com
RATU BERLIAN
Sidney Sheldon
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
Daftar Isi :
RATU BERLIAN
Daftar Isi :
BUKU SATU
PROLOG
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
BUKU KE TIGA
23
24
25
27
28
29
30
31
32
33
34
35
EPILOG
36
37
BUKU SATU
MASTER OF THE GAME
by Sidney Sheldon
Copyright © 1982 by Sheldon Literary Trust
All rights reserved including the rights of reproduction in whole or
in part in any form.
RATU BERLIAN
Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 402 89.615
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1989
Cetakan kedua, Juli 1990
Cetakan ketiga, Juni 1991
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney/
Ratu Berlian: I / oleh Sidney Sheldon ; alihbahasa,
Indri K. Hidayat. — Jakarta : Gramedia Pustaka Utama/1989.
256 hal.; 18 cm.
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Judul asli: Master of the Game
ISBN 979‐403‐614‐5 (No. Jil. lengkap).
ISBN 979‐403‐615‐3 (Jil. 1).
1. Fiksi Amerika. I. Judul. II. Hidayat, Indri K.
8XQ3
Untuk saudaraku,
Richard yang berhati‐baja
Terima kasihku untuk Miss Geraldine Hunter
untuk kesabaran yang tak habis‐habis
dan bantuannya dalam menyiapkan naskah ini.
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
PROLOG
KATE
1982
RUANG dansa luas itu dipenuhi roh‐roh mereka yang
pernah begitu dekat, datang ikut merayakan ulang
tahunnya. Kate Blackwell melihat mereka bercampur
dengan tamu‐tamu berdasi hitam, bergaun malam kemilau
yang sedang asyik bergerak dalam irama musik. Ada
seratus tamu hadir dalam pesta di Cedar Hill House yang
letaknya di Dark Harbour, Maine, malam itu. Belum
termasuk rohroh itu, pikir Kate Blackwell masam.
Tubuhnya mungil, ramping. Sikapnya anggun—
membuat perempuan itu nampak lebih tinggi. Wajahnya
gampang diingat. Susunan tulangnya mantap, warna mata
abu‐abu dan dagu sedikit mencuat. Ia betul‐betul
mencerminkan campuran darah Scot dan Belanda yang
diwariskan kepadanya. Rambutnya yang semula hitam
lebat kini tipis putih. Gaun beludru warna gading yang ia
kenakan membuat kulitnya tampak lembut cemerlang.
Rasanya aku belum sembilan puluh tahun, pikir Kate
Blackwell. Ke mana saja perginya tahuntahun itu?
Dipandangnya roh‐roh yang berdansa. Mereka yang tahu.
Waktu itu mereka ada, bersamaku melewatkan waktu.
Banda, wajahnya yang hitam tersenyum lebar. Dan, itu dia
David! David yang begitu ia cintai. Tinggi, muda, dan
tampan—persis seperti yang dilihatnya kala ia pertama kali
jatuh cinta pada lelaki itu. David tersenyum
memandangnya. Sebentar lagi, Sayang! Sebentar lagi, begitu
kesejahteraan lebih dari lima puluh negara. Mengutip kata‐
kata Sir Winston Churchill almarhum, 'Belum pernah kita
begitu berutang budi pada seseorang.' Saya merasa
beruntung berkesempatan mengenal Kate Blackwell...”
Omong kosongi pikir Kate. Tak seorang pun kenal aku.
Dia pikir aku nabi. Apa kata orang
orang ini kalau mereka tahu Kate Blackwell yang
sebenarnya? Berayah maling dan diculik sebelum usianya
genap setahun. Bagaimana jika kutunjukkan kepada mereka
bekas lubang peluru yang tertinggal pada tubuhku?
Ia menoleh, memperhatikan lelaki yang pernah berusaha
membunuhnya. Pandangan Kate lalu beralih pada sosok
wanita bercadar yang berdiri di keremangan sebelah sana.
Dalam gegap‐gempitanya tepuk tangan hadirin, terdengar
oleh Kate Gubernur menutup pidatonya dan memberi
isyarat agar Kate menyambung. Ia bangkit, memandang
tamu‐tamu yang bergerombol. Ketika ia bicara, suaranya
tegas dan keras,
“Umurku sudah lebih dibanding kalian semua. Muda‐
mudi sekarang bilang, 'Ah, cuma begitu!' Tetapi aku
bersyukur masih hidup sampai kini. Kalau tidak, aku takkan
bersama kalian saat ini, Kawan! Aku tahu ada di antara
kalian yang menyempatkan datang dari negara jauh khusus
buatku. Kalian pasti capek. Tak adil rasanya jika kutuntut
kalian semua berenergi sepertiku.” Tepuk riuh dan tawa
pun berderai.
“Terima kasih. Kalian semua telah membuat malam ini
begitu berkesan buatku. Bagi yang sudah lelah, kamar
kalian sudah siap. Yang ingin berdansa, ruang dansa
menanti kalian.” Tepuk riuh terdengar lagi.
“Sebaiknya kita semua masuk, sebelum badak Maine
menyerang kita.”
Santap malam dan pesta dansa telah usai. Para tamu
masuk ke kamar mereka, beristirahat. Kate tinggal
BUKU KESATU
JAMIE
1883-1906
1
“ASTAGA, ini baru donderstrom namanya!” ucap Jamie
McGregor. Ia dibesarkan di suatu dataran tinggi yang sering
diamuk badai hebat di Skotlandia, tetapi belum pernah
menyaksikan badai seseram ini. Langit siang mendadak
digumul awan pasir dan hari pun mendadak gelap. Langit
berdebu dibelah oleh cahaya kilat. Weerlig, begitu orang
Afrika menyebutnya, membakar langit dan diikuti oleh
donderslag—guruh! Kemudian banjir. Hujan yang
menghantam kelompok kemah dan gubuk kaleng membuat
jalan‐jalan kotor di Klipdrift jadi sungai lumpur. Langit
digulung oleh gelegar guruh, satu menyusul lainnya seperti
rentetan peluru dalam peperangan.
Jamie McGregor cepat melangkah minggir waktu sebuah
rumah dari bata mentah mendadak hancur jadi lumpur.
Bisa bertahankah kota Klipdrift? pikirnya.
Sebenarnya Klipdrift bukanlah kota. Di sana cuma
berdiri entah berapa ratus kemah, gubuk, dan kereta—di
sepanjang tepi Sungai Vaal. Penghuninya para pemimpi
yang datang dari berbagai pelosok dunia—mengadu nasib,
mencari berlian!
Jamie McGregor adalah satu di antara mereka. Usianya
belum genap delapan belas. Ia pemuda tampan,
berperawakan tinggi dengan rambut pirang dan mata abu‐
Theatre pada jam istirahat. Tempat itu merupakan gedung
umum pertama yang mendapat sarana listrik. Beberapa
jalan utama juga sudah diterangi lampu listrik.
Dan, Jamie mendengar orang bisa mengobrol dengan
orang lain di seberang kota menggunakan mesin bernama
telepon. Jamie merasa ia sedang menjelang masa datang!
Di tengah munculnya berbagai inovasi dan kesibukan
kota London, Inggris sedang dilanda krisis ekonomi musim
dingin saat itu. Banyak penganggur dan orang kelaparan
keluyuran di jalan. Di sana‐sini terjadi demonstrasi dan
keributan. Aku harus cepat pergi dari sini, pikir Jamie. Aku
pergi menghindari kemiskinan. Keesokan harinya Jamie
menandatangani kontrak kerja sebagai pelayan di kapal
Walmer Castle yang hendak berlayar ke Cape Town, Afrika
Selatan.
Pelayaran ke sana memakan waktu tiga minggu. Walmer
Castle singgah di Madeira dan St. Helena untuk menambah
batu bara untuk bahan bakar. Gelombang laut luar biasa
besar dan kuat di tengah musim dingin. Jamie mabuk dari
saat kapalnya bergerak. Walaupun begitu Jamie tak pernah
murung, sebab setiap hari membawanya makin dekat ke
tanah sumber kekayaan. Cuaca berubah waktu kapal
memasuki daerah khatulistiwa. Cuaca dingin bersalju
mendadak beralih ke cuaca cerah musim panas. Makin
mendekati pantai Afrika, siang dan malam hawa terasa
panas dan lembab.
Walmer Castle tiba di Cape Town pada suatu subuh,
bergerak hati‐hati melintasi kanal sempit yang membatasi
tempat isolasi penderita lepra di Pulau Robben dengan
daratan Afrika. Kapal itu akhirnya menjatuhkan sauh di
Teluk Table.
Jamie berdiri di dek sebelum matahari terbit. Ia terpaku
menyaksikan kabut pagi seolah terangkat dan
Berbekal peta di tangan, Jamie berangkat menjelajah sisi
kota sebelah dalam, berbatasan dengan daerah
Rondebosch, Claremont, dan Wynberg—perkebunan
hampir gundul dan pertanian anggur membentang
sepanjang kira‐kira sembilan mil. Sisi lainnya berbatasan
dengan laut. Jamie berjalan melintasi daerah pemukiman
elite di sepanjang Jalan Strand dan Jalan Bree. Dengan
kagum dipandanginya bangunan‐bangunan megah
berloteng dengan atap datar dan teras tinggi.
Ia berjalan terus sampai akhirnya dipaksa masuk ke
salah satu bangunan oleh segerombolan lalat yang seolah
punya rasa dendam terhadapnya. Lalat‐lalat besar dan
hitam itu menyerangnya bergerombol‐gerombol. Waktu
Jamie kembali ke pondokannya, kamarnya penuh dengan
lalat yang serupa. Mereka hinggap menempel di dinding,
meja, dan bahkan ranjangnya.
Serta‐merta Jamie mengadu pada pemilik rumah.
“Nyonya Venster, bisa tolong menyingkirkan lalat dari
kamarku?”
Perempuan itu tertawa mengakak sambil mencubit
gemas pipi Jamie.
“Myn magtig. Nanti juga kau terbiasa hidup bersama
mereka. Percayalah.”
Sanitasi di Cape Town sangat kuno dan tak memadai.
Saat matahari tenggelam, kota itu bagai diselubungi uap
yang baunya tak enak bukan main. Meskipun demikian
Jamie tak berkeluh‐kesah. Ia butuh uang sebelum bisa
berangkat dari sana.
“Kau takkan mampu bertahan di padang berlian tanpa
uang cukup,” ia pernah diperingatkan orang. “Napas saja
mesti bayar!”
“Maaf,” ucap Jamie. “Ada apa sih di sana?”
“Tak ada apa‐apa,” gerutu lelaki itu tak senang. “Tempat
sudah terjual habis sampai enam minggu mendatang.”
Melihat kekecewaan pada wajah Jamie, katanya, “Bukan
cuma itu, Sobat! Orang sialan itu minta lima puluh pound
per kepala!”
Bukan main!
“Pasti ada cara lain buat mencapai ladang berlian.”
“Ada dua cara. Menumpang Dutch Express, atau jalan
kaki.”
“Apa itu Dutch Express?”
“Kereta sapi. Kecepatannya dua mil per jam. Berlian
yang kaukejar sudah habis ketika kau sampai ke sana
nanti!”
Jamie McGregor sama sekali tak punya niatan menunda
kedatangannya ke tempat itu sampai setelah berlian yang
diburunya habis. Pagi itu ia habiskan mencari pilihan
angkutan lain yang bisa membawanya ke sana. Menjelang
tengah hari ia mendapatkan yang dicari. Ia lewat di depan
sebuah gudang bertuliskan “GUDANG POS.” Tanpa pikir
panjang ia masuk. Seorang lelaki kurus sedang menaikkan
karung‐karung surat ke atas kereta tinggi beroda dua.
Jamie mengamati sejenak.
“Maaf,” katanya. “Surat‐surat itu mau dibawa ke
Klipdrift?”
“Betul.”
Timbul harapan dalam hati Jamie.
“Bisa bawa penumpang?”
“Kadang‐kadang.” Lelaki itu mendongakkan kepala,
memperhatikan Jamie. “Berapa umurmu?”
Pertanyaan aneh.
“Delapan belas. Mengapa, Pak?”
“Kami tak mau bawa penumpang yang berumur lebih
dari duapuluh satu atau dua puluh dua. Sehat?”
Lebih aneh lagi pertanyaannya.
“Sehat, Pak!”
Lelaki itu menggeliat.
“Kupikir kau bisa ikut. Aku berangkat kira‐kira sejam
lagi. Ongkosnya dua puluh pound.”
Jamie hampir tak percaya akan nasib baik yang
menimpanya.
“Bagus! Aku ambil koper dan...”
“Tak ada koper. Cuma ada tempat untuk satu hem dan
sikat gigi.”
Jamie memperhatikan dengan teliti kereta di depannya.
Kecil. Buatannya kasar. Bagian tengahnya cekung—tempat
karung surat. Agak ke atas ada bidang sempit yang bisa
diduduki penumpang, membelakangi saisnya. Perjalanan
nanti pasti melelahkan. Sudah bisa ditebak.
“Oke,” kata Jamie. “Aku ambil kemeja dan sikat gigiku
dulu.”
Waktu Jamie kembali, lelaki tadi sedang memasang kuda
di bagian muka kereta. Di situ ada dua lelaki muda
berperawakan besar. Seorang pendek berkulit hitam. Yang
lain tinggi berambut pirang —lelaki Swedia. Kedua lelaki
itu menyodorkan uang kepada sais.
“Tunggu,” seru Jamie. “Kaubilang aku boleh
menumpang.”
“Kalian semua kuberi tumpangan,” kata lelaki itu. “Ayo,
naiklah.”
“Tigatiganya ?”
“Ya.”
Jamie tak mengerti bagaimana mereka semua bisa
masuk ke ruang sempit dalam bendi itu. Walaupun begitu,
ia pasti akan ada di dalam situ kalau bendi berangkat nanti.
Jamie memperkenalkan diri kepada kedua penumpang
lainnya. “Namaku Jamie McGregor.”
“Wallach,” lelaki yang pendek hitam berkata.
“Pederson,” yang tinggi pirang menyusul.
“Kita beruntung mendapatkan tebengan ini,” komentar
Jamie. “Untung saja yang lain tak tahu.”
“Oh, mereka tahu ada kereta pos ini, McGregor. Cuma
saja, jarang yang bisa diterima jadi penumpang, atau yang
sebegitu tak sabarnya sampai mau menumpang kendaraan
macam begini.”
Jamie belum sempat menanyakan maksud ucapan
Pederson, ketika sais berkata, “Ayo, berangkat!”
Jamie terjepit di tengah kedua kawan penumpangnya.
Lutut mereka tak bisa digerakkan, sementara punggung
ketiganya bersandar rapat pada belakang sandaran kursi
sais. Tak ada ruangan untuk bergerak ataupun bernapas.
Tapi lumayan, Jamie menghibur diri.
“Hiyaa!” sais memberi isyarat kepada kudanya. Tak lama
kemudian mereka pun sudah melaju menuju ladang berlian
di Klipdrift.
Perjalanan dengan kereta sapi jauh lebih enak. Angkutan
penumpang dari Cape Town ke ladang berlian itu relatif
luas. Penutup kanvas melindungi penumpang dari teriknya
matahari. Setiap kereta berpenumpang kira‐kira selusin,
ditarik oleh beberapa ekor kuda atau bagal. Kereta berhenti
di beberapa stasiun, dan penumpang dijamu minum dan
kue‐kue di sana. Perjalanannya memakan waktu sepuluh
hari.
Lain halnya dengan kereta pos. Tak pernah berhenti,
kecuali untuk menukar kuda dan sais. Kecepatannya tinggi
terus tanpa mempedulikan keadaan jalan yang tidak
beraturan. Kendaraan ini tak punya per, dan karenanya
setiap benturan terasa seperti injakan kaki kuda. Jamie
merapatkan rahangnya sambil berkata dalam hati, Aku
tahan begini sampai kereta pos ini berhenti buat bermalam
nanti, makan, lalu tidur. Pasti besok kuat lagi. Tapi, ketika
malam tiba, mereka hanya berhenti sepuluh menit untuk
ganti kuda dan sais. Selanjurnya kereta dipacu lagi dengan
kecepatan‐tinggi.
“Kapan istirahat makan?'' tanya Jamie.
“Tak ada,” sahut sais, menggerutu. “Kita harus
secepatnya sampai. Yang kita bawa ini surat, Tuan!”
Mereka melaju terus sepanjang malam melintasi jalan‐
jalan berbatu dan berlubang yang diterangi bulan. Benda
kecil itu menanjak di tempat berbukit, meluncur turun ke
lembah dan melompat‐lompat di tanah datar. Sekujur
tubuh Jamie seperti dihajar dan lecet‐lecet oleh sentakan
yang tiada hentinya. Ia capek, tapi tak bisa tidur. Setiap kali
matanya terpejam, sentakan keras membangunkannya.
Tubuhnya pegal, tapi tak ada tempat untuk menggeliat.
Perutnya lapar, dan ia mulai mabok. Ia tak tahu kapan bisa
makan. Perjalanan dari Cape Town ke Klipdrift jaraknya
enam ratus mil. Jamie McGregor tak lagi berkeyakinan ia
bisa tahan menyelesaikan perjalanan itu. Ia tak lagi yakin
ada cukup kemauan dalam dirinya untuk menyelesaikan
perjalanan berat itu.
Pada malam hari kedua, penderitaannya telah berubah
menjadi siksaan. Kedua teman seperjalanan Jamie
kondisinya sama payahnya. Mereka bahkan tak mampu lagi
untuk mengeluh. Jamie mengerti sekarang, kenapa
perusahaan pos itu bersikeras agar penumpangnya muda
dan kuat.
Menjelang subuh, mereka memasuki wilayah Great
Karroo. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah
bentangan pasir datar dalam naungan terik matahari.
Penumpang lengket oleh keringat, debu, dan lalat.
Sesekali, tampak oleh Jamie sekelompok manusia
berjalan di gurun yang seolah diselimuti kabut panas yang
dipancarkan bumi. Beberapa orang nampak menunggang
kuda, entah berapa lusin naik kereta ditarik delapan belas
sampai dua puluh sapi. Saisnya membawa cambuk dan
“Bisa kubantu?”
Jamie menoleh. Seorang gadis muda berdiri di sana.
Jamie mengira‐ngira umurnya lima belasan. Wajahnya
menarik, berbentuk hati. Hidungnya mencuat dan matanya
hidup, berwarna hijau. Rambut gadis itu hitam, keriting.
Jamie mengamati tubuhnya. Ah, lebih cocok enam belasan.
“Aku pencari berlian,” ucap Jamie. “Kemari hendak beli
perlengkapan menggali.”
“Apa saja yang kauperlukan?”
Entah mengapa, Jamie merasa perlu mengesankan gadis
ini.
“Aku perlu—eh, yang biasa‐biasa saja.”
Gadis itu tersenyum.. Matanya mengerling nakal.
“Apa yang biasa‐biasa saja itu, Tuan?”
“Yah,” Jamie ragu‐ragu. “Sekop.”
“Cuma itu?”
Jamie tahu gadis itu mempermainkan dia. Ia menyeringai
dan mengaku,
“Terus terang, aku baru datang. Aku belum tahu apa saja
yang biasa diperlukan orang untuk menggali berlian.”
Gadis itu tersenyum. Senyum seorang wanita dewasa.
'Tergantung di mana kau akan mencari berlian, Tuan...”
“McGregor. Jamie McGregor.”
“Aku. Margaret van der Merwe.” Ia melirik ke belakang
toko dengan gugup.
“Oh, senang berkenalan dengan kau, Nona van der
Merwe.”
“Kau baru saja datang?”
“Ya. Kemarin. Menumpang kereta pos.”
“Mestinya orang memberi tahu kau bahwa itu
berbahaya. Banyak penumpang yang mati dalam
perjalanan.” Mata gadis itu memancarkan amarah.
Jamie meringis. “Pantas. Tapi, aku masih hidup, kok.
Terima kasih.”
“Dan sekarang mau cari mooi klippe.”
“Mooi klippe?”
“Itu berlian dalam bahasa Belanda. “Kerikil indah.”
“Kau Belanda?”
“Keluargaku datang dari Belanda.”
“Aku dari Skotlandia.”
“Sudah kuduga.” Dengan gugup ia melirik lagi ke
belakang. “Berlian memang ada di sekitar sini, Tuan
McGregor. Tapi, kau harus pandai‐pandai memilih ladang.
Umumnya pendatang membuntut orang lain. Pada waktu ia
sampai ke sana, berliannya sudah habis. Kalau kau betul‐
betul kepingin kaya, carilah sumber sendiri.”
“Bagaimana caranya?”
“Ayahku mungkin bisa menolongmu. Ia tahu segalanya.
Sejam lagi Ayah pasti punya waktu untukmu.”
“Kalau begitu, aku kembali nanti,” Jamie meyakinkan
gadis itu. “Terima kasih, Nona van der Merwe.”
Jamie melangkah kembali ke terik matahari di luar.
Kebahagiaan tiada tara merambati dirinya. Segala sakit di
tubuhnya terlupakan. Kalau Salomon van der Merwe
sendiri yang akan menunjukkan tempat berliannya, bisa
dipastikan usaha Jamie tak sia‐sia. Jamie tertawa keras‐
keras. Ia merasa girang, muda, dan penuh semangat. Jalan
menuju kekayaan telah ia temukan.
Jamie menelusur jalan raya, melewati pandai besi,
tempat main bilyard, dan kira‐kira setengah lusin kedai
minum. Lalu dilihatnya papan di muka sebuah hotel tua.
Jamie berhenti. Papan itu bertuliskan:
R‐D MILLER,
MANDI PANAS & DINGIN
BUKA TIAP HARI, JAM 6‐20
DILENGKAPI RUANG GANTI NYAMAN.
Jamie berpikir, Kapan aku mandi terakhir? Kalau tak
salah, di kapal. Ya, aku ambil seember air waktu itu. Dan itu
sudah—Mendadak ia sadar, tubuhnya pasti sudah bau
sekali. Terbayang olehnya mandi air panas di bak besar di
rumahnya. Seolah terdengar pesan ibunya, “Mandi yang
bersih, Jamie.”
Jamie membelok masuk ke tempat mandi. Ada dua pintu.
Satu untuk perempuan dan satu lagi untuk laki‐laki. Jamie
menuju ke bagian laki‐laki, lalu menghampiri penjaga.
Sudah tua sekali dia.
“Berapa ongkosnya?”
“Sepuluh shilling mandi dingin, lima belas buat mandi
panas.”
Jamie ragu sejenak. Mandi panas sehabis perjalanan
panjang melelahkan paling enak dan menyenangkan,
“Dingin saja,” ujarnya. Ia tak mampu bermewah‐mewah.
Belum lagi membeli peralatan untuk menggali berlian!
Penjaga tadi menyodorkan sepotong sabun alkali
berwarna kuning dan sehelai handuk gundul sambil
menunjuk.
“Masuklah ke situ.”
Jamie masuk ke sebuah ruangan kecil. Ada bak mandi
logam di tengah‐tengahnya dan beberapa kaitan
penggantung di dinding. Penjaga tadi mulai sibuk mengisi
bak mandi dengan air dari gentong kayu besar.
“Siap, Tuan. Gantung saja pakaian Anda di gantungan
itu.”
Jamie menunggu sampai penjaga itu pergi, baru
menanggalkan pakaian. Dipandanginya tubuhnya yang
tebal debu, lalu mencelup sebelah kakinya ke dalam bak.
Airnya dingin, seperti tertulis di papan. Jamie mengenakkan
rahang, lalu mencebur. Disabunnya sekujur tubuh kuat‐
kuat, dari kepala sampai jempol kaki. Ketika akhirnya ia
“Kalau dia percaya kepada Anda, besar kemungkinan dia
mau patungan dengan Anda.”
Tamu di bar itu mengamati pelayan di mukanya.
“Yeah? Kaupikir itu mungkin?”
“Sudah ada beberapa orang yang berhasil. Modal Anda
tenaga, dia biaya. Hasilnya dibagi dua, tentu!”
Pikiran Jamie meloncat ke depan. Tadinya ia cukup yakin
uangnya yang seratus dua puluh pound akan cukup untuk
membeli alat‐alat dan makan. Tapi, harga‐harga di Klipdrift
di luar bayangan! Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Di toko van der Merwe tadi ia
melihat sendiri satu karung tepung Australia harganya lima
pound. Satu pon gula harganya satu shilling. Biskuit tiga
shilling per poh‐nya. Sebotol bir lima pound, telur tujuh
shilling selusin. Dengan harga seperti itu, uangnya takkan
bertahan lama. Astaga, pikir Jamie, di rumah kami
sekeluarga bisa hidup setahun dengan harga tiga kali makan
di sini. Tapi, seandainya ia bisa mendapat dukungan
seorang kaya macam Tuan van der Merwe... Cepat Jamie
membayar harga makanan, lalu bergegas kembali ke toko
serba ada.
Salomon van der Merwe sedang berdiri di belakang
meja, mengeluarkan senapan dari kotaknya. Tubuhnya
kecil. Wajahnya yang kurus bercambang lebar. Rambutnya
kemerah‐merahan, matanya kecil berwarna hitam.
Hidungnya tebal bulat dan bibirnya tipis. Anak gadisnya
tadi pasti mirip ibunya, pikir Jamie.
“Permisi, Tuan...”
Van der Merwe mendongakkan kepala. “Ja?”
“Anda Tuan van der Merwe? Aku Jamie McGregor, Tuan.
Datang dari Skotlandia. Aku kemari hendak mencari
berlian.”
“Ja? So?”
“Kudengar Anda suka menyokong pencari berlian.”
kumaksudkan. Arah utara dari sini, di Magerdam. Tepatnya,
di tepi Sungai Vaal yang sebelah utara.”
Jamie mempelajari peta itu. Hatinya mulai berdegup
keras. “Berapa mil jaraknya, Tuan?”
“Di sini jarak diukur dengan waktu. Dengan keledai itu,
kau akan sampai ke sana dalam tempo empat atau lima
hari. Kembalinya makan waktu lebih lama karena beban
berlian yang kaubawa.”
Jamie nyengir. “Ja.”
Ketika Jamie McGregor melangkah lagi ke jalanan
Klipdrift, ia sudah bukan lagi seorang turis. Ia sudah jadi
pencari berlian—dalam perjalanan menuju kaya. Banda
sudah selesai menaikkan muatan ke punggung keledai yang
nampak rapuh dan tertambat pada tonggak di muka toko.
“Terima kasih.” Jamie tersenyum.
Banda menoleh, menatap mata Jamie dan pergi tanpa
mengucapkan apa‐apa. Jamie melepaskan tambatan
keledainya dan berbisik,
“Kita berangkat, yuk! Cari mooi klippe!”
Mereka menuju ke utara.
Jamie memasang kemah dekat sungai ketika malam tiba.
Sehabis menurunkan perbekalan, diberinya keledai makan
dan minum. Kemudian ia menyiapkan makan malam untuk
dirinya sendiri. Terdengar olehnya geram dan lolong serta
kecipak binatang liar yang turun ke sungai. Ia tak
terlindung dan dikelilingi oleh binatang liar paling ganas di
dunia, di tengah‐tengah daerah primitif terpencil. Tiap kali
didengarnya bunyi‐bunyian, ia terlonjak. Setiap saat ia
merasa hendak disergap atau diterjang binatang liar dari
kegelapan di luar sana. Pikirannya melayang. Terbayang
tempat tidur empuk di rumah. Rasa aman dan kenikmatan
di sana selama ini dianggapnya hal wajar. Tidurnya tak
nyenyak. Ia bermimpi singa, gajah, dan lelaki berperawakan
besar serta berkumis berjuang merebut berliannya.
Subuh, ketika Jamie terbangun, keledainya telah mati.
2
TAK percaya ia rasanya. Dicarinya bekas luka. Mungkin
semalam binatang itu diserang binatang buas. Tapi tak ada
bekasnya sama sekali. Keledai itu mati waktu tidur. Tuan
van der Merwe pasti minta pertanggungjawaban atas
kejadian ini, pikir Jamie. Tapi, kalau aku membawa berlian,
pasti dia tak marah.
Jalan kembali sudah tertutup. Ia harus meneruskan
perjalanan ke Magerdam tanpa keledai. Terdengar suara di
udara. Ia mendongak. Terlihat burung bangkai raksasa
terbang berkeliling‐keliling di atasnya. Jamie bergidik.
Secepatnya ia menyusun perlengkapan yang bisa dibawa
dan perlu. Lainnya terpaksa ditinggalkan. Dengan
menyandang ransel akhirnya ia berangkat. Ebook by :
Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/ Ketika lima
menit kemudian Jamie menoleh, sekelompok burung
bangkai sudah mengerumuni tubuh keledainya. Yang
terlihat masih utuh cuma kupingnya. Panjang. Jamie
mempercepat langkahnya.
Ketika itu bulan Desember. Di Afrika Selatan sedang
musim panas. Perjalanan melintasi gurun di bawah
sengatan matahari oranye sangat mengerikan. Jamie
memulai langkahnya di Klipdrift dengan ringan. Hatinya
gembira. Tetapi, dengan beralihnya menit ke jam dan jam
ke hari, langkahnya semakin lambat dan hatinya makin
berat tertekan. Sejauh‐jauh mata memandang yang
kelihatan hanyalah lautan pasir datar, panas, dan
mengerikan.
Jamie mendirikan tenda dekat mata air. Tidurnya
dicekam rasa aneh dan diganggu bunyi‐bunyian binatang
malam di sekitarnya. Bunyi‐bunyian itu sudah tidak terlalu
mengganggunya. Bunyi‐bunyian itu menandakan adanya
kehidupan di padang tandus itu. Setidaknya mereka
mengurangi kesepiannya. Suatu pagi Jamie bertemu dengan
kawanan singa. Dari jauh ia memperhatikan singa betina
menghampiri singa jantan dan anak‐anak mereka. Di
mulutnya, ia menggonggong bayi macan tutul. Macan
mungil itu ia jatuhkan di muka singa jantan, dan ia mundur
waktu si jantan melahap makanan yang dia bawakan.
Seekor anaknya sembarangan melompat, menerkam bayi
macan tadi. Serta‐merta si singa jantan mengayunkan kaki
depannya, menampar wajah anak singa itu hingga mati
seketika. Dengan tenang ia kembali menghampiri
mangsanya. Sesudah si jantan selesai makan, keluarganya
baru boleh mendekat, menghabiskan sisa‐sisanya. Jamie
perlahan‐lahan meninggalkan pemandangan itu.
Hampir dua minggu ia menyeberangi Karroo. Bukan
cuma sekali ia hampir menyerah, putus asa. Ia meragukan
kemampuannya menyelesaikan perjalanan. Aku tolol.
Mestinya kembali ke Klipdrift, minta keledai baru dari Tuan
van der Merwe. Tapi bagaimana kalau van der Merwe
membatalkan perjanjiannya? Ah, tidak! Aku mengambil
keputusan yang paling tepat, meneruskan perjalanan tanpa
keledai.
Jamie pun berusaha maju, selangkah demi selangkah.
Suatu hari dilihatnya empat sosok tubuh berjalan ke
arahnya dari kejauhan. Aku ngelindur, barangkali, pikir
Jamie. Cuma khayalanku. Tapi keempat orang itu bergerak
makin dekat. Hari Jamie berdebar. Manusia! Ada kehidupan
manusia di sekitar sini! Jangan‐jangan ia lupa bagaimana
caranya bicara. Ia mencoba mengeluarkan suara di tengah
hari bolong. Suaranya kedengaran seperti suara orang yang
sudah lama mati. Keempat orang itu akhirnya sampai ke
dekatnya. Mereka penggali berlian yang hendak kembali ke
Klipdrift—lelah dan kalah.
“Halo,” sapa Jamie.
Mereka mengangguk. Seorang berkata, “Tak ada apa‐apa
di sana, Nak. Sudah kami lihat. Kau cuma buang waktu.
Pulang saja.”
Mereka pun lalu.
Hanya satu yang dipikirkan Jamie. Pemborosan waktu.
Terik matahari dan lalat hitam yang menyerang dalam
gerombolan membuatnya tak tahan. Tapi, tak ada tempat
sembunyi. Ada pepohonan berduri, tapi dahan‐dahannya
sudah dipatahkan gajah. Jamie hampir buta oleh
benderangnya cahaya matahari. Kulitnya yang bule gosong.
Kepalanya pusing terus. Setiap isapan napas ke dalam paru‐
parunya serasa hendak meledakkan kepalanya. Pemuda itu
tak lagi berjalan, tapi terhuyung. Lunglai kaki yang satu dia
seret menyusul kaki lainnya. Tanpa pikir ia terus merayap
maju. Suatu siang, di bawah terik matahari yang berpijar,
Jamie menjatuhkan ransel punggungnya dan roboh ke
tanah. Tak kuat lagi ia melangkah. Matanya terpejam. Ia
bermimpi berada dalam tempat peleburan logam
sementara matahari sebuah berlian besar yang mencorong
membakarnya, melelehkan tubuhnya. Ia terbangun larut
malam. Tubuhnya menggigil kedinginan. Dipaksakannya
menggigit sedikit daging kering dan meneguk air hangat. Ia
tahu ia mesti segera bergerak sebelum matahari terbit,
selagi bumi dan langit masih sejuk. Ada dorongan buat
memilih yang paling gampang dalam dirinya, terus saja
berbaring di situ dan tidak usah melangkah lagi selama‐
lamanya. Aku hanya akan tidur sebentar lagi, pikir Jamie.
Tapi seolah ada bisikan jauh di dalam batinnya—dia takkan
pernah bangun lagi! Orang akan mendapatkan tubuhnya
tergeletak di sana seperti ratusan korban lainnya. Teringat
Jamie nimbrung ngobrol dengan penggali berlian lainnya
yang kurang beruntung.
“Dari mana kau, McGregor?”
“Skotlandia.”
“Aku tak tahu apa yang kaudengar di negerimu. Yang
jelas, berlian di sini tak cukup buat makan saja.”
Mereka mengobrolkan tempat galian lain: Gong Gong,
Forlorn Hope, Delports, Poormans Kopje, Sixpenny Rush...
Semua penggali punya cerita yang sama—membanting
tulang berbulan‐bulan: mencongkel batu raksasa, menggali,
mengayak lumpur sungai. Setiap hari ada berlian yang
ditemukan, tapi tak cukup banyak buat menjadikan
seseorang kaya. Setidaknya, penemuan yang sedikit itu
membantu mereka tak putus asa. Suasana di kota itu
merupakan campuran antara optimisme dan pesimisme.
Yang optimis datang, yang pesimis pergi. Jamie tahu ia
termasuk kelompok yang mana. Dihampirinya lelaki
Irlandia berkemeja merah itu. Matanya merah kebanyakan
alkohol. Ditunjukkannya peta van der Merwe kepada lelaki
itu.
Ia memperhatikan sebentar, lalu melempar kembali peta
itu kepada Jamie.
'Tak ada apa‐apanya. Sudah habis berlian di situ. Kalau
aku jadi kau, kucoba mencari di Bad Hope.”
Jamie hampir tak percaya. Peta van der Merwe‐lah yang
membawanya ke tempat itu. Pedomannya menuju
kekayaan.
Penggali lain berkata,
“Ke Coiesberg sajalah. Orang dapat berlian di sana, Nak.”
“Gilfillans Kop—itu baru tempatnya.”
“Menurutku, coba dulu di Moonlight Rush.”
Ketika mereka makan malam, Alice Jardine berkata,
“Dari mana aku—?” Jamie memandang lelaki Belanda di
depannya dengan bingung. “Kita punya kontrak.”
“Betul. Sudah kaubaca kontraknya?”
“Belum. Kontraknya dibuat dalam bahasa Afrika. Tapi,
Anda menyebutkan bahwa kita patungan setengah‐
setengah.”
Van der Merwe menggeleng. “Kau salah mengerti, Nak.
Aku tak butuh usaha patungan. Kau bekerja untukku. Kau
kuperlengkapi dengan segala kebutuhan dan kusuruh
mencari berlian untukku.”
Amarah terasa membakar Jamie perlahan‐lahan. “Kau
tak memberiku apa‐apa. Aku membayar seratus dua puluh
pound untuk segala perlengkapan itu.”
Lelaki itu mengangkat bahu. “Aku tak kepingin buang‐
buang waktuku yang berharga berdebat denganmu,
McGregor. Begini saja. Kuberi kau tambahan lima pound
lagi, dan kita anggap masalahnya selesai. Kurasa aku sudah
bermurah hati.”
Amarah Jamie meledak. “Tidak! Aku berhak atas separuh
hasilnya. Dan aku menuntut hakku. Penemuan itu sudah
kudaftarkan atas nama kita berdua.”
Van der Merwe tersenyum tipis.
“Kalau begitu kau mencoba menipuku. Kau bisa ditahan
gara‐gara itu.” Ia menaruh uangnya ke genggaman Jamie.
“Nah, ambil upahmu dan pergi dari sini!”
“Aku akan menuntutmu!”
“Kau punya uang buat bayar pengacara? Semua kantor
pengacara di sini aku yang punya, Nak.”
Tak mungkin ini terjadi pada diriku, pikir Jamie. Ini cuma
mimpi. Terbayang kembali olehnya perjuangan dan
penderitaan yang ia lalui, berminggu‐minggu, bahkan
berbulan‐bulan dibakar terik matahari padang pasir,
tenaga yang ia peras dari subuh sampai senja. Semuanya itu
“Wiski”
Smit menuang dan menyodorkan gelas kepada Jamie.
Jamie meneguk habis isinya. Ia tak biasa minum alkohol.
Cairan itu serasa membakar tenggorokan dan perutnya.
“Lagi.”
“Baik, Tuan. Kudengar orang Skotlandia paling kuat
minum.”
Tegukan kedua lebih mudah tertelan. Teringat oleh
Jamie, pelayan ini yang pernah mengusulkan pada seorang
penggali agar pergi minta bantuan van der Merwe.
“Tahukah kau, bahwa van der Merwe licik? Ia menipuku,
merebut berlian hakku.”
Smit bersikap menaruh simpati. “Apa? Wah, keterlaluan.
Aku ikut prihatin mendengar ini.”
“Aku tak terima. Dia takkan kubiarkan,” suara Jamie
tertahan. “Separuh berlian itu milikku. Maling orang itu.
Akan kuceritakan ini kepada semua orang.”
“Hati‐hati. Van der Merwe orang penting di sini,” pelayan
itu mengingatkan. “Kalau kau punya niatan melawan dia,
sebaiknya kau cari bantuan. Ngomong‐ngomong, aku tahu
orang yang paling mau membantumu. Orangnya benci
bukan main pada van der Merwe seperti kau.” Ia melirik ke
sekelilingnya, memastikan tak ada orang lain yang
mendengar pembicaraannya. “Ada gudang tua di ujung
sebelah sana jalan. Kuatur deh, pokoknya ke sanalah nanti
malam. Jam sepuluh.”
“Terima kasih,” Jamie lega. “Aku takkan melupakan kau.”
“Jam sepuluh. Di gudang tua.”
Gudang yang dimaksud terbuat dari seng yang
disambung‐sambung dengan asal saja. Letaknya di
pinggiran kota. Tepat pukul sepuluh Jamie sampai di sana.
Gelap. Ia meraba‐raba. Tak kelihatan ada orang di sana. Ia
melangkah masuk.
“Spada...”
Tak ada sahutan. Jamie maju perlahan‐lahan. Remang‐
remang nampak bentuk kuda bergerak‐gerak gelisah di
kandang mereka. Mendadak kedengaran suara di
belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, sebatang besi
berat menghantam bahunya. Ia jatuh terguling ke tanah.
Kepalanya dipentung. Kemudian tubuhnya direnggut dan
diangkat sepasang tangan kekar. Sementara itu tinju dan
sepakan kaki menghajar tubuhnya. Lama sekali ia di tonjoki
begitu. Akhirnya, Jamie tak tahan lagi. Ia pingsan. Air dingin
disiramkan ke wajahnya. Mata Jamie berkedip‐kedip,
membuka. Sekilas terlihat Banda, pelayan van der Merwe.
Lalu sekali lagi ia ditinju, ditampar, dan diinjak bertubi‐
tubi. Jamie merasa rusuknya patah semua. Benda berat
diayunkan ke kakinya. Terdengar bunyi tulang remuk.
Ia pingsan lagi.
Tubuhnya panas. Ada yang sedang menggosok‐gosok
wajahnya dengan ampelas. Jamie berusaha menggerakkan
tangan, mencegah. Tapi tak kuasa. Dipaksanya membuka
mata, tapi matanya bengkak tak bisa dibuka. Jamie
berbaring. Sekujur tubuhnya tak terkatakan sakitnya. Ia
menahan semua kenyerian itu sambil mengingat‐ingat di
mana ia berada. Jamie bergerak. Dan gesekan ampelas itu
pun ia rasakan lagi. Ia meraba‐raba. Wajahnya yang lecet‐
lecet mencium pasir panas. Ebook by : Hendri Kho by Dewi
KZ http://kangzusi.com/ Terpegang olehnya pasir.
Perlahan‐lahan, menahan rasa sakit yang bukan main di
sekujur tubuhnya, Jamie berhasil menyangga diri dan
berlutut. Dari celah sempit di antara kedua kelopak
matanya yang bengkak, Jamie berusaha melihat
sekelilingnya. Pandangannya kabur. Ia berada di tengah
padang pasir Karroo, telanjang. Hari masih pagi. Walaupun
melakukan sesuatu yang berarti bagi bangsanya, rakyatnya.
Bangsa Bantu akan memerintah dan berdaulat kembali
berkat usaha dan perjuangan Banda. Pikiran itu membuat
Banda berjalan tegap penuh keyakinan sejenak, sampai ia
merasa seorang kulit putih mulai menaruh perhatian.
Banda bergegas menuju ke arah timur. Pinggiran kota
sebelah sana diperuntukkan bagi kaum hitam. Rumah‐
rumah megah dan toko‐toko menarik semakin berkurang
dan akhirnya yang nampak hanya gubuk‐gubuk reot. Ia
menyusur jalan kotor. Sesekali ia menoleh, takut ada yang
membuntuti. Sampai di depan sebuah gubuk kayu, Banda
menoleh sekali lagi ke belakang, mengetuk pintu dua kali
dan masuk. Seorang perempuan Negro kurus duduk di
kursi, di pojok ruangan. Ia sedang menjahit. Banda
mengangguk, lalu nyelonong ke kamar di belakang.
Dipandanginya tubuh yang tergolek di ranjang.
Enam minggu yang lalu Jamie McGregor siuman. Ia
mendapatkan dirinya terbaring di atas ranjang, di rumah
yang asing buatnya. Ingatannya datang. Ia seolah kembali
berada di tengah Karroo. Tubuhnya hancur, tak berdaya.
Lalu burung‐burung bangkai...
Mendadak Banda masuk ke kamar sempit tempatnya
terbaring. Jamie yakin orang itu datang hendak
membunuhnya. Rupanya van der Merwe tahu juga bahwa
Jamie masih hidup. Ia mengirimkan Banda untuk
menghabisinya.
“Mengapa tuanmu tak datang sendiri?” ucap Jamie serak.
“Aku tak punya tuan.”
“Van der Merwe. Kau kemari disuruh dia, kan?”
“Tidak. Kita berdua bisa dibunuh kalau dia sampai tahu.”
Semua itu tak masuk di akal Jamie.
“Di mana aku? Beri tahu aku.”
“Cape Town.”
“Tak mungkin. Bagaimana aku bisa sampai kemari?”
“Kubawa.”
Jamie menatap mata hitam Banda. Lama sekali.
“Mengapa?”
“Aku butuh Anda. Aku ingin membalas dendam.”
“Kau—apa?”
Banda bergeser mendekat. “Bukan buatku sendiri. Aku
tak peduli akan diriku sendiri. Van der Merwe memperkosa
adikku. Adikku mati ketika melahirkan bayinya. Ia baru
sebelas tahun waktu itu.”
Jamie terpana. “Ya, Tuhan!”
“Sejak hari kematiannya aku tak berhenti mencari lelaki
kulit putih yang bisa membantuku. Lelaki itu kutemukan
suatu malam di gudang tua, ketika aku membantu mereka
menghajar Anda, Tuan McGregor. Kami membuang tubuh
Anda di Karroo. Aku diperintahkan membunuh Anda.
Kukatakan pada yang lain Anda sudah mati. Tapi cepat‐
cepat kembali menjemput Anda. Hampir saja terlambat.”
Jamie bergidik. Tercium kembali olehnya bau busuk
burung bangkai yang mencabiki daging kakinya.
“Burung bangkai sudah mulai berpesta. Kubopong Anda
ke kereta, lalu kusembunyikan di rumah rakyatku. Salah
seorang dokter kami menyambung tulang rusuk Anda dan
membetulkan letak tulang kaki Anda. Luka‐luka Anda
diobati.”
“Sesudahnya?”
“Sebuah kereta besar membawa kerabatku berangkat ke
Cape Town. Kami bawa Anda serta. Anda tak sadarkan diri.
Sepanjang perjalanan Anda tidur terus. Aku kuatir Anda tak
bangun lagi.”
Jamie memandang mata lelaki yang hampir menghabisi
nyawanya itu. Ia harus berpikir. Ia tak bisa percaya begitu
saja pada lelaki itu. Tapi, ialah yang menyelamatkan
nyawanya. Banda ingin membalas dendam pada van der
putih. Tetangga kami tak tahu ada Anda di sini. Kami
menyelundupkan Anda kemari tengah malam.”
“Lalu, bagaimana aku pergi dari sini?”
“Nanti malam kuantar pergi.”
Jamie baru sadar betapa banyak risiko yang diambil
Banda untuk menyelamatkan dia. Malu‐malu, katanya, “Aku
tak punya uang. Aku perlu kerja.”
“Aku kerja di dok kapal. Mereka selalu butuh tenaga
baru.” Banda merogoh uang dari saku. “Ambillah.”
Jamie menerima. “Nanti kukembalikan.”
“Bayarlah dengan pembalasan dendam atas nasib adik
perempuanku,” sahut Banda.
**d*w**
Tengah malam, Banda mengajak Jamie keluar dari gubuk
itu. Jamie melihat ke sekeliling. Ia berada di daerah
perkampungan kumuh. Gubuk‐gubuk reot di situ terbuat
dari kaleng, kayu, karton. Asal berbentuk dan bisa dipakai
bernaung. Jalannya becek, bekas tersiram hujan. Baunya
tak enak. Jamie heran orang ningrat seperti Banda bisa
bertahan hidup di tempat sekumuh itu. “Apa tak ada—?”
“Sst. Jangan bicara,” bisik Banda. “Orang sini suka banyak
ingin tahu.” Sampai di pinggiran daerah itu, Banda
menunjuk, “Pusat kota adanya di sebelah sana. Kutunggu
Anda di dok.”
Jamie masuk lagi ke rumah pondokan yang pertama kali
ia tinggali setibanya dari Inggris. Nyonya Venster sedang
sibuk di belakang meja kerjanya.
“Aku perlu kamar,” Jamie berkata.
“Oh, silakan,” ia tersenyum. Gigi emasnya berseri.
“Kenalkan. Namaku Nyonya Venster.”
“Aku sudah tahu.”
banyak algojo upahan yang bisa disuruhnya melakukan apa
saja, kapan saja.”
“Itu aku tahu,” ujar Jamie geram. “Apa lagi?”
“Ia fanatik sekali dalam keagamaan. Kerjanya
mendoakan arwah orang berdosa.”
“Anaknya, bagaimana?” Pasti gadis itu punya andil.
“Nona Margaret? Takutnya bukan main sama ayahnya.
Kalau sampai ia melirik seorang lelaki saja, bisa dibunuh
keduanya oleh van der Merwe.”
Jamie membalikkan badan, lalu berjalan ke pintu. Di situ
lama ia menerawang ke pelabuhan. Banyak yang harus
dipikirkan. “Besok kita ngobrol lagi.”
Di Cape Town Jamie baru menyadari adanya jurang yang
teramat dalam antara si putih dan si hitam. Si hitam sama
sekali tak punya hak, kecuali beberapa gelintir yang
beruntung mendapatnya dari mereka yang berkuasa.
Mereka digiring ke daerah kumuh, dan cuma diperbolehkan
keluar untuk bekerja, mengabdi bangsa kulit putih.
“Kok kau bisa tahan?” tanya Jamie pada suatu hari
kepada Banda.
“Singa lapar harus menyembunyikan cakar. Suatu hari
kelak semuanya ini akan kami ubah. Bangsa kulit putih mau
menerima orang Negro cuma karena tenaga kami kuat dan
mereka butuhkan. Lambat‐laun mereka harus menerima
pula kenyataan bahwa kami punya otak. Makin
memojokkan kami mereka makin takut—ngeri suatu saat
kelak mereka yang didiskriminasikan serta diperolok‐olok.
Kami percaya kami akan menang berkat isiko.”
“Siapa itu isiko?”.
Banda menggeleng. “Bukan siapa. Tapi apa. Susah
menjelaskannya, Tuan McGregor. Isiko itu akar kami. Rasa
persatuan sebagai bangsa yang memberikan nama mereka
kepada Sungai Zambezi, sungai besar yang terkenal itu.
Berkat bujukan Jamie yang meyakinkan, segala keraguan
Banda pun lenyap. Setiap kali Banda mengajukan lubang
yang mungkin jadi penghalang, Jamie memberikan jalan
keluarnya. Rencana mereka bisa berhasil. Yang paling indah
dari rencana itu adalah kesederhanaannya! Mereka hampir
tak memerlukan uang sama sekali. Modal yang dibutuhkan
cuma keberanian dan kenekatan.
“Kita perlu bawa kantong besar untuk menaruh berlian,”
ucap Jamie. Antusiasmenya membakar.
Banda menyeringai. “Kita bawa dua kantong yang besar.”
Minggu berikutnya mereka mengundurkan diri dari
pekerjaan di dok. Keduanya naik cikar menuju Port Nolloth,
perkampungan pantai yang letaknya kira‐kira empat puluh
mil di selatan daerah terlarang incaran mereka.
Di Port Nolloth, mereka mempelajari situasi.
Perkampungan di situ kecil dan primitif. Gubuk‐gubuknya
terbuat dari kaleng bekas. Ada beberapa warung dan toko
kecil. Selain itu pasir putih pantainya membentang sejauh‐
jauh mata memandang. Tak ada karang di sana. Ombak
berdebur dan memecah lembut di pantai. Tempat ideal
untuk menurunkan rakit ke air.
Tak ada hotel. Jamie menyewa kamar di pasar. Banda
dapat pondokan di daerah hunian orang kulit hitam.
“Kita mesti cari tempat yang aman buat bikin rakit,” ujar
Jamie. “Kalau ada yang tahu, jangan‐jangan dilaporkan
kepada yang berwajib kita nanti.”
Siangnya, mereka menemukan gudang tua yang sudah
terbengkalai.
“Ini pas betul,” putus Jamie. “Ayo, kita mulai bikin rakit.”
“Jangan dulu,” ujar Banda. “Tunggu. Kita beli dulu
sebotol wiski.”
“Buat apa?”
“Lihat saja nanti.”
Esok harinya Jamie didatangi oleh polisi setempat.
Wajah polisi itu kemerah‐merahan. Perawakannya besar.
Hidungnya yang besar berurat‐urat, menunjukkan bahwa ia
peminum berat.
“Pagi!” ia menyapa Jamie. “Kudengar ada pendatang.
Kenalkan. Aku Constable [Polisi] Mundy.”
“Ian Travis,” sahut Jamie.
“Mau ke utara, Tuan Travis?”
“Selatan. Aku dan pelayanku hendak ke Cape Town.”
“Ah. Aku pernah ke Cape Town. Bisingnya bukan main.”
“Setuju. Mau minum, Pak?”
“Aku tak pernah minum selagi bertugas,” Constable
Mundy berucap. Ia diam sebentar, berpikir, “Tapi, sekali ini
biarlah. Sesekali boleh bikin perkecualian.”
“Silakan.” Jamie mengeluarkan botol wiski. Ia heran,
Banda tahu ini bakal terjadi. Dituangnya wiski ke dalam
gelas kusam, lalu disodorkannya pada Constable Mundy.
“Terima kasih, Tuan Travis. Mana minum Anda?”
“Aku sedang tak boleh minum,” suara Jamie kedengaran
menyesal. “Malaria. Aku hendak ke Cape Town untuk
berobat. Berhenti beberapa hari di sini—istirahat.
Perjalanan cepat membuatku capek.”
Constable Mundy mengamati Jamie.
“Anda kelihatan sehat.”
“Coba lihat kalau hari mulai dingin.”
Gelas Constable Mundy kosong. Jamie mengisi lagi.
“Terima kasih.” Polisi itu meneguk isi gelasnya sekaligus,
lalu bangkit. “Sudah waktunya aku meneruskan tugas. Anda
dan pelayan Anda akan berangkat dalam satu‐dua hari ini.
Ya, kan?”
“Secepat aku merasa kuat.”
“Hari Jumat aku kemari lagi,” ucap Constable Mundy.
Malam itu Jamie dan Banda mulai membuat rakit.
“Banda, kau sudah pernah bikin rakit?”
“Terus terang, belum, Tuan McGregor.”
“Aku juga belum.” Kedua lelaki itu berpandang‐
pandangan. “Sesukar apa, ya?”
Mereka mencuri empat barel kayu kosong masing‐
masing berukuran lima puluh galon. Barel‐barel itu terbuat
dari kayu. Jamie dan Banda membawa barel hasil curian
dari pasar ke gudang. Keempatnya mereka susun hingga
membentuk persegi. Kemudian mereka cari empat peti
besar. Masing‐masing ditaruh di atas satu barel.
Banda ragu. “Tidak mirip rakit.”
“Belum selesai,” Jamie meyakinkan.
Karena tak ada papan, mereka menutup permukaan
atasnya dengan apa saja yang ada: dahan, ranting, daun
marula—semuanya diikat dengan tali rami tebal.
Simpulnya mereka buat sangat teliti.
Ketika selesai, Banda memperhatikan hasilnya. “Masih
belum mirip rakit.”
“Kalau sudah dinaikkan layarnya, pasti agak bagusan,”
janji Jamie.
Tiang layarnya mereka buat dari batang pohon. Dua
dahannya yang agak ceper mereka ambil untuk dayung.
“Tinggal layar yang kita perlukan sekarang. Aku ingin
berangkat nanti‐malam. Besok Constable Mundy kemari
lagi.”
Banda yang berhasil mendapatkan layarnya. Lepas
magrib ia datang membawa sehelai lebar kain biru.
“Ini bisa dipakai, Tuan McGregor?”
“Wah. Hebat. Dari mana?”
Banda menyeringai. “Sudahlah, jangan tanya. Masalah
kita sudah cukup banyak.”
Layarnya mereka pasang. Persegi bentuknya. Akhirnya
rakit mereka siap berangkat.
waktu empat jam buat mengumpulkan berlian dan dua jam
buat balik ke laut dan menghilang ke tengah. Cukupkah
empat jam, Banda?”
“Seratus orang tak bisa hidup cukup lama untuk
berhura‐hura menghabiskan yang bisa kaupungut di sana
selama empat jam, Jamie.” Semoga saja kita masih diberi
cukup umur untuk mengambil berlianberlian itu....
Mereka berlayar terus ke arah utara sepanjang hari itu—
mengikuti embusan angin dan arus air. Menjelang senja,
sebuah pulau kecil nampak di depan mereka. Kelilingnya
tak sampai dua ratus yard, tampaknya. Semakin dekat ke
pulau itu, semakin menyengat bau amonia. Air mata
mereka sampai keluar oleh bau keras itu. Jamie mengerti
sekarang mengapa tak ada orang yang hidup di situ. Baunya
luar biasa. Tapi, itu menjadikan tempat itu cocok untuk
bersembunyi sampai hari gelap. Jamie membetulkan layar.
Rakit kecil itu membentur pantai karang pulau tadi. Banda
menambatkan rakit. Kemudian kedua lelaki itu melangkah
ke darat. Seluruh permukaan pulau seolah diselimuti oleh
berjuta burung: belibis, pelikan, penguin, dan flamingo.
Udara di situ betul‐betul menyesakkan. Baru enam langkah,
kaki mereka sudah terperosok dalam lapisan tahi burung
hingga ke paha.
“Kita balik ke rakit saja,” Jamie terkesiap.
Tanpa berkomentar, Banda mengikuti.
Sekelompok burung pelikan terbang membumbung
waktu Jamie dan Banda hendak kembali ke rakit. Tempat
yang ditinggalkan kawanan burung itu nampak sebagai
bidang kosong. Di sana tergeletak tiga orang lelaki. Entah
kapan matinya. Mayat mereka awet oleh tingginya kadar
amonia. Rambut mereka berubah warna jadi merah.
Semenit kemudian Jamie dan Banda sudah kembali ke
atas rakit, berlayar meninggalkan pulau itu.
Mereka merapat ke pantai. Layar rakit mereka turunkan.
Menanti.
“Kita menunggu di sini sampai tengah malam, baru
masuk.”
Keduanya duduk diam‐diam. Masing‐masing
mempersiapkan diri menghadapi yang bakal terjadi nanti.
Matahari hampir tenggelam di cakrawala barat. Warna
langit mirip lukisan artis gila. Tahu‐tahu kegelapan sudah
menyelimuti bumi.
Dua jam mereka menunggu. Jamie menaikkan layar.
Rakit mulai bergerak ke timur, mendekati pantai yang tak
nampak. Di atas, awan terbelah dan bulan mengintip. Rakit
melaju. Di kejauhan mulai tampak samar pesisir yang
mereka tuju. Angin bertiup kencang, memukul‐mukul layar
dan mendorong rakit hingga makin laju dan laju. Dalam
waktu singkat terlihat jelas bentuk pesisir —karang
raksasa menjulang tinggi, angker. Dari kejauhan sudah
terlihat dan kedengaran bantingan ombak meledak pada
dinding karang yang. tegar. Mengerikan pemandangannya.
Jamie tak bisa membayangkan bagaimana di dekat sana
nanti, kalau dari jauh saja sudah begitu mengerikan.
Mendadak ia berbisik, “Kau yakin sisi yang berbatasan
dengan laut tak dijaga?”
Banda tak menyahut. Ia cuma menunjuk karang di depan
sana. Jamie tahu maksudnya. Karang yang tajam menjulang
itu lebih hebat dari bentuk penjagaan apa pun yang bisa
dibuat manusia. Mereka tak pernah istirahat, tak juga perlu
tidur. Dinding karang itu dengan angkuhnya menanti
datangnya penantang. Yah, Jamie membatin, akan kami
tunjukkan, bahwa kami lebih hebat dari kau. Kami akan
mengapung melewati kau.
Rakit tak sepadan itu telah mampu membawa Jamie dan
Banda menempuh jarak jauh. Ia akan mampu pula
membawa mereka sampai ke tempat tujuan. Pasti. Pantai
terjal menjulang di muka mereka. Makin lama makin dekat.
Sementara itu ombak bergulung‐gulung mengayun rakit
makin tinggi dan makin tinggi. Banda berpegang erat‐erat
pada tiang layar.
“Laju benar.”
“Jangan takut,” hibur Jamie. “Kalau sudah cukup dekat,
layarnya kita turunkan nanti. Pasti kecepatan berkurang.
Lalu kita meluncur melompati karang—gampang dan
lancar.”
Gaya angin dan ombak bertambah kuat mendorong rakit
ke karang yang menjulang. Cepat Jamie mengira‐ngira jarak
dan memutuskan itu saat tepat menurunkan layar supaya
ombak membawa rakit memasuki pantai. Buru‐buru Jamie
menurunkan layar. Kecepatan rakit tak berkurang sama
sekali. Mereka betul‐betul berada dalam genggaman ombak
raksasa. Rakit tak bisa lagi dikendalikan, diayun ombak
satu lalu lainnya. Guncangannya luar biasa. Jamie dan
Banda berpegangan dengan kedua tangan. Jamie sudah
bersiap‐siap mengalami kesulitan waktu hendak memasuki
wilayah pantai. Walaupun demikian, ia sama sekali tak siap
menghadapi gelegak ombak yang sedahsyat itu. Dinding
karang terjal menjulang tinggi, angker—cuma beberapa
meter di hadapan mereka. Terlihat ombak berdebur
membentur dindingnya yang bergerigi, lalu meledak—
pecah menjadi cipratan. Keberhasilan rencana mereka
tergantung pada keberhasilan mendaratkan rakit ke atas
pantai karang dengan utuh. Kalau tidak, mereka takkan bisa
lolos dari sana. Dan, itu sama saja dengan mati.
Keduanya bertiarap di lantai rakit—tak kuasa menahan
dorongan angin dan ombak. Gemuruhnya memekakkan
telinga. Mendadak rakit diayun ombak raksasa. Tinggi
sekali. Mereka terlempar menuju karang.
“Tahan, Banda!” teriak Jamie. “Kita masuk!”
sepuluh yard dari tempatnya terdampar. Jamie berdiri, lalu
terhuyung‐huyung menghampiri.
“Kau tak apa‐apa?”
Banda mengangguk. Lelaki itu menghela napas dalam‐
dalam sambil bergidik. Mendongakkan kepala memandang
Jamie ia berkata, “Aku tak bisa berenang.”
Jamie menolong Banda bangkit. Keduanya memandang
ke karang. Rakit mereka tak kelihatan. Sudah hancur
tercabik amukan dahsyat lautan. Mereka sudah sampai ke
pantai berlian yang mereka tuju! Tak ada jalan keluar dan
sana.
5
LAUTAN terus mengamuk dahsyat di belakang. Di depan
terbentang padang luas dari pinggir laut sampai ke kaki
bukit yang samar‐samar nampak di kejauhan. Namanya
Pegunungan Richterveld. Berpuluh ngarai dan puncak terjal
terdapat di tanah pegunungan yang nampak keunguan itu.
Di kakinya terletak Lembah Hexenkessel—”kawah nenek
sihir”—perangkap angin suram. Tempatnya sunyi,
terpencil, dan belum terjamah. Satu‐satunya petunjuk
bahwa manusia pernah menapakkan kaki di situ adalah
adanya tanda bertulisan kasar yang tertancap di pasir.
Dalam keremangan cahaya rembulan, tulisannya terbaca:
VERBODE GEBIED
SPERRGEBIET
Terlarang.
Tak ada jalan lolos ke arah laut. Satu‐satunya arah yang
bisa dipilih cuma Gurun Namib.
“Berat badan manusia. Pokoknya beban melebihi empat
puluh kilo pasti meledakkan ranjau itu. Dengan begitu
anjing aman berkeliaran.”
Jamie menghela napas. “Banda, mungkin aku punya cara
buat membawa kita keluar dari sini.
Mungkin cara ini berhasil. Mau berspekulasi
bersamaku?”
“Apa yang kaurencanakan?”
“Kita merayap dengan perut—menyeberangi padang ini.
Merayap seperti ular begitu membagi berat badan ke
bidang yang lebih luas.”
“Oh, Yesus!”
“Bagaimana pendapatmu?”
“Kupikir, aku gila meninggalkan Cape Town.”
“Mau ikut?” Jamie tak bisa melihat wajah Banda walau
lelaki itu ada di sampingnya.
“Kau tak memberi orang banyak pilihan, Jamie.”
“Kalau begitu, ayo.”
Hati‐hati Jamie merebahkan tubuh, telungkup di atas
pasir. Banda memperhatikan ulahnya, menarik napas, lalu
mengikuti. Perlahan‐lahan, keduanya merambat
menyeberangi pasir, menuju daerah beranjau.
“Jangan menumpu berat badan pada tangan atau kaki,
kalau menggerakkan badan,” Jamie mengingatkan. “Pakai
seluruh permukaan badan.”
Banda tak menyahut. Ia sibuk berkonsentrasi—
mempertahankan nyawa.
Kabut tebal menyelimuti bumi dengan sempurna,
menghapuskan segala pemandangan. Setiap saat mereka
bisa menubruk petugas, anjing, atau ranjau. Jamie
memaksakan semua bayangan itu keluar dari kepalanya.
Gerak mereka teramat pelan. Keduanya bertelanjang dada
dan perut. Setiap inci bergerak maju, setiap kali pula kulit
6
KERETA mahal itu meluncur di jalan berdebu kota
Klipdrift, ditarik oleh sepasang kuda tampan. Yang
mengendalikan seorang lelaki ramping atletis berambut
putih dengan jenggot dan kumis putih, rapi. Ia mengenakan
jas abu‐abu. Jahitannya rapi dengan model mutakhir. Pada
dasinya ada jepitan dasi bermata berlian. Topinya kelabu.
Cincin berlian besar terselip di jarinya. Nampak ia orang
baru di kota itu. Pada kenyataannya bukan.
Klipdrift banyak berubah sejak ditinggalkan Jamie kira‐
kira setahun yang lalu. Ketika itu tahun 1884. Dari kota
perkemahan, Klipdrift menjelma jadi kota permanen. Jalur
kereta api dari Cape Town ke Hopetown sudah selesai. Jalur
itu bercabang ke Klipdrift. Ini menimbulkan banjirnya
imigran. Kota itu jadi lebih padat dan ramai. Orang‐
orangnya berbeda. Kalau dulu sebagian besar isinya
penggali berlian, pengadu nasib, kini banyak yang
berpakaian bisnis resmi: dasi, jas. Perempuan bergaun
indah nampak masuk‐keluar toko. Klipdrift telah menjelma
menjadi kota terhormat.
Jamie lewat tiga gedung dansa baru dan kira‐kira enam
kedai minum yang baru juga. Sebuah gereja baru selesai
dibangun. Ada rumah cukur, dan sebuah hotel besar
bernama Grand. Keretanya dia hentikan di muka sebuah
bank. Lalu ia melompat turun sembari menyerahkan
kendali kuda dengan sembrono kepada seorang anak lelaki
hitam. “Kasih minum kudaku.”
Jamie masuk ke bank, lalu dengan suara keras berkata
kepada manajernya,
“Aku ingin mendepositokan seratus ribu pound di bank
Anda.”
Beritanya tersebar dengan cepat. Jamie tahu bakal
begitu. Ketika ia meninggalkan bank dan masuk ke kedai
minum Sundowner, ia jadi pusat perhatian. Suasana dalam
kedai itu belum berubah. Tamunya padat. Semuanya
mengikuti gerak Jamie. Pandangan mereka penuh rasa
ingin tahu. Jamie melangkah langsung ke bar. Smit
mengangguk penuh hormat. “Mau minum apa, Tuan?”
Nampaknya pelayan bar itu sama sekali tak mengenali dia.
“Wiski. Yang paling mahal.”
“Baik, Tuan.” Ia menuang minuman yang diminta Jamie.
“Anda pendatang baru?”
“Ya.”
“Cuma sekadar lewat?”
“Tidak. Kudengar kota ini sangat cocok untuk menanam
modal.”
Mata pelayan itu berkilat mendengarnya.
“Wah, betul, Tuan! Tak ada tempat yang lebih bagus
daripada Klipdrift. Bermodal seratus—eh, bermodal uang
banyak—keuntungan bisa berlipat ganda dalam waktu
singkat. Mungkin aku bisa menolong, Tuan?”
“Oh, ya? Bagaimana itu?”
Smit mencondongkan tubuh ke depan, lalu dengan
setengah berbisik, berkata, “Aku kenal orang penting yang
praktis menguasai kota ini. Ia ketua Borough Council dan
pimpinan Perkumpulan Warga. Pokoknya ia orang paling
penting di daerah sini. Namanya Salomon van der Merwe.”
Jamie meneguk minuman. “Coba undang dia kemari.”
Pelayan bar itu melirik cincin berlian di jari Jamie, lalu
jepitan dasinya. “Baik, Tuan. Nama Anda?”
“Travis. Ian Travis.”
“Baik, Tuan Travis. Aku yakin Tuan van der Merwe mau
menemui Anda.” Ia menuang lagi wiski ke dalam gelas
Jamie. “Silakan minum sambil menunggu.”
“Baik, Tuan,” manajer itu menyahut hormat.
Punya uang itu enak, pikir Jamie, apa saja bisa.
Kamar mandi di Royal Suite bagaikan surga buat Jamie.
Ia berbaring, berendam air hangat. Segala kelelahan
terbilas dari tubuhnya. Sambil berendam, ia mengingat‐
ingat kejadian beberapa minggu terakhir. Tak bisa
dipercaya, rasanya. Baru beberapa minggukah sejak ia dan
Banda mulai membuat rakit? Rasanya seperti sudah
bertahun‐tahun yang lalu. Terbayang kembali oleh Jamie
pelayaran ke Sperrgebiet dengan rakit, lalu ikan hiu,
amukan ombak, serta karang yang menghancurleburkan
rakit mereka. Kabut laut, perjalanan melintas padang
beranjau dengan gerak perut, serangan anjing raksasa...
Teriakan mengerikan yang bergema bagai tak ada
habisnya: Kruger... Brent... Kruger... Brent...
Di antara semuanya itu yang paling mengesankan adalah
Banda. Sahabatnya.
Sesampai di Cape Town, Jamie memaksa dia, “Tinggallah
bersamaku, Banda!”
Banda cuma tersenyum. Giginya yang putih tampak
berderet rapi. “Hidup bersama kau terlalu membosankan
buatku, Jamie. Aku mesti pergi— entah ke mana, cari
tantangan.”
“Kau mau apa sekarang?”
“Yah. Pertama‐tama, terima kasih! Gagasanmu berlayar
dengan rakit melampaui daerah berkarang ternyata
memang gampang. Kupikir, aku akan beli tanah pertanian
dan peternakan, cari istri dan punya anak sebanyak‐
banyaknya.”
“Baiklah. Sekarang kita ke tempat diamant kooper, jadi
kita bisa bagi hasil berlian kita.”
“Tak usah,” ucap Banda. “Aku tak kepingin berlian itu.”
bengkok dan tak ada guratan bekas luka di dahinya. Dari
matanya yang abu‐abu muda terpancar kepandaian dan
semangat yang menyala‐nyala. Rambutnya putih. Pasti ia
tak muda lagi. Tapi, entah apa—ada sesuatu yang
membuatnya nampak muda. Perawakannya tinggi.
Penampilannya gagah—Margaret membuang muka, malu
mendapati lelaki itu memandangnya.
Van der Merwe tergopoh‐gopoh masuk, menggosok‐
gosok tangannya. “Tokonya sudah kututup,” ucapnya. “Mari
kita makan.”
Jamie diberi tempat paling terhormat.
“Kita berdoa dulu,” ajak van der Merwe.
Mereka memejamkan mata. Margaret membuka
matanya kembali setelah beberapa saat, mencuri
pandang—meneruskan pengamatannya atas diri lelaki di
depannya, sementara ayahnya mengucapkan doa panjang.
“Kami semua orang berdosa di hadapanMu, ya Tuhan,
yang pantas dihukum. Berikan kekuatan agar kami tahan
menghadapi hidup berat di bumi ini, agar kami boleh
menikmati buah surga jika tiba waktunya kami Kaupanggil.
Kami panjatkan syukur atas bantuan dan rezeki yang telah,
Kaulimpahkan pada kami. Amin.”
Salomon van der Merwe mulai melayani. Kali ini porsi
yang ia siapkan untuk Jamie berlebihan. Sambil makan,
mereka mengobrol.
“Ini pertama kalinya Anda ke daerah sini, Tuan Travis?”
“Ya,” sahut Jamie. “Baru kali ini.”
“Nyonya tidak dibawa?”
“Belum ada Nyonya Travis. Sejauh ini belum kutemukan
perempuan yang mau bersuamikan aku.” Jamie tersenyum.
Perempuan bodoh yang menolak jadi istrinya, pikir
Margaret. Cepat ia menurunkan pandangannya, kuatir
orang asing itu bisa membaca apa yang terlintas di otaknya.
banyak yang ia harapkan dari lelaki itu, ia tak ingin
dianggap kurang sopan.
“Kuizinkan Margaret meninggalkan toko sebentar. Kau
tidak keberatan menjadi penunjuk jalan tamu kita kan,
Margaret?”
“Kalau itu yang Ayah kehendaki,” sahutnya pelan.
“Oke,” Jamie berkata, tersenyum. “Jam sepuluh. Bisa?”
Setelah tamu jangkung berpakaian necis itu pergi,
Margaret membereskan meja dan mencuci peralatan yang
kotor bagai dalam mimpi. Pasti dia pikir aku ini gadis tolol.
Berkali‐kali ia mencoba mengingat‐ingat apa saja yang ia
ucapkan selama makan malam tadi. Tak sepatah kata pun.
Mulutnya hampir terkunci selama itu. Lalu kenapa?
Berpuluh‐puluh lelaki yang datang ke toko selama ini ia
layani tanpa memberi kesan dia gadis tolol. Mengapa lelaki
tadi lain? Ah, tamu‐tamu toko tak pernah memandangnya
seperti Ian Travis tadi. Semua lelaki itu jahat, Margaret. Aku
tak mau kepolosanmu mereka curi. Suara ayahnya bergema
dalam kepala Margaret. Itukah maksud ayahnya? Rasa
lemah dan gemetar yang mendadak menjalari tubuhnya
ketika dipandang Ian Travis? Apakah itu yang namanya
mencuri kepolosan? Memikirkan hal itu mendatangkan
gelombang menyenangkan pada sekujur tubuhnya.
Dipandangnya piring yang sudah tiga kali ia keringkan. Ia
lalu duduk. Ah, seandainya ibunya masih hidup...
Ibu pasti mengerti. Margaret sangat menyayangi
ayahnya. Tapi, terkadang ia merasa jadi tawanannya. Ia
kuatir. Ayahnya sama sekali tak mengizinkan lelaki
mendekat apalagi bergaul dengannya. Aku takkan pernah
kawin, pikir Margaret. Sampai ayahku mati. Rasa bersalah
timbul dalam hatinya, karena pikiran menentang begitu.
Cepat ia bangkit dan melangkah ke toko. Ayahnya duduk
di belakang meja kerjanya—sibuk menghitung‐hitung.
“Selamat malam, Yah. Aku tidur duluan.”
Van der Merwe melepas kacamatanya yang bergagang
emas. Digosok‐gosoknya matanya, lalu ia merangkul
putrinya. Margaret tak tahu mengapa ia cepat‐cepat
melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
Sendirian dalam kamar yang hanya dibatasi tirai,
Margaret mengamati pantulan wajahnya pada cermin bulat
kecil yang tergantung di dinding. Ia tak punya gambaran
tentang rupanya. Ia tak cantik. Tapi punya daya tarik.
Matanya bagus. Tulang pipinya tinggi. Badannya indah. Ia
mendekat ke cermin. Apa yang dilihat Ian Travis ketika
memandangnya tadi? Ia mulai menanggalkan gaunnya. Ian
Travis ada di situ, bersamanya, memandangnya. Ah,
pandang matanya begitu berapi—membakar tubuh dan
perasaannya. Ia melangkah tanpa busana, mendekati lelaki
itu. Tangannya membelai lembut gunung di dadanya.
Terasa putingnya mengeras. Jemarinya merayap turun
melewati perutnya yang datar. Tangannya bertemu dengan
tangan Ian Travis. Yang satu mengait lainnya. Bersama,
keduanya bergerak turun perlahan‐lahan sampai mencapai
pangkal pahanya. Lalu, ia disentuh lembut, digosok makin
keras, makin cepat sampai akhirnya ia merasa terbang
berputar‐putar dan merasakan ledakan hebat dalam
tubuhnya. Bibirnya mendesahkan nama lelaki itu. Lalu ia
menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Mereka mengendarai kereta kuda Jamie. Sekali lagi Jamie
tertegun menyaksikan perubahan yang telah terjadi. Di
tempat yang tadinya merupakan lautan kemah, sekarang
berdiri rumah‐rumah berpenampilan kuat. Dindingnya
terbuat dari kayu dan atapnya dari seng atau ilalang kering.
“Nampaknya Klipdrift kota makmur, ya?” ucap Jamie
sementara kereta yang dikendarainya melaju di jalan
utama kota itu.
Van der Merwe mengintip Margaret dan Jamie berangkat
kira‐kira dua puluh menit kemudian. Ia bertanya‐tanya,
mungkinkah ia bisa salah?
Kali ini Jamie mengendalikan keretanya ke arah yang
berlawanan dengan sehari sebelumnya. Di mana‐mana
nampak ada pembangunan. Kalau penemuan mineral
berlanjut, pikir Jamie dengan keyakinan, modal akan lebih
cepat berbunga jika ditanamkan dalam usaha real estate
daripada jika ditanam untuk menggali berlian atau emas.
Klipdrift akan memerlukan lebih banyak bank, hotel,
restoran, bar, toko, rumah hiburan... masih banyak lagi.
Begitu pula kesempatan mengambil keuntungan.
Jamie merasa Margaret memperhatikan dia. “Kenapa,
Margaret?” tanyanya.
“Oh, tidak apa‐apa,” sahutnya, cepat‐cepat membuang
muka.
Kini ganti Jamie yang memperhatikan gadis itu. Tampak
olehnya sinar kebahagiaan terpancar dari wajah Margaret.
Margaret merasakan kehadirannya di dekatnya,
kejantanannya di dekatnya. Jamie bisa merasakan yang ada
dalam batin gadis itu. Margaret seorang perempuan yang
merindukan lelaki.
Tengah hari Jamie meninggalkan jalan besar, menuju ke
pinggir hutan. Dekat aliran sungai, di bawah pohon
rindang, ia menghentikan keretanya. Ia memesan pelayan
hotel agar menyiapkan keranjang makanan tadi. Margaret
menggelar taplak meja di rumput, lalu mengeluarkan
makanan dari dalam keranjang. Ada daging kambing
panggang, ayam goreng, nasi kuning, selai, jeruk, buah
peach, dan soetekoekjes—kue kenari.
“Ini namanya pesta!” seru Margaret. “Kurasa, aku tak
pantas mendapat semua ini, Tuan Travis.”
Jamie tahu jalan pikiran lelaki itu. Van der Merwe akan
mengaku kelima hak yang menguntungkan sebagai
miliknya, dan Jamie akan kebagian yang tak menghasilkan.
Lagi pula, Jamie berani bertaruh van der Merwe takkan
pasang modal sepeser pun.
“Kedengarannya menarik,” kata Jamie. “Berapa banyak
penggali yang tersangkut?”
“Cuma dua.”
“Mengapa perlu modal begitu besar?” tanya Jamie polos.
“Ah, pertanyaan bagus itu.” Van der Merwe memajukan
kursinya. “Mereka tahu nilai hak atas daerah itu. Tapi tak
punya uang untuk menggarap. Di situlah kita masuk. Kita
beri mereka seratus ribu pound, dan biarkan mereka
menahan dua puluh persen ladang mereka.”
Kata dua puluh persen itu diucapkan begitu mulus
hingga hampir tak terperhatikan. Jamie yakin penggali‐
penggali itu akan dibohongi. Semua uang dan berliannya
akan masuk ke kantong van der Merwe.
“Kita harus gerak cepat,” van der Merwe mengingatkan.
“Begitu beritanya bocor—”
“Kalau begitu, jangan sampai keduluan yang lain,” desak
Jamie.
Vart der Merwe tersenyum. “Jangan kuatir. Kontraknya
akan kusiapkan secepatnya.”
Dalam bahasa Afrika, pikir Jamie.
“Nah, ada beberapa bisnis lain yang menurutku menarik,
Ian.”
Merasa perlu menyenangkan hati mitra usahanya yang
baru, van der Merwe tak lagi berkeberatan bila Jamie minta
Margaret menemaninya melihat‐lihat kota. Makin hari cinta
Margaret semakin mekar. Jamie menjadi yang paling akhir
ia pikirkan sebelum tidur dan yang pertama teringat ketika
bangun. Belum pernah ada orang yang bisa membangkitkan
hawa nafsunya seperti Jamie. Margaret bahkan tak pernah
menyadari sebelumnya bahwa kobaran semacam itu ada
pada dirinya. Rasanya baru saat itu ia kenal dirinya sendiri.
Cinta merupakan daerah baru yang perlu dijelajah. Penuh
lembah nafsu tersembunyi, padang kenikmatan, dan sungai
madu. Ia takkan pernah puas mereguk kenikmatannya.
Di pinggiran kota, gampang mencari tempat terpencil
yang enak buat melepas dahaga cinta. Setiap kali
merupakan pengalaman yang menyenangkan untuk
Margaret, seperti pengalamannya yang pertama.
Rasa bersalah terhadap ayahnya membayangi gadis itu.
Salomon van der Merwe merupakan tokoh Gereja
Pembaharuan Belanda. Margaret tahu pasti takkan ada
ampun baginya jika ayahnya sampai tahu apa yang,ia
perbuat. Bahkan pada zaman di mana lelaki mereguk
kenikmatan di mana saja, kasusnya takkan bisa dimengerti.
Di dunia ini hanya ada dua tipe perempuan—perempuan
baik‐baik dan pelacur. Perempuan baik‐baik tak
membiarkan dirinya dijamah lelaki kecuali jika lelaki itu
suaminya. Jadi, ia termasuk golongan pelacur. Tak adil,
pikirnya. Saling memberi dan menerima dalam cinta begitu
indahnya. Tak mungkin itu dianggap kejahatan. Kekuatiran
dalam diri Margaret mendorongnya bicara soal
perkawinan.
Mereka sedang berkereta menyusuri tepi Sungai Vaal
ketika Margaret berkata, “Ian, kau tahu, kan, aku sangat—”
Ia tak tahu bagaimana mesti menyelesaikan kata‐kata itu.
“Maksudku, kau dan aku—” Putus asa, ia pun langsung
menuju sasaran, “Apa pendapatmu tentang perkawinan?”
Jamie tertawa.
“Aku setuju, Margaret. Setuju sekali.”
Margaret tertawa bersama Jamie. Saat itu merupakan
saat paling indah dalam hidup Margaret.
Minggu pagi Salomon van der Merwe mengajak Jamie ke
gereja bersama dia dan Margaret. Nederduits Hervormde
Kerk gedungnya bergaya Gothic mengesankan. Ada mimbar
di ujung yang satu, dan orgel besar di ujung lainnya. Ketika
mereka masuk, van der Merwe disapa teramat sopan dan
hormat.
“Aku ikut mendirikan gereja ini,” jelas van der Merwe
bangga. “Di sini aku jadi diakon.”
Khotbah misanya tajam dan berkobar‐kobar. Van der
Merwe duduk, manggut‐manggut penuh; semangat pada
setiap kata yang diucapkan oleh pendeta.
Ia hamba Tuhan pada hari Minggu, pikir Jamie. Hari
lainnya jadi hamba setan.
Van der Merwe duduk di antara Jamie dan Margaret.
Tapi, sepanjang misa Margaret merasakan kehadiran Jamie
di dekatnya. Untung saja—ia tersenyum gugup pada diri
sendiri— pendeta tak tahu yang sedang berkecamuk dalam
pikiranku.
Malamnya Jamie ke kedai minum Sundowner. Smit
sedang menyiapkan minuman di balik meja bar. Wajahnya
berseri melihat kedatangan Jamie.
“Selamat malam, Tuan Travis,” sapanya hormat. “Minum
yang biasa?”
“Malam ini tidak, Smit. Aku perlu bicara dengan kau. Bisa
pakai ruang belakang?”
“Tentu, Tuan.” Smit membayangkan dapat uang. Ia
berkata pada asistennya, “Titip bar.”
Ruang di belakang bar sempit sekali, tapi mereka tak
terganggu di sana. Ada meja bundar dengan empat kursi di
situ. Di atas meja, di tengah‐tengah, ada lentera. Smit
menyalakannya.
“Duduklah,” ujar Jamie.
Smit menarik kursi. “Ya, Tuan. Ada yang bisa kubantu?”
“Aku datang hendak membantu kau, justru, Smit.”
Smit berseri. “Ah, apa betul, Tuan?”
“Begitulah.” Jamie mengeluarkan sebatang rokok lalu
menyulut. “Aku sudah memutuskan untuk membiarkan kau
hidup.”
Mata Smit mencerminkan ketidakpastian. “Aku tak
mengerti maksud Anda, Tuan Travis.”
“Bukan Travis. Namaku McGregor. Jamie McGregor.
Ingat? Setahun yang lalu kau sengaja
menyuruhku ke gudang kosong di pinggir kota—biar
aku mati. Kau suruhan van der Merwe.”
Dahi Smit berkerut. Mendadak ia gelisah. “Aku tak tahu
apa—”
“Tutup mulut dan dengar aku.” Suara Jamie bagai
cambuk.
Jamie bisa melihat otak Smit berputar. Ia sedang
berusaha menyamakan wajah lelaki berambut putih di
depannya dengan wajah pemuda polos bersemangat yang
dikenalnya setahun yang lalu.
“Aku masih hidup, dan aku kaya—cukup kaya buat bayar
orang yang mau disuruh bakar tempat ini sekaligus kaunya.
Kau bisa tangkap maksudku, Smit?”
Smit berniat mengatakan tak tahu‐menahu. Tapi melihat
kilat bahaya dalam pandangan Jamie, ia menjawab hati‐
hati, “Ya, Tuan....”
“Van der Merwe mengupahmu agar mengirim penggali
berlian tak berduit kepadanya. Biar mereka bisa ditipunya
kalau berhasil menemukan berlian. Menarik juga kerja
sama begitu. Berapa sih kau dibayar dia?”
Diam. Smit merasa terjepit di tengah dua kekuatan yang
luar biasa. Ia tak tahu mana yang harus dipilih.
“Berapa?”
“Dua persen,” sahutnya enggan.
“Akan kuberi kau lima persen. Mulai sekarang, kalau ada
calon penggali yang bagus—kausuruh mereka datang
kepadaku. Mereka akan kubiayai. Bedanya, mereka akan
dapat bagian yang adil, dan kau dapat hakmu pula. Kau
percaya Merwe betul‐betul memberimu dua persen dari
yang dia peroleh? Kalau percaya, tolol kau.”
Smit manggut‐manggut. “Baiklah, Tuan Trav – e, Tuan
McGregor. Aku mengerti maksud Anda.”
Jamie bangkit. “Belum sepenuhnya.” Jamie bersandar
kemeja. “Kau akan melaporkan pembicaraan kita ini kepada
van der Merwe supaya dapat uang juga dari dia. Sanksinya
cuma satu, Smit. Kalau kaulakukan itu, kau mati.”
7
Jamie sedang ganti pakaian ketika terdengar ketukan
lembut di pintu. Ia dengarkan. Ketukan tadi diulang. Cepat
Jamie membuka pintu. Margaret berdiri di sana.
“Masuklah, Maggie,” ujarnya. “Ada apa?” Baru sekali itu
Margaret datang ke kamar Jamie di hotel. Ia melangkah
masuk. Berhadapan muka dengan Jamie, ia merasa sukar
bicara. Semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana
cara terbaik menyampaikan berita ini kepada Jamie. Ia
kuatir Jamie tak mau lagi bertemu dengannya.
Margaret memandang mata lelaki itu. “Ian, aku hamil.”
Jamie terdiam. Lama sekali, sampai Margaret dicekam
ketakutan. Bagaimana kalau Jamie meninggalkan dia?
Mendadak wajah lelaki itu berubah begitu gembira.
Hilanglah segala keraguan Margaret. Jamie merenggut
lengannya, katanya, “Bagus, Maggie! Bagus sekali! Kau
sudah ceritakan kepada ayahmu?”
Margaret mundur, bagai diteror. “Oh, jangan! Dia—” Dia
melangkah ke sofa empuk gaya Victoria yang ada di sana,
“Tentu saja. Kaupikir anak itu sudah mati. Kaubunuh dia.
Tapi, aku bukan pendendam, van der Merwe. Jadi, kuberi
kau hadiah. Benihku—di perut anakmu.”
Jamie berbalik, pergi, meninggalkan ayah‐beranak itu
melongo.
Margaret mendengar semuanya itu dengan kaget dan tak
percaya. Tak mungkin lelaki itu serius. Dia mencintainya.
Dia—
Salomon van der Merwe menoleh kepada anaknya.
Suaranya menggelegar. “Pelacur!” teriaknya. “Pelacur!
Pergi! Pergi dari sini!”
Margaret berdiri terpaku, tak mampu menyelami apa
yang sedang terjadi pada dirinya. Ian mempersalahkan dia
atas kesalahan yang dibuat ayahnya. Ian mengira dia
tersangkut dalam kejahatan ayahnya. Siapa sih Jamie
McGregor? Siapa—?
“Pergi!” Van der Merwe menampar keras wajah anaknya.
“Jangan temui aku lagi. Aku tak mau lihat kau lagi.”
Margaret berdiri terpaku. Jantungnya berdebar keras.
Napasnya sesak. Ayahnya seperti orang kehilangan akal. Ia
lari—keluar— tanpa menoleh.
Salomon van der Merwe berdiri menyaksikan kepergian
putrinya. Ia diliputi keputusasaan luar biasa. Sudah sering
ia melihat yang terjadi pada gadis‐gadis ternoda lainnya.
Mereka dipaksa berdiri di muka gereja, dipermalukan di
hadapan umum, lalu dikucilkan. Salah sendiri. Itu hukuman
setimpal. Tapi, Margaret ia besarkan secara baik‐baik, dan
bertuhan. Bagaimana bisa tega ia membalasnya dengan
cara begini? Van der Merwe membayangkan tubuh
Margaret—tanpa busana, berpasangan dengan tubuh lelaki
itu, menggeliat‐geliat seperti binatang. Ia ereksi.
Tanda “Tutup” dipasangnya di depan pintu toko.
Kemudian lelaki itu rebah ke ranjang—tak kuasa dan tak
mereka temukan dekat Pniel. Mereka tak punya uang untuk
menggarap ladang itu dan perlu modal. Mereka cari orang
bermodal yang tertarik bekerja sama. Kupikir Anda
mungkin tertarik.”
Jamie mengamati pelayan itu. “Ini orang‐orang yang
kautawarkan pada van der Merwe, kan?”
Smit mengangguk, heran. “Betul, Tuan. Tapi, mendengar
yang Anda tawarkan, aku lebih suka bekerja sama dengan
Anda.”
Jamie menarik sebatang rokok ramping panjang. Smit
buru‐buru membantu menyalakan korek. “Teruskan,” ujar
Jamie.
Smit menurut.
Semula pelacuran di Klipdrift tak beraturan. Pelacurnya
kebanyakan orang Negro. Mereka bekerja di rumah‐rumah
bordil gelap semi permanen. Pelacur kulit putih yang mula‐
mula datang ke kota itu adalah pelayan bar sambilan.
Makin banyak ladang berlian ditemukan, makin makmur
kota Klipdrift, makin banyak pula pelacur kulit putih
muncul di sana.
Sekarang ada kurang‐lebih setengah lusin rumah bordil
murah di pinggiran kota. Rumah‐rumah kayu beratap seng
tipis. Ada satu yang berbeda. Dikelola Madam Agnes.
Letaknya di Jalan Bree, menempati gedung sopan berlantai
dua, tak jauh dari Jalan Loop—jalan utama kota Klipdrift.
Istri orang terhormat tak merasa rikuh bila terpaksa,
melewati rumah itu. Kenyataannya, rumah bordil ini
langganan suami‐suami mereka, serta orang‐orang asing
berduit. Tarifnya memang mahal. Tapi, layanan yang
didapat dari wanita‐wanita mudanya juga seimbang.
Minuman dihidangkan di ruang duduk yang ditata asri.
Sudah menjadi aturan Madam Agnes, bahwa tamu‐tamunya
tak boleh merasa diburu‐buru. Madam Agnes sendiri
mengumandangkan cinta pula. Mungkin cinta memang ada.
Tapi bukan buat Jamie McGregor.
“Kau anak Salomon van der Merwe. Yang di perutmu itu
cucunya. Pergi dari sini!”
Margaret tak tahu harus ke mana. Ia sangat sayang pada
ayahnya, dan butuh pengampunannya. Tapi, ia tahu pasti
ayahnya takkan pernah memaafkan. Ayahnya akan
membuat hidupnya sengsara. Tapi, Margaret tak punya
pilihan.
Ditinggalkannya hotel, lalu ia melangkah ke toko
ayahnya. Ia merasa semua orang yang berpapasan
mengamati dirinya. Beberapa tersenyum mengejek.
Margaret tak peduli. Ia berjalan terus. Di muka toko
ayahnya, ia ragu sejenak, lalu masuk. Tokonya kosong.
Ayahnya datang dari belakang.
“Ayah...”
“Kau!” Kebencian yang terdengar dalam suara itu bagai
tamparan buat Margaret. Ayahnya mendekat. Napasnya
bau alkohol. “Malam ini juga kau harus meninggalkan kota
ini. Jangan sekali‐sekali kemari lagi. Dengar?” Dari
kantongnya, van der Merwe menarik beberapa lembar uang
kertas lalu melemparkannya pada Margaret. “Ambil uang
itu dan pergi sekarang juga!”
“Aku sedang hamil, Yah! Anak ini cucumu.”
“Yang kaubawa itu anak setan!” Van der Merwe
mendekati anaknya. Tangannya mengepal. “Tiap kali orang
melihat kau keluyuran seperti pelacur, aku yang malu.
Kalau kau pergi dari sini, mereka akan lupa.”
Margaret menatap ayahnya. Lama— Bingung. Kemudian
ia berbalik, bergegas keluar.
“Uangnya, pelacur!” seru van der Merwe. “Kau lupa bawa
uangmu.”
Ada rumah pondokan murah di pinggiran kota. Margaret
menuju ke sana. Pikirannya kacau‐balau. Sesampai di sana,
ia mencari Nyonya Owens, pemilik rumah pondokan itu.
Nyonya Owens berbadan gemuk. Sikap perempuan
setengah baya itu menyenangkan. Ia dibawa ke Klipdrift
oleh suaminya, tapi lalu ditinggalkan begitu saja.
Perempuan lain mungkin hancur diperlakukan demikian.
Tapi, Nyonya Owens bertahan. Sudah banyak orang
menderita yang ia lihat di kota itu, tapi belum pernah ada
yang nampak lebih menderita daripada gadis tujuh belas
tahun yang kini berdiri di hadapannya. “Kau mencariku?”
“Ya. Mungkin Anda punya pekerjaan yang bisa
kulakukan, Nyonya?”
“Pekerjaan? Pekerjaan apa?”
“Apa saja. Aku bisa masak. Jadi pelayan ruang makan
juga bisa. Membereskan tempat tidur, atau... apa saja,”
suaranya terdengar putus asa dan memohon. “Apa saja,
Nyonya.”
Tak sampai hati Nyonya Owens melihat gadis yang
gemetar di depannya. “Kurasa, tak ada salahnya. Kapan bisa
mulai kerja?” Kelegaan membuat wajah Margaret sedikit
berseri.
“Sekarang.”
“Aku cuma bisa bayar—” Nyonya Owens berpikir
sebentar, lalu, “Satu pound dua shilling sebelas pence
sebulan, dengan pondokan cuma‐cuma.”
“Tak apa‐apa,” Margaret berkata, penuh terima kasih.
Salomon van der Merwe jarang muncul di jalan. Tokonya
lebih sering tutup. Akhirnya langganannya mencari toko
lain.
Walaupun begitu, Salomon van der Merwe masih selalu
ke gereja setiap Minggu. Bukan buat sembahyang, tetapi
buat menuntut Tuhan agar memindahkan beban berat dari
“Silakan pilih,” kata Margaret. “Bawa masuk bayi ini, atau
kutaruh dia di muka pintu. Tuan McGregor pasti tak senang
juga.”
Tanpa mengatakan apa‐apa lagi, Margaret menaruh
bayinya ke tangan Nyonya Talley dan pergi.
'Tunggu! Jangan—! Kembalilah, Nona—!”
Margaret tak menoleh. Nyonya Talley berdiri terpaku.
Otaknya berputar. Ya, Tuhan! Bisa uringuringan Tuan
McGregor nanti!
Belum pernah Nyonya Talley melihat Jamie begitu gusar.
“Mengapa kau sebodoh itu?” suaranya menggelegar.
“Mestinya banting saja pintunya cepat‐cepat!”
“Dia tak memberiku kesempatan, Tuan McGregor. Dia—”
“Aku tak mau anak itu tinggal di rumahku!”
Seperti orang bingung, Jamie mondar‐mandir, lalu
berhenti di muka Nyonya Talley yang tak berdaya.
“Kau bisa kuusir gara‐gara ini.”
“Dia akan menjemput bayi ini seminggu lagi. Saya‐”
“Aku tak peduli kapan dia akan datang,” Jamie berteriak.
“Bawa bayi itu keluar dari sini. Sekarang juga! Cepat!”
“Apa yang sebaiknya saya lakukan, Tuan McGregor?
Harus saya bawa ke mana?” tanya perempuan itu kaku.
“Taruh saja di kota. Pasti di sana ada tempat penitipan.”
“Di mana?”
“Mana aku tahu?”
Nyonya Talley memandang buntalan bayi mungil dalam
gendongannya. Teriakan Jamie membuat bayi itu takut. Ia
mulai menangis.
“Di Klipdrift tak ada rumah yatim‐piatu,” ujarnya
sembari menimang‐nimang si bayi. Tapi tangisnya semakin
menjadi. “Dia perlu orang yang mau merawatnya.”
kepadanya, agar hari ini juga ia jemput bayi itu dan bawa
pergi dari rumahku.”
“Baik, Tuan McGregor.”
Setengah jam kemudian David Blackwell kembali. Jamie
mengalihkan perhatian dari atas meja kerjanya.
“Tuan, maaf. Saya tak berhasil.”
Jamie bangkit. “Mengapa?” tanyanya. “Tugas segampang
itu tak bisa?”
“Nona van der Merwe tidak ada di sana, Tuan.”
“Kalau begitu, cari dia.”
“Dia pergi meninggalkan Klipdrift dua hari yang lalu.
Katanya, dia akan pulang lima hari lagi. Kalau Tuan
menghendaki aku—”
“Tidak.” Jamie tak mau punya kesan mencari Margaret.
“Lupakan saja, David.”
“Baik, Tuan.” Anak itu keluar dari ruang kerja Jamie.
Kurang ajar perempuan itu! Dia bakal dapat kejutan,
kalau kembali nanti. Bayinya akan kembali kepadanya.
Malam itu Jamie makan sendirian di rumahnya. Ia
sedang minum brandy di ruang kerjanya, di rumah, waktu
Nyonya Talley datang untuk membicarakan urusan rumah
tangga. Di tengah‐tengah pembicaraan, mendadak ia diam,
pasang telinga. Lalu katanya,
“Maaf sebentar, Tuan McGregor. Kudengar Jamie
menangis.” Ia tergopoh‐gopoh meninggalkan ruang kerja
Jamie.
Jamie membanting gelas brandy‐nya. Isinya tumpah.
Sialan bayi itu! Ibunya beraniberani lagi kasih nama Jamie.
Ia tak mirip Jamie. Tak mirip siapasiapa.
Sepuluh menit kemudian Nyonya Talley datang lagi.
Terlihat olehnya tumpahan brandy.
“Perlu diambilkan brandy lagi, Tuan?”
Jamie berniat mengambil bagian dalam perkeretaapian itu.
Itu baru permulaan rencananya. Sesudah itu, pikir Jamie,
usaha angkutan laut. Kapalku sendiri kelak yang membawa
hasil tambang menyeberangi samudra.
Ia sampai ke rumah sudah lepas tengah malam, langsung
melepas pakaian, dan merebahkan diri ke ranjang. Ruang
tidurnya ditata perancang interior dari London. Tempat
tidurnya luas, sandaran kepalanya diukir di Cape Town. Di
sudut ada laci‐laci gaya Spanyol dan dua lemari pakaian
besar berisi lebih dari lima puluh setel jas serta tiga puluh
pasang sepatu. Sebetulnya Jamie bukan tipe orang yang
senang berpakaian perlente. Tapi ia merasa puas punya
pakaian banyak. Terlalu banyak sudah ia mengenakan
pakaian gombal compang‐camping.
Jamie hampir terlelap ketika tiba‐tiba terdengar tangis.
Jamie bangkit, memasang telinga. Tak kedengaran apa‐apa.
Tangis bayikah yang terdengar tadi? Jangan‐jangan terjatuh
dari boksnya. Jamie tahu Nyonya Talley kalau sudah tidur
tak dengar apa‐apa. Bisa celaka kalau sampai terjadi
sesuatu dengan bayi itu ketika tinggal di rumahnya. Bisa‐
bisa ia dituntut bertanggung jawab. Kurang ajar perempuan
itu, pikir Jamie.
Cepat ia meraih jas kamar dan memakai sandal. Lalu
bergegas Jamie menuju ke kamar Nyonya Talley. Di pintu ia
pasang telinga. Tak ada suara apa‐apa. Perlahan‐lahan ia
mendorong pintu itu. Nyonya Talley tidur lelap—
meringkuk di balik selimut. Jamie melangkah ke dekat boks.
Bayi itu terbaring. Matanya terbuka. Jamie lebih mendekat
lagi, memperhatikan. Ada kemiripan! Astaga! Mulut dan
dagunya mirip betul dengan mulut dan dagu Jamie.
Matanya biru. Tapi, semua bayi memang lahir bermata biru.
Melihat gelagatnya, Jamie yakin kelak mata anak itu kelabu.
Bayi itu menggerak‐gerakkan tangannya sambil tersenyum
pada Jamie. Suara lucu dari mulutnya keluar—seperti
membalas dendam. Memandang bayi dalam gendongannya,
batu keras dalam hatinya pun lumer.
“Pindahkan boks Jamie ke kamarku, Nyonya Talley.”
Tiga hari kemudian ketika Margaret datang menjemput
Jamie kecil, Nyonya Talley yang membukakan pintu
berkata, “Tuan McGregor sedang ke kantor, Nona van der
Merwe. Tapi, beliau minta dikabari kalau Nona datang.
Katanya beliau perlu bicara dengan Anda.”
Margaret menunggu di ruang keluarga sambil mendekap
Jamie kecil. Betapa kangennya dia pada bayi itu. Entah
berapa kali ia hampir tak tahan ingin cepat‐cepat kembali
ke Klipdrift. Ia takut sesuatu terjadi pada diri bayinya—
sakit atau jatuh. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Tapi Margaret menguat‐nguatkan
diri dan rencananya berhasil. Jamie kepingin bicara dengan
dia! Ah, akhirnya tercapai juga cita‐citanya. Mereka bertiga
akan bersatu.
Saat Jamie melangkah masuk, Margaret mendadak
dilanda emosi lama. Ya, Tuhan, pikirnya. Aku masih begitu
mencintai dia.
“Halo, Maggie.”
Margaret tersenyum—hangat dan bahagia. “Halo, Jamie.”
“Aku ingin memiliki anakku.”
Hati Margaret bernyanyi riang. “Tentu saja, Jamie. Aku
tak pernah meragukan itu.”
“Aku berjanji mengusahakan anak itu hidup layak dan
memanfaatkan segala fasilitas yang bisa kuberikan
kepadanya. Tentu saja dengan sendirinya kau pun tak akan
terlantar.”
Margaret memandang Jamie. Bingung. “Aku tak mengerti
maksudmu.”
“Kubilang, aku ingin memiliki anakku.”
“Kupikir, maksudmu—kau dan aku—”
“Tidak. Aku cuma ingin anak itu.”
Perasaan marah luar biasa timbul dalam hati Margaret.
“Oh, begitu? Aku tak mau melepaskan anak ini, Jamie.”
Jamie mengamati Margaret sesaat. “Baiklah. Kita
kompromi saja. Kau boleh tinggal di sini bersama Jamie.
Kau jadi—pengasuhnya.” Melihat wajah Margaret, Jamie
menambahkan, “Maumu apa?”
“Aku ingin anakku punya nama,” balasnya tajam. “Nama
ayahnya.”
“Baik. Nanti kuadopsi dia.”
Margaret mendelik. “Mengadopsi anakku? Tidak! Kau
takkan memiliki anakku, Jamie. Iba aku melihat kau. Jamie
McGregor—kaya dan berkuasa, tapi sebenarnya tak punya
apa‐apa yang berarti. Kau perlu dikasihani, Jamie.”
Jamie berdiri terpaku menyaksikan Margaret pergi
membawa bayinya.
Keesokan harinya Margaret bersiap‐siap untuk
berangkat ke Amerika.
“Melarikan diri tidak akan menyelesaikan persoalan,”
debat Nyonya Owens.
“Aku bukan melarikan diri. Aku cuma mencari tempat
baru—tempat aku dan bayiku bisa memulai hidup baru.”
Margaret tak mau ia dan anaknya dijadikan bulan‐
bulanan Jamie McGregor.
“Kapan kau berangkat?”
“Secepatnya. Kami naik cikar ke Worchester, lalu dari
sana naik kereta api ke Cape Town. Tabunganku cukup
membawa kami berdua sampai ke New York.”
“Jauh lho, perjalanannya.”
“Tak apa‐apa. Orang bilang Amerika itu negeri penuh
kesempatan. Itulah yang kami butuhkan.”
Sejauh ini Jamie selalu merasa bangga karena selalu bisa
tenang dalam menghadapi tekanan apa pun. Kali ini setiap
orang dibentak. Suasana di kantornya tak tenang. Apa saja
yang dilakukan orang dianggap salah. Sedikit‐sedikit
suaranya melengking. Ini—itu dipermasalahkan. Pendek
kata, Jamie tak bisa menguasai diri. Tiga malam ia tak bisa
tidur. Terngiang terus di telinganya pembicaraan dengan
Margaret tempo hari. Kurang ajar! Mestinya Jamie harus
tahu Margaret akan memaksa Jamie mengawini dia. Licik.
Persis ayahnya. Jamie salah bicara. Ia cuma mengatakan
Margaret tak akan terlantar, tapi tidak secara spesifik
menyebutkan uang. Ya, uang! Mestinya ia menawari
Margaret uang. Seribu pound—sepuluh ribu pound—atau
lebih.
“Aku punya tugas yang sensitif buat kau,” ujar Jamie
kepada David Blackwell.
“Ya, Tuan.”
“Temui Nona van der Merwe. Katakan, kutawari dia uang
dua puluh ribu pound. Pasti dia tahu apa yang kuminta
sebagai gantinya.” Jamie menulis cek. Punya uang itu enak.
“Nih, berikan kepadanya.”
“Baik, Tuan.”
David Blackwell pun pergi.
Lima belas menit kemudian pemuda itu kembali,
menyerahkan ceknya kepada majikannya. Cek itu telah
robek jadi dua. Jamie merasa wajahnya merah padam.
“Terima kasih, David. Cukup.”
Rupanya Margaret minta tambah. Baik. Cuma kali ini dia
sendiri yang akan menyerahkan uangnya.
Sorenya Jamie McGregor pergi ke tempat Nyonya Owens.
“Boleh bertemu Nona van der Merwe?” tanya Jamie.
“Wah, maaf,” Nyonya Owens menyahut. “Dia sudah
berangkat ke Amerika.”
ia masih mencintai Jamie dengan segenap hatinya. Cintaku
kepadanya takkan pernah luntur. Oh, Tuhan, tolonglah aku.
***
Jamie sedang berkunjung ke Cape Town dalam rangka
bisnis. Ketika keluar dari Hotel Royal, seorang sais Negro
menyapa, “Sado, Tuan?”
“Tak perlu,” sahut Jamie. “Jalan saja.”
“Kata Banda, mungkin Anda perlu kendaraan. Mendadak
Jamie berhenti. Ia pandangi sais d depannya. “Banda?”
“Ya, Tuan McGregor.”
Jamie langsung melompat ke sado yang ditawarkan.
Saisnya mengayun pecut dan sadonya pun melaju. Jamie
duduk bersandar. Ia memikirkan Banda, sahabatnya yang
setia dan pemberani. Sudah berkali‐kali Jamie mencoba
mencarinya selama dua tahun terakhir ini, tapi belum
pernah berhasil. Sekarang ia akan bertemu dengan
kawannya itu.
Sais membelokkan sadonya ke arah pantai. Jamie segera
tahu ke mana mereka menuju. Kira‐kira seperempat jam
kemudiam sado yang ia tumpangi berhenti di depan gudang
terbengkalai, tempat ia dan Banda membuat rencana pergi
ke Gurun Namib dulu. Sembrono betul aku dan dia waktu
itu, pikir Jamie. Ia melangkah turun, lalu menuju ke gudang.
Banda menunggunya di sana. Rupanya masih persis seperti
tempo hari. Bedanya, pakaiannya sekarang rapi: jas dan
hem lengan panjang berdasi.
Sejenak keduanya berdiri berhadap‐hadapan, saling
pandang. Senyum lebar tersungging di wajah masing‐
masing. Lalu mereka berpelukan.
“He, perlente kau, ya?”
“Terima kasih, Banda.”
“Dan, anakmu tampan.”
Jamie kaget bukan main. “Kok tahu?”
“Aku selalu cari berita tentang sobat lamaku.” Banda
bangkit. “Aku harus menghadiri rapat sekarang, Jamie.
Akan kusampaikan kepada mereka, bahwa kau akan
bereskan masalah Gurun Namib.”
“Betul. Akan kutangani sendiri.” Jamie mengikuti Banda
menuju ke pintu. “Kapan kita ketemu lagi?”
Banda tersenyum. “Aku takkan jauh dari sekitar sini.
Menyingkirkan aku tidak gampang, Jamie.”
Banda pun pergi.
Ketika kembali ke Klipdrift, Jamie memanggil David
Blackwell.
“Akhir‐akhir ini, adakah masalah di Gurun Namib,
David?”
“Setahuku tidak, Tuan McGregor.” Ia ragu. “Tapi, dengar‐
dengar mereka akan berontak.”
“Pengurusnya Hans Zimmerman. Coba cari tahu, apakah
betul ia memperlakukan buruh dengan tak, patut. Kalau
benar, hentikan segera. Aku ingin kau sendiri yang ke sana.”
“Baik, Tuan McGregor. Besok pagi aku berangkat.”
Setibanya di padang berlian di Namib, diam‐diam David
Blackwell mengobrol dengan petugas keamanan dan buruh
di sana. Mendengar yang mereka ceritakan, David
memendam marah luar biasa. Setelah mendengar semua
yang ingin dia dengar, David Blackwell bergegas menemui
Hans Zimmerman.
Perawakan Zimmerman mirip raksasa. Beratnya kira‐
kira seratus lima puluh kilogram dengan tinggi hampir dua
meter. Wajahnya bengis, berkeringat. Matanya merah.
Belum pernah David Blackwell bertemu dengan orang
sejelek itu. Sayangnya, ia termasuk salah seorang mandor
paling hebat yang dimiliki oleh Kruger‐Brent Ltd. Ia sedang
sibuk di balik meja kerjanya ketika David datang. Ruang
kantor yang kecil itu jadi seperti ruang liliput dengan
adanya Zimmerman di sana.
Zimmerman bangkit, menjabat tangan David. “Selamat
datang, Tuan Blackwell. Mendadak betul kedatangan Anda.”
David yakin Zimmerman sudah mendengar berita
tentang kedatangannya.
“Mau minum wiski?”
“Tak usah. Terima kasih.”
Zimmerman bersandar di kursinya. Senyum lebar
menghias wajah lelaki itu. “Apa yang bisa kulakukan buat
Anda, Tuan Blackwell? Masih kurang banyakkah berlian
yang kami keduk buat Bos?”
Keduanya tahu betul bahwa hasil berlian dari Gurun
Namib sangat memuaskan. “Buruh di sini kupaksa
menghasilkan jauh lebih banyak dari buruh di tempat Jain,”
Zimmerman membanggakan diri.
“Kami mendengar buruh di sini mengeluh,” ujar David.
Senyum di wajah Zimmerman mendadak padam.
“Keluhan macam apa itu?”
“Katanya orang‐orang di sini diperlakukan buruk dan—”
Zimmerman melonjak berdiri. Wajahnya membara.
“Mereka bukan orang. Mereka kaffir, penduduk asli. Kalian
memang enak—cuma duduk‐duduk di kantor pusat—”
“Dengar dulu,” putus David. “Tak ada—”
“Kau yang dengar aku! Aku menghasilkan berlian jauh
melebihi mandor mana pun di perusahaan ini. Tahukah kau
kenapa aku berhasil? Kubikin buruh‐buruh itu takut pada
Tuhan.”
“Di tambang berlian kita yang lain,” sela David, “buruh
dibayar lima puluh sembilan shilling sebulan, plus
mendapat makan. Di sini, kau cuma bayar mereka lima
puluh shilling sebulan.”
Hans Zimmerman tahu ia mesti lebih hati‐hati. Tapi, ia akan
tunjukkan siapa yang lebih berkuasa di Namib.
Kruger‐Brent Ltd, semakin berkembang. Jamie McGregor
sering sekali bepergian. Ia mengambil alih pabrik kertas di
Kanada, dan perusahaan pelayaran di Australia. Jika
kebetulan di rumah, Jamie menghabiskan waktunya
bermain dengan Jamie kecil. Makin hari Jamie kecil makin
mirip ayahnya. Jamie bangga melihat pertumbuhan anak
itu. Ingin ia mengajaknya bepergian jauh. Tapi, Margaret
tak membolehkan.
“Dia masih terlalu kecil. Nanti kalau sudah agak besar,
boleh kaubawa pergi ke tempat jauh. Kalau kau kangen dia,
dia ada di sini.”
Tanpa terasa Jamie kecil sudah merayakan ulang tahun
pertama, lalu kedua. Jamie heran waktu begitu cepat
berlalu. Ketika itu tahun 1887.
Buat Margaret, dua tahun terakhir berjalan teramat
lambat. Sekali seminggu Jamie mengundang orang makan
malam di rumahnya. Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Margaret selalu berperan sebagai
nyonya rumah yang anggun. Banyak lelaki kagum pada
Margaret. Ia lincah, cerdas, dan menyenangkan sebagai
kawan bicara. Margaret sadar, bahwa beberapa di antara
mereka itu juga terpesona oleh penampilan dan
keanggunan sikapnya. Walaupun begitu, tak ada yang
berani mendekat, karena mereka tahu ia istri Jamie
McGregor.
Kalau tamu sudah pulang semual Margaret suka
bertanya pada Jamie, “Bagaimana? Segalanya memuaskan?”
Jawaban Jamie selalu, “Bagus. Selamat malam.” Lalu ia
bergegas mendapatkan Jamie kecil. Tak lama kemudian
terdengar pintu depan ditutup. Jamie keluar lagi.
berbaring di tanah hangat berdampingan dengan anaknya,
memandang angkasa tak berbatas. Ia dan Jamie kecil
merupakan bagian dari semuanya itu.
Subuh mereka bangun, lalu berburu untuk sarapan:
kalkun, ayam pegar, dan kelinci. Jamie kecil punya kuda
sendiri. Kuda poni mungil. Ayah dan anak menunggang
kuda berdampingan, menjelajah padang, menghindari
lubang‐lubang dalam. Lubang buatan beruang bisa menelan
kuda dan penunggangnya. Lubang‐lubang kecil di pasir,
hasil galian sejenis kucing.
Di padang pasir banyak bahaya mengintai. Suatu kali
Jamie dan anaknya sedang berkemah di tepi sungai. Hampir
saja keduanya mati dilanda segerombolan rusa yang sedang
pindah. Mula‐mula gejala yang kelihatan hanya sekadar
kepulan debu di cakrawala. Lalu binatang padang tampak
buru‐buru pergi, sementara ular mencari batu untuk
sembunyi. Jamie melempar pandang ke cakrawala lagi.
Kepulan asap semakin dekat.
“Ayo, kita cepat pergi dari sini,” ajaknya pada Jamie kecil.
“Kemahnya—”
“Tinggal saja!?
Keduanya cepat melompat ke punggung kuda dan
memacunya ke bukit yang cukup tinggi. Terdengar oleh
mereka derap kaki binatang berlari. Lalu, rusa di barisan
terdepan muncul. Lebar barisannya hampir tiga mil. Jumlah
rusa dalam gerombolan itu pasti tak kurang dari setengah
juta ekor. Apa saja yang menghadang jalan mereka,
diterjang. Pepohonan tumbang. Rumpun semak hancur.
Terwelu, ular, jakal, dan unggas padang yang tak sempat
lolos menghindar, remuk terinjak oleh tapak gerombolan
rusa itu. Udara penuh debu dan gelegar. Ketika gerombolan
sudah lewat semua, Jamie mengira‐ngira mereka sudah tiga
jam di sana.
“Ada kabar?” tanya Margaret.
“Belum. Tapi aku akan pergi mencari.” Jamie
memperhatikan bayi perempuannya sejenak, lalu ngeloyor
keluar tanpa berkata sepatah kata pun.
Nyonya Talley masuk, memuntir‐muntir jarinya di balik
celemek. “Tak perlu kuatir, Nyonya McGregor. Jamie sudah
besar. Dia sudah bisa menjaga diri.”
Margaret bersimbah air mata. Tak ada yang akan
menjahati Jamie kecil, kan? Tentu saja tidak.
Nyonya Talley membungkuk, mengambil alih Kate dari
gendongan Margaret. “Tidurlah, Nyonya.”
Perempuan itu membawa Kate ke kamar bayi. Lalu
menidurkannya dalam boks bayi. Bayi itu memandang
Nyonya Talley, tersenyum.
“Kau juga sebaiknya bobo, sayang. Uh, hidupmu kelak
pasti sibuk.”
Nyonya Talley keluar. Pintu kamar bayi ditutup.
Tengah malam, jendela kamar bayi dibuka pelan‐pelan.
Seorang lelaki memanjat masuk. Ia melangkah mendekati
boks, lalu melempar selimut ke kepala bayi dan
menggendongnya pergi.
Secepat kedatangannya, Banda cepat pula menghilang.
Nyonya Talley‐lah yang mula‐mula tahu Kate tak ada.
Yang pertama terpikir olehnya, Nyonya McGregor
mengambil bayinya dan membawa ke kamarnya. Ia
langsung ke kamar Margaret dan bertanya, “Mana
bayinya?”
Melihat wajah Margaret, baru perempuan itu menyadari
apa yang sebenarnya terjadi.
Sehari lagi lewat tanpa ada kabar berita tentang Jamie
kecil. Jamie sudah mendekati putus asa. Dihampirinya
Kamarnya seolah berputar.
“Maafkan aku, Jamie. Aku terlambat. Anak buahmu
membunuh suku Bantu. Sukuku membalas dendam.”
Jamie menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Ya, Tuhan! Apa yang mereka perbuat pada anakku?”
Suara Banda sedih sekali ketika berkata, “Dia mereka
tinggalkan di padang pasir. Tubuhnya kutemukan. Sudah
kukubur dia, Jamie.”
“Oh, tidak! Tidak! Tidak!”
“Aku mencoba menyelamatkan dia, Jamie.”
Jamie mengangguk pelan—akhirnya menerima
kenyataan.
“Lalu, anak perempuanku?”
“Dia kuambil sebelum mereka culik. Sekarang dia sudah
kembali di boksnya. Tidur. Bayimu takkan diapa‐apakan
asal kaupenuhi janjimu pada mereka.”
Jamie menengadah. Kebencian dan amarah mewarnai
wajahnya.
“Janjiku akan kupenuhi. Tapi, aku ingin ketemu dengan
orang yang membunuh anakku. Mereka harus bayar
perbuatan mereka.”
Pelan, Banda berkata, “Kalau begitu, seluruh bangsaku
mesti kaubunuh, Jamie.”
Banda lalu pergi.
Itu cuma mimpi buruk. Margaret memejamkan mata
erat‐erat. Ia tahu, begitu membuka mata, semuanya akan
berubah menjadi kenyataan. Anak‐anaknya mati. Itu
sebabnya Margaret berpura‐pura. Ia akan terus
memejamkan mata sampai tangan mungil Jamie kecil
membelainya dan terdengar suara anak itu berkata, “Sudah,
Bu! Sudah! Kami ada di sini, kok. Jamie dan Adik tak apa‐
apa.”
Margaret bersikeras, “Aku akan merawatnya sendiri.”
Sekarang, akhirnya, Jamie betul‐betul jadi miliknya —
seutuhnya!
11
JAMIE MCGREGOR bertahan hidup selama persis
setahun sejak hari dia jatuh sakit. Waktu setahun itu
merupakan tahun paling membahagiakan bagi Margaret.
Jamie tergantung penuh pada kasih sayangnya. Ia tak bisa
bicara. Tak bisa pula bergerak. Margaret merawat
suaminya. Segala kebutuhannya ia layani. Siang dan malam
hampir tak pernah ia beranjak dari sisi suaminya. Siang
hari, Jamie ia dudukkan di kursi roda, lalu ia bawa ke ruang
menjahit. Sambil merajut, Margaret tak henti‐hentinya
mengajak Jamie bicara. Ada saja topik pembicaraannya.
Masalah sepele rumah tangga yang biasanya tak pernah
sempat didengar Jamie, pertumbuhan si kecil Kate. Malam
hari, dengan lembut Margaret membopong tubuh kurus tak
berdaya itu ke kamar tidurnya, lalu ia baringkan suaminya
di ranjang sebelum Margaret sendiri naik ke tempat tidur
itu. Di situ pun cerita Margaret masih berlanjut, hingga ia
mengantuk.
Kruger‐Brent Ltd, dikendalikan oleh David Blackwell.
Sesekali ia datang membawa surat‐surat yang memerlukan
tanda‐tangan Margaret. David sangat prihatin menyaksikan
ketidakberdayaah Jamie. Aku banyak berutang budi pada
lelaki ini, pikir David.
“Pilihanmu hebat, Jamie,” ucap Margaret pada suaminya.
“David Blackwell orang baik sekali.” Ia menaruh rajutan di
pangkuannya. Senyumnya tulus. “Terkadang anak muda itu
mengingatkanku pada kau dulu. Tapi, tak ada orang lain
yang sepandai kau, sayangku. Dan, takkan pernah ada. Kau
Puding Perdamaian, Es Massa
Keju Belanda
Hidangan Penutup
(Dimohon tidak membuang kulit tiram ke kolong meja)
Boer Whines‐Long Tom
Hollands‐in‐skin
Orange Wine
Bangsa Inggris akan mendapat kejutan. Bangsa Boer
berada di wilayah mereka sendiri, dan mereka itu keras
penuh tekad. Pertempuran pertama pecah di Mafeking—
sebuah kota kecil, tak melebihi ukuran suatu kampung. Di
sanalah bangsa Inggris menyadari buat pertama kalinya,
bahwa ini bukan main‐main. Tambahan tentara
didatangkan dari Inggris. Mereka mengepung Kimberley.
Baru setelah melalui pertarungan hebat berdarah mereka
bisa meneruskan penyerbuan ke Ladysmith. Meriam orang‐
orang Boer berjarak tembak melebihi meriam tentara
Inggris. Meriam‐meriam berjarak tembak jauh pun dicopoti
dari kapal perang dan dipindahkan ke darat, untuk
mempersenjatai angkatan laut yang bertugas jauh dari
kapal perang mereka.
Di Klipdrift, Margaret dengan bersemangat menunggu
berita dari setiap pertempuran yang berlangsung. Ia dan
orang‐orang di sekitarnya tak henti‐hentinya
membicarakan pertempuran‐pertempuran itu. Suasana hati
mereka berganti‐ganti: gembira, dan putus asa; tergantung
dari kabar yang sampai. Pada suatu pagi, seorang karyawan
datang berlari‐lari masuk ke ruang kerja Margaret. Katanya,
“Baru kudengar berita Inggris bergerak ke Klipdrift. Kita
bisa mati semua!”
“Omong kosong. Mereka takkan berani mengusik kita.”
BUKU KE DUA
MASTER OF THE GAME
by Sidney Sheldon
Copyright © 1982 by Sheldon Literary Trust
All rights reserved including the rights of reproduction in whole or
in part in any form.
RATU BERLIAN
Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 402 89.615
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1989
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney/
Ratu Berlian: I / oleh Sidney Sheldon ; alihbahasa,
Indri K. Hidayat. — Jakarta : Gramedia Pustaka Utama/1989.
232 hal.; 18 cm.
Judul asli: Master of the Game
ISBN 979‐403‐614‐5 (No. Jil. lengkap).
ISBN 979‐403‐616‐3 (Jil. 2).
1. Fiksi Amerika. I. Judul. II. Hidayat, Indri K.
8XQ3
DUA
12
SUATU malam pada musim panas tahun 1914, Kate
McGregor sedang bekerja sendirian di ruang kantornya, di
Kantor Pusat Kruger Brent, Ltd. —sebuah gedung baru di
Johannesburg, Mendadak terdengar deru beberapa mobil
mendekat. Ia meletakkan kertas‐kertas yang sedang ia
pelajari. Lalu, berjalan ke jendela—melihat ke luar. Dua
mobil polisi dan sebuah mobil patroli berhenti persis di
muka gedung kantornya. Kate memperhatikan. Dahinya
berkerenyit melihat enam polisi melompat ke luar dan
serta‐merta memblokir kedua pintu masuk dan keluar
gedung itu. Hari sudah larut, jalanan sepi. Kate menangkap
bayangan dirinya pada kaca jendela. Ia cantik. Matanya
abu‐abu muda seperti mata ayahnya. Tubuhnya montok
mirip ibunya.
Terdengar ada yang mengetuk pintu ruang kantornya.
Kate berseru, “Masuk.”
Pintu dibuka. Dua orang berseragam masuk. Seorang di
antaranya mengenakan tanda pangkat inspektur polisi.
“Ada apa?” tanya Kate.
“Maafkan kami mengganggu Anda malam‐malam begini,
Nona McGregor. Saya Inspektur Cominsky.”
“Ada masalah apa, Inspektur?”
“Kami dapat laporan, bahwa seorang pembunuh yang
kabur terlihat masuk ke sini beberapa waktu yang lalu.”
Wajah Kate menunjukkan rasa terkejut.
“Masuk ke gedung ini?”
“Ya, Nona. Dia membawa senjata. Orangnya berbahaya.”
Dengan suara ketakutan, Kate berkata,
“Kalau begitu, Inspektur, tolonglah cari dan bawa keluar
orang itu dari sini.”
“Itulah maksud kami kernari ini, Nona McGregor. Apakah
Anda beberapa waktu yang lalu mendengar bunyi‐bunyi
yang mencurigakan?”
“Tidak. Tapi, aku sendirian di sini. Lagi pula, banyak
tempat bersembunyi di sini. Tolonglah kerahkan anak buah
Anda memeriksa seluruh pelosok gedung ini, Inspektur.”
“Kami lakukan segera, Nona.”
Inspektur itu berbalik, memanggil anak buahnya.
“Menyebar! Mulai dari ruang bawah tanah, dan telusuri
sampai ke atap.” Inspektur lalu menoleh kepada Kate. “Ada
ruang yang dikunci?”
“Rasanya tidak,” sahut Kate. “Tapi, seandainya ada, nanti
kubukakan supaya bisa diperiksa.”
Inspektur Cominsky melihat betapa gugup dan
ketakutannya perempuan itu, tapi itu wajar mengingat
situasinya. Kalau tahu berapa putus asanya lelaki yang
sedang diburu polisi‐polisi itu, tentu bertambah gugup Kate
jadinya.
“Akan kami cari,” Inspektur menghibur Kate.
Kate mengambil kembali laporan yang tadi sedang
dibacanya. Tapi pikirannya tak bisa dipusatkan ke sana.
Terdengar olehnya langkah polisi kian kemari—keluar‐
masuk ruang‐ruang digedung itu. Bisakah mereka
menemukannya? Kate bergidik.
Polisi bergerak perlahan, tapi pasti—dengan sistematis
memeriksa setiap tempat yang mungkin dipergunakan
untuk bersembunyi, dari bawah hingga ke atap. Kira‐kira
tiga per empat jam kemudian Inspektur Cominsky kembali
ke ruang kerja Kate.
Kate menatap wajah lelaki itu.
“Tak ketemu, ya?”
“Belum, Nona. Tapi, jangan kuatir‐”
“Aku kuatir sekali, Inspektur. Kalau di gedung ini ada
pembunuh kabur bersembunyi, aku minta dengan sangat
agar Anda mencarinya sampai ketemu.”
“Akan kami cari sampai ketemu, Nona McGregor. Kami
bawa anjing pelacak.”
Dari koridor terdengar salak anjing. Tak lama kemudian
seorang petugas masuk membawa dua ekor anjing pelacak
terlatih.
“Anjing‐anjing ini sudah mencari ke seluruh penjuru
gedung ini, Tuan.”
inspektur memandang Kate.
“Apakah selama satu‐dua jam ini Anda meninggalkan
tempat, Nona McGregor?”
Ya. Aku pergi ke ruang arsip, mencari catatan lama.
Mungkinkah dia‐?” Kate gemetar. “Tolonglah, Pak
Inspektur, periksalah lagi semua tempat di gedung ini
dengan teliti.”
Inspektur memberi isyarat kepada petugas yang
membawa anjing. Petugas itu kemudian memerintah,
“Cari!”
Anjing‐anjing itu seperti kehilangan akal. Keduanya
memburu ke arah sebuah pintu tertutup, lalu menyalak‐
nyalak liar.
“Ya, Tuhan!” pekik Kate. “Dia di sana, rupanya!”
Inspektur menarik senjatanya. “Buka,” perintahnya.
Kedua petugasnya bergetak ke arah pintu tadi, senjata
mereka siap. Pintu pun dibuka. Kosong. Seekor anjing lari
ke pintu lain, lalu menggaruk‐garuk pintu itu dengan
kukunya.
“Menuju ke mana pintu ini?” tanya Inspektur Cominsky.
“Kamar mandi.”
“Aku tak butuh duit. Yang penting, aku bisa lolos dari
kota ini buat sementara.”
“Bagaimana kau mau pergi dari Johannesburg? Sudah
terpikir olehmu caranya?”
“Nanti juga pasti dapat saja akal.”
“Dengar aku. Polisi sudah mengepung semua jalan
keluar saat ini. Sendirian, kau tak bakal bisa lolos.”
Keras kepala, Banda menyahut,
“Yang kaulakukan sudah lebih dari cukup.”
Banda berhasil mengenakan kembali sepatunya. Berdiri
dengan kemeja dan jaket robek berlumur darah, ia nampak
mengibakan. Wajahnya berkerut dan rambutnya putih.
Tapi, ketika Kate betul‐betul memperhatikan lelaki itu,
tampak olehnya lelaki tinggi gagah yang pertama kali
dilihatnya ketika ia masih kecil.
“Banda, kalau kau sampai tertangkap, mereka pasti
membunuh kau,” ujar Kate pelan. “Ikutlah aku. “
Kate yakin betul jalan sudah dikepung. Semua jalan
menuju ke luar kota Johannesburg dijaga patroli polisi.
Penangkapan Banda sedang menjadi pusat perhatian
mereka. Pemerintah memerintahkan agar ia ditangkap,
hidup‐hidup ataupun mati. Stasiun kereta api dan jalan
darat diawasi semua.
“Mudah‐mudahan rencanamu lebih berbobot daripada
rencana yang dibuat ayahmu,” ucap Banda. Suaranya
lemah. Kate jadi kuatir. Jangan‐jangan sudah terlalu banyak
darah yang dikeluarkan lelaki itu.
“Hus. Sudah, jangan banyak bicara. Simpan tenagamu.
Percayakan segala sesuatu kepadaku.”
Suara Kate terdengar lebih meyakinkan daripada
perasaannya. Hidup Banda sepenuhnya berada di
tangannya. Ia akan menyesal jika sesuatu sampai terjadi
pada diri lelaki itu. Untuk keseratus kalinya Kate
tempat tidur Banda. Kosong. Banda sudah pergi. Rupanya ia
tak mau lagi merepotkan Kate. Kawan yang mau meno‐
longnya banyak. Kate kecewa, tetapi ia yakin Banda
selamat. Pasti David bangga kalau tahu apa yang sudah
kulakukan untuk Banda, pikir Kate.
“Tak kukira kau bisa setolol itu!” Suara David
menggelegar, ketika Kate kembali ke Johannesburg dan
menceritakan semuanya kepada David. “Bukan cuma
keselamatanmu yang kaupertaruhkan, tapi perusahaan ini
pun dalam keadaan bahaya. Seandainya polisi sampai
menemukan Banda di sini, apa kaupikir yang akan mereka
lakukan?”
“Mereka pasti membunuhnya,” sahut Kate, menantang.
David menggosok‐gosok dahinya, frustrasi.
“Kau ini rupanya tak mengerti apa‐apa, ya!”
“Tahu! Aku tahu kau dingin—tak berperasaan.”
Mata Kate berkilat marah.
“Kau memang masih anak‐anak.”
Kate mengayunkan tangan hendak menampar David,
tetapi David dengan cepat memegang lengannya.
“Kate, kau harus belajar mengontrol diri.”
Kata‐kata itu seolah bergema di kepala Kate. Kate, kau
harus belajar mengontrol diri....
Sudah lama sekali. Ketika itu ia baru empat tahun, dan
sedang berkelahi dengan seorang anak lelaki yang
mengejeknya. Melihat kedatangan David, anak lelaki itu
lari. Kate bergegas hendak mengejar. Tapi, David
mencengkeramnya.
“Tunggu, Kate. Kau harus belajar mengontrol diri. Anak
gadis baik‐baik tak biasa berkelahi.”
“Aku bukan gadis,” sentak Kate. “Lepaskan aku.” Lalu
David melepasnya.
terus‐terang aku tak tahu apa yang mesti kulakukan dengan
anak itu…
Kate keras kepala, banyak kemauannya, dan tak bisa
dinasihati. Ia selalu menolak jika dinasihati oleh ibunya
atau Nyonya Talley. Kalau mereka memilihkan baju
untuknya, serta‐merta baju itu ia campakkan dan memilih
lainnya. Ia tak mau makan dengan betul. Yang dimakannya
hanya yang ia inginkan. Dan, itu pun hanya jika ia sedang
kepingin makan. Tak ada kata kompromi, dan tak ada janji
yang bisa membuat Kate mengubah pendiriannya. Kalau
dipaksa pergi ke pesta ulang tahun, ada‐ada saja ulahnya
buat menggagalkan. Kate tak punya kawan anak
perempuan. Ia tak mau disuruh belajar dansa. Sebaliknya,
ia malah main bola dengan anak‐anak lelaki. Di sekolah,
kenakalannya luar biasa. Paling tidak sekali sebulan
Margaret terpaksa menemui Kepala Sekolah‐memohon
agar Kate dimaafkan dan diperbolehkan tinggal di sekolah
itu.
“Aku tak mengerti maksud anak itu, Nyonya McGregor,”
keluh kepala sekolahnya. “Kecerdasannya bukan main. Tapi
ia selalu saja memberontak. Terus‐terang, kami tak tahu
lagi harus bagaimana menanganinya.”
Margaret sendiri pun tak tahu.
Satu‐satunya orang yang bisa mengatasi Kate hanyalah
David.
“Dengar‐dengar, kau diundang ke pesta ulang tahun
nanti sore,”' ucap David.
“Aku paling benci pesta.”
David membungkuk hingga matanya sama tinggi dengan
mata gadis itu. “Aku tahu kau paling benci pesta, Kate. Tapi,
ayah anak yang ulang tahun itu kebetulan teman dekatku.
Janganjangan dia tersinggung kalau sampai kau tak datang.”
Kate memandangnya. “Kawan baikmu?”
“Ya.”
“Kalau begitu, aku pergi.”
Sikapnya di pesta sore itu sedikit pun tak ada cacatnya.
“Heran,” Margaret berkata kepada David. “Bagaimana
caranya, sih? Ini baru mukjizat.”
“Ah, namanya juga anak‐anak,” tawa David berderai.
“Lama‐lama sifatnya yang begitu juga akan hilang sendiri.
Yang paling penting, jangan sampai kita mematahkan
semangatnya yang sedang menggebu‐gebu.”
“Terus‐terang,” ujar Margaret, geram, “kadang‐kadang
aku kepingin mencekik anak itu.”
***
Ketika umur Kate sepuluh tahun, ia berkata kepada
David‐, “Aku ingin ketemu Banda.”
David tercengang. “Kurasa, tak mungkin, Kate. Rumah
Banda jauh dari sini.”
“Mau enggak kau mengantarku ke sana, David? Kalau
tidak, aku pergi sendiri.”
Minggu berikutnya, David membawa Kate ke rumah
pertanian Banda. Tanahnya cukup luas. Banda menanam
gandum dan memelihara kambing serta burung unta di
sana. Rumah yang ditinggali berupa gubuk berbentuk
melingkar. Dindingnya terbuat dari lumpur kering. Atapnya
berbentuk kerucut, dari jerami. Banda berdiri di muka
rumahnya—menyaksikan kedatangan Kate dan David.
Keduanya turun dari dokar. Banda memperhatikan gadis
cilik ceking berwajah serius di sisi David.
“Aku tahu kau anak Jamie McGregor,” sapanya.
“Dan aku tahu kau Banda,” sahut Kate.
Suaranya besar. “Aku kemari ingin menyampaikan
terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawa ayahku.”
Semula David mengira semangat Kate yang berkobar‐
kobar akan surut dengan bertambahnya umur gadis itu.
Tapi, gejala ke arah sana tak kunjung kelihatan. Kate
bahkan semakin keras kemauannya. Ia terang‐terangan
menolak ikut kegiatan yang diikuti oleh gadis‐gadis lain
seusianya. Sebaliknya, ia bersikeras menemani David ke
tambang. David mengajaknya berburu, memancing, dan
berkemah. Kate paling suka. Suatu hari, ketika Kate dan
David sedang memancing di Vaal, Kate tersenyum lebar
ketika berhasil mendapatkan ikan yang jauh lebih besar
dari ikan‐ikan yang telah berhasil dikail oleh David.
“Mestinya kau ini dilahirkan sebagai laki‐laki, Kate,” ucap
David.
Kate menoleh kepadanya dengan wajah jengkel.
“Jangan sembarangan kau, David. Kalau aku laki‐laki, kita
takkan bisa kawin.”
David tertawa keras.
“Kelak kita pasti jadi suami‐istri. Ya, kan?”
“Kurasa tidak, Kate. Umurku dua puluh dua tahun lebih
tua dari umurmu. Aku cukup tua buat jadi ayahmu. Kelak
kau akan bertemu pemuda baik‐baik—”
“Aku tak kepingin pemuda baik‐baik,” cetus Kate berang.
“Aku kepingin bersuamikan kau.”
“Kalau kau bersungguh‐sungguh,” ujar David, “kuberi
tahu rahasianya.”
“Apa? Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Kasih tahu sekarang dong.”
“Rahasianya, manjakan perut pemuda idamanmu. Nah,
cepat bersihkan ikan itu, dan kita makan.”
Tak pemah ada keraguan sedikit pun dalam pikiran Kate,
bahwa ia kelak akan bersuamikan David Blackwell. Ialah
lelaki satu‐satunya buat Kate di dunia ini.
Seminggu sekali Margaret mengundang David makan
malam di rumahnya. Biasanya, Kate lebih menyukai makan
di dapur bersama para pelayan. Di sana, ia bisa makan
tanpa perlu bersusah‐susah menjaga tata‐krama. Tapi, pada
hari Jumat malam‐hari David datang makan malam ke
rumah keluarga McGregor – Kate mau duduk dan makan
malam di ruang makan keluarga. Biasanya David datang
sendirian. Tetapi, sesekali ia membawa kawan perempuan.
Kate pasti langsung membenci perempuan mana pun yang
dibawa David.
Kate lalu berusaha menemui David ketika lelaki itu
sedang berjauhan dengan kawan kencannya, dan
mengatakan dengan nada naif dan manis, “Rasanya, belum
pernah aku melihat rambut yang berwarna seperti
rambutnya,” atau, “Selera berpakaiannya sangat unik, ya?”,
atau “Bekas anak buah Madam Agnes, ya?”
Ketika usia Kate mencapai empat belas, kepala
sekolahnya memanggil Margaret. “Sekolah yang kupimpin
ini sekolah terhormat, Nyonya McGregor. Putri Nyonya
berpengaruh buruk di sini.”
Margaret mengeluh. “Apa lagi yang dia lakukan, Ibu
Kepala Sekolah?”
“Dia mengajari kawan‐kawannya mengucapkan kata‐
kata tak senonoh.” Wajahnya masam: “Selain itu, Nyonya
McGregor, aku sendiri belum pernah mendengar kata‐kata
semacam itu. Heran. Entah dari mana anak itu
mendapatkan kata‐kata begitu.”
Margaret tahu, tentu Kate mendapatkan kata‐kata itu
dari kawan‐kawannya‐anak‐anak jalanan. Hm, putus
Margaret, sudah waktunya semuanya ini dihentikan.
“Baiklah, Sayang, kalau memang itu maumu. Di atas ada
silet. Atau kalau kaucari, di sini banyak racun tikus.”
Kate berurai air mata. “Bu, jangan hukum aku seperti
ini.”
Margaret memeluknya. “Ini semua demi kebaikanmu
sendiri, Kate. Sebentar lagi kau akan jadi wanita muda. Kau
harus siap menghadapi perkawinan. Mana ada lelaki yang
mau kawin dengan gadis yang cara bicaranya,
berpakaiannya, dan tingkah‐lakunya seperti kau sekarang
ini.”
“Itu tak benar,” protes Kate. “David mau.”
“Apa hubungannya David dengan semua ini?”
“Kami akan kawin.”
Margaret menarik napas dalam‐dalam.
“Akan kusuruh Nyonya Talley menyiapkan koper
pakaianmu.”
Ada enam sekolah asrama putri terkemuka di Inggris.
Margaret memilih Cheltenham yang letaknya di
Gloucestershire. Ia menganggap sekolah itu paling cocok
buat Kate. Peraturannya ketat dan sangat menekankan
disiplin. Letaknya di atas tanah luas yang dikelilingi oleh
pagar tinggi bermenara. Katanya, sekolah itu didirikan
untuk putri para bangsawan dan orang terkemuka. Suami
kepala sekolahnya mitra usaha David. Itu sebabnya David
tak menemui kesulitan mendaftarkan Kate di sana.
Mendengar tentang calon sekolahnya, Kate uring‐
uringan lagi. “Aku tahu sekolah itu! Tak enak. Bisa‐bisa aku
keluar dari sana sudah mirip boneka Inggris yang pongah.
Itukah yang Ibu inginkan dariku?”
“Yang kuinginkan, Kate, kau belajar sedikit tata‐krama,”
sahut Margaret. “Kau ini anak perempuan.”
“Aku tak kepingin jadi perempuan,” pekik Kate.
“Mengapa sih semua orang meributkan diriku?”
“Perhatikan cara bicaramu, Kate.”
Keadaan begitu terus sampai tiba saatnya Kate harus
berangkat. Kebetulan David harus pergi ke London dalam
rangka bisnis. Margaret minta tolong,
“Tolong antar Kate sampai ke sekolahnya, David. Entah
ke mana perginya anak itu kalau dibiarkan berangkat
sendiri.”
“Dengan senang hati,” sahut David.
“Kau! Rupanya kau sama saja dengan ibuku! Kau juga
kepingin aku pergi jauh‐jauh dari sini.”
David menyeringai. “Kau keliru. Aku bersedia
menunggu.”
Mereka naik gerbong kereta api pribadi dari Klipdrift ke
Cape Town, dan dari sana menumpang kapal laut ke
Southampton. Perjalanannya memakan waktu empat
minggu. Walaupun tak mau terang‐terangan mengakui,
diam‐diam Kate merasa bangga bepergian bersama David.
Seperti bulan madu, pikirnya, cuma kami belum kawin.
Selama di kapal laut, David banyak menghabiskan waktu
dengan bekerja di ruang kantor kamarnya. Kate suka
duduk‐duduk santai sambil mengamati lelaki itu. Hatinya
tenteram berada dekat David.
Suatu ketika ia bertanya, “Tak bosan sehari‐harian
menghadapi angka‐angka begitu, David?”
David meletakkan pena, lalu memandangnya.
“Ini bukan cuma angka, Kate. Ada ceritanya.”
“Cerita apa?”
“Kalau kau bisa membaca angka‐angka ini, isinya cerita
tentang perusahaan‐perusahaan yang kita beli atau yang
kita jual, tentang orang‐orang yang bekerja di perusahaan
kita. Beribu‐ribu orang di berbagai pelosok dunia ini
mendapat nafkah dari perusahaan yang didirikan ayahmu.”
“Aku seperti Ayah tidak?”
“Dalam banyak hal, ya. Ayahmu keras kepala dan tidak
tergantung pada orang lain.”
“Jadi, aku keras kepala dan tidak tergantung pada orang
lain?”
“Kau sih manja. Lelaki yang kawin denganmu kelak, pasti
susah hidupnya.”
Kate tersenyum sendiri. Malang betul si David.
Di ruang makan, malam terakhir dalam perjalanan laut,
David bertanya, “Kenapa sih Kate, kau ini sulit sekali?”
“Masa iya, sih?”
“Ah, kau tahu sendiri kau sulit. Kasihan ibumu, Kate. Bisa
gila dia gara‐gara kau.”
Kate merengkuh tangan David. “Dan kau? Bisakah kau
gila karena aku, David?”
Wajah David merah padam. “Hentikan itu. Aku tak
mengerti yang kaubicarakan.”
“Ah, kau mengerti.”
“Mengapa sih kau tak bisa bertingkah laku seperti gadis‐
gadis lain seusiamu?”
“Mendingan mati. Aku tak mau seperti orang lain.”
“Semua orang tahu kau tak seperti yang lain!”
“David, kau mau menungguku sampai aku cukup dewasa
buat kawin, kan? Percayalah, aku akan menjadi dewasa
dengan cepat. Tunggulah aku, David. Jangan kawin dengan
orang lain. Jangan temui orang lain yang kaukasihi.”
David tersentuh oleh kesungguhan Kate. Ia meraih
tangan gadis itu dan menggenggamnya. Katanya, “Kate,
kalau aku kawin kelak, aku ingin anak perempuanku
seperti kau.”
Kate bangkit, lalu berkata lantang, “Peduli setan dengan
kau, David Blackwell!” Ia lalu lari ke luar ruangan
Guru‐gurunya keheranan menyaksikan Kate menaruh
perhatian pada lahan pertanian yang ada di sekolah. Lahan
itu ditanami sayur‐sayuran. Ayam, sapi, babi, dan kuda
dipelihara pula di situ. Kate banyak menghabiskan waktu
disana. Nyonya Keaton girang bukan main ketika tahu akan
hal ini.
“Nah, betul kan,” ujamya kepada staf sekolah,
“masalahnya cuma kesabaran. Akhirnya Kate menemukan
yang ia sukai dalam hidup. Suatu hari kelak, ia akan jadi
istri tuan tanah dan bisa membantu suaminya.”
Keesokan paginya, Oscar Denker, orang yang ditugasi
mengelola pertanian sekolah, datang menemui Kepala
Sekolah, “Ibu Kepala, tolong jaga murid bernama Kate
McGregor agar tidak menggangguku di kebun.”
“Maksudmu apa?” tanya Nyonya Keaton. “Setahuku ia
sangat berminat dalam bidang pertanian.”
“Memang betul. Tapi, tahukah Anda bidang apa yang
sebenarnya dia minati? Melihat binatang kawin—maafkan
aku. “
“Apa?”
“Ya itulah. Ia berdiri di sana seharian memperhatikan
binatang‐binatang bercumbu dan kawin.”
“Astaga!” kata Nyonya Keaton.
Walaupun belum bisa memaafkan David karena dialah
yang mengirimkan Kate ke pengasingan ini, Kate merasa
sangat kehilangan lelaki itu. Nasibku, pikirya, mencintai
lelaki yang kubenci. Dihitungnya hari sejak ia berpisah dari
David, seperti
seorang tahanan menghitung hari kebebasannya. Kate
kuatir David melakukan hal‐hal yang fatal—seperti kawin
dengan perempuan lain sementara ia sendiri terkurung di
sekolah celaka ini. Kalau sampai dia kawin dengan orang
David keheranan diperhatikan oleh hampir semua murid
ketika datang. Mereka mengintip‐intip lalu berbisik dan
cekikikan. Kalau kebetulan mata mereka beradu dengan
mata David, mereka pun merah padam dan membuang
muka.
“Kayak belum pernah melihat orang laki‐laki saja kawan‐
kawanmu itu,” tutur David kepada Kate. Dengan wajah
curiga ia bertanya, “Kau cerita yang aneh‐aneh tentangku,
ya?”
“Tidak,” sanggah Kate. “Buat apa?”
Mereka makan di ruang makan sekolah yang luas, David
menceritakan semua perkembangan kepada Kate.
“Salam sayang dari ibumu. Beliau sudah tak sabar
menanti kedatanganmu pada liburan musim panas yang
akan datang.”
“Bagaimana keadaan Ibu?”
“Baik‐baik saja. Ibumu kerja berat.”
“Majukah perusahaan kita, David?”
David terkejut oleh minat Kate yang tiba‐tiba.
“Lumayan. Kenapa?”
Sebab, pikir Kate, suatu hari kelak perusahaan itu akan
jadi milikku dan milikmu. Aku akan punya andil di sana.
“Cuma kepingin tahu saja.”
David memperhatikan piring Kate yang belum tersentuh.
“Kok tidak makan?”
Kate sama sekali tak tertarik makan. Ia tak sabar
menunggu yang selama ini ia nanti‐nantikan: David
mengatakan kepadanya, Ikutlah denganku, Kate. Kau sudah
dewasa sekarang. Aku ingin kau menjadi istriku.
Makanan pencuci mulut dihidangkan. Lalu datang kopi.
Tapi, kata‐kata yang ditunggu Kate tak kunjung terdengar.
David akhirnya melihat arlojinya dan berkata,
“Wah, sudah waktunya aku pamit. Kalau tidak, bisa
ketinggalan kereta api nanti.”
Otomatis David menjawab, “Ya.” Lalu pikirnya, Ya Tuhan,
memang betul ia merindukan anak ini. Belum pernah ia
bertemu seseorang yang seperti Kate. Ia menyaksikan anak
itu tumbuh, dan setiap kali bertemu dengannya, ia seolah
menjadi semacam wahyu buatnya. Usianya sudah hampir
enam belas. Tubuhnya mulai berisi. Rambutnya yang hitam
terurai panjang hingga ke bahu. Ia mulai matang dan
menarik. Daya tarik semacam ini belum pernah terlihat
oleh David. Ia cantik, cerdas, dan berkemauan keras. Buat
banyak lelaki, ia sukar diatur, pikir David.
Sambil makan David bertanya, “Bagaimana kabarnya
sekolah, Kate?”
“Wah, senang sekali,” sembur gadis itu. “Banyak yang
kupelajari di sana. Guru‐gurunya baik, dan aku dapat
banyak sahabat di sana.”
Margaret diam, terperangah.
“David, kau mau mengajakku ke tambang lagi?”
“Jadi, itu yang kauinginkan untuk mengisi liburan?”
“Ya.”
Perjalanan ke tambang cukup panjang. Berarti, ia bisa
seharian bersama David.
“Boleh saja, kalau ibumu mengizinkan.”
“Boleh ya, Bu?”
“Boleh saja, Sayang. Asal kau pergi dengan David, Ibu
percaya kau aman.” Walau demikian Margaret tak yakin
David aman bersama putrinya.
Tambang Berlian Kruger‐Brent terletak dekat
Bloemfontein. Ukurannya raksasa dibanding dengan
tambang‐tambang lainnya. Beratus‐ratus pekerja bekerja di
sana: penggali, ahli teknik, pencuci, pemisah.
“Ini adalah salah satu tambang perusahaan kita yang
paling menguntungkan,” tuturDavid. Mereka sedang berada
di ruang kantor manajernya, menunggu petugas yang
Dua jam lamanya mereka berada di perut tambang, lalu
makan siang. Buat Kate, itulah hari yang bisa dikatakan
indah!
Ketika pulang sore harinya, Margaret menyambut
kedatangan Kate. “Senang?”
“Asyik! Pertambangan sangat memikatku.”
Sejam setengah kemudian, kebetulan Margaret
memandang ke luar dari jendela. Dilihatnya Kate sedang
bergulat dengan anak salah seorang tukang kebun.
Tahun berikutnya, surat‐surat Kate dari Inggris berbunyi
optimis. Ia dipilih jadi ketua tim hockey dan lacrosse serta
mendapat ranking yang patut dibanggakan. Ternyata
sekolahnya tidak sejelek yang ia rasakan semula, begitu
tulisnya. Lagi pula ada beberapa siswi yang ternyata cukup
menyenangkan. Kate bahkan minta izin mengajak dua
orang kawan dekatnya pulang pada liburan mendatang.
Margaret girang mendengar semuanya itu. Rumah mereka
akan hidup diwarnai tawa ceria. Rasanya tak sabar ia
menunggu kedatangan putrinya. Masa depannya tinggallah
Kate sekarang ini. Aku dan Jamie adalah masa lalu, pikir
Maggie. Katelah masa datang. Ah, pasti masa depannya
indah dan cerah!
Selama Kate berlibur di Klipdrift, hampir setiap pemuda
kaya di sana berusaha menarik perhatiannya. Tetapi Kate
tak tertarik bergaul dengan mereka semua. David sedang
melawat ke Amerika. Kate tak sabar menunggu
kedatangannya. Ketika David datang ke rumah mereka,
Kate menyambut di pintu depan. Ia mengenakan gaun putih
bersabuk beledu hitam yang membuat tubuhnya yang belia
tampak indah mempesona. David memeluknya. Lelaki itu
kaget merasakan hangatnya sambutan Kate. Ia undur
selangkah, lalu memperhatikan gadis itu. Ada yang lain
pada diri Kate. Matanya memancarkan sesuatu yang tak
“Kenalkan. Ini Brad Rogers,” kata David.
“Brad, kenalkan, ini bosmu yang baru, Kate McGregor.
Brad Rogers menjabat tangan Kate.
“Senang bertemu dengan Anda, Nona McGregor.”
“Brad adalah senjata rahasia kita,” ucap David. “Dia tahu
banyak hal tentang Kruger‐Brent, Ltd.—seperti aku.
Seandainya pada suatu saat nanti aku terpaksa pergi, kau
tak perlu kuatir. Di sini ada Brad.”
Kalau aku terpaksa pergi. Mendengamya saja Kate sudah
panik. Tentu saja David takkan pernah meninggalkan
perusahaan. Tak ada hal lain yang dipikirkan oleh Kate
selama acara makan siang itu. Setelah selesai, ia pun tak
tahu apa saja yang dihidangkan tadi.
Sehabis makan, mereka mendiskusikan Afrika Selatan.
“Kita akan mengalami kesulitan tak lama lagi,” David
mengingatkan. “Pemerintah baru saja memberlakukan
pajak hak pilih.”
“Apa itu?” tanya Kate.
“Setiap orang Negro, suku berwarna, dan orang India
harus membayar dua pound untuk setiap anggota keluarga
mereka. Itu lebih besar dari pendapatan mereka sebulan.”
Kate teringat Banda. Timbul perasaan kuatir dalam
hatinya. Lalu pembicaraan pindah ke hal lainnya.
Kate merasakan kehidupan barunya sangat
mengasyikkan. Setiap keputusan mempertaruhkan jutaan
pound. Bisnis raksasa memang memerIukan gabungan akal
sehat, keberanian bertaruh, dan insting tentang kapan
harus mundur dan kapan mesti maju terus.
“Bisnis adalah permainan,” tutur David kepada Kate.
“Permainan yang mempertaruhkan nasib sementara kita
bersaing dengan pemain‐pemain yang ahli. Kalau kepingin
menang, kau mesti belajar menjadi dalang permainannya.”
Kate merasa pasti. Itu yang harus ia lakukan. Belajar.
Kate hidup sendirian di rumah besar keluarga McGregor.
Hanya para pelayan yang menemaninya. Ia dan David
meneruskan kebiasaan makan malam bersama setiap hari
Jumat malam. Kalau Kate mengundangnya makan pada hari
lain, ada‐ada saja alasan David untuk menolak. Pada jam
kerja, mereka selalu bersama‐sama. Walaupun begitu,
terasa David mendirikan dinding pemisah di antara mereka
yang tak dapat ditembus oleh Kate.
Pada hari ulang tahun Kate yang kedua puluh satu,
semua saham Kruger‐Brent, Ltd., secara resmi dialihkan
haknya kepada Kate. Secara resmi Kate‐lah pemegang
kendali perusahaan.
“Kita makan malam bersama, yuk—buat merayakan,”
ajak Kate kepada David.
“Maafkan aku, Kate. Banyak sekali pekerjaan yang mesti
kukejar.”
Malam itu Kate bersantap malam sendirian. Tak henti‐
hentinya ia berpikir mengapa David bersikap seperti itu.
Diakah penyebabnya, atau memang David? Kalau sampai
David tak tahu perasaan Kate terhadapnya, itu namanya dia
tuli, tolol, dan buta. Kate perlu berbuat sesuatu untuk
membereskan hal ini.
Perusahaan sedang dalam negosiasi dalam bidang
angkutan laut di Amerika Serikat.
“Mengapa kau tak pergi bersama Brad ke sana buat
menandatangani kontraknya?” usul David, “Pengalaman
bagus buatmu.”
Sebetulnya, Kate ingin sekali David yang menemaninya.
Tetapi, gengsinya terlalu tinggi untuk mengatakan hal itu.
Ia harus menyelesaikan negosiasi ini tanpa dia. Di samping
itu, ia belum pernah ke Amerika. Kate tak sabar menunggu
tanggal keberangkatannya.
Negosiasinya berjalan lancar. Kontrak pun
ditandatangani.
“Mumpung di sana, pergilah melancong,” usul David.
Kate dan Brad mengunjungi anak‐anak perusahaan
mereka di Detroit, Chicago, Pittsburgh, dan New York. Kate
tercengang melihat besarnya Amerika Serikat serta
kekuatan mereka. Yang paling mengesankan buat Kate
adalah kunjungan ke Dark Harbor, Maine, pulau kecil
bernama Islesboro, di Teluk Penobscot. Ia diundang makan
malam ke rumah Charles Dana Gibson, seniman kenamaan.
Ada dua belas orang yang diundang selain Kate. Mereka
semua punya rumah di pulau itu.
“Tempat ini mempunyai sejarah menarik,” tutur Gibson
kepada Kate, “Bertahun‐tahun yang lampau, orang sering
datang kemari menggunakan kapal layar dari Boston. Kalau
kapal mereka merapat, mereka disambut oleh sebuah
andong yang kemudian membawa mereka ke rumah‐
rumah mereka.”
“Ada beberapa keluarga yang hidup di pulau ini?” tanya
Kate.
“Kira‐kira ada lima puluh keluarga. Kaulihatkah
mercusuar ketika ferry kita merapat tadi?”
“Ya.”
“Yang menjaga seorang lelaki bersama anjingnya. Kalau
ada kapal lewat, anjingnya keluar dan membunyikan
lonceng.”
Kate tertawa. “Kau melucu.”
“Tidak. Yang lebih lucu lagi, anjing itu tuli. Ia
menempelkan telinganya pada lonceng di lehernya untuk
merasakan apakah ada getaran.”
“Kalau Klipdrift ternyata menarik, mungkin saja kubujuk
Ayah agar tinggal lebih lama di sini.”
“Kalau begitu, akan kuusahakan agar Klipdrift jadi
semenarik mungkin,” janji David. “Berminat melihat
tambang berlian?”
“Wah, senang sekali,” sahut Josephine. “Terima kasih.”
Dulu David memang sering menemani tamu penting
melihat‐lihat tambang. Tapi, sudah lama ia biasa
mendelegasikan tugas semacam itu kepada anak buahnya.
Entah mengapa, malam itu ia mendengar dirinya berkata,
“Bagaimana kalau besok pagi kita ke sana?” Padahal ada
kira‐kira enam rapat penting yang harus ia hadiri esok
harinya. Mendadak saja semua rapat itu jadi tak penting.
David membawa O’Neil dan putrinya melihat corong
tambang yang letaknya kira‐kira seribu dua ratus kaki di
bawah permukaan tanah. Corong itu berlebar enam kaki
dan panjangnya dua puluh kaki, terbagi menjadi empat
bagian: satu untuk pemompaan, dua unruk mengangkat
tanah yang mengandung berlian kebiruan, dan satu lagi
berisi kerekan yang dipergunakan untuk mengangkut
buruh tambang dari dan ke tempat kerja mereka.
“Ada satu pertanyaan yang telah lama timbul dalam
benakku,” ujar Josephine. “Apa sebabnya berlian diukur
dengan karat?”
“Karat menunjukkan bijih carob‐nya,” jelas David,
“Dipakai sebagai ukuran karena beratnya konsisten. Satu
karat setara dengan dua ratus miligram. Atau, satu sama
dengan seperseratus empat puluh ons.”
“Bukan main,” sahut Josephine.
David bertanya‐tanya dalam hati, berliannyakah yang
bukan main? Berada di dekat gadis itu membangkitkan
gairahnya. Setiap kali pandangnya jatuh pada Josephine,
ada desiran aneh yang ia rasakan.
“Mestinya kalian melihat‐lihat pinggiran kota juga,” usul
David kepada O'Neil. “Kalau kalian punya waktu, aku
senang mengantar kalian melihat‐lihat besok.”
Sebelum ayahnya sempat mengucapkan sesuatu,
Josephine sudah menyahut, “Wah, senang sekali!”
Sejak itu David selalu bersama dengain Josephine dan
ayahnya setiap hari. Makin hari cinta David semakin dalam.
Belum pernah ia bertemu dengan perempuan yang begitu.
memikat.
Ketika David datang menjemput keluarga O'Neil hendak
mengajak mereka makan malam pada suatu petang, Tim
O'Neil berkata, “Aku agak capek malam ini, David.
Bagaimana kalau sekali ini aku tak ikut?”
David kegirangan. Tapi, ia berusaha menyembunyikan
perasaannya. “Oh, tidak apa‐apa. Aku mengerti.”
Josephine mengerling nakal menggoda David.
“Percayalah, aku sendiri pun bisa berusaha membuat
kau tak merasa kesepian, David,” janjinya.
David membawa Josephine ke sebuah restoran yang
terletak di sebuah hotel yang baru saja dibuka. Ruangannya
penuh. Tetapi, karena dikenal, David dengan segera diberi
tempat. Mereka makan dihibur oleh pemain musik yang
menyajikan lagu‐lagu Amerika.
David bertanya, “Mau dansa?”
“Dengan scaang hati.”
Sesaat kemudian Josephine sudah berada dalam
rangkulan tangannya di lantai dansa. Bukan main. David
memeluk tubuh indah perempuan itu. dan merasakan
reaksinya.
“Josephine, aku cinta padamu.”
Josephine menempelkan jari telunjuknya pada bibir
David. “David, jangan...”
“Mengapa?”
“Soalnya, aku takkan bisa kawin dengan kau.”
“Kau cinta aku, kan?”
Josephine tersenyum. Pandangannya menembus mata
David. Biru kemilau matanya, dan bersinar‐sinar.
“Aku tergila‐gila padamu, David. Tak tahukah kau?”
“Lalu, mengapa?”
“Aku takkan bisa hidup di Klipdrift. Bisa gila aku kalau
terus‐terusan di sini.”
“Cobalah dahulu.”
“David” aku kepingin. Tapi, aku tahu apa yang bakal
teriadi. Kalau kita kawin dan aku harus tinggal di sini, aku
akan jadi perempuan cerewet yang tak henti‐hentinya
meneriaki kau. Akhirnya, kita akan saling membenci. Lebih
baik kita berpisah saja.”
“Aku tak mau kita berpisah.”
Josephine menatap David. David merasa tubuh
perempuan itu seolah melebur dan menyatu dengan
dirinya.
“David, adakah kemungkinan kau bisa tinggal di San
Fransico?”
Gagasannya tak masuk akal.
“Lalu, mau kerja apa aku di sana?”
“Besok pagi kita sarapan bersama, yuk! Aku mau bicara
dulu dengan ayahku.”
Tim O'Neil berkata, “Josephine menceritakan
pembicaraan kalian semalam. Nampaknya kalian berdua
punya masalah. Tapi, kalau kau tertarik, mungkin aku
punya jalan keluar.”
“Aku tertarik sekali.”
O'Neil memungut tas kerjanya yang terbuat dari kulit
berwarna coklat. Ia mengambil beberapa cetak biru dari
dalamnya.
“Tahu sesuatu tentang makanan beku?”
“Rasanya tidak.”
“Di Amerika, orang mulai mengusahakan makanan yang
dibekukan pada tahun 1865. Yang jadi masalah adalah
mengangkut makanan ke tempat berjarak jauh sedemikian
rupa agar makanan itu tidak mencair. Gerbong kereta
berpendingin ruangan memang sudah ada. Tapi, belum ada
yang berhasil membuat truk berpendingin ruangan.”
O'Neil mengetuk‐ngetuk cetak biru yang dipegangnya.
“Sampai sekarang. Aku baru saia menerima hak patennya.
Ini akan merupakan revolusi dalam industri makanan,
David.”
David inelirik cetak biru itu. “Rasanya aku kurang
banyak mengerti mengenai hal itu.”
“Ah, tidak apa‐apa. Bukan teknisi ahli yang kucari.
Teknisi begitu banyak. Yang kucari justru orang yang
mengerti tentang masalah keuangan dan bagaimana
mengelola usaha. Semua ini bukan cuma cita‐cita. Aku
sudah bicara dengan orang paling berpengalaman dalam
bidang pengolahan makanan . Ini akan jadi bisnis besar
besar sekali, melebihi yang kita bayangkan. Aku butuh
orang semacam kau.”
“Kantor pusat perusahaannya bertempat di San
Francisco,” tambah Josephine.
David duduk terdiam, mencoba mencerna semuanya
yang baru saja ia dengar.
“Anda tadi menyebut patennya sudah Anda peroleh?”
“Betul sekali. Kita tinggal bergerak.”
“Bolehkah kupinjam cetak biru ini buat kuperlihatkan
pada seseorang?”
“Tentu saja.”
Yang pertama‐tama dilakukan David adalah mencari
tahu tentang latar belakang Tim O'Neil. Dari informasi yang
dia dapat, O'Neil mempunyai reputasi bagus di San
Francisco. Ia adalah Kepala Bagian Ilmu Pengetahuan pada
Berkeley College di sana, dan sangat dihormati orang. David
tak banyak tahu tentang bisnis makanan beku, tapi ia
berniat mencari informasi.
“Aku akan kembali lima hari lagi, Sayang. Kuminta kau
dan ayahmu menunggu sampai aku pulang. “
“Pergilah selama yang kauperlukan. Tapi, aku pasti
kesepian dan merindukan kau,” ujar Josephine.
“Siapa bilang aku takkan merindukan kau juga,” sahut
David. Dan, ia bersungguh‐sungguh mengatakannya.
David menumpang kereta api menuju Johannesburg dan
bikin janji bertemu dengan Edward Broderick, pemilik
pabrik pengepak daging terbesar di Afrika Selatan.
“Aku butuh pendapat Anda.” David mengulurkan
kepadanya cetak biru O'Neil. “Bagaimana menurut Anda?
Akan bisa berhasilkah bisnis ini?”
“Terus‐terang, aku tak tahu‐menahu tentang makanan
beku dan truk pengangkutnya, Tapi, aku kenal orang yang
bergerak di bidang itu. Datanglah lagi siang nanti.
Kukenalkan kau dengan dua orang ahlinya, David.”
Pukul empat sore, David kembali. Ia merasa gugup dan
tak pasti—tak tahu apa yang sebenarnya ia harapkan dari
hasil pertemuan sore itu. Seandainya dua minggu yang lalu
ada orang mengatakan ia akan keluar dari Kruger‐Brent,
Ltd., pasti ia mengakak. Tawanya akan semakin keras kalau
orang itu mengatakan ia mempertimbangkan jabatan
pimpinan pada sebuah perusahaan pengolah makanan
berukuran kecil di San Francisco. Semuanya itu tak masuk
akal. Cuma satu yang masuk akal: Josephine O'Neil.
Ada dua lelaki bersama Edward Broderick di ruang
kantor itu. “Kenalkan. Ini Dr. Crawford dan Tuan Kaufman.
David Blackwell.”
Mereka bersalaman. Lalu David bertanya, “Apakah Anda
sudah sempat melihat‐lihat cetak birunya?” Dr. Crawford
menjawab, “Sudah, Tuan Blackwell. Sudah kami pelajari
dengan cermat.”
David menghela napas dalam. “Dan?”
“Kudengar Kantor Urusan Paten di Amerika telah
memberikan hak paten pada cetak biru ini?”
“Betul.”
“Tuan Blackwell, cuma satu yang kami bisa katakan:
siapa pun pemilik patennya, dia bakal jadi orang kaya‐
raya.”
David mengangguk pelan. Berbagai emosi berkecamuk
dalam hatinya.
“Seperti penemuan besar lainnya—sangat sederhana
prinsipnya. Herannya, mengapa orang tak lebih dulu
berpikir begitu.”
David tak tahu mesti bagaimana ia bereaksi. Tadinya ia
setengah berharap keputusannya akan dengan gampang ia
buat. Jika ternyata ide Tim O'Neil tak berarti, ada
kemungkinan ia merayu agar Josephine menetap di Afrika
Selatan saja. Tapi, yang dikatakan O'Neil ternyata betul.
Sekarang David terpaksa harus mengambil keputusan.
Tak ada hal lain yang ia pikirkan sepanjang perjalanan
pulang ke Klipdrift. Jika tawaran O'Neil ia terima, berarti ia
harus meninggalkan perusahaan tempatnya bergelut
selama ini dan memulai usaha baru yang belum pernah
diuji. Memang ia warga negara Amerika. Tetapi, negeri
Amerika sendiri asing buatnya. Sekarang ini ia memegang
jabatan kunci pada perusahaan yang tergolong paling kuat
di dunia. Ia sangat menyukai pekerjaannya. Jamie dan
Margaret McGregor sangat baik terhadapnya. Lagi pula, ada
Kate. Ia menyayangi Kate sejak Kate masih bayi. Ia
menyaksikan Kate tumbuh dari gadis cilik yang jorok dan
keras kepala hingga menjadi perempuan muda yang cantik
dan anggun. Kehidupan Kate tak ubahnya album foto yang
telah melekat di benak David. Ia membalik halamannya,
dan tampaklah wajah Kate ketika berumur empat, delapan,
sepuluh, empat belas, dua puluh satu—perasa, susah
diduga...
Ketika kereta api yang ia tumpangi sampai di Klipdrift,
keputusan David telah bulat. Ia takkan meninggalkan
Kruger‐Brent, Ltd.
Ia langsung menuju Grand Hotel dan bergegas ke kamar
keluarga O'Neil. Josephine membuka pintunya.
“David!”
David memeluk perempuan itu dan menciumnya
kangen. Tubuhnya yang molek terasa hangat dalam
dekapannya.
“Oh, David. Betapa rinduku padamu. Aku tak mau lagi
berpisah darimu.”
“Tak perlu, Sayang,” ujar David lambat‐lambat. “Aku
akan pergi ke San Francisco ......
Dengan gelisah David menunggu Kate pulang dari
Amerika Serikat. Begitu keputusan diambilnya, David tak
sabar hendak melangkahkan kaki ke dalam kehidupan baru
yang dipilihnya. Ia ingin cepat‐cepat mengawini Josephine. .
Sekarang Kate sudah pulang. Dia berdiri di hadapan
perempuan muda itu, mengatakan, “Aku akan kawin.”
Kata‐kata itu terdengar di antara deburan keras dalam
telinga Kate. Kate merasa hendak pingsan. Cepat ia
berpegang pada ujung meja. Lebih baik aku mati, pikirnya.
Tuhan, ambillah nyawaku sekarang.
Walau demikian, dari kemauan keras dalam dirinya, Kate
berhasil menampilkan senyum pada wajahnya. “Ceritakan
tentang calon istrimu, David.” Kate merasa bangga
mendengar betapa kalem suaranya terdengar. “Siapa sih
orangnya?”
KRUGER-BRENT, LTD.
1914-1945
Ebook by Hendri Kho & Dewi KZ
Tiraikasih Website http://kangzusi.com
16
MEREKA sedang di ruang perpustakaan, tempat Jamie
dulu suka duduk‐duduk sambil minum brandy. David
bersikeras mengatakan tak ada waktu untuk benar‐benar
berbulan madu.
“Harus ada orang yang memikirkan perusahaan, Kate.”
“Betul, Tuan Blackwell, Tapi, siapa yang akan
memikirkanku?” Kate meringkuk di pangkuan David.
Kehangatan tubuhnya dirasakan David lewat gaun tipis
yang dikenakan istrinya. Kertas‐kertas yang sedang ia baca
terjatuh ke lantai. Lengan Kate merangkul tubuhnya. David
merasakan sentuhan tangan Kate mengembara turun ke
bagian bawah tubuhnya. Kate merapatkan pinggulnya pada
David sembari melakukan gerakan halus berputar‐putar.
Kertas‐kertas di lantai pun terlupakan. Kate merasakan
suaminya membalas. Cepat ia bangkit dan menanggalkan
gaunnya. David memperhatikan dia, kagum akan keindahan
tubuhnya. Ia heran bisa buta selama ini. Kate mulai
menanggalkan pakaian suaminya. Mendadak gairah David
meluap‐luap. Mereka berdua tanpa busana—tubuh mereka
bertaut erat. David membelai Kate. Jemarinya lembut
menyentuh wajah, leher, lalu turun ke dada Kate. Kate
mengeluh. Tangan David bergerak terus turun.
Kate pun berbisik, “Sekarang, David.”
Keduanya berguling ke karpet tebal yang halus di situ.
Kate merasakan kekuatan tubuh suaminya di atas
tubuhnya. David menyatu dengannya, mengisi relung
tubuhnya. Ia pun bergerak mengikuti irama gerak David.
Gelombang yang datang mengayunnya tinggi... tinggi sekali,
sampai Kate tak kuasa membendung ledakan indah yang
“Aku yakin ini bukan sesuatu yang serius. Hasilnya bisa
kita lihat dalam sehari dua hari ini. Bagaimana kalau
Nyonya meneleponku hari Rabu nanti?”
Pagi pagi sekali hari Rabu‐nya, Kate menelepon Dr.
Harley. “Kabar gembira buat Anda, Nyonya Blackwell,”
ucapnya ceria. “Anda mengandung.”
Itu merupakan salah satu saat paling menggairahkan
dalam hidup Kate. Tak sabar ia menunggu saat
menyampaikan beritanya kepada David.
Belum pernah David tampak segembira itu.
Kate digendongnya, lalu katanya, “Pasti perempuan. Dan,
rupanya persis kau.”
David berpikir, Inilah yang sebenarnya dibutuhkan Kate.
Sekarang dia akan terpaksa tinggal di rumah lebih banyak.
Dia akan lebih mirip istri.
Sementara itu Kate berpikir. Pasti lelaki. Kelak ia akan
jadi penerus Kruger Brent.
Makin mendekati saat kelahiran bayinya, Kate masih
terus ke kantor setiap hari meskipun kerjanya tak selama
biasa.
“Lupakan kerjaan. Usahakan lebih santai,” nasihat David.
Ia tak menyadari bahwa buat Kate bekerja sama saja
dengan bersantai.
Bayinya diperkirakan lahir pada bulan Desember.
“Kuusahakan dia lahir tanggal dua puluh lima,” janji Kate
kepada David. “Bayi ini akan jadi hadiah Natal kita.”
Natal nanti pasti sempurna, pikir Kate. Ia memimpin
perusahaan raksasa, punya suami yang ia cintai, dan
sebentar lagi akan melahirkan bayinya. Kate tak menyadari
bahwa urut‐urutan hal yang dianggapnya penting dalam
hidup ini sedikit ironis buat orang lain.
mengisi perabot rumah itu. Rumah itu mirip ruang pamer,
dilengkapi dengan perabot ukir abad keenam belas dari
Italia, dan lantai marmer. Ruang perpustakaannya
berdinding panel. Perapian di situ anggun, perapian model
abad delapan belas. Di atasnya tergantung lukisan Holbein.
Ada ruangan piala tempat disimpan koleksi senjata David.
Ruang karya seni diisi Kate dengan. berbagai lukisan karya
Rembrandt dan Vermeer, Velazqueze, dan Bellini. Ada
ruang dansa, ruang makan pagi, dan ruang makan resmi.
Kamar bayi terletak bersebelahan dengan kamar tidur Kate.
Kamar tidur lainnya tak terhitung banyaknya. Di
halamannya yang luas dan teratur apik berdiri patung
karya Rodin, Augustus Saint Gaudens, dan Maillol. Tempat
tinggal itu cocok ditinggali seorang raja. Putra Mahkota
sedang dibesarkan disini, pikir Kate gembira.
Pada tahun 1928, ketika usia Tony menginjak empat,
Kate memasukkan anak itu ke taman kanak kanak. Tony
tampan, berpembawaan serius. Matanya kelabu seperti
ibunya, dan dagunya mencuat. Ia diberi pelajaran musik.
Pada usia lima tahun, ia juga disekolahkan menari. Waktu
yang paling menggembirakan adalah liburan bersama di
Cedar Hill House di Dark Harbor. Kate membeli kapal
pesiar yang dinamainya Corsair. Ia dan Tony sering
berlayar menyusur Pantai Maine. Tony sangat mengagumi
kapal pesiar itu. Tetapi buat Kate, pekerjaannya tetap
menjadi sumber kebahagiaan yang utama.
Ada sesuatu yang mistik pada perusahaan yang didirikan
oleh Jamie McGregor. Perusahaan itu hidup dan selalu haus.
Perusahaan itu menjadi kekasih Kate, kekasih yang takkan
pernah mati pada musim dingin serta meninggalkannya
sendirian. Perusahaan itu akan hidup selamanya. Ya, Kate
akan berusaha agar perusahaan itu tetap hidup. Pada suatu
hari kelak, ia akan menurunkannya kepada putranya.
Satu satunya faktor yang mengganggu perasaan Kate
adalah negeri asalnya. Ia sangat mencintai Afrika Selatan.
Masalah ras di sana makin meruncing. Kate gelisah. Ada
dua kamp politik di sana: kaum verkramptes—yang
berpandangan sempit dan merupakan penganjur
perbedaan warna kulit—serta kaum verligtes—yang ingin
memperbaiki posisi kaum hitam. Perdana Menteri James
Hertzog dan Jan Smuts telah membentuk suatu koalisi dan
menggabungkan kekuatan mereka untuk memberlakukan
Undang undang Tanah Baru. Orang orang berkulit hitam
dipindahkan dari daftar dan tak diperbolehkan lagi
bersuara atau memiliki tanah. Berjuta‐juta orang dari
berbagai kelompok minoritas sangat terguncang oleh
keluarnya undang‐undang baru tersebut. Daerah yang tidak
mengandung mineral dan bukan merupakan pusat industri
atau pelabuhan diberikan kepada kaum kulit berwarna.
Kate merencanakan suatu rapat di Afrika Selatan yang
dihadiri oleh beberapa pejabat tinggi pemerintah. “Ini
merupakan bom waktu,” ujar Kate kepada mereka. “Anda
sekalian mencoba mempertahankan delapan juta orang
dalam dunia perbudakan.”
“Bukan perbudakan, Nyonya Blackwell. Kami melakukan
semua ini demi kebaikan mereka sendiri.”
“Betul? Coba jelaskan.”
“Masing masing ras mempunyai sumbangan yang
berbeda. Kalau orang kulit berwarna dibiarkan bercampur
dengan kaum berkulit putih, mereka akan kehilangan
individualitas mereka. Kami justru berusaha melindungi
mereka.”
“Omong kosong,” ujar Kate. “Afrika Selatan sekarang ini
menjadi neraka buat orang kulit berwarna. “
“Itu tidak benar. Beribu‐ribu orang berkulit hitam dari
negeri lain berdatangan ke negeri ini. Mereka harus
membayar lima puluh enam pound jaminan sebelum masuk
kemari. Tempat ini menjanjikan keadaan yang lebih
menguntungkan buat orang kulit berwarna dibanding
dengan negeri lainnya.”
“Aku merasa iba melihat nasib mereka,” kata Kate.
“Mereka itu anak‐anak primitif, Nyonya Blackwell.
Percayalah, semuanya ini demi kebaikan mereka sendiri.”
Kate meninggalkan rapat itu dengan perasaan frustrasi
dan gelisah akan nasib negerinya.
Kate juga gelisah memikirkan Banda. Ia banyak
diberitakan. Harian Afrika Selatan menyebutnya pimpernel
merah. Komentar tentangnya luar biasa. Ia lolos dari
kejaran polisi dengan menyamar sebagai buruh, sopir, atau
satpam. Ia mengorganisir suatu pasukan gerilya dan
menuju ke tempat‐tempat yang disebut dalam daftar polisi.
Cape Times memberitakan Banda diusung penuh
kemenangan melalui jalan jalan perkampungan kaum hitam
oleh para demonstran. Ia berkunjung dari desa ke desa,
memberi ceramah kepada kelompok pelajar. Setiap kali
polisi terkecoh. Banda selalu menghilang begitu polisi
datang. Menurut berita, ia mempunyai pengawal pribadi
terdiri dari beratus‐ratus sahabat dan pengikut. Setiap
malam ia tidur di tempat yang berbeda. Kate tahu, tak ada
satu pun yang bisa menghentikan usaha Banda selain
kematian.
Ia harus menghubungi orang itu. Kare memanggil salah
seorang bekas mandornya. Seorang kulit hitam yang bisa
dipercaya. “William, bisakah kau mencari Banda?”
“Bisa, kalau memang Banda mau ditemui.”
“Cobalah. Aku ingin bertemu dengan dia.”
“Akan kucoba.”
Kate melongo.
“Kita perlu membiarkan dia sendirian untuk beberapa
saat. Sampai ia menamatkan sekolah lanjutan. Di
Switzerland banyak sekolah bagus.”
Switzerland! Bayangan bahwa Tony akan berada di
tempat yang begitu jauh darinya menakutkan buat Kate.
Tony masih terlalu muda. Dia belum siap. Dia Dr. Harley
memperhatikan Kate.
“Baiklah. Akan kupikirkan,” Kate berkata kepadanya.
Siang itu ia membatallkan rapat direksi, dan langsung
pulang. Tony sedang di kamarnya, mengerjakan pe‐er.
Tony berkata, “A—aku dapat A— semua tadi, Bu—Bu.”
“Tony, kau senang tidak kalau disekolahkan di
Switzerland?”
Matanya bersinar sinar. Anak itu berkata, “B—Boleh, B—
Bu?”
Enam minggu sesudah itu, Kate mengantar Tony ke
kapal yang hendak membawa anak itu ke Eropa. Institut Le
Rosey di Rolle, sebuah kota keca di pantai Danau Jenewa
adalah sekolah yang dituju Tony. Kate berdlri di dermaga
New York, mengamati kapal itu sampai dilepaskan dari
perahu penariknya. Aku pasti kehilangan dia! pikirnya. Kate
berbalik, melangkah ke mobil limousine yang telah siap
membawanya kembali ke kantor.
Kate senang bekerja dengan Brad Rogers. Umur lelaki itu
empat puluh enam. Dua tahun lebih tua dari Kate.
Keduanya bersahabat baik melalui kerja sama selama
bertahun‐tahun. Kate sangat menyukai pengabdian Brad
pada KrugerBrent. Brad belum kawin. Teman kencannya
banyak. Semuanya menarik. Lambat‐laun Kate menyadari,
Brad setengah jatuh cinta padanya. Bukan cuma sekali dua
kali lelaki itu berkomentar nyata tentang perasaannya.
Ketika Tony berusia lima belas, Kate menganjurkan agar
anak itu berlibur ke Afrika Selatan pada musim panas. Tony
belum pernah ke sana.
“Aku belum bisa pergi sekarang, Tony. Tapi, aku percaya
kau akan senang di sana. Afrika Selatan adalah tempat yang
sangat menarik. Akan kuatur perjalananmu ke sana.”
“S‐sebetulnya, a‐aku k‐kepingin berlibur di Dark Harbor,
B‐bu.”
“Nanti saialah, liburan berikutnya,” tegas Kate. “Aku
ingin liburan ini kauhabiskan di Johannesburg.”
Kate mendikte pengawas perusahaan di Johannesburg.
Mereka berdua merencanakan jadwal kegiatan Tony
selama liburan di sana nanti. Setiap hari direncanakan
dengan satu tujuan: agar Tony merasa senang dan
menyadari, bahwa hari depannya ada bersama perusahaan.
Kate menerima laporan harian tentang kegiatan
putranya sehari‐hari. Dia dibawa ke tambang emas. Dua
hari dia lewatkan di padang berlian. Dia melakukan tur
terpandu ke berbagai pabrik Kruger‐Brent, dan pergi
bersafari di Kenya.
Beberapa hari sebelum liburan Tony berakhir, Kate
menelepon manajer kantor Johannesburg. “Bagaimana
Tony?”
“Oh, senang sekalli nampaknya, Nyonya Blackwell. Tadi
pagi malah ia menanyakan kalau‐kalau ia bisa tinggal lebih
lama.”
Kate merasa senang. “Bagus! Terima kasih.”
Ketika liburannya habis, Tony menuju South‐ampton di
Inggris, tempat ia kemudian menumpang pesawat Pan Am
yang akan membawanya ke Amerika Serikat. Kate selalu
terbang menumpang pesawat perusahaan penerbangan
Pan American di mana memungkinkan. Pelayanan yang
diberikan oleh perusahaan penerbangan itu jauh lebih
ingin belajar melukis di P‐paris. K‐kurasa, aku punya bakat
dalam bidang itu, B‐bu.”
Kate merasakan ketegangan dalam dirinya.
“Masakan seumur hidup akan kauhabiskan buat
melukis?”
“Kenapa tidak, B‐bu? Cuma itu satu‐satunya yang
kuinginkan.”
Kate tahu, ia kalah.
Dia punya hak untuk hidup sendiri, pikir Kate. Tapi, mana
mungkin aku membiarkannya bikin kesalahan sebesar itu?
Pada bulan September, keputusan diambil dari tangan
keduanya. Pecah perang di Eropa.
“Aku ingin kau mendaftarkan diri ke Sekolah Ilmu
Keuangan dan Perdagangan Wharton,” ujar Kate pada Tony.
“Kalau dua tahun lagi kau masih bercita‐cita menjadi
pelukis, cita‐citamu itu pasti kurestui.” Kate merasa pasti
bahwa dalam dua tahun mendatang Tony akan berubah
pendapat. Bahwa putra tunggalnya memilih buat
menghabiskan hidupnya bermain‐main dengan cat di atas
kanvas padahal dia bisa memilih menjadi pengendali
perusahaan raksasa yang begitu menggairahkan—sama
sekali tak masuk di akalnya. Bagaimanapun, anak itu adalah
anaknya!
Bagi Kate Blackwell, Perang Dunia II merupakan peluang
besar lagi. Berbagai negara di dunia kekurangan peralatan
perang, dan Kruger‐Brent bisa memasok semua yang
diperlukan. Satu divisi perusahaan menjadi pemasok
persenjataan, sementara divisi lainnya minyediakan
kebutuhan kaum sipil. Pabrik‐pabrik Kruger‐Brent bekerja
dua puluh empat jam sehari.
Kate merasa pasti Amerika Serikat takkan bisa tinggal
jadi pihak netral. Presiden Franklin D. Roosevelt
menyerukan agar negaranya menjadi gudang demokrasi.
Pada tanggal 11 Maret 1941, Faktur Sewa‐Pinjam diajukan
ke Kongres. Kapal Sekutu yang menyeberang Atlantik
diancam oleh blokade Jerman. Kapal selam Jerman
menggempur dan menenggelamkan kapal‐kapal Sekutu.
Keganasan Jerman seperti tak bisa dihentikan. Sebagai
sikap menantang terhadap Pakta Versailles, Adolf Hitler
membuat mesin perang terbesar dalam sejarah. Dengan
teknik baru blitzkrieg, Jerman menyerang Polandia, Belgia,
dan Negeri Belanda dengan cepat. Mesin Jerman
menggempur Denmark, Norwegia, Luxemburg, dan Prancis.
Kate mengambil tindakan begitu mendengar berita
bahwa orang Yahudi yang bekerja di perusahaan‐
perusahaan Kruger‐Brent, Ltd. yang diambil‐alih oleh Nazi
ditahan dan dideportasikan ke kamp konsentrasi. Ia dua
kali menelepon. Minggu berikutnya Kate terbang ke Swiss.
Setibanya Kate di Baur au Lac Hotel di Zurich, ia menerima
pesan, bahwa Kolonel Brinkmann ingin bertemu dengan
dia. Brinkmann tadinya manajer Kruger‐Brent Ltd. cabang
Berlin. Ketika pabriknya diambil‐alih oleh pemerintah Nazi,
Brinkmann diberi pangkat kolonel dan diberi tugas
mengawasi perusahaan itu.
Ia datang menemui Kate di hotel. Lelaki itu
berperawakan kurus. Rambutnya yang pirang disisir rapi
menyilang pada batok kepalanya yang membotak.
“Senang sekali aku bisa bertemu dengan Anda, Frau
Blackwell. Ada pesan pemerintahku yang harus
kusampaikan pada Anda. Aku diperintahkan untuk
meyakinkan Anda, bahwa begitu kami memenangkan
peperangan, semua pabrik‐pabrik Anda akan dikembalikan.
Jerman akan menjadi kekuatan industri paling besar di
dunia. Dan, kami menyambut kerja sama orang‐orang
seperti Anda.”
“Bagaimana kalau jerman kalah?”
Pandang matanya gelisah melirik ke sekeliling kafetaria.
Lelaki itu bernapas dan tidur dengan bahaya setiap hari
dalam hidupnya.
“Tadinya aku berharap bisa membantu,” Kate berkata
hati‐hati. “Kruger‐Brent, Limited punya banyak pabrik di
berbagai negeri netral dan Sekutu. Kalau ada yang
mengungsi ke sana, aku bisa mengatur dengan mudah agar
mereka diberi pekerjaan.”
Herr Bueller duduk, meneguk kopi pahit.
Akhirnya dia berkata,
“Aku tak tahu apa‐apa tentang hal‐hal ini. Politik sangat
berbahaya hari‐hari belakangan ini. Tapi, kalau Anda
berminat menolong orang yang sedang kesusahan, aku
punya paman di Inggris yang menderita sakit berat. Biaya
dokternya sangat tinggi.”
“Setinggi apa?”
“Lima ribu dollar sebulan. Mesti diatur sedemikian rupa
agar uangnya disetor untuk keperluan pengobatannya di
London dan dananya ditransfer ke salah satu bank Swiss.”
“Bisa diatur.”
“Pamanku pasti gembira.”
Kira‐kira delapan minggu setelahnya, sedikit demi
sedikit namun secara teratur, pengungsi Yahudi mulai
berdatangan ke negeri‐negeri sekutu dan diterima bekerja
di pabrik‐pabrik KrugerBrent.
Tony meninggalkan sekolah pada akhir tahun kedua. Ia
bergegas ke kantor Kate menyampaikan kabar itu. “A‐aku
sudah berusaha, B‐bu. Sungguh, aku berusaha. Tapi,
keputusanku s‐sudah bulat. A‐aku ingin belajar m‐melukis.
Kalau perang sudah selesai, aku akan pergi ke P‐paris.”
Setiap kata yang diucapkan Tony serasa pukulan palu di
kepala Kate.
TONY
1946-1950
18
SEBELUMNYA, Tony sudah pernah mengunjungi Paris.
Tapi, keadaannya sekarang berbeda. Kota Cahaya itu
diredupkan oleh pendudukan Jerman, tetapi lolos dari
kehancuran ketika dinyatakan sebagai kota terbuka.
Penduduknya banyak menderita, dan walau kaum Nazi
merampas banyak pajangan kota, buat Tony Paris bisa
dikatakan hampir tak terjamah. Lagi pula, kali ini Tony
datang ke sana untuk menetap. Bukan cuma sebagai turis.
Kate mempunyai apartemen mewah di Avenue du
Mardchal Foch. Tempat itu beruntung tidak terusakkan
oleh pendudukan Jerman. Tony memilih tidak tinggal di
sana. Ia malah menyewa pondokan kecil di rumah kuno di
belakang Grand Montparnasse. Ruang pondokannya
“Tentu.
“Bagus. Kalau tidak, percuma. Ambilkan aku seember air
dan sabun.”
Dominique langsung bekerja membersihkan lantai
apartemen itu, lalu merapikan barang‐barang yang
berantakan. Setelah selesai, katanya, “Nah, sudah lumayan
sekarang. Astaga, mesti mandi aku.”
Ia menuju ke kamar mandi mungil dan membuka keran,
mengisi bak. “Mana cukup bak ini kaupakai berendam?”
serunya.
“Kaki dinaikkan, dong!”
Dominique tertawa. “Jadi pingin lihat, deh!”
Seperempat jam kemudian, Dominique keluar dari
kamar mandi cuma berselubungkan sehelai handuk.
Rambutnya yang pirang basah, keriting. Tubuhnya indah
dengan dada penuh, pinggang langsing, serta kaki mulus
panjang. Selama ini Tony tidak melihat gadis itu sebagai
perempuan. Dia cuma berpose telanjang untuk dilukis di
kanvas. Anehnya, handuk itu membuat segalanya berubah.
Mendadak Tony terangsang.
Dominique memandangnya. “Kau ingin mencumbuku?”
“Ya.”
Perlahan Dominique melepas lilitan handuk dari
tubuhnya. “Coba.”
Belum pemah Tony mengenal perempuan seperti
Dominique. Memberikan segalanya tanpa meminta apa
pun. Setiap sore ia datang, memasak buat Tony. Kalau
makan ke luar, Dominique selalu saja memaksa Tony
makan di warung murahan. “Kau harus menabung,”
katanya,
“Meskipun kau artis hebat, memulai profesi itu susah.
Kau hebat, cheri.”
Mereka pergi ke Les Halles menjelang subuh, lalu makan
sup bawang di Pied de Cochon. Mereka ke Musee
Carnayalet dan tempat‐tempat aneh yang tidak dikunjungi
turis, seperti Cimetiere P6re‐Lachaise—peristirahatan
terakhir Oscar Wilde, Frede'ric Chopin, Honore de Balzac,
dan Marcel Proust. Mereka mengamati makam‐makamnya,
lalu berlibur seminggu menyusur Sungai Seine menumpang
tongkang milik kenalan Dominique.
Dominique kawan yang menyenangkan. Rasa humornya
tinggi. Kalau Tony merasa tak enak hati dan jengkel,
Dominique pasti membuatnya tertawa. Nampaknya dia
kenal setiap orang di Paris. Tony diajaknya ke pesta‐pesta
menarik dan bertemu dengan orang‐orang kenamaan
seperti penyair Paul Wluard dan Andre' Bre'ton—pengelola
galeri paling prestis: Galerie Maeght.
Dominique selalu memberi semangat. “Kau pasti jadi
pelukis lebih hebat dari mereka semua, cheri. Percayalah.
Aku tahu.”
Kalau Tony sedang berselera melukis pada malam hari,
Dominique dengan riang duduk menjadi modelnya walau ia
telah bekerja keras seharian. Betapa mujurnya aku, pikir
Tony. Baru kali ini ia merasa yakin ada orang yang
mencintai dirinya, bukan karena yang ia miliki. Perasaan
seperti itu sangat membuat Tony berbahagia. Tony takut
memberi tahu Dominique bahwa dia sebenarnya pewaris
kekayaan besar dunia. Ia kuatir gadis itu akan berubah, dan
mereka kehilangan yang mereka miliki sekarang. Walau
begitu, Tony tak kuasa menahan keinginannya
menghadiahi Dominique mantel bulu buatan Rusia pada
hari ulang tahunnya.
“Hm, baru sekali ini aku melihat mantel seindah ini!” ujar
Dominique sembari menari‐nari mengenakan mantel itu.
Mendadak ia berhenti. “Dari mana kau dapat ini, Tony? Dari
mana uangnya?”
“Gila, kau. Dominique! Aku belum siap.”
“Kau salah, mon cher.”
Tony pulang sore keesokan harinya. Dominique punya
tamu. Anton Goerg, seorang lelaki berperawakan kurus
dengan mata coklat berkelopak bengkak. Dia pemilik dan
pengelola Goerg Gallery, sebuah galeri sederhana di Rue
Dauphine. Lukisan Tony terserak di sekitar ruangan.
“Ada apa ini?” tanya Tony.
“Ada apa, monsieur,” seru Anton Goerg.
“Lukisanmu betul‐betul brilian.” Lelaki itu menepuk
pundak Tony. “Aku senang kalau bisa memamerkan
karyamu di galeriku.”
Tony melirik Dominique. Wajah gadis itu berseri.
“E—entahlah. Aku tak tahu mesti bilang apa.”
“Semuanya sudah kaukatakan,” sahut Goerg. “Lewat
kanvas‐kanvas ini.”
Tony dan Dominique memperbincangkan hal itu sampai
tengah malam.
“Aku merasa belum siap. Bisa‐bisa aku digantung oleh
kritikus.”
“Kau salah, cheri. Ini paling cocok untukmu. Galerinya
kecil. Cuma penduduk sini saja yang bakal datang dan
menilai karyamu. Percayalah. Kau takkan mereka sakiti.
Monsieur Goerg takkan mau menawarkan ini kalau ia
sendiri tak merasa yakin akan kebolehanmu. Dia
berpendapat sama denganku. Kau bakal jadi seniman
besar.”
“Baiklah,” ucap Tony akhimya. “Siapa tahu? Jangan‐
jangan aku bisa menjual salah satu lukisanku pula.”
***
Telegramnya berbunyi: TIBA PARIS SABTU. TEMANI
AKU MAKAN MALAM. SAYANG, IBU.
Yang terpikir oleh Tony ketika melihat ibunya masuk ke
studio, Bukan main anggunnya dia. Usianya lima puluh lima,
rambut putih nampak di sana‐sini. Penampilannya hidup.
Tony pernah menanyakan pada ibunya, mengapa dia tak
kawin lagi. Jawabnya tenang, “Cuma ada dua lelaki yang
berarti dalam hidupku. Ayahmu dan kau.”
Berdiri di apartemennya yang sempit di Paris,
berhadapan dengan ibunya, Tony berkata, “S—senang
sekali bertemu I—ibu, Bu.”
“Tony, kau nampak sehat dan gagah. jenggotnya baru
saja dibiarkan panjang, ya?” Ibunya tertawa sembari
mengusap jenggot Tony. “Kau seperti Abe Lincoln.”
Pandangannya menyapu ruangan di sekitarnya. “Syukurlah.
Rupanya kau dapat tukang bikin bersih rumah yang bagus
sekarang. Tempat ini jadi terasa lain.”
Kate melangkah ke kuda‐kuda, tempat Tony sedang
menyelesaikan sebuah lukisan. Di situ ia berhenti, lalu
memandang lama sekali. Tony berdiri dekat ibunya,
menunggu reaksinya dengan hati berdebar‐debar.
Ketika Kate bicara, suaranya lembut sekali. “Brilian
sekali, Tony. Sungguh‐sungguh hebat.” Kate sama sekali tak
berusaha menyembunyikan rasa bangga dalam hatinya. Ia
tak bisa dibohongi dalam hal karya seni. Dan, ia merasakan
kegembiraan yang meluap‐luap menyadari putranya demi‐
kian berbakat.
Ia berpaling kepada Tony. “Boleh lihat lainnya?”
Dua jam mereka habiskan melihat‐lihat setumpuk
lukisan Tony. Kate mempelajari dan berkomentar sangat
detil mengenai setiap lukisan itu. Sama sekali tak terdengar
nada merendahkan dalam suaranya. Kate gagal dalam
usahanya mengatur hidup Tony. Tony kagum melihat sikap
ibunya yang begitu anggun menghadapi kenyataan bahwa
ia kalah.
“Aku j‐juga sayang sekali pada I‐ibu.”
Goerg Gallery tak bisa dikatakan luas. Kira‐kira dua lusin
lukisan karya Tony digantung di dindingnya dengan
terburu‐buru menjelang pembukaan pameran. Di atas bufet
marmer terhidang potongan keju dan biskuit serta
beberapa botol Chablis. Galerinya kosong. Cuma ada Anton
Goerg, Tony, Dominique, dan seorang asisten perempuan
yang membantu menggantung beberapa lukisan yang
terakhir.
Anton Goerg memandang arlojinya. “Undangannya
menyebut jam tujuh. Sekarang sudah waktunya tamu
berdatangan.”
Tony tak mengira dia bakal gugup. Aku bukan gugup,
katanya pada diri sendiri. Aku panik!
“Bagaimana kalau tak ada tamu yang datang?” tanyanya.
Dominique tersenyum dan membelai pipi Tony. “Ya kita
habiskan keju, biskuit, dan minuman ini sendiri.”
Orang mulai datang. Mula‐mula seorang‐seorang. Lama‐
lama berkelompok‐kelompok. Monsieur Goerg menyambut
di pintu. Mereka bukan pembeli benda seni di mataku, pikir
Tony muram. Matanya yang tajam mengelompokkan tamu‐
tamunya menjadi tiga kategori: seniman dan mahasiswa
sekolah seni yang datang menilai karya saingan mereka;
agen yang mencari sumber lukisan baru; dan kaum
seniman yang sebagian besar terdiri dari kaum homo dan
lesbian—mereka yang menghabiskan hidup mereka di
sekitar dunia seni. Takkan sebuah pun lukisanku bisa
terjual, pikir Tony.
Monsieur Goerg memberi isyarat kepada Tony dari
seberang ruangan.
“Rasanya aku enggan menemui orang‐orang itu,” bisik
Tony pada Dominique. “Mereka bakal mengoyak‐ngoyak
aku.”
“Maaf,” kata Tony pada perempuan di sebelahnya. “Boleh
pinjam sebentar?”
Keesokan paginya Tony menelepon toko pakaian yang
namanya tercantum di halaman majalah. Dari sana dia
mendapatkan nama dan alamat agen iklan mereka. Tony
menelepon agen itu.
“Aku sedang mencari‐cari salah satu model Anda,”
katanya kepada operator telepon. “Bisakah—”
“Sebentar, Tuan.”
Terdengar suara lelaki di seberang sana. “Bisa dibantu?”
“Aku melihat potret dalam terbitan Vogue bulan ini.
Model itu memperagakan gaun dansa untuk toko pakaian
Rothman. Betulkah itu langganan Anda?”
“Ya.”
“Bolehkah aku meminta nama agen modelnya?”
“Oh, Carleton Blessing Agency—namanya.” Lelaki itu
memberi Tony nomor telepon.
Semenit kemudian Tony sudah bicara dengan seorang
perempuan di Blessing Agency. “Aku sedang mencari salah
satu model Anda,” ujarnya. “Namanya Dominique Masson.”
“Oh, maaf. Kebijaksanaan perusahaan melarang kami
memberi informasi pribadi.” Sambungan telepon diputus.
Tony duduk terpaku, memandang gagang telepon. Harus
ada jalan buat menghubungi Dominique. Dia pergi
menemui Brad Rogers.
“Pagi, Tony. Mau kopi?”
“Tak usah. Terima kasih, Brad. Pernah mendengar
tentang Carleton Blessing Model Agency?”
“Rasanya ya. Itu milik kita.”
“Apa?”
“Perusahaan itu bernaung di bawah payung salah satu
perusahaan subsidiari kita.”
“Sejak kapan?”
“Kira‐kira dua tahun yang lalu. Kira‐kira sejak kau kerja
di sini. Mengapa tiba‐tiba menaruh perhatian?”
“Aku sedang mencari salah satu model mereka. Kenalan
lamaku.”
“Ah, itu sih gampang. Nanti kuteleponkan.”
“Tak perlu. Biar kutelepon sendiri. Terima kasih, Brad.”
Perasaan hangat penuh harap menjalar di dada Tony.
Siangnya, Tony pergi ke kantor Carleton Blessing
Agency. Dia memperkenalkan diri. Semenit kemudian dia
sudah duduk di kantor presiden perusahaan. Tuan Tilton
namanya.
“Wah, ini kehormatan besar, Tuan Blackwell. Mudah‐
mudahan tidak ada masalah gawat. Keuntungan kami
kuartal lalu—”
“Oh, bukan itu maksud kedatanganku. Aku tertarik pada
salah satu model Anda. Dominique Masson namanya.”
Wajah Tilton berseri. “Wah, dia kebetulan model
terbagus yang kami punyai. Ibu Anda memang jeli.”
Tony mengira dia salah mengerti. “Maksud Anda?”
“Secara pribadi ibu Anda meminta kami menerima
Dominique. Terus terang, itu merupakan salah satu syarat
yang harus dipenuhi ketika Kruger‐Brent, Limited,
mengambil alih perusahaan ini. Semua surat‐suratnya
masih tersimpan di arsip, kalau Anda berkenan—”
“Tak perlu.” Tony tak mengerti. Rasanya dia tak bisa
mencerna yang didengarnya barusan. Mengapa ibunya—?
“Boleh minta alamat Dominique?”
“Tentu saja, Tuan Blackwell. Dia sedang bekerja di
Vermount hari ini. Tapi pasti pulang,” —sebentar dia
melirik jadwal di mejanya—”besok siang.”
Tony sedang menunggu di luar gedung apartemen
Dominique sewaktu sebuah sedan hitam mendadak
butuh istri, pikir Kate. Buat merawat dan melahirkan putra
penerusnya. Aku harus membantu dia. Harus.
Brad Rogers masuk ke ruang keria Kate. Katanya,
“Kurasa kita dapat kesusahan lagi, Kate.”
“Ada apa lagi?”
Brad menaruh selembar telegram di meja Kate.
“Parlemen Afrika Selatan mengalahkan Dewan Perwakilan
Rakyat dan meneruskan Undang‐undang Komunis.”
“Astaga!” ucap Kate. Undang‐undang itu tak ada
hubungannya dengan komunisme. Isinya menyatakan,
bahwa siapa pun yang tidak setuju dengan kebijaksanaan
pemerintah dan mencoba mengubahnya secara apa pun
dianggap bersalah di bawah Undang‐undang Komunis dan
bisa ditahan.
“Itu cara mereka mematahkan gerakan pertahanan
orang hitam,” katanya. “Kalau—” Kata‐katanya terputus
karena sekretarisnya masuk.
“Ada interlokal buat Anda. Tuan Pierce dari
Johannesburg.”
Jonathan Pierce adalah manajer kantor cabang
Johannesburg. Kate mengangkat gagang telepon. “Halo,
Johnny. Apa kabar?”
“Baik, Kate. Aku punya kabar yang sebaiknya
kaudengar.”
“Apa itu?”
“Baru saja kudapat laporan, polisi berhasil menangkap
Banda.”
Kate langsung terbang dengan penerbangan pertama ke
Johannesburg. Dia minta konsultan hukum perusahaan
agar memikirkan sesuatu yang bisa mereka lakukan buat
Banda. Kali ini kekuatan dan nama besar Kruger‐Brent, Ltd.,
pun mungkin tak bakal bisa menyelamatkannya. Banda
sudah dinyatakan sebagai musuh negara. Tak berani
“Oh , ya? Wah, senang dong. “ Tak seorang pun mengira
bahwa Kate bukan cuma tahu bahwa anak perempuan
Charlie Wyatt ikut ke Washington. Dia juga tahu gaun apa
yang dibeli anak Charlie Wyatt di Garfinckel's pagi tadi.
“Aku mengadakan makan‐makan di rumah kami di Dark
Harbor Jumat nanti. Senang sekali kalau Anda dan putri
Anda bisa hadir berakhir minggu di sana.”
Wyatt tak ragu‐ragu. “Aku banyak mendengar tentang
pesta makan Anda yang mengesankan. Tentu saja kami
senang kalau bisa menghadiri,”
Kate tersenyum. “Bagus. Akan segera kuatur agar Anda
dan putri Anda bisa diterbangkan ke sana besok malam.”
Sepuluh menit kemudian, Kate mengobrol dengan
Frederick Hoffman. “Sendirian saja di Washington, Tuan
Hoffman?” tanyanya. “Atau istri Tuan ikut?”
“Istriku meninggal beberapa tahun yang lalu,” tukas
Frederick Hoffman kepadanya. “Aku kemari dengan
putriku.”
Kate tahu mereka menginap di Hotel HayAdams, Suite
418. “Aku bikin makan‐makan di rumah kami di Dark
Harbor. Senang sekali kalau Anda dan putri Anda bisa hadir
bermalam minggu besok.”
“Wah, kami sudah harus kembali ke jerman,” sahut
Hoffman. Lelaki itu mengamati Kate sejenak, lalu
tersenyum. “Ah, kukira sehari dua hari lagi tinggal takkan
banyak bedanya.”
“Bagus. Akan kuatur transportasinya.”
Sudah menjadi kebiasaan Kate mengadakan pesta dua
bulan sekali di rumahnya di Dark Harbor. Beberapa orang
terkemuka dan berkuasa di dunia berkumpul di sana, dan
pertemuan seperti ini selalu membuahkan hasil. Kate berte‐
kad membuat pesta kali ini sangat khusus. Masalah
utamanya adalah menghadirkan Tony di sana. Setahun
ditempatkan di sebelah kanan Tony di meja satunya. Semua
lelaki yang ada di situ—kawin ataupun tidak—menaruh
perhatian pada Lucy. Kate mendengar Lucy mencoba
mengajak Tony mengobrol. Kelihatan sekali Lucy suka pada
Tony. Kate tersenyum sendiri. Permulaan yang baik.
Esok paginya, Sabtu, ketika mereka sedang sarapan,
Charlie Wyatt berkata kepada Kate, “Kapal pesiar Anda
yang merapat di sana bagus betul, Nyonya Blackwel.
Seberapa besar kapal itu?”
“Wah, kurang tahu aku.” Kate menoleh pada putranya.
“Tony, berapa besar sih Corsair?”
Ibunya tahu persis ukuran kapal pesiar mereka. Tapi
Tony menyahut sopan, “Delapan puluh k‐kaki. “
“Di Texas, kami hampir tak bisa berlayar. Selalu
terburu‐buru. Kalau bepergian, umumnya pesawat terbang
yang kami pakai.” Wyatt tertawa cerah. “Coba, ah.”
Kate tersenyum. “Aku kepingin mengajak Anda
berkeliling pulau. Bagaimana kalau kita berlayar besok.”
Charlie Wyatt menatap Kate. Katanya, “Anda sangat baik,
Nyonya Blackwell.”
Tony diam‐diam memperhatikan keduanya.
Tetapi tidak berkata apa pun. Langkah pertama baru saia
selesai. Tony menebak‐nebak kalau‐kalau Charlie Wyatt
menyadari. Mungkin tidak. Dia memang pengusaha
cemerlang. Tapi, rupanya belum pernah bertemu dengan
seseorang macam Kate Blackwell.
Kate mengalihkan perhatian kepada Tony dan Lucy.
“Pagi ini cuaca begitu cerah. Kenapa kalian tidak
berlayar?”
Sebelum Tony sempat menolak, Lucy menyahut, “Wah,
kepingin sekali aku berlayar.”
“M‐maaf,” ucap Tony pendek. “Aku harus interlokal.” Dia
merasa pandang ibunya tak senang.
Lucy mendadak berhenti, lalu memperhatikan Tony.
“Apa aku mengucapkan sesuatu yang menyinggung
perasaanmu?” tanya Tony ketika melihat amarah di wajah
Lucy.
“Kau tak mau bicara. Itu yang membuatku tersinggung.
Yang kauucapkan dari tadi cuma ya atau tidak. Aku jadi
merasa seperti aku ini mengejar‐ngejarmu.”
“Dan itu betul?”
Lucy tertawa. “Ya. Kalau saja kau bisa kuajari ngomong,
sangat mungkin kita bisa lebih dekat.”
Tony meringis.
“Apa sih yang kaupikirkan?” tanya Lucy.
“Tidak ada.”‐
Tony memikirkan ibunya. Betapa tak suka dia jadi pihak
yang kalah.
Kate sedang memamerkan ruang perpustakaan luas
yang dindingnya terbuat dari bahan panel. Pada raknya
berderet edisi pertama buku‐buku Oliver Goldsmith,
Laurence Sterne, Tobias Smollett, dan John Donne, bersama
dengan folio pertama Ben Johnson. Ada pula buku‐buku
Samuel Butler dan John Bunyan. Di samping itu ada 1813
edisi Queen Mab, cetakan khusus. Wyatt berjalan perlahan
mengamati buku‐buku berharga yang berjajar di rak.
Matanya cernerlang. Dia berhenti di muka kumpulan edisi
Endymion‐nya John Keats.
“Ini pasti kopi Roseberg,” komentarnya.
Kate memandangnya heran. “Ya. Dan Cuma ada dua
kopi.”
“Yang satunya aku yang punya,” kata Wyatt.
“Ah, mestinya harus bisa kutebak dari tadi,” tawa Kate.
“Gaya Anda bikin aku terkecoh.”
Wyatt menyeringai. “Oh, ya? Kalau begitu kena juga
kamuflaseku.”
“Sekolah Anda dulu di mana?”
“Colorado. Sekolah Pertambangan. Lalu Oxford—dengan
beasiswa.” Wyatt mengarnati Kate sebentar. “Kudengar
Anda yang membuatku diundang ke konferensi Gedung
Putih.”
Kate mengangkat bahu. “Aku cuma menyebut nama
Anda. Mereka senang Anda datang.”
“Anda baik sekali, Kate. Mumpung kita cuma berdua saja,
coba katakan maksudmu yang sebenarnya.”
Tony sedang bekerja di ruang kerja pribadinya—sebuah
ruang tak seberapa luas dekat tangga di serambi. Dia
sedang duduk di kursi kerjanya yang empuk ketika
mendadak didengarnya ada orang membuka pintu dan
masuk. Tony menoleh. Ternyata Marianne Hoffman.
Sebelum Tony sempat membuka mulut supaya gadis itu
tahu dia ada di sana, terdengar olehnya Marianne terkesiap.
Dia melihat lukisan‐lukisan yang tergantung di dinding.
Semuanya lukisan Tony. Beberapa dari yang dia bawa
pulang dari Paris beberapa tahun sebelumnya. Ruangan itu
merupakan satu‐satunya ruangan yang boleh digantungi
lukisannya. Diperhatikannya Marianne berjalan
mengelilingi ruangan—mengamati satu per satu lukisan
yang tergantung di sana. Sudah terlambat buat Tony buat
bersuara sekarang.
“Hm, tak percaya rasanya,” gumam Marianne.
Mendadak Tony merasa marah. Lukisannya tak sejelek
itu. Ketika ia bergerak, kulit bantalan kursinya berbunyi.
Marianne berbalik dan melihatnya.
“Oh! Maaf,” katanya. “Kukira tak ada orang di sini.
Tony bangkit. “Tidak apa‐apa.” Tapi, nada suaranya
ketus. Dia tak suka tempat pribadinya dimasuki orang, “Ada
yang kaucari?”
Lucy mendorong. “Bilang ya dong, Tony.”
Mereka berkomplot menghadapinya rupanya. Buat Tony,
ini satu tantangan. Dia memutuskan untuk menerima
tantangan itu. “Wah, t‐tentu.”
“Bagus.” Suara Kate terdengar puas.
Kalau Lucy punya rencana buat menjeratku, pikir Tony,
dia buangbuang waktu. Luka yang ditimbulkan oleh ibunya
dan Dominique begitu mendalam bekasnya di hati Tony.
Sekarang, perempuan buat Tony tak ada bedanya dengan
gadis panggilan kelas tinggi. Dia tak percaya lagi pada
perempuan. Perempuan tak bisa dipercaya. Dan dari sekian
ribu perempuan di dunia, gadis panggilanlah yang paling
jujur. Mereka bilang sebelumnya, berapa transaksi harga
yang mereka minta. Tinggal bayar apa yang memang
kautahu harus dibayar. Tak ada komplikasi, air mata, dan
kebohongan.
Lucy Wyatt calon korban suatu kejutan.
Minggu pagi‐pagi sekali, Tony menuju ke kolam renang
hendak berenang. Marianne Hoffman sudah ada di sana‐
mengenakan pakaian renang putih. Tubuhnya indah. Tinggi
semampai dan anggun. Tony berdiri, menyaksikan gadis itu
membelah air. Tangannya bergerak naik‐turun dengan
anggun dan teratur. Marianne melihat Tony. Dia berenang
mendekati.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi. Kau pandai berenang,” ucap Tony.
Marianne tersenyum. “Aku suka olahraga. Seperti
ayahku.” Gadis itu naik ke pinggir kolarn. Tony memberinya
handuk. Tony memperhatikan setiap gerakan Marianne
sementara gadis itu dengan santai mengeringkan
rambutnya.
“Sudah sarapan?” tanya Tony.
“Belum. Kurasa koki belum bangun pagi‐pagi begini.”
“Ini hotel. Pelayanannya dua puluh empat jam sehari.”
Marianne tersenyum. “Hm, bagus dong.”
“Kau tinggal di mana?”
“Umumnya sih di Munich. Kami tinggal di schloss tua—
semacam kastil yang letaknya di luar kota. “
“Dan besar di—?”
Marianne menarik napas. “Ceritanya panjang. Selama
perang, aku disekolahkan di Switzerland. Sesudah itu aku
meneruskan pendidikan di Oxford, kemudian di Sorbonne.
Terakhir aku tinggal di London beberapa tahun.” Marianne
menatap mata Tony. “Itu ceritaku. Kau?”
“Oh, New York, Maine, Switzerland, Afrika Selatan,
beberapa tahun di Pasifik Selatan—selama perang.
Kemudian Paris...” Mendadak Tony berhenti, seperti orang
yang mendadak sadar telah bicara terlalu banyak.
“Maaf. Bukan maksudku menyelidik. Aku cuma ingin
tahu mengapa kau berhenti melukis.”
“Itu tidak penting,” ujar Tony ketus. “Kita sarapan dulu,
yuk.”
Mereka makan berdua saja di teras, menghadap ke teluk
yang airnya kemilau oleh cahaya matahari pagi. Marianne
menyenangkan—enak diajak ngobrol. Sikapnya anggun dan
lembut, menarik hati Tony. Gadis itu tidak genit merayu,
dan obrolannya berisi. Nampaknya dia berul‐betul
menaruh perhatian pada Tony. Diam‐diam Tony tertarik
pada gadis tenang berperasaan halus ini. Walau begitu, dia
bertanya‐tanya juga kalau‐kalau salah satu penyebab daya
tarik itu adalah karena dia tahu ibunya takkan setuju.
“Kapan kau pulang ke Jerman?”
“Minggu depan,” sahut Marianne. “Aku mau kawin. “
Kata‐katanya membuat Tony kehilangan kontrol diri.
“Oh,” ujarnya terkesiap. “Asyik amat. Siapa calon
suamimu?”
“Seorang dokter. Aku kenal dia sejak kecil.”
Mengapa dia mesti menambahkan kalimat terakhir itu?
Ada maksudnyakah?
Tanpa berpikir, Tony bertanya, “Kau mau kuajak makan
malam di New York?”
Marianne mengarnati Tony, menimbang‐nimbang
jawabnya. “Mau. Senang sekali.”
Tony tersenyum, puas. “Kalau begitu, itu janji. OK?”
Mereka makan malam di restoran kecil di Pantai Long
Island. Tony ingin bersama Marianne berdua saja—jauh
dari mata ibunya. Walau tak ada yang serius malam itu,
Tony tahu persis ibunya akan cepat mematikan semuanya
kalau sampai tahu. Ini masalah pribadi antara dia dan
Marianne. Tony tak kepingin ada yang mengganggu waktu
singkat yang mereka punyai, Tony senang mengobrol
dengan Marianne. Jauh lebih senaug daripada yang ia
perkirakan semula. Rasa humor gadis itu tinggi. Tony
mendapati dirinya banyak tertawa—lebih dari tawanya
sejak kembali dari Paris. Marianne membuatnya merasa
ringan hati dan bebas.
Kapan kau pulang ke Jerman?
Minggu depan... Aku mau kawin.
Lima hari lamanya Tony sering menghabiskan waktu
mengobrol dengan Marianne. Dia membatalkan
perjalanannya ke Canada. Alasannya, dia sendiri tak pasti.
Tony berpikir, mungkin ini semua bentuk pemberontakan
terhadap rencana ibunya. Semacam balas dendam.
Meskipun pada mulanya memang begitu, tapi lama‐
kelamaan itu tak lagi benar. Tony mendapati dirinya makin
lama makin tertarik pada Marianne. Dia sangat suka pada
kejujuran Marianne. Sifat itu sudah lama dia cari, tapi
belum pernah dia jumpai.
pongah seperti ini. Teringat akan Marianne, mendatangkan
kepedihan dalam hati Tony.
Aku akan kawin dengan seorang dokter. Aku sudah kenal
dia sejak kecil dulu.
Kira‐kira setengah jam kemudian, ketika Lucy mencari‐
cari Tony, Tony sudah berada dalam perjalanan kembali ke
New York.
Dia langsung menelepon Marianne dari telepon umum di
bandar udara. “Aku ingin ketemu kau.”
Sahutan Marianne tak ragu‐ragu. “Ya.”
Tony tak bisa melepaskan Marianne Hoffman dari
ingatannya. Sudah lama dia sendiri. Tapi, dia belum pernah
merasa kesepian. Berpisah dengan Marianne menimbulkan
kesepian... seolah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Bersama gadis itu hatinya hangat, hidupnya terasa
bergairah, segala bayangan gelap yang selama ini bagai
mengejar‐ngejar dia mendadak hilang. Tony ngeri. Dia
takut kalau‐kalau hidupnya akan sesat bila Marianne
dibiarkannya pergi. Dia butuh gadis itu. Dan belum pernah
dia merasakan butuh orang lain seperti ini.
Marianne datang ke apartemen Tony. Melihat gadis itu
melangkah masuk, Tony merasakan kehausan yang
dikiranya telah pergi buat selama‐lamanya. Dan melihat
wajahnya, Tony tahu bahwa Marianne pun merasakan
kehausan yang sama. Tak ada kata‐kata yang bisa dipakai
buat melukiskan keajaiban ini.
Marianne berlari ke dalam pelukan Tony. Emosi
keduanya tak tertahankan. Mereka terbuai oleh letupan
kebahagiaan yang tak terlukiskan. Bersama, keduanya
bagai melayang dalam beledu lembut yang tak mengenal
waktu dan tempat, segala sesuatu terlupakan oleh
keindahan yang ditimbulkan satu sama lain. Beberapa saat
kemudian, keduanya terbaring capek, saling berpelukan.
Rambut Marianne yang lembut membelai kulit wajah Tony.
“Aku akan mengawinimu, Marianne.”
Marianne memegang wajah Tony dengan kedua telapak
tangannya. Pandangnya menyelidik ke dalam mata Tony.
“Kau pasti, Tony?” Suaranya lembut. “Kita punya masalah,
Sayang.”
“Pertunanganmu?”
“Bukan. Itu akan kuputuskan. Yang kupikirkan: ibumu.”
“Dia tak ada hubungannya dengan—”
“Hus. Dengar dulu aku, Tony. Ibumu ingin kau kawin
dengan Lucy Wyatt.”
“'Itu rencananya.” Tony memeluk Marianne lagi.
“Rencanaku ada di sini.”
“Nanti ibumu membenciku, Tony. Aku tak mau itu
terjadi.”
“Kau tahu yang kuinginkan?” bisik Tony.
Mukjizat itu pun terulang lagi.
Empat puluh delapan jam kemudian barulah Kate
mendengar kabar dari Tony. Dia mendadak lenyap dari
tempat tinggal keluarga Wyatt. Tak ada pesan, tak
berpamitan. Terbang kembali ke New York begitu saja.
Charlie Wyatt keheranan. Lucy gusar. Kate minta maaf
dengan penuh salah tingkah. Malam itu juga dia langsung
menumpang pesawat pribadi kembali ke New York.
Sesampainya di rumah, dia langsung menelepon ke aparte‐
men Tony. Tak ada sahutan. Hari berikutnya sama juga.
Kate sedang berada di ruang kerjanya di kantor ketika
mendadak pesawat telepon pribadinya berdering. Sebelum
mengangkat gagangnya, dia sudah tahu siapa yang
menelepon.
“Tony, kau baik‐baik saja, kan?”'
“B‐baik, Bu.”
“Di mana kau?”
“Batuk rejan?”
“Tidak.”
“Pernah menjalani operasi?”
“Amandel. Ketika umurku sembilan tahun.”
“Selain itu, belum pernah dirawat di rumah sakit karena
penyakit lainnya?”
“Tidak. E, maaf. Ya. Sekali. Tapi cuma sebentar.”
“Karena apa itu?”
“Aku jadi anggota tim hockey. Ketika sedang bertanding
mendadak pingsan. Aku terbangun di rumah sakit. Cuma
dua hari aku di sana. Tapi, semuanya itu tidak serius.”
“Apakah Anda mengalami kecelakaan ketika bertanding
itu?”
“Tidak. Tiba‐tiba saja pingsan.”
“Berapa umur Anda waktu itu?”
“Enam belas. Kata dokter, mungkin penyebabnya
gangguan pada kelenjar remaja.”
John Harley duduk tegak di pinggir muka kursinya.
“Ketika sadarkan diri, apakah Anda merasa salah satu sisi
tubuh Anda lemas?”
Marianne berpikir sejenak. “Ya. Sebelah kanan. Tapi,
hilang beberapa hari kemudian. Sejak itu tak pernah lagi
kurasakan seperti itu.”
“Sering pusing? Pandangan berkunang‐kunang?”
“Ya. Tapi, semuanya itu juga hilang. “Marianne mulai
tegang. “Ada sesuatu yang tak beres denganku, Dokter?”
“Aku belum pasti. Sebaiknya kita lakukan beberapa tes—
supaya pasti.”
“Tes apa?”
“Angiogram otak. Tak susah. Bisa dilakukan segera.”
Tiga hari kemudian Marianne mendapat telepon dari Dr.
Harley. Yang menelepon perawatnya. Dokter Harley
memintanya datang. John Harley sudah menunggu di
kantornya. “Kita sudah pecahkan misterinya.”
“Jelekkah hasilnya?”
“Tidak terlalu. Hasil tes menunjukkan, bahwa Anda
waktu itu mengalami serangan jantung lemah, Nyonya
Blackwell. Istilah medisnya berry aneurysm. Lumrah terjadi
pada wanita—terutama gadis remaja. Pembuluh darah
kecil di otak pecah dan menyebabkan darahnya keluar.
Itulah yang menyebabkan rasa pusing dan pandangan
buram. Untungnya, semua itu memang bisa hilang.”
Marianne duduk mendengarkan. Hatinya panik, “Apa
maksud semuanya ini? Apakah itu bisa terjadi lagi?”
“Sedikit sekali kemungkinannya.” John Harley
tersenyum. “Kecuali, kalau Anda punya rencana jadi pemain
hockey lagi. Anda aman selama menjalani kehidupan
normal.”
“Tony dan aku suka bermain tenis. Apakah—”
“Asal jangan sampai kelelahan, boleh saja. Tenis, sex, tak
ada masalah.”
Marianne tersenyum, lega. “Syukurlah kalau begitu.”
Ketika Marianne bangkit, John Harley berkata, “Ada satu
hal, Nyonya Blackwel. Kalau Anda dan Tony punya rencana
memiliki anak, sebaiknya mengadopsi saja.”
Marianne terpaku. “Anda tadi bilang aku normal.”
“Memang. Tapi, kehamilan meningkatkan volume
vaskuler secara drastis. Ketika kehamilan mencapai enam
sampai delapan minggu terakhir, tekanan darah akan naik
lagi. Dengan sejarah aneurysm yang Anda miliki, risikonya
sangat besar. Bukan saja berbahaya, tapi bisa berakibat
fatal. Sekarang ini mengadopsi anak sangat mudah. Aku
bisa menolong—”
Marianne tak lagi mendengarkan. Yang terdengar
olehnya cuma suara, Tony: Aku ingin kita cepat punya bayi.
Bayi perempuan mungil yang rupanya persis kau.
mengabarkan bahwa Tony Blackwell mendapat guncangan
batin keras akibat kematian istrinya dan sedang dirawat
secara khusus. Ketika wartawan mencoba mewawancarai
Dr. Harley, dia cuma berkata, “Tak ada komentar!”
Beberapa hari belakangan ini bagai neraka buat John
Harley. Seumur hidupnya, dia tak bakal lupa pemandangan
yang dia Iihat ketika masuk ke kamar tidur Kate Blackwell
sehabis mendapat telepon dari pelayan rumah itu. Kate
terbaring di lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. Ada
lubang tembusan peluru di leher dan dadanya. Darah
mengalir ke karpet putih. Tony sedang mengobrak‐abrik
lemari pakaian ibunya—mengguntingi baju‐baju ibunya.
Dr. Harley memeriksa Kate dengan cepat, lalu buru‐buru
menelepon ambulans. Dia berlutut di sisi Kate, merasai
denyut nadinya. Sangat lemah. Wajahnya kebiru‐biruan. Dia
shock. Cepat Dr. Harley menyuntikkan adrenaline dan
sodium bicarbonat.
“Apa yang terjadi?” tanya Dr. Harley.
Pelayannya berkeringat. “Aku‐aku tak tahu.
Tuan Blackwell minta dibuatkan kopi. Aku sedang di
dapur. Mendadak kudengar letusan senjata. Cepat aku lari
ke atas. Tahu‐tahu Nyonya Blackwell sudah terkapar
seperti ini. Tuan Blackwell berdiri di sampingnya sambil
mengatakan, 'Kau takkan merasa sakit lagi, Bu.
Penyebabnya sudah kubunuh.' Dia lalu membuka lemari
dan mulai mengguntingi baju‐baju ibunya.”
Dr. Harley menoleh pada Tony. “Sedang apa kau, Tony?”
Dia terus menggunting. “Aku membantu Ibu. Aku
berusaha menghancurkan perusahaan. Itu sebab kematian
Marianne, Dokter.” Dia meneruskan menggunting‐gunting.
Kate dibawa ke ruang pertolongan darurat di sebuah
rumah sakit kecil di tengah kota yang merupakan salah satu
anak perusahaan KrugerBrent, Ltd. Dia diberi empat
BUKU KE TIGA
MASTER OF THE GAME
by Sidney Sheldon
Copyright © 1982 by Sheldon Literary Trust
All rights reserved including the rights of reproduction in whole or
in part in any form.
RATU BERLIAN
Alihbahasa: Indri K. Hidayat
GM 402 89.615
Hak cipta terjemahan Indonesia: Penerbit PT Gramedia,
Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta 10270
Sampul dikerjakan oleh David
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia,
anggota IKAPI, Jakarta, November 1989
Cetakan kedua, Juli 1990
Cetakan ketiga, September 1991
Cetakan keempat, November 1993
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)
SHELDON, Sidney/
Ebook by : Hendri Kho by Dewi KZ http://kangzusi.com/
Ratu Berlian: I / oleh Sidney Sheldon ; alihbahasa,
Indri K. Hidayat. — Jakarta : Gramedia Pustaka Utama/1989.
288 hal.; 18 cm.
Judul asli: Master of the Game
ISBN 979‐403‐614‐5 (No. Jil. lengkap).
ISBN 979‐403‐617‐X (Jil. 3).
1. Fiksi Amerika. I. Judul. II. Hidayat, Indri K.
8XQ3
LIMA
23
KATE mengembalikan kesehatannya di Dark Harbor,
membiarkan matahari dan udara laut menyembuhkan
dirinya.
Tony masih dirawat di rumah sakit jiwa privat, tempat
dia bisa mendapat perawatan yang terbaik. Kate
mendatangkan psikiater dari Paris, Wina, dan Berlin.
Tetapi, ketika pemeriksaan telah selesai dan hasilnya
keluar, diagnosanya sama: Tony menderita sakit jiwa dan
schizofrenia.
“Sama sekali tak bereaksi terhadap obat‐obatan dan
perawatan dokter ahli jiwa. Selain itu dia sangat beringas.
Kami terpaksa mengurung dia.”
“Mengurung? Apa maksudnya?”
“Kami harus menempatkan dia di sel yang dindingnya
dilapis bantalan. Bahkan, hampir setiap saat dia perlu
diberi baju pengekang.”
“Perlukah semua itu?”
“Kalau tidak, Nyonya Blackwell, dia akan membunuh
siapa saja yang mendekatinya.”
Kate memejamkan mata. Hatinya teriris. Yang sedang
mereka bicarakan ini bukan lagi Tony‐nya yang lembut dan
manis. Tapi, orang asing—orang gila. Dia membuka mata
lagi. “Jadi, tak ada lagi yang bisa dilakukan?”
“Tidak, selama kita tak bisa menjangkau pikirannya.
Kami terus‐menerus memberinya obat penenang. Tapi,
memang manajer bagus. Tapi, dia bukan seorang Blackwell.
Aku harus bertahan sampai si kembar siap mengambil alih
perusahaan. Teringat olehnya kata‐kata terakhir Cecil
Rhodes, “Begitu sedikit yang sudah sempat dilakukan—
begitu banyak yang masih harus diselesaikan.”
Si kembar kini berusia dua belas tahun. Sebentar lagi
mereka jadi gadis remaja. Kate selama ini mencurahkan
perhatian sebanyak mungkin buat mereka. Sekarang ini
lebih‐lebih lagi. Sudah tiba saatnya membuat keputusan
penting.
Pada liburan Paskah, Kate dan cucu kembamya terbang
ke Dark Harbor menumpang pesawat pribadi. Si kembar
telah mengunjungi semua tanah dan rumah yang dimiliki
keluarga Blackwell, kecuali sebuah yang letaknya di
Johannesburg. Di antara kesemuanya itu Dark Harbor
merupakan tempat yang paling mereka senangi. Anak‐anak
itu senang bisa bermain bebas di pulau terpencil. Mereka
berlayar, berenang, dan bermain ski air. Di Dark Harbor
semua hobi ini bisa mereka lakukan. Eve bertanya apakah
boleh mengajak beberapa orang kawan sekolahnya lagi ke
sana. Tapi, kali ini neneknya tak mengizinkan. Nenek, buat
mereka merupakan tokoh yang sering pergi ke sana‐sini,
membawa oleh‐oleh, mencium mereka, sesekali memberi
tahu bagaimana hendaknya seorang remaja putri bersikap,
sesekali kepingin menghabiskan waktu bersama mereka.
Kali ini keduanya merasakan perbedaan. Seolah ada
sesuatu yang sedang terjadi. Nenek selalu menemani
mereka makan‐pagi, siang, dan sore. Nenek mengajak
mereka berlayar, berenang, dan bahkan menunggang kuda.
Kate mengendalikan kuda tunggangannya dengan luar
biasa mantap.
Si kembar masih mirip benar satu sama lainnya.
Dua‐duanya cantik luar biasa. Tapi, bukan persamaan
mereka yang lebih menarik perhatian Kate. Dia lebih
murid kami mendapat setiap kesempatan yang ada di sini,
Nyonya Blackwell. Anda membicarakan Eve. Bagaimana
dengan saudara kembamya?”
“Alexandra? Dia anak manis.” Nadanya meremehkan.
Kate bangkit. “Aku akan melihat perkembangan mereka
dari waktu ke waktu.”
Entah mengapa, kepala sekolah itu merasa bahwa
kata‐kata Kate mengandung ancaman.
Eve dan Alexandra sangat suka di sekolah yang baru,
terutama Eve. Dia betul‐betul menikmati kebebasan berada
jauh dari rumah. Di situ, ia tak perlu memberi penjelasan
apa pun kepada neneknya dan Solange Dunas. Peraturan
sekolah di Briarcrest sangat ketat. Tapi, Eve tak peduli. Dia
sudah biasa dikelilingi oleh berbagai aturan. Satu‐satunya
hal yang mengganggu ketenangan hatinya adalah bahwa
Alexandra berada di situ bersamanya. Ketika mula‐mula
diberi tahu tentang rencana menyekolahkannya di
Briarcrest, Eve memohon pada neneknya, “Bolehkah aku
pergi sekolah ke sana sendiri, Nek? Boleh, ya ?”
Dan Kate berkata, “Tidak, sayang. Kurasa, sebaiknya
Alexandra pergi bersamamu.”
Eve menyembunyikan kedengkian hatinya. “Terserah
Neneklah, kalau begitu.”
Anak itu selalu sangat sopan dan penuh kasih sayang bila
berada di dekat neneknya. Eve tahu di mana letaknya
kekuasaan. Ayah mereka gila, terkurung di rumah
perawatan orang sakit jiwa. Ibu mereka sudah mati.
Neneklah yang menjadi pemegang uang. Eve tahu mereka
kaya. Dia tak tahu berapa besar nilai kekayaan keluarga
mereka. Tapi dia tahu, bahwa jumlahnya banyak‐cukup
buat membeli semua yang bagus‐bagus yang ia inginkan.
Eve sangat menyukai benda‐benda indah. Masalahnya
cuma satu: Alexandra.
Salah satu kegiatan yang paling disukai si kembar di
sekolah Briarcrest adalah pelajaran menunggang kuda pagi
hari. Hampir semua siswi punya pakaian menunggang kuda
sendiri. Kate menghadiahi Eve dan Alexandra
masing‐masing satu setel pakaian menunggang kuda pada
ulang tahun mereka yang kedua belas. Guru berkuda
mereka bemama Jerome Davis. Dia memperhatikan ketika
murid‐muridnya mengendalikan kuda mereka melangkah
biasa mengelilingi lingkaran, melompati rintangan satu
kaki, lalu dua kaki, dan akhimya empat kaki. Davis
merupakan pelatih menunggang kuda terbaik di negeri itu.
Beberapa muridnya yang terdahulu telah berhasil meme‐
nangkan medali emas. Davis punya perasaan kuat buat
mengenali murid yang berbakat alam sebagai penunggang
kuda. Murid baru itu, Eve Blackwell, punya bakat alami. Dia
tak perlu lagi memikir apa yang mesti dia lakukan. Dia tak
perlu berpikir bagaimana caranya memegang kendali atau
duduk di atas pelana. Dia dan kudanya menyatu. Melihat
keduanya beraksi, dengan rambut Eve yang keemasan
terbang dipermainkan angin, merupakan pemandangan
indah yang memberinya kepuasan. Yang satu itu tak bisa
dihalanghalangi, pikir Pak Davis.
Tommy, perawat kuda di situ, lebih suka pada
Alexandra. Pak Davis mengamati Alexandra menaruh
pelana di punggung kudanya, menyiapkan. Alexandra dan
Eve mengenakan pita berbeda wama pada lengan pakaian
berkuda mereka. Itu sebabnya dia bisa membedakan yang
mana Eve dan yang mana Alexandra. Eve menolong Alexan‐
dra memasang pelana kudanya sementara Tommy sedang
sibuk menolong murid lain. Davis dipanggil ke gedung
utama, karena ada telepon untuknya. Yang terjadi sesudah
itu betul‐betul sukar dimengerti.
Dari yang bisa disimpulkan oleh Jerome Davis beberapa
saat kemudian, Alexandra naik ke punggung kudanya,
memutari lingkaran, lalu mulai menuju rintangan paling
rendah. Kudanya mendadak mengamuk hingga Alexandra
terlempar ke tembok. Dia tak sadarkan diri oleh benturan
keras yang dialaminya. Mujur kaki kuda tak menginjak
wajah gadis itu. Injakan kuda cuma beberapa inci saja dari
wajah Alexandra. Tommy menggendong Alexandra ke
ruang pertolongan pertama. Di situ dokter yang bertugas
mendiagnosa gegar otak ringan.
“Tidak ada patah tulang, tidak ada yang perlu
dikuatirkan,” ujamya. “Besok pagi dia pasti sehat lagi dan
siap berkuda lagi.”
“Tapi, dia bisa mati gara‐gara kejadian tadi!” Eve
memekik.
Eve tak mau meninggalkan sisi Alexandra. Nyonya
Chandler belum pemah melihat seorang kakak yang begitu
sayang pada adiknya. Ia terharu melihatnya.
Ketika Pak Davis akhimya berhasil menenangkan kuda
Alexandra dan melepas pelananya, dia menemukan pelana
kuda itu berlumur darah. Ketika pelana itu dia angkat, di
bawahnya dia temukan potongan logam bekas kaleng bir
terhunjam di tempat dia ditindih pelana. Ketika ini dia
laporkan kepada Nyonya Chandler, kepala sekolah itu pun
segera mengadakan penyelidikan. Semua siswi yang ketika
itu berada di sekitar istal kuda ditanyai.
“Aku yakin,” ucap Nyonya Chandler, “siapa pun yang
menaruh potongan logam itu mengira perbuatannya cuma
lelucon yang tak berbahaya. Tapi, akibatnya bisa fatal. Aku
ingin yang melakukan mengaku dengan segera.”
Ketika tak ada yang mengaku, Nyonya Chandler lalu
membawa mereka dan menanyai satu per satu di
kantomya. Semua siswi yang ditanyai menolak. Mereka
pemah bicara. Kakek mereka, Frederick Hoffman, tinggal di
Jerman. Dia sudah sakit‐sakitan. Si kembar jarang sekali
bertemu dengannya.
Tahun kedua di sekolahnya, Eve hamil. Beberapa minggu
lamanya gadis itu tampak pucat dan gelisah. Dia sering alpa
di kelas pagi. Ketika dia mulai merasakan mual‐mual dan
sering muntah, dia diperiksakan ke dokter. Nyonya
Chandler cepat‐cepat dipanggil.
“Eve hamil,” kata dokter kepadanya.
“Tapi—mana mungkin? Bagaimana bisa terjadi?”
Doktemya menyahut tenang. “Kukira, karena sebab yang
wajar.”
“Tapi, dia masih kecil.”
“Pokoknya, anak ini sudah jadi calon ibu.”
Eve menolak bicara. “Aku tak mau bikin orang lain
susah,” katanya setiap kali.
Nyonya Chandler memang sudah mengira bakal begitu
jawab Eve.
“Eve manis, kau harus mengatakan yang sebenamya
terjadi.”
Dan akhimya, Eve pun runtuh. “Aku diperkosa,” ucapnya,
lalu menangis tersedu‐sedu.
Nyonya Chandler kaget. Dirangkulnya tubuh gadis yang
gemetar itu. “Siapa orangnya?”
“Pak Parkinson.”
Itu guru bahasa Inggris mereka.
Seandainya yang mengatakan anak lain, bukan Eve, tentu
Nyonya Chandler takkan percaya. Joseph Parkinson
orangnya tenang. Dia sudah punya istri dan beranak tiga.
Sudah delapan tahun dia mengajar di Sekolah Briarcrest.
Nyonya Chandler takkan pemah mencurigai lelaki itu. Dia
memanggil Pak Parkinson ke ruang kantomya. Dalam
sesaat, Nyonya Chandler tahu bahwa Eve tidak berbohong.
Lelaki itu duduk di hadapannya. Wajahnya nampak gelisah.
“Anda tahu, kan, mengapa kupanggil, Pak Parkinson?”
“Kukira begitu.”
“Ini menyangkut Eve.”
“Ya. Sudah kuduga.”
“Katanya dia kauperkosa.”
Parkinson memandangnya tak percaya. “Memperkosa
dia? Astaga! Kalau ada yang diperkosa, akulah yang
diperkosa.” Dalam gelora amarah, Pak Parkinson lupa
menggunakan tatabahasa Inggris yang benar.
Nyonya Chandler jadi dengki. “Tahukah kau, Pak
Parkinson, bahwa anak itu—”
“Dia bukan anak.” Suara lelaki itu sengit. “Dia setan.” Pak
Parkinson mengusap keringat dari alis matanya.
“Sepanjang semester, dia selalu duduk di bangku paling
depan waktu pelajaranku. Roknya selalu dia naikkan.
Sesudah selesai pelajaran, dia selalu datang menanyakan
pertanyaan yang tidak berarti sambil menggosok‐gosokkan
tubuhnya padaku. Aku tidak menanggapinya dengan serius.
Lalu, suatu siang, kira‐kira enam minggu yang lalu, dia
datang ke rumahku ketika istri dan anak‐anakku sedang
pergi dan—” Suaranya pecah. “Ya, Tuhan! Aku tak mampu
bertahan.” Lelaki itu pun menangis.
Eve dibawa ke kantor kepala sekolah. Sikapnya
terkontrol. Dia menatap mata Pak Parkinson. Pak
Parkinson yang lebih dulu membuang pandang. Di ruangan
itu ada Nyonya Chandler, wakil kepala sekolah, dan
komandan polisi setempat.
Komandan polisi berkata lembut, “Bagaimana kalau
kauceritakan kepada kami semua yang sebenamya terjadi,
Eve?”
“Baiklah, Pak.” Suara gadis itu tenang. “Pak Parkinson
menyuruhku datang ke rumahnya buat membicarakan
tugas pelajaran yang kuterima. Dia menyuruhku datang ke
rumahnya pada suatu Minggu siang. Dia di rumah sendirian
ketika aku datang ke sana. Katanya, ada sesuatu yang
hendak ditunjukkannya kepadaku di kamamya. Aku
mengikuti dia ke atas. Dia memaksaku naik ke ranjang, lalu
dia—”
“Bohong!” pekik Parkinson. “Bukan begitu kejadiannya.
Bukan begitu kejadiannya…”
Kate dipanggil. Situasinya dijelaskan kepadanya. Segera
diputuskan agar semua orang tak lagi membicarakan
masalah itu. Pak Parkinson dikeluarkan dari sekolah dan
diberi kesempatan empat puluh delapan jam buat
meninggalkan Amerika Serikat. Diam‐diam kandungan Eve
digugurkan.
Tanpa banyak suara, Kate membeli sekolah itu lewat
salah satu bank setempat. Kemudian sekolahnya ditutup.
Ketika mendengar tentang hal ini, Eve mengeluh.
“Sayang sekali, Nek. Sebetulnya, aku sangat senang sekolah
di situ.”
Beberapa minggu kemudian, ketika Eve telah sehat
sehabis menjalani operasinya, dia dan Alexandra
didaftarkan di L'Institut Femwood, sebuah sekolah lanjutan
dekat Lausanne, Swiss.
25
ADA api membara dalam diri Eve. Baranya begitu
berkobar hingga dia sendiri tak bisa memadamkan. Bukan
cuma bara seksual. Itu cuma sebagian kecil dari bara dalam
dirinya. Bara itu merupakan semacam dorongan buat
hidup, kebutuhan buat melakukan segalanya dan menjadi
segalanya. Hidup merupakan kekasih. Eve tak sabar
Pemuda itu undur beberapa langkah. Wajahnya nampak
bingung. “Eve... ?”
“Bukan. Alexandra.”
Wajah Rene merah padam. “Maaf. Aku mesti buru‐buru
pergi.” Pemuda itu pergi, meninggalkan Alexandra bengong.
Petangnya, Alexandra menceritakan pengalamannya
pada Eve. Eve mengangkat bahu. “Jelas dia fou, sinting.
Lebih baik kaujauhi saja pemuda begitu, Alex.”
Di balik keahliannya dalam hal lelaki, ada satu
kelemahan lelaki yang tak disadari Eve, dan hampir‐hampir
terbukti bisa membawa kehancuran buatnya. Dari
asal‐muasalnya, lelaki selalu membanggakan hasil yang
mereka capai. Mahasiswa sekolah militer kawan kencannya
tak berbeda.
Mereka mengobrolkan Eve Blackwell dengan penuh rasa
kagum dan takjub.
“Waktu dia selesai, aku tak bisa begerak...”
“Tak kusangka aku bakal dapat tubuh seindah itu...”
“Mainnya bukan main.”
“Wah! kayak macan dia di ranjang!”
Karena paling tidak dua lusin mahasiswa dan setengah
lusin dosen memuji kebolehan Eve di ranjang, dalam waktu
sebentar saja Eve Blackwell sudah menjadi rahasia umum
di sana. Salah seorang instruktur sekolah militer
menyebutkan tentang gosip ini pada rekannya, guru di
L'Institute Femwood. Guru ini lalu melapor pada Nyonya
Collins, kepala sekolah. Diam‐diam dilakukan penyelidikan.
Penyelidikan ini berakhir dengan dipanggilnya Eve
menghadap Nyonya Collins.
“Demi kebaikan nama sekolah ini, kuharap kau segera
pergi dari sini.”
Eve memandang Nyonya Collins tak mengerti.
“Apa yang Ibu bicarakan?”
Alexandra melangkah ke lemari pakaiannya.
Dia menurunkan koper, dan menaruhnya di tempat
tidur.
Eve tersenyum. “Aku tidak menyuruh kau ikut pergi dari
sini, Alex. Tapi, senang deh rasanya kalau kita bisa pulang
bersama.”
Alexandra meremas tangan kakaknya. “Aku juga.”
Dengan gaya biasa‐biasa saja, Eve berkata,
“Kau tahu? Sementara aku membereskan semua ini,
sebaiknya kau menelepon Nenek. Beri tahu dia bahwa kita
berdua akan datang menumpang pesawat dari sini besok
pagi. Katakan saja sama beliau kita tak betah di sini. Mau,
kan?”
“Oke,” sahut Alexandra ragu. “Tapi, rasanya Nenek bakal
tak suka mendengamya.”
“Tak usah kuatir,” bujuk Eve penuh percaya diri. “Biar
aku yang mengurus Nenek.”
Alexandra pun tak punya lagi alasan buat ragu.
Eve sudah membuktikan, bahwa dia bisa bikin Nenek
mengabulkan apa saja yang diinginkannya. Tapi, pikir
Alexandra, siapa yang bisa menolak permintaan Eve?
Dia lalu pergi menelepon.
Kate Blackwell punya kawan dan lawan. Hubungan
bisnisnya sangat luas dan ada di mana‐mana. Beberapa
bulan terakhir, dia sering mendengar kabar burung sampai
ke telinganya. Semula dia tak menghiraukan yang dia
dengar. Tadinya, dia mengira itu salah satu bentuk ke‐
cemburuan orang. Menurut kabar yang didengamya, Eve
terialu banyak kencan dengan mahasiswa sekolah militer di
Swiss. Eve menggugurkan kandungannya. Eve mendapat
perawatan dokter karena penyakit yang diakibatkan oleh
pergaulan bebas.
Dan Eve menyalahkan Alexandra.
Kate mulai teringat kecelakaan‐kecelakaan yang lalu.
Kebakaran yang hampir menewaskan Alexandra. Lalu
Alexandra jatuh di tebing. Alexandra terpental dari perahu
layar yang sedang dikemudikan Eve sampai anak itu
hampir tenggelam. Kate teringat akan suara Eve waktu
menceritakan kembali detil “perkosaan” guru bahasa
Inggrisnya: Pak Parkinson bilang dia perlu membicarakan
tugas bahasa Inggrisku. Dia menyuruhku datang ke
rumahnya pada suatu hari Minggu siang. Waktu aku sampai
di sana, dia sedang sendirian di rumah. Katanya, dia
kepingin menunjukkan sesuatu yang ada di kamamya. Aku
mengikuti dia ke atas. Dia memaksaku naik ke tempat tidur,
lalu dia...
Kate teringat pula kejadian di Briarcrest waktu Eve
dituduh menjual ganja. Ketika itu pun Alexandra yang
disalahkan. Bukan Eve memang yang menyalahkan
Alexandra. Tapi, dia justru melindungi adiknya. Itu memang
sudah jadi teknik Eve—jahat, tapi selalu menunjukkan diri‐
nya pahlawan. Oh, dia memang cerdik dan pandai.
Kini Kate mengamati si busuk berwajah molek di
hadapannya. Masa depan kucurahkan semua buatmu.
Kaulah yang kelak mesti mengelola KrugerBrent. Kaulah
yang selalu kusayangi dan menjadi harapanku. Kate lalu
mengatakan, “Pergi dari rumah ini segera. Aku tak mau
melihatmu lagi.”
Wajah gadis itu pucat‐pasi.
“Kau pelacur. Kalau cuma itu, kurasa aku masih bisa
memberikan toleransi. Tapi, bukan cuma itu. Kau
pembohong. Kau tak punya perasaan. Aku tak bisa hidup
dengan pembohong berdarah dingin seperti itu.”
Semuanya itu terjadi cepat sekali. Eve berkata putus asa,
“Nek, kalau Alexandra menceritakan yang tidak‐tidak
tentangku—”
Alexandra mengamati kakaknya. Dia merasa kehilangan.
Baru pertama kali itu mereka akan berpisah. “Tapi, kita
bakal sering bertemu, kan?”
“Tentu saja,” janji Eve. “Sering sekali.”
26
SEKEMBALINYA ke New York, Eve mendaftarkan diri di
sebuah hotel yang letaknya di tengah kota. Dia memang
diinstruksikan begitu. Sejam kemudian, Brad Rogers
menelepon.
“Nenekmu menelepon dari Paris, Eve. Nampaknya
sedang ada ketegangan di antara kalian, ya?”
“Ah, tidak seserius itu,” Eve tertawa. “Biasa. Masalah
kecil keluarga—” Semula dia bemiat hendak menceritakan
sambil membela diri. Mendadak dia menyadari bahayanya.
Mulai saat itu, dia harus sangat berhati‐hati. Selama ini dia
tak pemah memikirkan uang. Uang selalu ada. Sekarang
uang menjadi masalah utamanya. Dia tak tahu berapa
banyak uang saku yang bakal dia terima. Sekali ini Eve
merasa kuatir.
“Dia sudah mengatakan padamu, bahwa dia mengubah
surat wasiatnya?” Brad bertanya.
“Betul. Nenek memang menyebut‐nyebut masalah itu.”
Eve memutuskan buat bersikap biasa‐biasa saja.
“Kurasa, sebaiknya ini kita bicarakan bersama.
Bagaimana kalau kita ketemu Senin jam tiga?”
“Baik juga, Brad.”
“Di kantorku. Oke?”
“Aku akan datang.”
***
kalau usiamu di antara dua puluh satu dan tiga puluh lima.”
Brad mendehem. “Nenekmu memilih menyerahkan uang
itu kepadamu sesudah kau mencapai usia tiga puluh lima.”
Wajah Eve serasa ditampar.
“Mulai hari ini kau akan mendapat uang saku mingguan.
Besamya dua ratus lima puluh dollar.”
Tak masuk akal! Sebuah gaun sopan saja harganya jauh
lebih dari itu. Tak mungkin dia bisa hidup dengan uang
cuma 250 dollar seminggu. Semua ini dilakukan neneknya
buat mempermalukan dia. Laki‐laki tua ini jangan‐jangan
sekongkol dengan neneknya. Dia duduk di situ dengan
perasaan senang—diam‐diam menertawakannya. Ingin
rasanya Eve mengambil pemberat kertas di meja dan
melemparkan benda itu ke wajah Brad Rogers. Hampir
terasa olehnya tulang remuk di tangannya.
Brad melanjutkan, “Kau tidak diperbolehkan
menggunakan kartu kredit—pribadi maupun bukan, dan
tidak diperkenankan menggunakan nama Blackwell di toko
mana pun. Segala sesuatu yang kaubeli harus kaubayar dari
uang saku itu.”
Mimpi itu semakin buruk saja.
“Selanjutnya, kalau sampai ada gosip yang dihubungkan
dengan namamu di koran atau majalah mana pun—lokal
atau impor—uang saku iningguanmu akan dihentikan.
Jelas?”
“Ya.” Suaranya tak lebih dari bisikan.
“Kau dan adikmu Alexandra akan mendapat santunan
asuransi sebesar lima juta dollar seorang bila nenekmu
meninggal. Tapi, polis atas namamu dibatalkan pagi tadi.
Pada akhir tahun pertama,” lanjut Brad, “kalau nenekmu
puas akan tingkah lakumu, uang saku mingguanmu akan
dinaikkan dua kali lipat.” Dia ragu sejenak. “Ini persyaratan
yang terakhir.”
hanyalah sebuah apartemen studio beruang tunggal dengan
perabot sangat sederhana, dengan dapur mungil dan kamar
mandi sempit.
“Ini yang terbaik?” tanya Eve.
“Tentu saja tidak,” agen itu menjawab. “Kami juga bisa
menyediakan rumah berkamar dua puluh di Sutton Place
dengan sewa setengah juta dollar setahun ditambah biaya
perawatan.”
Sialan! pikir Eve.
Rasa putus asa belum betul‐betul menghantam Eve
sampai keesokan harinya, ketika dia pindah. Apartemen
sempit itu tak lain dari penjara buatnya. Ruang berbusana
yang dia miliki di rumah luasnya sama dengan seluruh
apartemen ini. Dia membayangkan Alexandra sedang
bersenang‐senang di rumah besar mewah di Fifth Avenue.
Ya Allah, mengapa sih Alexandra tak mati terbakar saja?
Padahal, ketika itu sudab hampir! Seandainya Alexandra
mati waktu itu dan Eve merupakan satu‐satunya ahli waris,
tentu tak begini jadinya. Neneknya tak bakal berani mena‐
rik kembali surat wasiatnya.
Tapi, kalau Kate Blackwell mengira Eve mau begitu saja
melepaskan asal‐usulnya, itu namanya dia tak kenal
cucunya. Eve tak punya niatan mencoba hidup dengan 250
dollar seminggu. Ada lima juta dollar menganggur di bank
yang sebenamya merupakan haknya. Pasti ada jalan buat
mengambil uang itu. Aku akan cari jalannya sampai ketemu.
Pemecahannya datang keesokan harinya.
“Bisa kubantu, Nona Blackwell?” Alvin Seagram bertanya
penuh hormat. Dia adalah vice president National Union
Bank. Lelaki itu siap melakukan apa saja. Rejeki apa pula
yang membawa perempuan cantik ini menemuinya?
Mujurkah nasibnya? Kalau dia berhasil menjadikan Kruger‐
Brent sebagai pelanggan, karimya bisa melejit dalam tempo
singkat.
“Ada uang yang disimpan atas namaku,” jelas Eve. “Lima
juta dollar. Karena suatu sebab, uang itu takkan dibayarkan
kepadaku sampai usiaku tiga puluh lima tahun.” Eve
tersenyum jujur. “Itu masih lama sekali.”
“Tentu saja, kalau melihat umurmu sekarang,” bankir itu
tersenyum. “Kau sekarang sembilan belas tahun?”
“Dua puluh satu.”
“Dan cantik sekali, kalau boleh kutambahkan, Nona
Blackwell.”
Eve tersenyum malu‐malu. “Terima kasih, Tuan
Seagram.” Rupanya lebih gampang dari yang dia duga.
Lelaki itu dungu.
Alvin Seagram merasa ada kecocokan di antara mereka.
Dia menyukaiku. “Katakan, bantuan apa yang Anda
harapkan dari perusahaan kami?”
“Aku berpikir, apakah mungkin aku meminjam uang dari
sini dengan jaminan dana yang kusebutkan tadi.
Masalahnya, saat ini aku sangat butuh uang itu. Kelak
mungkin aku takkan membutuhkannya seperti ini. Aku
telah bertunangan. Hampir kawin. Tunanganku insinyur
sipil. Dia bekerja di Israel. Baru tiga tahun lagi kembali ke
sini.”
Alvin Seagram menunjukkan simpati. “Aku bisa
mengerti.” jantungnya berdegup liar. Tentu saja
permintaannya itu bisa dikabulkan. Bukan merupakan
ketidakwajaran mencairkan dana bank dengan jaminan
seperti itu. Kalau dia berhasil memuaskan perempuan
muda ini, pasti dia akan merekomendasi keluarga
Blackwell lainnya untuk menggunakan jasa banknya. Dan,
mereka semua akan dia puaskan juga. Sesudahnya, takkan
ada lagi rintangan di jalannya. Dia akan menjadi dewan
pimpinan National Union. Siapa tahu suatu hari kelak dia
Alvin Seagram ingat betul pembicaraannya dengan Brad
Rogers. “'Betul. Memang ada dana yang diwalikan atas
nama Eve Blackwell. Anda boleh saja mencairkan dana
yang diminta olehnya. Tapi, Anda perlu ingat, Kate
Blackwell bakal memandang tindakan semacam itu sebagai
tindakan yang tak menyenangkan buatnya.”
Tak perlu lagi Brad Rogers memperinci tentang
konskuensinya. Kruger‐Brent punya kenalan penting di
mana‐mana. Kalau kenalan‐kenalan mereka mulai menarik
uang mereka dari National Union, Alvin Seagram tak perlu
menduga lagi apa yang akan terjadi pada karimya.
“Maaf,” ulangnya pada Eve. “Aku tak bisa beribuat
apa‐apa.”
Eve memandangnya. Frustrasi. Tapi, dia tak mau
membiarkan lelaki itu tahu betapa hebat pukulan yang dia
rasakan. “Terimakasih atas kerepotan Anda. Di New York
masih banyak bank lain. Selamat siang.”
“Nona Blackwell,” ujar Alvin Seagram, “takkan ada satu
pun bank di dunia ini yang mau memberi pinjaman dengan
jaminan dana itu.”
Alexandra keheranan. Dulu, neneknya terang‐terangan
memperlihatkan bahwa Eve yang lebih dia sukai. Sekarang,
mendadak segalanya berubah. Dia tahu bahwa ada cekcok
hebat antara Eve dan Kate. Tapi, dia tak tahu persis tentang
apa.
Setiap kali Alexandra mencoba membicarakan masalah
itu, selalu saja neneknya berkata, “'Tak ada yang perlu
dibicarakan. Eve sudah memilih jalan hidupnya sendiri.”
Dari Eve pun, Alexandra tak pemah mendapat informasi.
Kate Blackwell mulai sering menghabiskan waktu
bersama Alexandra. Alexandra tergugah. Nenek bukan saja
memperhatikannya, tetapi juga menjadikannya bagian
penting dari hidupnya. Neneknya seolah baru melihatnya
“Aku baru saja memesan bufet baru. Uang sakuku belum
kuterima. Boleh kan, Sayang?”
Tak seorang pun berkeberatan.
Jika muncul di tempat umum, Eve hanya mau ditemani
oleh yang masih bujangan. Mereka yang sudah kawin cuma
dia temui di apartemennya Pada siang hari. Eve sangat
berhati‐hati. Dia berusaha agar namanya tak sampai
disebut‐sebut di kolom gosip surat kabar mana pun. Bukan
karena takut uang sakunya dihentikan. Eve mengharapkan
dan merasa yakin, bahwa kelak neneknya akan datang
merayap memintanya kembali. Kate Blackwell
membutuhkan seorang ahli waris yang bisa mengambil alih
kendali Kruger‐Brent. Alexandra tak berbakat jadi apa pun
selain ibu rumah tangga yang dungu, pikir Eve.
Suatu siang, ketika sedang membuka‐buka majalah
terbaru Town and Country, Eve melihat potret Alexandra
sedang berdansa dengan seorang lelaki keren. Eve bukan
melihat Alexandra. Dia melihat lelaki itu. Menyadari, bahwa
kalau Alexandra kawin dan beranak lelaki, habislah segala
cita‐cita dan rencananya.
Lama sekali dia menatap potret itu.
Setahun ini, Alexandra sering menelepon Eve, mengajak
makan bersama. Tapi, Eve selalu menolak dengan berbagai
alasan. Sekarang Eve merasa sudah tiba waktunya buat
mengobrol dengan adiknya. Dia mengundang Alexandra ke
apartemennya.
Alexandra belum pemah melihat apartemen kakaknya.
Eve takut dikasihani. Tapi, Alexandra cuma mengatakan,
“Enak, Eve. Santai sekali.”
Eve tersenyum. “Suasana begini cocok buatku. Aku
senang lingkungan yang intim.” Dia sudah punya cukup
banyak perhiasan yang bisa dijual buat pindah ke
apartemen yang bagus. Tapi, nanti Kate mendengar dan
mau tahu dari mana dia dapat uang. Untuk sementara dia
perlu berhati‐hati.
“Bagaimana Nenek?” tanya Eve.
“Baik‐baik,” Alexandra ragu. “Aku tak mengerti ada apa
di antara kalian. Kalau ada sesuatu yang bisa kulakukan
buat membantu— “
Eve mengeluh. “Jadi, Nenek tidak menceritakan
kepadamu?”
“Tidak. Dia sama sekali tak mau membicarakan kau.”
“Aku tak menyalahkan Nenek. Mungkin perempuan tua
itu merasa bersalah. Aku ketemu dokter muda ganteng.
Kami punya rencana kawin. Nenek tahu. Dia lalu
mengusirku dari rumahnya dan bilang tak mau melihatku
lagi. Kurasa nenek kita itu terlalu kolot, Alex.”
Eve memperhatikan kesedihan yang muncul pada wajah
saudara kembamya. “Kasihan amat! Kalian berdua mesti
menemui Nenek. Pasti dia— “
“Sayangnya, dia tewas dalam kecelakaan pesawat.”
“Oh, Eve! Mengapa kau tak pemah menceritakan ini
kepadaku?”
“Aku malu memberi tahu siapa pun. Termasuk kau.” Eve
meremas tangan saudara kembamya. “Padahal, aku selalu
menceritakan segalanya kepadamu.”
“Kalau begitu, biar aku bicara dengan Nenek. Akan
kujelaskan‐“
“Jangan! Aku punya harga diri. Kau mesti berjanji takkan
membicarakannya dengan Nenek. Jangan pemah
menyebut‐nyebut ini padanya, Alex!”
“Tapi, aku yakin Nenek bakal— “
“Janji!”
Alexandra mengeluh. “Baiklah.”
“Percayalah. Aku bahagia di sini. Bisa pergi dan datang
semauku. Bebas. Enak.”
Alexandra memperhatikan kakaknya. Betapa kangen dia
pada Eve.
Eve merangkul Alexandra dan mulai menggoda. “Nah,
sekarang cukup tentangku. Bagaimana dengan kau sendiri?
Sudah ketemu Pangeran Idaman? Pasti sudah!”
“Belum.”
Eve menatap adiknya. Persis seperti bayangan dirinya di
cermin. Dia mendadak punya keinginan merusakkan wajah
itu. “Pasti, Sayang!”
“Aku tak buru‐buru. Aku kepingin bekerja. Sudah
kubicarakan dengan Nenek. Minggu depan aku punya janji
ketemu kepala sebuah agen iklan—melamar pekerjaan.”
Mereka makan bersama di kedai kecil dekat apartemen
Eve. Eve bersikeras membayar. Dia tak mau menerima apa
pun dari adiknya.
Ketika hendak berpisah, Alexandra berkata,
“Eve, kalau kau perlu uang— “
“Jangan! Aku sudah punya lebih dari cukup.”
Alexandra ngotot. “Pokoknya, kalau kau sampai
kekurangan, ambil saja semua yang kupunyai.”
Eve menatap mata Alexandra. Katanya, “Terima kasih,
Alex.” Dia tersenyum. “Tapi, aku betul‐betul tak perlu
apa‐apa.” Eve tak mau dapat remah‐remah. Yang dia
inginkan kuenya yang utuh. Masalahnya cuma: bagaimana
caranya mendapatkan kue itu?
Ada pesta akhir pekan di Nassau.
“Beda rasanya tak ada kau di sana, Eve. Semua kawanmu
bakal hadir.”
Yang menelepon Nita Ludwig, sobat Eve di sekolahnya di
Swiss dulu.
Dia bakal ketemu lelaki‐lelaki baru. Yang sekarang ini
semuanya menjengkelkan.
Oleh neneknya Eve dipisahkan dengan semua itu. Dasar
nenek kolot! Tapi, perpisahannya dengan semua itu bukan
buat selamanya, pikir Eve.
Eve masuk ke sana. Mendadak obrolan terhenti waktu
Eve melangkah masuk. Di ruangan yang dipenuhi
perempuan cantik itu, dialah yang paling cantik. Nita
menemani Eve berkeliling dan memperkenalkannya
dengan semuanya yang belum dikenal. Eve sangat cantik
dan menyenangkan. Dia menatap semua lelaki dengan
penuh pengetahuan. Matanya bekerja cepat menentukan
obyek yang dijadikan target. Kebanyakan lelaki yang sudah
berumur sudah beristri. Tapi, justru Itu yang bikin
gampang.
Seorang lelaki botak mengenakan celana wol
kotak‐kotak dengan hem kaus model Hawai menghampiri
dia. “Pasti kau sudah capek dengar orang menyanjung
kecantikanmu, Sayang.”
Eve menghadiahi lelaki itu sebuah senyum hangat. “Aku
tak pernah merasa capek mendengamya, Tuan—?”
“Peterson. Panggil saja aku Dan. Pasti kau bintang dari
Hollywood.”
“Rasanya aku tak punya bakat akting.”
“Tapi, pasti punya bakat lainnya.”
Eve tersenyum berteka‐teki. “Kau takkan tahu sampai
mencobanya sendiri. Ya kan, Dan?”
Lelaki itu membasahi bibir dengan lidahnya.
“Kau di sini sendirian?”
“Ya.”
“Kapal pesiarku berlabuh di teluk. Mau berlayar
bersamaku besok?”
“Asyik sekali,” ucap Eve.
Lelaki itu menyeringai. “Heran, kita belum pernah
ketemu selama ini. Padahal, aku sudah lama kenal
nenekmu, Kate.”
menyalakan rokok, membelainya. Berada dekat dengannya
menyalakan api dalam tubuh Eve. Dia tak sabar, ingin
cepat‐cepat berdua saja dengannya.
Lepas tengah malam, waktu para tamu mulai pamitan
hendak tidur, George Mellis bertanya, “Kamarmu yang
mana?”
“Di ujung beranda sebelah utara.”
George Mellis mengangguk. Matanya yang berbulu lentik
menatap tajam mata Eve.
Eve melepas pakaian, lalu mandi dan mengenakan gaun
tidur warna hitam yang baru saja dibelinya sebelum datang
ke Nassau. Pada jam satu, pintunya diketuk pelan. Eve
buru‐buru membukakan. George Mellis masuk.
Lelaki itu berdiri. Matanya menyorotkan pandang penuh
kekaguman. “Matia mou, kau bikin Venus de Milo bukan
apa‐apa.”
“Aku lebih beruntung dari dia,” bisik Eve. “Tanganku ada
dua.”
Eve merangkul George Mellis dan merapatkan lelaki itu
pada tubuhnya. Kecup George meledakkan sesuatu dalam
dirinya. Bibirnya mencengkeram bibir Eve, sementara
lidahnya menjalari semua bagian tubuhnya.
“Oh, Tuhan!” Eve mengeluh.
George Mellis mulai melepas jaketnya. Eve menolongnya.
Dalam waktu singkat, dia sudah terbebas dari celana dan
celana dalamnya. Lelaki itu berdiri tanpa busana di muka
Eve. Tubuhnya sangat mempesona. Eve belum pernah
melihat lelaki begitu tampan dan perkasa.
“Cepat,” ujar Eve sambil bergerak ke tempat tidur.
Tubuhnya panas oleh bara di dalamnya.
George Mellis memberi perintah, “Balik.”
Eve kaget. Dia menengadah pada George.
“Aku—aku tidak‐“
Mendadak mulutnya ditinju. Eve bengong dan kaget.
“Balik!”
“Tidak.”
Sekali lagi dia ditampar. Kali ini lebih keras. Eve pusing,
matanya berkunang‐kunang.
“Oh, jangan begitu.”
Lagi‐lagi dia ditampar tanpa ampun. Eve merasakan
tangan George yang perkasa membalik tubuhnya hingga
menungging.
“Jangan,” Eve terengah, “hentikan ini! Kalau tidak, aku
teriak nanti.”
George Mellis mengayunkan tangannya ke belakang
leher Eve. Dan Eve pun kehilangan kesadaran. Antara sadar
dan tidak, Eve merasakan sakit yang luar biasa. Dia
membuka mulut hendak berteriak. Tapi, dia menahan diri,
karena takut George berbuat yang lebih bengis kalau
mendengar teriakannya.
Eve meratap. “Oh, sakit sekali…”
Dia mencoba menarik diri dari lelaki itu. Tapi George
memegangi panggulnya erat‐erat. Sakitnya tak tertahankan.
“Ya, Tuhan, jangan!” bisiknya. “Hentikan itu! Hentikan!”
George Mellis tak peduli. Yang terakhir diingat Eve dia
mendengar George mengerang keras dekat telinganya.
Waktu dia tersadar, George Mellis sedang duduk di kursi.
Dia sudah berpakaian lengkap dan sedang merokok. Lelaki
itu bangkit menghampiri Eve dan mengelus‐elus dahinya.
Eve ngeri disentuh dia.
“Bagaimana rasanya, Sayang?”
Eve mencoba duduk. Tapi, terlalu sakit. Rasanya dia
seperti baru dicabik‐cabik. “Kau binatang buas....” Suaranya
seperti bisikan pecah.
Dia tertawa. “Aku memperlakukanmu dengan lembut.”
Eve memandangnya tak percaya.
Lelaki itu tersenyum. “Kadang‐kadang aku bisa kasar
sekali.” Dia membelai rambut Eve lagi. “Tapi, karena aku
tarik itu masih berpengaruh pada dirinya. Keterlaluan. Dia
seperti dewa Yunani. Mestinya dia itu adanya di museum. Di
rumah sakit jiwa.
“Aku mesti kembali ke New York nanti malam,” kata
George Mellis. “Boleh minta nomor teleponmu?”
“Wah, aku baru saja pindah,” Eve cepat menyahut.
“Belum punya nomor telepon. Biar aku saja yang
meneleponmu.”
“Baiklah, Sayang.” George Mellis nyengir. “Kau suka yang
kita lakukan semalam, kan?”
Eve tak percaya akan yang didengar kupingnya.
“Banyak yang bisa kuajarkan kepadamu, Eve,” bisiknya.
Dan aku juga punya satu pelajaran buatmu, Tuan Mellis,
janji Eve dalam hati.
Begitu pulang, Eve menelepon Dorothy Hollister. Di New
York sebagian besar media meliput berita‐berita tentang
mereka yang disebut “kalangan gemerlap”. Dorothy
merupakan sumber informasi yang tak pernah kehabisan
berita. Tadinya dia kawin dengan seorang kenamaan.
Ketika suaminya menceraikan Dorothy dan memilih kawin
dengan sekretarisnya yang baru dua puluh satu tahun,
terpaksa dia bekerja. Dia mencari pekerjaan yang paling
cocok dengan bakatnya: kolumnis gosip. Karena kenal
dengan kalangan yang dia tulis, dan karena mereka
umumnya menganggap Dorothy bisa dipercaya, jarang
orang menyimpan rahasia terhadapnya.
Dorothy Hollister pasti bisa dimintai keterangan tentang
George Mellis. Eve mengundang perempuan itu makan
siang di La Pyramide. Dorothy Hollister berwajah gemuk.
Rambutnya dicat merah. Suaranya parau. Tawanya
mengikik. Perhiasan yang ia kenakan berat—semuanya
palsu.
27
AGEN Iklan Berkley and Mathews merupakan yang
terhebat di kalangan agen‐agen iklan lainnya di Madison
Avenue. Faktur tahunannya melebihi penggabungan faktur
dua saingan terdekatnya. Penyebab utamanya adalah
karena Kruger‐Brent, Ltd. merupakan pelanggan utamanya.
Ratusan anak perusahaannya di dunia ikut menggunakan
jasa agen iklan itu. Khusus untuk menangani Kruger‐Brent,
perusahaan itu mempekerjakan tujuh puluh lima penjaja
jasa, penulis naskah, direktur kreasi, ahli potret, ahli pahat,
berbagai seniman, dan ahli media. Tidaklah mengherankan
kalau begitu Kate Blackwell menelepon Aaron Berkley
minta dicarikan pekerjaan buat Alexandra, posisinya
langsung terbuka. Seandainya Kate Blackwell
menginginkan agar mereka menjadikan Alexandra presiden
direktur pun, mereka bakal menerimanya.
“Cucuku kepingin jadi penulis naskah,” ujar Kate pada
Aaron Berkley.
Berkley meyakinkan Kate, bahwa kebetulan sekali dia
sedang mencari penulis naskah, dan bahwa Alexandra bisa
mulai kapan saja dia mau.
Alexandra mulai bekerja hari Senin berikutnya.
***
Hanya sedikit agen iklan yang betul‐betul berkedudukan
di Madison Avenue. Berkley and Mathews merupakan
kekecualian. Perusahaan ini mempunyai bangunan besar
dan modern di salah satu sudut‐sudut antara Madison
Avenue dan Fifty‐seventh Street. Agennya sendiri
menempati lantai kedelapan. Sedang lantai‐lantai lainnya
disewakan. Untuk menghemat biaya gaji, Aaron Berkley
“Aku sangat berterima kasih diberi kesempatan ini, Tuan
Berkley. Masih banyak sekali yang harus kupelajari, tapi,
aku berjanji akan bekerja keras.”
“Itu tak perlu,” kata Norman Mathews cepat. Dia cepat
sadar. “Maksudku—kau tak perlu terlalu terburu‐buru.
Waktumu banyak.”
“Aku percaya kau akan kerasan di sini,” tambah Aaron
Berkley. “Di sini kau bekerja dengan orang‐orang terhebat
di bidang periklanan.”
Sejam kemudian, Alexandra berpikir‐pikir, Mereka
mungkin memang orangorang paling hebat, tapi yang jelas,
sangat tidak ramah. Lucas Pinkerton memperkenalkan
Alexandra pada stafnya. Di mana‐mana, Alexandra
disambut dengan dingin. Cuma sebentar waktu mereka
sisihkan buat berbasa‐basi dengan Alexandra. Sesaat ke‐
mudian mereka sudah mencari kesibukan lain. Alexandra
merasakan kebencian mereka. Tapi, dia tak mengerti apa
yang membuat mereka bersikap begitu. Pinkerton
mengajaknya ke ruang pertemuan yang bau asap rokok. Di
salah satu sisinya ada lemari berisi berbagai piala dan
tanda penghargaan. Di sekeliling meja rapat duduk seorang
perempuan dan dua lelaki. Ketiganya perokok sejati. Yang
perempuan bertubuh pendek gemuk. Rambutnya berwarna
pirang kusam. Yang lelaki kira‐kira tiga puluh lima tahun
usianya. Wajah mereka pucat dan rupa mereka tak
menyenangkan.
Pinkerton berkata, “Ini adalah tim kreatif yang akan
bekerja denganmu. Alice Koppel, Vince Barnes, dan Marthy
Bergheimer. Kenalkan, ini Nona Blackwell.”
Ketiganya memandang Alexandra.
“Nah, aku pergi sekarang. Silakan berkenalan lebih
lanjut,” ucap Pinkerton. Dia menoleh ke Vince Barnes. “Aku
ingin melihat kopi parfum baru di mejaku besok pagi.
“Baik.”
Tapi, setiap kali memanggil, yang diucapkan “Nona
Blackwell” lagi.
Alexandra bersemangat besar buat cepat belajar dan
memberikan sumbangan. Dia menghadiri
pertemuan‐pertemuan tempat para penulis naskah
menuangkan ide‐ide mereka. Dia memperhatikan para
editor melukiskan disain mereka. Dia mendengar Lucas
Pinkerton merobek‐robek kopi yang dibawa kepadanya
buat disetujui. Orang itu memang bengis dan tak
berperasaan. Alexandra merasa iba pada para penulis
naskah yang menderita di bawahnya. Alexandra mendapati
dirinya mondar‐mandir dari lantai satu ke lantai lainnya—
menghadiri rapat dengan kepala departemen, menemui
pelanggan, menyaksikan acara pemotretan, serta ikut
dalam diskusi strategi. Dia tak pernah membuka mulut.
Yang dilakukan hanyalah mendengar dan belajar. Pada
akhir minggu pertamanya, dia merasa seperti sudah
sebulan bekerja. Setiap pulang dia merasa lunglai. Bukan
dari capek bekerja, melainkan dari ketegangan yang seolah
timbul oleh kehadirannya.
Ketika Kate menanyakan bagaimana kerjanya, Alexandra
menyahut, “Baik‐baik saja, Nek. Sangat menarik.”
“Aku percaya kau bakal berhasil, Alex. Kalau ada
masalah, langsung saja temui Tuan Berkley atau Tuan
Mathews.”
Itu merupakan yang terutama takkan dilakukan
Alexandra.
Hari Senin berikutnya, Alexandra berangkat bekerja
dengan tekad mencari jalan keluar dari masalah yang dia
hadapi. Setiap hari ada waktu istirahat sambil minum teh
atau kopi‐pagi dan sore. Percakapan ketika itu umumnya
ringan.
“Bagaimana kau tahu rencana ini bisa berhasil?”
“Sebab, aku paling tahu sifat nenek dan adikku.
Percayalah, rencana ini pasti berhasil.”
Kedengarannya Eve sangat yakin. Padahal, dia agak
was‐was. Eve tahu dia bisa melaksanakan bagiannya. Tapi,
dia kurang yakin George Mellis bisa melakukan tugasnya.
Dia orangnya tak stabil. Padahal, tak boleh sampai terjadi
kesalahan di sini. Satu saja kesalahan, seluruh rencana bisa
gagal.
Katanya kepada George, “Pikir dulu, dan ambil
keputusan. Kau mau atau tidak?”
Lama George Mellis mengamati wajah Eve. “Oke, aku
mau.” Dia mendekati Eve dan mulai mengelus bahunya.
Suaranya parau. “Aku kepingin tidur denganmu.”
Eve merasakan gairahnya timbul. “Baiklah,” bisiknya,
“Tapi, lakukan dengan caraku, ya!”
Mereka berdua di ranjang. Tanpa busana begitu, George
Mellis merupakan pemandangan paling indah dan
mempesona yang pernah disaksikan Eve. Juga paling
berbahaya. Tapi, justru itu yang membuat gairahnya
semakin menjadi‐jadi. Sekarang dia punya senjata buat
mengontrol lelaki itu. Eve menjilati tubuh George.
Perlahan‐lahan dia bergerak turun.
“Ayolah, George,” ujar Eve.
“Tengkurap.”
“Tidak. Kali ini kita pakai caraku.”
“Aku tak puas kalau begitu.”
“Aku tahu. Kau lebih senang main dengan pemuda
berpantat ketat, bukan? Aku perempuan, Sayang.”
“Aku takkan puas begini, Eve.”
Eve tertawa. “Aku tak peduli, Sayang. Aku puas.”
Eve mulai menggerak‐gerakkan panggulnya. Dia
mencapai orgasme berkali‐kali. Sementara itu, dia
“Berkeberatan enggak kalau kuajak makan malam suatu
malam nanti?”
“Wah, tentu saja tidak. Senang sekali, malah.”
“Bagus. Kalau kau menolak, bisa bunuh diri aku.”
“Jangan dong,” sahut Alexandra. “Aku paling benci
makan sendirian.”
“Aku juga. Aku tahu ada restoran kecil di Mulberry
Street. Matoon's. Tidak terkenal. Tapi, makanannya enak.”
“Matoon's! Restoran kesayanganku!” seru Alexandra.
“Kau taliu tempat itu?” suaranya kedengaran kaget.
“Tentu saja.”
George menoleh pada Eve. Dia meringis. Dia kagum pada
kecerdikan Eve. Barusan dia menceritakan segala kesukaan
dan hal‐hal yang tak disukai Alexandra. George Mellis
sekarang tahu segala yang mesti diketahui tentang saudara
kembar Eve.
Ketika George akhirnya menaruh gagang telepon, Eve
berpikir, Nah, mulailah sekarangl
Malam itu paling mempesona dalam hidup Alexandra.
Sejam sebelum George Mellis datang sesuai janji, selusin
balon merah jambu diantar orang dengan bunga anggrek
tersemat di sana. Alexandra kuatir imajinasinya akan
menimbulkan harapan yang terlalu tinggi. Tapi, begitu
melihat George Mellis lagi, segala keraguannya dengan
cepat pergi. Sekali lagi dia merasakan daya tarik luar biasa
lelaki itu.
Mereka minum‐minum sebentar di rumah, lalu
berangkat ke restoran.
“Mau pilih makanan sendiri?” tanya George. “Atau, boleh
kupilihkan?”
Alexandra memang punya makanan favorit di restoran
itu, tapi dia kepingin menyenangkan George. “Kenapa tidak
kau saja yang memesankan?”
Cepat George membuang pandang agar tak terbaca yang
ada dalam matanya. “Nanti kau tertawa kalau tahu.”
“Aku janji takkan menertawakan.”
“Kalau kau tertawa, aku tak menyalahkan. Aku memang
agak dicap sebagai playboy. Hidup berpindah‐pindah dari
kapal pesiar, pesta, dan sebangsanya.”
“Ya...”
George menatap Alexandra. “Kurasa, kaulah
satu‐satunya perempuan yang bisa mengubah pola hidupku
yang begitu. Buat selama‐lamanya.”
Alexandra merasakan denyut nadinya berirama lebih
cepat. “Aku tak tahu mesti bilang apa.”
“Jangan katakan apa‐apa.” Bibir George sangat dekat
dengan bibir Alexandra, Alexandra sudah siap menerima,
Tapi, George tak melakukan apa‐apa. Jangan bersikap
terlalu agresif, pesan Eve. Jangan lakukan apaapa pada
kencan pertama. Kalau sampai kaulakukan itu, kau akan
bernasib sama dengan deretan Romeo lain yang tak sabar
menyentuh dan mendapatkan kekayaannya. Biarkan dia
yang lebih dulu bertindak.
Karenanya, George Mellis hanya memegang tangan
Alexandra sampai mobil yang membawa mereka berhenti
mulus di muka rumah tinggal keluarga Blackwell. George
menemani Alexandra turun menuju pintu depan, Alexandra
berbalik kepadanya dan berkata, “Aku sangat senang
menghabiskan petang tadi denganmu.”
“Aku juga.”
Senyum Alexandra, sangat cerah. “Selamat malam,
George,” bisiknya. Gadis itu pun menghilang ke dalam
rumah.
Lima belas menit sesudahnya, telepon Alexandra
berdering. “Kau tahu apa yang baru saja kulakukan?
Menelepon keluargaku. Kuceritakan mereka tentang
juga meneleponku, kupikir kau mengalami kecelakaan. Aku
gelisah. Rasanya tak kuat aku menanti sehari lagi.”
Seratus buat Eve, pikir George. Tunggu yang manis, aku
akan memberimu perintab kapan mesti mulai lagi. George
merasakan buat pertama kalinya, bahwa rencana mereka
bakal berhasil. Selama ini dia tak terlalu
bersungguh‐sungguh. Rasanya tak segampang itu
mendapatkan kekayaan luar biasa seperti kekayaan
keluarga Blackwell. Mungkin saja, tapi dia tidak terlalu
berharap. Dia tak berani berharap. Semua ini cuma
permainan Eve. Saat itu, melihat Alexandra duduk di
hadapannya dengan mata memuja, George Mellis baru
yakin, bahwa semuanya ini bukan sekadar permainan
iseng. Alexandra sudah berhasil dia menangkan. Ini langkah
pertama. Langkah‐langkah selanjutnya bisa berbahaya,
tapi, dengan bantuan Eve, dia pasti bisa melaksanakan.
Kita berusaha bersama dalam hal ini, George. Hasilnya
nanti akan kita bagi dua sama rata.
George Mellis tak suka berpatungan. Kalau yang dia
inginkan sudah didapat, dan Alexandra sudah dia
singkirkan, giliran Eve yang mesti dia tangani.
Membayangkan semuanya itu membuat hatinya puas luar
biasa.
“Kau tersenyum,” kata Alexandra.
George Mellis menggenggam tangan Alexandra.
Sentuhannya menghangatkan perasaan gadis itu. “Aku
sedang berpikir, betapa menyenangkan berdua bersamamu
di sini. Tak peduli di mana. Kupikir, di mana pun berdua
dengan kau akan menyenangkan.” George Mellis merogoh
saku dan mengeluarkan kotak perhiasan. “Aku bawa
oleh‐oleh dari Yunani.”
“Oh, George...”
“Bukalah, Alex.”
Di dalam kotak itu ada kalung berlian indah.
“Cantiknya...”
Kalung itu adalah kalung Eve yang pernah dia curi.
Aman. Kalung itu boleh kauberikan kepadanya, begitu kata
Eve. Alexandra belum pernah melihat kalung itu.
“Tapi, ini terlalu berharga buatku.”
“Tidak. Tak ada yang terlalu berharga buatmu. Aku
senang melihat kau mengenakan kalung itu.”
“Aku—” Alexandra gemetar. “Terima kasih.”
George memperhatikan piring Alexandra,
“Kok tidak makan?”
“Aku tak lapar.”
Melihat mata gadis itu, sekali lagi George merasakan
dirinya berkuasa penuh. Perasaannya melambung tinggi.
Sudah kerap dia melihat pandang begitu pada banyak
perempuan: perempuan cantik, jelek, kaya, miskin.
Semuanya telah dia manfaatkan. Dengan cara mereka
masing‐masing, mereka semuanya telah memberikan
sesuatu buatnya. Tapi, yang satu ini akan memberinya jauh
lebih banyak dari yang pernah dia dapatkan.
“Lalu, apa yang kepingin kaulakukan?” Suara seraknya
mengundang.
Dengan terbuka dan lugas, Alex mengatakan,
“Aku kepingin bersama kau.”
George Mellis punya hak buat membanggakan
apartemennya. Tempat itu anggun, mempesona dan
menyenangkan. Ruangan‐ruangannya ditata oleh
kekasihnya—lelaki dan perempuan—yang semuanya ingin
menyatakan rasa terima kasih mereka dengan jalan
membelikan hadiah‐hadiah mahal.
“Apartemenmu enak sekali, — “ seru Alexandra.
George memutar Alexandra dengan lembut hingga
kalung berliannya berkilau dikenai sinar lampu temaram.
“Kalung itu pantas sekali bagimu, Sayang.”
Lelaki itu naik ke atasnya, dan Alexandra pun mengecap
kenikmatan yang memuncak dan meletup‐letup tak
tertahankan. Ketika akhirnya gadis itu berbaring tenang
dengan kepala bersandar di relung bahu George, katanya,
“Oh, George, mudah‐mudahan kau puas seperti yang
kurasakan tadi.” George berbohong. Katanya, “Aku puas,
Sayang.”
Alexandra memeluknya dan menangis. Dia tak tahu
mengapa dia menangis begitu. Yang dia tahu hanyalah
bahwa dia bersyukur atas keindahan dan kebahagiaan yang
baru saja dia rasakan.
“Hus, hus,” kata George menenangkan. “Mengapa mesti
menangis. Semuanya begitu indah, Alex.”
Betul.
Eve pasti bangga kalau tahu semua ini.
Pada setiap kisah cinta, pasti terjadi salah paham,
cemburu, dan rasa tersinggung. Tapi, kisah cinta George
dan Alexandra berbeda. Berkat pengarahan Eve, George
bisa memainkan peran dengan pas dalam menghadapi
setiap emosi Alexandra. George tahu kekuatiran Alexandra,
fantasinya, nafsu, dan hal‐hal yang tak disukai gadis itu. Dia
tahu apa‐apa yang bisa membuatnya tertawa dan apa yang
bisa membikin Alexandra menangis. Alexandra sangat puas
mengingat hubungan cintanya dengan George. Sebaliknya
George frustrasi. Jika dia sedang berada di tempat tidur
bersama Alexandra dan mendengar jerit kepuasannya,
nafsunya bangkit luar biasa. Ingin sekali dia mendera gadis
itu, membuatnya menjerit kesakitan dan minta ampun
sampai nafsunya terpuaskan. Tapi, dia tahu, kalau itu
sampai dia lakukan, segalanya bakal hancur berantakan.
Frustrasinya makin lama makin menjadi. Makin sering
mereka bercumbu begitu, makin benci dia pada Alexandra.
saja tandatanda kelemahan pada dirimu, kau takkan punya
barapan.
“Nyonya Blackwell, aku tak biasa mengobrolkan
kehidupan pribadiku.” George nampak ragu—
menimbang‐nimbang sebelum mengambil keputusan.
“Tapi, dalam hal ini, kukira...” Dia menatap mata Kate
Blackwell. Lalu katanya, “Aku lelaki yang berdikari. Tak
suka menerima dengan cuma‐cuma. Seandainya Mellis and
Company aku yang mendirikan, tentu sekarang ini aku yang
memimpin. Tapi, perusahaan itu didirikan oleh kakekku.
Ayahku menjadikannya perusahaan besar yang
menghasilkan keuntungan berlipat ganda. Perusahaan itu
tak memerlukan aku. Aku punya tiga adik lelaki. Mereka
semuanya bisa mengelola perusahaan keluarga kami kelak.
Aku lebih suka jadi karyawan biasa sampai suatu ketika
nanti, aku bisa mendirikan perusahaan sendiri yang bisa
kubanggakan.”
Kate manggut‐manggut. Lelaki ini sama sekali bukan
lelaki yang selama ini dia bayangkan. Tadinya Kate sudah
bersiap‐siap menemui seorang lelaki iseng—playboy, dan
pemburu, harta—seperti pemuda‐pemuda lain yang selama
ini mencoba mendekati cucu‐cucunya. Yang satu ini
nampaknya lain. Tapi, ada sesuatu yang membuat hati Kate
tak enak tentang dia. Kate berusaha mendefinisikan
perasaannya. Tapi tak ketemu. Mungkin, karena dia hampir
terlalu sempurna.
“Kudengar keluarga Anda kaya‐raya.”
Dia harus yakin betul bahwa kau kayaraya dan
tergilagila pada Alex. Bersikaplah yang menarik dan sopan.
Kontrol emosimu. Pasti berhasil.
“Uang memang merupakan kebutuhan, Nyonya
Blackwell. Tapi, banyak hal‐hal lain yang lebih menarik
perhatianku.”
“Tentu. Selamat bobok.”
Begitu menaruh kembali gagang telepon, Eve langsung
memutar nomor telepon George Mellis. Dia belum sampai
ke apartemennya. Eve menelepon sepuluh menit sekali.
Ketika akhirnya telepon di sebelah sana diangkat, yang
diucapkan Eve, “Kau bisa cari sejuta dollar dalam waktu
singkat?”
“Ngomong apa kau ini?”
“Kate hendak menyelidiki keuanganmu.”
“Dia tahu nilai kekayaan keluargaku. Dia—”
“Aku tak bicara tentang keluargamu. Aku bicara tentang
kau. Sudah kukatakan nenekku bukan orang dungu.”
Hening. “Dari mana aku bisa dapat sejuta dollar?”
“Aku punya ide,” ucap Eve.
Begitu sampai di kantor esok paginya, Kate Blackwell
berkata pada asisten pribadinya, “Suruh Brad Rogers
menyelidiki keadaan keuangan pribadi George Mellis. Dia
bekerja di Hanson and Hanson.”
“Tuan Rogers sedang pergi. Baru kembali besok, Nyonya
Blackwell. Bisa ditunggu, atau—”
“Besok juga boleh.”
Di satu sisi Manhattan, di Wall Street, George Mellis
sedang duduk di meja kerjanya—di kantor pemasaran
bursa Hanson and Hanson. jual‐beli saham sudah dibuka,
dan kantor besar itu pun hiruk‐pikuk. Ada 225 karyawan
bekerja di kantor pusatnya: pedagang perantara, analis,
akuntan, operator, dan wakil para pelanggan. Semua
bekerja dengan kecepatan tinggi. Cuma George Mellis yang
tidak. Dia sedang terpaku di balik mejanya, panik. Kalau
gagal melakukan rencananya ini, dia bisa dibui. Kalau
berhasil, dia bisa menguasai dunia.
“Enggak mau terima telepon, ya?”
dan bergegas turun ke lantai bawah. Sesampai di mejanya,
Helen sudah ada di situ‐mencari‐cari dia.
“Maaf,” ujar George. “Aku dipanggil sebentar.”
“Oh, tidak apa‐apa. Apa sih kejutannya?”
“Ada burung yang bilang, hari ini ulang tahunmu,” ucap
George, “karena itu, aku kepingin mentraktirmu makan
siang nanti.” George memperhatikan perubahan wajah
perempuan itu. Tampak betul bahwa dia bingung—antara
kepingin memberi tahu tanggal ulang tahunnya yang
sebenarnya, dan tak mau kehilangan kesempatan makan
siang bersamanya.
“Ah, kau baik sekali,” ujarnya. “Aku senang sekali makan
siang bersamamu.”
“Baiklah,” kata George kepadanya. “Kita ketemu di
Tony's jam satu, ya.” Janji seperti itu bisa dibuat lewat
telepon, sebenarnya. Tapi, Helen Thatcher terlalu
kegirangan buat memberi komentar. George mengawasi
perempuan itu beranjak kembali ke ruang kerjanya.
Begitu dia tidak kelihatan, George pun beraksi. Dia harus
bekerja banyak sebelum kartu itu bisa dia kembalikan.
George naik lift ke lantai tujuh dan melangkah ke daerah
yang dijaga petugas pengaman. Petugas pengaman berdiri
dekat pintu besi tertutup. George memasukkan kartu
plastik ke lubang yang disediakan di pintu, dan pintu itu
pun terbuka. Waktu George hendak melangkah masuk,
petugas itu berkata, “Rasanya aku belum pernah melihat
kau kemari.”
Jantung George berdegup kencang. Dia tersenyum.
“Tentu. Aku memang tak biasa kemari. Salah seorang
pelanggan kebetulan kepingin melihat sertifikat sahamnya.
Aku terpaksa mencarikan. Mudah‐mudahan saja cepat
ketemu.”
“Ada apa, George?”
“Tidak ada apa‐apa. Hanya, aku takkan diperbolehkan
ambil cuti buat berbulan madu kalau urusan buat
pelanggan penting itu belum selesai.. Aku takkan
lama‐lama. Pesawat kita berangkat jam lima, kan?”
Alexandra tersenyum. “Cepat‐cepat pulang, ya. Aku tak
mau pergi berbulan madu sendirian.”
Waktu George tiba di apartemen Eve, Eve sudah
menunggunya—mengenakan gaun tidur tipis.
“Menyenangkan pesta pemikahanmu barusan, Sayang?”
“Ya. Terima kasih. Kecil‐kecilan, tapi sangat elegan.
Segalanya berjalan mulus sekali.”
“Kau tahu kan, apa sebabnya? Karena aku. Jangan pernah
melupakan itu.”
George memandang Eve. Katanya perlahan, “Aku takkan
lupa.”
“Dari semula kita berkongsi.”
“Tentu saja.”
Eve tersenyum. “Hm, hm! Jadi, kau sekarang suami
adikku.”
George melirik jam tangannya. “Ya. Dan aku mesti
buru‐buru kembali.”
“Jangan,” ucap Eve.
“Kenapa?”
“Soalnya, kau mesti melayaniku dulu, Sayang.”
30
EVE yang merencanakan bulan madunya. Mahal. Tapi,
katanya pada George, “Tidak perlu selalu berhemat‐hemat.”
Eve menjual tiga potong perhiasan pemberian
kekasih‐kekasih yang memujanya. Uangnya dia berikan
pada George.
“Baiklah, kalau begitu.”
George menyewa mobil dan pergi ke Kingston. Sudah
sore waktu dia tiba di sana. Jalan di ibukota itu penuh oleh
turis yang baru turun dari kapal pesiar. Mereka sibuk
berbelanja di pasar murah. Kingston merupakan kota
perdagangan. Banyak pabrik, gudang, dan industri
perikanan di sana. Tapi, dengan pelabuhannya yang
dilingkungi daratan itu, Kingston juga merupakan kota
cantik. Banyak bangunan kuno di sana. Juga museum dan
perpustakaan.
George tidak tertarik pada semuanya itu. Dia terdorong
untuk memuaskan kebutuhan yang telah bertumpuk tak
terpuaskan selama beberapa minggu ini. Dia masuk ke bar
pertama yang dilihatnya, lalu bicara dengan penjaga bar itu.
Lima menit kemudian George naik tangga menuju ke kamar
sebuah hotel murah bersama seorang pelacur berkulit
hitam yang umurnya kira‐kira lima belas tahunan. Dua jam
lamanya George di sana bersama gadis muda itu. Ketika
pergi dari sana, George sendirian. Dia langsung masuk ke
mobil dan memacu mobilnya kembali ke Teluk Montego.
Alexandra mengatakan bahwa telepon penting yang
ditunggunya belum juga datang.
Esok harinya, surat kabar pagi di Kingston mengabarkan,
seorang turis menyiksa seorang pelacur. Pelacur itu
ditemukan dalam keadaan hampir tewas.
Di Hanson and Hanson, pimpinan perusahaan telah agak
lama membicarakan George Mellis. Beberapa pelanggan
berkeluh‐kesah tentang cara George menangani mereka.
Pimpinan perusahaan telah sepakat buat mengeluarkan
George. Tapi, sekarang, mereka berpikir ulang.
“Dia kawin dengan salah seorang cucu Kate Blackwell,”
kata seorang pimpinan senior. “Kita harus pertimbangkan
lagi keputusan kita.”
“Terserah kau saja. Kata Nenek—”
George membelai pipi istrinya. “Urusan begini sebaiknya
kita saja yang mengurus. Aku kagum pada, nenekmu. Tapi,
aku lebih senang kalau masalah‐masalah yang pribadi
sifatnya kita urus sendiri tanpa mengikutcampurkan
nenekmu. Bagaimana menurutmu?”
“Kau benar, Sayang. Aku takkan bilang apa‐apa sama
Nenek. Kau bisa buatkan janji biar aku bisa ke tempat
pengacaramu besok?”
“Ingatkan aku untuk meneleponnya. Sekarang, kita
makan dulu. Aku sudah kelaparan. Apanya dulu? Kepiting ...
?”
Seminggu berikutnya, George menemui Eve di
apartemennya.
“Alex sudah menandatangani surat wasiatnya yang
baru?” tanya Eve.
“Sudah. Tadi pagi. Dia akan mewarisi bagian
perusahaannya minggu depan, pada hari ulang tahunnya.”
Seminggu sesudahnya, 49 persen saham Kruger‐Brent,
Ltd., dialihkan kepada Alexandra. George menelepon Eve,
memberi kabar. Katanya, “Bagus! Datanglah nanti malam.
Kita rayakan keberhasilan kita.”
“Aku tak bisa. Kate bikin pesta buat merayakan ulang
tahun Alex.”
Hening. “Apa yang mereka hidangkan di sana?”
“Mana aku tahu?”
“Cari tahu.” Sambungan telepon pun diputuskan.
Empat puluh menit kemudian George menelepon Eve
kembali. “Aku tak mengerti kenapa kau begitu tertarik pada
menunya,” kata George kasar, “kau toh tak diundang ke
pestanya. Tapi, kalau kau ingin tahu juga, mereka
Eve membelai pipi George. “Kau sudah memberiku kado.
Nanti juga kauberikan padaku. Duduklah.”
“Terima kasih,” sahut George. “Tapi, rasanya aku tak bisa
makan lagi. Barusan sudah makan besar.”
“Duduklah.” Nada suaranya tak berubah.
George menatapnya, lalu duduk.
Hidangan di meja terdiri dari Coquille SaintJacques,
Chateaubriand, salad, Brie, cappuccino, dan kue ulang tahun
dengan es krim Neapolitan.
Eve duduk berseberangan dengan George, menyaksikan
lelaki itu memaksakan makanan yang dimulutnya tertelan.
“Alex dan aku selalu menikmati hal‐hal yang sama,” Eve
berkata kepadanya. “Malam ini, aku menikmati santapan
ulang tahun yang sama. Tahun depan, cuma akan ada
seorang di antara kami yang merayakan ulang tahun. Sudah
tiba waktunya, Sayangku, adikku itu mengalami kecelakaan.
Sesudah kejadian itu, Nenek pasti mati dilanda kesedihan.
Semuanya akan jadi milik kita, George. Nah, sekarang kita
ke kamar, yuk! Beri aku hadiah ulang tahun yang
mengasyikkan.”
George sangat takut menghadapi saat itu. Dia lelaki kuat
dan bersemangat. Cara Eve mendominasi dia bikin dia
merasa impoten. Eve menyuruh George melepaskan
gaunnya dengan perlahan‐lahan. Kemudian, dia sendiri
membuka pakaian George dengan cekatan.
“Nah, begitu dong, Sayang, “ Eve berkata. “Ah,
nikmatnya.... Tapi kau tak bisa puas dengan begini. Ya, kan,
Sayang? Oh, kasihan. Kau tahu kenapa, George? Karena kau
tak normal. Kau tak suka cewek. Ya kan, George? Yang
kausenangi Cuma menyakiti mereka. Kau kepingin
menyakitiku, kan? Coba katakan, kau kepingin
menyakitiku.”
“Aku kepingin mencekikmu sampai mati.”
menyadari yang telah terjadi. Dia panik. Semua ini tak bisa
dipertanggungjawabkan. Dan gara‐gara ini, segalanya bisa
lenyap. Ya. Segalanya!
George membungkuk di atasnya. “Eve?”'
Eve membuka matanya yang bengkak. “Dokter...
Panggil... dokter...” Setiap kata diucapkan dengan kesakiran.
“Harley... John Harley.”
Di telepon, George cuma mengatakan, “Bisakah Anda
datang kemari secepatnya? Eve Blackwell mendapat
kecelakaan.”
Ketika Dr. John Harley masuk ke kamar itu dan
menyaksikan keadaan Eve serta percikan darah di ranjang
dan dinding, katanya, “Ya, Tuhan!” Dia meraba denyut nadi
Eve lalu berbalik pada George. “Panggil polisi. Katakan kita
perlu ambulans.”
Dalam kesakitang Eve berbisik, “John…”
john Harley membungkuk. “Kau pasti sembuh. Kami
akan membawamu ke rumah sakit.”
Eve merengkuh tangan dokternya. “Jangan panggil
polisi....”
“Aku wajib melaporkan ini. Aku—”
Eve meremas tangan John Harley. “Jangan panggil
polisi…”
Dokter itu mengamati tulang Eve yang patah di sana‐sini,
luka bakar bekas puntung rokok di sekujur tubuhnya.
“Sudahlah. Jangan bicara dulu.”
Sakit yang dirasakan Eve menusuk‐nusuk tak
tertahankan. Eve berjuang mempertahankan nyawa. “John...
“ Lama sekali baru kata‐kata berikutnya keluar. “Ini
pribadi... Nenek bisa tidak... memaafkanku. Jangan... jangan
panggil polisi. Bilang saja korban... tabrak lari…”
Tak ada waktu buat berdebat. Dr. Harley menuju tempat
telepon dan memutar nomor. “Ini Dr. Harley.” Dia
Eve meremas tangan dokter itu lagi. “Betul. Memang itu
yang sebenarnya terjadi…”
Dr. Webster mengeluh. “Kukira memang begitu.”
Dr. Keith Webster mengunjungi Eve setiap hari.
Terkadang dia mampir sampai dua atau tiga kali sehari. Dia
membawakan Eve bunga dan hadiah kecil‐kecil yang dibeli
dari toko yang khusus menjual benda‐benda seperti itu di
rumah sakit. Setiap hari Eve bertanya dengan kuatir,
“Sepanjang hari aku berbaring saja. Mengapa tak ada yang
mengobatiku?”
“Kawan kerjaku sedang mengobati kau,” ujar Dr.
Webster.
“Kawan kerjamu?”
“Alam. Di balik perban banyak yang mengerikan itu,
kulitmu sedang menjalani penyembuhan.”
Beberapa hari sekali, Dr. Webster membuka perban dan
memeriksa kemajuannya.
“Beri aku cermin,” pinta Eve.
Jawabannya selalu sama. “Jangan dulu.”
Dia merupakan satu‐satunya kawan. Dan Eve mulai
menunggu‐nunggu kedatangannya. Keith Webster
orangnya kagok. Tubuhnya kurus pendek, rambutnya
jarang, dan matanya rabun berwarna kecoklatan—sering
sekali berkedip. Dia malu‐malu bila berada dekat Eve. Ini
membuat Eve senang.
“Kau pernah kawin?” tanyanya.
“Belum.”
“Kenapa?”
“Entah. Kurasa aku tak bakal jadi suami yang baik. Aku
terlalu sering dapat panggilan mendadak.”
“Tapi, kau pasti punya cewek.”
Wajah lelaki itu merah padam. “Ah... “
“Cerita dong, tentang cewekmu,” goda Eve.
“Aku tak punya cewek tetap.”
“Pasti banyak perawat yang naksir.”
“Tidak. Mereka bukan tipe orang yang romantis.”
Sekadar ngomong, pikir Eve. Kalau Eve mengobrolkan
Keith Webster dengan perawat dan dokter lain yang datang
merawatnya, Eve mendapat kesan mereka menganggap
Keith Webster itu dewa.
“Kerjanya seperti mukjizat,” seorang dokter berkata.
“Tidak ada yang tak bisa dia lakukan pada wajah manusia.”
Mereka menceritakan tentang bagaimana Keith Webster
menyembuhkan anak‐anak cacat dan korban kejahatan.
Tetapi, waktu Eve menanyakan hal itu pada Keith Webster,
dia cuma mengatakan, “Sayang sekali di dunia ini orang
dinilai dari rupa mereka. Aku cuma menolong mereka yang
lahir dengan rupa cacat. Nasib mereka bisa berubah.” Eve
heran. Keith Webster melakukan semuanya itu bukan demi
uang dan kemenangan. Dia sama sekali tak egois. Belum
pernah Eve menjumpai orang seperti dia. Eve mencoba
mencari apa motivasi kerja lelaki itu. Tapi itu cuma rasa
ingin tahu tanpa maksud lain. Eve tak tertarik pada Keith
Webster, kecuali pada jasa yang bisa dia berikan buatnya.
Lima belas hari setelah masuk rumah sakit, Eve
dipindahkan ke klinik pribadi di luar kota New York.
“Kau bisa lebih santai di sini,” Dokter Webster
meyakinkan.
Eve tahu jarak yang harus ditempuh oleh dokter itu
sekarang jadi lebih jauh kalau hendak memeriksanya. Tapi,
toh dia masih muncul setiap hari.
“Kau tak punya pasien lain, ya?” tanya Eve.
“Tak ada yang seperti kau.”
***
“Aku sukar pergi malam sekarang. Alex dan aku— “
“Pokoknya, jam delapan.”
George hampir tak percaya. Eve berdiri di hadapannya—
secantik semula. Diamatinya wajah perempuan itu dengan
cermat. Tak sedikit pun ada bekas kerusakan yang pernah
dia bikin di sana.
“Luar biasa! Kau—kau persis seperti semula.”
“Ya. Aku masih tetap cantik, kan, George?” Eve
tersenyum‐senyum kucing—memikirkan apa yang dia
rencanakan buat George. Lelaki itu binatang sakit. Tak
pantas hidup. Dia akan bayar penuh semua yang pernah dia
lakukan terhadap dirinya. Tapi, belum tiba saatnya. Eve
masih butuh dia. Mereka berdiri, tersenyum satu sama lain.
“Eve, aku sangat menyesal— “
“Sudahlah. Jangan bicarakan itu lagi. Semuanya sudah
lewat. Tak ada yang berubah,” potong Eve.
Tapi, George ingat ada yang sudah berubah. “Aku dapat
telepon dari Harley,” ucapnya. “Dia membuatkan janji buat
aku untuk ketemu psikiater.”
Eve menggeleng. “Jangan. Bilang saja kau tak punya
waktu.”
“Sudah kucoba. Kalau aku tak mau, dia akan bikin
laporan buat polisi.”
“Kurang ajar!”
Eve berdiri, berpikir‐pikir. “Siapa psikiaternya?”
“Namanya Templeton. Peter Templeton.”
“Namanya pernah kudengar. Reputasinya bagus.”
“Jangan kuatir. Aku bisa berbaring di meja periksanya
selama lima puluh menit tanpa mengatakan apa pun.
Kalau— “
Eve tidak mendengarkan. Mendadak dia dapat ide. Eve
sedang mencoba menganalisa idenya.
Dia memandang George. “Mungkin ini namanya rezeki!”
“Istri Andakah yang jadi korban?”
“Bukan. Kakak perempuannya.”
Beberapa kali Peter melihat potret atau berita tentang si
kembar Blackwell kalah mereka muncul pada suatu acara
dana atau acara sosial lainnya. Keduanya mirip sekali satu
sama lain, ingat Peter, dan mereka sangat cantik. Jadi, lelaki
ini menyerang kakak iparnya. Peter menganggap kasusnya
menarik. Yang menarik lagi, George Mellis menggambarkan
seolah yang dia lakukan cuma menampar sekali atau dua
kali. Kalau masalahnya cuma begitu, John Harley tak bakal
memaksa Peter menerima George Mellis.
“Anda tadi bilang memukul kakak ipar Anda. Dia luka?”
“Terus terang, agak parah. Tapi, sudah kukatakan tadi,
Dokter, aku tak sadarkan diri. Waktu aku sadar, rasanya
aku tak percaya.”
Ketika aku sadar. Pembelaan diri klasik. Bukan aku yang
melakukan, luar sadarku yang berbuat.
“Apa kira‐kira yang menyebabkan Anda berbuat begitu?”
“Akhir‐akhir ini aku sedang mengalami tekanan berat.
Ayahku sakit keras. Beberapa kali mengalami serangan
jantung. Aku sangat memikirkan ayahku. Keluarga kami
sangat erat satu sama lain.”
“Ayah Anda tinggal di sini?”
“Di Yunani.”
Jadi, dia memang Mellis itu. “Katanya Anda punya dua
masalah.”
“Ya. Istriku, Alexandra…” George diam.
“Punya masalah perkawinan?”
“Bukan seperti yang Anda maksud. Kami sangat
mencintai satu sama lain. Hanya—” Dia ragu‐ragu,
“Alexandra tampaknya kurang sehat akhir‐akhir ini.”
“Fisiknya?”
'Emosinya. Dia senantiasa dalam emosi depresi. Selalu
menyebut‐nyebut hendak bunuh diri.”'
“Sudah minta bantuan profesional?”
George tersenyum, Wajahnya sedih. “Dia menolak.”
Terlalu, pikir Peter. Ada dokter Park Avenue dirugikan.
“Sudah membicarakan masalahnya dengan Dr. Harley?”
“Belum.
“Karena dia dokter keluarga, sebaiknya Anda bicara
dengan dia. Kalau Dr. Harley merasa perlu, pasti dia akan
merekomendasi istri Anda untuk menemui psikiater.”
George Mellis berkata gugup, “Tidak. Aku tak mau
Alexandra merasa aku mengobrolkan dia di belakangnya.
Jangan‐jangan Dr. Harley nanti—”
“Tenang, Tuan Mellis. Biar aku yang meneleponnya.”
“Eve, kita celaka,” bentak George. “Celaka besar.”
“Kenapa?”
“Aku melakukan segalanya yang kausuruh. Kuceritakan
kekuatiranku atas Alexandra. Dia seperti orang yang sering
kepingin bunuh diri.”
“Lalu?”
“Jahanam itu mau menelepon John Harley dan
mendiskusikan itu dengan John Harley!”
“Astaga! Jangan sampai begitu.”
Eve mondar‐mandir. Mendadak dia berhenti.
“Baik. Biar aku yang berurusan clengan Harley. Kau
punya janji ketemu Templeton lagi?”
“Ya.”
“Pertahankan.”
Esok paginya, Eve menemui Dr. Harley di kantornya.
John Harley senang pada keluarga Blackwell. Dia
menyaksikan si kembar tumbuh. Dia mengalami kematian
Marianne, serangan yang dialami Kate setelahnya, dan
kemudian Tony dimasukkan ke sanatorium terpencil.
Sudah terlalu banyak penderitaan yang dilalui oleh Kate.
“Tentu saja aku mau menolong. Suruh dia kemari besok
pagi. Dan, kau tak perlu terlalu kuatir, Eve. Banyak obat
yang bisa menyembuhkan adikmu. “
Dr. Harley menemani Eve keluar dari kamar kerjanya.
Dia prihatin Kate tak bisa memaafkan cucunya ini. Padahal
Eve orang yang begitu penuh perhatian dan kasih sayang.
Waktu kembali ke apartemennya, dengan hati‐hati Eve
menghapus bekas merah di dahinya dengan krim wajah.
Esok paginya, kira‐kira jam sepuluh, resepsionis Dr.
Harley memberi tahu, “Nyonya George Mellis ingin bertemu
Anda, Dokter.”
“Suruh masuk.”
Perempuan itu berjalan pelan, seperti tak yakin akan
dirinya sendiri. Dia nampak pucat dan ada lingkaran biru di
sekitar matanya.
John Harley meraih tangannya. Katanya, “Hm, sudah
lama tak ketemu kau, Alexandra. Kudengar kau sedang
punya masalah?”
Suaranya Pelan. “Rasanya aku tak mau merepotkan kau,
John. Aku yakin sebenarnya tak ada apa‐apa. Tapi Eve
ngotot. Kalau tidak gara‐gara dia, aku tak bakalan kemari.
Aku sehat. Fisikku sempurna.”
“Bagaimana emosimu?”
Dia ragu. “Susah tidur.”
“Apa lagi?”
“Nanti kaukira aku sakit jiwa…”
“Aku kan tidak bodoh, Alexandra,”
Perempuan muda itu menunduk. “Aku merasa tertekan
sekali. Selalu diliputi perasaan kuatir dan... capek. George
berusaha keras membuatku gembira dan tak
henti‐hentinya mencari ide—apa yang bisa kami lakukan
bersama, tempat yang menyenangkan buat kami kunjungi.
Dia keluar dari ruang praktek Dr. Harley. Di luar, dia
bersandar di tembok gedung, menarik napas panjang.
Berhasil, pikir Eve berdebar riang. Aku berhasil. Dia
mengusap keringatnya.
32
KATE BLACKWELL merasa lelah. Rapat itu terlalu lama.
Dia melihat ke sekeliling meja rapat—pada tiga lelaki dan
tiga perempuan anggota dewan pimpinan perusahaan.
Mereka semua segar dan bertenaga. Jadi, sebenarnya bukan
rapatnya yang terIalu lama, pikir Kate. Aku yang sudab
kelewat lama bertahan. Aku sudah tua. Menyadari hal itu
membuatnya sedih. Bukan karena takut mati, tapi, karena
dia belum siap. Dia belum mau mati sebelum ada keturunan
Blackwell yang bisa mengelola perusahaan. Sesudah
dikecewakan oleh Eve, Kate mencoba membangun masa
depannya pada diri Alexandra.
“Nenek kan tahu aku mau disuruh apa saja. Tapi, aku
sungguh‐sungguh tak tertarik melakukan bisnis. George
pasti bisa mengelola dengan baik ......
“Kau setuju, Kate?” tanya Brad Rogers.
Pertanyaan itu membuat Kate tersadar dari lamunannya.
Dia memandang Brad dengan rasa bersalah. “Maaf. Apa
pertanyaannya, tadi?”
“Kami sedang membicarakan peleburan Deleco.”
Suaranya sabar. Brad Rogers merasa prihatin melihat Kate
Blackwell. Akhir‐akhir ini dia sering melamun dalam rapat.
Tapi begitu Brad menganggap perempuan itu sudah pikun
dan mesti pensiun, mendadak dia dapat ide cemerlang yang
membuat orang lain bertanya‐tanya mengapa bukan Brad
yang mempunyai gagasan begitu. Kate memang perempuan
yang mengagumkan. Teringat olehnya kisah cinta mereka
Peter ingat akan kata‐kata George sendiri: Aku malu. Itu
sebabnya aku kepingin bertemu Anda. Jadi, dia juga
berbohong ketika mengatakan itu.
“Mellis menceritakan istrinya mengalami depresi dan
kepingin bunuh diri.”
“Ya. Itu memang benar. Alexandra datang menemuiku
beberapa hari yang lalu. Dia kuberi resep Wellbutrin.
Kasihan dia. Apa opinimu tentang George Mellis?”
Peter menjawab perlahan, “Aku belum tahu. Aku punya
firasat dia orang yang berbahaya.”
Dr. Keith Webster tak bisa melupakan Eve Blackwell.
Gadis itu seperti dewi cantik—tak terjamah. Dia terbuka,
periang, dan menggairahkan. Sebaliknya, Keith Webster
pemalu, tidak menarik, dan membosankan. Keith Webster
belum pernah kawin. Sebabnya, dia belum pernah ketemu
dengan perempuan yang cukup tak berharga buat Jadi
istrinya. Di luar pekerjaannya, dia,tak punya harga diri. Dia
dibesarkan oleh seorang ibu yang berkuasa dan ayah yang
lemah. Dorongan seksual Keith Webster tergolong rendah.
Dan yang hampir tak ada itu menjadi hilang oleh
keasyikannya bekerja. Tapi, sekarang dia mulai
mengimpikan Eve Blackwell. Dia malu kalau teringat
mimpinya semalam. Eve sudah sembuh sama sekali. Tak
ada lagi alasan baginya buat bertemu gadis itu.
Dia menelepon Eve di apartemennya. “Eve? Ini Keith
Webster. Mudah‐mudahan aku tak mengganggu. Aku—aku
ingat kau tempo hari. Bagaimana keadaanmu?”
“Baik‐baik, Keith. Kau sendiri bagaimana?” Ada nada
menggoda pada suaranya.
“Ba—baik juga,” sahutnya. Hening. Keith Webster
mengumpulkan keberanian. “Kukira kau sibuk dan tak
bakal bisa meluangkan waktu buat makan siang
bersamaku.”
menyaksikan sandiwara. Lelaki ini berbahaya. “Tuan Mellis,
bagaimana hubungan Anda dengan perempuan selama ini?”
“Biasa.”
“Pernah marah dan kehilangan kesabaran?”
George Mellis tahu ke mana arah pertanyaan itu. “Tak
pernah.” Aku terlalu cerdas buat kau, Dok. “Sudah
kukatakan pada Anda, Dokter, aku sangat membenci
kekerasan.”
Kakak iparnya dijagal, Peter. Tulang pipinya remuk,
hidungnya patab. juga tiga tulang rusuknya. Pantat dan
telapak kakinya penuh luka bakarpuntung rokok.
“Terkadang,” ujar Peter, “buat sementara orang
kekerasan perlu disalurkan ke luar—luapan emosi.”
“Aku tahu yang Anda maksudkan. Aku punya kawan
yang suka menyiksa pelacur.”
Aku punya kawan. Tanda bahaya. “Coba ceritakan
tentang kawan Anda itu.”
“Dia benci pelacur. Mereka selalu mencoba menelanjangi
kawanku itu. Karena itu, setiap kali selesai bercumbu, dia
berlaku kasar kepada mereka—sekadar memberi
pelajaran.” George mengamati wajah Peter. Tak tampak
pancaran perasaan tidak setuju di situ. Merasa aman,
George melanjutkan, “Aku ingat, kami pernah bersama di
Jamaica. Seorang pelacur Negro mengajaknya ke kamar
sebuah hotel. Begitu berhasil melepas celana dalam
kawanku itu, si pelacur mendadak minta tambahan uang.”
George tersenyum. “Pelacur itu dihajarnya habis‐habisan.
Kurasa, pelacur itu kapok dan tak bakal mencoba berbuat
licik lagi pada orang lain.”
Dia punya gangguan kejiwaan, Peter Templeton
memutuskan. Kawannya itu tentu saja tak ada. Dia
membanggakan diri sendiri sambil bersembunyi di balik
bayangan orang lain. Lelaki ini seorang megalomaniak. Dia
sangat berbahaya.
bersembunyi di balik tedeng alingaling. Sedang kucoba buat
meruntuhkan benteng persembunyiannya.”
“Hati‐hati, Peter. Menurutku, dia itu sinting.”
Teringat olehnya Eve terbaring di ranjang bergelimang
darah.
“Kedua bersaudara kembar itu sama‐sama ahli waris
kekayaan keluarga yang besarnya ratusan juta. Betul?”
Peter bertanya.
Sekarang giliran John Harley yang ragu. “Ah, itu masalah
pribadi dalam keluarga mereka,” ujarnya. “Tapi, jawabnya
sih tidak. Nenek mereka memutuskan hak Eve sebagai ahli
waris. Alexandra akan mewarisi semuanya.”
Aku sangat kuatir akan Alexandra, Dr. Templeton. Dia
semakin murung saja. Dia tak hentihentinya bercerita
tentang kecelakaan—dia tenggelam, katanya. Aku bisa gila
kalau sampai terjadi sesuatu padanya.
Buat Peter Templeton itu semua kedengaran seperti
situasi pembunuhan klasik. Cuma, George Mellis sendiri
merupakan ahli waris kekayaan keluarganya yang juga
besar jumlahnya. Dia tak punya alasan buat membunuh
demi uang. Kau membayangkan yang bukanbukan, Peter
mengingatkan dirinya.
Seorang perempuan tenggelam di lautan dingin. Dia
mencoba berenang ke sampingnya. Tapi, ombak begitu
besar. Perempuan itu diayun ombak. Tunggu, teriaknya.
Aku ke situ. Dia berusaha berenang lebih cepat. Tapi, tangan
dan kakinya berat sekali. Dia menyaksikan perempuan itu
tenggelam lagi sehabis diayun ombak. Waktu sampai ke
tempat perempuan itu tenggelam tadi, dia memeriksa
sekelilingnya. Ada seekor ikan hiu raksasa berwarna putih
menghadangnya. Peter Templeton terbangun. Dia cepat
menyalakan lampu dan duduk di tempat tidurnya‐memikir‐
kan mimpinya tadi.
“Aku perlu tahu apakah dia punya uang.”
“Masya Allah! Keluarganya kan— “
“Maksudku, uangnya sendiri.”
“Akan kucek dulu, Peter. Tapi, ini sama saja dengan
buang waktu percuma. Keluarga Mellis kaya‐raya.”
“Ngomong‐ngomong, kalau kau menyuruh orang
menanyai ayah George Mellis, sebaiknya tanyanya hati‐hati.
Lelaki tua itu sering kena serangan jantung.”
“Oke, kumasukkan itu dalam telegramku nanti.”
Peter teringat akan mimpinya semalam. “Nick,
bagaimana kalau kau menelepon saja? Hari ini?”
Nada suara detektif itu berubah. “Ada yang hendak
kauceritakan padaku, Peter?”
“Tidak ada. Aku cuma ingin tahu. Biar aku yang
membayar biaya teleponnya nanti.”
“Tentu saja. Dan kau mesti mentraktirku makan sambil
bercerita tentang semua ini.”
“Beres.” Peter Templeton menaruh teleponnya. Dia
merasa sedikit lega.
Kate Blackwell merasa kurang enak badan. Dia sedang
bekerja di mejanya, menjawab telepon, waktu tiba‐tiba dia
merasakan serangan itu. Ruang kerjanya seperti
berputar‐putar. Kate berpegang erat‐erat pada mejanya
sampai semuanya kembali normal.
Brad masuk ke ruangan itu. Tampak olehnya wajah Kate
yang pucat‐pasi. “Kate, mengapa kau?”
Dia melepas pegangannya dari meja. “Tidak serius, cuma
sedikit pusing.”
“Kapan sih kau cek kesehatan yang terakhir?”
“Aku tak punya waktu buat yang begitu‐begituan, Brad.”
“Kau mesti cari waktu. Biar kusuruh Annette menelepon
Dokter Harley—membuatkan janji untukmu.”
“Pasti. Secepatnya. Salam buat Tina, Nick.”
Peter pun menarub gagang telepon. Banyak yang harus
dia pikirkan. George Mellis punya janji datang ke tempat
prakteknya siang itu.
***
Dr. John Harley sedang memeriksa pasiennya.
Sekretarisnya mengatakan, “Nyonya George Mellis ingin
bertemu, Dokter. Dia belum punya janji. Sudah kukatakan
kepadanya jadwal Anda—”
John Harley menyahut, “Suruh dia masuk lewat pintu
samping, dan bawa ke kantorku.”
Wajahnya lebih pucat dibanding tempo hari. Lingkaran
biru di sekitar matanya nampak lebih gelap. “Maafkan aku
mengganggumu seperti ini, John. Tapi— “
“Tidak apa‐apa, Alexandra. Ada apa?”
“Entah. Rasanya makin memburuk keadaanku.”
“Sudah kauminum Wellbutrin‐nya secara teratur?”
“Sudah.”
“Masih merasa murung dan tertekan?”
Tangannya diremas‐remas. “Lebih dari itu. Aku—aku
merasa putus asa. Rasanya aku tak bisa melakukan apa‐apa
sama sekali. Aku tak tahan begini. Aku kuatir‐kuatir... aku
mungkin melakukan yang tidak‐tidak nanti, John.”
Dr. Harley menghibur, “Sebenarnya tubuhmu sehat
sekali. Percayalah padaku. Penyebab dari semua ini adalah
emosi. Kuberi kau obat lain. Nomifensine. Sangat manjur.
Dalam beberapa hari pasti kaurasakan perbedaannya.”
John Harley menuliskan resep dan memberikan kepadanya.
“Kalau sampai Jumat nanti masih belum enak, datanglah
lagi. Mungkin sebaiknya kau kukirim ke psikiater.”
Setengah jam kemudian, sekembalinya ke apar‐
temennya, Eve menghapus krim alas rias wajah yang pucat
dari mukanya serta menggosok‐gosok celak biru di sekitar
matanya.
Waktu bergerak semakin cepat.
George Mellis duduk di seberang Peter Templeton.
Wajahnya tersenyum, penuh percaya diri.
“Bagaimana rasanya hari ini?”
“Jauh lebih baik, Dokter. Beberapa kali bertemu Anda
membuatku merasa tertolong sekali.”
“Oh, ya? Tertolong bagaimana?”
“Punya teman bicara rasanya enak. Itu prinsip Gereja
Katolik, bukan? Mengaku dosa?”
“Syukurlah kalau pertemuan denganku membuat Anda
merasa begitu. Bagaimana istri Anda? Keadaannya
membaik?”
Dahi George berkerut. “Kurasa tidak. Dia sudah menemui
Dr. Harley lagi. Tapi, makin hari makin sering saja dia
menyebut‐nyebut bunuh diri. Mungkin sebaiknya dia
kuajak berlibur. Dia butuh suasana yang lain.”
Mendengar ini Peter Templeton merasakan firasat tak
enak. Mungkin cuma imajinasinya saja yang berlebihan.
“Yunani tempat yang sangat menyenangkan,” Peter
berkata dengan nada biasa‐biasa saja. “Dia sudah pernah
Anda bawa ke sana—menemui keluarga Anda?”
“Belum. Keluargaku sudah ingin sekali bertemu dengan
Alexandra.” George tersenyum lebar. “Yang jadi masalah,
setiap kali aku ketemu Ayah, Ayah selalu memaksaku
kembali ke perusahaan kami.”
Saat itu, Peter merasa pasti bahwa Alexandra Mellis
dalam keadaan bahaya.
Lama setelah George Mellis pergi, Peter Templeton
duduk di ruang kerjanya—mempelajari catatan‐catatan
kecil di buku catatannya. Akhirnya dia meraih telepon dan
memutar nomornya.
“Aku butuh bantuanmu, John. Bisa kau cari tahu ke mana
George Mellis membawa istrinya berbulan madu?”
“Itu bisa kuberitahukan kepadamu sekarang juga.
Mereka kusuntik sebelum berangkat. Mereka pergi ke
Jamaica.”
Aku punya kawan yang suka menghajar pelacur… Aku
ingat, kami pernah bersama di Kamaica. Seorang pelacur
Negro mengajaknya ke kamar sebuah hotel. Begitu berhasil
melepas celana dalam kawanku itu, si pelacur mendadak
minta tambahan uang.... Pelacur itu dihajarnya habis
habisan. Kurasa, pelacur itu kapok dan tak bakal mencoba
berbuat licik lagi pada orang lain.
Meskipun begitu, dia tak punya bukti bahwa George
Mellis sedang merencanakan pembunuhan atas diri
istrinya. John Harley sendiri memberi keterangan, bahwa
Alexandra Mellis berkecenderungan punya keinginan
bunuh diri. Bukan urusanku, Peter berkata kepada dirinya
sendiri. Tapi, dia tahu itu urusannya.
Peter Templeton terpaksa bekerja buat membiayai
sekolahnya. Ayahnya penjaga sebuah sekolah di kota kecil
di Nebraska. Bahkan dengan beasiswa yang disediakan,
Peter tak bisa memasuki salah sebuah sekolah kedokteran
Ivy League. Dia lulus dari Universitas Nebraska dengan
predikat sangat memuaskan. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya ke bidang kejiwaan. Dia sukses dari mula.
Rahasianya, dia memang menyukai orang lain dengan
segenap hatinya. Dia ikut merasakan dan memikirkan nasib
mereka. Alexandra Mellis bukan pasiennya. Tapi dia merasa
tersangkut dalam masalah yang dihadapi. Alexandra Mellis
merupakan sebagian dari teka‐teki yang sepertinya hilang.
Bertemu dengannya mungkin bisa memecahkan
masalahnya. Peter memeriksa arsip George Mellis, mencari
nomor telepon rumahnya. Dokter jiwa itu menelepon ke
***
Eve membukakan pintu. Dia bengong, tak percaya
melihat yang ada di depannya. Neneknya berdiri di luar.
Tegap seperti dulu. Sama sekali tak kelihatan lemah.
“Boleh masuk?” tanya Kate.
Eve minggir, tak percaya akan apa yang sedang terjadi.
“Tentu.”
Kate masuk dan mengamati apartemen kecil cucunya.
Tapi, dia tak memberi komentar. “Boleh duduk?”
“Maaf. Silakan. Maafkan aku—begini. Ini sangat—Mau
minum apa? Teh, kopi, atau lainnya?”
“Tak perlu, Eve. Terima kasih. Kau sehat‐sehat, Eve?”
“Ya. Terima kasih, Nek. Aku sehat.”
“Aku baru saja dari tempat Dr. John. Dia memberi tahu
kau baru mengalami kecelakaan hebat.”
Eve mengamati neneknya dengan hati‐hati. Dia tak pasti
apa yang selanjutnya akan diucapkan neneknya. “Ya...”
“Dia bilang... kau hampir mati. Dia juga bilang, kau
melarangnya memberi tahu aku karena kau takut aku
panik.”
Jadi itu yang jadi sebabnya. Eve merasa punya tempat
berpijak yang lebih pasti sekarang. “Betul, Nek.”
“Buatku, itu menunjukkan, bahwa—”mendadak suara
Kate tersendat, “kau menyayangiku.”
Eve merasa lega bukan main. “Tentu saja aku sayang
sama Nenek. Dari dulu juga sayang.”
Sesaat kemudian, Eve sudah berada dalam pelukan
neneknya. Kate memeluk Eve erat‐erat sambil mencium
kepala berambut pirang di pangkuannya. Dia berbisik, “Aku
ini tolol. Kau mau memaafkan aku, kan, Eve?” Kate
mengeluarkan saputangan dan membersihkan ingus di
hidungnya. “Aku terlalu keras memperlakukanmu,” tukas‐
nya. “Bayangkan kalau sesuatu sampai terjadi padamu. Aku
takkan bisa memaafkan diriku.”
Eve mengelus tangan neneknya yang berotot biru.
Belaiannya lembut menghibur. “Aku tidak apa‐apa kok,
Nek. Segalanya baik‐baik saja.”
Kate berdiri. Dia mengerjapkan matanya agar tak
menangis. “Kita mulai lagi dari awal. Oke?” Dia menarik Eve
hingga, berdiri berhadap‐hadapan dengannya. “Aku selama
ini keras kepala—seperti ayahku. Akan kuubah itu. Yang
pertama‐tama hendak kulakukan adalah mengembalikan
kau sebagai ahli waris dalam surat wasiatku. Itu hakmu,
Nak.”
Kejadian ini seperti mimpi! “Aku tak peduli dengan
uangnya, Nek. Yang paling penting buatku cuma Nenek.”
“Kau ahli warisku—kau dan Alexandra. Kalian berdua
darah dagingku.”
“Sebetulnya, aku sudah puas hidup begini,” ujar Eve.
“Tapi, kalau hal itu akan membuat Nenek merasa lebih
senang— “
“Aku akan merasa senang sekali, Sayang.
Sungguh‐sungguh senang dan bahagia. Kapan kau bisa
pindah kembali dan tinggal bersamaku?”
Sejenak, Eve merasa ragu. “Mungkin, yang paling baik
aku tetap tinggal di sini. Tapi, aku berjanji akan
sering‐sering menengok Nenek. Oh, Nek, Nenek pasti tak
tahu betapa kesepiannya aku selama ini.”
Kate meraih tangan cucunya. “Kau mau memaafkanku,
kan, Eve?”
Eve menatap mata neneknya. Katanya dengan
bersungguh‐sungguh, “Tentu saja aku memaafkan Nenek,
Nek.”
Begitu neneknya pulang, Eve mencampur minuman lalu
menjatuhkan diri di kursi memikirkan kejadian barusan.
Jumat, pukul 7 petang.
George Mellis sudah berulang kali mempelajari rencana
Eve. Tak ada cacatnya sama sekali. Akan ada selancar motor
menunggumu di Philbrook Cove. Bawa selancar itu ke Dark
Harbor dan jangan sampai kau kelihatan. Tambatkan di
buritan Corsair. Bawa Alexandra berlayar ketika terang
bulan. Sesudah berada jauh di laut, lakukan apa saja yang
terpikir olehmu, George—yang penting, jangan sampai
meninggalkan bercak darah. Ceburkan tubuhnya ke laut,
cepat naik ke selancar dan tinggalkan Corsair terapung.
Bawa kembali selancarnya ke Philbrook Cove, kemudian
naiklah feri Lincolnville ke Dark Harbor. Dari dermaga,
ambil saja taksi buat membawamu ke rumah. Cari alasan
supaya sopir taksinya ikut masuk, biar kalian duaduanya
menyaksikan Corsair tak ada di dermaga. Begitu tahu
Alexandra pergi, kau cepat panggil polisi.
Polisi tak bakal menemukan tubuh Alexandra. Pasti sudab
dibawa ombak ke lautan. Dua dokter kenamaan bisa
memberi kesaksian, bahwa sangat mungkin kematiannya
diakibatkan bunuh diri.
George mendapatkan selancar motor buatnya siap di
Philbrook Cove, menantinya, sesuai dengan rencana.
Tanpa menyalakan lampu dan hanya memanfaatkan
cahaya bulan, dia mengemudikan selancar itu. Tanpa
ketahuan, dia melewati beberapa perahu lain yang sedang
berlabuh, dan akhirnya tiba di wilayah pantai rumah
keluarga Blackwell. Mesinnya dia matikan sementara tali
penambatnya dia lemparkan ke Corsair, perahu pesiar
keluarga Blackwell yang berukuran besar.
Alexandra sedang mengobrol di telepon waktu George
masuk. Melambaikan tangan, dia menutupi lubang bicara
telepon dengan tangan satunya sambil memberi tahu,
“Eve.” Sesaat dia mendengarkan suara di sebelah sana
telepon. Kemudian katanya, “Aku mesti pergi sekarang, Eve.
Alexandra melihat ada selancar motor kecil tertambat di
buritan Corsair. “Buat apa itu, Sayang?”
“Ada pulau kecil di ujung teluk sebelah sana. Sudah lama
aku kepingin menjelajah pulau itu”, jelas George. “Nanti kita
naik selancar kecil itu ke sana. Dengan selancar kecil, kita
tak perlu kuatir menabrak karang.”
George melepaskan tali penambat, lalu perlahan‐lahan
mengeluarkan Corsair dari wilayah dermaga‐menuju ke
arah datangnya angin agar layar utama dan layar
topangnya mengembang. Perahu itu pun bergerak ke
kanan. Angin mengembus layarnya yang lebar, dan Corsair
pun bergerak maju. George mengarah ke laut lepas. Selepas
mereka dari lingkungan teluk, perahu itu mulai miring.
Terali pagar deknya naik‐turun.
“Hm, bebas dan indahnya, George! Aku bahagia sekali,
Sayang.”
George tersenyum. “Aku juga Ebook by : Hendri Kho by
Dewi KZ http://kangzusi.com/.”
Entah mengapa, George Mellis merasa puas Alexandra
merasa bahagia. Setidaknya, dia akan mati dalam
kebahagiaan. George mengamati cakrawala, memastikan
tak ada kapal atau perahu lain di sekitar situ. Cuma ada
cahaya lemah samar‐samar di kejauhan. Waktunya sudah
tiba.
Kemudi perahu ia pindahkan ke otomatis.
Sembari sekali lagi mengamati cakrawala, George Mellis
menuju ke terali pagar dek. Hatinya berdebar penuh gairah.
l
“Alex,” serunya. “Coba lihat ini.”
Alex bergegas berlari mendapatkan George.
Kini matanya memandang air dingin yang gelap
membuncah di bawah sana.
“Ayolah, Sayang.” Suaranya serak, bernada memerintah.
“Apa, Tuan Mellis ada di situ?” tanya Alexandra.
“Tidak ada, Nyonya Mellis. Katanya Anda berdua akan
berakhir pekan di luar.”
Tak ada sebab yang masuk akal mengapa George belum
juga sampai. Jangan‐jangan ada urusan penting di kantor
yang mendadak mengganggu jadwalnya. Mitra George
selalu memberikan segala pekerjaan kepada George.
Tunggu saja. Dia pasti datang sebentar lagi. Alexandra
memutar nomor telepon Eve.
“Eve!” seru Alexandra. “Kutunggu kau di La Guardia
sampai dua jam lebih. Kenapa?”
“Kau yang kenapa? Aku menunggumu di Kennedy.
Waktu kau tak juga muncul‐“
“Kennedy! Kaubilang tadi La Guardia.”
“Bukan, Alex. Aku bilang Kennedy.”
“Tapi—” Sudah tak ada artinya lagi. “Maaf,” ujar
Alexandra. “Mungkin aku salah tangkap. Bagaimana
keadaanmu? Baik‐baik, kan?”
Kata Eve, “Sekarang sudah baik. Tadi... ya, ampun! Aku
terlibat dengan seorang lelaki‐tokoh politik besar di
Washington. Dia cemburu setengah. mati lalu—” Eve
tertawa. “Detilnya tak bisa kubicarakan lewat telepon.
Kepanjangan. Hari Senin saja kuceritakan.”
“Oke, sahut Alexandra. Dia lega bukan main.
“Selamat bersantai,” kata Eve. “Bagaimana George?”
“Dia belum datang.” Alexandra berusaha agar suaranya
tak kedengaran kuatir. “Pasti tertunda oleh urusan kerjaan
lagi dan tak sempat meneleponku.”
“Pasti sebentar lagi juga datang. Selamat malam, Alex.”
“Selamat malam, Eve.”
Alexandra menaruh telepon dan berpikir,
Mudahmudahan Eve dapat lelaki yang baik. Lelaki yang
baik dan penyayang seperti George. Alexandra menilik jam
di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam sebelas.
Masakan sampai sekarang dia belum bisa juga menelepon?
Alexandra memutar nomor telepon kantor George. Tak ada
sahutan. Dia mencoba menelepon ke klab yang biasa
didatangi suaminya. Tuan Mellis belum kelihatan ke situ,
terdengar jawaban. Menjelang tengah malam, Alexandra
mulai panik. Jam satu kepanikannya memuncak. Dia tak
tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin saja George keluar
membawa pelanggannya dan tak bisa menemukan telepon.
Atau, mungkin saja mendadak dia mesti terbang entah ke
mana dan tak bisa mengabari dulu sebelum berangkat.
Pasti sebabnya sederhana. Kalau dia menelepon polisi dan
mendadak George datang, dia akan seperti orang tolol.
Jam 2 pagi, Alexandra menelepon polisi. Di Pulau
Islesboro sendiri tak ada pos polisi. Pos polisi terdekat
letaknya di Waldo County.
Suara yang menyahut kedengaran mengantuk,
“Pos Polisi Waldo County—Sersan Lambert.”
“Ini dari Nyonya George Mellis di Cedar Hill House.”
“Ya, Nyonya Mellis.” Suaranya mendada sigap. “Bisa kami
bantu?”
“Terus‐terang, aku sendiri tak merasa pasti,” Alexandra
berkata ragu. “Suamiku berjanji datang menemuiku di sini
petang tadi, tapi dia belum jug muncul.”
“Oh.” Banyak yang tersirat dari sepatah kata itu. Sersan
itu tahu paling tidak ada tiga alasan yang menyebabkan
seorang suami belum sampai ke rumah pada jam dua
subuh: cewek berambut pirang, coklat, atau merah.
Tapi, dengan bijaksana sersan itu bertanya,
“Mungkinkah‐ada suatu urusan yang menyebabkan
kedatangannya tertunda?”
“Kalau begitu, dia biasanya—menelepon.”
“Tapi, Anda tentu tahu sendiri, Nyonya Mellis. Terkadang
ada suatu situasi yang membuat seseorang menelepon pun
tak bisa. Tunggu saja dulu.”
Dugaannya betul. Dia merasa seperti orang tolol. Tentu
saja polisi tak bisa apa‐apa. Pernah dia baca, entah di mana,
bahwa polisi takkan berusaha mencan sampai seseorang
dinyatakan hilang lebih dari dua puluh empat jam. Dan,
demi Tuhan, George bukan hilang. Dia cuma terlambat.
“Baiklah,” ujar Alexandra. “Maaf, aku mengganggu Anda.”
“Tidak apa‐apa, Nyonya Mellis. Kurasa, dia pasti
menumpang feri pertama‐jam tujuh pagi besok.”
George tak datang dengan feri yang datangnya jam tujuh
esok paginya. Dia tak ada juga di feri berikutnya. Alexandra
menelepon rumah mereka di Manhattan lagi. George tak
ada di sana.
Alexandra merasa dicekam ketakutan. Jangan‐jangan
George mendapat kecelakaan, sakit, atau mati. Ah,
seandainya saja tak terjadi salah paham dengan Eve di
bandara! Mungkin George sudah datang. Ketika tahu dia tak
ada di sana, George pergi lagi. Tapi, kalau itu yang terjadi,
dia pasti meninggalkan pesan. Jangan‐jangan dia dirampok
atau diculik. Alexandra masuk‐keluar ruangan Cedar Hill
House—mencari‐cari yang bisa dijadikan jejak. Tak ada
yang aneh. Dia lalu menuju ke dermaga. Corsair ada di
situ‐tertambat aman di dermaga.
Dia menelepon pos polisi Waldo County lagi. Kali ini
teleponnya diterima oleh Letnan Philip Ingram, seorang
veteran yang sudah dua puluh tahun bertugas di sana. Dia
sudah tahu bahwa George Mellis tidak pulang semalaman.
Itu jadi topik pembicaraan utama di pos subuh tadi.
Katanya kepada Alexandra, “Masih belum ada jejak sama
sekali, Nyonya Mellis? Baiklah. Aku sendiri akan ke situ.”
Dia merasa pasti itu cuma akan buang‐buang waktu.
lain tak jauh dari sana, dia juga menyewa perahu motor lain
dan membawanya ke Dark Harbor. Di sana dia menanti
kedatangan George. Pria itu sama sekali tak curiga apa‐apa.
Eve sudah membersihkan dulu dek Corsair agar tak
menunjukkan tanda apa pun sebelum mengembalikan
kapal pesiar itu ke dermaga tempatnya selalu ditambatkan.
Lalu perahu motor George dia seret dengan perahu kedua
yang disewanya, dan dia kembalikan ke tempatnya semula.
Sehabis mengembalikan perahu motor sewaannya, Eve
terbang kembali ke New York—menanti telepon Alexandra.
Dia merasa pasti Alexandra akan menelepon.
Kejahatan terselubung hebat yang baru saja
dilakukannya. Polisi mengira George menghilang secara
misterius.
Penyiar mengatakan, “Berita lain yang kami terima...”
Eve mematikan pesawat televisinya.
Dia tak mau terlambat. Dia punya janji ketemu dengan
kekasihnya, Rory McKenna.
Jam enam pagi esok harinya, seorang nelayan
menemukan tubuh George Mellis terdampar di pantai
Teluk Penebscot. Semula dikabarkan kematiannya
diakibatkan kecelakaan. Tetapi, makin banyak informasi
yang diterima, isi ceritanya pun mulai berubah. Dari kantor
penyelidik kasus kematian, dikabarkan, bahwa luka yang
tadinya dikira bekas gigitan ikan hiu ternyata bekas
tusukan belati. Surat kabar sore memberitakan: KEMATIAN
GEORGE MELLIS DIDUGA AKIBAT PEMBUNUHAN...
JUTAWAN DITIKAM MATI.
Letnan Ingram mempelajari gambaran arah arus sehari
sebelumnya. Sesudah selesai, dia bersandar di kursinya.
Rupanya bingung. Tubuh George Mellis pasti sudah
terhanyutkan ombak ke lautan seandainya tidak tersangkut
terbunuh. Mana mungkin? Sama sekali tidak beralasan ada
orang yang sampai membunuhnya. Kata polisi, ada bekas
tikaman pisau di dadanya. Pasti mereka itu salah. George
mengalami kecelakaan. Takkan ada orang yang punya
niatan membunuhnya.... Takkan ada.... Obat penenang yang
diberikan Dr. Harley akhirnya mengalahkan Alexandra. Dia
terlelap.
Eve kaget bukan main mendengar kabar tentang
ditemukannya tubuh George. Mungkin ada baiknya, pikir
Eve. Pasti Alexandra yang dicurigai. Dia yang ada di sana—
di pulau itu.
Kate duduk di samping Eve di bangku ruang tengah.
Beritanya membawa kejutan besar buat Kate.
“Mengapa ada orang yang berniat membunuh George?”
tanyanya.
Eve cuma menghela napas. “Aku tak tahu, Nek. Sama
sekali tak punya bayangan. Kasihan si Alex.”
Letnan Ingram menanyai penjaga yang bertugas di feri
Lincolnville‐Islesboro. “Kau bisa memastikan bahwa baik
Tuan maupun Nyonya Mellis tak ada yang datang kemari
Jumat siang?”
“Yang pasti, mereka tidak datang pada jam kerjaku, Phil.
Sudah kutanyakan pada yang bertugas pagi harinya. Tapi,
dia pun tidak melihat mereka datang. Pasti mereka datang
menumpang pesawat.”
“Satu pertanyaan lagi, Lew. Ada orang tak kaukenal yang
menyeberang dengan feri hari jumat?”
“Astaga,” ujar si petugas, “kau kan tahu sendiri bahwa
pada bulan‐bulan begini tak ada orang asing datang ke
pulau itu. Musim panas sih, ada satu‐dua turis yang datang.
Tapi, bulan November gini ... ?”
Letnan Ingram lalu menemui manajer lapangan terbang
Islesboro. “Bisa kupastikan George Mellis tidak datang
dengan pesawat petang itu, Phil. Pasti dia datang naik feri.”
“Lew bilang dia tak melihat lelaki itu.”
“Lalu... masakan dia datang berenang?”
“Bagaimana dengan istrinya‐Nyonya Mellis?”
“Ya. Dia memang, terdaftar datang menumpang pesawat
pantai yang datang jam sepuluhan. Anakku, Charley, yang
mengantar dia ke Cedar Hill dari sini.”
“Bagaimana keadaannya waktu datang?”
“Aneh kau menanyakan itu. Dia seperti orang
kebingungan. Anakku saja memperhatikan hal itu. Biasanya
dia selalu kalem, bertegur sapa dengan siapa saja yang dia
temui. Tapi, malam itu dia nampak sangat terburu‐buru.”
“Satu pertanyaan lagi. Ada orang asing yang datang
menumpang pesawat siang atau petang itu? Wajah yang tak
kaukenal, maksudku.”
Dia menggeleng. “Tak ada. Semua yang biasa datang.”
Sejam kemudian, Letnan Ingram bicara dengan Nick
Pappas lewat telepon. “Sejauh ini yang berhasil
kudapatkan, “ ucapnya pada detektif New York itu, “malah
bikin pusing. Jumat malam Nyonya Mellis tiba menumpang
pesawat pribadi di lapangan terbang Islesboro. Dia datang
kira‐kira jam sepuluh. Suaminya tak bersama dia. Juga tidak
diketahui datang menumpang pesawat maupun feri. Tak
ada bukti sama sekali, bahwa George Mellis berada di pulau
itu pada hari Jumat.”
“Kecuali arus.”
“Yeah.
“Pembunuhnya mungkin melemparkan dia ke laut dari
perahu. Dikiranya, tubuh itu bakal dihanyutkan ombak ke
laut. Corsair sudah kauperiksa?”
“Sudah. Tidak ada tanda‐tanda bekas dilakukan
kekerasan, tak ada bercak darah.”
“Tak keberatan kalau kubawa jaksa ke situ?”
“Tidak, asal kauingat janji kita Ebook by : Hendri Kho by
Dewi KZ http://kangzusi.com/.”
“Tentu. Sampai besok.”
Nick Pappas beserta tim ahli tiba keesokan paginya.
Letnan Ingram menemani mereka ke dermaga keluarga
Blackwell, tempat Corsair bersandar. Dua jam kemudian,
tim ahli dari kejaksaan mengatakan, “Nampaknya kita bakal
berhasil, Nick. Ada bekas darah di bagian bawah terali
pagar dek ini.”
Siang harinya, laboratorium kepolisian memastikan,
bahwa bercak darah itu sama dengan golongan darah
George Mellis.
Kantor polisi seksi daerah mewah Manhattan sedang
sibuk luar biasa. Pengguna obat terlarang narkotika yang
semalam tertangkap mengisi penjara melebihi kapasitas.
Sementara sel tahanan dipenuhi oleh pelacur, pemabuk,
dan pemerkosa. Keributan dan bau busuk berlomba
mendapatkan perhatian Peter Templeton sementara lelaki
itu lewat menuju ruang kantor Letnan Detektif Nick Pappas.
“He, Peter. Kok tumben mampir?”
Beberapa saat sebelumnya Pappas berkata lewat
telepon, “Ada yang kaurahasiakan terhadapku, Sobat.
Datanglah ke kantorku sebelum jam enam. Kalau tidak,
terpaksa kukirim pasukan buat memaksamu kemari.”
Ketika mereka sudah berdua saja di ruang kerja Nick,
Peter bertanya, “Ada apa sih, Nick?”
“Baiklah. Sekarang hendak kuceritakan yang bikin aku
pusing. Ada orang yang cerdik. Kau sudah dengar hasil
penemuan barusan? Mayat lelaki yang dinyatakan hilang
dari pulau yang tidak dikunjunginya.”
“Itu tak masuk akal.'
Nomifensine. Aku belum tahu apakah obat yang belakangan
itu menolong atau tidak.”
Nick Pappas duduk diam. Pikirannya sibuk
menghubung‐hubungkan fakta yang didengarnya. Dia
kemudian memandang dokter di depannya. “Ada lagi yang
lain?”
“Cuma itu, Letnan. Tak ada lagi lainnya.”
Ada yang lain, sebenarnya. Dokter John Harley merasa
tak enak. Dia sengaja tidak menyebut‐nyebut tentang kasus
penganiayaan Eve Blackwell oleh George Mellis. Salah satu
sebabnya, karena seharusnya dia melapor pada polisi
begitu hal itu terjadi. Tapi, yang terutama, karena John
Harley ingin melindungi keluarga Blackwell. Dia tak tahu
apakah kasus penganiayaan Eve ada hubungannya dengan
kematian George Mellis. Tapi, firasatnya mengatakan, lebih
baik tak menyebut‐nyebut tentang kejadian itu. Dia
bermaksud melakukan apa saja buat melindungi Kate
Blackwell.
Seperempat jam kemudian, perawatnya mengatakan,
“Dr. Keith Webster ingin bicara dengan Anda, Dokter. Di
saluran dua.”
Sepertinya rasa bersalah dalam hatinya menjadi semakin
dalam.
Keith Webster berkata, “John, aku ingin mampir ke
tempatmu sore nanti. Ada waktu?”
“Diusahakan ada, dong. Jam berapa?”
“Jam lima, bagaimana?”
“Baik, Keith. Sampai nanti.”
Jadi, masalahnya ternyata tak bisa dibuat diam dengan
gampang.
Jam lima sore, Dr. Harley mempersilakan Keith Webster
masuk ke ruang kerjanya. “Mau minum apa?”
Meninggalkan tempat praktek Dr. Harley, Keith Webster
tak habis‐habisnya berpikir. Dia yakin benar, bahwa tak ada
setitik noda pun yang membekas pada wajah jelita Eve
Blackwell. Tapi, John Harley menyebutkan dia melihat
sendiri bekasnya. Mungkin saja Eve mengalami kecelakaan
lagi sehabis kecelakaan sebelumnya yang menyebabkan
adanya goresan di keningnya. Tapi, mengapa Eve
berbohong? Tak masuk akal.
Keith mencoba menilik masalah itu dari berbagai segi
serta menelusuri berbagai kemungkinan. Ketika akhirnya
dia mencapai suatu kesimpulan, pikirnya, Seandainya
perkiraanku ini benar, ini bisa mengubah bidupku....
Pagi‐pagi sekali esok harinya, Keith Webster menelepon
Dr. Harley. “John,” mulainya, “maaf aku teypaksa
mengganggumu lagi. Kaubilang kemarin, Eve Blackwell
menemuimu dan menceritakan masalah adiknya—
Alexandra?”
“Ya. Betul. “
“Setelah kunjungan Eve, apakah kebetulan Alexandra
datang berkonsultasi padamu?”
“Betul. Alexandra datang kemari sehan sesudahnya.
Mengapa?”
“Cuma ingin tahu saja. Boleh aku tahu mengapa adik Eve
berkonsultasi?”
“Alexandra mengalami depresi hebat. Eve berusaha
menolongnya.”
Eve dianiaya sampai hampir mati oleh suami Alexandra.
Sekarang lelaki itu sudah mati—di‐bunuh—dan Alexandra
yang dituduh sebagai pembunuhnya.
Keith Webster menyadari bahwa otaknya tidak begitu
cemerlang. Di sekolah, dia mesti belajar keras agar bisa
memperoleh angka pas‐pasan untuk naik kelas. Dia selalu
jadi bulan‐bulanan kawan‐kawan sekelasnya. Olahraga tak
bisa, hampir bodoh dalam pelajaran, dan kaku bergaul.
Detektif Letnan Nick Pappas punya masalah. Dia merasa
pasti tentang siapa pembunuh George Mellis, tapi dia tak
punya bukti. Dia dihadapkan pada kebisuan yang
melingkupi keluarga Blackwell dan tak berhasil
menembusnya. Masalahnya dia bicarakan dengan
atasannya, Kapten Harold Cohn, polisi jalan raya yang
berhasil meniti karir sampai pada kedudukannya yang
sekarang ini.
Cohn mendengarkan semua yang diucapkan Pappas
dengan penuh perhatian. Katanya, “Semuanya itu masih
merupakan asap, Nick. Kau belum punya bukti sedikit pun.
Orang pasti menertawakanmu di pengadilan nanti.”
“Itulah,” desah Letnan Pappas. “Tapi, aku pasti teoriku
ini benar.” Dia duduk diam beberapa saat lamanya,
berpikir. “Bagaimana kalau aku bicara dengan Kate
Blackwell? Kau keberatan?”
“Astaga! Buat apa?”
“Yah, buat sekadar memancing‐mancing. Begitulah. Dia
yang mengepalai keluarga itu. Siapa tahu dia punya
informasi yang tanpa sadar sebenarnya dia miliki.”
“Kau mesti hati‐hati.”
“Tentu.”
“Jangan terlalu mendesaknya, Nick. Ingat. Dia sudah tua.”
“Justru itu yang kuperhitungkan,” sahut Detektif Pappas.
Pertemuannya berlangsung siang itu di ruang kerja Kate,
di kantornya. Nick Pappas mengira‐ngira Kate sudah
berusia delapan puluhan. Tapi, buat orang seusianya,
perempuan itu luar biasa mengagumkan. Ketegangannya
menghadapi detektif itu hampir tak kelihatan sama sekali.
Orangnya sangat tertutup. Selama ini dia terpaksa menjaga
nama baik keluarga Blackwell agar tak dijadikan sumber
spekulasi dan skandal oleh masyarakat.
membayar tunai. Tapi, dia diminta menandatangani lembar
bukti menyewa. Dia, memakai nama Solange Dunas. Anda
kenal nama itu.
“Ya. Dia—dia pengasuh cucu‐cucuku waktu mereka
masih kecil. Tapi, setahuku dia sudah pulang ke Prancis
bertahun‐tahun yang lampau.”
Pappas mengangguk. Raut wajahnya menunjukkan
kepuasan. “Di tempat penyewaan lain tak jauh dari sana,
perempuan yang sama menyewa satu perahu motor lagi.
Dia membawa perahu motor yang ini pergi dan
mengembalikan kira‐kira tiga jam kemudian. Di tempat
penyewaan yang ini pun dia menggunakan nama Solange
Dunas. Kepada kedua petugas di tempat penyewaan perahu
motor kutunjukkan potret Alexandra. Mereka memastikan,
bahwa dialah yang datang menyewa motor. Yang membuat
ragu cuma satu, perempuan yang datang menyewa perahu
motor berambui merah.”
“'Lalu, mengapa Anda— “
“Dia mengenakan rambut palsu, tentu.”
Dengan kaku Kate berkata, “Aku tak percaya Alexandra
membunuh suaminya.”
“Aku juga tidak, Nyonya Blackwell,” kata Letnan Pappas.
“Yang membunuh Eve, kakaknya.
Kate Blackwell membisu seperti batu.
“Dan lagi, Alexandra tak mungkin menjadi pelakunya.
Aku sudah menyelidiki apa saja yang dilakukan Alexandra
pada hari nahas itu. Pagi sampai siang hari dia berada di
New York bersama seorang kawan. Lalu dia terbang lang‐
sung dari New York menuju ke pulau. Pasti bukan dia yang
menyewa kedua perahu motor itu.” Detektif Nick Pappas
maju sedikit. Lanjutnya, “Jadi kemudian aku mencoba
mencari siapa yang mirip dengan Alexandra dan mengaku
namanya Solange Dunas. Cuma ada satu kemungkinan. Eve.
Aku lalu mencari latar belakang yang mungkin menjadi
“Sebabnya sangat sederhana. Aku mencintaimu, Eve.”
“Aku benci kau. Mengerti! Aku jijik melihatmu!”
Keith tersenyum. Sedih. “Aku sangat mencintaimu.”
Perjalanan pesiar dengan Alexandra akhirnya
dibatalkan. “Aku hendak ke Barbados—berbulan madu,”
ujar Eve kepadanya.
Barbados merupakan pilihan Keith.
“Aku tak mau ikut,” kata Eve datar. Membayangkan
dirinya berbulan madu dengan Keith membuatnya merasa
jijik.
“Kelihatannya aneh kalau kita sampai tak berbulan
madu,” ucap Keith malu‐malu. “Lagi pula, kita tak kepingin
orang menanyakan hal‐hal yang sukar dijawab, kan?”
Alexandra mulai sering bertemu dengan Peter
Templeton. Mereka jumpa buat makan siang bersama
sekali sepekan. Mulanya karena Alexandra ingin bicara
tentang George dan tak ada orang lain yang bisa diajak
mendiskusikan mendiang suaminya. Tapi, setelah.
beberapa bulan, Alexandra mengakui, bahwa dia merasa
senang bersama Peter Templeton. Orangnya teguh,
Alexandra bisa menggantungkan diri padanya. Itulah yang
amat dibutuhkan oleh Alexandra. Peter Templeton sangat
peka terhadap perasaan dan emosinya. Di samping itu,
lelaki itu sangat cerdas dan bisa menghibur.
“Waktu aku baru lulus dan mulai bertugas di rumah
sakit,” ujarnya pada Alexandra, “kunjungan ke rumah
pasien yang pertama kulakukan di tengah‐tengah musim
salju. Pasien itu seorang lelaki tua—terbaring di ranjang
menderita batuk hebat. Aku hendak memeriksa dadanya
dengan stetoskop. Tapi, aku takut dia terkejut oleh
dinginnya alat itu. Kucoba untuk menghangatkan dulu
stetoskopku. Alat itu kutaruh di atas radiator sementara
aku memeriksa tenggorokan dan matanya. Lalu kuambil
“Kapan aku boleh lihat?”
“Hari Jumat nanti pasti sudah sembuh bekasnya,” ujar
Keith menghibur.
Dia minta agar perawat memberi sambungan telepon
pribadi di kamarnya. Yang pertama‐tama ditelepon Eve
adalah Rory.
“He, ke mana saja kau?” tanyanya. “Aku kangen.”
“Aku juga, Sayang. Tapi, aku terjebak di konvensi
kedokteran di Florida ini. Mungkin baru minggu depan aku
bisa pulang.”
“Cepatlah pulang.”
“Kau kehilangan aku, ya?”
“Kaya orang gila rasanyaa.
Eve mendengar bisikan di ujung sebelah sana. “Ada
orang lain di situ?”
“Yeah! Kami mau pesta.” Rory memang suka bercanda.
“Pergi dulu, ya!” Sambungan telepon putus.
Eve menelepon Alexandra. Dengan bosan dia
mendengarkan adiknya bercerita tentang kehamilannya.
“Aku sudah tak sabar menunggu,” ujarnya. “Sudah lama
ingin jadi tante.”
Eve jarang bertemu dengan neneknya. Sikap neneknya
mendadak dingin. Eve tak mengerti apa sebabnya. Nanti
juga baik lagi, pikir Eve.
Kate tak pernah menanyakan tentang Keith. Dan Eve tak
menyalahkan neneknya, Keith memang bukan apa‐apa.
Mungkin suatu hari kelak dia bisa minta bantuan Rory buat
melepaskan dia dari Keith. Dengan begitu, Rory bisa jadi
pasangannya selamanya. Eve merasa hebat dia bisa
bermain dengan lelaki lain di belakang suaminya setiap
hari tanpa suaminya curiga atau peduli. Untunglah, Keith
punya keahlian khusus. Perbannya akan dibuka hari Jumat
mendatang.
Eve terbangun pagi‐pagi sekali pada hari Jumat. Dia tak
sabar menunggu kedatangan Keith.
“Sudah hampir tengah hari,” gerutunya. “Dari mana saja
kau?”
“Maafkan aku, Sayang,” ujar Keith. “Sepagian aku di
ruang operasi dan—”
“Aku tak peduli. Cepat lepas perban ini. Aku ingin
melihat hasilnya.”
“Baik.”
Eve duduk tenang sementara Keith dengan cekatan
melepas perban dari wajahnya. Dia berdiri mundur,
mengamati wajah istrinya. Pancaran rasa puas nampak
pada sinar matanya. “Hm, sempurna.”
“Beri aku cermin.”
Keith buru‐buru keluar dari kamar istrinya dan kembali
beberapa menit kemudian membawa cermin tangan.
Dengan senyum bangga, diberikannya cermin itu pada
istrinya.
Eve mengangkat cermin itu perlahan‐lahan. Ketika
melihat pantulan wajahnya di sana, dia menjerit.
EPILOG
KATE
1982
36
KATE merasakan perputaran waktu makin cepat dan
cepat setiap hari. Tanpa terasa musim dingin sudah
berubah menjadi musim semi, lalu musim panas menjadi
musim gugur. Akhirnya, semua musim dan tahun yang
dilaluinya seperti berbaur menjadi satu. Dia sudah hampir
sembilan puluh tahun. Delapan puluh berapa, ya?
Terkadang dia lupa berapa tepatnya umurnya sendiri.
Menghadapi ketuaan dia bisa mengatasi. Tapi, dia tak mau
kelihatan tua dan ringkih. Itu sebabnya Kate sangat
memperhatikan penampilannya. Kalau bercermin, dia
melihat pantulan dirinya sebagai perempuan yang tegap
dan rapi, anggun dan pantang menyerah.
Dia masih pergi ke kantor setiap hari. Tapi, itu cuma
sebagai isyarat—cara menunda kematian. Dia masih
menghadiri setiap rapat direksi, namun masalah yang
dibicarakan tak lagi jelas seperti dulu. Rasanya orang di
sekitarnya bicara terlalu cepat. Yang paling menjengkelkan
Kate, pikirannya sering kacau. Dulu dan sekarang seolah
berbaur selalu. Dunianya tertutup dan makin hari makin
terasa sempit.
Satu‐satunya tali tempatnya bergantung dan dorongan
buat bertahan adalah cita‐citanya mendapatkan keturunan
keluarga yang kelak bisa menjalankan Kruger‐Brent. Kate
tak punya niatan membiarkan orang luar mengambil alih
semuanya yang dirintis oleh Jamie McGregor dan Margaret
dan kemudian diteruskan dengan susah payah dan banyak
pengorbanan oleh David dan dirinya. Eve, yang menjadi
harapannya, ternyata seorang pembunuh. Dia tak normal!
Kate belum menghukum Eve. Baru sekali dia ketemu Eve
lagi. Nasibnya sekarang sudah merupakan hukuman yang
setimpal.
Pada hari Jumat waktu Eve melihat pantulan wajahnya
di cermin itu, dia berusaha bunuh diri. Dia menelan sebotol
obat tidur. Tapi Keith cepat memompa isi perutnya dan
membawa Eve pulang. Di situ dia menunggui istrinya terus.
Kalau dia harus ke rumah sakit, selalu dipastikan ada
perawat khusus yang menunggui istrinya.
buyutnya. Ada pancaran kasih sayang di matanya. “Ingatlah,
Robert, aku tak bisa menjanjikan apa‐apa. Tapi, aku akan
berusaha membantumu. Aku kenal kawan dekat Zubin
Mehta.”
TAMAT