Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SEPTUM NASI

Hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terpenting terhadap

lingkungan yang tidak menguntungkan. Bagian dalam hidung panjangnya 10-12

cm. Rongga hidung dibagi dua oleh septum, di dinding lateral terdapat konka

superior, konka media, dan konka inferior. Celah di antara konka dan dinding

lateral hidung dinamakan meatus, terdiri dari meatus superior, meatus medius dan

meatus inferior. Konka dapat berubah ukuran, sehingga dapat mempertahankan

lebar rongga udara yang optimum. Katup hidung merupakan struktur tersempit

dari saluran nafas atas.

Di bagian atap dan lateral rongga hidung terdapat rongga sinus yang

bervariasi dalam hal jumlah, bentuk, ukuran dan simetrinya. Sinus maksila

merupakan satu-satunya sinus yang rutin ditemukan saat lahir.

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu, menyiapkan udara inhalasi agar

dapat digunakan paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru dan memodifikasi

bicara. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan

melindungi saluran nafas di bawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6

mikrometer atau lebih, 85-90 % akan dibersihkan dengan bantuan transportasi

mukosiliar. Partikel yang berukuran kurang dari 2 mikrometer dapat lolos melalui

hidung.(Ballenger,2003;Heilger,2005)

Septum hidung
Septum hidung terdiri dari tulang rawan dan tulang terletak di garis tengah

dan berfungsi untuk menyokong dorsum nasi dan membagi rongga hidung

menjadi 2 bagian. Septum hidung terdiri dari kartilago kuadrilateral bagian

anterior dan vomer dan lamina perpendikularis os etmoid bagian posterior.

Kartilago kuadrilateral meluas dari dorsum nasi sampai krista maksila di inferior.

Di dorsum nasi tulang rawan ini berada di upper lateral cartilages dihubungkan

oleh jaringan ikat fibrosa. Tulang rawan ini meluas ke superior dan berada di

beberapa milimeter di tepi inferior os nasal. Sepanjang lantai rongga hidung

terdapat spinal nasal anterior dan terletak di dalam krista nasi os maksila dan os

palatina dan terikat kuat oleh jaringan ikat fibrosa. Di bagian posterior kartilago

nasal ini bersendi dengan tulang rawan perpendikularis os etmoid dan os vomer,

sedangkan os vomer dan lamina perpendikularis berhubungan dengan spina

anterior os sfenoid.

Pendarahan

Pendarahan hidung luar pada bagian dorsum diperoleh dari cabang arteri

fasialis dan arteri oftalmika. Pada basis ala nasi, arteri fasialis bercabang menjadi

arteri labialis, alaris dan angularis. Arteri labialis superior memperdarahi bibir atas

dan kolumela. Arteri alaris superior dan inferior memperdarahi lobul. Arteri

angularis berjalan ke atas dinding lateral dan memperdarahi dorsum nasi. Hidung

bagian dalam memperoleh pendarahan dari cabang arteri oftalmika dan cabang

arteri maksilaris interna. Bagian antero-superior septum dan dinding lateral

memperoleh pendarahan dari arteri etmoidalis, sedangkan bagian postero-inferior

memperolehnya dari arteri sfenopalatina dan arteri palatina descenden. Arteri


palatina mayor memperdarahi bagian antero-inferior hidung melalui kanalis

insisivus. Pada bagian kaudal septum terdapat pleksus Kiesselbach yang terdapat

tepat dibelakang vestibulum.

Persyarafan

Persyarafan hidung luar dibagi menjadi saraf sensorik dan motorik.

Persarafan sensorik berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris n.

Trigeminus. Cabang pertama n. Trigeminus, yaitu n. Oftalmikus memberikan

cabang n. Nasosiliaris yang akan bercabang lagi menjadi n. Etmoidalis anterior

dan posterior.

Nervus etmoidalis anterior akan berjalan melewati lamina kribrosa bagian

anterior dan memasuki hidung kemudian bercabang di foramen etmoidalis

anterior yang akan terbagi menjadi nasalis internus medial dan lateral. Cabang

medial berjalan ke depan bawah septum mempersarafi tepi anterior septum,

cabang lateral mempersarafi dinding lateral dan bercabang lagi (n. Nasalis

eksternus) menuju permukaan hidung. Saraf ini akan menembus dinding hidung

diantara os nasal dan kartilago lateral superior dan mempersarafi kulit dorsum

nasi bagian bawah puncak hidung.

Saraf yang berasal dari nervus trigeminus akan membentuk n. Nasalis

superior posterior yang memasuki hidung melalui foramen sfenopalatina, menuju

ganglion sfenopalatina. Cabang yang terpenting di sini adalah n. Nasopalatina.

Nervus infratroklearis berasal dari cabang pertama n. Trigeminus dan

serabut-serabutnya akan mempersarafi kelopak mata dan kulit sisi hidung atas.
Nervus infraorbitalis muncul di pipi di bawah mata melalui foramen infra

orbital untuk mempersarafi sebagian dinding lateral hidung dan strukur wajah

lainnya

Persyarafan motorik pada otot fasialis dipersyarafi oleh n.fasialis.

(Tardy,2006;Trimartani,2000; Affandi,2000)

2.2 FISIOLOGI MUKOSA DAN TRANSPORT MUKOSILIAR HIDUNG

2.2.1. Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh selaput lendir yang berkesinambungan

dengan berbagai sifat dan ketebalan. Mukosa di daerah respiratorius bervariasi

sesuai dengan lokasinya yang terbuka atau terlindung. Terdiri dari empat macam

sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia yang mempunyai 50-200 silia setiap

selnya. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (sel yang

mempunyai mikrovili) / sel torak tidak bersilia. Terakhir adalah sel basal yang

terdapat diatas membran sel.

Setiap sel epitel torak bersilia mengandung 50-200 silia. Silia pada

manusia memanjang kira-kira 5 mikrometer di atas permukaan luminal sel dan

lebarnya sekitar 0,3 mikrometer. Di dalam silia ada sehelai filamen yang disebut

aksonema. Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang

dikelilingi sembilan pasang mikrotubulus luar, yang dikenal dengan konfigurasi

9+2. Masing-masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis

yang disebut neksin dan jari-jari radial. Di bawah aksonema terdapat badan basal

yang silindris dan pendek. Lebih ke bawah lagi fibril memanjang sampai ke
sitoplasma apikal dan disini disebut sebagai tempat akar. Di sini silia tertanam

dengan kuat dan mungkin tempat akar ini meneruskan impuls saraf dari satu silia

ke silia disebelahnya, sehingga dapat timbul irama yang selaras.

Gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur di atas tubulus

lainnya, sehingga timbul gerakan seperti mencukur dan mengakibatkan silia

menunduk. Tekanan yang dirasa oleh silia akibat kontak dengan silia disebelahnya

yang menunduk, merupakan stimulus untuk menunjuk juga, mengikuti irama

yang beraturan. Gerakan silia adalah antara 10-20 kali perdetik pada temperatur

tubuh atau 700-1000 siklus permenit.(Ballenger,2003)

2.2.2. Selimut Mukus

Selimut mukus atau palut lendir merupakan lembaran tipis, kental, elastis,

dan bertegangan permukaan yang cukup tinggi yang menutupi seluruh permukaan

kavitas nasi propia, faring, tuba, kavitas timpanika dan seluruh pohon bronkial.

Selimut ini dibentuk oleh kelenjar serous, kelenjar mukus dan sel piala pada

mukosa yang ditutupinya. Selimut mukus ini tersusun oleh 1-2% garam, 2,5-3%

musin, dan sisanya adalah air; dengan PH ± 7 atau sedikit asam. Pada selimut ini

dapat ditemukan IgA, albumin, laktoferin, lisozym, dan protein lainnya.

(Heilger,2005;Watelet et al.,2002)

Palut lendir terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan yang meliputi batang

silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan perisilia. Lapisan ini lebih tipis

dan kurang lengket. Yang kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel

layer) yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial ini merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang

menumpang pada cairan perisilia dibawahnya.

Cairan perisilia mengandung glikoprotein mukus, protein serum dan protein sekresi
dengan berat molekul lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting pada gerakan
silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini, selain itu denyutan silia
terjadi di dalam cairan ini. Keseimbangan cairan di atur oleh elektrolit. Penyerapan diatur
oleh transport aktif natrium (Na) dan sekresi digerakkan oleh klorida (Cl). Tingginya
permukaan cairan perisilia ditentukan oleh keseimbangan antara kedua elektrolit ini, dan
derajat permukaan ini menentukan kekentalan palut lendir.
Lapisan superfisial yang lebih tebal utamanya mengandung glikoprotein

mukus. Diduga mukoglikoprotein ini yang menangkap partikel terinhalasi dan

dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini berfungsi

sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban, gas atau aerosol yang

terinhalasi, serta menginaktifkan virus yang terperangkap.(Ballenger,2003)

Kedalaman cairan perisilia sangat penting untuk mengatur interaksi antara

silia dan palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar

hidung. Pada keadaan normal cairan perisilia sedikit lebih rendah dibanding ujung

silia. Penelitian Sakakura menyimpulkan bahwa pada lapisan perisilia yang

dangkal maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk ke dalam ruang perisilia.

Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisilia maka ujung silia tidak akan

mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan aktifitas silia

terbatas atau terhenti sama sekali.(Sakakura,1994)

2.2.3. Transport Mukosiliar

Transport mukosiliar hidung (TMSH) sesungguhnya terdiri dari dua

sistem yang bekerja secara simultan, yaitu gerakan silia dan palut lendir. TMSH

yang baik sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini macet atau
terganggu maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus

mukosa dan dapat menimbulkan penyakit.

Dikatakan bahwa gerakan-gerakan silia seperti gerakan lengan seorang perenang gaya
bebas yang terdiri atas gerakan cepat ke depan (rapid forward beat) atau disebut dengan
effective stroke dan gerakan kembali yang sifatnya lambat (recovery stroke). Gerakan
efektif adalah pada saat silia ekstensi penuh, sewaktu silia dapat mencapai lapisan mukus
diatas lapisan perisilia dan mendorong lapisan mukus ini ke arah nasofaring. Sedangkan
pada recovery stroke, ujung silia tidak mencapai lapisan mukus.(Mygind,1993)
Pada dinding lateral rongga hidung terdapat dua jalur TMSH. Jalur

pertama berasal dari sekret sinus frontal, maksila dan etmoid yang dialirkan ke

nasofaring melalui bagian anteroinferior orificium tuba Eustachius. Jalur kedua

berasal dari sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bergabung dengan resesus

sfenoetmoid untuk dialirkan ke nasofaring melalui bagian posterosuperior

orificium tuba Eustachius. Dari nasofaring mukus turun ke bawah karena gaya

berat atau akibat gerakan menelan.

2.2.4. Faktor yang Mempengaruhi transport mukosiliar

Rautiainen,1994 mengatakan faktor terpenting yang mempengaruhi fungsi

mukosiliar adalah fungsi silia, struktur epitel, sifat dan kualitas palut lendir, serta

struktur hidung dan sinus. Sakakura,1997 membagi disfungsi mukosiliar hidung

akibat kelainan primer dan sekunder. Kelainan primer berupa diskinesia silia

primer (sindrom Kartagener, sindrom silia Immotil, sindrom Young) dan fibrosis

kistik. Kelainan sekunder berupa influenza (commond cold), sinusitis kronis,

rhinitis atropi, rhinitis vasomotor, septum deviasi, sindrom Sjogren, kolesteatom

(anak), dan penyakit adenoid (anak). Waguespack,1995 menuliskan keadaan yang

mempengaruhi TMSH atau frekuensi denyut silia (FDS) adalah faktor fisiologis,
polusi udara / rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus / bakteri,

obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan pengawet, dan tindakan operasi.

Kelainan Kongenital

Diskinesia silia primer dapat berupa kekurangan / ketiadaan lengan

dynein, ketiadaan jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia

abnormal, sel-sel basal abnormal, dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai,

yaitu 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Rata-rata FDS pada kelainan lengan

dynein adalah 6,1 Hz, pada defek jari-jari radial adalah 9,6 Hz, dan pada

translokasi adalah 10,2 Hz. Tes sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60 menit.

Barlocco, seperti yang dilaporkan oleh Al-Rawi dalam penelitian ultrastuktur silia

pada 154 anak dengan infeksi saluran napas kronis / rekuren terdapat 18 %

dengan diskinesia silia primer.(Al-Rawi et al.,1998)

Sindrom Kartagener merupakan penyakit kongenital dengan kelainan

bronkiektasi, sinusitis, dan situs inversus. Penyakit yang diturunkan secara

genetik ini merupakan contoh diskinesia silia primer, dimana terlihat kekurangan

sebagian atau seluruh lengan dynein luar / dalam. Akibatnya terjadi gangguan

yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia serta disorientasi arah pukulan /

denyut. Sering juga disebut dengan sindrom silia immotil. Gangguan pada TMSH

dan FDS menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasi

dan sinusitis. Dengan mekanisme yang sama juga terjadi gangguan gerak pada
ekor sperma, sehingga terjadi infertilitas. Dekstrokardia hanya dijumpai pada 50

% kasus.(Heilger,2005;Al-Rawi et al.,1998)

Fibrosis kistik dan sindrom Young juga merupakan kelainan kongenital

yang dihubungkan dengan sinusitis kronis atau rekuren. Ultrastruktur silia pada

kelainan ini terlihat normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan (viskositas)

dari palut lendir. FDS terlihat normal, tetapi terdapat pemanjangan waktu sakarin /

TMSH.(Ballenger,2003;Heilger,2005)

Lingkungan

Silia selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. FDS bekerja

normal pada pH 7-9. diluar pH tersebut akan terjadi penurunan frekuensi.

Kekeringan akan cepat merusak silia. FDS dipengaruhi oleh dehidrasi, hiperoksia,

hipoksia ekstrim, dan hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan

memperlambat gerakan silia, dan oksigen yang banyak dapat menaikkan FDS

sampai dengan 30-50 %. Asap rokok pada binatang percobaan terlihat merugikan

FDS, tetapi kesimpulan ini gagal dibuktikan pada manusia.(Ballenger,2003)

Havas,1999 pada penelitiannya tidak menemukan perbedaan waktu TMS pada

perokok dan non-perokok. Debu tidak berbahaya pada TMSH, kecuali zat yang

berbahaya yang menempel di atas permukaannya seperti pada industri kayu dan

kulit. Hardwood, Sulfur, dan Formaldehid terlihat memperlambat TMSH.

Elynawati dkk, 2002 dalam penelitiannya terhadap pekerja pabrik kayu

mendapatkan waktu TMSH yang lebih tinggi secara bermakna dibanding kontrol.

Rerata waktu TMSH pekerja adalah 12,16 menit (SD 4,05) dibandingkan

kelompok kontrol adalah 6,21 menit (SD 1,26).


Alergi

Pengaruh lingkungan alergi pada hidung masih diperdebatkan. Adanya

pembengkakan mikroskopik pada sitoplasma pada keadaan alergi diduga dapat

menyebabkan gangguan pada TMSH. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna

dari hasil pengukuran TMSH dan FDS pada pasien alergi dan kontrol. Pada

penderita rinitis alergi Mahakit,1994 mendapatkan perbedaan waktu TMSH yang

tidak signifikan. Sensitisasi pada hidung binatang percobaan dapat menyebabkan

kerusakan silia, tetapi hal ini gagal dibuktikan pada manusia.

Fisiologis

Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak didapat perbedaan

TMSH berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Penelitian Ho dkk,

2001 pada orang sehat dengan rentang umur yang lebih lebar menghasilkan

adanya perlambatan FDS pada usia diatas 40 tahun. Havas,1999 tidak

menemukan perbedaan waktu TMSH berdasarkan umur.

Penelitian Soedarjatni,1993 terhadap penderita diabetes melitus

didapatkan kecepatan mucociliary clearance 10,51 mm/menit yang berbeda

bermakna dibanding kelompok kontrol yaitu 16,39 mm/menit.

Obat-obatan

Kebanyakan obat tetes hidung dan beberapa glukokortikoid yang

mempunyai bahan penstabil seperti benzalconium chlorie, chlorbutol, thiomersal,

dan EDTA terbukti membahayakan epitel saluran napas dan bersifat siliotoksik.
Obat dekongestan topikal juga telihat dapat menghambat fungsi silia.

Penggunaan obat tersebut paling kurang menyebabkan gangguan fungsi

mukosiliar, sementara. Phenilephrine HCI 0,25 % dan oxymetazolin HCI 0,05 %

dapat menyebabkan toksisitas silia pada percobaan binatang, tetapi tidak terbukti

pada manusia. Lidokain topikal dapat menurunkan FDS pada binatang percobaan,

sedangkan pada manusia tidak terdapat perbedaan bermakna. Flunisolide sebagai

steroid topikal dihubungkan dengan penurunan TMS, sedangkan beclometasone

tidak mempengaruhi TMS sampai pemakaian 36 bulan.

(Waguespack,1995;Rautiainen,1994)

Talbot dkk,1997 pada penelitiannya dengan menggunakan larutan garam

hipertonik (NaCl 0,3 %, pH 7,6 %) lebih dapat memperbaiki TMS dibanding

penggunaan larutan garam fisiologis.

Gosepath dkk,2002 melakukan penelitian tentang pengaruh larutan topikal

antibiotik (ofloxacin), antiseptic (betadin, H202), dan anti jamur (amphotericin B,

itraconazole, clotrimazole) terhadap FDS. Peningkatan konsentrasi ofloxacin

sampai 50 % terlihat sedikit mempengaruhi FDS. Peningkatan konsentrasi

itraconazole dari 0.25 % menjadi 1 % dapat menurunkan aktivitas silia dari 8 jam

menjadi 30 menit. Larutan betadin lebih berefek siliotoksik dibanding H 2O2 .

Terlihat penurunan aktivitas silia dan FDS setengahnya pada peningkatan

konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini mengindikasikan bahwa pemakaian

obat-obat topikal antibiotik dan anti jamur khususnya pada konsentrasi tinggi

dapat merusak fungsi pembersih mukosiliar.


Beberapa obat oral juga dapat menurunkan TMSH seperti golongan

antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. B adrenergik tidak mempengaruhi

aktivitas silia tetapi dapat merangsang pembentukan palut lendir. Obat kolinergik

dan methilxantine merangsang aktivitas silia dan produksi palut lendir.

(Waguespack,1995)

Struktur dan Anatomi Hidung

Kelainan struktur / anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu

fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan

menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan

terhenti. Septum deviasi, polip, konka bulosa atau kelainan stuktur lain di daerah

kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi TMSH. Yong

dkk,2002 dalam penelitiannya mendapat perbedaan waktu TMSH yang signifikan

antara kedua lubang hidung dengan septum deviasi. Mereka mendapatkan waktu

TMSH pada rongga hidung yang cekung (16,5 ± 8,06)menit, sedangkan rongga

hidung yang cembung didapat (12,36 ± 4,83)menit. Uslu dkk,2004 dalam

penelitiannya pada pasien dengan septum deviasi yang dilakukan tindakan

septoplasti, didapatkan waktu TMSH sebelum operasi (26,25 ± 9,45)menit

sedangkan waktu TMS hidung setelah dilakukan tindakan septoplasti (15,05 ±

6,35)menit. Havas,1999 dalam penelitiannya tidak mendapatkan perbedaan yang

signifikan antara waktu TMS hidung yang tersumbat dengan yang tak tersumbat.

Slater dkk,1996 dalam penelitiannya pada pasien dengan polip nasal didapatkan

dari 9 pasien, hanya 3 yang waktu TMSH memanjang, dan hanya 1 pasien dengan

perlambatan FDS.
Infeksi

Dari pemeriksaan mikroskop elektron terlihat virus menempel pada silia.

Di samping itu virus juga menigkatkan kekentalan mukus, kematian silia, dan

edema pada struktur mukosa.

Bakteri atau infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan

mukosa, terlepasnya sel-sel radang, dan perubahan pH. Endotoksin dari bakteri

serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh netrofil diketahui dapat menurunkan

aktivitas silia dan FDS. Bordetella pertussis dan Pseudomonas aeruginosa

terbukti dapat menyebabkan gangguan TMSH. H. influenza dapat menurunkan

FDS.(Waguespack,1995;Rautiainen,1994)

Hipotesis banyak mengatakan bahwa edema pada ostium sinus akan

menyebabkan hipoksia. Hal ini akan memicu pertumbuhan bakteri di sinus dan

disfungsi silia. Penelitian pada sinus kelinci ternyata menunjukkan bahwa

penurunan kadar oksigen saja tidak mempengaruhi silia, kecuali juga diikuti oleh

penurunan oksigen pada aliran darah.(Waguespack,1995)

Sakakura,1997 melaporkan TMSH pada sinusitis kronis adalah 31 menit yang


secara signifikan lebih lambat dibandingkan kontrol normal. Kecepatan TMSH adalah 1,8
mm/menit, sedangkan pada orang normal 5,8 mm/menit. Dari analisis dengan skintigrafi
didapatkan peningkatan viskoelastisitas palut lendir, sedangkan silia mukosa hidung tidak
jauh berbeda dari normal.

2.2.5. Pemeriksaan Fungsi Transport Mukosiliar Hidung

Pemeriksaan mukosilia meliputi pemeriksaan ultra struktur silia dengan

mikroskop elektron, pemeriksaan komposisi dan kekentalan palut lendir,

pemeriksaan fungsi dan gerakan silia atau sistem mukosilia.


Fungsi pembersih mukosilia dapat diperiksa dengan menggunakan

partikel, baik yang larut dalam air maupun yang tidak. Zat yang bisa larut dalam

air contohnya sakarin, obat topikal atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut

semisal lamp black, colloid sulfur, 600-ug alumunium disc atau substansi

radioaktif seperti human serum albumin, tagged resin particle, teflon, bismuth

trioxide. Beberapa percobaan untuk menilai TMSH pada binatang menggunakan

serbuk arang, spora jamur, butiran kaca, atau baja dan air raksa. Waktu/kecepatan

yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu/kecepatan TMSH.

(Waguespack,1995)

Metode sakarin merupakan uji yang sederhana dalam menilai transport

mukosiliar hidung. Selain tes ini sederhana, tidak mahal, dan noninvasif. Uji ini

paling sering digunakan dalam skrining yang sangat berguna dalam menilai

adanya gangguan motilitas silia. Pada suatu penelitian yang telah dilakukan

dengan cara membandingkan tes sakarin dengan partikel radioaktif dan cakram

aluminium 600-ug menunjukkan tes sakarin adalah tes yang akurat jika

dibandingkan dengan kedua tes diatas.(Weir,1997;Grossan,1994).

Untuk menilai apakah silia dapat berdenyut dengan normal maka

dilakukan pemeriksaan frekuensi denyut silia. Pemeriksaan ini diukur dengan

mikroskop dan fotometri. Silia diambil dengan sikat, kemudian dimasukkan ke

dalam larutan buffer dan dilihat di bawah mikroskop. FDS pada orang normal

adalah 12-15 Hz.(Waguespack,1995)

2.2.6. Penentuan Waktu TMSH dengan Uji Sakarin


Tes sakarin pertama kali dilakukan oleh Andersen dan kawan-kawan pada

tahun 1974 dan dilakukan dengan cara yang sama sampai saat ini. Partikel sakarin

atau sodium saccharinate diletakkan pada 0,5 cm dibelakang ujung anterior dari

konka inferior. Disarankan partikel sakarin berukuran antara 0,4 sampai 1 mm 3.

Subyek diinstruksikan untuk duduk dengan tenang dan tidak bersin atau

mendengus. Subyek diminta untuk menelan ludah setiap 30 detik dan melaporkan

bila ada perubahan. Waktu dihitung pada saat subyek merasakan adanya rasa

manis yang disebabkan oleh karena partikel sakarin telah mencapai pangkal lidah.

Waktu normal adalah 5 sampai 7 menit. Delapan sampai 15 menit adalah

lambat, dan 16 sampai 28 adalah lambat sekali. Lebih dari 28 menit diasosiasikan

dengan adanya kerusakan permanen dan bersifat irreversibel. Jika pasien tidak

merasakan rasa sama sekali, sakarin diletakkan di pangkal lidah untuk

menyingkirkan adanya gangguan pengecapan.

Waktu TMSH pada orang normal telah banyak diteliti dengan

menggunakan sakarin sebagai bahan tes, Golhar mendapatkan angka rerata 10

menit 7 detik. Mygind mendapatkan angka normal 10 – 15 menit. Data normal

waktu TMSH untuk Indonesia untuk saat ini sangat jarang sekali, Iswadi

dkk,2007 di Makassar mendapatkan angka rerata 9 menit dengan waktu normal

antara 3,5 – 14 menit.


2.3. SEPTUM DEVIASI

2.3.1. Definisi

Septum hidung terdiri dari tulang rawan terletak di garis tengah dan

berfungsi untuk menyokong dorsum nasi dan membagi rongga hidung menjadi 2

bagian, jika septum tidak lurus dan tidak berada ditengah hidung, maka disebut

septum deviasi.(Ballenger,2003)

Gambar 2 : septum deviasi

(Sumber: www.geogiahealthinfo.gov)

2.3.2. Insiden

Insiden septum deviasi sangat bervariasi. Gray melakukan penelitian pada

2112 orang dewasa dan mendapatkan 37% mengalami septum deviasi. Kwang

dkk,2006 meneliti 390 pasien menggunakan pemeriksaan radiologi dan

mendapatkan 94 pasien (24,1%) mengalami septum deviasi. Tumbel dkk,2006

dalam penelitiannya di makassar pada pasien sinusitis maksilaris kronik

mendapatkan septum deviasi pada 22 kasus (30.1%) tanpa adanya kelainan polip.

Data Instalasi Bedah Sentral menunjukkan pada tahun 2005 sebanyak 14 pasien

(4.6%) septum deviasi menjalani operasi septum reseksi dari seluruh pasien THT

yang dilakukan operasi.


2.3.3. Etiologi

Penyebab paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir,

pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intruterine.

Penyebab lainnya ialah ketidak-seimbangan pertumbuhan. Tulang rawan

septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap.

Dengan demikian terjadilah deviasi pada septum nasi itu.(Soetjipto,2007)

Pada pasien dengan septum deviasi, banyak yang tidak teradapat adanya

riwayat trauma. Gray menerangkan hal ini dengan teori birth moulding. Postur

abnormal intrauterin dapat menyebabkan terjadinya tekanan pada daerah hidung

dan rahang atas. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pergeseran pada septum.

Tekanan ini dapat bertambah pada saat kelahiran.

2.3.4. Gejala klinis

Bila septum deviasi ringan, kadang tidak terdapat gejala. Bila septum

deviasi berat maka dapat menyebabkan gejala-gejala seperti:(Soetjipto,2007)

 Sumbatan pada satu atau kedua rongga hidung

 Kongesti nasal

 Epistaksis

 Infeksi sinus berulang

 Nafas yang berbunyi sewaktu tidur

2.3.5. Klasifikasi
Mladina membuat klasifikasi mengenai septum deviasi sebagai berikut :

 Tipe I : terdapatnya unilateral crest yang tidak mengganggu fungsi dari rongga

hidung.

 Tipe II : terdapatnya gangguan pada fungsi hidung dikarenakan unilateral

crest

 Tipe III : satu unilateral crest pada ujung atas konka media hidung

 Tipe IV : terdapat dua crest, satu pada ujung atas konka media, satu berada

pada sisi septum lainnya, yang dapat mengganggu fungsi hidung.

 Tipe V : unilateral ridge pada dasar septum, sedang sisi septum lainnya lurus

 Tipe VI : unilateral sulkus melalui bagian kaudal-ventral septum, sedangkan

pada sisi lainnya terdapat ridge dan asimetri dari rongga hidung.

 Tipe VII : campuran tipe dari I sampai VI.

Septum deviasi diklasifikasikan menurut dari beratnya gangguan pada

hidung : (Jorissen et al.,1997)

 Grade I : septum deviasi yang tidak menyentuh struktur dinding lateral hidung

 Grade II : menyentuh struktur dinding lateral hidung, tetapi tidak menyentuh

setelah diberi dekongestan.

 Grade III : menyentuh struktur dinding lateral hidung, tetap menyentuh

setelah diberi dekongestan.

2.3.6. Diagnosis
Diagnosis pada umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologi dan nasal

endoskopi hanya dilakukan untuk konfirmasi atau evaluasi terapi.

(Ballenger,2003)

2.3.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan baku pada septum deviasi adalah operasi reposisi dari

septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat dilakukan pada penderita dengan

keluhan yang nyata yaitu submukosa septum reseksi dan septoplasti.

(Soetjipto,2007)

Dekongestan, antihistamin, spray kortison hidung dan terapi alergi lainnya

dapat berguna yang bersifat sementara.

2.4. KERANGKA KONSEP

Septum Gangguan sistem Waktu


deviasi transport mukosiliar TMSH
grade I hidung

2.5. HIPOTESIS PENELITIAN

Dari kerangka teori diatas, maka disusun suatu hipotesis:


terdapat perbedaan waktu transport mukosiliar hidung pada penderita septum

deviasi grade I dibandingkan dengan orang tanpa septum deviasi.

Anda mungkin juga menyukai