Anda di halaman 1dari 15

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.2 (2021.1)

Nama Mahasiswa Hendriek Lyston Sihotang:


…………………………………………………………………
……………………..
Nomor Induk Mahasiswa/NIM 042573233:
…………………………………………………………………
……………………..
Tanggal Lahir 9 September 1975:
…………………………………………………………………
……………………..
Kode/Nama Mata Kuliah ADPU4332/Hukum Administrasi Negara:
…………………………………………………………………
……………………..
Kode/Nama Program Studi 311/Ilmu Hukum S1:
…………………………………………………………………
……………………..
Kode/Nama UPBJJ JAKARTA:
…………………………………………………………………
……………………..
Hari/Tanggal UAS THE 14 Juli 2021:
…………………………………………………………………
………………………

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa Hendriek Lyston Sihotang:


………………………………………………………………
……………………..
NIM 042573233:
………………………………………………………………
……………………..
Kode/Nama Mata Kuliah ADPU4332/Hukum Administrasi Negara:
………………………………………………………………
……………………..
Fakultas FHISIP:
………………………………………………………………
……………………..
Program Studi Ilmu Hukum S1:
………………………………………………………………
……………………..
UPBJJ-UT JAKARTA:
………………………………………………………………
………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE
pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan
soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai
pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media
apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik
Universitas Terbuka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Bekasi, 14 Juli 2021
Yang Membuat Pernyataan

Hendriek Lyston Sihotang


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1.a. Di berhentikan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2O2O TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR I1 TAHUN 2OI7 TENTANG
MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL Pasal 250 PNS diberhentikan tidak dengan hormat
apabila:
a. melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan Jabatan atau tindak pidana kejahatan
yang ada hubungannya dengan Jabatan;
c. menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau
d. dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana.

1.b. Subjek hukum yang bisa mengajukan gugatan ke PTUN dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 9/2004”) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 51/2009”) adalah orang atau badan hukum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (“KTUN”) dapat mengajukan gugatan. Pasal 1 angka 12 UU
51/2009 menjelaskanbahwa Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Yang perlu disiapkan adalah:


Gugatan terhadap lembaga badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan KTUN.
Berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU 51/2009, gugatan merupakan permohonan yang berisi tuntutan
terhadap badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan
putusan.Dalam melakukan gugatan ke PTUN, dapat digunakan alasan-alasan yang dijelaskan
dalam Pasal 53 ayat (2) UU 9/2004 sebagai berikut :
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

2.1. Standar dan Pedoman Pemeriksaan.


Sebagai anggota dari INTOSAI, BPK memperhatikan dan menggunakan standar pemeriksaan
internasional atau International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) untuk
pengembangan standar pemeriksaan BPK. Pengembangan ISSAI di lingkungan INTOSAI seperti
perubahan ISSAI Framework menjadi IFPP-INTOSAI Framework of Professional Pronouncements
yang terdiri dari INTOSAI Principles, ISSAI dan INTOSAI GUIDE akan membawa pengaruh di dalam
pengembangan standar dan pedoman pemeriksaan BPK.

INTOSAI menggunakan mekanisme pengukuran kinerja lembaga pemeriksa, yaitu Supreme Audit
Institution Performance Measurement Framework (SAI PMF). SAI PMF merupakan instrumen yang
dikembangkan oleh INTOSAI Development Initiative untuk melakukan penilaian kualitatif dan holistik
atas kapabilitas organisasi secara menyeluruh dengan kriteria yang dikembangkan berdasarkan
ISSAI serta best practices yang berlaku secara internasional.

Secara garis besar, SAI PMF terbagi menjadi 6 (enam) domain utama yang menjadi dasar
pengukuran organisasi secara menyeluruh yang mendukung perwujudan SAI bermanfaat bagi
masyarakat (value and benefits of SAI). Keenam domain utama tersebut meliputi:
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

✓ Pengukuran terkait Kapasitas SAI atau BPK sebagai Lembaga Pemeriksa (SAI Institutional
Capacity)
✓ Pengukuran terkait Sistem Organisasi Keseluruhan dan Kapasitas Internal Organisasi secara
Profesional (SAI Organizational Systems and Professional Staff Capacity)
1. Domain A: Independence and Legal Framework Domain ini berisi kerangka independensi,
konstitusi, maupun landasan hukum lainnya yang menjamin independensi dan pelaksanaan
mandat SAI beroperasi
2. Domain B: Internal Governance and Ethics Domain ini berisi perencanaan strategis
organisasi, perencanaan operasional organisasi, serta standar etika dan mutu organisasi
secara keseluruhan
3. Domain C: Audit Quality and Reporting Domain ini mengatur mengenai kualitas pemeriksaan
yang dilaksanakan masing-masing lembaga pemeriksa secara keseluruhan, mulai dari
perencanaan pemeriksaan, pelaksanaan pemeriksaan, hingga pelaporan dan pemantauan
tindak lanjut hasil pemeriksaan.
4. Domain D: Financial Management, Assets and Support ServicesDomain ini berisi mengenai
lembaga pemeriksa dalam mengelola sumber daya organisasi yaitu sumber daya keuangan,
aset, infrastruktur, dan layanan pendukung lainnya dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
5. Domain E: Human Resources and Training Domain ini berisi tentang bagaimana lembaga
pemeriksa mengelola dan mengembangkan SDM dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
6. Domain F: Communication and Stakeholders Management Domain ini mengatur mengenai
pengelolaan hubungan lembaga pemeriksa dengan pemangku kepentingan melalui
komunikasi yang efektif.
Secara keseluruhan, domain tersebut terdiri dari 25 indikator dan 79 dimensi yang mencakup kriteria-
kriteria sebagai dasar penilaian pengukuran kinerja atas lembaga pemeriksa. Pengukuran dengan SAI
PMF bersifat: (i) kualitatif yang menarasikan kondisi organisasi berdasarkan kriteria-kriteria; (ii) holistik
yang menilai organisasi secara menyeluruh; dan (iii) memiliki posisi yang sejajar dalam pencapaian
tujuan organisasi sehingga lebih berguna untuk mendeteksi area yang bermasalah dalam organisasi.
SAI PMF menekankan pada pendekatan proses yang mengukur kinerja utama kegiatankegiatan
pendukungnya. Hasil penilaian dengan metodologi SAI PMF digunakan BPK sebagai basis perumusan
rencana strategis dan pengukuran kinerja untuk perbaikan kinerja organisasi
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

2.2. 1. Opini pemeriksaan tahun sebelumnya;


2. Risiko pemeriksaan (AR) pada saat perencanaan pemeriksaan; dan
3. Faktor-faktor yang memengaruhi materialitas, baik berasal dari pemeriksaan tahun sebelumnya
maupun tahun berjalan.

2.3. Untuk menghasilkan sebuah produk audit yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan
diperlukan lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara.
Dalam penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang
nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan, “Yang
dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang
sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan
publik yang ditunjuk.”

Adapun siapa instansi berwenang yang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menguji Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “...untuk mempertimbangkan keadaan khusus dan kongkret
sekitar peristiwa yang terjadi, yang secara logis dapat disimpulkan kerugian negara terjadi atau tidak
terjadi, haruslah dilakukan oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian negara, serta ahli
dalam analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian...”. “Kesimpulan demikian harus
ditentukan oleh seorang ahli di bidangnya.” Ahli dalam bidangnya sebagaimana diputuskan
Mahkamah Konstitusi tersebut adalah jika ahli tersebut ditunjuk berdasarkan putusan pengadilan
untuk menilai dan menetapkan kerugian negara. Akan tetapi, jika ahli tersebut diminta oleh penyidik
atau pihak lainnya yang berasal dari lembaga negara/lembaga pemerintah non-
kementerian/akuntan publik/lembaga lain yang relevan, ahli tersebut harus memiliki kewenangan
publik untuk menetapkan dan menghitung kerugian negara.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Menurut hukum administrasi negara, kewenangan adalah kekuasaan publik yang ditetapkan dengan
undang-undang. Menetapkan dan menilai kerugian negara termasuk ke dalam tindakan publik yang
harus mendasarkan pada undang-undang karena tindakan menetapkan dan menilai kerugian
negara merupakan dasar pengambilan tindakan paksa dan tindakan hukum lainnya oleh pihak lain,
khususnya oleh pihak aparatur hukum.

Dengan demikian, lembaga yang berwenang menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian
negara harus juga diatur dengan undang-undang untuk maksud menjaga kepastian hukum dan
menjaga proses penilaian, penghitungan, dan penetapan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan dan
pengaruh manapun karena termasuk bagian dari process due of law. Pasal 10 ayat (1) Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan mengatur wewenang Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk, “menilai dan menetapkan jumlah kerugian negara yang
diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara.”

Dengan demikian, apabila Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dikaitkan dengan Pasal 10
ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006, instansi yang berwenang adalah Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK). Secara konstitusional, kewenangan BPK sebagai pemeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam Pasal 23E UUD negara
Republik Indonesia tahun 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.

Mengenai badan atau lembaga lain yang secara formal melakukan penilaian, perhitungan, dan
penetapan kerugian negara yang didasarkan pada memorandum kesepahaman (memorandum of
understanding) atau permintaan penyidik, sepanjang mendapatkan persetujuan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai badan yang berwenang, badan atau lembaga lain dapat melakukannya
untuk dan atas nama BPK berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (3) Undang-undang Nomor 15
Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat jenderal


kementerian/lembaga, dan inspektorat daerah provinsi/kabupaten/kota tidak memiliki kewenangan
berdasarkan undang-undang untuk : menilai, menghitung, dan menetapkan kerugian negara. BPKP
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 1986 Tentang Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan memang memiliki kewenangan menghitung kerugian negara, tetapi Keputusan
Presiden Nomor 31 Tahun 1986 tersebut sudah dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 62
Tahun 2001, sehingga kewenangan menghitung kerugian negara sudah tidak berlaku lagi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah, BPKP merupakan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Pasal 48 ayat (2) huruf
a mengatur, aparat pengawasan intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui : audit.

Sebagaimana tugas dan fungsi masing-masing BPK dan BPKP tersebut, dalam pelaksanaan
dilapangan menimbulkan celah yang dimanfaatkan oleh pelaku Korupsi untuk melakukan
pembelaan atas perbuatannya yang menimbulkan kerugian keuangan Negara, bahkan sering terjadi
pula perbedaan hasil penghitungan kerugian Negara antar kedua instansi tersebut, hal itulah
menjadi salah satu faktor Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA )
nomor 4 tahun 2016. SEMA tersebut mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu point
rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
secara konstitusional berwenang men-declaire kerugian keuangan Negara.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

3.1. New Public Service setidaknya ingin mengembalikan posisi masyarakat sebagai pihak yang perlu
mendapat pelayanan publik dan tidak dikonotasikan sebagai pelanggan. Bila masyarakat
dikonotasikan pelanggan, maka akan terbentuk model pelayanan yang memicu diskriminasi
pelayanan dengan melakukan perbedaan pelayanan melalui tingkatan ekonomi pelanggan.

New Public Service memberikan pengertian bahwa pemerintah bergerak bukan layaknya sebuah
bisnis tetapi sebagai sebuah demokrasi. Aparaturpelayanan publik bertindak atas dasar prinsip-
prinsip dan memperbaharui komitmen dalam mengekspresikan prinsip dalam kepentingan publik,
proses pemerintahan dan mencurahkannya dalam prinsip kewarganegaraan yang demokratis
(Pasolong 2016: 141).

Dalam New Public Service, penyedia layanan publik seyogyanya memperhatikan kepentingan
masyarakat, memperhatikan apa yang menjadi ekspetasi masyarakat saat mereka mengakses
pelayanan publik. Organisasi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik seyogyanya tidak
menjalankan kegiatannya dengan prinsip bisnis karena prinsip tersebut akan menjadi kendala bagi
masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi dalam mengakses pelayanan publik.

New Public Service sebagai paradigma dalam Administrasi Publik ingin memposisikan masyarakat
bukan sebagai pelanggan seperti pada New Public Management (NPM). Dengan demikian,
penyedia layanan harus merubah mind set dan culture setnya agar fokus pada kepentingan publik.
Asas dan prinsip dalam pelayanan publik harus menjadi acuan bagi pemberi layanan diantaranya
transparansi, akuntabilitas, kesamaan hak dalam mengakses pelayanan dan kemudahan akses bagi
penerima layanan.

3.2. Penyelenggara Pelayanan Publik berasaskan :


1. Kepentingan umum
Pelayanan publik yang berdasarkan kepentingan umum menginginkan bahwa pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat harus selalu mendahulukan kepentingan orang
banyak dengan tidak mensyaratkan beban tetentu.
2. Kepastian hukum
Kepastian hukum dalam pelayanan publik menginginkan bahwa pemerintah dalam memberikan
pelayanan harus didasarkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Kesamaan hak
Kesamaan hak dalam pelayanan menghendaki bahwa pemerintah jika memberikan pelayanan
kepada masyarakat tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status
ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban
Keseimbangan hak dan kewajiban dalam pelayanan publik menghendaki bahwa pemerintah jika
memberikan pelayanan harus berdasarkan keseimbangan hak dan kewajiban dari masyarakat,
dan pemerintah.
5. Keprofesionalan
Keprofesionalan dalam pelayanan publik menginginkan bahwa pemerintah dalam melayani
masyarakat harus mengutamakan kemampuan dan moral para pegawai.
6. Partisipatif
Partisipatif dalam pelayanan publik menghendaki bahwa pelayanan diharapkan dapat
mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif
Persamaan perlakuan dalam pelayanan publik menghendaki bahwa pemerintah dalm
memberikan pelayanan kepada masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang sama atau tidak
dibeda-bedakan.
8. Keterbukaan
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Keterbukaan dalam pelayanan publik menginginkan bahwa pemerintah dalam memberikan


pelayanan kepada masyarakat harus memiliki sikap terbuka, dan dapat diakses serta disediakan
secara memadai dan mudah di mengerti.
9. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam pelayanan publik menghendaki bahwa pemerintah dalam memberikan
pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan
Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan dalam pelayanan publik menghendaki
bahwa dalam pelayanan harus menyediakan fasilitas yang membantu lansia, ibu hamil, dan
penyandang cacat, serta adanya perlakuan yang lebih memperhatikan kelompok rentan tersebut
yang sedang melakukan proses pelayanan.
11. Ketepatan waktu
Ketepatan Waktu dalam pelayanan publik menghendaki bahwa pemerintah dalam memberikan
pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentukan.
12. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan dalam pelayanan publik menghendaki bahwa
dalam penyelenggaraan pelayanan harus cepat dalam proses pelayanan dari aparat, kemudahan
dalam artian tidak dipersulit dalam pelayanan, serta Keterjangkauan dalam artian dalam
pelayanan dapat dijangkau oleh semua kalangan atau dalam pelayanan tidak dipungut biaya
(gratis).

3.3. Sesungguhnya telah cukup banyak peraturan yang mengatur berbagai hal yang menyangkut
aksesibilitas pelayanan dan fasilitas publik untuk masyarakat dengan kebutuhan khusus.
Pemikiran untuk meningkatkan kualitas hidup bagi kelompok masyarakat difabel (different ability)
atau sering disebut dengan “orang yang memiliki kemampuan berbeda” didasarkan atas prinsip
kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan
terutama yang berkenan dengan masalah aksesibilitas, rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan
serta pendidikan.

Landasan kebijakan untuk peningkatan kualitas hidup difabel yang didasarkan atas prinsip
kesetaraan (persamaan) kesempatan dan partisipasi dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan
khususnya terkait dengan aksesibilitas, rehabilitasi, kesempatan kerja, kesehatan serta
pendidikan, secara umum sudah cukup tersedia baik pada tataran konstitusional maupun
peraturan perundang undangan di pusat. Dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat (2) menyebutkan bahwa
“seluruh warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak”, artinya bahwa ada
persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik.

Selain itu pasal 34 ayat 3 menyatakan bahwa, “Negara bertanggungjawab atas penyediaan
fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Artinya pemerintah berkewajiban
untuk menyediakan aksesibilitas pelayanan umum yang memadai bagi masyarakat. Sebagai
implementasi nyata dari amanah Undang-Undang Dasar tersebut Pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang khusus bagi difabel, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menjelaskan bahwasannya


difabel adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan selayaknya.
Penyandang cacat sendiri terdiri dari: (1) penyandang cacat fisik; (2) penyandang cacat mental;
dan (3) penyandang cacat fisik dan mental.

Pengertian cacat sebagaimana digambarkan di atas sejak tahun 1998 memperoleh sebutan baru
yang dipopulerkan oleh beberapa aktivis penyandang cacat dengan istilah “difabel” yang
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

merupakan singkatan dari “different ability people”. Istilah tersebut secara bebas diterjemahkan
dengan “orang yang berbeda kemampuan”. Istilah difabel didasarkan pada realita bahwa setiap
manusia diciptakan berbeda.

Sehingga yang ada sebenarnya hanyalah sebuah perbedaan bukan kecacatan. Dikalangan
penyandang cacat sendiri istilah difabel belum seluruhnya setuju, karena istilah tersebut hanyalah
bentuk penghalusan bahasa (eufeminisme) sebagai akibat kurangnya keberpihakan, baik dari
pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Namun tanpa mengabaikan mereka yang
berpendapat belum setuju atas istilah tersebut, dalam uraian selanjutnya pengertian penyandang
cacat dan difabeldigunakan secara bergantian.

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 menjamin hak yang harus diperoleh
penyandang cacat, termasuk didalamnya aksesibilitas dalam pelayanan. Lebih lanjut dalam Pasal
6 disebutkan bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh:
(1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
(2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecatatan,
pendidikan, dan kemampuannya;
(3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;
(4) Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;
(5) Rehabilitasi bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan
(6) Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Dalam Pasal 6 tersebut bahwa aksesibilitas merupakan salah satu amanah yang harus ditunaikan
Pemerintah kepada difabel, disamping kewajiban lainnya yang tidak kalah pentingnya. Menurut
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2007 aksesibilitas merupakan kemudahan yang disediakan bagi
difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.

Sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan
peluang kepada difabel untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek
kehidupan dan penghidupan.
Hak aksesibiltas difabel juga ditegaskan pada bagian lain dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2007 ini pada pasal 9 bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Kemudian dijelaskan dalam pasal 10 tentang
kesamaan hak para difabel, yaitu meliputi:
(1) Kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesibilitas.
(2) Penyediaan aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan keadaan dan lingkungan yang
lebih menunjang penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat.
(3) Penyediaan aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan
oleh Pemerintah dan/atau masyarakat dan dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan
berkesinambungan.

Pasal 29 mengatur tentang sanksi kepada pihak yang mengabaikan kesempatan pendidikan
kepada para difabel, yaitu:
(1) Barang siapa tidak menyediakan aksesibilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 atau
tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi penyandang cacat sebagai
peserta didik pada satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dikenakan sanksi administrasi.
(2) Bentuk, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Bahkan pemerintah pun mewajibkan
instansi di lingkungan pemerintah untuk memperhatikan akses kepada para difabel dan
memberikan sanksi terhadap pelanggaran hak aksesibilitas bagi difabel.
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

4.1. Dalam konteks kesejahteraan, tentu kebijakan publik yang dilakukan pemerintah untuk mencapai
tujuan serta sasaran dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan indikator-indikator
Kesejahteraan yang telah ditetapkan lebih dahulu.

Kebijakan publik sebagai suatu kebijakan pemerintah adalah keputusan-keputusan yang mengikat
bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik/pemerintah. Kebijakan pemerintah sebagai suatu keputusan yang mengikjat publik
maka haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau
orang banyak umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.

Kebijakan pemerintah oleh administrasi negara yang dijalankan oleh penyelenggara negara dan
disebut juga birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan pemerintah dalam negara modern
adalah pelayanan publik yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk
mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.

Pemerintah Indonesia secara definitif memiliki beberapa pengertian yang berbeda. Pada
pengertian yang lebih luas, dapat merujuk secara kolektif pada tiga cabang kekuasaan pemerintah
yakni cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Selain itu juga diartikan sebagai Eksekutif da
Legislatif secara bersama-sama, karena kedua cabang kekuasaan inilah yang bertanggungjawab
atas tata kelola bangsa dan pembuatan undang-undang. Sedangkan pada pengertian lebih sempit,
digunakan hanya merujuk pada cabang eksekutif berupa Kabinet Pemerintah karena ini adalah
bagian dari pemerintah yang bertanggungjawab atas tata kelola pemerintahan sehari-hari.

AMANAT KONSTITUSI : NEGARA KESEJAHTERAAN


Amanat Konstitusi yaitu UUD 1945, pada Pembukaan ada frasa yang berbunyi “ memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang didasarkan pada prinsip
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan yang dimuat di dalam pembukaan tersebut
dilanjutkan pada batang tubuh UUD 1945 dituangkan dalam pasal-pasal 27 ayat (2), 31, 32, 33,
dan 34. Pasal 27 ayat (2) menentukan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pasal 31 menentukan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak mendapat pengajaran.

Sementara itu, pasal 32 menentukan mengenai tugas pemerintah untuk memajukan kebudayaan
nasional dan pasal 34 menentukan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara. Sedang pasal 33 mengatur mengenai masalah ekonomi, yang menganut sistem
kekeluargaan, dan menentukan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi rakyat dan
bumi dan air, dan kekayaan alam yang ada di atasnya dikuasai oleh negara.

Setelah amandemen atas UUD 1945 khususnya dengan amandemen kedua, pasal-pasal
mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi :
(1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, (2) setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, (3) setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat, (4) setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Setelah amandemen atas UUD 1945 khususnya dengan amandemen kedua, pasal-pasal
mengenai ekonomi dan kesejahteraan rakyat ditambah, yaitu dengan pasal 28H yang berbunyi :
(1) setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, (2) setiap
orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, (3) setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat, (4) setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Dalam implementasi untuk melaksanakan Konstitusi UUD 1954, sebagai negara kesejahteraan,
maka pemerintah telah menerbitkan berbagai peraturan perundang-undangan agar target setting
yang ingin dicapai dapat dilaksanakan oleh penyelenggaran negara yaitu Pemerintah dengan
perangkat birokrasi dan keterlibatan seluruh masyarakat.

4.2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial


Pasal 24
(1) Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung jawab:
a. Pemerintah; dan
b. Pemerintah daerah.
(2) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan:
a. untuk tingkat provinsi oleh gubernur;
b. untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota.

Pasal 25
Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial meliputi:
a. merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
b. menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
c. melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial
sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial;
e. mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan tanggung
jawab sosialnya;
f. meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang kesejahteraan
sosial;
g. menetapkan standar pelayanan, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan
kesejahteraansosial;
h. melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap kebijakan dan aktivitas pembangunan;
i. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian kesejahteraan sosial;
j. melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
k. mengembangkan jaringan kerja dan koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan
sosial tingkatnasional dan internasional dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
l. memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional;
m. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial; dan
n. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 26
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan dan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial selaras dengan
kebijakan pembangunan nasional;
b. penetapan standar pelayanan minimum, registrasi, akreditasi, dan sertifikasi pelayanan
kesejahteraan sosial;
c. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
d. pelaksanaan kerja sama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan negara lain, dan
lembaga kesejahteraan sosial, baik nasional maupun internasional;
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

e. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial;
f. pendayagunaan dana yang berasal dari dunia usaha dan masyarakat;
g. pemeliharaan taman makam pahlawan dan makam pahlawan nasional; dan
h. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

Pasal 27
Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas kabupaten/kota, termasuk
dekonsentrasi dan tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

Pasal 28
Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat lintas kabupaten/kota
selarasdengan kebijakan pembangunan nasional di bidang kesejahteraan sosial;
b. penetapan kebijakan kerja sama dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dengan lembaga
kesejahteraan sosial nasional;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial
sesuai dengan kewenangannya;
d. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
e. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
f. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

Pasal 29
Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan kesejahteraan sosial
meliputi:
a. mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam anggaran
pendapatan dan belanja daerah;
b. melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya/bersifat lokal, termasuk
tugas pembantuan;
c. memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada masyarakat yang menyelenggarakan
kesejahteraan sosial;
d. memelihara taman makam pahlawan; dan
e. melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

Pasal 30
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
a. penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat lokal selaras dengan
kebijakanpembangunan nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial;
b. koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan kesejahteraan sosial di wilayahnya;
c. pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan dan penyaluran bantuan sosial
sesuai dengan kewenangannya;
d. pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
e. pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan kesetiakawanan sosial.

Pasal 31
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Anda mungkin juga menyukai