Anda di halaman 1dari 4

IMAM KAMI TIDAK ZAKAT FITRAH

Lantai keramik masjid kampung dingin tanpa sajadah. Kebetulan kemarin


hujan. Dan seperti yang umum diketahui, masjid selalu lebih sepi jika hujan.
Hanya saja kali ini bukan itu sebabnya. Masjid sudah sepi sejak awal
ramadhan.

Saban hari, masjid kampung cuma diisi beberapa orang yang itu-itu saja.
Pak Darmo si imam. Azmi, marbot yang masih muda itu. Dan beberapa
tetangga masjid yang merasa eman jika tidak sholat di sana: Mas Nur dan
istrinya, ditambah Alif, anak Pak Arip yang masih kecil. Di antara mereka
semua, Pak Darmo paling tua.

Azmi, akrab dipanggil "Mik" oleh orang kampung atau "Mas Mik" oleh Alif.
Sebagai marbot, dia menumpang tidur di sebuah bilik belakang masjid.
Lumayan untuk menekan biaya hidup sebagai mahasiswa rantau. Ia hanya
harus siap membersihkan masjid dan jadi muazin rutin. Bukan perkara sulit
buatnya yang jebolan pesantren. Tapi tahun ini, Azmi tak pulang ke
kampungnya. Selain bekal tak cukup, kemungkinan besar dia akan disuruh
kembali oleh polisi jika nekat mudik. Ia pun pilih puasa dan kelak lebaran di
kampung sini saja.

Masjid kampung setidaknya masih buka untuk sholat fardhu dan sholat
tarawih tiap malam. Walau tidak pakai pengeras suara satupun. Pengajian
dan buka bersama bubar. TPA sore libur.Jamaah yang tak seberapa itu juga
disuruh bawa sajadah sendiri dari rumah masing-masing. Pak Darmo pun
lama tak kedengaran bilang, "sawu sufufakum..." sebelum sholat karena lantai
diberi sekat. Tiap orang harus setidaknya berjarak 1 meter dari satu sama
lain. Ramadhan di tengah pandemi memang tak mudah.

Keadaan yang sama pun melekat di sebagian besar masjid-masjid di


sekujur negeri. Juga pada tiap gereja. Pada tiap pure. Pada kelenteng dan
vihara. Dan pada tiap sudut-sudut tempat di kota dan dan di desa yang
biasanya ramai oleh manusia. Seketika sunyi. Seketika semua orang
meringkuk di rumah, dihantui oleh virus corona dan ketakutan yang
dibawanya.

Setidaknya begitulah yang ada dua bulan belakangan ini. Sampai lebaran
mendekat.
Tiba-tiba ramai kembali lahir. Kerumunan mulai terisi. Orang-orang nekat
datang ke pusat-pusat perbelanjaan. Beli makanan, beli baju. Beli ini, beli itu.
Pembatasan mengendur. Macam tidak ada satu kekuatanpun di dunia ini
IMAM KAMI TIDAK ZAKAT FITRAH

yang mampu menahan keinginan orang-orang untuk belanja menyambut


lebaran. Meski mereka pun sadar, bisa saja bukan hanya dengan uang
mereka harus membayar. Tapi pun nyawa.

Itu menyulut kegeraman semua orang. Baik dari para tenaga medis yang
sudah berjuang mati-matian, para aparat, dan lapisan-lapisan masyarakat lain
yang merasa pembatasan berjalan tidak adil. "Kalau orang-orang nekat itu
bisa berbelanja seenak jidat, kenapa kita tidak sekalian keluar saja?" begitu
pikir mereka.

Pikiran yang sama menghinggapi benak Azmi.

"Orang-orang sudah mulai berjubel di mal-mal, Pak. Mereka dengan bebas


belanja baju lebaran sambil rekreasi," tuturnya pada Pak Darmo di teras
belakang masjid malam itu. Mereka berdua sedang leyeh-leyeh usai sholat
tarawih. Jamaahnya hanya dia, Pak Darmo, dan Mas Nur, tanpa istrinya.
"Masa kita mau kalah dari mal?"

Pak Darmo menyanggah. "Ndak gitu, Mik. Kamu mbok jangan tergesa-gesa
gitu," beliau menenangkan.

"Lah kan udah jelas to, Pak? Kemarin bandara juga sudah padat. Toko-toko
sudah rame lagi. Tapi kenapa masjid tetap enggak boleh rame? Padahal kan
masjid tempat ibadah. Urusannya antara manusia dengan Allah langsung!
Harusnya ini tidak diintervensi," tegas Azmi. Ludahnya muncrat ke
lantai-lantai. Ia memang cemburu dengan keadaan yang tidak adil ini. Seperti
orang-orang lain yang harus berdiam di rumah, ia juga jenuh. Sedangkan yaa
masjid ini rumahnya.

"Ya biarin saja mereka rame. Sejak kapan kiblat masjid pindah ke bandara
dan mal, Mik?" tanya Pak Darmo lembut. Mulutnya bergantian antara bicara
dan nyeruput kopi, melenguh lega, "Kalau mereka rame, ya sudah. Terserah
mereka. Kalau nanti kena batunya, ya itu salah mereka. Mau kamu masjid kita
jadi kena batunya juga?"

"Enggak gitu, Pak... Kenapa mal-mal, bandara-bandara, toko-toko itu boleh


buka, boleh digeruduk orang banyak, tapi malah masjid enggak boleh? Kan
enggak adil." Azmi masih membantah.
IMAM KAMI TIDAK ZAKAT FITRAH

"Yaa semisal masjid kita beneran mau dibuka. Beneran mau dibiarkan
berjubel, penuh sama orang-orang yang sudah kebelet sholat di masjid itu.
Terus bedanya sama mal-mal itu apa, Mik?

"Kita ini disuruh mengutamakan buat menghindari mudhorot tinimbang


mengambil manfaat. Betul, manfaatnya masjid jadi rame lagi. Warga bisa
sembahyang jamaah lagi. Tapi mudhorotnya itu loo, Mik... Bisa-bisa kita
malah jadi mengundang Izrail."

Azmi termenung. Ia memikirkan apa yang dikatakan Pak Darmo itu


dalam-dalam. Ia pun sadar kalau masjid tidak pernah ikut lomba popularitas
dengan tempat manapun. Masjid yaa masjid. Azmi menatap kosong pada
kebon yang gelap di belakang masjid, berpikir.

"Ah, tapi kata orang-orang virus corona ini ga bahaya-bahaya banget kok,
Pak. Pemberitaannya aja yang dilebih-lebihkan. Cuman kayak flu palingan.
Toh, pasien yang dinyatakan sembuh juga banyak. Melebihi yang meninggal.
Kan berarti aman itu?" kelitnya. Ia masih tak bisa menerima masjid harus
tetap tutup padahal warga seenaknya belanja ke mal dan toko-toko.

Pak Darmo menarik napas panjang.

"Ya sudah," Pak Darmo menyerah pada anak muda itu, "Terserah kamu saja
mau dibuka atau mau diapakan masjid ini. Kamu marbotnya. Aku cuman
imam, tapi bukan jajaran pengurus." Beliau mengambil sebatang rokok dari
saku celana. Membarakannya dengan korek. Mulutnya kebal-kebul

Setidaknya begitu percakapan terakhir yang diingat Azmi dengan Pak Darmo.

Setelah keputusan Azmi itu, masjid dibuka lagi. Jamaah mulai terisi. Kali ini
bukan Cuma dari warga kampung. Tapi juga kampung sebelah. Bahkan para
pengendara yang lewat di jalanan raya. Sholat tarawih kembali ramai. Bahkan
kebiasaan tadarusan usai tarawih pun bisa kembali muncul. Masjid kembali
hidup. Setidaknya barang sesaat.

Pak Darmo batuk-batuk. Napasnya pun sering tersengal dan


pendek-pendek. Awalnya dia masih memaksa diri buat jadi imam. Tapi seiring
waktu, dia sendiri tak kuat buat jalan dari rumahnya ke masjid. Batuknya
makin menjadi tiap hari. Beliau mengurung diri di kamar. Melarang istri,
bahkan anaknya, buat masuk dan mendekat.
IMAM KAMI TIDAK ZAKAT FITRAH

Sampai hari itu, Pak Darmo dijemput tim medis di rumahnya. Protokol
pasien terinfeksi. Orang-orang dengan hazmat, masker berlapis, dan kaca
mata membawanya ke dalam ambulans. Azmi memperhatikan itu semua dari
jauh. Matanya berkaca-kaca tak percaya. Hasil tes Pak Darmo sudah keluar.
Beliau positif.

Usai penjemputan Pak Darmo yang disaksikan warga kampung itu, masjid
kampung langsung ditutup lagi. Bahkan dikarantina. Semua jamaah dites.
Mulai dari Azmi, Mas Nur beserta istrinya, bahkan Alif yang masih di bawah
10 tahun itu. Juga beberapa warga lain yang menambahkan diri jadi jamaah
setelah masjid dibuka kembali. Untung mereka semua negatif. Carrier virus
bukan di antara mereka. Azmi bernapas lega. Namun disusul dengan
kekhawatiran yang lain mengingat Pak Darmo yang masih dirawat di rumah
sakit. Masjid dan rumah Pak Darmo disemprot disinfektan.

Hari terakhir puasa, Azmi sibuk mencatat zakat fitrah warga kampung.
Siapa saja yang sudah menyumbang, untuk berapa jiwa, dan siapa saja yang
bakal dapat jatah zakat fitrah. Ia dibantu beberapa remaja masjid yang masih
sedikit ragu buat dekat-dekat dengannya. Menurutnya ini sepadan. Ini semua
pilihannya, keputusannya.

Seorang lelaki muda mendatangi masjid membawa empat karung beras


2,5 kg. Itu Muhtar. Anak Pak Darmo yang sudah menikah. Dia dan istrinya
tinggal menumpang di rumah bapaknya itu. Langkahnya berat. Ditaruhnya
karung-karung itu di teras belakang masjid. Azmi menyambutnya.

"Zakat fitrah Bu Darmo sekeluarga, Mik," katanya pelan.

Azmi mengiyakan. Dia menghitung. "Ini baru 10 kg lho, Mas Muh. Baru
mencakup 3 orang," tukasnya. Keluarga Pak Darmo yang berisi 4 jiwa itu
harusnya menyumbang kurang lebih 12 kg beras.

"Bapak ndak zakat, Mik."

"Kenapa?" Azmi bertanya bingung.

Muhtar tak menjawab.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un," sebut Azmi terkejut.

Anda mungkin juga menyukai