world.


Ketika ia datang di kehidupanku dan membuka mataku
lebih lebar tentang bagaimana seharusnya hidup
dijalani, bagaimana seharusnya pola berpikir kita,
bagaimana seharusnya kita menyikapi hal yang terjadi
di hidup, dan bagaimana seharusnya aku mencintai dan
dicintai, di saat itu aku sadar bahwa dia orang yang
tepat untukku. Dengan Radit, aku tau apa artinya
kebahagiaan dan kesedihan. Dengan Radit, aku tau
rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Dengan Radit,
aku belajar tentang memaafkan dan dimaafkan. He
shows me what pure love is. And he gives me all his
love. With him, I feel happy, blissful, thankful, and
anything that I’m still experiencing. Being asked to be a
wife of someone like Praditya, which is almost perfect
Mafia - 77
and also imperfect at the same time, makes me feel so
honored and proud… and of course, blessed.
“To my beloved husband, Praditya
Widjayakusuma. You are the answer to every prayer
I’ve offered. I love you so much. Till death do us
apart… and till we meet again in the afterlife…”
I Owe You My Life
“MA, is she okay inside?”
Suara penuh kekhawatiran kembali tercetus oleh
Radit ketika melihat belum ada tanda-tanda dari dalam
kamar operasi setelah Alya masuk ke dalam dua jam
yang lalu.
Laras mengusap punggung menantunya
tersebut—begitu pula dengan Nadine—untuk
menenangkannya. Sejak Alya masuk ke dalam kamar
operasi, kekhawatiran dan kecemasan Radit yang sejak
tadi ia tutupi, dengan tujuan agar Alya tetap tenang,
kini tidak mampu lagi ia bendung. Menantunya itu
bahkan berdiri tepat di kamar operasi dan tidak berniat
duduk sedikitpun. Tatapannya terkunci ke pintu yang
tertutup rapat.
“Operasi Caesar bisa berbeda-beda waktunya
tergantung kondisi, Nak,” ucap Laras. “Dokter sendiri
yang bilang kamu jangan khawatir kalau waktunya agak
Mafia - 78
lebih lama, mengingat kondisi Alya yang sama seperti
Mama. Dulu Mama waktu melahirkan Alya itu bahkan
tiga jam lebih. Alhamdulillah Mama sama Alya dua-
duanya sehat.”

Radit mengangguk pelan sekalipun raut khawatir


tidak lepas sedikitpun dari wajahnya. Kondisi Alya yang
tidak se-‘normal’ orang lain selama kehamilan adalah
salah satu hal yang membuat kekhawatiran Radit
semakin tinggi.
Bahkan sebenarnya sebelum menikah, Alya sendiri
sudah mengingatkan Radit tentang hal tersebut. Alya
menanyakan apakah Radit benar-benar yakin untuk
keputusannya menikah dan menerima kekurangan
Alya—salah satunya adalah hal ini. Sekalipun saat itu
belum ada kepastian sama sekali bahwa Alya akan
mengalami hal yang sama yang pernah dialami Mama
Laras saat kehamilan Alya, namun Alya tetap
menyuarakan hal tersebut.
Yang tentu saja bagi Radit itu bukanlah masalah
yang membuatnya meragukan keputusannya menikahi
Alya. Ia masih ingat apa yang ia katakan kepada Alya
saat itu—dan bagi Radit, pemikiran itu tidak akan
pernah berubah sampai kapanpun.
Mafia - 79
“Ya, aku meminta kamu untuk jadi istri aku. Untuk
nemenin aku di sisa umur aku—dan kita berdua. Aku
nggak pernah meminta lebih, Ya. Urusan apakah nanti
kita dikasih anugerah untuk jadi orang tua dari
keturunan kita, itu aku serahin ke Tuhan, Ya. Ada atau
nggak, nggak akan pernah mengurangi keinginanku
untuk menikah dengan kamu, nggak akan pernah
mengurangi rasa cintaku ke kamu, dan nggak akan
pernah membuat aku merasa menyesal dengan
keputusanku. Kalau emang kita ditakdirkan hidup
berdua aja, it’s fine, Ya. It’s more than enough for me
already. As long as I’m with you. Just… don’t ever leave
me, Ya…”
Dan sekarangpun begitu. Ketika ia mengetahui
bahwa Alya hamil, hal yang seketika ia rasakan setelah
perasaan bahagia dan haru adalah khawatir akan
kondisi Alya. Tentu saja ia bersyukur dengan anugerah
yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, namun ia
tidak bisa menampik bahwa di satu sisi, harapannya
yang paling besar adalah Kesehatan dan keselamatan
Alya. Radit tidak henti-hentinya menegaskan kepada
Alya—dan bahkan dokter yang menanganinya—bahwa
dalam kondisi dan situasi apapun nanti, Alya harus
selalu menjadi prioritas utama.
Mafia - 80
“Dit,” Papa Setyo ganti menepuk pundaknya.
“Berdoa, Nak. Masih ada waktu sebelum operasinya
selesai.”
Sekalipun merasa berat meninggalkan ruang
tunggu kamar operasi tersebut, namun Radit tau apa
yang dianjurkan Papanya adalah hal yang benar. Ia
menatap ke pintu kamar operasi tersebut dan akhirnya
menarik napas dalam-dalam. “Titip Alya ya, Pa, Ma.
Kabarin Radit kalau ada info apapun secepatnya.”
Kedua mertua dan orang tuanya mengangguk
menenangkan. Setelah menarik napas dalam-dalam
sekali lagi, Radit akhirnya melangkahkan kakinya
menuju lift.
Dua puluh menit kemudian, setelah selesai
melakukan dua rakaatnya, Radit duduk dengan
khusyuk di sana, memohon doa untuk keselamatan
istrinya dan apapun yang terbaik untuk putranya. Ia
bahkan tidak mampu membendung isakannya ketika ia
menyebutkan nama Alya tanpa henti dalam doanya.
Isakannya semakin tidak terbendung ketika tiba-
tiba handphone yang ia letakkan di hadapannya
bergetar panjang. Radit dengan cepat mengakhiri doa-
nya dan menjawab panggilan tersebut.
Tidak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk
Radit kembali ke atas, ke ruang tunggu kamar operasi.
Mafia - 81
Persis ketika ia sampai di sana, saat itu pula pintu
kamar operasi terbuka dengan pemandangan yang
membuat Radit sukses kehilangan kata-kata.
“Adzan, Dit.”
Ucapan Papanya sontak membuat Radit tersadar.
Dengan perasaan campur aduk, ia menundukkan
badannya di inkubator dan mulai mengumandangkan
adzan, dengan susah payah menahan isaknya.
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya
mengalihkan tatapannya dari putranya. “How’s my
wife?”
“In a very good condition. You can meet her in a
minute, Sir.”
Dan benar saja, nggak lama kemudian Alya keluar
dari ruang operasi. Sekalipun biusnya sudah mulai
bekerja untuk membuatnya tertidur, namun ia masih
sempat menangkap sosok Radit yang mengecup
keningnya dan berbisik di telinganya dengan penuh
haru.
“Ya… Thank you for being healthy and safe. You’ve
done well. I owe you my entire life. Thank you, Ya. I love
you…”
Mafia - 82

Chapter 9 - The Great Blessing

Gleneagles Maternity Hospital, Singapore.

RADIT menatap baby box berwarna crème yang


terletak di samping tempatnya duduk dan tempat tidur
Alya.
Areindra Pratama Arisetyo Widjayakusuma
Father : Mr. Widjayakusuma, Praditya Nugraha
Aldern
Mother : Mrs. Hadiningrat Wdijayakusuma,
Alyanata Rahayu
Bahkan sampai sekarang Radit masih merasa
seperti bermimpi ketika melihat nama yang ia susun
sejak berbulan-bulan yang lalu kini sudah ada
pemiliknya. Sudut bibirnya terangkat ke atas ketika
melihat putranya tersebut tertidur dengan nyenyak di
dalam box tersebut.
Perhatiannya teralihkan ketika ia merasakan
gerakan di tempat tidur. Dengan segera ia menoleh
dan mendapati Alya ternyata sudah terbangun dari
tidurnya. Radit berdiri dan mencondongkan tubuh
untuk mengecup kening Alya sebelum kembali duduk.
Mafia - 83
“Kok tidurnya bentar? Kamu tadi bangunnya pagi
banget lho, Yang. Nggak ngantuk?”
Alya menggeleng sambil tersenyum seraya
meminta Radit membantunya untuk menaikkan
sandaran tempat tidur. Ia menatap putra mereka yang
masih tertidur di baby box. “Nangis, nggak?”
“Nggak. Pinter dia mah, tau mamanya lagi
istirahat.” Radit berpindah tempat dan duduk di
tempat tidur di samping Alya. “Masih sakit, nggak?”
tanyanya khawatir.
Alya menyandarkan kepalanya di pundak Radit
sambil tertawa kecil. “Sakitnya udahan kok tadi malam.
Pagi ini udah jauh lebih mendingan makanya bisa
mandi. Lagian aku nggak tahan, gerah...” tambahnya
sambil meringis pelan.
Radit merangkul pundak Alya dan mengecup
puncak kepala istrinya itu. “I’m so proud of you,
Sayang. This is not an easy path for you since
beginning, yet you never give it up at all.”
“I was born in the same condition and I am able to
survive, Dit. I believe our son is stronger than me.
That’s why I’m not afraid at all...” Alya menengadah
dan menatap garis rahang suaminya yang tegas
sebelum ia mengecup pipinya. “But the most
important one is you. I can’t do these all if you’re not
Mafia - 84
here beside me all the time, Dit. Thank you,” ucapnya
tulus.
Radit mengeratkan pelukannya sambil
memberikan ciuman yang panjang di kening Alya.
Sungguh, sejak kemarin ia benar-benar kehabisan kata-
kata untuk mengungkapkan betapa bersyukur dan
bahagianya dia dengan semua perjuangan yang Alya
lakukan untuk keluarga mereka. When he finally met
Alya after three hours of surgery, he couldn’t even say
anything except being thankful and crying together.
“Mulutnya mirip kamu banget ya waktu tidur...”
komentar Alya sambil menatap putra mereka dengan
geli. “Kayak bocah lagi ngambek gitu.”
“Anaknya siapa dulu...” ucap Radit bangga. “Mama
Papanya pasti pinter banget waktu bikinnya,”
tambahnya iseng.
“Hei...” Alya mencubit pinggang suaminya—
setengah geli dan setengah malu. Namun ekspresinya
berubah kembali khawatir. “Kamu nggak papa tapi
habis ini? I mean... sebulan lebih lho, Dit...”
“Sayang, Cuma nahan empat puluh hari itu bahkan
nggak ada apa-apanya dibandingin yang kamu rasain
Sembilan bulan ini plus dua jam di kamar operasi
kemarin. Nggak usah peduliin aku. Yang penting
Mafia - 85
kamunya pulih dulu. Rein juga tetep sehat. Urusan aku
mah gampang kali, Yang.”
“Tumben bijak urusan ginian. Biasanya juga kalau
abis pulang dari SG yang Cuma seminggu—“ Ia
menggantung kalimatnya dengan sengaja sambil
tersenyum menggoda.
“Beda cerita, Sayang. Kalau itu kan emang karena
nggak ada constraint-nya.” Radit terkekeh geli sebelum
kembali mengeratkan pelukannya dengan Alya. “Thank
you, Ya. Thank you for being healthy, thank you for
bringing Areindra to this world. Please don’t ever leave
me, Ya.”
“We won’t. We’ve promised to be always together.
And don’t leave us too, Daddy.”
Radit menunduk dan mendekatkan wajahnya. “It’s
impossible, Sayang. Because you two are my life.”
Alya tersenyum, menikmati interaksinya dengan
Radit. “I love you so much, husband.”
“I’m all yours,” ucap Radit sebelum mencium bibir
istrinya.
Mafia - 86

Chapter 10 - Daddy’s Little Boy

"AREINDRA, what time is it?"


Rein menengadah dan melihat jam dinding di
hadapannya. "Fifteen past eight, Daddy."
"True. It's fifteen past eight. Why you're still
playing here rather than taking a bath? Did you just
ignore Mbak Weni whom asking you to take a bath
since fifteen minutes ago?"
Rein mengerjapkan matanya yang berwarna biru
kecokelatan—persis warna mata Radit—beberapa kali
ketika mendengar nada suara ayahnya. "No, Daddy."
Suaranya berubah menjadi pelan, pertanda kalau ia tau
ia melakukan kesalahan.
"Did you forget the schedule already?"
"No, Daddy."
"Do you still remember that you can only play with
Daddy and Mommy in weekend only if you follow the
schedule diligently?"
"Yes, Daddy."
Mafia - 87
"Now, you know what to do, right?"
"Yes, Daddy." Rein mengangguk patuh dan
menoleh ke pengasuhnya. "Please help me to take a
bath, Nini."
Namun sebelum ia beranjak dari tempatnya,
bocah itu kembali menatap ayahnya dengan tatapan
sedih. "I apologize, Daddy, Please, don't be angry with
Rein," ucapnya dengan nada sungguh-sungguh
sebelum akhirnya berlalu ke kamarnya untuk mandi.
Alya, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan
interaksi antara Radit dan Rein, mau tidak mau
tersenyum ketika Radit tiba-tiba memeluknya dari
samping dan menenggelamkan wajah di leher dan
bahunya. "Kenapa?" tanyanya menahan geli, sekalipun
ia sudah tau alasannya. Bukan pertama kalinya ia
menghadapi adegan seperti ini.
"My son is going to hate me, Ya. I'm such a bad
father. I can't do this anymore."
Alya tertawa tanpa suara. "Kamu sendiri yang
bilang anak kamu harus disiplin."
"Of course." Suara Radit yang desperate justru
membuat Alya semakin tertawa geli. "But did you see
Mafia - 88
his face just now, Yang? Aku udah mau nangis aja liat
anakku sedih kayak gitu."
"Nanti abis mandi kan dia normal lagi, lupa lagi.
Lagian kamunya kayak gini kan cuma kalau dia nggak
disiplin atau nggak behave. Sisanya, you surely
pampered and spoiled him a lot."
Radit mengangkat wajah dan menatap istrinya
dengan ekspresi sedih--kontras dengan tawa Alya yang
semakin lebar. "He won't feel hurt because of me,
right?"
Alya menggeleng-geleng kecil. "Nggak bakal.
You're still the best Dad in this world for him. Percaya
deh, he adores you the most." Alya mengecup pipi
suaminya. "Aku ini ya, tiap kali kayak gini rasanya selalu
punya dua anak, bukan cuma satu..."
Mafia - 89

Chapter 11 - Smart Boy

ALYA membuka pintu kamar ketika ia mendengar


seseorang mengetuknya, yang kemudian diikuti
dengan kemunculan Rein di depan pintu. Kening Alya
reflek berkerut. Ia dan Radit biasanya tidak akan
meninggalkan putra mereka di kamarnya sampai ia
tertidur dan hal itu baru saja mereka lakukan sejam
yang lalu. Alya reflek berjongkok agar tatapannya
sejajar dengan putranya yang kini berdiri sambil
memeluk gulingnya. “What’s going on, Nak? Mommy
thought you fell asleep already.”
Rein mengangguk. “The thunder wakes me up,
Mommy,” ucapnya dengan nada takut namun sekaligus
meminta maaf. “I apologize, Mommy.”
“No, it’s okay.” Alya mengelus kepala Rein. “Do
you want Mommy to accompany you in your room until
you sleep again?”
Rein menatap Alya dengan pandangan memohon.
“Can I sleep with Mommy and Daddy tonight?”
Mafia - 90
“What’s going on?” Radit yang baru saja keluar
dari kamar mandi melihat putranya berdiri di pintu.
“He’s awake?”
Alya mengangguk ke arah suaminya. “Thunder.”
“Ah...” Radit mengangguk paham dan ikut
berjongkok di samping Alya. “Should we accompany
you again, Nak?”
“He wanted to sleep here with us, Daddy.” Alya
mengulang ucapan putranya sekaligus meminta
persetujuan. Bukan karena alasan lain, lebih karena ia
dan Radit punya aturan sendiri dalam mendidik anak
mereka, salah satunya adalah dalam hal seperti ini.
“Well, I guess he can. Since he is very brave this month
and always sleep in his room. Right, Daddy?” Alya
menatap suaminya dengan penuh arti.
Radit yang mengerti tatapan Alya, mengangguk
dan mengelus puncak kepala putranya. “Of course. Just
like our promise, we will grant one of your wishes if
you behaved well. Come in, Nak.”
Raut wajah Rein yang semula memelas seketika
berubah menjadi ceria. Ia maju memeluk Alya dan
Radit bergantian. “Thank you, Mommy, Daddy. Rein
loves Mommy and Daddy so much.”
Mafia - 91
Alya dan Radit tertawa sambil memberi ciuman di
pipi putra mereka. “We love you too, Nak. C’mon. Let’s
wash your hand and feet once again with Daddy.”
Radit menutup pintu kamar dan membawa putranya
ke kamar mandi. Selang beberapa menit kemudian
barulah mereka akhirnya bergabung bersama Alya di
tempat tidur.
“Will Daddy go to office tomorrow?” tanya Rein
begitu ia kini berada di pelukan Radit dan Alya.
“No. Tomorrow is Saturday. Of course, Daddy will
be at home,” jawab Radit sambil bertukar senyum
dengan Alya. “Why? You don’t like if Daddy is away
from home for too long?”
Rein menggeleng. “No. Mommy said that Daddy
works very hard because Daddy loves Mommy and
Rein so much.”
“Smart boy.” Radit tersenyum bangga ke arah
putranya. “So, you still want to become like Daddy in
the future?”
“Yes, Daddy.” Rein mengangguk. “I will wear a suit
and tie like Daddy and Eyang every day.”
Radit dan Alya reflek tertawa mendengar jawaban
polos putra mereka. Rein memang pernah berkata
Mafia - 92
bahwa cita-citanya adalah menjadi seperti Radit dan
kakeknya, Papa Candra—sekalipun ia belum paham
apa pekerjaan mereka sebenarnya. Yang ia tahu adalah
ayahnya tersebut selalu berpenampilan rapi lengkap
dengan kemeja, vest, dasi dan jasnya setiap kali
berangkat kerja. Begitu juga di saat Radit terkadang
harus lanjut bekerja di rumah, yang Rein tau adalah
ayahnya akan berjam-jam duduk menghadap ke layar
laptop dan sesekali berbicara dengan entah siapa di
sana dan tentu saja ia tahu bahwa ia tidak boleh
menganggu ayahnya sedikitpun.
“But I also want to be a doctor, Daddy. Like
grandma and grandpa.”
“Then what about being an architect like Mama
Naina and Papa Gino? You also said that you want to
draw many buildings like them.”
Ekspresi Rein seketika berubah menjadi serius,
yang lagi-lagi membuat Alya dan Radit tersenyum geli.
“Why? Is Rein confused?”
Rein mengangguk polos. “Can I have three jobs,
Mommy?”
“It’s possible but Daddy will not recommend you to
do that,” jawab Radit. Seperti biasa peran dia adalah
Mafia - 93
sebagai ayah yang in-charge untuk menjawab
pertanyaan anaknya secara logis. “ If you have three
jobs, it’s hard to be the best of those three. You said
you want to become a best person, right?”
"Yes, Daddy."
"Then you can choose one and focus in it," terang
Radit lagi. "But... right now is not the time for Rein to
think about that. All Rein has to do right now is study
well, get a good mark and be a polite and good person.
Because, no matter what kind of job that you want, the
basic requirement is always those three things."
Rein mengerjapkan matanya beberapa kali—ciri
khasnya ketika ia sedang berusaha memahami maksud
perkataan ayahnya. "I understand, Daddy."
"Smart boy, as always."
Mafia - 94

Chapter 12 - Life of Parenthood

“MOMMY, where is Daddy?”


Alya, yang baru saja selesai memandikan putranya,
hanya tersenyum maklum ketika pertanyaan yang
sama keluar lagi entah untuk kesekian kalinya di pagi
itu. “Daddy is still sleeping because he is tired. Daddy
just landed from New York few hours ago.”
“Why is Daddy tired, Mommy?”
“Because Daddy works so hard.”
“Why Daddy works so hard?”
“Because Daddy wants Rein to live happily, eat
good foods, play nice toys, study in good school. That’s
why Daddy works so hard so he can earn money to pay
it all. Daddy loves Rein so much, that’s why he did it.”
Rein menunjukkan ekspresi berpikir—yang justru
membuat Alya tersenyum geli melihatnya. Matanya
yang menyipit membuatnya semakin persis terlihat
seperti fotokopi-an Radit. “Daddy loves Rein so much?”
“True. Daddy did it all because he loves you so
much, Sayang.”
Mafia - 95
“But Daddy always says that Daddy also loves
Mommy sooooo much,” ucap Rein dengan ekspresi
sungguh-sungguh. “Daddy always says that Mommy is
the most beautiful woman and the best mom in the
world,” sambungnya lagi lalu tiba-tiba maju dan
memeluk Alya dengan erat. “Rein also loves Mommy so
much.”

"I’m sorry, Papiy. Can Papiyan help me to fix this?”


Ryan yang tengah mengobrol dengan Alya di
pantry, menunduk ketika sepasang tangan munggil
menggapainya dari bawah. “What can I help you,
Nak?”
Rein menunjukkan ban mobil-mobilannya yang
copot dengan wajah sedih. “I’m sorry, Papiy. I didn’t do
it on purpose.”
“No, it’s not your fault.” Ryan berjongkok agar ia
sejajar dengan Rein dan membantunya memasang
kembali ban miniatur Ferrari F1 tersebut. “Done.”
Mafia - 96
“Thank you, Papiyan.” Rein memeluk Ryan sesaat
sebelum ia berbalik ke ruang tengah. Namun, belum
juga ia berlalu dari sana, langkahnya tiba-tiba terhenti
dan tatapannya terarah ke Alya. “Mommy, where’s
Daddy?”
“Daddy is still taking a bath, Sayang,” jawab Alya
dengan nada sabar sekalipun itu adalah pertanyaan
yang sama sejak tadi dan entah sudah kali keberapa
dilontarkan oleh putranya. Ia menunggu sampai
putranya berlalu dan barulah menghela napas ke arah
Ryan yang menatapnya sambil tersenyum geli. “See
that? Itu pertanyaan yang nggak pernah absen tiap
weekend.”
“Tapi dia nggak nyariin kalau Radit lagi nggak di
Jakarta, kan?”
“Nggak. Dia udah ngerti kalau hari kerja pasti akan
jarang ngeliat Radit di rumah. Tapi sebagai gantinya,
tiap malam dia nggak akan mau tidur kalau belum
video call sama Radit,” terang Alya. “Tapi kalau
weekend kayak gini, ya ampun tiap lima menit kalau
Radit hilang dari pandangan matanya, dia nggak akan
berhenti nanya kayak tadi. Anaknya Radit banget
Mafia - 97
emang.” Alya menggeleng-geleng. “Lo juga bentar lagi
pasti kayak gitu. Tinggal tunggu aja Ivy gedean dikit.”

“Kamu beliin dia mobil baru lagi?”


Radit hanya mampu meringis ke arah istrinya,
sementara Rein kini sudah duduk di atas electric car
tersebut sambil tertawa senang. “This one is
Lamborghini Aventador, Yang. Rein belum punya.”
“Rein belum punya apa Daddy-nya yang pengen
banget?”
Radit mengacak rambutnya salah tingkah. “Well, I
guess both…”
“Mommy, look! Daddy bought this for Rein. It’s so
cool, Mommy.” Rein berseru senang ketika menyadari
kehadiran Alya di sana dan membuat Alya mau tidak
mau tersenyum dan mengelus kepala anaknya
“Kamu ini… Anaknya masih kecil udah diajarin
gonta-ganti mobil…” ucapnya ketika ia kembali berdiri
dan menghadap Radit.
Mafia - 98
“Nggak dong, Sayang.” Radit tertawa sambil
merengkuh bahu Alya. “Kan dipakai semua ini. Lagian
dia senang banget tuh dapat mobil baru. Masa kamu
nggak ikut senang ngeliat anak kamu se-excited itu.”
“Ya ini makanya nggak bisa ngomel. Ekspresi dia
sesenang itu, aku jadi nggak tega mau marah ke
kamu.”
Radit lagi-lagi tertawa geli dan mengecup pelipis
istrinya. “Jadi, nggak sekalian aja proposalku buat beli
Aston Martin di-accept, Yang?”
“Praditya!”
Mafia - 99

Chapter 13 - The Untold Story (1)

“HI, where is your parents?” Anak laki-laki berusia


sebelas tahun itu bertanya ke arah anak perempuan
yang duduk di sampingnya sejak tadi di ruang tunggu
dokter. Sekilas anak perempuan itu mengingatkannya
pada tokoh-tokoh princess di film kartun Disney.
Anak perempuan yang kelihatannya terlihat lebih
muda beberapa tahun tersebut menunjuk ke arah
orang tuanya yang tengah berbicara dengan salah satu
suster.
“Are you sick?”
Anak perempuan itu mengangguk dan berbicara
dengan suara pelan. “My stomach is hurt and I’m afraid
with doctor.”
“Don’t worry,” anak laki-laki itu tersenyum
menenangkan. “My uncle is the one who will examine
you. Om Pram is a great doctor. You will be fine very
soon.”
“Really?”
Mafia - 100
“Yes. You can believe me.” Anak laki-laki itu
mengangguk meyakinkan. “Nah, that’s my sister,
seems like I have to go now. Get well soon.” Ia beranjak
dari duduknya dan mengusap pelan puncak kepala
anak perempuan tersebut lalu tersenyum sekali lagi
sebelum ia menghampiri kakaknya di kejauhan.
“Itu teman kamu, Sayang?” Mama dari anak
perempuan tersebut, yang kini sudah kembali duduk
bersama papanya, ternyata menyadari percakapan
putrinya dengan anak laki-laki tadi.
“No.” Anak perempuan itu menggeleng—masih
sambil menatap anak laki-laki yang kini memasuki lift
bersama kakaknya. “He said he is the Doctor’s
nephew.”
“Keponakannya Dokter Pram? Oh, anaknya Dokter
Setyo, berarti,” ucap Mamanya—lebih tertuju ke arah
suaminya—sebelum ia kembali bertanya. “What were
you two talking about?”
“He said I will be fine, Mama. Because his uncle is a
great doctor. Is it true?”
Papa dan mamanya tersenyum menganggu.
“That’s true. Trust him, Sayang. Now, you shouldn’t be
afraid of doctor anymore.”
Mafia - 101

Chapter 14 - The Untold Story (2)

Cast :
Dwiputra Laveiro Pangestu
Financial Risk Advisory – GMG Indonesia

LANGKAH gue terhenti ketika melihat


pemandangan di lobby tower GMG. Ada Alya di sana,
tengah menggendong anaknya yang kalau gak salah
usianya sekitar satu-dua tahunan. Sementara Radit
tengah berdiri berhadapan dengan mereka. Tangannya
memegang wadah berbentuk kepala panda dan tangan
satunya lagi tengah menyuapi biskuit ke putra mereka
sambil sesekali mengobrol dengan Alya dan anaknya,
ataupun membalas sapaan orang-orang yang lewat dan
berhenti untuk menyapa putra mereka yang emang
sangat lucu. Ya lucu lah, ganteng lagi. Itu dua-duanya
punya muka semahal itu, hasilnya pasti juga super high
quality.
Shit. Entah kenapa gue sesak ngeliatnya. Bukan
sesak sedih tapi justru gue senang.
Mafia - 102
Like I said, I always adore Radit. Menurut gue, dia
salah satu orang yang wajib dijadiin role model
khususnya oleh bawahan-bawahannya di GMG. Both in
personal and professional. Dulu, ketika gue tau dia
pacarnya Alya, gue akuin gue emang sempat rada
jealous. Ya meskipun status gue Cuma mantan yang
sebentar banget—itupun kalau sempat dianggap sama
Alya—tapi kan tetap aja gue nggak bisa nggak
membandingkan diri gue dengan Radit. Yang dimana
gue sadar hasilnya tentu aja jauh lebih oke Radit dari
segala aspek. Man, gue sama Radit itu Cuma beda
sekitar empat tahun umurnya, tapi pencapaian dia
udah jauh di atas gue ketika dia di umur yang sama.
Gue kembali berjalan, sementara mata gue nggak
lepas dari mereka bertiga. FYI aja di lobby itu rame,
tapi entah kenapa mereka bertiga pasti jadi pusat
perhatian. What a perfect picture of a family goal. Gue
bukannya lagi mengagumi istri orang ya, but I bet many
people will feel jealous towards Alya. Udah punya anak
satu, tapi dia bahkan nggak ada bedanya sejak dulu.
Masih tetep cantik luar biasa, tetep langsing, tetep...
yah tetep perfect. Radit juga sama aja. Kalau bukan
karena cincin di jari manis mereka berdua, ditambah
Mafia - 103
anak yang di gendongan Alya, gue yakin orang-orang
bakal nyangka mereka masih single. High quality ones.
Ini baru Radit dan Alya. Belum ditambah another
power couple yang nggak lain dan nggak bukan adalah.
Ryan dan istrinya. Kalau pilihannya mereka berdua, gue
bahkan nggak bisa pilih mana yang di urutan atas.
“Sini, Nak. Gendongnya sama Daddy, ya. Mommy
capek, kasian...” Samar-samar gue mendengar
percakapan mereka ketika gue mendekat.
“Nggak, kok. Ya, Nak, ya?” Alya menggeleng lalu
menatap putra di gendongannya. “Kasian kamu udah
capek seharian kerja.”
“Kamu kan juga kerja, Yang. Kalau capek bilang ya.
Kasian kamunya…”
Shit.. Parah, euy. Interaksi sekaligus tatapan
mereka berdua ke satu sama lain bikin orang jadi
langsung pengen nikah. Termasuk gue.
Gue melihat Radit tertawa kecil mendengar entah
apa yang dikatakan Alya, sementara tangannya masih
memegang biskuit agar tidak jatuh dari mulut
putranya, ketika tau-tau tatapannya mengarah ke gue.\
Mafia - 104
“Eh, bro.” Ia menyapa ramah lalu beralih sekilas ke
Alya. “Ada Putra, Ya.”
Alya ikut menoleh dan tersenyum ketika melihat
gue. Membuat gue nggak punya pilihan selain akhirnya
menghampiri mereka. “Hai, Dit, Al.” Gue menyapa
mereka berdua lalu beralih ke bocah di gendongan Alya
dan membungkuk agar wajah kami sejajar. Ganteng
banget anaknya. “Halo, Areindra—eh manggilnya siapa
btw?”
“Rein, Om.” Radit ikut menunduk ke arah anaknya
sambil mengenalkan gue dengan ramah. “Rein, ini
namanya Om Putra, Nak. Ayo salim.”
Dan gue super takjub ketika putra mereka dgn
pintarnya menyambut tangan gue. Buset. Parah sih ini
gen-nya. Super komplit.
Alya yang menyadari ekspresi gue yang takjub,
tertawa kecil. “Pulang, Tra?”
Gue mengangguk. “Taksi gue masih otw sih tapi.”
“Lho? Mobil lo ke mana?” tanya Radit heran.
Bengkel. Baru kelar besok.” Bersamaan dengan itu,
sebuah Mercedes Benz GLS class putih berhenti di
lobby. Gue mengenali itu sebagai salah satu mobil
Mafia - 105
Radit. Dia jarang pake sih, kecuali kalau ada anaknya.
Biasanya kalau dia pulang bareng Alya doang, atau
sendiri—mengingat bapak satu itu nggak terlalu sering
pakai supir kalau urusan personal—yang dibawa adalah
Porsche Cayenne putih yang cakep itu atau Range
Rover Sport putih yang lebih cakep lagi itu. Gila ya
mobil-mobilnya? Bahkan gue ingat sebelum dia nikah,
mobilnya udah kece abis—Velar sama Q7 kurang cakep
apa coba?
Tapi ya dengan rate gaji dia yang udah Partner
kayak gitu—salah satu Partner kebanggaan GMG
pula—ditambah dengan Alya yang juga punya karir
bagus, wajar aja sih menurut gue. Apalagi gue tau
kalau rumah yang sekarang mereka tempati di
Dharmawangsa itu adalah hadiah pernikahan dari
orang tua mereka. Ditambah lagi—ini gue denger-
denger doang sih—kalau nama Radit itu ada di jajaran
nama salah satu founder sekaligus pemegang saham
rumah sakit milik keluarganya.
Gue masih menatap mereka ketika Radit dengan
sabarnya memastikan istri dan anaknya duduk nyaman
lebih dulu baru akhirnya ia masuk di sisi sebelahnya.
Itupun setelah berpamitan ke gue dan beberapa yang
Mafia - 106
ada di sana—yang gue yakin diiringi dengan tatapan iri
dari segelintir orang.
Damn. What a beautiful family.

Fin.
Mafia - 107

Chapter 15 - Q&A With the Casts

Meet Alyanata Rahayu Hadiningrat Widjayakusuma. 29


years old. Capricorn.

Q :Alya, rasanya gimana punya pacar yang seganteng,


sebaik, sekaya, seperhatian Radit?

Radit is not really a limited stock, actually. Masih


banyak orang di luar sana yang juga punya pacar jauh
lebih ganteng, lebih baik dan lebih kaya dan lebih
perhatian dll dari Radit. But for me, Radit is more than
enough. The feeling? Can’t stop feeling thankful.

Q : Apa hal yang kamu suka dari seorang Praditya


Nugraha?

Praditya Nugraha himself.

Q : Bad habit dari seorang Radit?


Mafia - 108
Bad habit of Radit? Let me think about it... sometimes,
he thought too much for a simple thing, maybe? Oh
kalau dari segi receh, dia suka naruh barang
sembarangan. Thing that he already bought few times
just because he always forgot where did he put it : his
Apple pencil and his Surface Pen.

Q : Udah nemu tipe rumah yang cocok dengan Radit?

You can ask him. He’s the one who wants to buy a
house �

Q : Lipstick favoritnya apa?

A : YSL Rogue Pur Couture Slim Matte Lipstick (Nu


Incongru shade)

Q : Hi Alya, apakah kamu tipe yang mau (dan


sanggup) LDM?
Mafia - 109
Well... kupikir nggak ada masalah dengan dia yang
based-nya di SG dan aku yang tetap di Jakarta. Sejak
dulu dan sekarang pun udah kayak gitu and we never
had a fight with that reason. If I miss him, I can go
there—satu jam empat puluh lima menit di pesawat
bukan waktu yang lama—begitu juga dengan dia. So...
it’s okay. I mean, I’m okay.

Q : Mau gak diboyong Radit ke NY?

Kalau dia dapat kesempatan pindah ke headquarter?


Aku rasa nggak. He can go there, aku nggak akan
melarang dia, but I also love my job as much as he
loves his job. So, I think we have to respect each other
decision. I agreed to be in a relationship with him—
even for second time—because he never made a deal
over this matter.

Q : Alya, pertimbangan apa yang bikin kamu bisa


luluh lagi ke Radit setelah 3 bulan yang sangat
menyiksa?
Mafia - 110
I love him. And I don’t know how to live happily again
without him.

Q : 3 hal yang ngeselin dari seorang Praditya Nugraha


apa sih?

He left me once. He never called me during those three


months. He often forgot the time whenever he’s
working.

Q : Alya, gimana caranya nerima Radit yang terkenal


dengan masa lalunya yang ‘kayak gitu’?

First, sekalipun aku bukan penganut paham yang sama


dengan Radit, but I have certain limit of tolerance. As
for Radit, I think I can... ngomongnya gimana ya?—
sedikit banyak bisa paham, mungkin? Sebagian besar
hidup Radit selama tiga puluh tiga tahun ini dihabiskan
di luar—bukan di Indonesia. Jadi kalau ada gaya hidup
dia yang terpengaruh dengan style di luar sana, well
mau gimana lagi? Yang paling penting adalah he told
me that since he met me, bahkan sebelum kami
Mafia - 111
memutuskan untuk in a relationship, dia udah nggak
ngelakuinnya dengan orang lain. Actually, Radit juga
bukan sesering itu ngelakuinnya dan nggak
sembarangan juga. So, semua orang berhak diberikan
kesempatan kedua, kan? Yang paling penting adalah
ketika kita berjanji untuk nggak membahas itu lagi,
jangan pernah mengungkit-ungkitnya kapanpun.

Q : Pengen cantik kayak Kak Alya gimana caranya?

OMG hahaha. All women with good hearts are already


beautiful. Kalian jangan terlalu termakan cara Radit
mendeskripsikan aku. Namanya juga cowok.

Q : Part tergantengnya Radit versi Alya pas lagi apa?

Banyak. Paling ganteng? Kalau sedang serius bekerja.

Q : Have you ever think about the future of your


relationship with Radit before you break up with him?
E.g. married or having a child.
Mafia - 112

Never �Because all of you knows I’m so late to realize


my feeling. Luckily, we have another chance to start it
again.

Q : Yang paling Alya gak suka dari Radit?

Kalau dia lupa makan karena terlalu asyik bekerja

Q : Kesan pertama ketemu Radit selain ‘dia ganteng’


apa?

Berisik. Ganggu-ganggu orang lagi sibuk meratapi


patah hati.

Q : Alya, gimana caranya bisa tetap terlihat biasa aja


di depan orang yang kita suka (meskipun kita tau dia
nggak suka sama kita), just like you towards Arga?
Mafia - 113
Falling in love—or loving someone—tidak berarti
selamanya kita harus terlihat lemah di depan mereka.
You have to value yourself high. We have women’s
pride. If he choose other person rather than you, keep
this in mind : yang rugi bukan kamu, but that guy.
Meanwhile, you’re more than lucky karena itu artinya
kamu akan bertemu dengan pria yang bisa lebih
memahami perasaan kamu, membalas perasaan kamu,
dan menghargai kamu jauh lebih tinggi dibanding pria
yang kamu suka tapi bertepuk sebelah tangan ini. Once
again, ada orang lain yang lebih menghargai kamu. Be a
better person for that ‘someone’. You will surely feel
thankful later.

Q : In your opinion, how about a statement : If you


want a perfect mate, you have to bring yourself up to
standard?

In my opinion, even before we meet a potential one,


we have to live up to our own standard, which we
should already set it high. Every woman is special.
Show it. Jangan sia-siain hidup. Women should be
smart, beautiful, elegant, classy, well behaved, polite,
Mafia - 114
thoughtful, because we are born with that. Keep it up,
make it better and better. Orang baik akan dapat orang
yang baik juga. The saying is true, ‘usaha nggak akan
mengkhianati hasil.’

Q : Daily skincare and make up routine-nya pakai apa?

LoL, suddenly I feel like a beauty influencer hahaha. I


didn’t use too many skincare. Tapi perawatan wajah
standar ke klinik at least sekali sebulan memang perlu.
As for my daily skincare, I’m using La Mer series. As for
make up. For daily, I only use compact powdeYSL All
Hours – porcelain shade, lipstick : as mentioned above,
and Avene Eau Thermale for 3-4 times in a day. Oh,
and also I use Neutrogena make up remover and
Sebamed lip care. As for perfume, it’s L’occitane Neroli
& Orchidee EDT.

Q : Actually, gimana sih kamu ngenilai karakter kamu


dari sudut pandang kamu sendiri? Are you a cold
person? Or sociable? Atau gimana?
Mafia - 115
I’m a bit cold towards strangers. Aku nggak banyak
bicara—kecuali kalau aku udah merasa nyaman.

Q : Di awal dekat dengan Radit, pernah ngerasa nggak


buat jadiin dia sebagai pelarian aja?

Mungkin bukan pelarian. Karena aku nggak pernah


menganggapnya bahwa ia menggantikan posisi Arga.
Tapi lebih karena dia pelan-pelan memang mulai
berperan besar dalam hidupku and I couldn’t ignore
that fact.
Q : Pernah ngerasa nggak kalau Radit Cuma mau
main-main aja sama kamu, bukannya serius?

A : Awal-awal kenalan, Iya. Tipe kayak Radit kan tipe


player yang GTGG banget. That’s why I acted a bit cold.

Q : Please sebutin satu aja kekurangan Radit yang


bikin ilfeel dong?
Mafia - 116
Harus yang bikin ilfeel ya? Apa ya... Dia suka over pede,
sih. Kayak kalau lagi nyoba kemeja atau jas, atau
bahkan Cuma penjepit dasi doang, he will ask me, atau
mas-dan-mbak pegawai tokonya yang lagi ada disitu :
‘Ganteng nggak, Mbak/Mas?’ sambil cengar-cengir,
yang dimana dia udah tau jawabannya sebenarnya. Iya,
mohon maaf ya, jadi buka aib dia di depan para
fansnya.

Q : Kalau disuruh milih, resign dari kerjaan dan ikut


Radit ke SG, atau gak resign dan LDR, pilih mana, Al?

A : Nggak resign �

Q : Gantengnya Radit kira-kira mirip siapa?

Mirip Papanya, Papa Setyo �


Mafia - 117
Meet Praditya Nugraha Aldern Widjayakusuma, 33
years old, Scorpio, the man who stole so many hearts.

Q : Cinta pertama Radit kayak gimana sih


bentukannya? Dan kapan?

Cantik banget kayak princess-princess Disney dan putri


keraton gitu. Ketemunya waktu gue umur tiga-dua.
Mau namanya sekalian.

Q : Radit kamu juga ‘penganut’ melihat


pasangan/orang dari segi status sosial nggak, sih?
Alasannya?

Bukan penganut. Lebih ke arah... gue tau gue harus


naksirnya sama siapa aja. Bukan sengaja juga, tapi apa
ya... lebih karena biar nggak ribet aja nantinya. Got
what I mean?

Q : Karin diapain sih sampai cinta sama lo segitunya?


Mafia - 118

Ask her. Atau mau jawaban dari gue? Gue nyontek


jawabannya Ryan aja ya? ‘Risiko emang kalau jadi
orang ganteng.’

Q : Radit gimana nahan kangen sama Alya selama tiga


bulan?

Kerja dan belajar buat ngambil sertifikasi FMVA.


Mending kan? Daripada dihabisin bengong dan menye-
menye doang atau ikutan maksiat bareng Ry—eh
lupakan.

Q : Dit, mobil kamu kan yang di jakarta kan Audi Q7


sama RR Velar, kalo di SG kan BMW, satunya apalagi,
Bapak Konsultan?

Mbak-nya mau daftar jadi asset manager saya ya? Kok


bisa hapal? Juara abis hahaha. Volvo XC40. You know
the color already. I’m crazy with that color.
Mafia - 119
Q : Apa bad habit-nya seorang Alyanata?

Shopaholic parah—klop banget sama Naina. Tapi nggak


papa sih, namanya juga menikmati hasil kerja keras.
Satu lagi, dia kalau parkir mobil suka ngasal... (hahaha
sorry, Yang) miring, miring dah, bodo amat. Tetep aja
dia tinggal kayak gitu. Princess mah bebas sih ya.

Q : Bang Radit, when did you start your “holy” life?


What’s the biggest reason that finally made you stop?

Holy yang dimaksud di sini yang butuh satu orang lagi


kan ya? Hahaha. Sebenarnya gue udah agak lama
absennya, bahkan sebelum ketemu Alya. Tapi pas udah
ketemu beberapa kali—kalau nggak salah mungkin
waktu Nyokap gue ketemu Alya di Starbucks waktu itu.
Disitu gue tau-tau nggak ada niat lagi buat main
sembarangan. Susah sih, semua cewek langsung gue
bandingin sama Alya. Masa gue ngelakuin sama
seseorang tapi kebayangnya orang lain? Sekalipun yang
gue lakuin itu bukan hal terpuji, tetep aja ada etikanya
cuy. Kan gue juga bukan sama sembarangan orang asal
nyomot.
Mafia - 120

Q : PRADITYA NUGRAHA, PLEASE MARRY ME!!!

Mbak... sehat?

Q : Radit, kalau Alya waktu itu nggak mau diajak


balikan gimana? Mau pake jurus apa?

Ya terima nasib. Jomblo seumur hidup kali gue. Gak


pake jurus apapun, wong kalau orangnya nggak mau,
gue bisa apa.

Q : Bokap lo kan tau gimana ‘nakal’nya elo. Sempat


dinasihatin gak sih sama beliau?

Jauh sebelum gue bandel. Waktu gue mau berangkat


ke US—pas keterima S1 di Princeton, bokap udah
ngasih wejangan. Tipe wejangan Bokap gue tuh tipe
yang didengernya enak dan bukan menghakimi. Beliau
waktu itu bilangnya kira-kira kayak gini. ‘Every human
Mafia - 121
made sins. Tinggal kamu aja yang pilih dosa seperti apa
yang kamu buat. Kamu udah gede, udah tau mana yang
bener, mana yang nggak. Kamu tanggung jawabnya
besar. Ke diri kamu sendiri, ke keluarga juga. Mau
bandel? Pilihan kamu. Mau jadi anak alim? Pilihan
kamu juga. Papa Cuma pesan beberapa hal. Nggak
peduli apa yang lagi kamu lakuin, jangan pernah
tinggalin lima waktunya. Urusan dosa kamu lebih
banyak, atau maksiatnya tetep jalan, itu bukan urusan
kamu dan urusan orang lain untuk bandingin dengan
ibadah shalat kamu. Yang paling tau ya Tuhan, Dit.
Yang wajib tetap dilakuin. Silakan, Papa kasih kamu
kebebasan untuk menentukan hidup kamu. Jaga nama
baik kamu, nama baik keluarga. Jangan menyesal di
kemudian hari, jangan merusak masa depan kamu
sendiri.’

Udah itu. Simple, kan? Tapi ngena banget emang di


gue. Jadi kadang Bokap iseng nanya tentang hal-hal
yang gue lakuin, ya gue jujur aja jawabnya. Beliau sih
nggak marah apa gimana. Cuma ya ngingetin
wejangannya aja. Dan gue tetap patuh. Kece ya bokap
gue? Siapa dulu anaknya.
Mafia - 122
Malah nyerocos mulu gue-nya. Ini siapa yang nanya?
Dalem banget pertanyaannya.

Q : Radit gimana caranya buat bangun relationship


yang mature seperti kamu dengan Alya?

Relationship itu butuh usaha dari kedua belah pihak.


Kalau Cuma satu yang berusaha untuk dewasa dan
bijak, it won’t work. Kuncinya? Cari yang sependapat,
punya visi yang sama dengan kamu. Then you will have
a healthy relationship. Bertengkar dikit nggak papa,
tapi make sure kepalanya dingin dulu waktu mau
nyelesaiinnya.

Q : Radit kok ganteng banget, sih?

Yeah, thanks. I know.

Q : Radit, what is the first impression of Alya beside


irresistible?
Mafia - 123
DINGIN BANGET.

Q : Yang nggak disuka dari Alya?

Bukan nggak disuka, I’m just trying to make it better.


Alya ini orangnya dingin banget soalnya. Kalau nggak
suka sama strangers bisa keliatan jelas, gue kadang
harus turun tangan untuk ngingetin dia jangan terang-
terangan rolling eyes atau ekspresi sinisnya. Hahaha...
again, sorry ya Yang.

Q : Dit, kok sempet kepikiran gak mau komitmen, sih?

Karena belum ketemu yang kayak Alya.

Cukup buat bertahan hidup setiap hari sambil bakar-


bakar ikan pakai duit seratus ribuan.

BERCANDA YA. JANGAN DIANGGAP SERIUS LHO.


Mafia - 124
Q : Where and how I could find someone like you,
Praditya Nugraha?

You will find your own version of Praditya Nugraha.


That’s very possible, though. Semua orang punya cerita
bahagia mereka sendiri.

Q : Sejak kembali holy, tersiksa gak, Dit?

Nggak ada apa-apanya dibanding waktu putus dengan


Alya.

Q : Warna favoritnya apa?

Putih.

Q : Cara kamu buat mood Alya bagus lagi pas lagi bete
tuh gimana sih, Dit? (Semisal Alya lagi PMS gitu)
Mafia - 125
Tergantung situasi. Dealing dengan karakter macam
Alya tuh gampang-gampang susah. Nemenin belanja,
bisa. Ngajak kulineran, bisa. Seharian cuddling aja di
sofabed sambil nonton Netflix juga bisa. Tapi yang
pasti, kalau dia lagi pengen ngomelin gue, gue dengerin
aja. Kalau ntar beberapa hari kemudian dia udah
normal lagi, baru bakal gue ajak untuk berpikir rasional
kalau yang dia permasalahin kemarin itu nggak
rasional. Ribet kan kalimat gue? Ya intinya begitu.

Q : Kalo misalkan kamu harus pindah ke US terus Alya


gak mau ikut, kamu pilih yg mana?

Kalau tetap diijinin Alya ke US ya kenapa nggak? Being


with someone that you love doesn’t mean you have to
sacrifice your dream. Bukannya justru itu tujuannya
kita nyari pasangan? Biar saling mendukung? At least,
gue dan Alya sepemikiran soal ini.

Q : Radit kenapa kamu jomblo lama? Padahal kamu


itu boyfriend material.
Mafia - 126
Gue tau gue boyfriend material. Sayangnya gue belum
pernah nemu yang menurut gue bisa menuhin standar
‘girlfriend material’ versi gue, sampai gue akhirnya
ketemu Alya.
Q : Alya secantik apa sih, Dit?

Belum ngeliat yang lebih cantik lagi. Versi gue ya.


Cantik kan relatif, jelek yang mutlak. Eh?!

Q : Kak Radit kalo Jum’atan termasuk tim yang abis


khotbah baru dateng atau dateng sebelom khotbah
mulai?

Gue dipanggill ‘Kakak’ seketika berasa muda lagi. Btw,


ini pertanyaan punya siapa sih? Mau tetep dijawab?
Tergantung yang khotbah-nya. Kalau gue ditungguin,
artinya sebelum khotbah. Kalau gue nggak ditungguin,
ya udah, gitu. Baik kan gue? Yang kayak gini pun gue
jawab coba.

Q : Mas Praditya tim bubur di aduk apa gak di aduk?


Mafia - 127

Apapun asal dibuatin Alya. Thanks. Lagian apa sih


masalahnya diaduk sama nggak? Ntar pas di lambung
emang ada sekatnya gitu? Yang bubur masuk lewat
kanan, yang ayamnya lewat kiri? Anak-anak jaman
sekarang kok pada ajaib, ya.
Q : Berniat ganti kerjaan lagi gak? Setelah jd banker,
analyst, regulator, consultant?

Untuk sekarang? Belum. Tapi bisa aja 1-2 tahun lagi


jawaban gue berubah.

Q : Ada niat untuk minta Alya resign gak setelah


kalian nikah dan punya anak?

Kalau Alya masih pengen kerja, kenapa harus gue suruh


resign? Nggak dong. Alya boleh kerja selama yang dia
mau.

Q : Punya foto Alya di dompet, nggak?


Mafia - 128
Ada. Nyolong satu dari dompetnya Alya. Pasfoto gitu
sih. Tapi dia mah, pasfoto aja udah kayak photoshoot.
Tetep shining shimmering splendid.

Q : Sebelum part QnA ditutup, mau nanya dong,


Bang. Merk sarung yang biasa dipake buat jamaah
apa?
Mbak, sehat? Tapi gue baik hati sih, last question
soalnya. Kalau gue bilangnya nggak pakai sarung tapi
pakainya celana merk Ermenegildo Zegna gitu kira-kira
disambit nggak sama Mbaknya?

End of Q&A ^
Mafia - 129

Afterwords

To Love and Be Loved adalah beberapa chapter


ekstra dari cerita Retrocession yang dihadirkan dengan
tujuan membuat para pembaca bisa merasa semakin
dekat dan berbagi kebahagiaan dengan Radit dan
Alya—the new Mr. And Mrs. Praditya Widjyakusuma.
Seperti yang kalian tau bahwa Retrocession adalah
buku pertama dari Retrology Universe (retrology ya
guys, not retrilogy, lol). So, after this, I hope you can
meet Ryan in Requisition—well, prepare your heart
before you read it, tho. And then you can also meet the
third R, Randika Hareshananda on Restriction.
And maybe the other casts from the other
universes. Well… hopefully
Yah… malah promosi.
Anyway, thank you so much for your continuous
love and support. I feel so thankful and blessed. Always
See you on another stories.
With love,
Ay.

Anda mungkin juga menyukai