ALYANATA
“IS it good?”
Radit ikut mencondongkan tubuhnya untuk
melihat layar handphone yang menampilkan foto yang
baru saja kami ambil. We agreed to take one, since this
moment happened once in a lifetime, with him, sitting
beside me, hugging me and kissing my temple, while
me—of course—showing my ring. Ditambah dengan
tawa bahagia yang tidak lepas dari wajah kami.
“The necklace and ring are seriously beautiful,”
ucapku terpana melihat foto kami berdua. Aku dan
Radit tipe pasangan yang jarang berfoto bersama dan
hanya di momen-momen khusus. Seperti kemarin
ketika kami merayakan ulang tahunnya dan ya
sekarang ini. “Thank you.”
“It’s beautiful because you’re the one who wearing
it, Yang,” ucap Radit sambil menatap handphone-nya
karena aku baru saja mengirimkan foto tersebut,
sementara sebelah lengannya yang sejak tadi tidak
lepas memelukku—kini menarikku lebih dekat dan
Mafia - 4
menyandarkan pelipisnya di kepalaku. “Can I upload it
on my IG?”
“I’m going to do the same thing. Kamu ngapain
pake izin segala, Dit?” Aku tertawa kecil.
“Because I think this will be the first time that we
expose each other on our social media, right?”
Aku mengangguk. Benar, sekalipun hubungan kami
sudah berjalan cukup lama—don’t count those three
months, please—tapi aku atau Radit memang belum
pernah membagikan apapun di social media tentang
kami berdua. Some people who didn’t really know us—
or outside our circle—still think that we are single.
Single dalam artian bahkan nggak punya pacar. Tapi
berhubung aku dan Radit sama-sama punya prinsip
bahwa hubungan itu bukan tentang orang lain harus
tau atau tidak, jadi kami nggak pernah ambil pusing.
We didn’t hide it, though. Kalau ada yang bertanya
secara langsung, aku dan Radit akan menjawab jujur.
Tapi kalau nggak ditanya, ngapain harus diumumkan ke
seantero dunia? Nothing to be proud of, yang ada ntar
diketawain anak ABG gara-gara umur segini tapi masih
bangga dengan status pacaran.
Ehm, umur segini versi Radit maksudnya. Sorry,
aku sih masih muda dibanding dia.
Mafia - 5
Tapi kali ini beda. Untuk sebuah momen yang tidak
akan pernah kulupakan seumur hidupku, untuk pria
pertama—selain Papa, tentu saja—yang memberiku
kebahagiaan lebih dari semua yang pernah kurasakan,
untuk seseorang yang tidak menjanjikan hal-hal muluk
namun memintaku untuk bisa terus bersamanya
apapun yang terjadi karena ia tidak akan
melepaskanku, kupikir itu cukup kujadikan alasan.
“But you haven’t upload it, though?” Aku
mengangkat alis ketika aku selesai meng-upload di
Instagram dan menemukan bahwa feed Radit belum
berubah sama sekali.
“Lagi ngirim fotonya dulu…” ucap Radit masih
sambil mengutak-atik handphone. Sementara aku
mengubah mode handphone-ku menjadi silent.
Bukannya sok ngartis atau apa, Cuma aku udah bisa
menebak bahwa nggak lama lagi aku akan menerima
beberapa ‘teror’ terutama dari beberapa orang yang
aku yakin akan melakukannya begitu mereka melihat
foto yang baru saja aku posting. Dan aku sedang tidak
ingin menghabiskan waktuku dengan handphone.
Tidak ketika kami sedang menikmati quality time
berdua saat ini.
Mafia - 6
Namun baru saja aku ingin menaruh handphone
kembali di atas meja, sebuah notifikasi muncul di sana
dan langsung menarik perhatianku.
“Kamu ngirim fotonya ke Mama?” tanyaku ketika
melihat dari layar notifikasi bahwa Mama baru saja
mengirimkan sebuah foto di grup keluarga kami. Aku
belum membukanya, tapi kurasa foto apalagi yang
Mama kirim selain ini?
“Mama yang mana?” tanya Radit sambil
memasang cengiran lebar di wajahnya.
Aku hanya menggeleng-geleng kecil mendengar
ucapan Radit. “Mamaku, Radit.”
“Starting from few hours ago, Tante Laras is soon-
to-be my Mom,” jawabnya dengan senyum jumawa.
Dasar! Pede banget jadi orang. “Kenapa emang?”
“Soalnya Mama ngirim sesuatu ke group WA kami
bertiga…” Aku menggantung kalimatku seraya
membuka notifikasi tersebut. “Apalagi kalau bukan
foto—WHAT?” Mataku seketika melebar. Aku
mengangkat wajah dan menatap Radit. Kontras
denganku, ekspresi Radit justru tersenyum penuh arti.
Di grup Whatsapp keluargaku yang isinya adalah
Mama, Papa, dan aku sendiri, Mama baru saja
Mafia - 7
mengirimkan fotoku dan Radit, disusul dengan info
tambahan di bawahnya.
‘Mama Laras added Praditya.’
And you know another surprise thing? Bukan
hanya satu notifikasi. Melainkan di atasnya pun ada
notifikasi baru—salah, grup baru lebih tepatnya. Titled
as ‘Biggest Fans of P&N’, yang isinya nggak lain dan
nggak bukan adalah lima keluarga inti Radit. Now it’s
six, dengan keterangan paling terbaru.
‘Tante Nadine added you’.
“Welcome, Alyanata. You should say it also to me,”
ucapnya tanpa sekalipun menghilangkan senyum di
wajahnya.
Aku menatap Radit, masih tidak percaya sekaligus
takjub dengan ‘pergerakannya’. “Mama sama Papa
udah tau rencana kamu? Tante Nadine sama Om Setyo
juga?”
Radit mengangguk dan mengulurkan lengannya,
membawaku ke pelukannya lagi sebelum ia menjawab.
“Udah, dong. Udah sejak dua minggu lalu mereka tau.
Aku ngomong sama Papa dan Mama sebelumnya.
Tentu saja mereka mendukung sepenuhnya. Papa
bahkan sempat-sempatnya nambahin di tengah-tengah
wejangannya kalau aku kelamaan geraknya. Kalau
Mafia - 8
Mama nggak usah ditanya ya, Ya. Mungkin kalau aku
bilang nikahnya mau besok, hari itu juga beliau booking
ballroom saking semangatnya,” terangnya, sementara
aku tersenyum geli mendengarnya. “And then the day
after that, aku ke rumah orang tua kamu. Pas kamu lagi
lembur malam itu. Remember when I said that I have
an occasion that night? Malam itu aku datang ke
Menteng. Minta izin buat ngelamar anak mereka satu-
satunya. Itu rasanya jauh lebih nervous dibandingkan
mau ketemu client super penting sekalipun, Ya. Untung
masih bisa ku-handle—semoga sih nggak sampai di-
notice Om Candra sama Tante Laras kalau aku nervous-
nya parah. But Thank God, I’ve managed to say it
clearly. Aku bilang niat aku kayak gimana, aku juga
bilang bahwa aku nggak bisa menjanjikan untuk selalu
bikin kamu bahagia—because we knew that life isn’t
always full of flowers—tapi aku janji untuk selalu
berusaha yang terbaik untuk kamu. Prioritize you in my
life, fulfilling my duty as your husband, making you
won’t ever regret it to live with me. That’s what I
promise to your parents. Orang tua kamu nggak
langsung menjawab sih, Om Candra dan Tante Laras
menanyakan banyak hal, but once again, I’m so
thankful with them, karena yang mereka tanyakan dan
mereka pastiin bukan Cuma tentang bagaimana kamu
nantinya, tapi tentang bagaimana kita berdua nantinya.
Mafia - 9
They included me in their thought, they make sure of
everything, not only about you but also me. Sampai
akhirnya mereka setuju dan mendukung sepenuhnya
niat aku ke kamu…” ucap Radit lagi dan kini
menatapku. “After almost three hours feeling nervous
endlessly, aku akhirnya bisa bernapas lega ketika Om
Candra dan Tante Laras ngasih restunya, Ya, they even
said how thankful they are to have me as a new family
member. Dimana sebenarnya justru aku yang sangat
berterima kasih ke mereka. Kamu anak satu-satunya, I
know it’s not easy to let someone else take a
responsibility over their precious daughter…”
Aku mungkin memang tidak berada di sana ketika
Radit bertemu dengan orang tuaku, namun dari
ekspresi dan cerita Radit, entah kenapa aku bisa
merasakan perasaan haru yang aku yakin juga Radit
rasakan. Aku mengerjapkan mataku, mencoba agar
tidak menangis sekali lagi. “Dua minggu lalu, you said?”
Radit mengangguk. “Sebenarnya beberapa hari
sebelum itu, pas lagi makan siang di PS, aku mutusin
buat beli cincin. Cuma berhubung waktu itu size yang
aku cari nggak tersedia, so I have to wait for two
weeks. Tapi nggak papa sih, biar pas sekalian sebelum
ultah kamu besok.”
Mafia - 10
“That’s also one of my question. Kenapa kamu
ngelamarnya harus sehari sebelum ultahku? I mean,
nggak sekalian dibarengin gitu?”
Radit tertawa kecil. “The answer is a bit cheesy, Ya,
to be honest. Actually, aku nggak tau sebenarnya
nyiptain momen yang pas untuk ngelamar kayak
gimana. Ya inipun kepikirannya tadi pas belanja di
supermarket.” Ia meringis ke arahku yang kubalas
dengan senyuman geli. “Tapi emang aku mau
ngelakuinnya hari ini. At least, sebelum jam dua belas.
Karena aku mau ngucapin ultah ke kamu bukan lagi
dengan status sebagai pacar, but as your husband-to-
be. Tuh kan udah kubilang cheesy tai kucing gini?” Ia
mengacak-acak rambutnya sendiri ketika melihat aku
menyipitkan mata. “Kalau aku ngelamarnya pas
ngerayain ultah kamu, itu namanya scene stealer, Ya.
Hari ultah kamu ya harinya kamu. Aku nggak mau
fokusnya teralih karena kuganggu dengan acara
ngelamar kayak gini. Ditambah lagi, kalau aku
ngelamarnya malam-malam pas pergantian hari,
kesempatan buat meluk kamu terus-terusan nggak bisa
lama-lama. Harus kepotong waktu tidur, kan? Ya bisa
sih lama kayak gini, kalau aku diizinin tidurnya di kamar
yang sa—“ Radit tidak melanjutkan kalimatnya karena
aku sudah keburu mencubit pinggangnya, yang justru
membuatnya malah tertawa puas. Untungnya ia buru-
Mafia - 11
buru menyerah dan membawaku kembali ke
pelukannya. “Changing the topic, Ya. Besok makan
malam ultah kamu bareng Om Candra dan Tante Laras
jadi?”
“Jadi.” Aku mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan
bagi keluargaku kalau ada yang berulang tahun maka
kami akan berkumpul untuk makan malam bersama. As
for this year, tentu saja Radit termasuk di dalamnya.
Radit tidak langsung menjawab, melainkan meraih
handphone-nya. Sekilas aku melihat tumpukan
notifikasi di sana yang aku yakin sebagian besar adalah
respon dari posting-an di Instagram. “Kamu
reservasinya di Vong Kitchen kan ya buat berempat?”
Aku mengangguk, masih bingung. “Kenapa
emang?”
“Nambah, ya. Udah confirmed. Jadi buat sembilan
orang.”
“Sembilan? Kok bisa?”
“Now we have two families, Ya. Hadiningrat dan
Widjayakusuma,” jawab Radit yang lagi-lagi
membuatku takjub. “Sebenarnya ini juga udah
direncanain. Naina sama Mas Gino bahkan udah
booking flight ke Jakarta ntar malam. Om Candra sama
Mafia - 12
Tante Laras juga udah tau. Cuma ya… gitu. Belum ada
yang pasti sampai mendengar jawaban kamu tadi.”
Aku lagi-lagi menatap Radit dengan tatapan tidak
percaya sekaligus menyerah. “Jadi kamu udah
ngerencanain sejauh ini bahkan sebelum kamu tau
kepastiannya?”
Radit mengangguk sambil nyengir. “Naina bahkan
udah siap-siap minta ganti rugi kalau-kalau dia keburu
ke sini di saat ternyata kamu nolak lamaranku tadi.
Fortunately, it didn’t happen—Thank God. Jadi yah…
begitulah. Life is always about taking a risk on every
step that we choose kan, Ya…”
“Okay…” Aku hanya mampu mengangguk dan
menerima, tidak berniat mendebatnya dengan segala
rencananya ini. Biarlah, yang penting kan ending-nya
sesuai dengan yang kami harapkan. Lagipula aku
berterima kasih karena dia menyusun segalanya
dengan sangat baik. Aku kembali melingkarkan
lenganku di pinggangnya ketika Radit memelukku lebih
erat lagi. “And since you’ve brought the topic about my
birthday, aku tau aku seharusnya nggak berkomentar
sekali lagi urusan kayak gini. But once again, I clearly
know about these two jewelries that I’m wearing right
now…” Aku sengaja memberi jeda di ucapanku. “Ini
Mafia - 13
hitungannya udah masuk hadiah ultahku, kan? Kamu
nggak akan ngasih hadiah lagi, kan?”
Radit berdehem pelan. “Eng… beda, Ya…”
Aku reflek menegakkan tubuhku dan menatapnya
dengan tatapan galak. “Are you crazy, Dit? Spending
your money like this at once only for me?”
Okay, once again, aku tau aku sebenarnya nggak
boleh mengomel seperti ini. This is a proposal ring, and
a necklace as a gift. Tapi, aku hapal betul jenis koleksi
yang ini. Aku bukannya mau mengatur keuangan Radit.
Nggak sama sekali. Aku nggak akan protes kalau
uangnya ia pakai untuk membeli barang yang ia
inginkan—termasuk jam tangan rasa mobilnya itu.
Uang dia, hak dia. Tapi ketika ia menggunakan hasil
kerja kerasnya itu untukku, tentu saja aku merasa
nggak nyaman. After all, harusnya dia bisa memakai
uangnya untuk menyenangkan dirinya sendiri.
Radit lagi-lagi berdehem. “It’s more than just
‘worth it’, Ya. This happened once in a lifetime, kayak
yang kamu bilang. And we also want to give the best to
the one that we love, right? I’m doing it right now. Jadi,
nggak boleh protes. Ini aja aku udah diprotes sama
Naina waktu aku kirim foto cincinnya. ‘That diamond
isn’t big enough’, katanya. Tapi berhubung aku pilihnya
berdasarkan bayangan akan seperti apa di tangan
Mafia - 14
kamu, that’s why I choose this. Just like the necklace, I
fell for for the ring right when I saw it,” tambahnya, kali
ini diikuti dengan kecupan di pelipisku. Melihatku yang
belum menjawabnya, ia kembali melanjutkan
ucapannya. “Anggap aja impas dengan IWC yang kamu
kasih kemarin.”
Ada alasan lain memang kenapa aku agak ‘bawel’
dengan urusan kado ulang tahun ini. Karena sebulan
lalu, ketika ia berulang tahun, dia justru memintaku
agar tidak perlu memberinya apapun. Namun tetap
saja tidak mungkin kulakukan. I’ve bought him another
IWC. Itupun bahkan awalnya dia sempat bersikeras
untuk mengganti bill belanjanya yang tentu saja
kutolak mentah-mentah. Namanya juga kado, mana
ada kado di-reimburse? Dikira tagihan makan malam
bareng klien apa?
Ditambah lagi, dibandingkan dengan IWC
Portofino yang aku berikan kepadanya, rasanya tetap
saja masih nggak ada apa-apanya dengan dua
perhiasan yang tengah kukenakan sekarang—dan
entah kado apa yang akan ia berikan nanti. Like… oh
c’mon, bahkan tanpa perlu melihat katalognya sekali
lagi, aku sudah terlalu hapal dengan bentukan princess-
cut engagement ring ini. Gimana aku nggak pusing
mikirnya?
Mafia - 15
“I just really want to give you my best, Ya. Besok
kalau mau beliin aku IWC lagi juga boleh biar kamunya
seneng,” ucap Radit lagi sambil mengelus rambutku.
“Jadi… yang ini dipakai aja terus ya, Sayang. Nanti yang
buat jari manis tangan kanan baru kita cari bareng-
bareng.”
I’ve told you many times, he really knows how to
deal with me. Aku menengadah dan menatap Radit
yang juga balas menatapku sambil tersenyum bahagia.
“Thank you for making me happy,” ucapku tulus.
Radit memperpendek jarak di antara kami.
“Pleasure on me. And I’m willing to do it forever for
you…” ucapnya sebelum ia menunduk dan menciumku.
Mafia - 16
ALYANATA
PRADITYA
ALYANATA
“Ya…”
“Hm?”
Gue meletakkan paper cup kopi yang udah kosong
sambil menunduk dan tersenyum ke arah Alya. Tadi,
sepulang dari Sofia, seperti biasa gue tentunya akan
menghabiskan jumat malam gue di apartemen Alya,
dengan spot favorit kami di sofabed—and of course
while cuddling onto each other.
Seperti sekarang ini. Di saat gue tau mungkin
saatnya untuk membahas beberapa hal serius dengan
Alya yang sebelumnya belum sempat kami berdua
bahas sedikitpun.
“Setelah kita nikah nanti…” gue mulai membuka
topik pembicaraan. “Kita mau tinggal dimana? I mean,
ya aku tau homebase-ku akan tetap di SG dan kamu di
Jakarta. Tapi bukan berarti aku tinggalnya di sana, kan?
Kalau misalkan lagi project di Indonesia tentu aja aku
bakal tinggal lebih lama di sini. Atau bahkan sekalipun
nggak project, aku akan ke sini at least tiap weekend
atau bahkan kapanpun waktu yang memungkinkan…”
gue menatap Alya. “Kita punya dua apartemen, kan? Di
sini dan di Setiabudi. Which one do you prefer?”
Mafia - 45
Gue mengira Alya butuh waktu untuk berpikir,
namun ternyata sepertinya dia udah memikirkan hal ini
jauh sebelum gue. “Aku ikut maunya kamu, Dit. Kalau
kamu mau jadiin ini sebagai rumah utama, tentu saja
aku nggak keberatan. Tapi aku juga sama sekali nggak
keberatan kalau aku yang pindah ke apartemen kamu
di Setiabudi. I’ve been thinking about this dan
menurutku nggak ada masalah mau di mana aja.”
“Kalau aku ajak pindah ke Setiabudi, boleh?” tanya
gue hati-hati.
“Boleh. Nggak masalah sama sekali.” Alya
tersenyum. “Kamu ada saran unit yang ini bagusnya
disewain apa dijual aja?”
“Dibiarin kayak gini aja juga nggak papa, Yang.”
Gue mengelus rambutnya. “In case, suatu saat kamu
kangen ke sini, atau kita lagi pengen ganti suasana, bisa
ke sini kapan aja. But since this is yours, aku nyerahin
keputusannya ke kamu.”
“Kan nantinya jadi milik bareng-bareng, Dit. Segala
keputusannya harus persetujuan kamu juga.”
“Yang punya aku jadi milik bareng-bareng. Such as
that unit in Setiabudi, si RR, atau si Q7. Tapi, yang
punya kamu tetap punya kamu, Ya. Itu hak kamu, hasil
kerja kamu dan aku nggak akan protes untuk apapun
keputusan yang kamu ambil.”
Mafia - 46
Alya menatap gue sejenak sebelum menghela
napas—yang gue asumsiin dia memilih untuk menuruti
ucapan gue dibandingkan harus berdebat yang nggak
ada gunanya. Stok sabar dia emang luar biasa, sih.
Makanya gue cinta.
“Ya udah, untuk sekarang tetep kayak gini aja dulu,
ya. One day if I want to sell some of them, I will still ask
your permission. Sekalipun kamu bilang itu hak aku,
aku tetap berharap kamu ngasih pandangan kamu
juga. Okay?”
“Siap, Ya.” Gue mengecup puncak kepalanya
sekilas sambil tersenyum. Seperti yang gue bilang, gue
bener-bener kayak dikasih anugerah berlimpah sama
Tuhan. Dikasih pasangan yang nggak suka bikin ribet
apapun. Gue pernah bilang dulu-dulu jaman gue masih
pedekate sama Alya kan, ya? Terpujilah wanita kayak
Alyanata. Make our life much easier. Dan sampai
sekarang pun tetap kayak gitu.
“Kamu kayaknya masih ada yang mau diomongin,
right?”
Gue reflek nyengir mendengar tebakan Alya yang
tepat sasaran. Paling nggak bisa emang nyembunyiin
sesuatu dari calon istri gue ini. Dia selalu tau kalau ada
hal-hal yang terkadang gue rasa belum tuntas tapi gue
menahan diri untuk nggak bilang. Contohnya ya seperti
Mafia - 47
ini. Bukan karena gue nggak mau, Cuma… gue agak-
agak susah mau ngomongnya. Tadi aja mau minta dia
ninggalin apartemen ini trus pindah ke Setiabudi, gue
udah extra hati-hati banget nanyanya. Takut dia
tersinggung atau apa. Ya gue tau Alya bukan tipe orang
kayak gitu, tapi tetap aja kalau udah ngomongin aset—
dan berhubung ini pertama kalinya gue bahas topik
kayak gini sama Alya—ya emang termasuk topik yang
agak sensitif. Terutama ketika semua yang kita miliki
adalah sebagian besar dari hasil kerja keras kita
masing-masing.
“Ehm… aku boleh ngasih kado khusus as a wedding
gift, nggak?”
Alya tau-tau menegakkan duduknya dan menatap
gue dengan kening berkerut—yang seketika membuat
gue jiper. “What do you mean by ‘wedding gift’? Itu
seserahan, mahar, dan sebagai-sebagainya nanti
emang bukan wedding gift?”
Gue menggaruk kepala gue yang nggak gatal
sambil meringis pelan. “Itu kan yang wajib, Yang.
Maksudnya, yang buat honeymoon…”
Sebenarnya gue sama Alya juga sama sekali belum
pernah bahas tentang rencana honeymoon kami. Ya
gimana mau bahas, urusan nikah aja masih on
progress. Namun gue sebenarnya udah meminta
Mafia - 48
persetujuan Alya kalau honeymoon kami nantinya
persis setelah acara resepsi. Berhubung kami dan
keluarga setuju untuk mengadakan akad dan resepsi di
hari yang sama—biar jor-joran aja sekalian—makanya
gue merencanakan besoknya gue dan Alya bisa
langsung ngambil flight. Biar bisa lama nikmatin waktu
honeymoon sebelum cutinya keburu habis.
“Kenapa dengan honeymoon-nya?”
“Kalau aku yang atur boleh nggak? Ya semacam
pengen ngasih surprise ke kamu tujuannya nanti ke
mana. Kamunya tinggal terima aja. Accepting and
enjoying, lebih tepatnya.”
Alya menatap gue sejenak. “Jadi aku nggak
bakalan dikasih tau kita bakalan honeymoon ke
mana?”
“I want to make the destinations as a surprise
wedding gift. Gimana?”
Alya terdiam sambil terlihat menimbang-nimbang
penawaran gue. “But at least you have to give me a
clue. Kan nggak lucu kalau aku bawa baju yang nggak
sesuai dengan kondisinya nanti di sana.”
“Dibawa aja semua, Ya. Siapa tau kita butuh
semuanya nanti,” jawab gue sambil tersenyum penuh
arti. “Boleh ya, Sayang?”
Mafia - 49
Alya lagi-lagi menghela napas namun kali ini diikuti
senyum pasrah. “Ya udah, boleh. Jangan aneh-aneh aja
tapi ya idenya.”
“Nggak dong, it will be a beautiful honeymoon. I
promise.” Gue menarik Alya kembali ke pelukan gue.
“Thank you, Ya.”
“I also want to say the same thing. Thank you.” Ia
menengadah. “Mau bahas apa lagi?”
“Actually, we still have many things to talk about,
Ya. But we also still have plenty of time. Berhubung
seminggu nggak ketemu kamu, keinginannya untuk
ngomong panjang lebar kalah sama keinginannya buat
meluk kamu. Jadi ya udah, ngomongnya bisa kapan-
kapan lagi aja. Sekarang pengen meluk kamu aja dulu.”
“Dipeluk doang?” tanya Alya sambil menahan
senyum. Bikin gue jadi gemes sendiri ngeliat dia kalau
udah kayak gitu.
“Belum selesai itu ngomongnya, Sayang. Aku biarin
kamu ngehirup oksigen dulu banyak-banyak buat stok
biar ciumannya bisa la—“ Gue tertawa geli sekaligus
puas ketika melihat Alya Cuma bisa mencubit gue
dengan wajah memerah.
By the way, Alya pernah memberitahu gue sebuah
quote. Entah kenapa gue tiba-tiba mengingatnya
Mafia - 50
sekarang ini, ketika kami menghabiskan waktu dengan
perasaan bahagia saat ini, ketika gue menciumnya
dengan senyuman yang tidak lepas dari kami berdua,
dan bahkan ketika kami menghabiskan sepanjang
malam dengan menonton, kadang diselingi dengan
main game, sambil sesekali mengobrol hal-hal yang
nggak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa gue bisa
melakukan hal-hal seperti ini dengan seseorang,
dengan perasaan bahagia yang nggak bisa gue
ungkapkan.
Yeah, right. The saying is true.
“To be loved by the one you loved… is
everything…”
And she is my everything.
Mafia - 51
PRADITYA
“SO, Schengen?” Alya bertanya sambil tersenyum
ketika kami berdua baru saja meninggalkan kedutaan
Perancis setelah selesai mengurus keperluan biometrik
visa siang itu.
“And another one which didn’t require Visa,”
sambung gue ikut tersenyum ke arahnya sementara
gue melajukan mobil menuju ke Monty’s untuk makan
siang sebelum gue mengantar Alya kembali ke kantor.
Alya memutar tubuhnya menghadap gue.
“Gimana? Europe is not enough for you?”
“As you’ve just heard during documents checking,
we will only visit two countries there. Since we have
two weeks for honeymoon, sayang kalau Cuma di dua
tempat itu Cuma di Eropa aja. I mean… ini bukan
pertama kalinya kita ke sana kan, so let’s give a chance
to other places, too.”
“Where?”
“I’m not telling you now, Yang.” Gue nyengir ke
arah Alya. “Kamu bakal tau kalau kita udah di bandara
nanti. Kalau aku kasih tau sekarang semuanya bukan
Mafia - 52
surprise lagi, dong. Ini aja terpaksa banget kamu harus
tau lebih awal demi kepentingan visa.”
Alya hanya tertawa kecil dan memilih untuk nggak
bertanya lebih lanjut tentang surprise dari gue. “Sabtu
pagi kamu bisa join apa nggak?”
“Ke designer, kan? Aku pasti ikut dong, Ya. Masa
nggak…”
Alya menatap gue dengan pandangan khawatir.
“Kamu kalau capek, istirahat aja dulu di rumah, Dit.
Beberapa minggu ini workload kamu parah banget.
Yang bagian kamu bisa nyusul kok.”
Gue kembali tersenyum mendengar ucapan Alya.
“This is our wedding, Ya. You and me. Aku juga mau
punya andil sama kayak kamu di sini. And the heavy
workload is just nothing compares to my excitement
for our wedding.”
Sebelah tangan Alya terangkat dan menyugar
rambut gue dengan lembut. “Baik banget sih, Dit.”
Senyum gue bertambah lebar ketika gue
mencondongkan pipi gue ke arahnya yang dibalas
dengan kecupan oleh Alya di sana.
“Ntar malam kalau nggak lembur jadi mau ke PI?”
tanya gue ketika kami akhirnya sampai di Monty’s. Gue
sama Alya sampai sekarang emang belum nyari cincin
Mafia - 53
nikah karena terlalu padatnya jadwal kami berdua
belakangan ini. Itupun malah baru keingatnya kemarin
banget. Untung gue lagi di Jakarta sampai seminggu ke
depan karena urusan kerjaan.
“Boleh. Aku sih kayaknya nggak ada deadline buat
hari ini, ya. Karena tadi datangnya jam delapan jadi
harusnya jam lima-an udah bisa balik. Kamu?”
Gue mengecek schedule di handphone sebelum
menjawab pertanyaan Alya. “Aku setengah enam
harusnya bisa selesai. Aku jemput jam enam ya di
kantor. Pulangnya ke Menteng?”
Alya mengangguk. Mendekati hari pernikahan
kami yang memang tinggal hitungan bulan, Alya lebih
sering menghabiskan waktunya di rumah orang tuanya.
Namanya juga anak satu-satunya yang bentar lagi mau
‘dilepas’, makanya mau quality time sebanyak-
banyaknya sebelum Alya berganti status. Biasanya Alya
balik ke apartemen pas weekdays, itu juga kalau gue
lagi di Indonesia. Because I will sleep there for one or
two nights, menggantikan ritual weekend kami yang
dihabiskan dengan orang tua masing-masing. Alya di
Menteng, gue di Bogor. Atau kadang kami saling
mengunjungi keluarga satu sama lain.
“Yaelah. Jauh-jauh gue dari Kuningan ke Senopati,
ketemunya Praditya lagi.”
Mafia - 54
Gue dan Alya reflek menoleh dan mendapati Ryan
dan Fanny yang baru saja masuk ke restoran dan kini
sudah berdiri di samping meja kami dengan cengiran
lebar. Sementara Ryan dan Fanny sibuk berkomentar
mengenai sempitnya dunia—dimana tentu saja gue
dan Alya punya istilah lain untuk itu—gue bergeser
agar mereka bisa bergabung.
“Kok kalian udah makan aja, sih? Perasaan gue
sama Ryan tadi bahkan udah lumayan cepet kabur
lunch break-nya tapi masih keduluan kalian.”
“Gue tadi izin bentar ke embassy, trus ya begitu
selesai pas jam makan siang,” jawab Alya begitu Ryan
dan Fanny selesai memesan makanan. “Ryan lagi
meeting di WN?”
“POC. Karena timeline cycle dua nya mundur jadi
tender-nya juga ikut ke-delay,” terang Ryan.
“Kapan keputusannya?”
“Lusa paling.” Ryan menjawab pertanyaan gue.
“Lo nggak ikutan lagi, Dit? Fully sama Ryan nih?”
“Masih, kok.” Gue mengangguk di sela-sela
kesibukan gue mengunyah makanan. “Cuma porsinya
nggak segede Ryan. Bagian gue di cycle dua Cuma satu
dari sekian scopes. Sisanya gue serahkan ke Bapak
Associate Partner kebanggaan kita semua.”
Mafia - 55
Ryan mendelik ke arah gue. “Untung ada calon
kakak ipar gue di sini, kalau nggak, makian gue udah di
ujung mulut banget ini.”
“Apanya yang calon kakak ipar? Alya lebih muda
kali dari lo!” protes gue seketika. Sementara Alya dan
Fanny hanya bertukar pandang sambil tertawa kecil.
“Ya lo-nya tapi kan lebih tua!” balas Ryan—bocah
banget emang kadang bahasan gue sama Ryan. Kayak
gini aja dibahas. “Lagian si Alya, lebih muda gitu tapi
tetep aja bikin gue takut.”
“Eh! Emang gue pernah ngapain?” Alya menatap
Ryan dengan tatapan protes namun sekaligus geli.
“Yang sering ngomelin lo tuh si nona ini, bukan gue.”
“Eh sorry nih, gue bukannya ngomelin. Nih bocah
aja emang tukang ngeyel.” Fanny segera membela diri.
“Tapi emang dia tuh kadang jiper sama lo, Al. Lo sih,
dingin banget kalau baru kenal.”
“Setuju.” Gue dan Ryan sontak mengangguk.
“Bener, Ya. Itu pengakuan jujur. Aku aja dijutekin pas di
grandkemang waktu itu…” gue buru-buru
menambahkan ketika Alya menatap gue dengan
tatapan ‘kamu-ngapain-ikut-ikutan’. Beruntung calon
istri gue yang cantik itu hanya bisa tertawa pasrah—
nggak protes sedikitpun.
Mafia - 56
Ya emang fakta sih. Dia pasti juga sadar. Gue
pernah bilang kan ya, kadang gue harus turun tangan
kalau ‘dingin’nya dia sama strangers kelihatan jelas.
Makanya sering dikira sombong. Ntar giliran kenal,
baru pada cinta.
Eh gimana? Kok seketika gue nggak terima sendiri
dengan kalimat terakhir gue.
“Resepsi kalian nanti pake tema apa jadinya?”
“Romantic modern. Ngikutin yang pas buat
princess,” jawab gue sembari mengedipkan mata ke
arah Alya. Sementara di samping gue, Ryan menoyor
gue pelan saking muaknya. Bangke emang.
“Lo nggak bakal nyanyi kan nanti, Dit?”
Si Onta! Gue memutar mata ke arahnya. “Ya kali!
Yang ada entar tamu undangan bukannya pada
terharu, gue-nya malah dicaci maki. Suara gue kan
biasa aja.”
“Pas-pasan. Bukan ‘biasa aja’. ‘Biasa aja’ mah
masih lebih tinggi derajatnya dibanding pas-pasan,”
ucap Ryan tanpa dosa. Sementara Alya dan Fanny lagi-
lagi hanya nyengir dan geleng-geleng mendengar
perdebatan kami berdua. “Baguslah. Kasian soalnya
tuh dekor udah bagus tapi dirusak sama suara lo.”
Mafia - 57
Ya Allah. Nasib buruk apa sih gue ini dapat sahabat
segininya banget kayak onta—eh bangke—eh bangke
onta, deh. Tapi berhubung yang dia omongin fakta, jadi
gue memilih menurut. Ya mau gimana? Suara gue
emang biasa aja—pas-pasan kalau kata si Ryan.
Makanya sejak kecil belajarnya main piano, bukan
nyanyi. Soalnya tau diri.
“Lo nyanyi tapi ya, Yan.” Meskipun nyebelin, gue
harus mengakui suara Ryan emang bagus banget
parah. Makanya womanizer-nya juga parah. Cewek-
cewek sekitar dia kan gampang luluh kalau denger
suara cowok bagusan dikit, apalagi kalau ditunjang
tampilan yang kayak Ryan.
“Iya, Yan. Please.” Alya ikut menyahuti ucapan
gue. Ini emang pernah gue bahas sama Alya. Meminta
Arrayan Kastara Airlangga nyanyi adalah salah satu to
do list untuk acara resepsi kami.
“Kalau udah bawa-bawa Alya dan nikahan lo, gue
nggak bisa nolak lah. Lagian keajaiban dunia bahwa
Radit akhirnya melepas masa lajang—dan ada yang
mau—ya worth it lah buat gue nyumbang suara…”
ucap Ryan dengan kadar kenarsisan tembus langit.
“Tagihannya tapi gue kirim nyusul ya. Satu lagu seribu
USD aja. Tarif asli gue mahal, cuy. Udah untung gue
ngasih harga temen.”
Mafia - 58
Gue menatap Fanny dengan serius. Satu-satunya
penyelamat umat manusia macam gue dan Alya dari
ketidakwarasan Ryan. “Fan, tolongin, Fan. Lo bikin dia
diam, apapun caranya. Lo tendang keluar juga boleh.
Gue ikhlas lahir batin.”
Mafia - 59
Chapter 6 - Canon in D
PRADITYA
PRADITYA
Cast :
Dwiputra Laveiro Pangestu
Financial Risk Advisory – GMG Indonesia
Fin.
Mafia - 107
You can ask him. He’s the one who wants to buy a
house �
A : Nggak resign �
∞
Mafia - 117
Meet Praditya Nugraha Aldern Widjayakusuma, 33
years old, Scorpio, the man who stole so many hearts.
Mbak... sehat?
Putih.
Q : Cara kamu buat mood Alya bagus lagi pas lagi bete
tuh gimana sih, Dit? (Semisal Alya lagi PMS gitu)
Mafia - 125
Tergantung situasi. Dealing dengan karakter macam
Alya tuh gampang-gampang susah. Nemenin belanja,
bisa. Ngajak kulineran, bisa. Seharian cuddling aja di
sofabed sambil nonton Netflix juga bisa. Tapi yang
pasti, kalau dia lagi pengen ngomelin gue, gue dengerin
aja. Kalau ntar beberapa hari kemudian dia udah
normal lagi, baru bakal gue ajak untuk berpikir rasional
kalau yang dia permasalahin kemarin itu nggak
rasional. Ribet kan kalimat gue? Ya intinya begitu.
End of Q&A ^
Mafia - 129
Afterwords